BAB II
-
Upload
pak-sugeng -
Category
Documents
-
view
12 -
download
2
description
Transcript of BAB II
-
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka
Tinjauan pustaka mengkaji telaah pustaka yang berkaitan dengan
penelitian keterampilan bercerita, yaitu pemaparan hasil penelitian yang
dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tentang keterampilan bercerita telah
diteliti oleh Liu, dkk (2010), Belet dan Dal (2010), Ermawati (2010), Anggasari
(2011), Mokhtar, dkk (2011), Zuliyanti (2012), Kowsary (2013), Budi (2013).
Liu, dkk (2010) menulis artikel yang diterbitkan dalam jurnal
internasional dengan judul Childrens Collaborative Storytelling with Linear and
Nonlinear Approaches yang artinya anak-anak bercerita kolaboratif dengan
pendekatan linier dan nonlinier. Persamaan penelitian yang dilakukan Liu dengan
penelitian peneliti adalah sama-sama mengaji aspek bercerita. Perbedaan
penelitian ini terletak pada penelitian Liu yang menyelidiki apakah persepsi dan
perilaku belajar anak-anak dalam bercerita kolaboratif tentang pendekatan linier
dan nonlinier berbeda. Implementasi dilihat dari unsur-unsur seperti teks,
gambaran, musik dan pengisahan untuk meningkatkan kerja sama atau kolaborasi
anak-anak. Sedangkan penelitian peneliti menggunakan pendekatan scientific
yang tercermin dalam pelaksanaan pembelajaran bercerita yang bertujuan
mengukur kemampuan siswa.
Penelitian serupa dilakukan oleh Belet dan Dal (2010) dengan judul The
use of storytelling to develop the primary school students critical reading skill:
18
-
19
the primary education pre-service teachers opinions. Pendapat positif dari para
guru tentang penggunaan bercerita untuk kembangkan keterampilan membaca
kritis para siswa dan pendapat mereka tentang kontribusi dari metode kompatibel
dengan penjelasan keterampilan dalam literatur konteks membaca kritis.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Belet dan Dal dengan penelitian
peneliti adalah sama-sama meneliti aspek bercerita. Perbedaan penelitian ini
terletak pada tulisan Belet dan Dal selain menggunakan bercerita dalam membaca
kritis, juga mendeskripsi para guru pre-servis sebagai pendidikan utama.
Kedua penelitian yang dilakukan Liu, dkk (2010) dan Belet dan Dal
(2010) dapat disimpulkan bahwa kedua peneliti tersebut meneliti tentang bercerita.
Namun ada perbedaan dari kedua penelitian ini, Liu menguji bercerita kolaboratif
dengan pendekatan linier dan nonlinier. Penelitian yang dilakukannya mungkin
penting dalam memberikan pemahaman bagaimana persepsi anak-anak tentang
pendekatan linier dan nonliner dalam aktivitas bercerita kolaboratif. Sedangkan
Belet menggunakan bercerita untuk menguji keterampilan membaca kritis yang
merupakan pendapat para guru pre-servis. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa
pre-servis para guru, siapa yang mempunyai dasar pengetahuan tentang bercerita
hanya prediksi tentang penggunaan metode untuk mengembangkan keterampilan
membaca kritis.
Penelitian tentang peningkatan keterampilan bercerita pada siswa SMP
sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Ermawati (2010) dalam
penelitiannya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Alat
Peraga Menggunakan Permainan Resep Gotong Royong dengan Media Wayang
-
20
Dongeng Pada Siswa Kelas VIID SMP N 1 Pecalungan Batang Tahun Ajaran
2009/2010 menunjukkan bahwa permainan resep gotong royong dengan media
wayang dongeng dapat meningkatkan keterampilan bercerita dengan alat peraga
pada siswa kelas VIID SMP N 1 Pecalungan Batang. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai rata-rata pada siklus I diperoleh siswa secara klasikal sebesar 68,98 dan pada
siklus II meningkat menjadi 79,07 atau terjadi peningkatan sebesar 10,09.
Peningkatan keterampilan bercerita dengan alat peraga mengindikasikan bahwa
penggunaan permainan resep gotong royong dengan media wayang dongeng
berjalan efektif. Selain itu, pembelajaran bercerita menggunakan permainan resep
gotong royong dengan media wayang dongeng berpengaruh pada perilaku siswa.
Siswa menjadi lebih bersemangat dan antusias dengan pembelajaran.
Persamaan penelitian Ermawati dengan penelitian yang dilakukan
peneliti yaitu sama-sama meneliti keterampilan bercerita, desain penelitian,
instrumen penelitian yang digunakan, dan analisis data. Keterampilan yang
ditingkatkan yaitu keterampilan bercerita. Desain penelitian adalah penelitian
tindakan kelas. Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes dan nontes.
Analisis data dilakukan melalui deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Perbedaannya
terletak pada masalah yang dikaji, tujuan penelitian, variabel penelitian, dan
subjek penelitian. Masalah yang dikaji Ermawati adalah penggunaan permainan
resep gotong royong dengan media wayang dongeng dalam pembelajaran
bercerita. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh deskripsi peningkatan
bercerita setelah menggunakan permainan resep gotong royong dengan media
wayang dongeng. Variabel penelitian adalah keterampilan bercerita menggunakan
-
21
permainan resep gotong royong dengan media wayang dongeng. Subjek
penelitian adalah siswa kelas VIID SMP Negeri 1 Pecalungan tahun ajaran
2009/2010.
Penelitian yang berkaitan dengan keterampilan bercerita juga dilakukan
oleh Anggasari (2011) dengan judul Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan
Alat Peraga Menggunakan Sate Gambar dan Metode Time Token Arends Pada
Siswa Kelas VIIB SMP N 3 Singorojo Kendal, menunjukkan bahwa
menggunakan sate gambar dan metode Time Token Arends dapat meningkatkan
keterampilan bercerita dengan alat peraga bagi siswa kelas VIIB SMP N 3
Singorojo Kendal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata siswa mengalami
peningkatan, siklus I sebesar 62,97 menjadi 75,92 pada siklus II. Selain itu,
adanya perubahan perilaku siswa yang mencakup lima karakter penting, yaitu
keaktifan, kepercayaan diri, kekritisan, kedisiplinan dan tanggung jawab, serta
kerja sama dan kemampuan berbagi. Siswa lebih aktif selama pembelajaran, lebih
berfokus terhadap penjelasan guru dan berdisiplin dalam tugas, lebih percaya diri
dalam bercerita dan berkomentar serta lebih mampu bekerja sama dan berbagi
dengan temannya.
Persamaan penelitian Anggasari dengan penelitian yang dilakukan
peneliti yaitu sama-sama meneliti keterampilan bercerita, desain penelitian,
instrumen penelitian yang digunakan, dan analisis data. Keterampilan yang
ditingkatkan yaitu keterampilan bercerita. Desain penelitian adalah penelitian
tindakan kelas. Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes dan nontes.
Analisis data dilakukan melalui deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Perbedaannya
-
22
terletak pada masalah yang dikaji, tujuan penelitian, variabel penelitian, dan
subjek penelitian. Masalah yang dikaji Anggasari adalah penggunaan media sate
gambar dan metode time token arends dalam pembelajaran keterampilan bercerita.
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan deskripsi peningkatan keterampilan
bercerita setelah menggunakan media sate gambar dan metode time token arends.
Variabel penelitian adalah keterampilan bercerita menggunakan media sate
gambar dan metode time token arends. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIIB
SMP N 3 Singorojo Kendal.
Penelitian yang dilakukan oleh Ermawati (2010) dan Anggasari (2011)
dapat disimpulkan bahwa kedua penelitian ini mempunyai persamaan, yaitu:
meneliti keterampilan bercerita dengan alat peraga, desain penelitian tindakan
kelas, instrumen penelitian berupa tes dan nontes, analisis data melalui deskripsi
kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan yang jelas terlihat adalah variabel penelitian.
Variabel penelitian Ermawati adalah keterampilan bercerita menggunakan
permainan resep gotong royong dengan media wayang dongeng. Sedangkan
variabel penelitian Anggasari adalah keterampilan bercerita menggunakan media
sate gambar dan metode time token arends. Hal ini sejalan dengan masalah yang
dikaji dan tujuan penelitian yang diteliti oleh kedua peneliti tersebut.
Mokhtar, dkk (2011) melakukan penelitian yang berjudul The
Effectiveness of Storytelling in Enhancing Communicative Skills. Dalam
penelitian ini bercerita tidaklah terbatas pada pertunjukan/hiburan tetapi dapat
juga digunakan sebagai alat mengajar yang efektif di suatu kelas bahasa. Mokhtar
mengidentifikasi efek bercerita bagi siswa terkait aspek keterampilan komunikasi
-
23
bahasa dan membantu evaluasi bercerita dalam meningkatkan keterampilan
komunikasi para siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bercerita
menjadikan para siswa mampu menghubungkan maksud/arti dan emosi dengan
kata-kata, selain itu kosa kata mereka berkembang, dan belajar bagaimana
menggunakan kata-kata tertentu dan mengungkapkannya. Persamaan penelitian
Mokhtar dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama meneliti
aspek bercerita. Perbedaan penelitian terletak pada penelitian Mokhtar yang
menguji efektifitas bercerita dalam meningkatkan keterampilan komunikasi para
siswa, sedangkan peneliti meningkatkan pembelajaran keterampilan bercerita
dengan menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual berbasis
pendidikan karakter.
Zuliyanti (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Pengembangan
Model Opera Dalam Pembelajaran Keterampilan Bercerita Berkonteks
Multikultural Bermuatan Nilai-Nilai Karakter Pada Peserta Didik SMA
menyatakan keberhasilan model opera terekomendasi dan berterima dari hasil uji
coba terbatas di dua sekolah dan sikap peserta didik yang dapat memahami,
menghormati, dan menghargai perbedaan budaya setelah mengikuti pembelajaran
bercerita dengan model opera berkonteks multikultural bermuatan pendidikan
karakter. Skor peserta didik di kedua sekolah mencapai ketuntasan belajar,
sehingga dapat diidentifikasi model opera dapat meningkatkan motivasi belajar
peserta didik. Persamaan penelitian Zuliyanti dengan penelitian yang dilakukan
peneliti adalah sama-sama mengkaji keterampilan bercerita. Perbedaan penelitian
terletak pada penelitian Zuliyanti mengembangkan model opera dalam
-
24
pembelajaran keterampilan bercerita berkonteks multikultural bermuatan nilai-
nilai karakter, sedangkan peneliti meningkatkan pembelajaran keterampilan
bercerita dengan menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual
berbasis pendidikan karakter.
Penelitian Mokhtar, dkk (2011) dan Zuliyanti (2012) dapat disimpulkan
bahwa penelitian keduanya sama-sama meneliti keterampilan bercerita, namun
keduanya juga mempunyai perbedaan. Mokhtar melakukan penelitian eksperimen
mengenai bercerita untuk meningkatkan keterampilan komunikasi siswa
khususnya kelas bahasa. Zuliyanti melakukan penelitian Research and
Development (R&D) yaitu pengembangan model opera dalam pembelajaran
bercerita yang berdampak positif. Hal ini ditandai dengan meningkatnya motivasi
belajar peserta didik, maupun hasil belajar peserta didik yang mencapai
ketuntasan belajar.
Kowsary (2013) melakukan penelitian yang berjudul The Relationship
between Teachers Storytelling Aloud and Reading Comprehension Among
Iranian Elementary EFL Learners. Penelitian ini mempertimbangkan efek
bercerita guru dengan suara keras pada saat pelajar-pelajar dasar EFL Iran
membaca pemahaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bercerita dengan
suara keras oleh guru mempunyai suatu hal positif yang mempengaruhi pelajar-
pelajar dalam membaca pemahaman. Persamaan penelitian Kowsary dengan
penelitian yang dilakukan peneliti adalah mengkaji keterampilan bercerita.
Perbedaan penelitian terletak pada penelitian Kowsary yang meneliti hubungan
bercerita guru dengan suara keras dan membaca pemahaman pelajar-pelajar dasar
-
25
EFL Iran, sedangkan peneliti meningkatkan pembelajaran keterampilan bercerita
dengan menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual berbasis
pendidikan karakter. Perbedaan penelitian ini mencerminkan masalah penelitian,
tujuan penelitian, variabel penelitian yang berbeda. Begitu pula desain penelitian,
Kowsary menggunakan desain penelitian korelasi, sedangkan peneliti
menggunakan desain penelitian tindakan kelas.
Budi (2013) dengan judul penelitian Keefektifan Penggunaan Model
Pengaturan Mahir dan Model Investigasi Kelompok Untuk Meningkatkan
Keterampilan Bercerita Peserta Didik SMP Yang Introver dan Ekstrover. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Budi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
bercerita dengan model pengaturan mahir pada peserta didik ekstrover lebih
efektif dari pada pembelajaran bercerita dengan model investigasi kelompok.
Persamaan penelitian Budi dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah
sama-sama mengkaji keterampilan bercerita. Perbedaan penelitian terletak pada
penelitian Budi yang mengkaji keefektifan penggunaan model pengaturan mahir
dan model investigasi kelompok untuk meningkatkan keterampilan bercerita,
sedangkan peneliti meningkatkan pembelajaran keterampilan bercerita dengan
menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual berbasis
pendidikan karakter.
Penelitian yang dilakukan Kowsary (2013) dan Budi (2013) dapat
disimpulkan bahwa keduanya mengkaji aspek yang sama, yaitu bercerita.
Penelitian Kowsary termasuk desain penelitian korelasi, sedangkan penelitian
Budi termasuk desain penelitian eksperimen. Perbedaan penelitian kedua peneliti
-
26
ini di antaranya: masalah penelitian, tujuan penelitian, yang dapat diidentifikasi
pada variabel penelitian masing-masing penelitian tersebut. Variabel penelitian
Kowsary adalah hubungan bercerita guru dengan suara keras dan membaca
pemahaman pelajar-pelajar dasar EFL Iran. Sedangkan variabel penelitian Budi
adalah keefektifan penggunaan model pengaturan mahir dan model investigasi
kelompok untuk meningkatkan keterampilan bercerita.
Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat diketahui bahwa banyak
peneliti yang tertarik untuk meneliti tentang keterampilan bercerita. Dikarenakan
adanya kebaruan kurikulum, keterampilan bercerita diaplikasikan pada salah satu
kompetensi dasar 4.2., yaitu menyusun teks cerita pendek sesuai dengan
karakteristik teks yang akan dibuat secara lisan yang dibelajarkan untuk siswa
SMP kelas VII. Oleh karena itu, penelitian tentang peningkatan keterampilan
bercerita berdasarkan teks cerita pendek sesuai dengan karakteristik teks
menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual berbasis
pendidikan karakter belum pernah dilakukan, sehingga kedudukan penelitian ini
sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya.
2.2 Landasan Teoretis
Landasan teoretis mencakup paparan teori-teori penelitian yang
menguraikan pendapat para ahli dari sumber-sumber yang dapat mendukung
penelitian ini. Teori-teori yang mendukung penelitian ini adalah pengertian
bercerita, tujuan bercerita, manfaat bercerita, teknik bercerita, penilaian
keterampilan bercerita, pengertian cerita pendek, unsur-unsur pembangun cerita
-
27
pendek, bercerita berdasarkan teks cerita pendek, hakikat pendekatan scientific,
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan scientific (ilmiah), pengertian
media pembelajaran, manfaat media pembelajaran, kriteria media pembelajaran,
media audiovisual, media audiovisual berbasis pendidikan karakter, hakikat sikap
religius, hakikat sikap sosial.
2.2.1 Keterampilan Bercerita
Keterampilan bercerita merupakan salah satu keterampilan berbahasa
yang menuntut siswa dapat mengkomunikasian suatu hal secara lisan. Bercerita
sebagai salah satu sarana mengungkapkan pikiran, ide atau gagasannya secara
lisan sesuai dengan konteks pembahasan materi dalam pembelajaran bahasa
Indonesia. Keterampilan ini bersifat unjuk kerja atau praktik yang diidentifikasi
berdasarkan pelafalan, pilihan kata, keefektifan kalimat, ekspresi, volume suara,
penguasaan topik, dan kelancaran.
Dalam subbab ini dipaparkan pendapat para ahli berkaitan dengan
keterampilan bercerita, mencakup: pengertian, tujuan, manfaat, teknik, dan
penilaian keterampilan bercerita.
2.2.1.1 Pengertian Bercerita
Cerita itu mencakup pengantar, rangkaian peristiwa, konflik yang
muncul dalam cerita, dan klimaks (Majid 2001:49). Beberapa hal tersebut adalah
aspek yang harus ada dalam cerita. Salah satu hal yang memiliki peranan penting
dalam cerita adalah pesan. Pesan merupakan jembatan pengarang dalam
-
28
menyampaikan maksud dan tujuannya. Menurut Simanjutak (2008:5), selain
syarat dengan pesan, cerita-cerita tersebut biasanya disampaikan dengan menarik,
sehingga pendengar merasa dirinya terlibat dalam cerita itu. Lebih lanjut
Simanjuntak (2008:12) mengungkapkan struktur cerita terdiri dari empat bagian:
1) permulaan (awal); 2) tubuh cerita (pengembangan); 3) klimaks (puncak
ketegangan); dan 4) penutup (penyelesaian).
Bercerita memiliki kata dasar cerita yang artinya buah dari pemikiran
dan rasa yang disampaikan dengan gaya bahasa yang bervariasi dengan maksud
tertentu (Hanifah dan Hari, 2012:G-45). Penyampaian cerita yang berorientasi
pada pemikiran tentang suatu konsep atau adaptasi dari suatu hal hendaknya
disampaikan dengan menarik secara lisan. Sebagaimana Delimasa G (2012)
berpendapat bahwa bercerita adalah seni menggunakan bahasa, vokalisasi, dan
atau gerakan fisik dan isyarat untuk mengungkapkan unsur-unsur dan gambaran
dari sebuah cerita kepada sesuatu yang spesifik, kehidupan penonton. Menurut
konsep ini, kemenarikan seni bercerita diidentifikasi dari visualisasi penyampaian
suatu cerita yang tepat seuai dengan isi cerita tersebut sehingga penonton seakan
ikut merasakannnya.
Jika Delimasa G mengungkapkan bercerita sebagai wujud seni, berbeda
dengan Wibowo yang berpendapat bahwa bercerita adalah bagian atau unsur dari
karya sastra. Menurut Wibowo (2013:37) hakikat karya sastra adalah bercerita.
Bercerita ini adalah bentuk dari hasil pekerjaan seni kreatif, yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Jika bahasa sebagai medium bercerita, maka bercerita termasuk kegiatan
-
29
mengkomunikasikan sesuatu tentang manusia dan kehidupannya yang menarik
sebagai wujud keindahan.
Sementara itu, Subyantoro (2013:35) menyatakan bahwa kegiatan
bercerita adalah suatu kegiatan yang disampaikan oleh pencerita kepada siswanya,
ayah dan ibu kepada anak-anaknya, juru bercerita kepada pendengarnya.
Bercerita juga merupakan suatu kegiatan yang bersifat seni, karena erat kaitannya
dengan keindahan dan bersandar kepada kekuatan kata-kata. Kekuatan kata-kata
inilah, yang dipergunakan untuk mencapai tujuan bercerita. Menurut konsep ini,
kegiatan bercerita melibatkan dua pihak, yaitu pencerita dan pendengar cerita.
Ketika bercerita, pencerita hendaknya mempunyai teknik dalam penyampaian
cerita agar indah dan menarik dengan memperhatikan pilihan kata yang tepat.
Sebagaimana tujuan bercerita, cerita yang disampaikan pencerita hendaknya
dapat tersampaikan kepada pendengar cerita terlebih dapat memberikan kesan
positif.
Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa bercerita
merupakan kegiatan penyampaian bahasa mengandung keindahan dan menarik
dalam penceritaan suatu kisah cerita, sehingga pendengar ikut merasakan dan
imajinasi pikirannya terpengaruh cerita tersebut. Pada prinsipnya, pencerita
(penyampai cerita) untuk dapat bercerita dengan baik hendaknya memperhatikan
bagaimana memvisualisasikan suatu cerita tertentu.
-
30
2.2.1.2 Tujuan Bercerita
Bercerita mempunyai tujuan yang kompleks, beberapa tujuan bercerita
dapat diklasifikasikan di antaranya: tujuan bercerita untuk siswa, untuk perantara
penyampaian pendidikan moral dan perilaku, tujuan bercerita untuk khalayak
umum.
Abdul Samat dalam Dewi (2009:30-31) menggariskan delapan tujuan
pembelajaran bercerita, yaitu: (1) memotivasi siswa untuk minat belajar dalam
suasana yang menggembirakan. (2) Pembelajaran yang berlaku melalui cerita
lebih bermakna. Oleh karena itu, nilai-nilai murni boleh diterapkan ke dalam
cerita-cerita tersebut. (3) Melalui cerita, siswa dapat dilibatkan secara aktif.
Dengan itu, bercerita menjadi suatu metode pengajaran yang berpusat kepada
siswa. (4) Cerita yang bertema moral dapat membantu siswa menghayati nilai-
nilai murni. Hal ini disebabkan siswa belajar melalui peniruan watak-watak baik
yang ditonjolkan dalam cerita. (5) Cerita dapat mengurangi masalah disiplin
secara tidak langsung. Hal ini disebabkan siswa yang tertarik kepada cerita ingin
mendengar dengan teliti sehingga masalah disiplin tidak akan timbul. (6)
Bercerita dapat memperluas pengalaman siswa yang dapat dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari. (7) Bercerita dapat meningkatkan kemampuan mendengar
dan kreativiatas siswa. (8) Bercerita dapat melatih siswa menyusun ide secara
teratur baik secara lisan atau tulisan.
Adapun, Arti, dkk (2011:2) menyatakan bahwa tujuan kemampuan
bercerita adalah mengembangkan kemampuan berbahasa di antaranya
kemampuan menyimak, juga kemampuan dalam berbicara serta menambah kosa
-
31
kata yang dimilikinya. Tujuan lainnya adalah mengembangkan kemampuan
berpikirnya karena dengan bercerita anak diajak untuk memfokuskan perhatian
dan berfantasi mengenai jalan cerita serta mengembangkan kemampuan berpikir
secara simbolik.
Selain itu, Anggraini, dkk (2012:4) mengungkapkan tujuan bercerita
adalah agar siswa mampu mendengarkan dengan seksama terhadap apa yang
disampaikan oleh guru. Siswa dapat bertanya apabila tidak memahaminya. Siswa
dapat menjawab pertanyaan, selanjutnya siswa dapat menceritakan dan
mengekspresikan kembali terhadap apa yang didengarnya, sehingga hikmah dari
isi cerita dapat dipahami.
Berdasarkan beberapa pendapat terkait dengan tujuan bercerita, dapat
disimpulkan bahwa tujuan bercerita adalah untuk memotivasi peran aktif siswa
khususnya keterampilan mengkomunikasikan suatu hal secara lisan atau bercerita,
untuk menumbuhkan kreatifitas siswa dalam memunculkan ide atau gagasan,
untuk melatih kepekaan menyimak, untuk membangun pola berpikir positif wujud
pengaruh watak baik dalam cerita, untuk membangun keberanian dan
kepercayaan diri.
2.2.1.3 Manfaat Bercerita
Bercerita dapat dimanfaatkan untuk menarik minat belajar anak di
samping memperluas kesadaran dan pengetahuan tentang keberagaman
lingkungan. Cerita juga dapat membantu mengatasi kendala kultural (budaya), di
samping membangun jembatan pemahaman (Lenox dalam Musfiroh 2008:98).
-
32
Bercerita sebagai sarana atau perantara untuk menyampaikan pendidikan moral,
kultur atau budaya dan tradisi nusantara melalui pemahaman yang ditangkap
anak/pembaca ketika membaca teks tertentu. Pengaruh bagi anak/pembaca salah
satunya dapat menumbuhkan motivasi, minat, dan sugesti positif sehingga
membangkitkan kesadaran berperilaku.
Anggraini, dkk (2012:4) dalam penelitiannya mengungkapkan beberapa
manfaat metode bercerita bagi siswa adalah sebagai berikut: 1) melatih daya
tangkap atau daya serap siswa; 2) melatih daya konsentrasi siswa untuk
memusatkan perhatiannya kepada cerita yang didengarnya; 3) melatih daya pikir
siswa untuk memahami proses cerita, mempelajari hubungan bagian-bagian
dalam cerita termasuk hubungan sebab akibatnya; 4) mengembangkan daya
imajinasi siswa; 5) membantu perkembangan bahasa siswa dalam berkomunikasi
secara efektif dan efisien sehingga menjadi komunikatif; 6) menciptakan situasi
yang menggembirakan serta mengembangkan suasana hubungan yang akrab.
Beberapa manfaat yang dipaparkan Anggraini secara garis besar adalah untuk
menumbuhkembangkan kemampuan siswa yang diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan bercerita siswa sehingga dapat mengkomunikasikan suatu hal secara
lisan.
Adapun, Subyantoro (2013:16) mengungkapkan pendapat yang berbeda
mengenai manfaat bercerita bahwa bercerita yang baik memiliki kekuatan yang
spesifik untuk mengaktifkan otak emosional yang bisa mengkondisikan saraf otak
bekerja secara rileks dan mediatif. Inilah kekuatan penting bercerita dalam
meningkatkan kecerdasan emosional anak-anak. Jika beberapa pendapat
-
33
sebelumnya memaparkan manfaat bercerita dapat menumbuhkembangkan
kemampuan siswa, Subyantoro menyatakan manfaat bercerita dapat
meningkatkan kecerdasan emosional anak-anak. Kecerdasan emosional anak yang
meningkat diidentifikasi dari kemampuan otak yang bekerja dengan baik.
Berdasarkan pembahasan di atas, disimpulkan bahwa bercerita memiliki
peranan penting, baik dalam bidang pendidikan maupun psikologis terlebih untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak/siswa. Manfaat bercerita adalah
menumbuhkembangkan kemampuan berbahasa (mengkomunikasikan sesuatu)
dengan imajinasi (pembentukan daya pikir) yang berpengaruh pada kecerdasan
emosional.
2.2.1.4 Teknik Bercerita
Teknik bercerita berkaitan dengan cara-cara penyajian cerita yang perlu
dipersiapkan dalam menyampaikan cerita. Gunawan (2007:31-37) menyatakan
bahwa agar berhasil menjadi seorang pencerita yang andal memang dibutuhkan
teknik dan keterampilan tertentu, yaitu: (1) olah tubuh; (2) olah suara; (3) olah
mimik; (4) cara menenangkan anak.
Adapun, Musfiroh (2008:119-139) berpendapat bahwa teknik dalam arti
ini mengandung pengertian daya upaya, usaha-usaha, atau cara-cara yang
digunakan guru untuk mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan kegiatan
bercerita. Dengan demikian, teknik pelaksanaan cerita bersifat implementasional.
Lebih lanjut, Musfiroh memaparkan teknik penyajian cerita mencakup: (1)
memilih dan mempersiapkan tempat; (2) bercerita dengan alat peraga, meliputi:
-
34
buku, gambar, papan panel, boneka, dan film bisu; (3) bercerita tanpa alat peraga;
(4) mengekspresikan karakter tokoh.
Pendapat yang diungkapkan oleh Gunawan dan Musfiroh masing-masing
memiliki kekhasan tersendiri atau bersifat subjektif. Gunawan menyatakan olah
tubuh, olah suara, olah mimik termasuk teknik bercerita. Ketiga aspek tersebut
tidak jauh berbeda sebagaimana maksud Musfiroh yang menyatakan bahwa
mengekspresikan karakter tokoh sebagai salah satu teknik bercerita. Teknik
bercerita dengan mengekspresikan karakter tokoh mewakili teknik olah tubuh,
olah suara, olah mimik.
Teknik-teknik bercerita perlu dikuasai, berikut beberapa hal yang perlu
diperhatikan agar dapat bercerita secara menarik menurut Sudarmadji (2010:42-
54): (1) Total. Kunci sukses bercerita yang pertama adalah totalitas diri kita
dalam bercerita. (2) Tentukan tujuan dan alur cerita. Untuk mempermudah
menemukan ide dasar dan alur cerita, ada beberapa hal yang dapat membantu: (a)
pilihlah setting awalnya, (b) tentukan tokoh-tokoh utama dan tokoh-tokoh
antagonisnya, (c) munculkan konflik (persoalan) pokok antar tokoh di atas. (3)
Satukan perhatian, usahakan agar semua perhatian terpusat pada diri kita. (4)
Detail. Gambarkan secara rinci cerita yang kita sampaikan. Ada tiga hal yang
perlu didetailkan, yaitu: (a) personifikasi tokoh-tokohnya, (b) adegan-adegannya,
(c) dialog antar tokohnya. (5) Dramatisasi. Kita perlu menggambarkan perbedaan
perilaku antara tokoh utama dengan tokoh antagonis secara tajam. (6) Ekspresif.
(7) Ilustrasi suara. Ilustrasi suara dapat kita bedakan menjadi dua: (a) suara lazim,
suara yang kita tirukan sebagaimana suara aslinya dan (b) suara tak lazim, suara
-
35
yang kita ciptakan sendiri. (8) Suspence dan humor. (9) Friendship. (10)
Perhatikan situasi dan kondisi pendengar. (11) Happy ending, cerita harus
berpihak pada yang benar.
Berbagai teknik bercerita yang diterapkan pencerita dalam persiapan
melakukan kegiatan bercerita atau menyampaikan cerita kepada pendengar.
Sebagaimana Subyantoro (2013:36) mengungkapkan bahwa penceritaan atau
bercerita yang baik akan menyebarkan ruh baru yang kuat dan menampakkan
gambaran yang hidup di hadapan pendengar, dengan memberikan potret yang
jelas dan menarik, adanya intonasi, disertai gerak-gerak, dan adanya kandungan
emosi di dalamnya. Ia dapat menghidupkan setiap tokoh dengan karakter seperti
yang dituntut dalam cerita.
Berdasarkan teori tentang teknik-teknik bercerita di atas, dapat
disimpulkan bahwa teknik bercerita merupakan siasat atau bentuk strategi untuk
dapat bercerita dengan baik dengan memperhatikan faktor teknis. Teknik
menunjukkan tahapan persiapan ketika melakukan kegiatan bercerita guna
mencapai keberhasilan bercerita dengan baik dan menarik. Persiapan tidak hanya
kesiapan pencerita dalam hal teknis, tetapi kesiapan psikologis dan kepercayaan
diri perlu diperhatikan. Karena pada kenyataannya, hal ini menjadi salah satu
tolok ukur keberhasilan bercerita. Teknik bercerita sangat membantu pencerita
sebagai pedoman bercerita agar dapat menyampaikan cerita secara baik dan
menarik.
-
36
2.2.1.5 Penilaian Keterampilan Bercerita
Guna mengetahui keberhasilan siswa dalam pembelajaran keterampilan
bercerita diperlukan penilaian. Penilaian tidak hanya memberi angka tetapi dapat
memotivasi dan mengembangkan kemampuan siswa terlebih dalam hal bercerita.
Yang diuji adalah kemampuan pengguna bahasa dalam berbahasa, bukan
kemahiran pengguna bahasa tentang aturan bahasa itu sendiri walaupun
pengetahuan tentang aturan bahasa sangat menunjang keefektifan berbahasa
(Depdiknas 2007:16). Kemampuan pengguna bahasa dalam berbahasa ditinjau
dari kemampuan berkomunikasi pengguna bahasa tersebut terhadap pengguna
bahasa lain dalam lingkup sosial baik secara verbal maupun nonverbal.
Kemampuan berkomunikasi secara verbal dan nonverbal berpengaruh pada
storytelling diungkapkan oleh Sobarna (2010:72-73). Kemampuan berkomunikasi
secara verbal adalah kesanggupan yang meliputi pengucapan (pronounciation),
pengertian kata (definition), kosa kata (vocabulary) dan keruntutan (plot).
Kemampuan berkomunikasi secara nonverbal meliputi volume suara (volume) ,
kelancaran berkomunikasi (fluency), kontak (contact), dan rasa percaya diri.
Keterampilan bercerita termasuk keterampilan berbicara, Subana dan
Sunarti (2011:222) menyatakan bahwa untuk menilai kemampuan berbicara
seseorang, sekurangnya ada enam hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) lafal dan
ucapan; 2) struktur kebahasaan; 3) kosakata, pilihan kata yang tepat sesuai dengan
makna informasi yang akan disampaikan; 4) kefasihan, kemudahan, dan
kecepatan bicara; 5) isi dan topik pembicaraan, gagasan yang disampaikan, ide-
-
37
ide yang dikemukakan dan alur pembicaraan; 6) pemahaman, menyangkut tingkat
keberhasilan komunikasi menyangkut kekomunikatifan.
Selain itu, Zuliyanti (2012) mengungkapkan bahwa penilaian
kemampuan bercerita adalah tes lisan, aspek yang dinilai adalah 1) ketepatan
ujaran, penempatan tekanan, nada, dan intonasi; 2) pilihan kata (diksi) dan
kosakata; 3) struktur dan keefektifan kalimat; 4) gerak-gerik, mimik, sikap dan
pandangan mata; 5) volume/kenyaringan suara; 6) penguasaan topik, dan 7)
kelancaran.
Sebagaimana pemaparan teori berkaitan dengan penilaian keterampilan
bercerita, aspek penilaian keterampilan bercerita adalah: (1) percaya diri; (2)
keruntutan cerita; (3) volume suara; (4) pilihan kata; (5) intonasi; (6) gerak
tubuh/gesture; (7) ekspresi; (8) isi cerita; (9) keefektifan kalimat; (10) pelafalan.
Pertama, percaya diri. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat
dirumuskan kriteria percaya diri sebagai panduan jabaran indikator penilaian,
yaitu: bercerita tanpa ragu-ragu, tidak canggung, berani bercerita, dan tidak putus
asa.
Kedua, keruntutan cerita. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini
dapat dirumuskan kriteria keruntutan cerita sebagai panduan jabaran indikator
penilaian, yaitu: bercerita sesuai dengan alur, sistematis (awal, tengah, akhir),
bercerita secara urut, berkesinambungan.
Ketiga, volume suara. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat
dirumuskan kriteria volume suara sebagai panduan jabaran indikator penilaian,
-
38
yaitu: suara mencapai daya jangkau pendengar, bercerita dengan nyaring,
ketepatan kekuatan suara yang dihasilkan, pandai mengatur keras pelan suara.
Keempat, pilihan kata. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat
dirumuskan kriteria pilihan kata sebagai panduan jabaran indikator penilaian,
yaitu: pilihan kata selaras dengan cerita, kesesuaian pilihan kata dalam
mendialogkan tokoh, kesesuaian pilihan kata dalam berekspresi, kata yang
digunakan dapat dimengerti.
Kelima, intonasi. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat
dirumuskan kriteria intonasi sebagai panduan jabaran indikator penilaian, yaitu:
ada tinggi rendah nada dalam bercerita sesuai penceritaan, ada tinggi rendah nada
dalam mendialogkan tokoh, melagukan kalimat dalam bercerita, ketepatan
mengatur nada.
Keenam, gerak tubuh/gesture. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini
dapat dirumuskan kriteria gerak tubuh/gesture sebagai panduan jabaran indikator
penilaian, yaitu: memunculkan gerak tubuh dalam bercerita, gerak-gerik sesuai
penceritaan, gerak tubuh meyakinkan, tidak berlebihan.
Ketujuh, ekspresi. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat
dirumuskan kriteria ekspresi sebagai panduan jabaran indikator penilaian, yaitu:
raut wajah sesuai konteks cerita (senang, sedih), improvisasi diri, memerankan
tokoh sesuai karakter, mendialogkan tokoh cerita.
Kedelapan, isi cerita. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat
dirumuskan kriteria isi cerita sebagai panduan jabaran indikator penilaian, yaitu:
pokok cerita tersampaikan, memuat struktur cerita (permulaan, konflik,
-
39
penyelesaian), pengisahan tidak terpaku teks (pemahaman sendiri), memuat pesan
moral.
Kesembilan, keefektifan kalimat. Aspek penilaian bercerita ini dapat
dirumuskan kriteria keefektifan kalimat sebagai panduan jabaran indikator
penilaian, yaitu: bercerita secara komunikatif, mudah dipahami, keberhasilan
menarik perhatian pendengar, bercerita dengan efektif.
Kesepuluh, pelafalan. Aspek penilaian bercerita ini dapat dirumuskan
kriteria pelafalan sebagai panduan jabaran indikator penilaian, yaitu: pengucapan
yang jelas, tidak terbata-bata, ketepatan jeda, pandai mengatur napas.
2.2.2 Cerita Pendek
Dalam subbab ini akan membahas mengenai pengertian cerita pendek,
unsur-unsur pembangun cerita pendek, bercerita berdasarkan teks cerita pendek.
2.2.2.1 Pengertian Cerita Pendek
Nursisto (2000:165) cerita pendek adalah cerita yang pendek, namun
tidak setiap cerita yang pendek dapat digolongkan ke dalam cerpen. Maksud dari
konsep ini, bahwa cerita pendek memiliki karakteristik yang tidak hanya dilihat
dari jumlah halaman atau ukuran cerita yang pendek. Sehingga cerita yang
pendek belum tentu termasuk cerpen.
Di Amerika dikenal dua jenis cerita pendek, yaitu (a) long short-story,
dan (b) short short-story. Di Indonesia kedua istilah tersebut diterjemahkan
menjadi cerita pendek yang panjang dan cerita pendek yang pendek. Dengan
-
40
demikian predikat panjang dan pendek di belakang kata cerita tersebut jelas
menunjuk pada banyak atau sedikitnya halaman yang digunakan pengarang untuk
mewadahi ungkapan perasaannya tersebut (Suharianto 2005:28-29). Hampir
sependapat dengan Nursisto, Suharianto menyatakan bahwa salah satu
karakteristik atau ciri cerpen yaitu cerita yang pendek.
Adapun, Stanton (2007:88) menyatakan bahwa cerpen tersatukan melalui
tema dan efek. Cerpen bergaya padat; salah satu perangkat kepadatan yang
lazim digunakan di dalamnya adalah simbolisme. Cerpen tersusun atas berbagai
macam tingkatan; ia menggugah kepekaan realisme pembaca, pemahamannya,
emosinya, dan kepekaan moralnya secara simultan. Cerpen memiliki efek
mikrokosmis karena mampu mengungkap satu makna yang demikian besar
melalui sepotong kejadian saja. Stanton beranggapan bahwa tema dan efek
sebagai wujud pemaknaan peristiwa atau inti cerpen memberikan pengaruh secara
simultan atau psikologis bagi pembaca. Hal yang mendasar yaitu
tersampaikannya kepada pembaca perihal makna cerita yang umumnya hanya
fokus satu kejadian pada suatu cerpen, inilah yang menjadi salah satu kelebihan
yang dimiliki cerpen.
Secara etimologis cerpen pada dasarnya adalah karya fiksi atau sesuatu
yang dikonstruksikan, ditemukan, dibuat atau dibuat-buat. Hal itu berarti bahwa
cerpen tidak terlepas dari fakta. Fiksi yang merujuk pada pengertian rekaan atau
konstruksi dalam cerpen terdapat pada unsur fisiknya. Sementara fakta yang
merujuk pada realitas dalam cerpen terkandung dalam temanya. Dengan demikian,
-
41
cerpen dapat disusun berdasarkan fakta yang dialami atau dirasakan oleh
penulisnya (Nuryatin 2010:2).
Selain itu, cerpen tidak hanya beradaptasi pada fakta yang dialami
penulis sebagaimana pendapat Nuryatin. Lain hal dengan tersebut, Mihardja
(2012:40) beranggapan bahwa cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi
yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan pararel
pada tradisi penceritaan lisan. Anggapan ini dapat dirumuskan bahwa cerpen
dapat berdasar pada suatu peristiwa yang menarik karena lucu dan mengesankan
sesuai dengan keinginan penceritaan yang diciptakan penulis. Adaptasi
penceritaan ini adalah kebiasaan turun-temurun penceritaan lisan atau bercerita
atau dapat disebut mendongeng.
Berdasarkan beberapa teori tentang pengertian cerpen di atas, dapat
disimpulkan bahwa cerita pendek (cerpen) adalah sebuah kisahan atau prosa fiksi
pendek yang memusatkan satu peristiwa, satu alur, dengan tokoh terbatas yang
fokus pada tokoh utama. Ciri-ciri cerpen diungkapkan pula oleh Kosasih
(2012:34) yaitu: (1) alur lebih sederhana; (2) tokoh yang dimunculkan hanya
beberapa orang; dan (3) latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkup
yang relatif terbatas.
2.2.2.2 Unsur-Unsur Pembangun Cerita Pendek
Hal mendasar agar dapat mencapai pemahaman ketika membaca suatu
cerpen adalah dengan memperhatikan unsur-unsur pembangun cerpen. Unsur-
-
42
unsur pembangun cerpen berkaitan dengan inti pengisahan cerita yang
disampaikan pengarang.
Menurut Sarimanah (2008:162), unsur-unsur pembangun cerita pendek
secara garis besar dibedakan menjadi dua yaitu: 1) unsur pembangun dari dalam
berupa alur, tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa,
dan tema; 2) unsur pembangun dari luar antara lain, latar belakang pengarang,
gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.
Unsur yang pertama adalah unsur pembangun dari dalam berupa alur,
tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa, dan tema.
Unsur ini adalah unsur yang harus ada sebagai karakteristik cerpen. Alur atau plot
merupakan jalinan peristiwa/kejadian sebagai sebab akibat sehingga berpengaruh
pada sambung-sinambung cerita. Tokoh dan penokohan adalah tokoh cerita atau
pelaku dan karakter atau watak dari tokoh cerita tersebut yang dikisahkan dalam
cerita. Setting berkaitan dengan suatu tempat dan waktu tertentu terjadinya
peristiwa/kejadian dalam pengisahan suatu cerita. Sudut pandang penceritaan
adalah peranan pengarang dalam menyajikan cerita, sebagai orang pertama
tunggal/akuan, orang ketiga tunggal/diaan, atau dapat pula sebagai campuran
antara diaan dan akuan. Bahasa berkaitan dengan cara pengisahan cerita oleh
pengarang dengan pemilihan kata yang tepat sehingga dapat mengajak pembaca
untuk dapat merasakan apa yang dirasakan tokoh cerita. Tema adalah dasar cerita
sebagai pokok permasalahan yang menjadi fokus pengisahan suatu cerita yang
diciptakan pengarang.
-
43
Unsur yang kedua adalah unsur pembangun dari luar antara lain, latar
belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu. Unsur ini
merupakan unsur pendukung dari unsur dalam cerita yang ikut berpengaruh pada
karakteristik cerita dan kekhasan pengarang. Latar belakang pengarang adalah hal
yang berhubungan dengan kehidupan, lingkungan tempat tinggal, hal-hal yang
berpengaruh pada seorang pengarang sehingga akan berpengaruh pada cerita yang
diciptakannya. Gaya penulisan adalah ciri khas pengarang yang berhubungan
dengan bahasa yang digunakan pengarang dalam mengisahkan cerita.
Gejala/situasi sosial tertentu berkaitan dengan keadaan sosial yang sedang terjadi
di suatu masa sehingga menggerakkan pengarang untuk menciptakan cerita
berdasarkan peristiwa/kejadian kala itu.
Nuryatin (2010:4) unsur pembangun cerpen mencakupi tema (dan
amanat), penokohan, alur, latar, pusat pengisahan/sudut pandang, dan gaya cerita.
Pertama tema (dan amanat), kedua unsur pembangun cerpen ini memiliki
peran yang berdampingan dalam pengisahan cerita. Tema adalah ide yang
mendasari suatu cerita yang menjadi fokus penceritaan. Sedangkan amanat adalah
pesan atau ajaran moral yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.
Salah satu karakteristik cerpen itu harus singkat dan padat, begitu juga tema
cerpen hanya berpusat pada satu persoalan/peristiwa dan cerpen hanya
mempunyai satu amanat sehingga berkesan tunggal. Menurut Kosasih (2012:40-
41), beberapa unsur intrinsik yang dipergunakan pengarang untuk menyalurkan
tema ceritanya, yaitu: (1) melalui alur cerita; (2) melalui tokoh cerita; dan (3)
melalui perkataan yang dipergunakan pengarang. Menurut konsep ini, tema
-
44
disampaikan kepada pembaca melalui perantara alur cerita, pemunculan tokoh
cerita dan watak yang menaunginya, juga petuah yang disampaikan pengarang
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengisahan cerita tersebut.
Kedua penokohan, merupakan perwatakan tokoh/pelaku yang dikisahkan
dalam cerita. Pencerminan watak/karakter tokoh dalam cerita, diwujudkan dengan
kalimat langsung (perkataan) tokoh atau dapat pula melalui penggambaran dan
ilustrasi cerita oleh pengarang. Kosasih (2012:36-37) memaparkan contoh-contoh
teknik penggambaran karakteristik tokoh: (1) teknik analitik atau penggambaran
langsung; (2) penggambaran fisik dan perilaku tokoh; (3) penggambaran
lingkungan kehidupan tokoh; (4) penggambaran tata kebahasaan tokoh; dan (5)
pengungkapan jalan pikiran. Dari pendapat Kosasih tersebut, karakteristik tokoh
dapat diidentifikasi pada pengisahan tokoh secara langsung, fisik dan perilaku
tokoh, pengisahan tentang lingkungan kehidupan tokoh, tata bahasa tokoh, dan
penafsiran pikiran tokoh. Kelima teknik ini dapat membantu ketika menentukan
watak tokoh atau penokohan suatu cerpen.
Ketiga alur, merupakan rangkaian cerita berdasarkan peristiwa-peristiwa
yang membentuk jalinan suatu cerita. Adapaun, Kosasih (2012:34-35)
menyatakan bahwa alur terbagi ke dalam bagian-bagian berikut: (1) pengenalan
situasi cerita (exposition); (2) pengungkapan peristiwa (complication); (3) menuju
pada adanya konflik (rising action); (4) puncak konflik (turning point); dan (5)
penyelesaian (ending). Dari pendapat tersebut, alur membentuk tahapan-tahapan
yang harus ada dalam cerita. Alur bersifat sinambung dan saling berkaitan, antara
awal, tengah, dan akhir cerita.
-
45
Keempat latar atau setting, merupakan keadaan atau situasi peristiwa
dalam cerita yang berupa tempat, waktu, dan suasana. Sehubungan dengan
dengan hal itu, Kosasih (2012:38-39) menyatakan macam-macam latar yaitu: (1)
latar tempat, dan (2) latar waktu. Berdasarkan pendapat tersebut, latar mempunyai
peranan penting dalam pengisahan cerita. Karena tanpa penggambaran latar, suatu
cerita akan terkesan absurd atau tidak dapat teridentifikasi pengisahan peristiwa
suatu cerita. Latar tempat merupakan letak, lokasi, ruang yang digunakan atau
ditempati. Latar waktu merupakan keadaan yang berlangsung atau saat tertentu.
Kelima pusat pengisahan/sudut pandang, hal ini berhubungan dengan
cara pandang pengarang dalam menciptakan satu kesatuan cerita yang utuh dan
sinambung. Selain itu, Suharianto (2005:25-26) menyatakan bahwa ada beberapa
jenis pusat pengisahan, yaitu: (1) pengarang sebagai pelaku utama cerita; (2)
pengarang ikut main tapi bukan sebagai pelaku utama; (3) pengarang serba hadir;
dan (4) pengarang peninjau. Menurut pendapat tersebut, yang dimaksud
pengarang sebagai pelaku utama cerita adalah pengarang memerankan dirinya
menjadi fokus pengisahan atau menjadi tokoh utama cerita. Pengarang ikut main
tapi bukan sebagai pelaku utama, artinya adalah cerita tersebut merupakan kisah
orang lain tetapi pengarang terlibat. Biasanya pengarang pada posisi ini akan
menguatkan penokohan cerita melalui perkataannya atau penggambaran langsung
maupun tidak langsung. Pengarang serba hadir adalah pengarang tidak berperan
apa-apa, tetapi pengarang serba tahu apa yang akan terjadi. Pengarang peninjau
adalah pengarang seakan-akan tidak tahu apa yang terjadi, tetapi hanya
menceritakan apa yang dilihatnya.
-
46
Keenam gaya cerita, pada unsur ini pengarang mempunyai ciri khas
masing-masing dalam mengarang atau menciptakan suatu cerita, karena gaya
cerita bergantung pada kemampuan tiap individu pengarang. Gaya cerita berupa
gaya bahasa yang berkaitan dengan pemilihan kata-kata yang sesuai dengan isi
cerita. Sebagaimana pendapat Kusmayadi (2010:27), gaya bahasa adalah teknik
pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang
hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh pemilihan kata (diksi)
yang tepat. Gaya cerita atau gaya bahasa diwujudkan pengarang dengan cara
melukiskan sesuatu menggunakan bahasa yang tidak sewajarnya atau tidak sesuai
bahasa pada umunya, dengan pengandaian, perbandingan-perbandingan, atau
dapat pula memanusiakan benda mati.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
pembangun cerpen ada dua, yaitu unsur-unsur dari dalam (intrinsik) cerpen dan
unsur-unsur dari luar (ekstrinsik) cerpen. Unsur intrinsik cerpen meliputi: (1)
tema dan amanat; (2) tokoh dan penokohan; (3) alur/plot; (4) setting/latar; (5)
sudut pandang/pengisahan; (6) gaya bahasa. Sedangkan unsur ekstrinsik cerpen
meliputi: (1) latar belakang pengarang; (2) gaya penulisan, dan (3) gejala/situasi
sosial tertentu.
2.2.2.3 Bercerita Berdasarkan Teks Cerita Pendek
Aminuddin (2002:92) memaparkan beberapa langkah yang harus
diperhatikan pembaca dalam upaya pemahaman prosa fiksi (cerpen) sebagai
berikut: 1) memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca, 2) memahami
penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca, 3)
-
47
memahami satuan peristiwa, pokok pokiran serta tahapan peristiwa dalam prosa
fiksi yang dibaca, 4) memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang
dibaca; 5) menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang
disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita, 6)
menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkannya, 7)
mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari
satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang
ditampilkannya, dan 8) menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta
menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar
cerita yang dipaparkan pengarangnya.
Sebelum bercerita berdasarkan teks cerpen, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah membaca teks cerpen tersebut. Langkah kedua, mengapresiasi
cerita teks cerpen berdasarkan karakteristik cerpen. Maksudnya adalah
memahami teks cerita pendek berdasarkan unsur-unsur pembangun cerpen (unsur
intrinsik). Langkah ketiga, menyusun kerangka cerita. Salah satu metode yang
membantu tahap ini adalah dengan cara menulis ringkasan cerita. Langkah
keempat, bercerita berdasarkan teks cerpen dengan memperhatikan karakteristik
teks (unsur-unsur pembangun cerpen).
Adapun, Ratminingsih (2012:77) menawarkan teknik bercerita inovatif
sebagai hasil penelitiannya, berikut fase-fase atau langkah-langkah yang harus
siswa ikuti dalam proses pembelajaran yaitu: 1) shadowing, kegiatan pengulangan
bahasa; 2) summarizing, menginformasikan dan membuat ringkasan sebelum
bercerita; 3) retelling, menceritakan kembali cerita yang telah dipelajari; 4) action
-
48
logging, mengevaluasi aktivitas kelas (menulis pikiran dan perasaan serta
tanggapan); dan 5) newslettering, kegiatan pemilihan komentar dari hasil action
logging yang dibagikan kepada semua siswa untuk dibaca kemudian dikomentari
pada logging berikutnya.
Dari beberapa teori pendukung terkait dengan bercerita berdasarkan teks
cerpen, dapat disimpulkan bahwa bercerita berdasarkan teks cerpen hendaknya
berorientasi pada teks cerpen yang telah dibaca dan dipahami oleh pencerita atau
siswa sebagai pencerita. Orientasi cerpen ketika melakukan kegiatan bercerita,
yaitu dengan mengidentifikasi unsur-unsur pembangun cerpen (tema dan amanat,
tokoh dan penokohan, alur/plot, setting/latar, sudut pandang/pengisahan, gaya
bahasa)
2.2.3 Pendekatan Scientific
Dalam subbab ini akan membahas mengenai hakikat pendekatan
scientific, langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan scientific (ilmiah).
2.2.3.1 Hakikat Pendekatan Scientific
Pendekatan pembelajaran merupakan strategi yang dipakai guru atau
pengajar agar murid atau pembelajar bisa dengan mudah belajar dalam rangka
menyerap materi ajar secara lebih cepat (Rohman 2009:193). Menurut konsep
tersebut, pendekatan bertujuan untuk mempermudah siswa menangkap dan
memahami pelajaran. Pada umumnya kata approach diartikan pendekatan ...
approach adalah seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa, pengajaran bahasa,
dan proses belajar bahasa (Subana dan Sunarti 2011:18). Pendekatan merupakan
-
49
landasan berpikir yang berterima atau dianggap benar mengenai kebahasaan, hal
ini lebih bersifat teoretis dan ilmiah.
Ada berbagai macam pendekatan yang diterapkan guru dalam
pelaksanaan pembelajaran di kelas. Namun beberapa pendekatan yang umumnya
telah diterapkan guru, kini mulai beralih menggunakan pendekatan baru.
Pendekatan baru ini merujuk kurikulum 2013 yang kini dicanangkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pendekatan ini adalah pendekatan
ilmiah (scientific approach).
Mulyono, dkk (2012:21) melakukan penelitian yang berjudul
Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan Sientific Skill
Teknologi Fermentasi Berbasis Masalah. Dalam penelitiannya tersebut,
Mulyono menyatakan bahwa istilah scientific skill digunakan sebagai pengganti
istilah kecakapan proses sains, untuk menegaskan bahwa kecakapan ini bukan
semata-mata merupakan keterampilan-keterampilan yang otomatis, tetapi lebih
merupakan proses-proses yang diperlukan peserta didik untuk mengkonstruksi
pengetahuan sains dan menyelesaikan persoalan-persoalan eksperimental.
Menurut konsep ini, scientific skill atau keahlian/kecakapan ilmiah berdasar ilmu
tentang sains yang umumnya digunakan dalam pembelajaran IPA (biologi) yang
mengkaji materi pembelajaran dengan cara eksperimen (percobaan) yang
sebenarnya dan dikaji secara ilmiah.
Menurut Mulyono (2012:21), pendekatan scientific skill meliputi: 1)
kemampuan membuat rancangan percobaan, 2) kemampuan melakukan
percobaan dan melaporkan hasilnya, 3) penguasaan konsep proses sains (scientific
-
50
process) yang baik, dan 4) kemampuan mempresentasikan hasil percobaan
dengan baik.
Konsep pendekatan scientific (ilmiah) merujuk Kemdikbud (2013:191)
yang menyatakan bahwa pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas
perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para
ilmuan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive reasoning) ketimbang
penalaran deduktif (deductive reasoning). Sebagaimana dasar pengertian ilmiah,
pendekatan ilmiah diperlukan pengujian secara nyata sehingga bertolak dari
peristiwa yang bersifat umum berdasarkan peristiwa khusus atau penalaran
induktif. Dalam pelaksanaan pembelajaran, pendekatan ilmiah diterapkan secara
umum untuk seluruh mata pelajaran sebagaimana dasar kurikulum 2013 yang
mengedepankan pendekatan ini.
Adapun, Kemdikbud memaparkan beberapa kriteria pendekatan ilmiah
jika diterapkan dalam pembelajaran. Kemdikbud (2013:192) menyatakan bahwa
proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria sebagai berikut. (1)
Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira,
khayalan, legenda, atau dongeng semata. (2) Penjelasan guru, respon peserta didik,
dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta,
pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. (3)
Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan
tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan
-
51
mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. (4) Mendorong dan
menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,
kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi
pembelajaran. (5) Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami,
menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam
merespon substansi atau materi pembelajaran. (6) Berbasisi pada konsep, teori,
dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan. (7) Tujuan pembelajaran
dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
Berkenaan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat pendekatan
scientific adalah strategi pembelajaran yang digunakan guru dengan
memfokuskan proses pembelajaran berdasar pada ilmiah yang mencakup: proses,
pengetahuan, keterampilan, dan sikap (religius dan sosial).
2.2.3.2 Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Scientific (Ilmiah)
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Modul Pelatihan
Implementasi Kurikulum 2013 salah satunya adalah pendekatan ilmiah
(scientific approach) sebagai dasar kurikulum 2013. Pendekatan ilmiah (scientific
approach) diterapkan pada semua mata pelajaran, meliputi: menggali informasi
melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau
informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis,
menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta.
Merujuk konsep pendekatan scientific dari Kemdikbud, pelaksanaan
pembelajaran menerapkan lima tahapan pendekatan scientific (ilmiah). Langkah-
-
52
langkah pembelajaran dengan pendekatan scientific (ilmiah) mencakup: (1)
mengamati; (2) menanya; (3) menalar; (4) mencoba; dan (5) mengkomunikasikan.
Pertama mengamati, tahap ini mengutamakan kebermaknaan proses
pembelajaran (meaningfull learning). Langkah-langkah kegiatan mengamati
yaitu: (1) menentukan objek yang akan diamati; (2) membuat pedoman observasi
(jika diperlukan); (3) menentukan data-data yang perlu diamati; (4) menentukan
tempat objek yang akan diamati; (5) menentukan pelaksanaan observasi guna
pengumpulan data; (6) menentukan cara pengumpulan data (buku catatan, kamera,
alat tulis, dan alat pendukung lainnya).
Kedua menanya, tahap ini memerlukan peran aktif dari siswa maupun
guru. Pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal, tidak hanya
berupa kalimat tanya melainkan juga berupa pernyataan. Guru hendaknya dapat
memancing siswa untuk bertanya ketika pembelajaran berlangsung. Salah satunya
dengan cara guru mengajukan pertanyaan, selain membimbing siswa menyimak
juga membimbing siswa untuk tanggap dengan menjawab pertanyaan tersebut.
Ketiga menalar, tahap ini merujuk proses berpikir yang logis dan
sistematis berdasarkan fakta yang diperoleh dari observasi atau proses mengamati
untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Dalam proses pembelajaran
guru dapat menganalogikan sesuatu terkait materi pembelajaran sebagai penalaran
untuk siswa. Penalaran yang menggunakan analog akan mempertajam daya nalar
siswa, dengan membandingkan sesuatu yang mempunyai persamaan.
Keempat mencoba, tahap ini siswa harus mencoba atau melakukan
percobaan terkait pembelajaran guna mencapai pemahaman siswa sebagai
-
53
pemerolehan hasil belajar yang nyata. Percobaan yang dilakukan siswa umumnya
berupa kegiatan langsung. Selain mengawasi percobaan yang dilakukan siswa,
guru hendaknya dapat membimbing dan memotivasi siswa jika siswa mengalami
kesulitan.
Kelima mengkomunikasikan, guru dalam menerapkan pendekatan
scientific diharapkan memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengkomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Pada tahap ini, siswa
diharapkan dapat melaporkan atau mengkomunikasikan suatu hal terkait dengan
penugasan guru ketika pembelajaran baik secara lisan maupun tulisan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
scientific tercermin pada langkah-langkah pembelajaran, yaitu: (1) mengamati, (2)
menanya, (3) menalar, (4) mencoba, dan (5) mengkomunikasikan.
2.2.4 Media Audiovisual Berbasis Pendidikan Karakter
Dalam subbab ini akan membahas mengenai pengertian media
pembelajaran, manfaat media pembelajaran, kriteria media pembelajaran, media
audiovisual, media audiovisual berbasis pendidikan karakter.
2.2.4.1 Pengertian Media Pembelajaran
Menurut Sadiman, dkk (2009:7), media adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat
merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa
sehingga proses belajar terjadi. Dalam pengertian ini, media berperan sebagai
perantara untuk menyampaikan informasi dalam proses komunikasi agar terjadi
-
54
timbal balik. Sehingga media sangat efektif digunakan dalam pembelajaran,
terlebih bermanfaat untuk siswa.
Kata media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari
medium batasan mengenai sangat luas, namun kita membatasi pada media
pendidikan saja yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan
pembelajaran (Daryanto, 2010:147). Sependapat dengan pendapat sebelumnya,
Daryanto meyakini media sebagai alat pembelajaran (lingkup pendidikan) yang
mendukung metode mengajar guru guna memandu siswa dalam memahami
pelajaran.
Dari kedua pendapat tersebut, media mempunyai peranan penting dalam
pembelajaran. Adapun, Arsyad (2013:2) menyimpulkan bahwa media adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya
tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada
khususnya.
Berdasarkan beberapa pendapat terkait dengan pengertian media
pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran pada hakikatnya
perantara atau sarana yang digunakan guru ketika mengajar, selain dapat
berjalannya metode pembelajaran juga dapat memandu dan memberikan
gambaran konkret tentang suatu hal sehingga siswa mencapai pemahaman.
2.2.4.2 Manfaat Media Pembelajaran
Secara umum media mempunyai kegunaan sebagai berikut: 1)
memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis; 2) mengatasi keterbatasan ruang,
-
55
waktu, tenaga, dan daya indra; 3) menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih
langsung antara murid dengan sumber belajar; 4) memungkinkan anak belajar
mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya;
5) memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan
menimbulkan persepsi yang sama (Daryanto, 2010:148). Kebermanfaatan media
untuk khalayak umum salah satunya memberi kemudahan bagi penyimak media
tersebut. Begitu pula dalam bidang pendidikan, media mempunyai peranan dalam
proses pembelajaran yang bermanfaat untuk siswa juga guru.
Adapun, Sudjana dan Rivai (2010:2) mengemukakan manfaat media
pembelajaran dalam proses belajar siswa antara lain: (1) pembelajaran akan lebih
menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; (2)
bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami
oleh para siswa dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran lebih
baik; (3) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi
verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan
guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam
pelajaran; (4) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya
mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati,
melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain. Beberapa manfaat media
pembelajaran bagi siswa telah dipaparkan, media pembelajaran memberikan
pengaruh positif dalam pembelajaran.
Menurut Arsyad (2013:29-30), beberapa manfaat praktis dari
penggunaan media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar sebagai
-
56
berikut. (1) Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan
informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil
belajar. (2) Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian
anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung
antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-
sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. (3) Media pembelajaran dapat
mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu. (4) Media pembelajaran dapat
memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di
lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan
guru, masyarakat, dan lingkungannya misalnya melalui karyawisata, kunjungan-
kunjungan ke museum atau kebun binatang.
Berdasarkan beberapa pendapat terkait dengan manfaat media
pembelajaran dalam proses pembelajaran, dapat disimpulkan media pembelajaran
dapat menjadikan proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien.
Mendatangkan pengaruh positif baik bagi siswa dalam membangun pemahaman
dan tersugesti pendidikan karakter, juga mempermudah penyampaian materi
pembelajaran bagi guru.
2.2.4.3 Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran
Pemilihan media pembelajaran hendaknya berdasarkan kriteria tertentu
guna pertimbangan. Menurut Sudjana dan Rivai (2010:4-5), dalam memilih
media untuk kepentingan pembelajaran sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria
sebagai berikut. (1) Ketepatannya dengan tujuan pembelajaran, artinya media
-
57
pembelajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan.
(2) Dukungan terhadap isi bahan pelajaran, artinya bahan pelajaran yang sifatnya
fakta, prinsip, konsep, dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar
lebih mudah dipahami siswa. (3) Kemudahan memperoleh media, artinya media
yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada
waktu mengajar. (4) Keterampilan guru dalam menggunakannya, apapun jenis
media yang diperlukan syarat utama adalah guru dapat menggunakannya dalam
proses pembelajaran. (5) Tersedia waktu untuk menggunakannya, sehingga media
tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama pembelajaran berlangsung. (6)
Sesuai dengan taraf berpikir siswa, memilih media untuk pendidikan dan
pembelajaran harus sesuai dengan taraf berpikir siswa, sehingga makna yang
terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh para siswa. Beberapa kriteria media
pembelajaran yang telah dipaparkan Sudjana dan Rivai, dapat digunakan sebagai
dasar atau acuan guru dalam memilih atau membuat media pembelajaran yang
efektif digunakan untuk membelajarkan siswa.
Selain itu, ada pendapat lain terkait dengan kriteria pemilihan media.
Menurut Arsyad (2013:74-76), ada beberapa kriteria yang patut diperhatikan
dalam memilih media. (1) Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. (2) Tepat
untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta. (3) Praktis, luwes, dan
bertahan. (4) Guru terampil menggunakannya. (5) Pengelompokan sasaran. (6)
Mutu teknis. Kriteria pemilihan media yang telah dipaparkan Arsyad tidak jauh
berbeda dengan pendapat sebelumnya. Pemilihan media pembelajaran hendaknya
memerhatikan kriteria pemilihan media pembelajaran agar tidak menghambat
-
58
kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini, guru yang memiliki tanggung jawab
terhadap penggunaan media pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria media
pembelajaran di antaranya: sesuai tujuan pembelajaran, sesuai dengan isi atau
materi pembelajaran, berterima untuk siswa, mudah diperoleh (praktis), guru
terampil menggunakan media, waktu yang mencukupi.
2.2.4.4 Media Audiovisual
Alat-alat yang termasuk kelompok alat yang digunakan sebagai media
audio-visual antara lain: sound-slide, kaset video, film, televisi dan VCD
(Sidharta dan Yani (ed.) 2005:19). Media-media tersebut termasuk media
audiovisual karena memiliki ciri-ciri yang sama. Ciri-ciri yang dimaksud adalah
dapat dilihat dan dapat didengar. Media-media yang termasuk jenis audiovisual
efektif digunakan, terlebih dalam pelaksanaan pembelajaran.
Sebagaimana pendapat Haryoko (2009:3) menyatakan bahwa media
audiovisual adalah media penyampai informasi yang memiliki karakteristik audio
(suara) dan visual (gambar). Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih
baik, karena meliputi kedua karakteristik tersebut. Menurut konsep ini, salah satu
keunggulan media audiovisual adalah siswa dapat menyimak langsung ilustrasi
yang ditayangkan sekaligus dapat dengan jelas mendengar sesuatu hal yang
disampaikan dalam media audiovisual.
Selain itu, Arsyad (2013:32) menyatakan bahwa pembelajaran melalui
audio-visual adalah produksi dan penggunaan materi yang penyerapannya melalui
-
59
pandangan dan pendengaran serta tidak seluruhnya tergantung kepada
pemahaman kata atau simbol-simbol yang serupa. Sebagaimana konsep yang
disampaikan Arsyad, penggunaan media audiovisual membantu siswa/penyimak
membangun konsep pemahaman yang lebih imajinatif sebagai bentuk berpikir
kritis dan kreatif.
Berdasarkan penjelasan mengenai hakikat media audiovisual, dapat
disimpulkan bahwa media audiovisual adalah media perantara berupa gabungan
suara dan gambar sebagai visualisasi indera pendengaran dan penglihatan yang
berfungsi sebagai sarana atau perantara dalam proses pembelajaran. Media
audiovisual termasuk media pembelajaran yang interaktif guna mengkonkretkan
suatu hal terkait pembelajaran.
Peralatan audio-visual tidak harus digolongkan sebagai pengalaman
belajar yang diperoleh dari penginderaan pandang dan dengar, tetapi sebagai alat
teknologis yang bisa memperkaya serta memberikan pengalaman kongkret
kepada para siswa (Sudjana 2007:58). Media audiovisual memiliki daya guna
yang efektif, melalui media ini siswa/penyimak menyaksikan suatu hal sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya sehingga pemahaman maupun pengetahuan
yang dimiliki siswa/penyimak tidak bias.
Media audiovisual memiliki kekhasan atau karakteristik tersendiri,
begitu pula media pembelajaran yang lain. Berikut akan dijelaskan beberapa
kelebihan dan kekurangan media audiovisual. Kelebihan media audiovisual
dikemukakan oleh Indriana (dalam Maroha 2013:122) yaitu sebagai berikut.
Pertama, memberikan pesan yang dapat diterima secara lebih merata oleh siswa.
-
60
Kedua, sangat baik untuk menerangkan suatu proses. Ketiga, mengatasi
keterbatasan ruang dan waktu. Keempat, dapat diulang-ulang dan dihentikan
sesuai dengan kebutuhan. Kelima, memberikan kesan mendalam yang dapat
mempengaruhi sikap siswa. Keenam, memberikan hiburan tersendiri bagi peserta
didik, sehingga peserta didik tidak bosan mengikuti sesi pembelajaran.
Umumnya, media audiovisual mempunyai karakteristik dapat didengar
dan dapat dilihat, begitu juga film dan video. Sebagaimana Arsyad (2013:50-51)
memaparkan kelebihan media audiovisual, khususnya film dan video. (1) Film
dan video dapat melengkapi pengalaman-pengalaman dasar dari siswa ketika
mereka membaca, berdiskusi, berpraktik, dan lain-lain. Film merupakan
pengganti alam sekitar dan bahkan dapat menunjukkan objek yang secara normal
tidak dapat dilihat, seperti cara kerja jantung ketika berdenyut. (2) Film dan video
dapat menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat disaksikan secara
berulang-ulang jika dipandang perlu. (3) Di samping mendorong dan
meningkatkan motivasi, film dan video menanamkan sikap dan segi-segi afektif
lainnya. (4) Film dan video yang mengandung nilai-nilai positif dapat
mengundang pemikiran dan pembahasan dalam kelompok siswa. (5) Film dan
video dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara langsung
seperti lahar gunung berapi atau perilaku binatang buas. (6) Film dan video dapat
ditunjukkan kepada kelompok besar atau kelompok kecil, kelompok yang
heterogen, maupun perorangan. (7) Dengan kemampuan dan teknik pengambilan
gambar frame demi frame, film yang dalam kecepatan normal memakan waktu
satu minggu dapat ditampilkan dalam satu atau dua menit.
-
61
Selain mempunyai kelebihan, media audiovisual juga mempunyai
kekurangan. Kekurangan media audiovisual menurut Arsyad (2013:51)
khususnya film dan video. (1) Pengadaan film dan video umumnya memerlukan
biaya mahal dan waktu yang banyak. (2) Pada saat film dipertunjukkan, gambar-
gambar bergerak terus sehingga tidak semua siswa mampu mengikuti informasi
yang ingin disampaikan melalui film tersebut. (3) Film dan video yang tersedia
tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan belajar yang diinginkan; kecuali
film dan video itu dirancang dan diproduksi khusus untuk kebutuhan sendiri.
Berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan media audiovisual, dapat
disimpulkan bahwa media audiovisual mempunyai kelebihan: (1)
menggambarkan atau mengilustrasikan sesuatu hal; (2) memberikan kesan kepada
siswa/penyimak karena bersifat sugestif; (3) efektif menumbuhkan motivasi
siswa/penyimak; (4) bersifat kondisional, bisa diputar ulang sesuai kebutuhan; (5)
mengatasi kebosanan. Selain itu, media audiovisual mempunyai kekurangan, di
antaranya: (1) pembuatan media audiovisual memerlukan biaya yang tidak sedikit
dan membutuhkan waktu yang lama; (2) tayangan media audiovisual bergerak
terus-menerus sehingga siswa/penyimak harus fokus agar tidak tertinggal saat
menyimak.
2.2.4.5 Media Audiovisual Berbasis Pendidikan Karakter
Sumber langsung dari ajaran moral ialah pelbagai orang yang
mempunyai kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, pemuka
masyarakat dan agama, serta tulisan para bijak (Marno dan M.Idris, 2008:45).
-
62
Selain orang-orang dan lingkungan di sekitar, media juga mempengaruhi moral
dan perilaku seseorang. Pendidikan merupakan wadah yang tepat untuk mendidik
dan membimbing seseorang/anak agar dapat berkepribadian. Salah satunya,
media pembelajaran yang digunakan guru dalam pelaksanaan pembelajaran
sangat membantu siswa. Sebagaimana pendapat Tugur (2009), media akan
menjadi alat bantu efektif tatkala guru mampu mengemas beberapa kegiatan yang
memungkinkan siswa untuk mengembangkan dirinya sendiri secara aktif.
Sependapat dengan hal ini, Iskandarwassid dan Dadang (2009:10) menyatakan
bahwa pendidik di zaman sekarang seharusnya mampu memanfaatkan media
belajar yang sangat kompleks seperti video, televisi dan film, disamping media
pendidikan yang sederhana.
Media pembelajaran sebagai salah satu sarana pendukung guna mendidik
siswa. Selain berperan sebagai media penyampai ilustrasi secara konkret dalam
pembelajaran, media audiovisual dapat digunakan guru untuk menyelipkan
pendidikan karakter. Sebagaimana kompetensi inti dalam pembelajaran bahasa
Indonesia membelajarkan sikap religius dan sikap sosial sebagai wujud mendidik
pendidikan karakter untuk siswa. Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa
Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana menyajikan
informasi lisan, adalah sikap religius. Percaya diri, peduli, dan santun dalam
merespon secara pribadi peristiwa jangka pendek, adalah sikap sosial.
Berkaitan dengan hal tersebut, Wibowo (2013:18-19) menyatakan bahwa
pendidikan karakter tidak hanya berhenti pada kawasan anak didik tahu dan
paham tentang karakter-karakter mulia (kognitif), tetapi hendaknya membuat
-
63
anak didik memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai karakter itu (afektif), dan
selanjutnya anak didik terdorong untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah
menjadi milik mereka itu dalam tindak dan laku kehidupan sehari-hari
(psikomotorik). Pada intinya, pendidikan karakter menekankan perilaku mulia
dalam segala aspek kehidupan.
Berdasarkan teori pendukung berkaitan dengan media audiovisual
berbasis pendidikan karakter, dapat disimpulkan bahwa media audiovisual yang
digunakan guru sebagai sarana pembelajaran memuat esensi pendidikan karakter
yang tercermin pada video atau media audiovisual yang ditayangkan ketika
pembelajaran. Pendidikan karakter yang dimaksud berwujud visualisasi cara
bercerita, tahapan-tahapan bercerita, pemodelan bercerita. Secara langsung dan
tidak langsung mendidik siswa memiliki kepribadian yang bersyukur dan taat
terhadap Tuhan, selain itu berkepribadian santun, percaya diri, peduli, dan dapat
bersosialisasi dengan khalayak umum. Media audiovisual berbasis karakter
diharapkan dapat membantu siswa memahami bagaimana bercerita dengan baik,
sebagaimana karakteristik teks cerpen sebagai acuan ketika bercerita di depan
kelas.
2.2.5 Hakikat Sikap Religius dan Sikap Sosial
Sikap religius dan sikap sosial merupakan bagian dari pendidikan
karakter yang digunakan sebagai landasan pendidikan nasional sebagaimana
dikembangkan dalam kurikulum 2013. Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
-
64
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (Abidin 2012:45).
Dalam subbab ini akan membahas mengenai hakikat sikap religius dan
hakikat sikap sosial.
2.2.5.1 Hakikat Sikap Religius
Pilar religi adalah pilar utama dan pertama. Melalui pilar religi akan
terbentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga akan
selalu terjaga dari perbuatan yang merugikan diri dan lingkungannya (Narwanti
2011:56-57). Sebagaimana yang kita tahu, konsep agama pada dasarnya
mengajarkan kebaikan. Selain tunduk kepada Tuhan dengan beribadah sesuai
dengan agama yang dianut, agama juga memandu kita melakukan perbuatan yang
baik.
Adapun Aqib dan Sujak (2012:7) menyatakan bahwa religius adalah
pikiran, perkataaan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan
pada nilai-nilai ketuhanan dan atau ajaran agamanya. Konsep ini menganggap
bahwa ajaran agama menjadi pedoman hidup seseorang dalam segala aspek
kehidupan. Umumnya memberi pengaruh positif, karena mangajarkan kebaikan
dalam bersikap.
-
65
Sikap religius perlu dikembangkan dalam bidang pendidikan, salah
satunya dengan pencanangan pendidikan karakter yang tercermin dalam
pembelajaran di sekolah. Dalam konteks pendidikan karakter, kami melihat
bahwa kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik melalui
persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan manusia
sebagai makhluk yang berketuhanan (tunduk patuh pada konsep ketuhanan) dan
mengemban amanah sebagai pemimpin di dunia (Kesuma, dkk 2012:7). Sikap
religius dianggap perlu untuk membentuk siswa taat beragama. Taat beragama
dalam arti, siswa memahami konsep ketuhanan yang diwujudkan dengan
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kemudian, bersikap baik
sebagaimana ajaran agama yang telah dianutnya.
Berhubungan dengan hal tersebut, lebih lanjut Kemdiknas menyatakan
bahwa dalam pandangan agama, seseorang yang berkarakter adalah seseorang
yang di dalam dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidik, amanah, fathonah,
dan tablig (dalam Abidin 2012:53). Menurut konsep Kemdiknas tersebut, sikap
religius atau beragama ditunjukkan dengan cerminan akhlak atau perilaku yang
dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. Sidik berarti bersikukuh pada kebenaran
atau yakin pada kebenaran. Amanah yaitu jujur, dapat dipercaya karena
perkataannya sesuai dengan kenyataan. Fathonah berarti cerdas atau pandai dan
berwawasan. Tablig berarti menyiarkan atau menyampaikan, dapat pula diartikan
komunikatif dalam berinteraksi dengan orang lain.
Nilai-nilai yang hendak diinternalisasikan terhadap anak didik melalui
pendidikan karakter menurut Kemdiknas dalam Wibowo (2013:15) pada nilai
-
66
religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain. Menurut konsep ini, nilai atau sikap religius
merupakan wujud kehidupan beragama untuk diri sendiri dan hubungan
antarumat beragama.
Berdasarkan paparan mengenai sikap religius yang disampaikan oleh
beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa hakikat sikap religius adalah perbuatan
dan perilaku yang berlandaskan ajaran agama (ketuhanan) yang memiliki dampak
positif dalam interaksi sosial. Sehingga sikap religius yang dimiliki seseorang
akan berpengaruh pada sikap sosialnya.
Beberapa sikap yang terkait dengan ketuhanan sebagai wujud sikap
religius, di antaranya: takwa, iman, ikhlas.
Sikap religius yang pertama, takwa. Menurut kamus umum bahasa
Indonesia susunan WJS. Poerwodarminto dalam Koesman (2009:276), takwa
diartikan sebagai kesalehan hidup. Menurut konsep ini, kesalehan yang dimaksud
adalah kepatuhan atau ketaatan seseorang dalam menjalankan ajaran agama yang
dianutnya. Elmubarok, dkk (2010:102) menyatakan bertakwa, yaitu memelihara
diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Seorang yang bertakwa akan hati-hati sekali menjaga segala
perintah Allah. Terkait dengan pendapat yang disampaikan Elmubarok, konsep
takwa tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya yaitu taat dan sungguh-
sungguh melaksanakan ibadah. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa takwa merupakan sikap menjaga diri untuk tetap taat
-
67
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan sebagaimana ketetapan
ajaran agama yang dianut.
Sikap religius yang kedua, iman. Menurut Fowler dalam Budiningsih
(2004:35) menyatakan bahwa kepercayaan eksistensial (iman) adalah suatu cara
manusia bersandar atau berserah diri serta menemukan atau memberikan makna
terhadap berbagai kondisi atau keadaan hidupnya. Menurut konsep ini, manusia
yang memiliki iman atau keteguhan hati berarti percaya kepada Tuhan. Berkaitan
dengan hal tersebut, Elmubarok, dkk (2010:31) menyatakan bahwa sistem ibadah
merupakan salah satu kelanjutan sistem iman. Jika tidak dikehendaki iman
menjadi sekadar rumusan-rumusan abstrak, tanpa kemampuan memberi dorongan
batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan yang sejati,
maka keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi
perhambaan seseorang kepada Allah. Konsep ini beranggapan bahwa iman
merupakan keyakinan hati atau batin yang diwujudkan dengan ibadah kepada
Tuhan sebagai penenang atau kenyamanan. Dari pendapat-pendapat tersebut,
dapat disimpulkan bahwa sikap iman adalah percaya kepada Tuhan dengan
berpegang teguh pada ajaran agama yang telah dianut.
Sikap religius yang ketiga, ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2005:420), ikhlas diartikan bersih hati; tulus hati. Maksud dari bersih
hati; tulus hati adalah rela menyerahkan atau memberikan suatu hal kepada orang
lain yang merupakan wujud ketulusan tanpa mengharapkan sesuatu. Adapun,
Koesman (2009:278) menyatakan bahwa ikhlas adalah mengerjakan sesuatu
dengan tulus, atau tanpa pamrih. Keikhlasan akan menjauhkan diri dari
-
68
kekecewaan. Konsep ini menyatakan bahwa dengan bersikap ikhlas, tidak akan
ada perasaan menyesal atau kecewa jika dihadapkan pada suatu masalah maupun
kegagalan. Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap
ikhlas merupakan kesediaan tulus seseorang dalam melakukan sesuatu, baik untuk
diri sendiri maupun untuk orang lain.
Indikator sikap religius, mencakup: (1) berdoa sebelum dan sesudah
menjalankan sesuatu; (2) memberi salam sesuai agama masing-masing sebelum
dan sesudah menyampaikan pendapat/presentasi; (3) memelihara hubungan baik
dengan sesama umat ciptaan Tuhan Yang Maha Esa; (4) mengucapkan keagungan
Tuhan apabila melihat kebesaran Tuhan sesuai agama masing-masing; (5)
mengucapkan rasa syukur atas karunia Tuhan sesuai agama masing-masing; (6)
beraqidah lurus; (7) beribadah yang benar; (8) mengaitkan materi pembelajaran
dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pertama, berdoa sebelum dan sesudah menjalankan sesuatu. Sikap
religius ini berprinsip dengan adab ajaran agama dengan memanjatkan doa
terlebih dahulu dalam melakukan sesuatu, baik di awal maupun di akhir kegiatan
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk membangun konsentrasi pada kegiatan yang
akan dilaksanakan.
Kedua, memberi salam sesuai agama masing-masing sebelum dan
sesudah menyampaikan pendapat/presentasi. Mengucapkan salam termasuk adab
kesopanan kepada orang lain di sekitar kita, hal ini perlu dilakukan agar saling
hormat-menghormati.
-
69
Ketiga, memelihara hubungan baik dengan sesama umat ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya tenggang rasa, hormat-
menghormati, toleransi antarsesama manusia sehingga tercipta hidup rukun.
Keempat, mengucapkan keagungan Tuhan apabila melihat kebesaran
Tuhan sesuai agama masing-masing. Maksud dari indikator ini adalah wujud
ungkapan kecintaan kita terhadap Tuhan dengan selalu mengagungkan namanya,
menyebut namanya.
Kelima, mengucapkan rasa syukur atas karunia Tuhan sesuai agama
masing-masing. Syukur yang dimaksud adalah kesediaan diri mengingat Tuhan,
baik di kala suka maupun duka. Selain itu, wujud syukur dapat dilihat dari sikap
seseorang yang tidak putus asa dan tidak mengeluh.
Keenam, beraqidah lurus. Maksud dari indikator ini adalah bersikap dan
berperilaku yang mulia, baik, dan luhur. Hal ini ditunjukkan dengan sikap diri
yang baik dalam memperlakukan diri sendiri, terlebih memperlakukan orang lain.
Ketujuh, beribadah yang benar. Sebagaimana agama yang dianut, sesuai
dengan kepercayaan masing-masing hendaknya melaksanakan ajaran agama
tersebut dengan baik dan sesuai tuntunan.
Kedelapan, mengaitkan materi pembelajaran dengan kekuasaan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Hal ini merupakan implikasi dari sikap religius dalam
pembelajaran yang disampaikan melalui materi. Langkah ini cukup efektif dan
baik diterapkan dalam sistem pembelajaran, terutama sangat bermanfaat bagi
siswa.
-
70
Dari beberapa indikator sikap religius yang telah dipaparkan, dalam
penelitian ini indikator sikap religius yang akan dikembangkan sekaligus
digunakan untuk penilaian sikap religius siswa, yaitu: (1) berdoa sebelum dan