BAB II

10
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pancasila Sebagai Etika 1. Pengertian Etika, Nilai, Norma dan Moral. a) Pengertian Etika. Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang falsafah ia membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai cabang ilmu ia membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu. Etika sebagai ilmu dibagi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti di Cina dan , seperti dalam Islam, aliran-aliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta system nilai apa yang terkandung di dalamnya. Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial. Etika indvidual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggungjawabnya terhadap Tuhannya. Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta norma-norma social yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial meliputi cabang- cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik. b) Pengertian Nilai. Nilai atau “Value” (bhs. Inggris) termasuk bidang kajian filsafat. Porsoalan-persoalan tentang nilaidibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu Filsafat Nilai (Axiologi, Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang ilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau “kebaikan” (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229). Di dalam Dictoinary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu dapa hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat

description

pancasila

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB IIPEMBAHASAN

2.1              Pancasila Sebagai Etika1.         Pengertian Etika, Nilai, Norma dan Moral.

a)              Pengertian Etika.Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang

dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang falsafah ia membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai cabang ilmu ia membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu.

Etika sebagai ilmu dibagi dua, yaitu etika umum dan etika khusus.Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti di Cina dan , seperti dalam Islam, aliran-aliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta system nilai apa yang terkandung di dalamnya.

Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial.Etika indvidual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggungjawabnya terhadap Tuhannya. Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta norma-norma social yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik.

b)             Pengertian Nilai.Nilai atau “Value” (bhs. Inggris) termasuk bidang kajian filsafat. Porsoalan-persoalan

tentang nilaidibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu Filsafat Nilai (Axiologi, Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang ilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau “kebaikan” (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229).

Di dalam Dictoinary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu dapa hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatau itu. Misalnya, bunga itu indah, perbuatan itu susila. Indah, susila adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “tersembunyi” bibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).            Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nialai-nilai dapat dikelopokan dalam empat tingkatan sebagai berikut :

1. Nilai-nilai kenikmatan : dalam tingkatan ini terdapat deretan-deretan nilai yang mengenakan dan tidak mengenakan yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.

Page 2: BAB II

2. Nilai-nilai kehidupan : dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, kesejahteraan umum.

3. Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkunganya. Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat

4. Nilai-nilai kerohanian : dalam tingkata ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan tak suci, nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.

Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusiawi kedalam 8 kelompok yaitu :1. Nilai-nilai Ekonomis (ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat

dibeli).2. Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari

kehidupan badan).3. Nilai-nilai hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat

menyumbangkan pada pengayaan kehidupan).4. Nilai-nilai sosial (berasal mula dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).5. Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).6. Nilai-nilai estetis (nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni).7. Nilai-nilai intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran).8. Nilai-nilai keagamaan.

Notonegoro dalam menyebutkan adanya 3 macam nilai. Ketiga nilaiitu adalah sebagai berikut :a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan ragawi manusia.b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian meliputi:1) Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia.2) Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan(emotion) manusia.3) Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa,Will) manusia.Nilai religius yang merupakan nilai keohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.

c)              Pengertian Norma.Norma merupakan bentuk nilai yang disertai dengan sanksi tegas bagi pelanggarnya.

Norma merupakan ukuran yang dipergunakan oleh masyarakat apakah perilaku seseorang benar/ salah, sesuai/ tidak sesuai, wajar/tidak, dan diterima atau tidak.Norma dibentuk di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial. Nilai dan norma merupakan hal yang berkaitan.

Norma adalah bentuk konkret dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Misalnya, nilai menghormati dan mematuhi orang tua diperjelas dan dikonkretkan dalam bentuk norma-norma dalam bersikap dan berbicara kepada orang tua. Nilai-nilai sopan santun di sekolah dikonkretkan dalam bentuk tata tertib sekolah.

Jadi, pengertian norma adalah patokan-patokan atau pedoman untuk berperilaku.d)             Pengertian Moral.

Page 3: BAB II

Moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan. Jadi moral adalah tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar dipandang dari sudut baik dan buruknya dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Moral dihubungkan dengan etika dan etiket yang membicarakan tatasusila dan tata sopan santun.

Moral meliputi hidup manusia itu sendiri dan dalam kehidupanya bersama dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan bernegara.

Nilai dasar, Nilai Instrumental dan Nilai PraksisDalam kaitannya dalam penjabarannya, maka nilai-nilai dapat dikelompokkan

menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumen, nilai praksis.a.      Nilai DasarWalaupun memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra manusia,

namun dalam realisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku atau segala aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis) namun demikian setiap nilai memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut onotologis), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu  misalnya hakikat Tuhan, manusia tau segala sesuatu lainnya.

b.     Nilai InstrumentalNilai intrumental merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan.

Bilamana nilai intumrntal tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal itu akan merupakan suatu norma moral. Namun jikalau nilai instrumental itu berkaitn dengan suatunorganissi atau negara maka nilai-nilaiinstrumental itu merupakan suatu arahan, kebijaksanaan strategi yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga dapat juga dikatakkan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitsi dari nilai dasar.

c.      Nilai PraksisNilai Praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai

instrumental dalam suatu kehidupan yang nyat. Sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan dari nilai instrumrntal itu. Dapat juga dimungkinkan berbeda-beda wujudnya, namun demikian tidak bisa menyimpang atau bahkantidak bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis itu merupakna suatu sisitem perwujudannya tidak boleh menimpang dari sistem tersebut

2.         Hubungan Nilai, Norma, dan Moral.Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam

bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak. Nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat di obsevasi melalui suatu verivikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami,difikirkan dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita-cita,keinginan dan segala sesuatu pertimabangan Internal (batiniah) manusia.

Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih di konkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih Objektif

Page 4: BAB II

sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkanya dalam tingkah laku secara konkrit. Maka wujud yang lebih konkrit dari nilai tersebut adalah merupakan norma.

Selanjutnya nilai dan norma senatiasa berkaitan dengan moral dan etika. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya.

Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan kadangkala keduanya disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Setiap orang memiliki moralitasnya sendiri-sendiri, tetapi tidak halnya dengan etika. Tidak semua orang perlu melakukan pemikiran yang kritis terhadap etika. Etika tidak berwenang menetukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada ditangan pihak-pihak yang memberikan ajaran moral.

2.2              Pengertian Pancasila Sebagai sistem Etika Politik.1.    Etika Politik.

Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa filsafat dibagai menjadi beberapa cabang,terutama dalam hubungan dengan bidang yang di bahas. Pengelompokan etika sebagaimana dibahas di muka, dibedakan atas etika umum dan etilka khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip dasar bagi segenap tindakan manuisa, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup hidupnya. Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagi pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian `moral' senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sbagai manusia.

a.       Pengertian PolitikTelah dijelaskan di muka bahwa etika politik termasuk lingkup etika sosial, yang

secara harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik. Oleh karena itu dan hubungan ini perlu dijelaskan terlebih dahulu lingkup pengertian politik sebagai subjek material kajian bidang ini, agar dapat diketahui lingkup pembahasannya secara jelas.

Pengertian 'politik' berasal dari kosa kata 'politics', yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau `negara' yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan di ikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. pengambilan keputusan atau 'clecisionmaking' mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk portal politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.

b.      Dimensi Politis Manusia1)      Manusia sebagai makhiuk Individu-Sosial

Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kaca mata yang berbeda-beda. Paham individualisme yang merupakan cikal Bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai mahkluk individu yang bebas. Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia

Page 5: BAB II

sebagi individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung kepada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai warga masyarakat atau sebagai makhluk sosial.

Berdasarkan sifat kodrat manusia tersebut, maka dalam cara manusia memandang dunia, menghayati dirinya sendiri, menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan menyadari apa yang menjadi kewajibannya, senantiasa dalam hubungannya dengan orang lain. Oleh karena itu, tangung jawab moral pribadi manusia hanya dapat berkembang dalam kerangka hubungannya dengan orang lain, sehngga kebebasan moralitasnya senantiasa berhadapan dengan masyarakat.

Dasar filosofis sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat `monodualisme’ yaitu sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagi makhluk sosial. Maka sifat dan ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia bukanlah hanya demi tujuan kepentingan individu-individu belaka. Dan bukan juga demi tujuan kolektivitas saja melainkan tujuan bersama baik meliputi kepentingan dan kesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara Indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut.

2)      Dimensi Politis Kehidupan ManusiaDalam kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik

sebagai individu maupun makhluk sosial sulit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan masyarakat itulah yang disebut negara. Oleh karena itu berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dimenensi politis mencangkup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, sistem-sistem nilai sena ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.

Maka etika politik berkaitan dengan objek formal etika yaitu, tujuan berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika, terhadap objek material politik yang meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.

c.       Nilai-nilai Pancasila Sebagai Etika PolitikSebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi

peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas, terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam melaksanakan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, serta Sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab' adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta yudikatif, konsep penganbilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasidari rakyat, atau dengan lain

Page 6: BAB II

perkataan harus memiliki ‘legitimasi demokratis’.Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya.

Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat Ekskutif, anggota legislatif maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum, harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebijakan itu sesuai dengan hukum belum tentu sesuai dengan moral. Misalnya gaji Para pejabat dan angota DPR, MPR itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral.

2.    Penerapan Nilai-nilai Etika Pancasila dalam Kehidupan Politik.Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar

kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokrasi), dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral(legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan penyelenggaraan Negara, baik itu yang berhubungan dengan kekuasaan, kebijakan umum, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila. Dengan demikian, pancasila merupakan sumber moralitas dalam proses penyelenggaraan Negara, terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan penegakan hukum dinilai bermoral jika selalu berdasarkan pancasila, bukan berdasarkan kepentingan penguasa belaka. Jadi pancasila merupakan tolok ukur moralitas suatu penggunaan kekuasaan dan penegakan hukum.

Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernyataan tersebut secara normative merupakan artikulasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi harus diingat, pernyataan tersebut bukan sebuah penegasan bahwa Indonesia adalah Negara teokrasi yang mendasarkan kekuasaan Negara dan penyelenggaraan Negara berdasarkan legitimasi religious, dimana kekuasaan kepala Negara bersifat absolute atau mutlak. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa lebih berkaitan legitimasi moral. Artinya, proses penyelenggaraan Negara dan kehidupan Negara tidak boleh diarahkan pada paham anti Tuhan dan anti agama, akan tetapi kehidupan dan penyelenggaraan Negara harus selalu berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sila pertama merupakan legitimasi moral religious bagi bangsa Indonesia.

Selain berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara Indonesia juga harus berkemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan kata lain, kemanusiaan yang adil dan beradab memberikan legitimasi moral kemanusiaan dalam penyelenggaraan Negara. Negara pada prinsipnya adalah persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusia merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan mempunyai kedudukan mutlak dalam kehidupan Negara dan hukum, sehingga jaminan hak asasi manusia harus diberikan kepada setiap warga Negara. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua sila tersebut memberikan legitimasi moral religius (sila Ketuhanan Yang Maha Esa) dan legitimasi moral kemanusiaan (sila

Page 7: BAB II

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dalam kehidupan dan proses penyelenggaraan Negara, sehingga Negara Indonesia terjerumus ke dalam Negara kekuasaan.

Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi bangsa Indonesia. Sila ini menegaskan bahwa Negara berasal dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan diarahkan senantiasa untuk rakyat. Sila ini memberikan legitimasi demokrasi bagi penyelenggaraan Negara. Oleh karena itu, dalam proses penyelenggaraan Negara, segala kebijakan, kewenangan dan kekuasaan harus dikembalikan kepada rakyat. Dengan demikian, aktivitas politik praktis yang menyangkut kekuasaan ekseekutif, legislatif dan yudikatif serta konsep pengambilan keputusan, pengawasan dan partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat.

Sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan legitimasi hukum (legalitas) dalam kehidupan dan penyelenggaraan Negara. Indonesia merupakan Negara hukum yang selalu menjunjung tinggi aspek keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan tujuan dalam kehidupan Negara, yang menunjukkan setiap warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan tersebut, kehidupan dan penyelenggaraan Negara harus senantiasa berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan Negara, yang bisa mengakibatkan hancurnya tatanan hidup kenegaraan serta terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila harus dijadikan patokan bagi setiap penyelenggara Negara dan rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut harus diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga pada akhirnya akan terbentuk suatu pemerintahan yang etis serta rakyat yang bermoral pula.