BAB II ACUAN TEORITIK 2.1. Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 ... filetersedianya redaktur bahasa dalam...

26
BAB II ACUAN TEORITIK 2.1. Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 Bahasa Jurnalistik Bahasa jurnalistik memiliki karater yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan yang diberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features. Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000:114) Penulisan jurnalisme damai, terlihat dari pilihan kata yang lebih cenderung menggunakan kata-kata yang berdampak menyejukkan dan membuat damai. Yang ditonjolkan adalah bagaimana dengan berita yang dibuat, suasana kemudian bisa menjadi tenang dan tidak bergejolak. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama --ada yang menyebut laporan utama, forum utama-- akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun demikian, sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki ragam bahasa Indonesia baku dalam

Transcript of BAB II ACUAN TEORITIK 2.1. Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 ... filetersedianya redaktur bahasa dalam...

BAB II

ACUAN TEORITIK

2.1. Teori-Teori yang Relevan

2.1.1 Bahasa Jurnalistik

Bahasa jurnalistik memiliki karater yang berbeda-beda berdasarkan

jenis tulisan yang diberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk

menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan

dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features. Bahkan bahasa

jurnalistik pun sekarang memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam

penulisan jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000:114)

Penulisan jurnalisme damai, terlihat dari pilihan kata yang lebih

cenderung menggunakan kata-kata yang berdampak menyejukkan dan

membuat damai. Yang ditonjolkan adalah bagaimana dengan berita yang

dibuat, suasana kemudian bisa menjadi tenang dan tidak bergejolak.

Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama --ada

yang menyebut laporan utama, forum utama-- akan berbeda dengan

bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam

menulis banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik bahasa

jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan,

dan sumber (bahan tulisan).

Namun demikian, sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak

meninggalkan kaidah yang dimiliki ragam bahasa Indonesia baku dalam

9

hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000 :20).

Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu)

maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat,

sederhana, lancar, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam

bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa.

Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam

bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan

masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain

bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Atau

mudah dan bisa dipahami oleh banyak orang. Hal ini dikarenakan tidak

setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh

karena itu, bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk

menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca

secepatnya dengan mengutamakan daya komunikasinya.

2.1.2 Pemakaian Bahasa Jurnalistik

Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan bahasa, pikiran,

ideologi, dan media masa cetak di Indonesia. Anderson (1966, 1984:85)

meneliti pengaruh bahasa dan budaya Belanda serta Jawa dalam

perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa

Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang feodalis. Adhiyasasti

(2006:108) tentang prilaku pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah

seperti yang termanifestasikan dalam tajuk rencana.

10

Penelitian Eryanto (2001:90) tentang analisis teks di media massa.

Dari puluhan penelitian yang breakout dengan pers, ternyata belum

terdapat penelitian yang secara khusus memformulasikan karateristik

(ideal) bahasa jurnalistik berdasarkan induksi karateristik bahasa pers yang

termanifestasikan dalam kata, kalimat dan wacana.

Sejak tahun 1980-an diketahui bahasa Indonesia di media massa

menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Penyebab wartawan

melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya

penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan

kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan

lupa, dan pendidikan yang belum baik.

Faktor diluar penulis menyebabkan wartawan melakukan kesalahan

dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu

menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak

tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar.

Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik

praktis, masih perlu dimunculkan petunjuk akademis maupun teknis

pemakaian bahasa jurnalistik.

Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan

dengan kaidah bahasa Indonesia baku , yaitu:

1. Penyimpangan morfologis. Penyimpangan ini sering terjadi dijumpai

pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu

pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks

pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita

11

sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima

Perampok Nasabah Bank. Israel Tembak Pesawat Mata-Mata.

Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.

2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau

struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan

pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh:

Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat.

Seharusnya judul tersebut diubah menjadi Hasil Kerajinan Desa

Kasongan Banyak Diekspor ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai

di koran lokal maupun koran nasional.

3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan

kesopanan (eufimisme) atau meminimalkan dampak buruk

pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa oleh Oknum Kopasus itu

Merupakan Pil Pahit Bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti

Kejahatan. Dalam konflik Dayak-Madura, jelas bahwa yang bertikai

adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjukkan kedua

etnis secara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali

kosakata yang diekspos merupakan kosakata yang menekan seperti

GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan

frustasi, golongan anti pembangunan, dan lain-lain. Bahkan di era

kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosa

kata yang bias mengandung makna semakin banyak.

4. Kesalahaan ejaan. Kesalahaan ini hampir setiap kali dijumpai dalam

surat kabar,. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata,

12

seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis

jadual, sinkron ditulis singkron, dan lain-lain.

Meskipun bahasa jurnalistik itu disebut sebagai ragam tersendiri,

tentu tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa

Indonesia.

2.1.3 Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik

Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa seperti

yang terlihat dalam surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian

itu, bahasa jurnalistik itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat

ukuran intelektual minimal. Menurut Badudu (1988:65) bahasa jurnalistik

memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat sederhana lugas, menarik,

lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa

jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat

yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu, beberapa ciri

yang harus dimiliki bahasa jurnalistik diantaranya sebagai berikut.

1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang

panjang dan bertele-tele.

2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu

menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan

pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 W + 1 H,

membuang kata- kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.

3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat

tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit,

13

dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian

kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)

4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian

atau makna informasi secara langsung dengan menggunakan bahasa

yang berbunga-bunga.

5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup,

tumbuh, berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.

6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat

dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak

menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda,

menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh

karena itu, seyogyanya bahasa jurnalis menggunakan kata–kata yang

bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih menjumpai judul

berita: Tim Ferrari Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago

Merah Melahap Mall Termewah di Kawasan Jakarta. Polisi

Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.

Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan

berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan yang tidak

pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan,

barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan

ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga

selera pembacanya.

Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan

dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972:113) sebagai

14

fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi refrensial, yaitu wacana

yang menyajikan fakta–fakta. Namun persoalan muncul bagaimana cara

mengkontruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta

yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993:85) disebut retorika

tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa sebagai alat untuk mengkontruksi

teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik.

2.1.4 Keterangan Foto

Salah satu karya jurnalistik adalah foto yang dihasilkan fotografer.

Sebuah foto bisa berdiri sendiri atau terkait dengan berita. Bagaimanapun

posisinya, sebuah foto menurut Ed Zoelverdi (1984:9), dilengkapi dengan

keterangan foto. “Keterampilan mengawinkan foto dengan kata-kata

merupakan prasyarat khas bagi Mat Kodak di persuratkabaran.

Keterangan foto di media cetak sesungguhnya jauh lebih lebih penting dari

apa yang pernah dibayangkan kalangan awam.“

Sebab menurut Ed Zoelverdi, tugas utamanya adalah

menyempurnakan pesan foto, dengan menambahkan suatu matra kepada

pesan yang tampak pada gambar, termasuk nama, keterangan tempat dan

informasi penting lainnya. Dengan begitu, keterangan foto mendukung

komunikasi yang mungkin kurang jelas pada foto tersebut.

Keterangan foto berasal dari bahasa Inggris caption, cutline,

underline serta legend. Menurut Ed Zoelverdi, yang dimaksud caption

awalnya judul yang dipasang di atas sebuah foto atau gambar. Tapi secara

luas istilah itu sudah terlanjur dipakai untuk menyebut keterangan di bawah

15

foto. Sedangkan istilah legend lebih kena sebagai sebutan untuk judul foto,

sekaligus menunjukkan tentang tulisan yang menerangkan suatu foto.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2003:1293),

kata caption ditemukan dalam kata dan ungkapan bahasa asing. Artinya,

(1) judul ; (2) uraian di bawah gambar; (3) teks pada film.

Di dalam kamus istilah Buku Mat Kodak, Melihat untuk Sejuta Mata

(Zolverdi, 1984:110), caption diartikan, kata-kata yang dicetak mengiringi

sebuah foto atau ilustrasi visual lainnya untuk menjelaskan.

Sebuah keterangan foto, menurut Rasdian, setidaknya mengandung

unsur 5 W + 1 H layaknya sebuah berita. Unsur-unsur itu, Who (siapakah),

What (apakah), When (kapan), Where (dimana), Why (mengapa), dan How

(bagaimana). “Memang setiap foto jurnalistik memerlukan keterangan,

biarpun hanya berisi nama seseorang. Namun idealnya keterangan foto itu

berisi 5W + 1H. Dengan demikian seorang fotografer bisa menjelaskan

kondisi yang tidak tampil digambar sekaligus melengkapi keterangan dan

konteksnya.”

Menurutnya terkadang memang ada juga yang menambahkan

sejarah di belakang peristiwa dalam foto yang tentu kecil kemungkinan

bisa muncul. Jadi, keteragan foto menjelaskan sedetail dan seakurat

mungkin informasi dari sebuah foto. Untuk itu ada petunjuk khusus untuk

membuat keterangan foto. Keterangan foto harus seinformatif mungkin,

jangan malah membingungkan pembaca apalagi menyesatkan.

Diakuinya, memang melalui sebuah foto ribuan makna dan fakta

bisa diwakili tanpa kata. Hanya saja, itu bisa tak berarti bila tak didukung

16

penulisan keterangan foto yang benar. Diperlukan kemampuan menulis

keterangan foto yang baik. Salah-salah menulis keterangan foto bisa

mengakibatkan hilangnya selera orang membaca seluruh tulisan.

Bahaya ini antaranya diingatkan secara khusus Floyd K. Baskette

and Jack Z. Sissor dalam buku The Art of Editing dalam Zoelverdi

(1984:73), yang sekaligus memberi pegangan membuat keterangan foto.

Untuk membuat keterangan foto, kita harus melihat foto yang

bersangkutan dalam bentuk final. Maksudnya, keterangan foto hanya

layak dibuat ketika foto itu siap turun ke percetakan. Bisa saja terjadi ada

bagian foto yang di-cropping, justru bagian itu yang disebut keterangannya.

Ketika membuat keterangan foto, kita harus menyadari bahwa

pembaca bukan terdiri dari kumpulan orang bodoh. Itu sebabnya, tidak

perlu disebut lagi apa yang sudah nyata dalam foto. Atau sampai

menyebut seperti tampak dalam gambar, atau seperti yang ditunjukkan

dalam foto.

Jangan menipu pembaca. Sebab mereka jauh lebih kritis, misalnya,

mengenai foto yang disiarkan itu barang baru atau bukan. Terus terang

saja menyebut ungkapan dan dimana foto itu dibuat.

Opini bukan barang halal dalam keterangan foto. Misalnya, sampai

menyimpulkan seseorang yang sedang linglung, sedang bermasalah

dengan bau atau sedang letih. Pembaca bisa saja mengajukan

pertanyaan, apa betul begitu. Kalau memang fotografernya tahu persis tak

masalah.

17

Lebih baik gunakan petunjuk dari kiri saja dari pada kiri ke kanan.

Lebih ringkas. Atau gunakan saja cara lain, misalnya dengan menyebutkan

ciri pakaian subjek, berbaju putih, dan sebagainya. Akan halnya seorang

presiden di tengah keramaian rasanya pembaca tak perlu diberitahu lagi.

Sebaiknya gunakan istilah terperinci. Itu lebih jernih dibanding

sekadar menyebut pengertian garis besar. Misalnya, lelaki 70 tahun, tentu

lebih informatif daripada menyebutnya sebagai lelaki tua, dan seterusnya.

Harus dilakukan pemeriksaan yang cermat mengenai akurasi

keterangan foto. Terutama menyangkut nama orang atau nama tempat,

harus dilakukan cek berulang-ulang apakah sudah dapat atau tidak. Baik

foto itu berasal dari para Mat Kodak sendiri, apalagi kalau dibeli dari orang

luar. Sebab bila sampai kelliru, bukan Mat Kodak yang ditunding

--sekalipun namanya dicantumkan dibawah foto-- melainkan koran itu

sendiri yang kena getahnya.

Bila foto memang dimaksudkan sebagai pendamping tulisan, maka

keterangan di bawahnya jangan sampai mengulangi apa yang sudah

termaktub di dalam tulisan. Itu berarti kita wajib menjaga porsi peranan

masing–masing secara imbang, dan tidak menyuruh keterangan foto

“berkelahi” atau saling rebutan dengan jalannya cerita secara keseluruhan.

Jadi sebaiknya diusahakan agar keterangan foto bisa memancing selera

baca orang untuk dengan lahap menikmati cerita lengkap yang

didampinginya.

2.1.5 Analisis Wacana

18

Untuk memahami perkembangan analisis wacana (discourse

analysis) dalam ilmu sebaiknya kita pahami terlebih dahulu hubungan

antara teori wacana (theories of discourse) dan teori komunikasi (theories

of communications). Hal demikian dikarenakan berbicara analisis wacana

tidak dapat dilepaskan dari perbincangan tentang pengaruh teori wacana

terhadap teori komunikasi.

Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori

komunikasi berasal dari James P. Gee (2005:26). Gee membedakan

discourse kedalam dua jenis : Pertama, “discourse”(d kecil) yang melihat

bagaimana bahasa yang digunakan para tempatnya (“on site”) untuk

memerankan kegiatan, pandangan dan identitas atas dasar-dasar

linguistik. Kedua, “Discourse” (D besar ) yang merangkaikan unsur lingustik

pada “discourse” (dengan d kecil ) bersama-sama unsur nonlinguistic

(nonlanguage “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan

identitas. Bentuk non-language “stuff” ini dapat berupa kepentingan

ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non- language

“stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan,

kepercayaan, penilaian satu komunikator dari komunikator lainnya dalam

mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain.

Mengingat bahwa setiap tindakan komunikasi senantiasa

mengandung kepentingan, apalagi komunikasi melalui media massa

seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka layaklah jika

dikatakan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah suatu Discourse

(dengan D besar). Dalam pandangan communication as Discourse ini,

19

komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau

“kenyataan kedua” dalam bentuk wacana (discourse) dari “kenyataan lain”

atau “kenyataan kedua” dalam bentuk wacana (realitas kedua) itu adalah

sebuah proses yang disebut kontruksi realitas atau construction of reality.

Seperti tampak dalam Gambar 1, berdasarkan sebuah penelitian

(Hamad, 2004), proses konstruksi realitas oleh pelaku (2) dalam media

massa dimulai dengan adanya realitas pertama berupa keadaan, benda,

pikiran, orang, peristiwa, dan sebagainya (1). Secara umum, sistem

komunikasi adalah faktor yang mempengaruhi sang pelaku dalam

membuat wacana. Dalam sistem komunikasi liberitarian, wacana yang

terbentuk akan berbeda dalam sistem komunikasi yang ototarian. Secara

lebih khusus, dinamika internal dan eksternal (4) yang mengenai diri si

pelaku kontruksi tentu saja mempengaruhi proses kontruksi. Ini

menunjukkan bahwa pembentukan wacana tidak berada dalam ruang

vakum. Pengaruh itu datang dari pribadi pembuat dalam bentuk

kepentingan idealis, ideologis, dan sebagainya maupun kepentingan

eksternal dari khalayak sasaran sebagai pasar maupun sponsor (5).

20

Gambar 1

Gambar Proses Konstruksi Realitas dalam Pembentuk Discourse

Sumber: Hamad, 2004

Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai

suatu strategi tertentu (6). Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan

Realitas Pertama : Keadaan, Benda, Pikiran, Orang, Peristiwa,…(1)

Dinamika Internal dan Eksternal

Pelaku Konstruksi (4)

Sistem Komunikasi

Yang berlaku

(3)

Strategi

Mengkontruksi

(6)

Proses

Konstruksi

Realitas oleh

Pelaku

(2)

Faktor Internal :

Ideologis, Idealis..

Faktor Eksternal:

Pasar, sponsor

(5)

Fungsi Bahasa

Strategi

Framing

Strategi

Priming

(7)Discourse atau Realitas yang

Dikonstruksikan ( Text, Talk, Act dan

Artifact) (8)(8)

Makna, Citra, dan Kepentingan di Balik Wacana (9)

21

internal, strategi konstruksi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata

hingga paragraf ; pilihan fakta yang akan dimasuksudkan/dikeluarkan dari

wacana yang populer disebut strategi framing, dan pilihan teknik

menampilkan wacana di depan public atau strategi priming (7).

Selanjutnya, hasil dari proses ini adalah wacana (discourse ) atau

realitas yang dikontruksikan (8) berupa tulisan (text), ucapan (talk),

tindakan(act) atau peninggalan (artifact). Oleh karena discourse yang

terbentuk ini telah dipengaruhi oleh berbagai faktor, kita dapat mengatakan

bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta

kepentingan yang sedang diperjuangkan (9).

Dalam kenyataannya, wujud dari bentuk wacana itu dapat dilihat

dalam beragam buah karya si pembuat wacana:

1. Text (wacana dalam wujud tulisan/grafis ) antara lain dalam wujud

berita, features, artikel opini, cerpen, novel, dsb.

2. Talk (wacana dalam wujud ucapan), antara lain dalam wujud rekaman

wawancara, obrolan, pidato,dsb.

3. Act (wacana dalam wujud tindakan ) antara lain dalam wujud lakon

drama, tarian fil, defile, demontrasi,dsb.

4. Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud bangunan,

lanskap, fashion, puing, dsb.

Keberadaan bermacam bentuk wacana dapat kita temukan dalam

media cetak (seperti novel), media audio (seperti pidato), media visual

(seperti lukisan), media audiovisual (seperti film) di alam (seperti lanskap

dan bangunan), atau discourse/Discourse yang dimediasikan (seperti

22

drama yang difilmkan). Jadi, tak selamanya discourse/Discourse itu berada

dalam bentuk media massa, apalagi hanya media cetak.

Kondisi itulah yang menyebabkan metode penelitian komunikasi

mengalami perkembangan atau penambahan dengan analisis wacana

(discourse analysis). Hal-ikhwal yang berkenaan dengan isi komunikasi

(content of communication) tidak lagi hanya dapat dijelaskan melalui

metode analisis isi (content analysis) melainkan juga mesti memakai

analisis wacana (discourse analysis).

2.1.6 Perkembangan dan Ragam Metode

Kapankan analisis wacana mulai merambahi kajian komunikasi?

Dalam tinjuan penulis, analisis wacana ini mulai marak dalam ilmu

komunikasi termasuk di Indonesia adalah pada dekade 90-an. Kehadiran

buku- buku yang berkenaan dengan wacana, memperkuat metode dan

pelaksanaan riset dengan memakai analisis wacana baik sebagai analisis

naskah maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).

Namun demikian, cikal bakal pemikiran yang mengantar tibanya

analisis wacana (discourse analysis) sesungguhnya diawali oleh

Krippendorff (1980). Ia berpendapat bahwa analisis isi kuantitatif harus

diperkuat dengan kajian tentang indeks dan representasi lingustik.

Kemudian, Berger (1982) menyediakan teknik-teknik analisis media (media

analysis techniques) yang sama sekali beda dari analisis isi dalam tradisi

kuantitatif. Ia membahas empat teknik analisis media: semiological

analysis, Marxist analysis, psychoanalityc critsm, dan sociological.

23

Terdapat bermacam-macam metode analisis wacana yang dapat

dipergunakan dan pilih.

1. Berdasarkan penggunaan metode, ada diantara mereka yang memakai :

(a) analisis wacana sintagmatis (lihat Tabel 1), yang menganalisis

wacana dengan metode kebahasaan (syntaxis apporoach) yaitu peneliti

mengekplorasi kalimat demi kalimat untuk menarik kesimpulan; dan (b)

analisis wacana paradigmatik, yang menganalisis wacana dengan

memperhatikan tanda-tanda (signs) tertentu dalam sebuah wacana

untuk menemukan makna keseluruhan;

2. Berdasarkan bentuk analisis, ada diantara mereka yang menggunakan:

(a) analisis wacana linguistik yang membaca suatu naskah dengan

memakai salah satu metode analisis wacana (sintaksis ataupun

paradigmatis ); dan (b) analisis wacana sosial, yang menganalisis

wacana dengan memakai satu/lebih metode analisis wacana (sintaksis

ataupun paradigmatic), menggunakan perspektif teori tertentu, dan

menerapkan paradigma penelitian tertentu (positivis,post positivis,

kritikal, konstruktivitis dan partisipatoris).

3. Berdasarkan level analisis, ada diantara mereka yang menerapkan: (a)

analisis pada level naskah, baik di dalam bentuk text, talks, act dan

artifact; baik secara sintagmatis ataupun secara paradigmatis ; dan (b)

analisis mulitilevel yang dikenal dengan analisis ataupun wacana kritis

(critical discourse analysis) yang menganalisis wacana pada level

naskah beserta konteks dan historinya.

24

4. Berdasarkan bentuk (wujud) wacana, ada di antara mereka yang

melakukan analisis wacana terhadap wacana dalam bentuk tulisan,

ucapan, tindakan, peninggalan (jejak) ; baik yang dimuat dalam media

maupun di alam sebenarnya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis wacana

sintagmatis (lihat table 1), yang menganalisis wacana dengan metode

kebahasaan (syntaxis approach) yaitu peneliti mengeksplorasi kalimat

demi kalimat untuk menarik kesimpulan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis wacana

sintagmatis (lihat table 1), yang menganalisis wacana dengan metode

kebahasaan (syntaxis approach) yaitu peneliti mengeksplorasi kalimat

demi kalimat untuk menarik kesimpulan.

Table 1. Ragam Metode Analisis Naskah Sintagmatis

No NamaMetode

Dimensi Teoritis (sebuah abstraksi) Penggunaan sebagai Metode Analisiswacana

1 MCD

(Titscher,

2000;105-

109)

Membership Categorization DeviceAnalysis atau MCD saja adalah metodeanalisis wacana yang bertujuan untukmemehami kapan dan bagaimana paraanggota suatu masyarakat membuatsebuah deskripsi supaya segera setelahitu diketahui mekanisme yang digunakanuntuk memproduksi deskripsi tersebutsecara pantas dan cocok.

Dimulai dengan satu dua kalimatyang secara gramatikal berhubungan(misalnya, kalimat majemuk) dalamsebuah teks; guna dianalisis strukturdan aturannya yang berlaku dalamkalimat tersebut, yang lazimnyamencakup aspek-aspek indeksial(fenomena yang dibicarakan),refleksifitas (fakta yang terkandung),dan demonstrasi (aturan yangdipakai).

2 CA(Titscher,2000;109-114)

Conversation Analysis (CA) bertujuanmenemukan prinsip dan prosedur yangdipergunakan partisapan dalammemproduksi stuktur dan aturan darisuatu situasi komunikasi.

Menganalisis suatu percakapanantara dua orang attau lebih denganmemperhatikan cara merekaberinteraksi seperti sikap salingbergantian berbicara, situasikomunikasi yang terjadi, dsb.

3 FP(Titscher,2000:171-184)

Functional Pragmatic (FP) membahasbentuk percakapan (speech action) danprilaku percakapan (speech act) untukmenemukan tujuan (purpose) daripartisipan sebuah percakapan.

Memperhatikan prosedur dan pola(pattern) percakapan. Proseduradalah unit terkecil dari tindakanpercakapan seperti saya, di sini,sekarang; Pola percakapan adalahpotensi yang mendukung padatindakan percakapan, seperti settingtugas, pemenuhan tugas, penalaranyang efektif.

25

4 DTA(Titscher,2000:185-197)

Distinction Theory Approach (DTA)melihat bahwa komunikasi terdiri dari tigaunsure: informasi, ucapan/penyampaian(utterance) dan pemahaman. DTAmenganalisis aspek- aspek utterance inibaik segi eksplisitnya maupun segiimplisitnya.

Menganalisis aspek pembeda bagianluar (explicit distinction) dan aspekpembeda bagian dalam (implicitdistinction) suatu naskah denganmenemukan konsep- konsep sertamemberinya makna. Kemudianmembandingkan aspek eksplisit danimplicit; menganalisisnya; danmenarik kesimpulan.

5 ObjectiveHermeneutika( Titscher,2000:198-212)

Metode ini berusaha memahami maknasebagi sesuatu yang bersifat obyektifberdasarkan struktur social (as anobjective social structure) yang munculsecara interaktif. Makna adalah hasilinteraksi mutual, walaupun parapelakunya tidak daptat menegaskannya,sehingga diperlukan pihak luar untukmenelitinya.

Memperhatikan aspek- aspek konteksinternal dan eksternal dari sebuahwacana, melakukan interprestasiekstensif, interprestasi menyeluruh,dan mengajukan hipotesis individualtentang kepentingan ekonomi paraactor. Analisis dimulai dengan yangbersifat sekuensial, kemudiandilanjutkan dengan analisis rinci.

Adapun analisis wacana paradigma terdapat sejumlah pilihan

metode seperti tampak dalam Tabel 2.

Tabel 2. Ragam Metode Analisis Naskah Paradigmatik

No Nama Metode

Dimensi Teoritis (Sebuah abstraksi) Penggunaan sebagai MetodeAnalisis Wacana

1 Semiotika (Berger,1982)

Semiotika adalah ilmu yang mempelajaritanda (sign), makna tanda, dan cara kerjatanda. Menurut semiotika strukturalis tandadibagi menjadi kedalam tiga jenis : ikon,indeks, symbol. Menurut semiotika poststrukturalis, sebuah naskah memiliki“gagasan inti” atau benang merah”

Secara strukturalis, menemukan tanda-tanda dalam suatu naskah danmenafsirkan sesuai dengan perpespektifteori yang dipergunakan dalampenelitian yang sedang dilakukan.Secara post strukturalis menangkap“benang merah” dari naskah.

2. AnalisisMarxis (Berger,1982)

Bersumber dari teori Marxis, analisis inimelihat realitas sosial sebagai yang penuhdengan petentangan antara kelas sertapertarungan ideologis dan kekuasaan.

Menemukan tanda-tanda dalam suatunaskah dan menafsirkannya sebagaijalan untuk mengetahui siapamengekspolatasi siapa serta ideologiapa yang ada dibalik suatu naskah.

3 Psikoanalisis(Berger,1982)

Aliran psikologi Fruedian ; berbicara tentangid, libido; ego, super-egonya dansebagainya. Percaya bahwa senua hal yangdilakukan manusia mencerminkan alambawah sadarnya

Menentukan tanda – tanda dalam suatunaskah dan menafsirkannya gunamenunjukan bahwa tanda – tandatersebut mencerminkan alam bawahsadar si pembuat atau si pemakai tanda

4. AnalisisSosiologis(Berger,1982)

Aliran struktur-fungsional melihat bahwadalam bermasyarakat terdapat pembagiantugas dan fungsi. Setiap individu dalamstruktur sebuah masyarakat memliki statusdan peran masing-masing.

Menemukan tanda – tanda dalam suatunaskah dan menafsirkannya untukmencari siapa yang diberi status danperan apa serta bentuk relasi antarindividu dalam naskah itu.

5. SemiotikaSosial (Haliliday,1993

Semiotika sosial memandang bahwa sebuahnaskah terdiri dari tiga komponen utama:medan wacana (cara pembuat wacanamemperlakukan suatu peritiwa) ; pelibatwacana (sumber yang dikutip atau orang –orang yang dilibatkan beserta atribut sosialmereka dalam suatu wacana), dan sarana

Mengamati suatu naskah untukmenemukan apa medan wacana yangada di sana ; siapa yang menjadi pelibatwacananya, dan bagaimana saranawacananya . kemudian menafsirkannyasesuai perspektif teori yangdipergunakan dalam penelitian yang

26

wacana (cara pembuat wacanamenggunakan bahasa dalammenggambarkan peritiwa).

sedang dilakukan.

6 Analisis Framing (Sobur,2001; Erianto, 2002Hamad, 2004Van Dijk, 1988

Teori framing berbicara tentang seleksi isuyang dimasukkan ke atau dikeluarkan dariwacana. Menurut framing, dalam wacanaberlangsung proses pemilihan fakta manayang mau diangkat, fakta mana dihilangkansama sekali. Wacana menurut framing yangdiisi dengan fakta – fakta pilihan itu.

Terdapat beberapa varian analisisframing. Cara menganalisis analisiswacana dengan framing adalahmemenuhi setiap komponen framingdengan fakta (bagian naskah) yangterdapat dalam suatu naskah. Komponen framing Gamson dan

Modigliani : Metaphord, Exemplars, catchrases, Depictions, Visual images, Roots, Consequnces, dan Appeals to principals.

Komponen framing Pan & Kosicki : Sintaksis (skema berita ); skip( kelengkapan berita) ; Tematik (detail ; keherensi ; bentuk kalimat; kata ganti ) ; Retoris (leksikon ; grafis ; metafora)

Komponen framing Vn Djik ; Summary ( Headline ; lead) ; Story (situation and commemts ). Situation (episode and background) ; comments( verbal reactions and conclusions ). Episode ( main events and consequences). Background ( contextand history). History ( circumstances and previous events ). Comclussion (expectations and evaluations)

Komponen framing Robert Entman : Problem identification, Causal interpretation, Moral Evaluation : dan Treatment Recommendation.

Komponen framing Ibnu Hamad : Perlakuan atas peristiwa ( Tema yangdiangkat dan Penempatan berita ), Sumber yang dikutip ( Nama dan Atribut sosial sumber ), cara Penyajian ( Pilihan fakta yang dimuat dan struktur penyajian ), dan Simbol yang dipergunakan ( Verbal : kata, istilah , frase; dan non – verbal “ foto, gambar)

7. Ethnographicof speaking(Titschear

2000: 94-99)

Berasal dalam tradisi Antropologi yangmelihat bahwa penggunaan symbolkomunikasi dan cara komunikasi itu terkaitdengan budaya. Pendekatan terhadapmasalahnya menggambungkan teoriantropologi dengan lingustik untukkomunikasi. Tujuan : untuk melihat polainteraksi komunikasi antar partisipan sesuaikonteks, tempat dan waktu. Untukmenggambarkan siapa diantara partisipanberperan apa.

Mengamati pola interaksi yang terjadidilapangan untuk melihat siapa diantarapartisipan berperan apa. Menganalisisrekaman (lebih mudah bila dalam bentukfilm) suatu interaksi komunikasi melaluikomponen- komponen S (seting, scene),P (particpants), E (ends, goal, purpose),A (act sequence), K(key, tone, manner) I(instrumentalities) norms (belief), Genre(textual categories ).

8 GeoundedTheory(Tistsher,2000 : 74-89)

Grounded Theory (GT) dalam analisis teksmencoba mebangun konsep atau kategoriberdasarkan data dari teks. Penggunaan GTuntuk analisis teks mencoba

Memperhatikan bagian demi bagiandariii teks untuk menemukan sedikitnyasepuluh kategori konsep (codingfamilies) antara lain c-families (causes,

27

mengonseptualisasi asumsi–asumsi basisdata

consequences), rocess familiesstages,phases, duration), culture families(norms, values, socially sharesattitudes)..

9 Symlog (Titscher,2000:136-143)

System for multiple Observation of Group (Symlog) menganalisis tindakan komunikasisuatu kelompok dengan mengamati tiga level: prilaku verbal dan nonverbal, ide yangmuncul selama komunikasi, dan nilai (prokontra) saat berkomunikas

Menganalisis tujuh aspek dari wacana :waktu interaksi, nama actor, namaalamat, bahasa simpel sebagaikomentar atas perilaku/ide, nilai yangdieksperesikan pelaku (pro–kontra),catatan atas prilaku/ide actor dalamruang ketika berinteraksi dalamkelompok, dan alokasi dari salah satuide tentang diri, orang lain, kelompok,situasi, masyarakat, dan fantasi

Berbeda dari penerapan analisis naskah sintagmatis yang

mengeksplisitkan makna intristik sebuah naskah kalimat demi kalimat

maka penerapan analisis metode-metode paradigmatik adalah dengan

cara menemukan bukti-bukti dalam naskah atau menunjukkan bagian-

bagian dari naskah sebagai temuan data untuk menjawab permasalahan

penelitian. Untuk itu, peneliti mencari tanda (signs) yang relevan dengan

pertanyaan penelitian.

2.1.7 Tipe Sintagmatis

Anang Hermawan dalam (http://abunavis.wordpress.com)

menjelaskan tanpa petunjuk teknis yang memungkinkan penggiringan

interprestasi kea rah penggalian makna atau gagasan dominan dalam teks,

tidak terbatasnya tanda yang ada di dalam teks dapat menyebabkan

sebuah penafsiran larut dalam problem unlimited semiosis. Sebuah tanda

memang dapat dimaknai secara beragam, dan tak jarang meninggalkan

petunjuk yang sifatnya multitafsir. Dalam bahasa seorang penganut utama

Saussure, Roland Bathers, kemungkinan multitafsir dari tanda ini

28

disebutnya polisemy, yakni sifat ambigu dari penanda dan kemungkinan

yang diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterprestasikan. Untuk

menghindari kemungkinan unlimited semiosis itu, dia menyodorkan

beberapa tawaran untuk pemaknaan sintagmatik dan paradigmatik teks.

Peneliti memilih pemaknaan melalui analisis sintagmatik.

Analisis sintagmatis mempertimbangkan keberadaan teks dalam

kaitannya dengan dimensi waktu. Sebuah sintagma ibarat suatu rantai,

sehingga analisis sintagmatis berupaya melihat teks sebagai rangkaian

peristiwa yang membentuk sejumlah cerita (narratives).

Pembacaan sintagmatik memperlihatkan bagaimana relasi tanda

yang dikomunikasikan ke dalam struktur tertentu berdasar kaitan waktu

atau berada pada sumbu horizontal. Masing–masing unsur dalam struktur

teks berkedudukan sejajar.

Pertanyaannya adalah, apa saja yang perlu dinilai dalam melihat

struktur teks sejajar secara sintagmatis? Dalam upaya menjelaskan relasi

sintagmatis ini, penulis mengadosi satu tipe structural Bathes yakni

anchorage (penambat) beserta tiga tipe structural yang lain disajikan

Andrew Tolson, yakni argument, montage, dan narrative.

Ketiga tipe tersebut dapat dilibatkan bersama dan disesuaikan

penggunaannya dalam bacaan terhadap bahasa media.

Istilah anchorage awalnya diperkenalkan oleh Bathes untuk

menunjuk penggunaan tanda verbal tertentu yang mempunyai peran

sebagai penunjuk utama makna. Dalam berita, boleh dikatakan bahwa

judul berita adalah bentuk paling sederhana dari anchorage mempunyai

29

posisi yang paling berkuasa dalam relasinya dengan tanda- tanda lain

yang muncul dalam teks sejauh pengunaannya menjadi ‘ kata terakhir’.

Dengan demikian terdapat semacam hirarki tanda dalam teks,

beberapa tanda lebih berarti dibandingkan yang lain. Sebagai kesatuan

tanda verbal, pada judul berita mampu menciptakan pernyataan yang

bersifat otoritatif, sementara tanda-tanda lain hanya sekedar memberikan

dukungan atau keterangan. Barthes menyatakan bahwa anchorage ini

berfungsi sebagai denomination (penanaman), yang membantu pembaca

untuk meletakkannya secara akurat dalam pengalaman masing-masing.

Tipe sintagmatis berikutnya adalah argument. Suatu argument boleh

jadi diungkapkan dalam sebuah proposisi maupun serangkaian proposisi

tentang sesuatu hal dan berupaya untuk membujuk atau meyakinkan

pembaca bahwa proposisi benar adanya. Sebagai gejala kejiwaan,

proposisi merupakan isi konsep mental yang masih relatif kasar yang akan

melahirkan statemen. Pendapat lain menggantikan proposisi sebagai

perwujudan ekspresi dalam bentuk kalimat yang bisa benar namun juga

bisa salah. Proposisi menjadi petunjuk penting untuk menggambarkan

konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi dari teks (berita).

Menurut van Zoest, keterpautan antarposisi ini diatur oleh suatu ‘

hukum’ yang tersirat, yakni jalinan logis yang bersama-sama membentuk

argument. Argument yang besar merupakan tema dari isi teks.

Kebenarannya bersifat intern karena logikanya tergantuk pada keterpautan

antarposisi. Sementara di bagian lain, kebenaran proposisi bersifat

30

ekstern, karena menghadapkannya pada semacam tes empirik yakni

kenyataan yang tengah dipresentasikan.

Dalam istilah lain, proposisi dapat juga disebut sebagai’ klaim’.

Argumen yang disajikan melalui satu atau lebih proposisi mempunyai

kemungkinan untuk didukung oleh dua unsur yaitu bukti (atau ‘data’) dan

jusifikasi (atau ‘garansi’ ). Struktur sintagama sebuah argumen boleh jadi

bersifat serial, yakni ketika satu proposisi mengikuti proposisi lain ; tetapi

dapat juga bersifat hierarkis di mana masing-masing proposisi selalu

menyandarkan pada sejumlah pernyataan yang sifatnya mendukung

proposisi utama. Agar memperoleh derajat kepercayaan yang baik, dalam

teks berita statmen pendukung diperoleh dengan menerakan kutipan dari

sumber berita. Soal kepercayaan terhadap statemen pendukung ini

kemudian dapat dipilah menjadi dua, yakni kepercayaan yang bersifat

empirik dan kepercayaan yang sifatnya konseptual. Yang pertama

berhubungan dengan sejauh mana fakta-fakta yang dipresentasikan dalam

teks teruji kebenarannya, dan yang kedua berhubungan masuk akalnya

proposisi yang dibangun dalam kalimat.

Setelah argument, tipe sintagmatis berikutnya yang dapat dimaknai

adalah montage. Tipe ini menunjuk pada penyatuan atau penyusunan item

tanda yang berbeda hingga membentuk sebuah teks. Dapat dikatakan

bahwa montage merupakan praktik transformasi material (bahan berita)

menjadi sebentuk komposisi. Montage merupakan perbandingan jenis

huruf, penyuntingan dan sebagainya yang akhirnya ditetapkan dalam teks.

Kata, kalimat, paragraf, bahkan tanda visual (foto/gambar) yang pada

31

awalnya partial diolah dan disatukan sehingga bersama-sama membentuk

teks secara keseluruhan. Dalam keterkaitannya dengan argument,

montage berperan penting melakukan penjajaran (juxtaposition) ; montage

dapat berfungsi memberi penekanan persamaan konseptual dengan

argumen. Namun acapkali tanda visual sekadar digunakan untuk memberi

efek estetik semata.

Tipe sintagmatis terakhir adalah narrative. Tipe ini berhubungan

dengan bagaimana teknik penceritaan berlangsung dalam teks. Berbeda

halnya dengan montage yang menekankan aspek komposisi, narrative

berurusan dengan penataan tanda-tanda, bukan dalam alur logis,

melainkan pada susunan kronologisnya’.

Pengertian ini untuk menegaskan bahwa tanda-tanda kunci dalam

narrative tidaklah mempunyai status sebagai proposisi, tapi hanya sekadar

‘peristiwa’. Narrative acapkali berperan mengembangkan klimaks cerita.

Pada tingkat ini terdapat semacam kerja seni untuk menghasilkan

ketertarikan pembaca atas rangkaian kronologis dari peristiwa. Dalam jenis

berita tertentu, seringkali unsur ini terlihat dari monologue interior,

semacam fiksasi penulisan dengan mengimbuhkan ekspresi serta peranan

subjek dalam cerita. Tinjauan terhadap aspek naratif ini secara singkat

dapat dipilah dalam dua bagian penting yakni cerita (historie) dan wacana

(discourse). Cerita adalah peristiwa-peristiwa yang terangkai secara

temporal dan kausal atau menjadi bagian unsur ‘what ‘ dari naratif.

Sementara wacana dalam konteks naratif adalah ekspresi atau sarana

32

untuk mengomunikasikan cerita kepada pembaca atau unsur ‘how ‘ dari

teks.

2.1.8 KajianTerdahulu yang Relevan

Beberapa penelitian sebelumnya terkait analisis wacana telah

dilakukan. Diantaranya oleh Darwin Effendi dalam tesisnya berjudul

”Kohesi dan Koherensi dalam Wacana Opini Koran Sumatera Ekspres

dan Sriwijaya Post”. Dalam penelitiannya, mahasiswa Pascasarjana

Universitas PGRI Palembang ini mendeskripsikan kekohesifan (dilihat dari

penanda kohesi) wacana opini Koran Sumatera Ekspres dan Sriwijaya

Post serta kekoherensian (hubungan semantis antarkalimat/

antarparagraf) wacana opini Koran Sumatera Ekspres dan Sriwijaya Post.

Begitu juga Rosmaini dari Universitas Pendidikan Indonesia meneliti

”Analisis Semantik Ragam Bahasa Politik dalam Media Cetak”. Dalam

tesisnya, Rosmaini melakukan penelitian pada media cetak khusus

mengenai semantik. Untuk menganalisis permasalahan tersebut diambil 51

data ragam bahasa politik dari surat kabar Kompas dan Republika. Metode

yang digunakan dalam menganalisis masalah tersebut, yaitu dengan

menelaah makna kata dan kalimat yang dikumpulkan dengan bantuan

beberapa kamus menentukan ciri semantiknya, dan menginterprestasikan

makna berdasarlan konteks kalimatnya.

Berbeda dengan dua penelitian sebelumnya, peneliti meneliti

bahasa dalam keterangan foto khususnya pada analisis sintagmatis.

33