BAB II ACUAN TEORITIK 2.1. Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 ... filetersedianya redaktur bahasa dalam...
Transcript of BAB II ACUAN TEORITIK 2.1. Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 ... filetersedianya redaktur bahasa dalam...
BAB II
ACUAN TEORITIK
2.1. Teori-Teori yang Relevan
2.1.1 Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik memiliki karater yang berbeda-beda berdasarkan
jenis tulisan yang diberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk
menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan
dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features. Bahkan bahasa
jurnalistik pun sekarang memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam
penulisan jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000:114)
Penulisan jurnalisme damai, terlihat dari pilihan kata yang lebih
cenderung menggunakan kata-kata yang berdampak menyejukkan dan
membuat damai. Yang ditonjolkan adalah bagaimana dengan berita yang
dibuat, suasana kemudian bisa menjadi tenang dan tidak bergejolak.
Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama --ada
yang menyebut laporan utama, forum utama-- akan berbeda dengan
bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam
menulis banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik bahasa
jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan,
dan sumber (bahan tulisan).
Namun demikian, sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak
meninggalkan kaidah yang dimiliki ragam bahasa Indonesia baku dalam
9
hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000 :20).
Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu)
maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat,
sederhana, lancar, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam
bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa.
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam
bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan
masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain
bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Atau
mudah dan bisa dipahami oleh banyak orang. Hal ini dikarenakan tidak
setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh
karena itu, bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk
menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca
secepatnya dengan mengutamakan daya komunikasinya.
2.1.2 Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan bahasa, pikiran,
ideologi, dan media masa cetak di Indonesia. Anderson (1966, 1984:85)
meneliti pengaruh bahasa dan budaya Belanda serta Jawa dalam
perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa
Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang feodalis. Adhiyasasti
(2006:108) tentang prilaku pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah
seperti yang termanifestasikan dalam tajuk rencana.
10
Penelitian Eryanto (2001:90) tentang analisis teks di media massa.
Dari puluhan penelitian yang breakout dengan pers, ternyata belum
terdapat penelitian yang secara khusus memformulasikan karateristik
(ideal) bahasa jurnalistik berdasarkan induksi karateristik bahasa pers yang
termanifestasikan dalam kata, kalimat dan wacana.
Sejak tahun 1980-an diketahui bahasa Indonesia di media massa
menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Penyebab wartawan
melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya
penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan
kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan
lupa, dan pendidikan yang belum baik.
Faktor diluar penulis menyebabkan wartawan melakukan kesalahan
dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu
menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak
tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar.
Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik
praktis, masih perlu dimunculkan petunjuk akademis maupun teknis
pemakaian bahasa jurnalistik.
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan
dengan kaidah bahasa Indonesia baku , yaitu:
1. Penyimpangan morfologis. Penyimpangan ini sering terjadi dijumpai
pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu
pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks
pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita
11
sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima
Perampok Nasabah Bank. Israel Tembak Pesawat Mata-Mata.
Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau
struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan
pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh:
Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat.
Seharusnya judul tersebut diubah menjadi Hasil Kerajinan Desa
Kasongan Banyak Diekspor ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai
di koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan
kesopanan (eufimisme) atau meminimalkan dampak buruk
pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa oleh Oknum Kopasus itu
Merupakan Pil Pahit Bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti
Kejahatan. Dalam konflik Dayak-Madura, jelas bahwa yang bertikai
adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjukkan kedua
etnis secara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali
kosakata yang diekspos merupakan kosakata yang menekan seperti
GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan
frustasi, golongan anti pembangunan, dan lain-lain. Bahkan di era
kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosa
kata yang bias mengandung makna semakin banyak.
4. Kesalahaan ejaan. Kesalahaan ini hampir setiap kali dijumpai dalam
surat kabar,. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata,
12
seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis
jadual, sinkron ditulis singkron, dan lain-lain.
Meskipun bahasa jurnalistik itu disebut sebagai ragam tersendiri,
tentu tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa
Indonesia.
2.1.3 Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa seperti
yang terlihat dalam surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian
itu, bahasa jurnalistik itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat
ukuran intelektual minimal. Menurut Badudu (1988:65) bahasa jurnalistik
memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat sederhana lugas, menarik,
lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa
jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat
yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu, beberapa ciri
yang harus dimiliki bahasa jurnalistik diantaranya sebagai berikut.
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang
panjang dan bertele-tele.
2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu
menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan
pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 W + 1 H,
membuang kata- kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat
tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit,
13
dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian
kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian
atau makna informasi secara langsung dengan menggunakan bahasa
yang berbunga-bunga.
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup,
tumbuh, berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat
dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak
menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda,
menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh
karena itu, seyogyanya bahasa jurnalis menggunakan kata–kata yang
bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih menjumpai judul
berita: Tim Ferrari Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago
Merah Melahap Mall Termewah di Kawasan Jakarta. Polisi
Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.
Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan
berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan yang tidak
pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan,
barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan
ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga
selera pembacanya.
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan
dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972:113) sebagai
14
fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi refrensial, yaitu wacana
yang menyajikan fakta–fakta. Namun persoalan muncul bagaimana cara
mengkontruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta
yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993:85) disebut retorika
tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa sebagai alat untuk mengkontruksi
teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik.
2.1.4 Keterangan Foto
Salah satu karya jurnalistik adalah foto yang dihasilkan fotografer.
Sebuah foto bisa berdiri sendiri atau terkait dengan berita. Bagaimanapun
posisinya, sebuah foto menurut Ed Zoelverdi (1984:9), dilengkapi dengan
keterangan foto. “Keterampilan mengawinkan foto dengan kata-kata
merupakan prasyarat khas bagi Mat Kodak di persuratkabaran.
Keterangan foto di media cetak sesungguhnya jauh lebih lebih penting dari
apa yang pernah dibayangkan kalangan awam.“
Sebab menurut Ed Zoelverdi, tugas utamanya adalah
menyempurnakan pesan foto, dengan menambahkan suatu matra kepada
pesan yang tampak pada gambar, termasuk nama, keterangan tempat dan
informasi penting lainnya. Dengan begitu, keterangan foto mendukung
komunikasi yang mungkin kurang jelas pada foto tersebut.
Keterangan foto berasal dari bahasa Inggris caption, cutline,
underline serta legend. Menurut Ed Zoelverdi, yang dimaksud caption
awalnya judul yang dipasang di atas sebuah foto atau gambar. Tapi secara
luas istilah itu sudah terlanjur dipakai untuk menyebut keterangan di bawah
15
foto. Sedangkan istilah legend lebih kena sebagai sebutan untuk judul foto,
sekaligus menunjukkan tentang tulisan yang menerangkan suatu foto.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2003:1293),
kata caption ditemukan dalam kata dan ungkapan bahasa asing. Artinya,
(1) judul ; (2) uraian di bawah gambar; (3) teks pada film.
Di dalam kamus istilah Buku Mat Kodak, Melihat untuk Sejuta Mata
(Zolverdi, 1984:110), caption diartikan, kata-kata yang dicetak mengiringi
sebuah foto atau ilustrasi visual lainnya untuk menjelaskan.
Sebuah keterangan foto, menurut Rasdian, setidaknya mengandung
unsur 5 W + 1 H layaknya sebuah berita. Unsur-unsur itu, Who (siapakah),
What (apakah), When (kapan), Where (dimana), Why (mengapa), dan How
(bagaimana). “Memang setiap foto jurnalistik memerlukan keterangan,
biarpun hanya berisi nama seseorang. Namun idealnya keterangan foto itu
berisi 5W + 1H. Dengan demikian seorang fotografer bisa menjelaskan
kondisi yang tidak tampil digambar sekaligus melengkapi keterangan dan
konteksnya.”
Menurutnya terkadang memang ada juga yang menambahkan
sejarah di belakang peristiwa dalam foto yang tentu kecil kemungkinan
bisa muncul. Jadi, keteragan foto menjelaskan sedetail dan seakurat
mungkin informasi dari sebuah foto. Untuk itu ada petunjuk khusus untuk
membuat keterangan foto. Keterangan foto harus seinformatif mungkin,
jangan malah membingungkan pembaca apalagi menyesatkan.
Diakuinya, memang melalui sebuah foto ribuan makna dan fakta
bisa diwakili tanpa kata. Hanya saja, itu bisa tak berarti bila tak didukung
16
penulisan keterangan foto yang benar. Diperlukan kemampuan menulis
keterangan foto yang baik. Salah-salah menulis keterangan foto bisa
mengakibatkan hilangnya selera orang membaca seluruh tulisan.
Bahaya ini antaranya diingatkan secara khusus Floyd K. Baskette
and Jack Z. Sissor dalam buku The Art of Editing dalam Zoelverdi
(1984:73), yang sekaligus memberi pegangan membuat keterangan foto.
Untuk membuat keterangan foto, kita harus melihat foto yang
bersangkutan dalam bentuk final. Maksudnya, keterangan foto hanya
layak dibuat ketika foto itu siap turun ke percetakan. Bisa saja terjadi ada
bagian foto yang di-cropping, justru bagian itu yang disebut keterangannya.
Ketika membuat keterangan foto, kita harus menyadari bahwa
pembaca bukan terdiri dari kumpulan orang bodoh. Itu sebabnya, tidak
perlu disebut lagi apa yang sudah nyata dalam foto. Atau sampai
menyebut seperti tampak dalam gambar, atau seperti yang ditunjukkan
dalam foto.
Jangan menipu pembaca. Sebab mereka jauh lebih kritis, misalnya,
mengenai foto yang disiarkan itu barang baru atau bukan. Terus terang
saja menyebut ungkapan dan dimana foto itu dibuat.
Opini bukan barang halal dalam keterangan foto. Misalnya, sampai
menyimpulkan seseorang yang sedang linglung, sedang bermasalah
dengan bau atau sedang letih. Pembaca bisa saja mengajukan
pertanyaan, apa betul begitu. Kalau memang fotografernya tahu persis tak
masalah.
17
Lebih baik gunakan petunjuk dari kiri saja dari pada kiri ke kanan.
Lebih ringkas. Atau gunakan saja cara lain, misalnya dengan menyebutkan
ciri pakaian subjek, berbaju putih, dan sebagainya. Akan halnya seorang
presiden di tengah keramaian rasanya pembaca tak perlu diberitahu lagi.
Sebaiknya gunakan istilah terperinci. Itu lebih jernih dibanding
sekadar menyebut pengertian garis besar. Misalnya, lelaki 70 tahun, tentu
lebih informatif daripada menyebutnya sebagai lelaki tua, dan seterusnya.
Harus dilakukan pemeriksaan yang cermat mengenai akurasi
keterangan foto. Terutama menyangkut nama orang atau nama tempat,
harus dilakukan cek berulang-ulang apakah sudah dapat atau tidak. Baik
foto itu berasal dari para Mat Kodak sendiri, apalagi kalau dibeli dari orang
luar. Sebab bila sampai kelliru, bukan Mat Kodak yang ditunding
--sekalipun namanya dicantumkan dibawah foto-- melainkan koran itu
sendiri yang kena getahnya.
Bila foto memang dimaksudkan sebagai pendamping tulisan, maka
keterangan di bawahnya jangan sampai mengulangi apa yang sudah
termaktub di dalam tulisan. Itu berarti kita wajib menjaga porsi peranan
masing–masing secara imbang, dan tidak menyuruh keterangan foto
“berkelahi” atau saling rebutan dengan jalannya cerita secara keseluruhan.
Jadi sebaiknya diusahakan agar keterangan foto bisa memancing selera
baca orang untuk dengan lahap menikmati cerita lengkap yang
didampinginya.
2.1.5 Analisis Wacana
18
Untuk memahami perkembangan analisis wacana (discourse
analysis) dalam ilmu sebaiknya kita pahami terlebih dahulu hubungan
antara teori wacana (theories of discourse) dan teori komunikasi (theories
of communications). Hal demikian dikarenakan berbicara analisis wacana
tidak dapat dilepaskan dari perbincangan tentang pengaruh teori wacana
terhadap teori komunikasi.
Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori
komunikasi berasal dari James P. Gee (2005:26). Gee membedakan
discourse kedalam dua jenis : Pertama, “discourse”(d kecil) yang melihat
bagaimana bahasa yang digunakan para tempatnya (“on site”) untuk
memerankan kegiatan, pandangan dan identitas atas dasar-dasar
linguistik. Kedua, “Discourse” (D besar ) yang merangkaikan unsur lingustik
pada “discourse” (dengan d kecil ) bersama-sama unsur nonlinguistic
(nonlanguage “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan
identitas. Bentuk non-language “stuff” ini dapat berupa kepentingan
ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non- language
“stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan,
kepercayaan, penilaian satu komunikator dari komunikator lainnya dalam
mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain.
Mengingat bahwa setiap tindakan komunikasi senantiasa
mengandung kepentingan, apalagi komunikasi melalui media massa
seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka layaklah jika
dikatakan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah suatu Discourse
(dengan D besar). Dalam pandangan communication as Discourse ini,
19
komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau
“kenyataan kedua” dalam bentuk wacana (discourse) dari “kenyataan lain”
atau “kenyataan kedua” dalam bentuk wacana (realitas kedua) itu adalah
sebuah proses yang disebut kontruksi realitas atau construction of reality.
Seperti tampak dalam Gambar 1, berdasarkan sebuah penelitian
(Hamad, 2004), proses konstruksi realitas oleh pelaku (2) dalam media
massa dimulai dengan adanya realitas pertama berupa keadaan, benda,
pikiran, orang, peristiwa, dan sebagainya (1). Secara umum, sistem
komunikasi adalah faktor yang mempengaruhi sang pelaku dalam
membuat wacana. Dalam sistem komunikasi liberitarian, wacana yang
terbentuk akan berbeda dalam sistem komunikasi yang ototarian. Secara
lebih khusus, dinamika internal dan eksternal (4) yang mengenai diri si
pelaku kontruksi tentu saja mempengaruhi proses kontruksi. Ini
menunjukkan bahwa pembentukan wacana tidak berada dalam ruang
vakum. Pengaruh itu datang dari pribadi pembuat dalam bentuk
kepentingan idealis, ideologis, dan sebagainya maupun kepentingan
eksternal dari khalayak sasaran sebagai pasar maupun sponsor (5).
20
Gambar 1
Gambar Proses Konstruksi Realitas dalam Pembentuk Discourse
Sumber: Hamad, 2004
Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai
suatu strategi tertentu (6). Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan
Realitas Pertama : Keadaan, Benda, Pikiran, Orang, Peristiwa,…(1)
Dinamika Internal dan Eksternal
Pelaku Konstruksi (4)
Sistem Komunikasi
Yang berlaku
(3)
Strategi
Mengkontruksi
(6)
Proses
Konstruksi
Realitas oleh
Pelaku
(2)
Faktor Internal :
Ideologis, Idealis..
Faktor Eksternal:
Pasar, sponsor
(5)
Fungsi Bahasa
Strategi
Framing
Strategi
Priming
(7)Discourse atau Realitas yang
Dikonstruksikan ( Text, Talk, Act dan
Artifact) (8)(8)
Makna, Citra, dan Kepentingan di Balik Wacana (9)
21
internal, strategi konstruksi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata
hingga paragraf ; pilihan fakta yang akan dimasuksudkan/dikeluarkan dari
wacana yang populer disebut strategi framing, dan pilihan teknik
menampilkan wacana di depan public atau strategi priming (7).
Selanjutnya, hasil dari proses ini adalah wacana (discourse ) atau
realitas yang dikontruksikan (8) berupa tulisan (text), ucapan (talk),
tindakan(act) atau peninggalan (artifact). Oleh karena discourse yang
terbentuk ini telah dipengaruhi oleh berbagai faktor, kita dapat mengatakan
bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta
kepentingan yang sedang diperjuangkan (9).
Dalam kenyataannya, wujud dari bentuk wacana itu dapat dilihat
dalam beragam buah karya si pembuat wacana:
1. Text (wacana dalam wujud tulisan/grafis ) antara lain dalam wujud
berita, features, artikel opini, cerpen, novel, dsb.
2. Talk (wacana dalam wujud ucapan), antara lain dalam wujud rekaman
wawancara, obrolan, pidato,dsb.
3. Act (wacana dalam wujud tindakan ) antara lain dalam wujud lakon
drama, tarian fil, defile, demontrasi,dsb.
4. Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud bangunan,
lanskap, fashion, puing, dsb.
Keberadaan bermacam bentuk wacana dapat kita temukan dalam
media cetak (seperti novel), media audio (seperti pidato), media visual
(seperti lukisan), media audiovisual (seperti film) di alam (seperti lanskap
dan bangunan), atau discourse/Discourse yang dimediasikan (seperti
22
drama yang difilmkan). Jadi, tak selamanya discourse/Discourse itu berada
dalam bentuk media massa, apalagi hanya media cetak.
Kondisi itulah yang menyebabkan metode penelitian komunikasi
mengalami perkembangan atau penambahan dengan analisis wacana
(discourse analysis). Hal-ikhwal yang berkenaan dengan isi komunikasi
(content of communication) tidak lagi hanya dapat dijelaskan melalui
metode analisis isi (content analysis) melainkan juga mesti memakai
analisis wacana (discourse analysis).
2.1.6 Perkembangan dan Ragam Metode
Kapankan analisis wacana mulai merambahi kajian komunikasi?
Dalam tinjuan penulis, analisis wacana ini mulai marak dalam ilmu
komunikasi termasuk di Indonesia adalah pada dekade 90-an. Kehadiran
buku- buku yang berkenaan dengan wacana, memperkuat metode dan
pelaksanaan riset dengan memakai analisis wacana baik sebagai analisis
naskah maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).
Namun demikian, cikal bakal pemikiran yang mengantar tibanya
analisis wacana (discourse analysis) sesungguhnya diawali oleh
Krippendorff (1980). Ia berpendapat bahwa analisis isi kuantitatif harus
diperkuat dengan kajian tentang indeks dan representasi lingustik.
Kemudian, Berger (1982) menyediakan teknik-teknik analisis media (media
analysis techniques) yang sama sekali beda dari analisis isi dalam tradisi
kuantitatif. Ia membahas empat teknik analisis media: semiological
analysis, Marxist analysis, psychoanalityc critsm, dan sociological.
23
Terdapat bermacam-macam metode analisis wacana yang dapat
dipergunakan dan pilih.
1. Berdasarkan penggunaan metode, ada diantara mereka yang memakai :
(a) analisis wacana sintagmatis (lihat Tabel 1), yang menganalisis
wacana dengan metode kebahasaan (syntaxis apporoach) yaitu peneliti
mengekplorasi kalimat demi kalimat untuk menarik kesimpulan; dan (b)
analisis wacana paradigmatik, yang menganalisis wacana dengan
memperhatikan tanda-tanda (signs) tertentu dalam sebuah wacana
untuk menemukan makna keseluruhan;
2. Berdasarkan bentuk analisis, ada diantara mereka yang menggunakan:
(a) analisis wacana linguistik yang membaca suatu naskah dengan
memakai salah satu metode analisis wacana (sintaksis ataupun
paradigmatis ); dan (b) analisis wacana sosial, yang menganalisis
wacana dengan memakai satu/lebih metode analisis wacana (sintaksis
ataupun paradigmatic), menggunakan perspektif teori tertentu, dan
menerapkan paradigma penelitian tertentu (positivis,post positivis,
kritikal, konstruktivitis dan partisipatoris).
3. Berdasarkan level analisis, ada diantara mereka yang menerapkan: (a)
analisis pada level naskah, baik di dalam bentuk text, talks, act dan
artifact; baik secara sintagmatis ataupun secara paradigmatis ; dan (b)
analisis mulitilevel yang dikenal dengan analisis ataupun wacana kritis
(critical discourse analysis) yang menganalisis wacana pada level
naskah beserta konteks dan historinya.
24
4. Berdasarkan bentuk (wujud) wacana, ada di antara mereka yang
melakukan analisis wacana terhadap wacana dalam bentuk tulisan,
ucapan, tindakan, peninggalan (jejak) ; baik yang dimuat dalam media
maupun di alam sebenarnya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis wacana
sintagmatis (lihat table 1), yang menganalisis wacana dengan metode
kebahasaan (syntaxis approach) yaitu peneliti mengeksplorasi kalimat
demi kalimat untuk menarik kesimpulan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis wacana
sintagmatis (lihat table 1), yang menganalisis wacana dengan metode
kebahasaan (syntaxis approach) yaitu peneliti mengeksplorasi kalimat
demi kalimat untuk menarik kesimpulan.
Table 1. Ragam Metode Analisis Naskah Sintagmatis
No NamaMetode
Dimensi Teoritis (sebuah abstraksi) Penggunaan sebagai Metode Analisiswacana
1 MCD
(Titscher,
2000;105-
109)
Membership Categorization DeviceAnalysis atau MCD saja adalah metodeanalisis wacana yang bertujuan untukmemehami kapan dan bagaimana paraanggota suatu masyarakat membuatsebuah deskripsi supaya segera setelahitu diketahui mekanisme yang digunakanuntuk memproduksi deskripsi tersebutsecara pantas dan cocok.
Dimulai dengan satu dua kalimatyang secara gramatikal berhubungan(misalnya, kalimat majemuk) dalamsebuah teks; guna dianalisis strukturdan aturannya yang berlaku dalamkalimat tersebut, yang lazimnyamencakup aspek-aspek indeksial(fenomena yang dibicarakan),refleksifitas (fakta yang terkandung),dan demonstrasi (aturan yangdipakai).
2 CA(Titscher,2000;109-114)
Conversation Analysis (CA) bertujuanmenemukan prinsip dan prosedur yangdipergunakan partisapan dalammemproduksi stuktur dan aturan darisuatu situasi komunikasi.
Menganalisis suatu percakapanantara dua orang attau lebih denganmemperhatikan cara merekaberinteraksi seperti sikap salingbergantian berbicara, situasikomunikasi yang terjadi, dsb.
3 FP(Titscher,2000:171-184)
Functional Pragmatic (FP) membahasbentuk percakapan (speech action) danprilaku percakapan (speech act) untukmenemukan tujuan (purpose) daripartisipan sebuah percakapan.
Memperhatikan prosedur dan pola(pattern) percakapan. Proseduradalah unit terkecil dari tindakanpercakapan seperti saya, di sini,sekarang; Pola percakapan adalahpotensi yang mendukung padatindakan percakapan, seperti settingtugas, pemenuhan tugas, penalaranyang efektif.
25
4 DTA(Titscher,2000:185-197)
Distinction Theory Approach (DTA)melihat bahwa komunikasi terdiri dari tigaunsure: informasi, ucapan/penyampaian(utterance) dan pemahaman. DTAmenganalisis aspek- aspek utterance inibaik segi eksplisitnya maupun segiimplisitnya.
Menganalisis aspek pembeda bagianluar (explicit distinction) dan aspekpembeda bagian dalam (implicitdistinction) suatu naskah denganmenemukan konsep- konsep sertamemberinya makna. Kemudianmembandingkan aspek eksplisit danimplicit; menganalisisnya; danmenarik kesimpulan.
5 ObjectiveHermeneutika( Titscher,2000:198-212)
Metode ini berusaha memahami maknasebagi sesuatu yang bersifat obyektifberdasarkan struktur social (as anobjective social structure) yang munculsecara interaktif. Makna adalah hasilinteraksi mutual, walaupun parapelakunya tidak daptat menegaskannya,sehingga diperlukan pihak luar untukmenelitinya.
Memperhatikan aspek- aspek konteksinternal dan eksternal dari sebuahwacana, melakukan interprestasiekstensif, interprestasi menyeluruh,dan mengajukan hipotesis individualtentang kepentingan ekonomi paraactor. Analisis dimulai dengan yangbersifat sekuensial, kemudiandilanjutkan dengan analisis rinci.
Adapun analisis wacana paradigma terdapat sejumlah pilihan
metode seperti tampak dalam Tabel 2.
Tabel 2. Ragam Metode Analisis Naskah Paradigmatik
No Nama Metode
Dimensi Teoritis (Sebuah abstraksi) Penggunaan sebagai MetodeAnalisis Wacana
1 Semiotika (Berger,1982)
Semiotika adalah ilmu yang mempelajaritanda (sign), makna tanda, dan cara kerjatanda. Menurut semiotika strukturalis tandadibagi menjadi kedalam tiga jenis : ikon,indeks, symbol. Menurut semiotika poststrukturalis, sebuah naskah memiliki“gagasan inti” atau benang merah”
Secara strukturalis, menemukan tanda-tanda dalam suatu naskah danmenafsirkan sesuai dengan perpespektifteori yang dipergunakan dalampenelitian yang sedang dilakukan.Secara post strukturalis menangkap“benang merah” dari naskah.
2. AnalisisMarxis (Berger,1982)
Bersumber dari teori Marxis, analisis inimelihat realitas sosial sebagai yang penuhdengan petentangan antara kelas sertapertarungan ideologis dan kekuasaan.
Menemukan tanda-tanda dalam suatunaskah dan menafsirkannya sebagaijalan untuk mengetahui siapamengekspolatasi siapa serta ideologiapa yang ada dibalik suatu naskah.
3 Psikoanalisis(Berger,1982)
Aliran psikologi Fruedian ; berbicara tentangid, libido; ego, super-egonya dansebagainya. Percaya bahwa senua hal yangdilakukan manusia mencerminkan alambawah sadarnya
Menentukan tanda – tanda dalam suatunaskah dan menafsirkannya gunamenunjukan bahwa tanda – tandatersebut mencerminkan alam bawahsadar si pembuat atau si pemakai tanda
4. AnalisisSosiologis(Berger,1982)
Aliran struktur-fungsional melihat bahwadalam bermasyarakat terdapat pembagiantugas dan fungsi. Setiap individu dalamstruktur sebuah masyarakat memliki statusdan peran masing-masing.
Menemukan tanda – tanda dalam suatunaskah dan menafsirkannya untukmencari siapa yang diberi status danperan apa serta bentuk relasi antarindividu dalam naskah itu.
5. SemiotikaSosial (Haliliday,1993
Semiotika sosial memandang bahwa sebuahnaskah terdiri dari tiga komponen utama:medan wacana (cara pembuat wacanamemperlakukan suatu peritiwa) ; pelibatwacana (sumber yang dikutip atau orang –orang yang dilibatkan beserta atribut sosialmereka dalam suatu wacana), dan sarana
Mengamati suatu naskah untukmenemukan apa medan wacana yangada di sana ; siapa yang menjadi pelibatwacananya, dan bagaimana saranawacananya . kemudian menafsirkannyasesuai perspektif teori yangdipergunakan dalam penelitian yang
26
wacana (cara pembuat wacanamenggunakan bahasa dalammenggambarkan peritiwa).
sedang dilakukan.
6 Analisis Framing (Sobur,2001; Erianto, 2002Hamad, 2004Van Dijk, 1988
Teori framing berbicara tentang seleksi isuyang dimasukkan ke atau dikeluarkan dariwacana. Menurut framing, dalam wacanaberlangsung proses pemilihan fakta manayang mau diangkat, fakta mana dihilangkansama sekali. Wacana menurut framing yangdiisi dengan fakta – fakta pilihan itu.
Terdapat beberapa varian analisisframing. Cara menganalisis analisiswacana dengan framing adalahmemenuhi setiap komponen framingdengan fakta (bagian naskah) yangterdapat dalam suatu naskah. Komponen framing Gamson dan
Modigliani : Metaphord, Exemplars, catchrases, Depictions, Visual images, Roots, Consequnces, dan Appeals to principals.
Komponen framing Pan & Kosicki : Sintaksis (skema berita ); skip( kelengkapan berita) ; Tematik (detail ; keherensi ; bentuk kalimat; kata ganti ) ; Retoris (leksikon ; grafis ; metafora)
Komponen framing Vn Djik ; Summary ( Headline ; lead) ; Story (situation and commemts ). Situation (episode and background) ; comments( verbal reactions and conclusions ). Episode ( main events and consequences). Background ( contextand history). History ( circumstances and previous events ). Comclussion (expectations and evaluations)
Komponen framing Robert Entman : Problem identification, Causal interpretation, Moral Evaluation : dan Treatment Recommendation.
Komponen framing Ibnu Hamad : Perlakuan atas peristiwa ( Tema yangdiangkat dan Penempatan berita ), Sumber yang dikutip ( Nama dan Atribut sosial sumber ), cara Penyajian ( Pilihan fakta yang dimuat dan struktur penyajian ), dan Simbol yang dipergunakan ( Verbal : kata, istilah , frase; dan non – verbal “ foto, gambar)
7. Ethnographicof speaking(Titschear
2000: 94-99)
Berasal dalam tradisi Antropologi yangmelihat bahwa penggunaan symbolkomunikasi dan cara komunikasi itu terkaitdengan budaya. Pendekatan terhadapmasalahnya menggambungkan teoriantropologi dengan lingustik untukkomunikasi. Tujuan : untuk melihat polainteraksi komunikasi antar partisipan sesuaikonteks, tempat dan waktu. Untukmenggambarkan siapa diantara partisipanberperan apa.
Mengamati pola interaksi yang terjadidilapangan untuk melihat siapa diantarapartisipan berperan apa. Menganalisisrekaman (lebih mudah bila dalam bentukfilm) suatu interaksi komunikasi melaluikomponen- komponen S (seting, scene),P (particpants), E (ends, goal, purpose),A (act sequence), K(key, tone, manner) I(instrumentalities) norms (belief), Genre(textual categories ).
8 GeoundedTheory(Tistsher,2000 : 74-89)
Grounded Theory (GT) dalam analisis teksmencoba mebangun konsep atau kategoriberdasarkan data dari teks. Penggunaan GTuntuk analisis teks mencoba
Memperhatikan bagian demi bagiandariii teks untuk menemukan sedikitnyasepuluh kategori konsep (codingfamilies) antara lain c-families (causes,
27
mengonseptualisasi asumsi–asumsi basisdata
consequences), rocess familiesstages,phases, duration), culture families(norms, values, socially sharesattitudes)..
9 Symlog (Titscher,2000:136-143)
System for multiple Observation of Group (Symlog) menganalisis tindakan komunikasisuatu kelompok dengan mengamati tiga level: prilaku verbal dan nonverbal, ide yangmuncul selama komunikasi, dan nilai (prokontra) saat berkomunikas
Menganalisis tujuh aspek dari wacana :waktu interaksi, nama actor, namaalamat, bahasa simpel sebagaikomentar atas perilaku/ide, nilai yangdieksperesikan pelaku (pro–kontra),catatan atas prilaku/ide actor dalamruang ketika berinteraksi dalamkelompok, dan alokasi dari salah satuide tentang diri, orang lain, kelompok,situasi, masyarakat, dan fantasi
Berbeda dari penerapan analisis naskah sintagmatis yang
mengeksplisitkan makna intristik sebuah naskah kalimat demi kalimat
maka penerapan analisis metode-metode paradigmatik adalah dengan
cara menemukan bukti-bukti dalam naskah atau menunjukkan bagian-
bagian dari naskah sebagai temuan data untuk menjawab permasalahan
penelitian. Untuk itu, peneliti mencari tanda (signs) yang relevan dengan
pertanyaan penelitian.
2.1.7 Tipe Sintagmatis
Anang Hermawan dalam (http://abunavis.wordpress.com)
menjelaskan tanpa petunjuk teknis yang memungkinkan penggiringan
interprestasi kea rah penggalian makna atau gagasan dominan dalam teks,
tidak terbatasnya tanda yang ada di dalam teks dapat menyebabkan
sebuah penafsiran larut dalam problem unlimited semiosis. Sebuah tanda
memang dapat dimaknai secara beragam, dan tak jarang meninggalkan
petunjuk yang sifatnya multitafsir. Dalam bahasa seorang penganut utama
Saussure, Roland Bathers, kemungkinan multitafsir dari tanda ini
28
disebutnya polisemy, yakni sifat ambigu dari penanda dan kemungkinan
yang diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterprestasikan. Untuk
menghindari kemungkinan unlimited semiosis itu, dia menyodorkan
beberapa tawaran untuk pemaknaan sintagmatik dan paradigmatik teks.
Peneliti memilih pemaknaan melalui analisis sintagmatik.
Analisis sintagmatis mempertimbangkan keberadaan teks dalam
kaitannya dengan dimensi waktu. Sebuah sintagma ibarat suatu rantai,
sehingga analisis sintagmatis berupaya melihat teks sebagai rangkaian
peristiwa yang membentuk sejumlah cerita (narratives).
Pembacaan sintagmatik memperlihatkan bagaimana relasi tanda
yang dikomunikasikan ke dalam struktur tertentu berdasar kaitan waktu
atau berada pada sumbu horizontal. Masing–masing unsur dalam struktur
teks berkedudukan sejajar.
Pertanyaannya adalah, apa saja yang perlu dinilai dalam melihat
struktur teks sejajar secara sintagmatis? Dalam upaya menjelaskan relasi
sintagmatis ini, penulis mengadosi satu tipe structural Bathes yakni
anchorage (penambat) beserta tiga tipe structural yang lain disajikan
Andrew Tolson, yakni argument, montage, dan narrative.
Ketiga tipe tersebut dapat dilibatkan bersama dan disesuaikan
penggunaannya dalam bacaan terhadap bahasa media.
Istilah anchorage awalnya diperkenalkan oleh Bathes untuk
menunjuk penggunaan tanda verbal tertentu yang mempunyai peran
sebagai penunjuk utama makna. Dalam berita, boleh dikatakan bahwa
judul berita adalah bentuk paling sederhana dari anchorage mempunyai
29
posisi yang paling berkuasa dalam relasinya dengan tanda- tanda lain
yang muncul dalam teks sejauh pengunaannya menjadi ‘ kata terakhir’.
Dengan demikian terdapat semacam hirarki tanda dalam teks,
beberapa tanda lebih berarti dibandingkan yang lain. Sebagai kesatuan
tanda verbal, pada judul berita mampu menciptakan pernyataan yang
bersifat otoritatif, sementara tanda-tanda lain hanya sekedar memberikan
dukungan atau keterangan. Barthes menyatakan bahwa anchorage ini
berfungsi sebagai denomination (penanaman), yang membantu pembaca
untuk meletakkannya secara akurat dalam pengalaman masing-masing.
Tipe sintagmatis berikutnya adalah argument. Suatu argument boleh
jadi diungkapkan dalam sebuah proposisi maupun serangkaian proposisi
tentang sesuatu hal dan berupaya untuk membujuk atau meyakinkan
pembaca bahwa proposisi benar adanya. Sebagai gejala kejiwaan,
proposisi merupakan isi konsep mental yang masih relatif kasar yang akan
melahirkan statemen. Pendapat lain menggantikan proposisi sebagai
perwujudan ekspresi dalam bentuk kalimat yang bisa benar namun juga
bisa salah. Proposisi menjadi petunjuk penting untuk menggambarkan
konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi dari teks (berita).
Menurut van Zoest, keterpautan antarposisi ini diatur oleh suatu ‘
hukum’ yang tersirat, yakni jalinan logis yang bersama-sama membentuk
argument. Argument yang besar merupakan tema dari isi teks.
Kebenarannya bersifat intern karena logikanya tergantuk pada keterpautan
antarposisi. Sementara di bagian lain, kebenaran proposisi bersifat
30
ekstern, karena menghadapkannya pada semacam tes empirik yakni
kenyataan yang tengah dipresentasikan.
Dalam istilah lain, proposisi dapat juga disebut sebagai’ klaim’.
Argumen yang disajikan melalui satu atau lebih proposisi mempunyai
kemungkinan untuk didukung oleh dua unsur yaitu bukti (atau ‘data’) dan
jusifikasi (atau ‘garansi’ ). Struktur sintagama sebuah argumen boleh jadi
bersifat serial, yakni ketika satu proposisi mengikuti proposisi lain ; tetapi
dapat juga bersifat hierarkis di mana masing-masing proposisi selalu
menyandarkan pada sejumlah pernyataan yang sifatnya mendukung
proposisi utama. Agar memperoleh derajat kepercayaan yang baik, dalam
teks berita statmen pendukung diperoleh dengan menerakan kutipan dari
sumber berita. Soal kepercayaan terhadap statemen pendukung ini
kemudian dapat dipilah menjadi dua, yakni kepercayaan yang bersifat
empirik dan kepercayaan yang sifatnya konseptual. Yang pertama
berhubungan dengan sejauh mana fakta-fakta yang dipresentasikan dalam
teks teruji kebenarannya, dan yang kedua berhubungan masuk akalnya
proposisi yang dibangun dalam kalimat.
Setelah argument, tipe sintagmatis berikutnya yang dapat dimaknai
adalah montage. Tipe ini menunjuk pada penyatuan atau penyusunan item
tanda yang berbeda hingga membentuk sebuah teks. Dapat dikatakan
bahwa montage merupakan praktik transformasi material (bahan berita)
menjadi sebentuk komposisi. Montage merupakan perbandingan jenis
huruf, penyuntingan dan sebagainya yang akhirnya ditetapkan dalam teks.
Kata, kalimat, paragraf, bahkan tanda visual (foto/gambar) yang pada
31
awalnya partial diolah dan disatukan sehingga bersama-sama membentuk
teks secara keseluruhan. Dalam keterkaitannya dengan argument,
montage berperan penting melakukan penjajaran (juxtaposition) ; montage
dapat berfungsi memberi penekanan persamaan konseptual dengan
argumen. Namun acapkali tanda visual sekadar digunakan untuk memberi
efek estetik semata.
Tipe sintagmatis terakhir adalah narrative. Tipe ini berhubungan
dengan bagaimana teknik penceritaan berlangsung dalam teks. Berbeda
halnya dengan montage yang menekankan aspek komposisi, narrative
berurusan dengan penataan tanda-tanda, bukan dalam alur logis,
melainkan pada susunan kronologisnya’.
Pengertian ini untuk menegaskan bahwa tanda-tanda kunci dalam
narrative tidaklah mempunyai status sebagai proposisi, tapi hanya sekadar
‘peristiwa’. Narrative acapkali berperan mengembangkan klimaks cerita.
Pada tingkat ini terdapat semacam kerja seni untuk menghasilkan
ketertarikan pembaca atas rangkaian kronologis dari peristiwa. Dalam jenis
berita tertentu, seringkali unsur ini terlihat dari monologue interior,
semacam fiksasi penulisan dengan mengimbuhkan ekspresi serta peranan
subjek dalam cerita. Tinjauan terhadap aspek naratif ini secara singkat
dapat dipilah dalam dua bagian penting yakni cerita (historie) dan wacana
(discourse). Cerita adalah peristiwa-peristiwa yang terangkai secara
temporal dan kausal atau menjadi bagian unsur ‘what ‘ dari naratif.
Sementara wacana dalam konteks naratif adalah ekspresi atau sarana
32
untuk mengomunikasikan cerita kepada pembaca atau unsur ‘how ‘ dari
teks.
2.1.8 KajianTerdahulu yang Relevan
Beberapa penelitian sebelumnya terkait analisis wacana telah
dilakukan. Diantaranya oleh Darwin Effendi dalam tesisnya berjudul
”Kohesi dan Koherensi dalam Wacana Opini Koran Sumatera Ekspres
dan Sriwijaya Post”. Dalam penelitiannya, mahasiswa Pascasarjana
Universitas PGRI Palembang ini mendeskripsikan kekohesifan (dilihat dari
penanda kohesi) wacana opini Koran Sumatera Ekspres dan Sriwijaya
Post serta kekoherensian (hubungan semantis antarkalimat/
antarparagraf) wacana opini Koran Sumatera Ekspres dan Sriwijaya Post.
Begitu juga Rosmaini dari Universitas Pendidikan Indonesia meneliti
”Analisis Semantik Ragam Bahasa Politik dalam Media Cetak”. Dalam
tesisnya, Rosmaini melakukan penelitian pada media cetak khusus
mengenai semantik. Untuk menganalisis permasalahan tersebut diambil 51
data ragam bahasa politik dari surat kabar Kompas dan Republika. Metode
yang digunakan dalam menganalisis masalah tersebut, yaitu dengan
menelaah makna kata dan kalimat yang dikumpulkan dengan bantuan
beberapa kamus menentukan ciri semantiknya, dan menginterprestasikan
makna berdasarlan konteks kalimatnya.
Berbeda dengan dua penelitian sebelumnya, peneliti meneliti
bahasa dalam keterangan foto khususnya pada analisis sintagmatis.