BAB II 7305019

27
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penyakit Kusta 2.1.1 Pengertian Istilah kusta berasal dari Bahasa sansekerta, yakni ”kushtha” berarti kumpulan gejala- gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Marwali Harahap, 2000). Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath (dalam injil), yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Fina, 2008). 2.1.2 Etiologi Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau

Transcript of BAB II 7305019

Page 1: BAB II 7305019

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Kusta

2.1.1 Pengertian

Istilah kusta berasal dari Bahasa sansekerta, yakni ”kushtha” berarti kumpulan gejala-

gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang

menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini

disebut Morbus Hansen.

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,

mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan

testis (Marwali Harahap, 2000).

Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan

anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath (dalam injil), yang

digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Fina, 2008).

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf lurus,

batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini

berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika

diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu

dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau

Page 2: BAB II 7305019

dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut globi.

Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular kepada

manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman

membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima

tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit

mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi

sebagaimana mestinya (Marwali Harahap, 2000).

Menurut Marwali Harahap (2000), Mycobacterium leprae mempunyai 5 sifat, yakni :

1. Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan

pada media buatan.

2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin.

3. Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa

(D-Dihydroxyphenylalanin).

4. Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan

bertumbuh dalam saraf perifer.

5. Ekstrak terlarut dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen antigenik yang

stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid

dan negatif pada penderita lepromatous.

2.1.3 Patogenesis Penyakit Kusta

Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan (Sel

Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak

Page 3: BAB II 7305019

mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh

menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,

perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah

masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated

immune) pasien, bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan

bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. Mycobacterium leprae berpredileksi di daerah-

daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat

penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien

berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi.

Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik (Arif Mansjoer, 2000).

2.1.4 Manifestasi Klinis Penyakit Kusta

Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek) adalah sebagai

berikut :

1. Tanda-tanda pada kulit

a. Bercak/kelainan kulit yang merah/putih dibagian tubuh

b. Kulit mengkilat

c. Bercak yang tidak gatal

d. Adanya bagian-bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut

e. Lepuh tidak nyeri

2. Tanda-tanda pada syaraf

a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan

b. Gangguan gerak anggota badan/bagian muka

Page 4: BAB II 7305019

c. Adanya cacat (deformitas)

d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain adalah :

a. N. fasialis

Lagoftalmus

b. N. ulnaris

1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis

2) Clawing kelingking dan jari manis

3) Atrofi hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama

c. N. medianus

1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah

2) Tidak mampu aduksi ibu jari

3) Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah

4) Ibu jari kontraktur

d. N. radialis

1) Anastesia dorsum manus

2) Tangan gantung (wrist/hand drop)

3) Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

e. N. poplitea lateralis

Kaki gantung (foot drop)

f. N.tibialis posterior

1) Anastesia telapak kaki

Page 5: BAB II 7305019

2) Clow toes

2.1.5 Klasifikasi Penyakit Kusta

Klasifikasi berdasarkan Ritley dan Jopling adalah tipe TT (tuberculoid), BT (borderline

tubercoloid), BB (mid borderline), BL (borderline lepormatous), dan LL (lepromatosa),

sedangkan Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP dan WHO membagi tipe menjadi tipe Pause

Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB). Perbedaan kedua tipe ini dapat dilihat pada tabel di bawah

(Arif Mansjoer, 2000).

Tabel 2.1 Klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO

No Tanda Utama PB MB

1 Lesi kulit

(makula datar, papul yang

meninggi, nodus)

1-5 lesi

Hipopigmentasi/ eritema

Distribusi tidak

simetris

Hilangnya sensasi yang jelas

> 5 lesi

Distribusi lebih simetris

Hilangnya

sensasi

2 Kerusakan saraf

(menyebabkan hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh saraf

yang terkena)

Hanya satu cabang saraf

Banyak cabang saraf

Sumber : dikutip dari WHO dalam Arif Mansjoer (2000)

Kalsifikasi tipe PB dan tipe MB dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta menurut P2MPLP

No Kelainan kulit dan hasil

pemeriksaan Tipe PB Tipe MB

Page 6: BAB II 7305019

1 Bercak (macula) a. Jumlah

b. Ukuran

c. Distribusi

d. Permukaan

e. Batas

f. Gangguan sensibilitas

g. Kehilangan kemampu-

an berkeringat, bulu

rontok pada bercak

a. 1-5 lesi

b. Kecil dan besar

c. Unilateral atau

bilateral asimetris

d. Kering dan kasar

e. Tegas

f. Selalu ada dan

jelas

g. Bercak tidak

berkeringat, ada

bulu rontok

a. Banyak

b. Kecil-kecil

c. Bilateral, simetris

d. Halus, berkilat

e. Kurang tegas

f. Biasanya tidak

jelas, jika ada

terjadi pada yang

sudah lanjut

g. Bercak masih

berkeringat, bulu

tidak rontok

2 Infiltrat

a. Kulit

b. Membrana mukosa

(hidung tersumbat

pendarahan di hidung)

a. Tidak ada

b. Tidak pernah ada

a. Ada, kadang-

kadang tidak ada

b. Ada, kadang-

kadang tidak ada

3 Modulus Tidak ada Kadang-kadang ada

4 Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi

dini, asimetris

Terjadi pada yang

lanjut biasanya lebih

dari satu dan

simetris

5 Deformitas (cacat) Biasanya asimetris

terjadi dini

Terjadi pada

stadium lanjut

6 Sediaan apus BTA negatif BTA positif

7 Ciri-ciri khusus Central healing

penyembuhan di

tengah

Punched out lesion

(lesi seperti kue

donat), madarosis,

ginekomastia,

hidung pelana, suara

sengau

Sumber : dikutip dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta dalam Arif Mansjoer (2000)

2.1.6 Cara Menegakkan Diagnosa

Page 7: BAB II 7305019

Berdasarkan WHO pada tahun 1997 yang dikutip dari buku Pedoman Diagnosis dan

Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya, diagnosis

didasarkan adanya tanda utama atau Cardinal Sign

berupa :

1. Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang jelas.

2. Kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf dengan anastesi.

3. Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam.

Diagnosis ditegakkan bila dijumpai satu tanda utama tersebut diatas.

2.1.7 Pengobatan

Tujuan utama pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan untuk

menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegah

timbulnya cacat. Sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi

dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin

kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap Dapson baik primer

maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri

paling tidak ada dua obat anti kusta yang efektif. Sayangnya anjuran ini tidak diikuti di lapangan

dengan beberapa alasan. Oleh karena itu, pada tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapy

of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen MDT

(Multi Drug Therapy). (Marwali Harahap, 2000)

Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku Pedoman

Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU

Dokter Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut :

Page 8: BAB II 7305019

1. Pausibasiler

- Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)

- DSS 100 mg/hari

Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulam dan diselesaikan dalam waktu maksimal

19 bulan.

Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)

2. Multibasiler

- Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi.

- Lamprene 300 mg/hari, dosis supervisi.

Ditambahkan

- Lamprene 50 mg/hari

- DDS 100 mg/hari

Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan deselesaikan dalam

waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara klinis

lesinya masih aktif dan BTA (+).

2.1.8 Kecacatan Kusta

a. Proses Terjadinya Cacat Kusta

Terjadinya kecacatan tergantung dari fungsi saraf, serta saraf mana yang rusak.

Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat 2 proses yaitu infiltrasi langsung Mycobacterium leprae

ke susunan saraf tepi dan organ lain misalnya mata, dan melalui reaksi kusta. Fungsi saraf secara

umum dikenal ada 3 macam yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi

sensorik memberi rasa raba, fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak.

Page 9: BAB II 7305019

Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena apakah sensoris, motoris,

otonom maupun kombinasi ketiganya (Ditjen PP & PL, 2006).

Berikut adalah tabel yang memperlihatkan kecacatan karena terganggunya fungsi saraf-saraf

tersebut.

Tabel 2.3 Kerusakan saraf akan mengakibatkan cacat pada tempat tertentu

No Saraf Fungsi

Motorik Sensorik Otonom

1 Fasialis Kelopak mata tidak

bisa menutup

Kekeringan dan

kulit retak akibat

kerusakan

kelenjar keringat,

minyak dan

aliran darah.

2 Ulnaris Jari tangan ke 4 dan

ke 5 lemah/ lumpuh/

kiting

Mati rasa telapak

tangan bagian jari

ke 4 & 5

3 Medianus Ibu jari, jari 2 dan 3

lemah/lumpuh/kiting

Mati rasa telapak

tangan bagian ibu

jari, jari ke 2 & 3

4 Radialis Tangan lunglai

5 Peroneus Kaki semper

6 Tibialis

posterior

Jari kaki kiting Mati rasa telapak

kaki Sumber : Ditjen PP & PL (2006)

Menurut McDougall (2005), pada pasien kusta biasanya timbul kecacatan pada :

1. Tangan :

a) Anastesi pada tangan

b) Clow hand (jari-jari tangan kiting)

c) Contraktur

d) Absorbsi (memendeknya jari akibat proses pada tulang)

e) Mutilasi ( putusnya ujung jari, ditandai dengan putusnya kuku)

f) Drop hand (tangan lunglai)

g) Luka

2. Kaki :

a) Anastesi

Page 10: BAB II 7305019

b) Luka

c) Drop foot

d) Clow toes

3. Muka :

a) Madarosis (alis mata yang menipis)

b) Lagoptalmus (mata tidak mau menutup)

b. Tingkat Cacat Menurut WHO

Untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat maka semua pasien kusta dinilai

tingkat kecacatannya sesuai dengan petunjuk WHO. Hal ini merupakan suatu sistem untuk

mengukur cacat akibat kerusakan saraf sebagai resiko penyakit kusta. Cacat yang terjadi bukan

akibat kusta tidak dihitung.

Mata diperiksa apakah kelopak mata sulit menutup. Tangan diperiksa apakah ada lunglai,

mati rasa pada telapak tangan, luka atau ulkus akibat mati rasa, pemendekan jari atau kelemahan

otot. Kaki diperiksa apakah ada lunglai (semper), mati rasa pada telapak kaki, ulkus atau

pemendekan jari. (Ditjen PP & PL, 2006).

Berikut ini merupakan tabel pembagian tingkat cacat menurut WHO

Tabel 2.4 Pembagian tingkat cacat kusta menurut WHO

No Tingkat Mata Telapak Tangan /Kaki

1 0

Tidak ada kelainan pada

mata akibat kusta

Tidak ada cacat akibat kusta.

2 1 Anastesi, kelemahan otot,

(Tidak ada cacat/kerusakan

yang kelihatan akibat kusta).

3 2 Ada lagopthalmos Ada cacat/kerusakan yang

kelihatan akibat kusta,

misalnya ulkus, jari kiting, kaki

semper. Sumber : (Ditjen PP & PL, 2006)

Dilanjutkan

Lanjutan Tabel 2.4

Page 11: BAB II 7305019

1. Tingkat 0 (nol) berarti tidak ada cacat.

2. Tingkat 1 (satu) adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris yang tidak

terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki.

Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak diperiksa di lapangan oleh karena itu tidak ada

cacat tingkat 1 pada mata. Cacat tingkat 1 pada telapak kaki beresiko terjadinya ulkus

plataris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini dapat dicegah. Mati rasa pada

bercak bukan merupakan cacat tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf

perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada kulit.

3. Tingkat 2 (dua) berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.

Untuk mata :

a. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmos).

b. Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis).

c. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.

Untuk tangan dan kaki :

a. Luka atau ulkus di telapak.

b. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kintraktur) dan

hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsialis dari jari-jari.

Yang tidak termasuk hitungan ialah semua cacat atau kelainan pada kulit saja atau yang

terjadi bukan akibat penyakit kusta, yaitu luka biasa (pada tangan atau kaki yang tidak mati rasa),

kiting, kelemahan otot atau kehilangan jara yang disebabkan oleh kecelakan.

Tingkat cacat umum berarti nilai cacat yang paling tinggi di antara mata, tangan dan kaki.

Jumlah nilai diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai dari mata, tangan, dan kaki sehingga

Page 12: BAB II 7305019

dapat gambaran yang lebih jelas mengenai keadaan penderita itu yang sebenarnya.

(Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2004)

2.2 Konsep Activity Daily Living

2.2.1 Pengertian Activity Daily Living

Activity Daily Living adalah suatu pola pelaksanaan tugas kehidupan sehari-hari yang

cukup untuk memenuhi tujuan yang berhubungan dengan kesehatan (Judith,2005).

Activity Daily Living adalah aktivitas perawatan diri yang harus pasien lakukan setiap

hari untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup sehari-hari (Burnner and Suddart, 2002).

Activity Daily Living (aktivitas hidup sehari-hari) adalah hal-hal yang biasanya kita

lakukan dalam hidup sehari-hari termasuk aktivitas sehari-hari kita untuk melakukan perawatan

diri (seperti makan sendiri, mandi, berpakaian), bekerja, homemaking, dan liburan.

(Medicinenet, 2008)

2.2.2 Macam-macam Activity Daily Living

Menurut Brunner dan Suddarth (2002) Activity Daily Living meliputi higiene/mandi,

berpakaian/berdandan, makan dan toileting.

1. Makan

Makan memerlukan memilih makan, menggunakan alat untuk memasukkan makanan ke

dalam mulut, mengunnyah serta menelan makanan tersebut.

2. Mandi

Aktivitas mandi memerlukan kesiapan air mandi dan peralatannya, membuka baju, menyiram

dan mengeringkan tubuh setelah mandi.

Page 13: BAB II 7305019

3. Berpakaian

Berpakaian memerlukan memilih pakaian, memakainya dan melepasnya, mengancing

pakaian dan menyisir rambut.

4. Toileting

Aktititas toileting meliputi kemampuan untuk sampai di kamar kecil, membuka pakaian,

untuk menggunakan toilet, membersihkan diri, mengenakan pakaian kembali dan

membersihkan tangan.

2.2.3 Defisit Perawatan Diri

Menurut NANDA (Judith, 2005) defisit perawatan diri menggambarkan suatu keadaan

seseorang yang mengalami gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri,

seperti mandi, berganti pakaian, makan dan toileting. Defisit perawatan diri yang mempengaruhi

Activity Daily Living diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Defisit perawatan diri : makan dan minum (feeding)

Definisi : kemampuan kurang untuk melakukan atau melengkapi aktivitas makan.

Internasional NANDA menggunakan skala sebagai berikut :

0 = sepenuhnya mandiri

1 = memerlukan alat bantu

2 = memerlukan bantuan orang lain untuk membantu, mengawasi atau mengajari

3 = memerlukan bantuan orang lain dan peralatan

4 = bergantung, tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas

Definisi dan gambaran berikut dapat membantu dalam menentukan angka yang dapat

menunjukkan tingkat fungsional pasien :

Page 14: BAB II 7305019

Tabel 2.5 Pasien fungsional level makan dan minum

Tergantung total

(+4)

Tergantung sedang

(+3)

Tergantung sebagian

(+2)

Makan Pasien membutuhkan

bantuan untuk makan

secara total

Perawat memotong

makanan, membuka

botol, menyiapkan

posisi pasien,

memonitor dan

memotivasi makan

Perawat menyiapkan

posisi pasien,

menyediakan makanan

dan alat dan memonitor

ketika pasien makan

Sumber : dikutip dari buku Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Interventios and NOC

Outcomes (2005)

b. Defisit perawatan diri : mandi (hygiene)

Definisi : kelemahan untuk melakukan atau melengkapi mandi atau aktivitas kesehatan untuk

dirinya.

Internasional NANDA menggunakan skala sebagai berikut :

0 = sepenuhnya mandiri

1 = memerlukan alat bantu

2 = memerlukan bantuan orang lain untuk membantu, mengawasi atau mengajari

3 = memerlukan bantuan orang lain dan peralatan

4 = bergantung, tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas

Definisi dan gambaran berikut dapat membantu dalam menentukan angka yang dapat

menunjukkan tingkat fungsional pasien :

Tabel 2.6 Pasien fungsional level perawatan diri mandi

Tergantung total

(+4)

Tergantung sedang

(+3)

Tergantung sebagian

(+2)

Page 15: BAB II 7305019

Mandi Pasien membutuhkan bantuan secara total;

tidak dapat

membantu sama

sekali

Perawat menyediakan semua peralatan :

posisi pasien :

mencuci punggung,

kaki, perineum dan

semua bagian lain

yang dibutuhkan :

pasien bisa

membantu

Perawat menyediakan semua peralatan : posisi

pasien : di tempat tidur

dan kamar mandi.

Pasien mandi sendiri

kecuali daerah

punggung dan kaki.

Kebersihan

mulut

Perawat membantu

semua prosedur

Perawat menyiapkan

sikat gigi, kumur

mulut, posisi pasien

Pasien menyediakan

peralatan : pasien

melakukan tugasnya

sendiri

Sumber : dikutip dari buku Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Interventios and NOC

Outcomes (2005)

c. Defisit perawatan diri : berpakaian/ berdandan

Definisi : kelemahan untuk melaksanakan atau melengkapi berpakaian dan aktivitas

berdandan untuk dirinya.

Internasional NANDA menggunakan skala sebagai berikut :

0 = sepenuhnya mandiri

1 = memerlukan alat bantu

2 = memerlukan bantuan orang lain untuk membantu, mengawasi atau mengajari

3 = memerlukan bantuan orang lain dan peralatan

4 = bergantung, tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas

Definisi dan gambaran berikut dapat membantu dalam menentukan angka yang dapat

menunjukkan tingkat fungsional pasien :

Tabel 2.7 Pasien fungsional level berpakaian

Tergantung total

(+4)

Tergantung sedang

(+3)

Tergantung sebagian

(+2)

Page 16: BAB II 7305019

Berpakaian atau

pemeliharaan

Pasien membutuhkan

bantuan untuk

berpakaian dan

tidak bisa

membantu

perawat : perawat

menyisir rambut

pasien

Perawat menyisir rambut pasien,

membantu berpakaian,

mengancingkan dan

menutup resleting,

menalikan sepatu

Perawat menyediakan barang-barang untuk

pasien, bisa kancing,

resleting atau tali

pakaian. Pasien

berpakaian sendiri

Sumber : dikutip dari buku Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Interventios and NOC

Outcomes (2005)

d. Defisit perawatan diri : toileting

Definisi : kemampuan kurang untuk melakukan atau melengkapi aktivitas pergi ke toilet.

Internasional NANDA menggunakan skala sebagai berikut :

0 = sepenuhnya mandiri

1 = memerlukan alat bantu

2 = memerlukan bantuan orang lain untuk membantu, mengawasi atau mengajari

3 = memerlukan bantuan orang lain dan peralatan

4 = bergantung, tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas

Definisi dan gambaran berikut dapat membantu dalam menentukan angka yang dapat

menunjukkan tingkat fungsional pasien :

Tabel 2.8 Pasien fungsional level toileting

Tergantung total

(+4)

Tergantung sedang

(+3)

Tergantung sebagian

(+2)

Page 17: BAB II 7305019

Pergi ke toilet Pasien tidak dapat menahan diri ;

perawat

memposisikan

pasien di atas

pispot atau jamban

Perawat menyediakan

bedpan,

memposisikan

pasien di atas

bedpan dan

sesuadahnya,

menempatkan

pasien di atas

jamban

Pasien bisa berjalan ke kamar mandi atau

jamban dengan

bantuan, perawat

membantu berpakaian

Sumber : dikutip dari buku Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Interventios and NOC

Outcomes (2005)

2.2.4 Alat Pelindung dan Pendukung Activity Daily Living

Berbagai alat dapat dirancang dan disediakan dengan tujuan untuk melindungi tungkai

dan/atau untuk mendukung pasien dalam melakukan Activity Daily Living. Latihan yang teratur

untuk melakukan suatu pekerjaan lebih penting dibandingkan menggunakan alat-alat yang

disesuaikan. Tangan harus digunakan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan alat-alat dan

pekerjaan dan bukan menyesuaikan tangan dengan alat-alat. Hal ini dapat dilakukan dengan

latihan yang sangat teliti dan dengan merubah kebiasaan-kebiasaan kerja yang buruk. (Ditjen

PPM PL-NLR Indonesia, 2006).

Contoh-contoh alat pelindung dan pendukung (Ditjen PPM PL-NLR Indonesia, 2006):

a. Bebat jari yang dinamik atau statis untuk memperbaiki jari-jari yang bengkok

b. Bermacam alat Bantu pegangan yang tidak untuk memperbaiki kecacatan tangan (misalnya

untuk bias menggenggam lebih baik dan bahkan untuk mendistribusi kekuatan). Jika pasien

masih memiliki kekuatan menggenggam, untuk makan sendok dengan sebuah ukuran yang

besar. Jika pasien tidak memiliki kekuatan menggenggam, sebuah sendok khusus bisa dibuat,

dimana penjepit dipasang di telapak tangan.

c. Alat untuk melindungi tangan dari luka bakar.

Page 18: BAB II 7305019

Ketika akan meminum minuman yang panas, sebuah gelas dengan sebuah peganggan bisa

lebih mudah untuk dipegang, dan lebih aman daripada gelas minum yang biasa. Atau sebuah

keranjang bambu kecil dapat digunakan untuk melapisi gelas. Saat memasak, gunakan alas

yang tebal untuk mengangkat panci atau panci dengan pegangan yang mampu menahan

panas. Sebuah pegangan rokok harus digunakan jika pasien kusta mempunyai kebiasaan

merokok dan kebiasaan merokoknya tidak dapat dihentikan.

d. Berpakaian : kancing-kancing kecil dan pengait harusnya tidak digunakan. Jika tidak terlalu

mahal, beberapa pakaian bisa dirancang ulang untuk membuat pakaian tersebut lebih

gampang dikenakan. Sebuah kemeja bisa dengan lubang yang cukup besar untuk kepala

sehingga tidak membutuhkan kancing. Velcro berguna untuk mengikat sandal bagi seseorang

yang tidak memiliki jari-jari kaki.

e. Toilet : untuk seorang penderita tidak boleh ada tekanan yang lama di telapak kaki dan

penderita yang menggunakan protesa (kaki palsu) mungkin sulit untuk jongkok sehingga

penderita dapat menggunakan kursi kayu yang tengahnya dilubangi.

2.3 Terapi Okupasi

2.3.1 Pengertian

Occupational therapy berasal dari kata occupational yang artinya aktivitas dan therapy

berarti penyembuhan atau pemulihan, sehingga occupational therapy adalah proses

penyembuhan melalui aktivitas. Aktivitas yang dikerjakan tidak hanya sekedar membuat sibuk

Page 19: BAB II 7305019

pasien, melainkan aktivitas fungsional yang mengandung efek terapeutik dan bermanfaat bagi

pasien. Artinya aktivitas yang langsung diaplikasikan dalam kehidupan (Nurrahmawati,2008).

Menurut American Occupation Therapy, terapi okupasi adalah seni dan ilmu untuk

mengarahkan jawaban manusia kepada aktifitas selektif supaya kesehatan ditingkatkan dan

dipertahankan, untuk mencegah cacat, menilai kekakuan dan memberi terapi serta latihan pada

penderita cacat fisik dan psikososial (Catherine Anne Trombly dan Mary Vining Radomski,

2001).

Terapi okupasi adalah suatu tindakan yang menolong individu yang mempunyai kelainan

atau kecatatan fisik atau mental yang bersifat sementara atau menetap dengan menggunakan

aktivitas-aktivitas yang telah di program atau disesuaikan untuk membantu fungsi fisik dan atau

mental maupun sosial secara optimal dibidang perawatan diri, produktivitas dan yang bersifat

rekreasi atau menyenangkan (Yakkum, 2008).

Terapi okupasi adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan bagian dari

rehabilitasi medis. Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan

cara memanipulasi, memfasilitasi dan menginhibisi lingkungan, sehingga tercapai peningkatan,

perbaikan dan pemeliharaan kemampuan pasien (Sarana, 2008).

Terapi okupasi mencakup penggunaan aspek terapeutik productivity (kerja), activity of

daily living (perawatan diri), dan melakukan aktivitas untuk meningkatkan fungsi independen,

perbaikan, perkembangan dan mencegah ketidak mampuan. Termasuk di dalamnya adaptasi

tugas atau lingkungan untuk mencapai kebebasan maksimum dan untuk memperbaiki kualitas

hidup (Definisi resmi dari terapi okupasional, AOTA Executive Board, 1976) (Ditjen PPM Pl-

NLR Indonesia, 2006).

Page 20: BAB II 7305019

2.3.2 Fungsi dari Terapi Okupasi

Menurut Helen S. Willard dan Clare S.Spackman (1971) fungsi terapi okupasi adalah sebagai

berikut :

1. Sebagai perawatan spesifik untuk pasien psikiatris untuk mengembangkan hubungan yang

yang lebih memuaskan, untuk membantu melepaskan atau mengendalikan emosi.

2. Sebagai perawatan spesifik untuk pemulihan fungsi fisik, untuk meningkatkan kerjasama

gerak, koordinasi dan kekuatan otot.

3. Mempelajari aktifitas kehidupannya sendiri, seperti kehidupan sehari-hari contohnya makan,

berpakaian, menulis, menggunakan peralatan.

4. Membantu ibu rumah tangga yang cacat untuk mengatur rutinitas rumah tangga dengan

instruksi dan nasihat sebagai bentuk adaptasi terhadap peralatan rumah tangga serta

penyederhanaan kerja.

5. Mengembangkan toleransi kerja serta perbaikan keahlian khusus sebagai persyaratan seperti

yang disyaratkan oleh yang punya pekerjaan.

6. Menyediakan pendidikan kejuruan untuk menentukan kapasitas fisik dan mental pasien,

minat, penyesuaian sosial, kebiasaan kerja, keahlian dan petensi kemampuan pelamar.

7. Sebagai tolak ukur, membantu pasien untuk menerima dan secara periode panjang

membangun keramahtamahan dan pemulihan kesehatan.

8. Menunjukkan kembali rekreasi dan kegemaran.

2.3.3 Macam-Macam Latihan Terapi Okupasi

Menurut Leladi Sesameng Dumadi (2004) ada beberapa latihan terapi okupasi

untuk penderita kusta dalam Activity Daily Living, antara lain yaitu:

Page 21: BAB II 7305019

a. Keterampilan Makan dan Minum Sendiri

Latih penderita untuk mengambil makanan dari piring dibawa ke mulut bisa

dengan tangan atau sendok, suapanya jangan terlalu penuh. Hal-hal yang perlu

diperhatikan saat melatih pasien adalah :

1. Bila pasien tidak dapat mengangkat lengannya maka dibantu dengan lengan yang

sehat atau ditopang dengan meja, lantai atau lutut.

2. Latih pasien untuk memasukkan makanan dari depan mulut, jangan dari sisi atau

samping mulut.

3. Masukan sejumlah kecil makanan atau minuman.

4. Usahakan agar kepala sejajar badan, bila menengadah makanan akan sulit ditelan.

Bila pasien sulit untuk menelan usaplah bagian leher dengan menggunakan dua jari.

5. Jangan terburu-buru, berikan waktu agar pasien tenang.

6. Bila penderita belum dapat menyelesaikan makanan sendiri, maka bantulah pasien

untuk menyelesaikan sisanya untuk disuap.

Ada beberapa modifikasi gagang sendok yang disesuaikan dengan keadaan kecacatan

tangan penderita, yaitu :

1. Sendok dengan gagang bulat besar, bisa dari rotan atau bambu untuk penderita yang

belum dapat memegang sendok tipis tetapi sudah mulai dapat menggenggam.

2. Sendok dengan gagang yang dilapisi bahan yang disebut Modulan. Modulan yaitu

suatu alat yang terbuat dari bahan seperti gips (cement) yang terdiri dari dua

komponen yaitu warna kuning dan warna biru. Warna kuning mengandung zat

Epoxy Rezin, sedangkan yang warna biru adalah zat pengerasnya. Cara memakainya

adalah pasien kusta dengan cacat pada tangan dapat menyesuaikan kedudukan yang

Page 22: BAB II 7305019

cocok dari tangan untuk memegang sesuatu sesuai dengan cacatnya. Kedua bahan

tersebut (modulan biru dan kuning) dicampur oleh dokter, perawat atau tenaga

kesehatan lainnya dengan memakai sarung tangan karena kedua bahan tersebut dapat

mengiritasi kulit. Setelah campuran kedua bahan tersebut berubah menjadi hijau,

kemudian diletakkan di tangkai alat yang akan digunakan. Jari tangan pasien

diletakkan pada bahan tersebut sehingga akan menimbulkan cekungan sehingga akan

terbentuk alat yang hanya dapat dipergunakan oleh pasien tersebut sesuai dengan

cacatnya. Pasien kusta yang tidak mempunyai jari tangan/mutilasi, gagang sendok

diselipkan pada kain dan dibelitkan pada tangan atau lengan.

3. Pilih sendok yang tidak terlalu cekung dan panjang.

4. Latih pasien yang tidak mempunyai tangan dengan menundukkan kepala dan

mendekatkan mulut ke piring.

Cara minum :

Latih penderita untuk membawa tempat minum ke mulut. Gelas/cangkir bisa tanpa

pegangan, satu pegangan atau dua pegangan. Bila penderita sulit untuk menelan isilah tempat

minuman penuh agar kepala tidak menengadah pada waktu minuman, karena akan

menambah sukar menelan. Bila penderita tidak dapat mengangkat tempat minum maka dapat

dipakai sedotan.

b. Latihan Mandi

Penderita bisa duduk di bawah pancuran atau dapat mengambil air dengan gayung

atau berendam dalam ember besar. Posisi mandi bisa duduk atau berdiri tergantung

keadaan cacatnya. Latih penderita menyiram badan dengan air, menyabuni badan dan

menggosok badan. Bila sukar memegang sabun, gantungkan sabun dengan tali di leher

Page 23: BAB II 7305019

pasien atau dimasukkan ke dalam kantong yang dijahitkan ke dalam sarung tangan yang

terbuat dari bahan handuk. Bila ada bagian badan yang tidak terjangkau oleh tangan, latih

pasien untuk menggosok badan dengan menggunakan sikat gagang panjang.

1. Menggosok gigi :

Bila penderita cacat (clawing) dapat dipakai modulan. Bila penderita tidak

mempunyai jari, sikat gigi dimasukkan ke dalam kantong yang diselipkan pada kain

dan dibelitkan ditangan pasien.

2. Menyisir rambut :

Latih penderita menyisir rambut setiap hari. Bila lengan tidak dapat diangkat,

maka sambunglah sisir dengan bambu atau kayu yang diikat pada sisir sebagai

pegangan. Bila penderita tidak mempunyai jari, sisir dimasukkan dalam kantong

seperti cara memasukkan sikat gigi.

c. Keterampilan Berpakaian

Pilih posisi yang memudahkan penderita melakukan aktivitas berpakaian , penderita

dapat duduk dilantai, berdiri, dan bersandar di dinding bila penderita tidak dapat duduk,

maka latih berpakaian dengan berbaring. Bila penderita mengalami kesukaran dengan

pakaian yang biasa dipakai maka dibuat modifikasi seperlunya sehingga memudahkan

penderita untuk mengenakannya. Bagi penderita dengan tangan kiting dipakai resluiting

sebagai pengganti kancing baju. Latih penderita untuk melepas pakaian terlebih dahulu,

kemudian baru diajarkan cara mengenakan pakaian.

1. Cara Melepas Pakaian :

Page 24: BAB II 7305019

Cara melepas celana panjang, yaitu pasien dilatih melepas celana dimulai

dari tungkai yang kuat terlebih dahulu kemudian baru yang lemah.

2. Cara Mengenakan Pakaian :

Latih penderita untuk mengenakan celana panjang mulai dari tungkai yang

lemah terlebih dahulu, baru tungkai yang kuat. Begitu juga dalam mengenakan

kemeja dimulai dari lengan yang lemah dan baru lengan yang kuat.

3. Cara Memakai Sepatu :

Dapat dibantu dengan memakai bambu atau kayu panjang yang berfungsi

sebagai pengungkit.

d. Ambulasi

Ambulasi adalah berpindah untuk mencapai jarak tertentu. Pada pasien kusta dapat

terjadi keadaan dimana satu atau kedua tungkainya harus dipotong (amputasi) karena terjadi

luka atau kanker kulit, sehingga pasiennya mengalami kesulitan untuk ambulasi.

Ambulasi pada pasien kusta bisa dengan :

1. Jalan jongkok.

2. Menggunakan dua buah kruk.

3. Berjalan dengan menggunakan bantuan kursi roda.

4. Berjalan dengan satu/dua tongkat.

a) Cara menaiki tangga :

Tungkai yang kuat melangkah ke atas lebih dahulu, baru tungkai yang lemah dengan

badan condong ke depan.

b) Cara Menuruni Tangga :

Tungkau yang lemah terlebih dahulu melangkah turun, diikuti tungkai yang kuat.

Page 25: BAB II 7305019

2.3.4 Sistem Limbik

Kata “Limbik” berarti perbatasan. Istilah limbik digunakan untuk menjelaskan struktur

tepi di sekeliling region berasal dari serebrum. Istilah sistem limbik telah diperluas artinya ke

seluruh lintasan neural yang mengatur tingkah laku emosional dan dorongan motivasional.

Sistem limbik dipengaruhi oleh amigdala dan hipokampus. Hipokampus berperan menentukan

makna suatu informasi yang akan disimpan atau tidak dalam ingatan. Seseorang dengan cepat

menjadi terbiasa terhadap stimulus dengan tekun mempelajari setiap pengalaman sensorik yang

dapat menimbulkan rasa senang atau rasa terhukum. Hipokampus menyebabkan timbulnya

dorongan untuk mengubah ingatan jangka pendek menjadi jangka panjang yaitu sampai menjadi

ingatan yang disimpan permanen. Hipokampus merupakan bagian medial korteks temporalis

yang memanjang, melipat ke atas dan dalam untuk membentuk permukaan ventral dari radiks

inferior ventrikel lateral. Salah satu ujung hipokampus berbatasan dengan nukleri amigdala,

serta pada salah satu tepinya juga bersatu dengan girus parahipokampus, yang merupakan

korteks dari permukaan ventromedial lobus temporalis. Hampir setiap jenis pengalaman

sensorik mengalami sensorik menyebabkan aktivitas sedikitnya di beberapa bagian hipokampus,

dan hipokampus kemudian menyebarkan sinyal-sinyal keluar menuju thalamus anterior,

hipotalamus dan bagian lain dari system limbik (Guyton & Hall, 1997). Tanpa hipokampus tidak

akan timbul konsolidasi ingatan jangka panjang dari jeni verbal atau jenis simbolik (Ganong,

1998).

Pengaruh emosi melalui amigdala. Amigdala menerima sinyal neuron dari semua bagian

korteks limbik seperti juga dari neokorteks lobus temporal, parietal, dan oksipital, terutama dari

area assosiasi auditorik dan area asossiasi visual. Karena hubungan yang multiple ini amigdala

disebut “Jendela” yang dipakai oleh system limbik untuk melihat kedudukan seseorang di dunia.

Page 26: BAB II 7305019

Perangsangan amigdala tertentu, kadangkala menimbulkan pola marah, melarikan diri, rasa

terhukum dan rasa takut, seperti pola rasa marah yang dicetuskan oleh hipotalamus (Guyton &

Hall, 1997).

2.4 Kerangka Teori

Masuk dalam tubuh manusia melalui saluran nafas atas (Mukosa Nasal)

Mycobacterium leprae

Page 27: BAB II 7305019

s

`

Gambar 2.1 Kerangka teori

Sel Schwan

Kusta

Gangguan kelenjar keringat, kelenjar

minyak, aliran darah

Kelemahan Anastesi (mati rasa)

Otonom Motorik Sensorik

Gangguan fungsi saraf

Kulit kering dan pecah

Mata tidak bisa

berkedip

Tangan dan kaki

lemah/lumpuh

Kornea mati rasa, reflek berkedip

berkurang

Tangan dan kaki mati rasa dan

luka

Terapi

ADL terganggu

Macam ADL :

- Makan minum

- Mandi

- Toileting

- Berpakaian

Kecacatan

Jari-jari bengkok dan kaku

Pengobatan :

MDT - Rifampisin

- Lamprene

- DDS

Mampu melaksanakan ADL

(Feeding)

Rehabilitasi :

- Fisioterapi

- Ortetik postetik

- Psikoterapi

- Okupasi terapi

Sosial

Fisik

Psikologis

Stimulasi auditori & visual

Korteks serebri

Sistem limbik

Amigdala Hipokampus

Emosi, memori, perasaan Learning proses & memori

Masyarakat & keluarga

menjauhi penderita

Isolasi Sosial

Harga diri rendah

- Kehilangan mata pencaharian/sekolah

- Tergantung pada orang lain

- Kehilangan peran dalam keluarga

& masyarakat

Merasa tidak berharga Malu Segan berobat