BAB II

69
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS 2.1 Kajian Pustaka Tinjauan pustaka mengkaji telaah pustaka yang berkaitan dengan penelitian keterampilan bercerita, yaitu pemaparan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tentang keterampilan bercerita telah diteliti oleh Liu, dkk (2010), Belet dan Dal (2010), Ermawati (2010), Anggasari (2011), Mokhtar, dkk (2011), Zuliyanti (2012), Kowsary (2013), Budi (2013). Liu, dkk (2010) menulis artikel yang diterbitkan dalam jurnal internasional dengan judul “Children‟s Collaborative Storytelling with Linear and Nonlinear Approaches” yang artinya anak-anak bercerita kolaboratif dengan pendekatan linier dan nonlinier. Persamaan penelitian yang dilakukan Liu dengan penelitian peneliti adalah sama-sama mengaji aspek bercerita. Perbedaan penelitian ini terletak pada penelitian Liu yang menyelidiki apakah persepsi dan perilaku belajar anak-anak dalam bercerita kolaboratif tentang pendekatan linier dan nonlinier berbeda. Implementasi dilihat dari unsur-unsur seperti teks, gambaran, musik dan pengisahan untuk meningkatkan kerja sama atau kolaborasi anak-anak. Sedangkan penelitian peneliti menggunakan pendekatan scientific yang tercermin dalam pelaksanaan pembelajaran bercerita yang bertujuan mengukur kemampuan siswa. Penelitian serupa dilakukan oleh Belet dan Dal (2010) dengan judul “The use of storytelling to develop the primary school students‟ critical reading skill: 18

description

tindakan kelas2

Transcript of BAB II

  • 18

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

    2.1 Kajian Pustaka

    Tinjauan pustaka mengkaji telaah pustaka yang berkaitan dengan

    penelitian keterampilan bercerita, yaitu pemaparan hasil penelitian yang

    dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tentang keterampilan bercerita telah

    diteliti oleh Liu, dkk (2010), Belet dan Dal (2010), Ermawati (2010), Anggasari

    (2011), Mokhtar, dkk (2011), Zuliyanti (2012), Kowsary (2013), Budi (2013).

    Liu, dkk (2010) menulis artikel yang diterbitkan dalam jurnal

    internasional dengan judul Childrens Collaborative Storytelling with Linear and

    Nonlinear Approaches yang artinya anak-anak bercerita kolaboratif dengan

    pendekatan linier dan nonlinier. Persamaan penelitian yang dilakukan Liu dengan

    penelitian peneliti adalah sama-sama mengaji aspek bercerita. Perbedaan

    penelitian ini terletak pada penelitian Liu yang menyelidiki apakah persepsi dan

    perilaku belajar anak-anak dalam bercerita kolaboratif tentang pendekatan linier

    dan nonlinier berbeda. Implementasi dilihat dari unsur-unsur seperti teks,

    gambaran, musik dan pengisahan untuk meningkatkan kerja sama atau kolaborasi

    anak-anak. Sedangkan penelitian peneliti menggunakan pendekatan scientific

    yang tercermin dalam pelaksanaan pembelajaran bercerita yang bertujuan

    mengukur kemampuan siswa.

    Penelitian serupa dilakukan oleh Belet dan Dal (2010) dengan judul The

    use of storytelling to develop the primary school students critical reading skill:

    18

  • 19

    the primary education pre-service teachers opinions. Pendapat positif dari para

    guru tentang penggunaan bercerita untuk kembangkan keterampilan membaca

    kritis para siswa dan pendapat mereka tentang kontribusi dari metode kompatibel

    dengan penjelasan keterampilan dalam literatur konteks membaca kritis.

    Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Belet dan Dal dengan penelitian

    peneliti adalah sama-sama meneliti aspek bercerita. Perbedaan penelitian ini

    terletak pada tulisan Belet dan Dal selain menggunakan bercerita dalam membaca

    kritis, juga mendeskripsi para guru pre-servis sebagai pendidikan utama.

    Kedua penelitian yang dilakukan Liu, dkk (2010) dan Belet dan Dal

    (2010) dapat disimpulkan bahwa kedua peneliti tersebut meneliti tentang bercerita.

    Namun ada perbedaan dari kedua penelitian ini, Liu menguji bercerita kolaboratif

    dengan pendekatan linier dan nonlinier. Penelitian yang dilakukannya mungkin

    penting dalam memberikan pemahaman bagaimana persepsi anak-anak tentang

    pendekatan linier dan nonliner dalam aktivitas bercerita kolaboratif. Sedangkan

    Belet menggunakan bercerita untuk menguji keterampilan membaca kritis yang

    merupakan pendapat para guru pre-servis. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa

    pre-servis para guru, siapa yang mempunyai dasar pengetahuan tentang bercerita

    hanya prediksi tentang penggunaan metode untuk mengembangkan keterampilan

    membaca kritis.

    Penelitian tentang peningkatan keterampilan bercerita pada siswa SMP

    sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Ermawati (2010) dalam

    penelitiannya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Alat

    Peraga Menggunakan Permainan Resep Gotong Royong dengan Media Wayang

  • 20

    Dongeng Pada Siswa Kelas VIID SMP N 1 Pecalungan Batang Tahun Ajaran

    2009/2010 menunjukkan bahwa permainan resep gotong royong dengan media

    wayang dongeng dapat meningkatkan keterampilan bercerita dengan alat peraga

    pada siswa kelas VIID SMP N 1 Pecalungan Batang. Hal ini ditunjukkan dengan

    nilai rata-rata pada siklus I diperoleh siswa secara klasikal sebesar 68,98 dan pada

    siklus II meningkat menjadi 79,07 atau terjadi peningkatan sebesar 10,09.

    Peningkatan keterampilan bercerita dengan alat peraga mengindikasikan bahwa

    penggunaan permainan resep gotong royong dengan media wayang dongeng

    berjalan efektif. Selain itu, pembelajaran bercerita menggunakan permainan resep

    gotong royong dengan media wayang dongeng berpengaruh pada perilaku siswa.

    Siswa menjadi lebih bersemangat dan antusias dengan pembelajaran.

    Persamaan penelitian Ermawati dengan penelitian yang dilakukan

    peneliti yaitu sama-sama meneliti keterampilan bercerita, desain penelitian,

    instrumen penelitian yang digunakan, dan analisis data. Keterampilan yang

    ditingkatkan yaitu keterampilan bercerita. Desain penelitian adalah penelitian

    tindakan kelas. Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes dan nontes.

    Analisis data dilakukan melalui deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Perbedaannya

    terletak pada masalah yang dikaji, tujuan penelitian, variabel penelitian, dan

    subjek penelitian. Masalah yang dikaji Ermawati adalah penggunaan permainan

    resep gotong royong dengan media wayang dongeng dalam pembelajaran

    bercerita. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh deskripsi peningkatan

    bercerita setelah menggunakan permainan resep gotong royong dengan media

    wayang dongeng. Variabel penelitian adalah keterampilan bercerita menggunakan

  • 21

    permainan resep gotong royong dengan media wayang dongeng. Subjek

    penelitian adalah siswa kelas VIID SMP Negeri 1 Pecalungan tahun ajaran

    2009/2010.

    Penelitian yang berkaitan dengan keterampilan bercerita juga dilakukan

    oleh Anggasari (2011) dengan judul Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan

    Alat Peraga Menggunakan Sate Gambar dan Metode Time Token Arends Pada

    Siswa Kelas VIIB SMP N 3 Singorojo Kendal, menunjukkan bahwa

    menggunakan sate gambar dan metode Time Token Arends dapat meningkatkan

    keterampilan bercerita dengan alat peraga bagi siswa kelas VIIB SMP N 3

    Singorojo Kendal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata siswa mengalami

    peningkatan, siklus I sebesar 62,97 menjadi 75,92 pada siklus II. Selain itu,

    adanya perubahan perilaku siswa yang mencakup lima karakter penting, yaitu

    keaktifan, kepercayaan diri, kekritisan, kedisiplinan dan tanggung jawab, serta

    kerja sama dan kemampuan berbagi. Siswa lebih aktif selama pembelajaran, lebih

    berfokus terhadap penjelasan guru dan berdisiplin dalam tugas, lebih percaya diri

    dalam bercerita dan berkomentar serta lebih mampu bekerja sama dan berbagi

    dengan temannya.

    Persamaan penelitian Anggasari dengan penelitian yang dilakukan

    peneliti yaitu sama-sama meneliti keterampilan bercerita, desain penelitian,

    instrumen penelitian yang digunakan, dan analisis data. Keterampilan yang

    ditingkatkan yaitu keterampilan bercerita. Desain penelitian adalah penelitian

    tindakan kelas. Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes dan nontes.

    Analisis data dilakukan melalui deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Perbedaannya

  • 22

    terletak pada masalah yang dikaji, tujuan penelitian, variabel penelitian, dan

    subjek penelitian. Masalah yang dikaji Anggasari adalah penggunaan media sate

    gambar dan metode time token arends dalam pembelajaran keterampilan bercerita.

    Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan deskripsi peningkatan keterampilan

    bercerita setelah menggunakan media sate gambar dan metode time token arends.

    Variabel penelitian adalah keterampilan bercerita menggunakan media sate

    gambar dan metode time token arends. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIIB

    SMP N 3 Singorojo Kendal.

    Penelitian yang dilakukan oleh Ermawati (2010) dan Anggasari (2011)

    dapat disimpulkan bahwa kedua penelitian ini mempunyai persamaan, yaitu:

    meneliti keterampilan bercerita dengan alat peraga, desain penelitian tindakan

    kelas, instrumen penelitian berupa tes dan nontes, analisis data melalui deskripsi

    kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan yang jelas terlihat adalah variabel penelitian.

    Variabel penelitian Ermawati adalah keterampilan bercerita menggunakan

    permainan resep gotong royong dengan media wayang dongeng. Sedangkan

    variabel penelitian Anggasari adalah keterampilan bercerita menggunakan media

    sate gambar dan metode time token arends. Hal ini sejalan dengan masalah yang

    dikaji dan tujuan penelitian yang diteliti oleh kedua peneliti tersebut.

    Mokhtar, dkk (2011) melakukan penelitian yang berjudul The

    Effectiveness of Storytelling in Enhancing Communicative Skills. Dalam

    penelitian ini bercerita tidaklah terbatas pada pertunjukan/hiburan tetapi dapat

    juga digunakan sebagai alat mengajar yang efektif di suatu kelas bahasa. Mokhtar

    mengidentifikasi efek bercerita bagi siswa terkait aspek keterampilan komunikasi

  • 23

    bahasa dan membantu evaluasi bercerita dalam meningkatkan keterampilan

    komunikasi para siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bercerita

    menjadikan para siswa mampu menghubungkan maksud/arti dan emosi dengan

    kata-kata, selain itu kosa kata mereka berkembang, dan belajar bagaimana

    menggunakan kata-kata tertentu dan mengungkapkannya. Persamaan penelitian

    Mokhtar dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama meneliti

    aspek bercerita. Perbedaan penelitian terletak pada penelitian Mokhtar yang

    menguji efektifitas bercerita dalam meningkatkan keterampilan komunikasi para

    siswa, sedangkan peneliti meningkatkan pembelajaran keterampilan bercerita

    dengan menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual berbasis

    pendidikan karakter.

    Zuliyanti (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Pengembangan

    Model Opera Dalam Pembelajaran Keterampilan Bercerita Berkonteks

    Multikultural Bermuatan Nilai-Nilai Karakter Pada Peserta Didik SMA

    menyatakan keberhasilan model opera terekomendasi dan berterima dari hasil uji

    coba terbatas di dua sekolah dan sikap peserta didik yang dapat memahami,

    menghormati, dan menghargai perbedaan budaya setelah mengikuti pembelajaran

    bercerita dengan model opera berkonteks multikultural bermuatan pendidikan

    karakter. Skor peserta didik di kedua sekolah mencapai ketuntasan belajar,

    sehingga dapat diidentifikasi model opera dapat meningkatkan motivasi belajar

    peserta didik. Persamaan penelitian Zuliyanti dengan penelitian yang dilakukan

    peneliti adalah sama-sama mengkaji keterampilan bercerita. Perbedaan penelitian

    terletak pada penelitian Zuliyanti mengembangkan model opera dalam

  • 24

    pembelajaran keterampilan bercerita berkonteks multikultural bermuatan nilai-

    nilai karakter, sedangkan peneliti meningkatkan pembelajaran keterampilan

    bercerita dengan menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual

    berbasis pendidikan karakter.

    Penelitian Mokhtar, dkk (2011) dan Zuliyanti (2012) dapat disimpulkan

    bahwa penelitian keduanya sama-sama meneliti keterampilan bercerita, namun

    keduanya juga mempunyai perbedaan. Mokhtar melakukan penelitian eksperimen

    mengenai bercerita untuk meningkatkan keterampilan komunikasi siswa

    khususnya kelas bahasa. Zuliyanti melakukan penelitian Research and

    Development (R&D) yaitu pengembangan model opera dalam pembelajaran

    bercerita yang berdampak positif. Hal ini ditandai dengan meningkatnya motivasi

    belajar peserta didik, maupun hasil belajar peserta didik yang mencapai

    ketuntasan belajar.

    Kowsary (2013) melakukan penelitian yang berjudul The Relationship

    between Teachers Storytelling Aloud and Reading Comprehension Among

    Iranian Elementary EFL Learners. Penelitian ini mempertimbangkan efek

    bercerita guru dengan suara keras pada saat pelajar-pelajar dasar EFL Iran

    membaca pemahaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bercerita dengan

    suara keras oleh guru mempunyai suatu hal positif yang mempengaruhi pelajar-

    pelajar dalam membaca pemahaman. Persamaan penelitian Kowsary dengan

    penelitian yang dilakukan peneliti adalah mengkaji keterampilan bercerita.

    Perbedaan penelitian terletak pada penelitian Kowsary yang meneliti hubungan

    bercerita guru dengan suara keras dan membaca pemahaman pelajar-pelajar dasar

  • 25

    EFL Iran, sedangkan peneliti meningkatkan pembelajaran keterampilan bercerita

    dengan menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual berbasis

    pendidikan karakter. Perbedaan penelitian ini mencerminkan masalah penelitian,

    tujuan penelitian, variabel penelitian yang berbeda. Begitu pula desain penelitian,

    Kowsary menggunakan desain penelitian korelasi, sedangkan peneliti

    menggunakan desain penelitian tindakan kelas.

    Budi (2013) dengan judul penelitian Keefektifan Penggunaan Model

    Pengaturan Mahir dan Model Investigasi Kelompok Untuk Meningkatkan

    Keterampilan Bercerita Peserta Didik SMP Yang Introver dan Ekstrover. Dari

    hasil penelitian yang dilakukan oleh Budi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

    bercerita dengan model pengaturan mahir pada peserta didik ekstrover lebih

    efektif dari pada pembelajaran bercerita dengan model investigasi kelompok.

    Persamaan penelitian Budi dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah

    sama-sama mengkaji keterampilan bercerita. Perbedaan penelitian terletak pada

    penelitian Budi yang mengkaji keefektifan penggunaan model pengaturan mahir

    dan model investigasi kelompok untuk meningkatkan keterampilan bercerita,

    sedangkan peneliti meningkatkan pembelajaran keterampilan bercerita dengan

    menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual berbasis

    pendidikan karakter.

    Penelitian yang dilakukan Kowsary (2013) dan Budi (2013) dapat

    disimpulkan bahwa keduanya mengkaji aspek yang sama, yaitu bercerita.

    Penelitian Kowsary termasuk desain penelitian korelasi, sedangkan penelitian

    Budi termasuk desain penelitian eksperimen. Perbedaan penelitian kedua peneliti

  • 26

    ini di antaranya: masalah penelitian, tujuan penelitian, yang dapat diidentifikasi

    pada variabel penelitian masing-masing penelitian tersebut. Variabel penelitian

    Kowsary adalah hubungan bercerita guru dengan suara keras dan membaca

    pemahaman pelajar-pelajar dasar EFL Iran. Sedangkan variabel penelitian Budi

    adalah keefektifan penggunaan model pengaturan mahir dan model investigasi

    kelompok untuk meningkatkan keterampilan bercerita.

    Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat diketahui bahwa banyak

    peneliti yang tertarik untuk meneliti tentang keterampilan bercerita. Dikarenakan

    adanya kebaruan kurikulum, keterampilan bercerita diaplikasikan pada salah satu

    kompetensi dasar 4.2., yaitu menyusun teks cerita pendek sesuai dengan

    karakteristik teks yang akan dibuat secara lisan yang dibelajarkan untuk siswa

    SMP kelas VII. Oleh karena itu, penelitian tentang peningkatan keterampilan

    bercerita berdasarkan teks cerita pendek sesuai dengan karakteristik teks

    menggunakan pendekatan scientific melalui media audiovisual berbasis

    pendidikan karakter belum pernah dilakukan, sehingga kedudukan penelitian ini

    sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya.

    2.2 Landasan Teoretis

    Landasan teoretis mencakup paparan teori-teori penelitian yang

    menguraikan pendapat para ahli dari sumber-sumber yang dapat mendukung

    penelitian ini. Teori-teori yang mendukung penelitian ini adalah pengertian

    bercerita, tujuan bercerita, manfaat bercerita, teknik bercerita, penilaian

    keterampilan bercerita, pengertian cerita pendek, unsur-unsur pembangun cerita

  • 27

    pendek, bercerita berdasarkan teks cerita pendek, hakikat pendekatan scientific,

    langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan scientific (ilmiah), pengertian

    media pembelajaran, manfaat media pembelajaran, kriteria media pembelajaran,

    media audiovisual, media audiovisual berbasis pendidikan karakter, hakikat sikap

    religius, hakikat sikap sosial.

    2.2.1 Keterampilan Bercerita

    Keterampilan bercerita merupakan salah satu keterampilan berbahasa

    yang menuntut siswa dapat mengkomunikasian suatu hal secara lisan. Bercerita

    sebagai salah satu sarana mengungkapkan pikiran, ide atau gagasannya secara

    lisan sesuai dengan konteks pembahasan materi dalam pembelajaran bahasa

    Indonesia. Keterampilan ini bersifat unjuk kerja atau praktik yang diidentifikasi

    berdasarkan pelafalan, pilihan kata, keefektifan kalimat, ekspresi, volume suara,

    penguasaan topik, dan kelancaran.

    Dalam subbab ini dipaparkan pendapat para ahli berkaitan dengan

    keterampilan bercerita, mencakup: pengertian, tujuan, manfaat, teknik, dan

    penilaian keterampilan bercerita.

    2.2.1.1 Pengertian Bercerita

    Cerita itu mencakup pengantar, rangkaian peristiwa, konflik yang

    muncul dalam cerita, dan klimaks (Majid 2001:49). Beberapa hal tersebut adalah

    aspek yang harus ada dalam cerita. Salah satu hal yang memiliki peranan penting

    dalam cerita adalah pesan. Pesan merupakan jembatan pengarang dalam

  • 28

    menyampaikan maksud dan tujuannya. Menurut Simanjutak (2008:5), selain

    syarat dengan pesan, cerita-cerita tersebut biasanya disampaikan dengan menarik,

    sehingga pendengar merasa dirinya terlibat dalam cerita itu. Lebih lanjut

    Simanjuntak (2008:12) mengungkapkan struktur cerita terdiri dari empat bagian:

    1) permulaan (awal); 2) tubuh cerita (pengembangan); 3) klimaks (puncak

    ketegangan); dan 4) penutup (penyelesaian).

    Bercerita memiliki kata dasar cerita yang artinya buah dari pemikiran

    dan rasa yang disampaikan dengan gaya bahasa yang bervariasi dengan maksud

    tertentu (Hanifah dan Hari, 2012:G-45). Penyampaian cerita yang berorientasi

    pada pemikiran tentang suatu konsep atau adaptasi dari suatu hal hendaknya

    disampaikan dengan menarik secara lisan. Sebagaimana Delimasa G (2012)

    berpendapat bahwa bercerita adalah seni menggunakan bahasa, vokalisasi, dan

    atau gerakan fisik dan isyarat untuk mengungkapkan unsur-unsur dan gambaran

    dari sebuah cerita kepada sesuatu yang spesifik, kehidupan penonton. Menurut

    konsep ini, kemenarikan seni bercerita diidentifikasi dari visualisasi penyampaian

    suatu cerita yang tepat seuai dengan isi cerita tersebut sehingga penonton seakan

    ikut merasakannnya.

    Jika Delimasa G mengungkapkan bercerita sebagai wujud seni, berbeda

    dengan Wibowo yang berpendapat bahwa bercerita adalah bagian atau unsur dari

    karya sastra. Menurut Wibowo (2013:37) hakikat karya sastra adalah bercerita.

    Bercerita ini adalah bentuk dari hasil pekerjaan seni kreatif, yang objeknya adalah

    manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

    Jika bahasa sebagai medium bercerita, maka bercerita termasuk kegiatan

  • 29

    mengkomunikasikan sesuatu tentang manusia dan kehidupannya yang menarik

    sebagai wujud keindahan.

    Sementara itu, Subyantoro (2013:35) menyatakan bahwa kegiatan

    bercerita adalah suatu kegiatan yang disampaikan oleh pencerita kepada siswanya,

    ayah dan ibu kepada anak-anaknya, juru bercerita kepada pendengarnya.

    Bercerita juga merupakan suatu kegiatan yang bersifat seni, karena erat kaitannya

    dengan keindahan dan bersandar kepada kekuatan kata-kata. Kekuatan kata-kata

    inilah, yang dipergunakan untuk mencapai tujuan bercerita. Menurut konsep ini,

    kegiatan bercerita melibatkan dua pihak, yaitu pencerita dan pendengar cerita.

    Ketika bercerita, pencerita hendaknya mempunyai teknik dalam penyampaian

    cerita agar indah dan menarik dengan memperhatikan pilihan kata yang tepat.

    Sebagaimana tujuan bercerita, cerita yang disampaikan pencerita hendaknya

    dapat tersampaikan kepada pendengar cerita terlebih dapat memberikan kesan

    positif.

    Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa bercerita

    merupakan kegiatan penyampaian bahasa mengandung keindahan dan menarik

    dalam penceritaan suatu kisah cerita, sehingga pendengar ikut merasakan dan

    imajinasi pikirannya terpengaruh cerita tersebut. Pada prinsipnya, pencerita

    (penyampai cerita) untuk dapat bercerita dengan baik hendaknya memperhatikan

    bagaimana memvisualisasikan suatu cerita tertentu.

  • 30

    2.2.1.2 Tujuan Bercerita

    Bercerita mempunyai tujuan yang kompleks, beberapa tujuan bercerita

    dapat diklasifikasikan di antaranya: tujuan bercerita untuk siswa, untuk perantara

    penyampaian pendidikan moral dan perilaku, tujuan bercerita untuk khalayak

    umum.

    Abdul Samat dalam Dewi (2009:30-31) menggariskan delapan tujuan

    pembelajaran bercerita, yaitu: (1) memotivasi siswa untuk minat belajar dalam

    suasana yang menggembirakan. (2) Pembelajaran yang berlaku melalui cerita

    lebih bermakna. Oleh karena itu, nilai-nilai murni boleh diterapkan ke dalam

    cerita-cerita tersebut. (3) Melalui cerita, siswa dapat dilibatkan secara aktif.

    Dengan itu, bercerita menjadi suatu metode pengajaran yang berpusat kepada

    siswa. (4) Cerita yang bertema moral dapat membantu siswa menghayati nilai-

    nilai murni. Hal ini disebabkan siswa belajar melalui peniruan watak-watak baik

    yang ditonjolkan dalam cerita. (5) Cerita dapat mengurangi masalah disiplin

    secara tidak langsung. Hal ini disebabkan siswa yang tertarik kepada cerita ingin

    mendengar dengan teliti sehingga masalah disiplin tidak akan timbul. (6)

    Bercerita dapat memperluas pengalaman siswa yang dapat dikaitkan dengan

    kehidupan sehari-hari. (7) Bercerita dapat meningkatkan kemampuan mendengar

    dan kreativiatas siswa. (8) Bercerita dapat melatih siswa menyusun ide secara

    teratur baik secara lisan atau tulisan.

    Adapun, Arti, dkk (2011:2) menyatakan bahwa tujuan kemampuan

    bercerita adalah mengembangkan kemampuan berbahasa di antaranya

    kemampuan menyimak, juga kemampuan dalam berbicara serta menambah kosa

  • 31

    kata yang dimilikinya. Tujuan lainnya adalah mengembangkan kemampuan

    berpikirnya karena dengan bercerita anak diajak untuk memfokuskan perhatian

    dan berfantasi mengenai jalan cerita serta mengembangkan kemampuan berpikir

    secara simbolik.

    Selain itu, Anggraini, dkk (2012:4) mengungkapkan tujuan bercerita

    adalah agar siswa mampu mendengarkan dengan seksama terhadap apa yang

    disampaikan oleh guru. Siswa dapat bertanya apabila tidak memahaminya. Siswa

    dapat menjawab pertanyaan, selanjutnya siswa dapat menceritakan dan

    mengekspresikan kembali terhadap apa yang didengarnya, sehingga hikmah dari

    isi cerita dapat dipahami.

    Berdasarkan beberapa pendapat terkait dengan tujuan bercerita, dapat

    disimpulkan bahwa tujuan bercerita adalah untuk memotivasi peran aktif siswa

    khususnya keterampilan mengkomunikasikan suatu hal secara lisan atau bercerita,

    untuk menumbuhkan kreatifitas siswa dalam memunculkan ide atau gagasan,

    untuk melatih kepekaan menyimak, untuk membangun pola berpikir positif wujud

    pengaruh watak baik dalam cerita, untuk membangun keberanian dan

    kepercayaan diri.

    2.2.1.3 Manfaat Bercerita

    Bercerita dapat dimanfaatkan untuk menarik minat belajar anak di

    samping memperluas kesadaran dan pengetahuan tentang keberagaman

    lingkungan. Cerita juga dapat membantu mengatasi kendala kultural (budaya), di

    samping membangun jembatan pemahaman (Lenox dalam Musfiroh 2008:98).

  • 32

    Bercerita sebagai sarana atau perantara untuk menyampaikan pendidikan moral,

    kultur atau budaya dan tradisi nusantara melalui pemahaman yang ditangkap

    anak/pembaca ketika membaca teks tertentu. Pengaruh bagi anak/pembaca salah

    satunya dapat menumbuhkan motivasi, minat, dan sugesti positif sehingga

    membangkitkan kesadaran berperilaku.

    Anggraini, dkk (2012:4) dalam penelitiannya mengungkapkan beberapa

    manfaat metode bercerita bagi siswa adalah sebagai berikut: 1) melatih daya

    tangkap atau daya serap siswa; 2) melatih daya konsentrasi siswa untuk

    memusatkan perhatiannya kepada cerita yang didengarnya; 3) melatih daya pikir

    siswa untuk memahami proses cerita, mempelajari hubungan bagian-bagian

    dalam cerita termasuk hubungan sebab akibatnya; 4) mengembangkan daya

    imajinasi siswa; 5) membantu perkembangan bahasa siswa dalam berkomunikasi

    secara efektif dan efisien sehingga menjadi komunikatif; 6) menciptakan situasi

    yang menggembirakan serta mengembangkan suasana hubungan yang akrab.

    Beberapa manfaat yang dipaparkan Anggraini secara garis besar adalah untuk

    menumbuhkembangkan kemampuan siswa yang diharapkan dapat meningkatkan

    keterampilan bercerita siswa sehingga dapat mengkomunikasikan suatu hal secara

    lisan.

    Adapun, Subyantoro (2013:16) mengungkapkan pendapat yang berbeda

    mengenai manfaat bercerita bahwa bercerita yang baik memiliki kekuatan yang

    spesifik untuk mengaktifkan otak emosional yang bisa mengkondisikan saraf otak

    bekerja secara rileks dan mediatif. Inilah kekuatan penting bercerita dalam

    meningkatkan kecerdasan emosional anak-anak. Jika beberapa pendapat

  • 33

    sebelumnya memaparkan manfaat bercerita dapat menumbuhkembangkan

    kemampuan siswa, Subyantoro menyatakan manfaat bercerita dapat

    meningkatkan kecerdasan emosional anak-anak. Kecerdasan emosional anak yang

    meningkat diidentifikasi dari kemampuan otak yang bekerja dengan baik.

    Berdasarkan pembahasan di atas, disimpulkan bahwa bercerita memiliki

    peranan penting, baik dalam bidang pendidikan maupun psikologis terlebih untuk

    meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak/siswa. Manfaat bercerita adalah

    menumbuhkembangkan kemampuan berbahasa (mengkomunikasikan sesuatu)

    dengan imajinasi (pembentukan daya pikir) yang berpengaruh pada kecerdasan

    emosional.

    2.2.1.4 Teknik Bercerita

    Teknik bercerita berkaitan dengan cara-cara penyajian cerita yang perlu

    dipersiapkan dalam menyampaikan cerita. Gunawan (2007:31-37) menyatakan

    bahwa agar berhasil menjadi seorang pencerita yang andal memang dibutuhkan

    teknik dan keterampilan tertentu, yaitu: (1) olah tubuh; (2) olah suara; (3) olah

    mimik; (4) cara menenangkan anak.

    Adapun, Musfiroh (2008:119-139) berpendapat bahwa teknik dalam arti

    ini mengandung pengertian daya upaya, usaha-usaha, atau cara-cara yang

    digunakan guru untuk mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan kegiatan

    bercerita. Dengan demikian, teknik pelaksanaan cerita bersifat implementasional.

    Lebih lanjut, Musfiroh memaparkan teknik penyajian cerita mencakup: (1)

    memilih dan mempersiapkan tempat; (2) bercerita dengan alat peraga, meliputi:

  • 34

    buku, gambar, papan panel, boneka, dan film bisu; (3) bercerita tanpa alat peraga;

    (4) mengekspresikan karakter tokoh.

    Pendapat yang diungkapkan oleh Gunawan dan Musfiroh masing-masing

    memiliki kekhasan tersendiri atau bersifat subjektif. Gunawan menyatakan olah

    tubuh, olah suara, olah mimik termasuk teknik bercerita. Ketiga aspek tersebut

    tidak jauh berbeda sebagaimana maksud Musfiroh yang menyatakan bahwa

    mengekspresikan karakter tokoh sebagai salah satu teknik bercerita. Teknik

    bercerita dengan mengekspresikan karakter tokoh mewakili teknik olah tubuh,

    olah suara, olah mimik.

    Teknik-teknik bercerita perlu dikuasai, berikut beberapa hal yang perlu

    diperhatikan agar dapat bercerita secara menarik menurut Sudarmadji (2010:42-

    54): (1) Total. Kunci sukses bercerita yang pertama adalah totalitas diri kita

    dalam bercerita. (2) Tentukan tujuan dan alur cerita. Untuk mempermudah

    menemukan ide dasar dan alur cerita, ada beberapa hal yang dapat membantu: (a)

    pilihlah setting awalnya, (b) tentukan tokoh-tokoh utama dan tokoh-tokoh

    antagonisnya, (c) munculkan konflik (persoalan) pokok antar tokoh di atas. (3)

    Satukan perhatian, usahakan agar semua perhatian terpusat pada diri kita. (4)

    Detail. Gambarkan secara rinci cerita yang kita sampaikan. Ada tiga hal yang

    perlu didetailkan, yaitu: (a) personifikasi tokoh-tokohnya, (b) adegan-adegannya,

    (c) dialog antar tokohnya. (5) Dramatisasi. Kita perlu menggambarkan perbedaan

    perilaku antara tokoh utama dengan tokoh antagonis secara tajam. (6) Ekspresif.

    (7) Ilustrasi suara. Ilustrasi suara dapat kita bedakan menjadi dua: (a) suara lazim,

    suara yang kita tirukan sebagaimana suara aslinya dan (b) suara tak lazim, suara

  • 35

    yang kita ciptakan sendiri. (8) Suspence dan humor. (9) Friendship. (10)

    Perhatikan situasi dan kondisi pendengar. (11) Happy ending, cerita harus

    berpihak pada yang benar.

    Berbagai teknik bercerita yang diterapkan pencerita dalam persiapan

    melakukan kegiatan bercerita atau menyampaikan cerita kepada pendengar.

    Sebagaimana Subyantoro (2013:36) mengungkapkan bahwa penceritaan atau

    bercerita yang baik akan menyebarkan ruh baru yang kuat dan menampakkan

    gambaran yang hidup di hadapan pendengar, dengan memberikan potret yang

    jelas dan menarik, adanya intonasi, disertai gerak-gerak, dan adanya kandungan

    emosi di dalamnya. Ia dapat menghidupkan setiap tokoh dengan karakter seperti

    yang dituntut dalam cerita.

    Berdasarkan teori tentang teknik-teknik bercerita di atas, dapat

    disimpulkan bahwa teknik bercerita merupakan siasat atau bentuk strategi untuk

    dapat bercerita dengan baik dengan memperhatikan faktor teknis. Teknik

    menunjukkan tahapan persiapan ketika melakukan kegiatan bercerita guna

    mencapai keberhasilan bercerita dengan baik dan menarik. Persiapan tidak hanya

    kesiapan pencerita dalam hal teknis, tetapi kesiapan psikologis dan kepercayaan

    diri perlu diperhatikan. Karena pada kenyataannya, hal ini menjadi salah satu

    tolok ukur keberhasilan bercerita. Teknik bercerita sangat membantu pencerita

    sebagai pedoman bercerita agar dapat menyampaikan cerita secara baik dan

    menarik.

  • 36

    2.2.1.5 Penilaian Keterampilan Bercerita

    Guna mengetahui keberhasilan siswa dalam pembelajaran keterampilan

    bercerita diperlukan penilaian. Penilaian tidak hanya memberi angka tetapi dapat

    memotivasi dan mengembangkan kemampuan siswa terlebih dalam hal bercerita.

    Yang diuji adalah kemampuan pengguna bahasa dalam berbahasa, bukan

    kemahiran pengguna bahasa tentang aturan bahasa itu sendiri walaupun

    pengetahuan tentang aturan bahasa sangat menunjang keefektifan berbahasa

    (Depdiknas 2007:16). Kemampuan pengguna bahasa dalam berbahasa ditinjau

    dari kemampuan berkomunikasi pengguna bahasa tersebut terhadap pengguna

    bahasa lain dalam lingkup sosial baik secara verbal maupun nonverbal.

    Kemampuan berkomunikasi secara verbal dan nonverbal berpengaruh pada

    storytelling diungkapkan oleh Sobarna (2010:72-73). Kemampuan berkomunikasi

    secara verbal adalah kesanggupan yang meliputi pengucapan (pronounciation),

    pengertian kata (definition), kosa kata (vocabulary) dan keruntutan (plot).

    Kemampuan berkomunikasi secara nonverbal meliputi volume suara (volume) ,

    kelancaran berkomunikasi (fluency), kontak (contact), dan rasa percaya diri.

    Keterampilan bercerita termasuk keterampilan berbicara, Subana dan

    Sunarti (2011:222) menyatakan bahwa untuk menilai kemampuan berbicara

    seseorang, sekurangnya ada enam hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) lafal dan

    ucapan; 2) struktur kebahasaan; 3) kosakata, pilihan kata yang tepat sesuai dengan

    makna informasi yang akan disampaikan; 4) kefasihan, kemudahan, dan

    kecepatan bicara; 5) isi dan topik pembicaraan, gagasan yang disampaikan, ide-

  • 37

    ide yang dikemukakan dan alur pembicaraan; 6) pemahaman, menyangkut tingkat

    keberhasilan komunikasi menyangkut kekomunikatifan.

    Selain itu, Zuliyanti (2012) mengungkapkan bahwa penilaian

    kemampuan bercerita adalah tes lisan, aspek yang dinilai adalah 1) ketepatan

    ujaran, penempatan tekanan, nada, dan intonasi; 2) pilihan kata (diksi) dan

    kosakata; 3) struktur dan keefektifan kalimat; 4) gerak-gerik, mimik, sikap dan

    pandangan mata; 5) volume/kenyaringan suara; 6) penguasaan topik, dan 7)

    kelancaran.

    Sebagaimana pemaparan teori berkaitan dengan penilaian keterampilan

    bercerita, aspek penilaian keterampilan bercerita adalah: (1) percaya diri; (2)

    keruntutan cerita; (3) volume suara; (4) pilihan kata; (5) intonasi; (6) gerak

    tubuh/gesture; (7) ekspresi; (8) isi cerita; (9) keefektifan kalimat; (10) pelafalan.

    Pertama, percaya diri. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat

    dirumuskan kriteria percaya diri sebagai panduan jabaran indikator penilaian,

    yaitu: bercerita tanpa ragu-ragu, tidak canggung, berani bercerita, dan tidak putus

    asa.

    Kedua, keruntutan cerita. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini

    dapat dirumuskan kriteria keruntutan cerita sebagai panduan jabaran indikator

    penilaian, yaitu: bercerita sesuai dengan alur, sistematis (awal, tengah, akhir),

    bercerita secara urut, berkesinambungan.

    Ketiga, volume suara. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat

    dirumuskan kriteria volume suara sebagai panduan jabaran indikator penilaian,

  • 38

    yaitu: suara mencapai daya jangkau pendengar, bercerita dengan nyaring,

    ketepatan kekuatan suara yang dihasilkan, pandai mengatur keras pelan suara.

    Keempat, pilihan kata. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat

    dirumuskan kriteria pilihan kata sebagai panduan jabaran indikator penilaian,

    yaitu: pilihan kata selaras dengan cerita, kesesuaian pilihan kata dalam

    mendialogkan tokoh, kesesuaian pilihan kata dalam berekspresi, kata yang

    digunakan dapat dimengerti.

    Kelima, intonasi. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat

    dirumuskan kriteria intonasi sebagai panduan jabaran indikator penilaian, yaitu:

    ada tinggi rendah nada dalam bercerita sesuai penceritaan, ada tinggi rendah nada

    dalam mendialogkan tokoh, melagukan kalimat dalam bercerita, ketepatan

    mengatur nada.

    Keenam, gerak tubuh/gesture. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini

    dapat dirumuskan kriteria gerak tubuh/gesture sebagai panduan jabaran indikator

    penilaian, yaitu: memunculkan gerak tubuh dalam bercerita, gerak-gerik sesuai

    penceritaan, gerak tubuh meyakinkan, tidak berlebihan.

    Ketujuh, ekspresi. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat

    dirumuskan kriteria ekspresi sebagai panduan jabaran indikator penilaian, yaitu:

    raut wajah sesuai konteks cerita (senang, sedih), improvisasi diri, memerankan

    tokoh sesuai karakter, mendialogkan tokoh cerita.

    Kedelapan, isi cerita. Aspek penilaian keterampilan bercerita ini dapat

    dirumuskan kriteria isi cerita sebagai panduan jabaran indikator penilaian, yaitu:

    pokok cerita tersampaikan, memuat struktur cerita (permulaan, konflik,

  • 39

    penyelesaian), pengisahan tidak terpaku teks (pemahaman sendiri), memuat pesan

    moral.

    Kesembilan, keefektifan kalimat. Aspek penilaian bercerita ini dapat

    dirumuskan kriteria keefektifan kalimat sebagai panduan jabaran indikator

    penilaian, yaitu: bercerita secara komunikatif, mudah dipahami, keberhasilan

    menarik perhatian pendengar, bercerita dengan efektif.

    Kesepuluh, pelafalan. Aspek penilaian bercerita ini dapat dirumuskan

    kriteria pelafalan sebagai panduan jabaran indikator penilaian, yaitu: pengucapan

    yang jelas, tidak terbata-bata, ketepatan jeda, pandai mengatur napas.

    2.2.2 Cerita Pendek

    Dalam subbab ini akan membahas mengenai pengertian cerita pendek,

    unsur-unsur pembangun cerita pendek, bercerita berdasarkan teks cerita pendek.

    2.2.2.1 Pengertian Cerita Pendek

    Nursisto (2000:165) cerita pendek adalah cerita yang pendek, namun

    tidak setiap cerita yang pendek dapat digolongkan ke dalam cerpen. Maksud dari

    konsep ini, bahwa cerita pendek memiliki karakteristik yang tidak hanya dilihat

    dari jumlah halaman atau ukuran cerita yang pendek. Sehingga cerita yang

    pendek belum tentu termasuk cerpen.

    Di Amerika dikenal dua jenis cerita pendek, yaitu (a) long short-story,

    dan (b) short short-story. Di Indonesia kedua istilah tersebut diterjemahkan

    menjadi cerita pendek yang panjang dan cerita pendek yang pendek. Dengan

  • 40

    demikian predikat panjang dan pendek di belakang kata cerita tersebut jelas

    menunjuk pada banyak atau sedikitnya halaman yang digunakan pengarang untuk

    mewadahi ungkapan perasaannya tersebut (Suharianto 2005:28-29). Hampir

    sependapat dengan Nursisto, Suharianto menyatakan bahwa salah satu

    karakteristik atau ciri cerpen yaitu cerita yang pendek.

    Adapun, Stanton (2007:88) menyatakan bahwa cerpen tersatukan melalui

    tema dan efek. Cerpen bergaya padat; salah satu perangkat kepadatan yang

    lazim digunakan di dalamnya adalah simbolisme. Cerpen tersusun atas berbagai

    macam tingkatan; ia menggugah kepekaan realisme pembaca, pemahamannya,

    emosinya, dan kepekaan moralnya secara simultan. Cerpen memiliki efek

    mikrokosmis karena mampu mengungkap satu makna yang demikian besar

    melalui sepotong kejadian saja. Stanton beranggapan bahwa tema dan efek

    sebagai wujud pemaknaan peristiwa atau inti cerpen memberikan pengaruh secara

    simultan atau psikologis bagi pembaca. Hal yang mendasar yaitu

    tersampaikannya kepada pembaca perihal makna cerita yang umumnya hanya

    fokus satu kejadian pada suatu cerpen, inilah yang menjadi salah satu kelebihan

    yang dimiliki cerpen.

    Secara etimologis cerpen pada dasarnya adalah karya fiksi atau sesuatu

    yang dikonstruksikan, ditemukan, dibuat atau dibuat-buat. Hal itu berarti bahwa

    cerpen tidak terlepas dari fakta. Fiksi yang merujuk pada pengertian rekaan atau

    konstruksi dalam cerpen terdapat pada unsur fisiknya. Sementara fakta yang

    merujuk pada realitas dalam cerpen terkandung dalam temanya. Dengan demikian,

  • 41

    cerpen dapat disusun berdasarkan fakta yang dialami atau dirasakan oleh

    penulisnya (Nuryatin 2010:2).

    Selain itu, cerpen tidak hanya beradaptasi pada fakta yang dialami

    penulis sebagaimana pendapat Nuryatin. Lain hal dengan tersebut, Mihardja

    (2012:40) beranggapan bahwa cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi

    yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan pararel

    pada tradisi penceritaan lisan. Anggapan ini dapat dirumuskan bahwa cerpen

    dapat berdasar pada suatu peristiwa yang menarik karena lucu dan mengesankan

    sesuai dengan keinginan penceritaan yang diciptakan penulis. Adaptasi

    penceritaan ini adalah kebiasaan turun-temurun penceritaan lisan atau bercerita

    atau dapat disebut mendongeng.

    Berdasarkan beberapa teori tentang pengertian cerpen di atas, dapat

    disimpulkan bahwa cerita pendek (cerpen) adalah sebuah kisahan atau prosa fiksi

    pendek yang memusatkan satu peristiwa, satu alur, dengan tokoh terbatas yang

    fokus pada tokoh utama. Ciri-ciri cerpen diungkapkan pula oleh Kosasih

    (2012:34) yaitu: (1) alur lebih sederhana; (2) tokoh yang dimunculkan hanya

    beberapa orang; dan (3) latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkup

    yang relatif terbatas.

    2.2.2.2 Unsur-Unsur Pembangun Cerita Pendek

    Hal mendasar agar dapat mencapai pemahaman ketika membaca suatu

    cerpen adalah dengan memperhatikan unsur-unsur pembangun cerpen. Unsur-

  • 42

    unsur pembangun cerpen berkaitan dengan inti pengisahan cerita yang

    disampaikan pengarang.

    Menurut Sarimanah (2008:162), unsur-unsur pembangun cerita pendek

    secara garis besar dibedakan menjadi dua yaitu: 1) unsur pembangun dari dalam

    berupa alur, tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa,

    dan tema; 2) unsur pembangun dari luar antara lain, latar belakang pengarang,

    gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.

    Unsur yang pertama adalah unsur pembangun dari dalam berupa alur,

    tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa, dan tema.

    Unsur ini adalah unsur yang harus ada sebagai karakteristik cerpen. Alur atau plot

    merupakan jalinan peristiwa/kejadian sebagai sebab akibat sehingga berpengaruh

    pada sambung-sinambung cerita. Tokoh dan penokohan adalah tokoh cerita atau

    pelaku dan karakter atau watak dari tokoh cerita tersebut yang dikisahkan dalam

    cerita. Setting berkaitan dengan suatu tempat dan waktu tertentu terjadinya

    peristiwa/kejadian dalam pengisahan suatu cerita. Sudut pandang penceritaan

    adalah peranan pengarang dalam menyajikan cerita, sebagai orang pertama

    tunggal/akuan, orang ketiga tunggal/diaan, atau dapat pula sebagai campuran

    antara diaan dan akuan. Bahasa berkaitan dengan cara pengisahan cerita oleh

    pengarang dengan pemilihan kata yang tepat sehingga dapat mengajak pembaca

    untuk dapat merasakan apa yang dirasakan tokoh cerita. Tema adalah dasar cerita

    sebagai pokok permasalahan yang menjadi fokus pengisahan suatu cerita yang

    diciptakan pengarang.

  • 43

    Unsur yang kedua adalah unsur pembangun dari luar antara lain, latar

    belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu. Unsur ini

    merupakan unsur pendukung dari unsur dalam cerita yang ikut berpengaruh pada

    karakteristik cerita dan kekhasan pengarang. Latar belakang pengarang adalah hal

    yang berhubungan dengan kehidupan, lingkungan tempat tinggal, hal-hal yang

    berpengaruh pada seorang pengarang sehingga akan berpengaruh pada cerita yang

    diciptakannya. Gaya penulisan adalah ciri khas pengarang yang berhubungan

    dengan bahasa yang digunakan pengarang dalam mengisahkan cerita.

    Gejala/situasi sosial tertentu berkaitan dengan keadaan sosial yang sedang terjadi

    di suatu masa sehingga menggerakkan pengarang untuk menciptakan cerita

    berdasarkan peristiwa/kejadian kala itu.

    Nuryatin (2010:4) unsur pembangun cerpen mencakupi tema (dan

    amanat), penokohan, alur, latar, pusat pengisahan/sudut pandang, dan gaya cerita.

    Pertama tema (dan amanat), kedua unsur pembangun cerpen ini memiliki

    peran yang berdampingan dalam pengisahan cerita. Tema adalah ide yang

    mendasari suatu cerita yang menjadi fokus penceritaan. Sedangkan amanat adalah

    pesan atau ajaran moral yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.

    Salah satu karakteristik cerpen itu harus singkat dan padat, begitu juga tema

    cerpen hanya berpusat pada satu persoalan/peristiwa dan cerpen hanya

    mempunyai satu amanat sehingga berkesan tunggal. Menurut Kosasih (2012:40-

    41), beberapa unsur intrinsik yang dipergunakan pengarang untuk menyalurkan

    tema ceritanya, yaitu: (1) melalui alur cerita; (2) melalui tokoh cerita; dan (3)

    melalui perkataan yang dipergunakan pengarang. Menurut konsep ini, tema

  • 44

    disampaikan kepada pembaca melalui perantara alur cerita, pemunculan tokoh

    cerita dan watak yang menaunginya, juga petuah yang disampaikan pengarang

    baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengisahan cerita tersebut.

    Kedua penokohan, merupakan perwatakan tokoh/pelaku yang dikisahkan

    dalam cerita. Pencerminan watak/karakter tokoh dalam cerita, diwujudkan dengan

    kalimat langsung (perkataan) tokoh atau dapat pula melalui penggambaran dan

    ilustrasi cerita oleh pengarang. Kosasih (2012:36-37) memaparkan contoh-contoh

    teknik penggambaran karakteristik tokoh: (1) teknik analitik atau penggambaran

    langsung; (2) penggambaran fisik dan perilaku tokoh; (3) penggambaran

    lingkungan kehidupan tokoh; (4) penggambaran tata kebahasaan tokoh; dan (5)

    pengungkapan jalan pikiran. Dari pendapat Kosasih tersebut, karakteristik tokoh

    dapat diidentifikasi pada pengisahan tokoh secara langsung, fisik dan perilaku

    tokoh, pengisahan tentang lingkungan kehidupan tokoh, tata bahasa tokoh, dan

    penafsiran pikiran tokoh. Kelima teknik ini dapat membantu ketika menentukan

    watak tokoh atau penokohan suatu cerpen.

    Ketiga alur, merupakan rangkaian cerita berdasarkan peristiwa-peristiwa

    yang membentuk jalinan suatu cerita. Adapaun, Kosasih (2012:34-35)

    menyatakan bahwa alur terbagi ke dalam bagian-bagian berikut: (1) pengenalan

    situasi cerita (exposition); (2) pengungkapan peristiwa (complication); (3) menuju

    pada adanya konflik (rising action); (4) puncak konflik (turning point); dan (5)

    penyelesaian (ending). Dari pendapat tersebut, alur membentuk tahapan-tahapan

    yang harus ada dalam cerita. Alur bersifat sinambung dan saling berkaitan, antara

    awal, tengah, dan akhir cerita.

  • 45

    Keempat latar atau setting, merupakan keadaan atau situasi peristiwa

    dalam cerita yang berupa tempat, waktu, dan suasana. Sehubungan dengan

    dengan hal itu, Kosasih (2012:38-39) menyatakan macam-macam latar yaitu: (1)

    latar tempat, dan (2) latar waktu. Berdasarkan pendapat tersebut, latar mempunyai

    peranan penting dalam pengisahan cerita. Karena tanpa penggambaran latar, suatu

    cerita akan terkesan absurd atau tidak dapat teridentifikasi pengisahan peristiwa

    suatu cerita. Latar tempat merupakan letak, lokasi, ruang yang digunakan atau

    ditempati. Latar waktu merupakan keadaan yang berlangsung atau saat tertentu.

    Kelima pusat pengisahan/sudut pandang, hal ini berhubungan dengan

    cara pandang pengarang dalam menciptakan satu kesatuan cerita yang utuh dan

    sinambung. Selain itu, Suharianto (2005:25-26) menyatakan bahwa ada beberapa

    jenis pusat pengisahan, yaitu: (1) pengarang sebagai pelaku utama cerita; (2)

    pengarang ikut main tapi bukan sebagai pelaku utama; (3) pengarang serba hadir;

    dan (4) pengarang peninjau. Menurut pendapat tersebut, yang dimaksud

    pengarang sebagai pelaku utama cerita adalah pengarang memerankan dirinya

    menjadi fokus pengisahan atau menjadi tokoh utama cerita. Pengarang ikut main

    tapi bukan sebagai pelaku utama, artinya adalah cerita tersebut merupakan kisah

    orang lain tetapi pengarang terlibat. Biasanya pengarang pada posisi ini akan

    menguatkan penokohan cerita melalui perkataannya atau penggambaran langsung

    maupun tidak langsung. Pengarang serba hadir adalah pengarang tidak berperan

    apa-apa, tetapi pengarang serba tahu apa yang akan terjadi. Pengarang peninjau

    adalah pengarang seakan-akan tidak tahu apa yang terjadi, tetapi hanya

    menceritakan apa yang dilihatnya.

  • 46

    Keenam gaya cerita, pada unsur ini pengarang mempunyai ciri khas

    masing-masing dalam mengarang atau menciptakan suatu cerita, karena gaya

    cerita bergantung pada kemampuan tiap individu pengarang. Gaya cerita berupa

    gaya bahasa yang berkaitan dengan pemilihan kata-kata yang sesuai dengan isi

    cerita. Sebagaimana pendapat Kusmayadi (2010:27), gaya bahasa adalah teknik

    pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang

    hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh pemilihan kata (diksi)

    yang tepat. Gaya cerita atau gaya bahasa diwujudkan pengarang dengan cara

    melukiskan sesuatu menggunakan bahasa yang tidak sewajarnya atau tidak sesuai

    bahasa pada umunya, dengan pengandaian, perbandingan-perbandingan, atau

    dapat pula memanusiakan benda mati.

    Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur

    pembangun cerpen ada dua, yaitu unsur-unsur dari dalam (intrinsik) cerpen dan

    unsur-unsur dari luar (ekstrinsik) cerpen. Unsur intrinsik cerpen meliputi: (1)

    tema dan amanat; (2) tokoh dan penokohan; (3) alur/plot; (4) setting/latar; (5)

    sudut pandang/pengisahan; (6) gaya bahasa. Sedangkan unsur ekstrinsik cerpen

    meliputi: (1) latar belakang pengarang; (2) gaya penulisan, dan (3) gejala/situasi

    sosial tertentu.

    2.2.2.3 Bercerita Berdasarkan Teks Cerita Pendek

    Aminuddin (2002:92) memaparkan beberapa langkah yang harus

    diperhatikan pembaca dalam upaya pemahaman prosa fiksi (cerpen) sebagai

    berikut: 1) memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca, 2) memahami

    penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca, 3)

  • 47

    memahami satuan peristiwa, pokok pokiran serta tahapan peristiwa dalam prosa

    fiksi yang dibaca, 4) memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang

    dibaca; 5) menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang

    disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita, 6)

    menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkannya, 7)

    mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari

    satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang

    ditampilkannya, dan 8) menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta

    menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar

    cerita yang dipaparkan pengarangnya.

    Sebelum bercerita berdasarkan teks cerpen, langkah pertama yang harus

    dilakukan adalah membaca teks cerpen tersebut. Langkah kedua, mengapresiasi

    cerita teks cerpen berdasarkan karakteristik cerpen. Maksudnya adalah

    memahami teks cerita pendek berdasarkan unsur-unsur pembangun cerpen (unsur

    intrinsik). Langkah ketiga, menyusun kerangka cerita. Salah satu metode yang

    membantu tahap ini adalah dengan cara menulis ringkasan cerita. Langkah

    keempat, bercerita berdasarkan teks cerpen dengan memperhatikan karakteristik

    teks (unsur-unsur pembangun cerpen).

    Adapun, Ratminingsih (2012:77) menawarkan teknik bercerita inovatif

    sebagai hasil penelitiannya, berikut fase-fase atau langkah-langkah yang harus

    siswa ikuti dalam proses pembelajaran yaitu: 1) shadowing, kegiatan pengulangan

    bahasa; 2) summarizing, menginformasikan dan membuat ringkasan sebelum

    bercerita; 3) retelling, menceritakan kembali cerita yang telah dipelajari; 4) action

  • 48

    logging, mengevaluasi aktivitas kelas (menulis pikiran dan perasaan serta

    tanggapan); dan 5) newslettering, kegiatan pemilihan komentar dari hasil action

    logging yang dibagikan kepada semua siswa untuk dibaca kemudian dikomentari

    pada logging berikutnya.

    Dari beberapa teori pendukung terkait dengan bercerita berdasarkan teks

    cerpen, dapat disimpulkan bahwa bercerita berdasarkan teks cerpen hendaknya

    berorientasi pada teks cerpen yang telah dibaca dan dipahami oleh pencerita atau

    siswa sebagai pencerita. Orientasi cerpen ketika melakukan kegiatan bercerita,

    yaitu dengan mengidentifikasi unsur-unsur pembangun cerpen (tema dan amanat,

    tokoh dan penokohan, alur/plot, setting/latar, sudut pandang/pengisahan, gaya

    bahasa)

    2.2.3 Pendekatan Scientific

    Dalam subbab ini akan membahas mengenai hakikat pendekatan

    scientific, langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan scientific (ilmiah).

    2.2.3.1 Hakikat Pendekatan Scientific

    Pendekatan pembelajaran merupakan strategi yang dipakai guru atau

    pengajar agar murid atau pembelajar bisa dengan mudah belajar dalam rangka

    menyerap materi ajar secara lebih cepat (Rohman 2009:193). Menurut konsep

    tersebut, pendekatan bertujuan untuk mempermudah siswa menangkap dan

    memahami pelajaran. Pada umumnya kata approach diartikan pendekatan ...

    approach adalah seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa, pengajaran bahasa,

    dan proses belajar bahasa (Subana dan Sunarti 2011:18). Pendekatan merupakan

  • 49

    landasan berpikir yang berterima atau dianggap benar mengenai kebahasaan, hal

    ini lebih bersifat teoretis dan ilmiah.

    Ada berbagai macam pendekatan yang diterapkan guru dalam

    pelaksanaan pembelajaran di kelas. Namun beberapa pendekatan yang umumnya

    telah diterapkan guru, kini mulai beralih menggunakan pendekatan baru.

    Pendekatan baru ini merujuk kurikulum 2013 yang kini dicanangkan oleh

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pendekatan ini adalah pendekatan

    ilmiah (scientific approach).

    Mulyono, dkk (2012:21) melakukan penelitian yang berjudul

    Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan Sientific Skill

    Teknologi Fermentasi Berbasis Masalah. Dalam penelitiannya tersebut,

    Mulyono menyatakan bahwa istilah scientific skill digunakan sebagai pengganti

    istilah kecakapan proses sains, untuk menegaskan bahwa kecakapan ini bukan

    semata-mata merupakan keterampilan-keterampilan yang otomatis, tetapi lebih

    merupakan proses-proses yang diperlukan peserta didik untuk mengkonstruksi

    pengetahuan sains dan menyelesaikan persoalan-persoalan eksperimental.

    Menurut konsep ini, scientific skill atau keahlian/kecakapan ilmiah berdasar ilmu

    tentang sains yang umumnya digunakan dalam pembelajaran IPA (biologi) yang

    mengkaji materi pembelajaran dengan cara eksperimen (percobaan) yang

    sebenarnya dan dikaji secara ilmiah.

    Menurut Mulyono (2012:21), pendekatan scientific skill meliputi: 1)

    kemampuan membuat rancangan percobaan, 2) kemampuan melakukan

    percobaan dan melaporkan hasilnya, 3) penguasaan konsep proses sains (scientific

  • 50

    process) yang baik, dan 4) kemampuan mempresentasikan hasil percobaan

    dengan baik.

    Konsep pendekatan scientific (ilmiah) merujuk Kemdikbud (2013:191)

    yang menyatakan bahwa pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas

    perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta

    didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para

    ilmuan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive reasoning) ketimbang

    penalaran deduktif (deductive reasoning). Sebagaimana dasar pengertian ilmiah,

    pendekatan ilmiah diperlukan pengujian secara nyata sehingga bertolak dari

    peristiwa yang bersifat umum berdasarkan peristiwa khusus atau penalaran

    induktif. Dalam pelaksanaan pembelajaran, pendekatan ilmiah diterapkan secara

    umum untuk seluruh mata pelajaran sebagaimana dasar kurikulum 2013 yang

    mengedepankan pendekatan ini.

    Adapun, Kemdikbud memaparkan beberapa kriteria pendekatan ilmiah

    jika diterapkan dalam pembelajaran. Kemdikbud (2013:192) menyatakan bahwa

    proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria sebagai berikut. (1)

    Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat

    dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira,

    khayalan, legenda, atau dongeng semata. (2) Penjelasan guru, respon peserta didik,

    dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta,

    pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. (3)

    Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan

    tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan

  • 51

    mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. (4) Mendorong dan

    menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,

    kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi

    pembelajaran. (5) Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami,

    menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam

    merespon substansi atau materi pembelajaran. (6) Berbasisi pada konsep, teori,

    dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan. (7) Tujuan pembelajaran

    dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.

    Berkenaan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat pendekatan

    scientific adalah strategi pembelajaran yang digunakan guru dengan

    memfokuskan proses pembelajaran berdasar pada ilmiah yang mencakup: proses,

    pengetahuan, keterampilan, dan sikap (religius dan sosial).

    2.2.3.2 Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Scientific (Ilmiah)

    Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Modul Pelatihan

    Implementasi Kurikulum 2013 salah satunya adalah pendekatan ilmiah

    (scientific approach) sebagai dasar kurikulum 2013. Pendekatan ilmiah (scientific

    approach) diterapkan pada semua mata pelajaran, meliputi: menggali informasi

    melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau

    informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis,

    menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta.

    Merujuk konsep pendekatan scientific dari Kemdikbud, pelaksanaan

    pembelajaran menerapkan lima tahapan pendekatan scientific (ilmiah). Langkah-

  • 52

    langkah pembelajaran dengan pendekatan scientific (ilmiah) mencakup: (1)

    mengamati; (2) menanya; (3) menalar; (4) mencoba; dan (5) mengkomunikasikan.

    Pertama mengamati, tahap ini mengutamakan kebermaknaan proses

    pembelajaran (meaningfull learning). Langkah-langkah kegiatan mengamati

    yaitu: (1) menentukan objek yang akan diamati; (2) membuat pedoman observasi

    (jika diperlukan); (3) menentukan data-data yang perlu diamati; (4) menentukan

    tempat objek yang akan diamati; (5) menentukan pelaksanaan observasi guna

    pengumpulan data; (6) menentukan cara pengumpulan data (buku catatan, kamera,

    alat tulis, dan alat pendukung lainnya).

    Kedua menanya, tahap ini memerlukan peran aktif dari siswa maupun

    guru. Pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal, tidak hanya

    berupa kalimat tanya melainkan juga berupa pernyataan. Guru hendaknya dapat

    memancing siswa untuk bertanya ketika pembelajaran berlangsung. Salah satunya

    dengan cara guru mengajukan pertanyaan, selain membimbing siswa menyimak

    juga membimbing siswa untuk tanggap dengan menjawab pertanyaan tersebut.

    Ketiga menalar, tahap ini merujuk proses berpikir yang logis dan

    sistematis berdasarkan fakta yang diperoleh dari observasi atau proses mengamati

    untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Dalam proses pembelajaran

    guru dapat menganalogikan sesuatu terkait materi pembelajaran sebagai penalaran

    untuk siswa. Penalaran yang menggunakan analog akan mempertajam daya nalar

    siswa, dengan membandingkan sesuatu yang mempunyai persamaan.

    Keempat mencoba, tahap ini siswa harus mencoba atau melakukan

    percobaan terkait pembelajaran guna mencapai pemahaman siswa sebagai

  • 53

    pemerolehan hasil belajar yang nyata. Percobaan yang dilakukan siswa umumnya

    berupa kegiatan langsung. Selain mengawasi percobaan yang dilakukan siswa,

    guru hendaknya dapat membimbing dan memotivasi siswa jika siswa mengalami

    kesulitan.

    Kelima mengkomunikasikan, guru dalam menerapkan pendekatan

    scientific diharapkan memberi kesempatan kepada siswa untuk

    mengkomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Pada tahap ini, siswa

    diharapkan dapat melaporkan atau mengkomunikasikan suatu hal terkait dengan

    penugasan guru ketika pembelajaran baik secara lisan maupun tulisan.

    Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan

    scientific tercermin pada langkah-langkah pembelajaran, yaitu: (1) mengamati, (2)

    menanya, (3) menalar, (4) mencoba, dan (5) mengkomunikasikan.

    2.2.4 Media Audiovisual Berbasis Pendidikan Karakter

    Dalam subbab ini akan membahas mengenai pengertian media

    pembelajaran, manfaat media pembelajaran, kriteria media pembelajaran, media

    audiovisual, media audiovisual berbasis pendidikan karakter.

    2.2.4.1 Pengertian Media Pembelajaran

    Menurut Sadiman, dkk (2009:7), media adalah segala sesuatu yang dapat

    digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat

    merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa

    sehingga proses belajar terjadi. Dalam pengertian ini, media berperan sebagai

    perantara untuk menyampaikan informasi dalam proses komunikasi agar terjadi

  • 54

    timbal balik. Sehingga media sangat efektif digunakan dalam pembelajaran,

    terlebih bermanfaat untuk siswa.

    Kata media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari

    medium batasan mengenai sangat luas, namun kita membatasi pada media

    pendidikan saja yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan

    pembelajaran (Daryanto, 2010:147). Sependapat dengan pendapat sebelumnya,

    Daryanto meyakini media sebagai alat pembelajaran (lingkup pendidikan) yang

    mendukung metode mengajar guru guna memandu siswa dalam memahami

    pelajaran.

    Dari kedua pendapat tersebut, media mempunyai peranan penting dalam

    pembelajaran. Adapun, Arsyad (2013:2) menyimpulkan bahwa media adalah

    bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya

    tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada

    khususnya.

    Berdasarkan beberapa pendapat terkait dengan pengertian media

    pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran pada hakikatnya

    perantara atau sarana yang digunakan guru ketika mengajar, selain dapat

    berjalannya metode pembelajaran juga dapat memandu dan memberikan

    gambaran konkret tentang suatu hal sehingga siswa mencapai pemahaman.

    2.2.4.2 Manfaat Media Pembelajaran

    Secara umum media mempunyai kegunaan sebagai berikut: 1)

    memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis; 2) mengatasi keterbatasan ruang,

  • 55

    waktu, tenaga, dan daya indra; 3) menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih

    langsung antara murid dengan sumber belajar; 4) memungkinkan anak belajar

    mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya;

    5) memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan

    menimbulkan persepsi yang sama (Daryanto, 2010:148). Kebermanfaatan media

    untuk khalayak umum salah satunya memberi kemudahan bagi penyimak media

    tersebut. Begitu pula dalam bidang pendidikan, media mempunyai peranan dalam

    proses pembelajaran yang bermanfaat untuk siswa juga guru.

    Adapun, Sudjana dan Rivai (2010:2) mengemukakan manfaat media

    pembelajaran dalam proses belajar siswa antara lain: (1) pembelajaran akan lebih

    menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; (2)

    bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami

    oleh para siswa dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran lebih

    baik; (3) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi

    verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan

    guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam

    pelajaran; (4) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya

    mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati,

    melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain. Beberapa manfaat media

    pembelajaran bagi siswa telah dipaparkan, media pembelajaran memberikan

    pengaruh positif dalam pembelajaran.

    Menurut Arsyad (2013:29-30), beberapa manfaat praktis dari

    penggunaan media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar sebagai

  • 56

    berikut. (1) Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan

    informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil

    belajar. (2) Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian

    anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung

    antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-

    sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. (3) Media pembelajaran dapat

    mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu. (4) Media pembelajaran dapat

    memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di

    lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan

    guru, masyarakat, dan lingkungannya misalnya melalui karyawisata, kunjungan-

    kunjungan ke museum atau kebun binatang.

    Berdasarkan beberapa pendapat terkait dengan manfaat media

    pembelajaran dalam proses pembelajaran, dapat disimpulkan media pembelajaran

    dapat menjadikan proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien.

    Mendatangkan pengaruh positif baik bagi siswa dalam membangun pemahaman

    dan tersugesti pendidikan karakter, juga mempermudah penyampaian materi

    pembelajaran bagi guru.

    2.2.4.3 Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran

    Pemilihan media pembelajaran hendaknya berdasarkan kriteria tertentu

    guna pertimbangan. Menurut Sudjana dan Rivai (2010:4-5), dalam memilih

    media untuk kepentingan pembelajaran sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria

    sebagai berikut. (1) Ketepatannya dengan tujuan pembelajaran, artinya media

  • 57

    pembelajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan.

    (2) Dukungan terhadap isi bahan pelajaran, artinya bahan pelajaran yang sifatnya

    fakta, prinsip, konsep, dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar

    lebih mudah dipahami siswa. (3) Kemudahan memperoleh media, artinya media

    yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada

    waktu mengajar. (4) Keterampilan guru dalam menggunakannya, apapun jenis

    media yang diperlukan syarat utama adalah guru dapat menggunakannya dalam

    proses pembelajaran. (5) Tersedia waktu untuk menggunakannya, sehingga media

    tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama pembelajaran berlangsung. (6)

    Sesuai dengan taraf berpikir siswa, memilih media untuk pendidikan dan

    pembelajaran harus sesuai dengan taraf berpikir siswa, sehingga makna yang

    terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh para siswa. Beberapa kriteria media

    pembelajaran yang telah dipaparkan Sudjana dan Rivai, dapat digunakan sebagai

    dasar atau acuan guru dalam memilih atau membuat media pembelajaran yang

    efektif digunakan untuk membelajarkan siswa.

    Selain itu, ada pendapat lain terkait dengan kriteria pemilihan media.

    Menurut Arsyad (2013:74-76), ada beberapa kriteria yang patut diperhatikan

    dalam memilih media. (1) Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. (2) Tepat

    untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta. (3) Praktis, luwes, dan

    bertahan. (4) Guru terampil menggunakannya. (5) Pengelompokan sasaran. (6)

    Mutu teknis. Kriteria pemilihan media yang telah dipaparkan Arsyad tidak jauh

    berbeda dengan pendapat sebelumnya. Pemilihan media pembelajaran hendaknya

    memerhatikan kriteria pemilihan media pembelajaran agar tidak menghambat

  • 58

    kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini, guru yang memiliki tanggung jawab

    terhadap penggunaan media pembelajaran.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria media

    pembelajaran di antaranya: sesuai tujuan pembelajaran, sesuai dengan isi atau

    materi pembelajaran, berterima untuk siswa, mudah diperoleh (praktis), guru

    terampil menggunakan media, waktu yang mencukupi.

    2.2.4.4 Media Audiovisual

    Alat-alat yang termasuk kelompok alat yang digunakan sebagai media

    audio-visual antara lain: sound-slide, kaset video, film, televisi dan VCD

    (Sidharta dan Yani (ed.) 2005:19). Media-media tersebut termasuk media

    audiovisual karena memiliki ciri-ciri yang sama. Ciri-ciri yang dimaksud adalah

    dapat dilihat dan dapat didengar. Media-media yang termasuk jenis audiovisual

    efektif digunakan, terlebih dalam pelaksanaan pembelajaran.

    Sebagaimana pendapat Haryoko (2009:3) menyatakan bahwa media

    audiovisual adalah media penyampai informasi yang memiliki karakteristik audio

    (suara) dan visual (gambar). Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih

    baik, karena meliputi kedua karakteristik tersebut. Menurut konsep ini, salah satu

    keunggulan media audiovisual adalah siswa dapat menyimak langsung ilustrasi

    yang ditayangkan sekaligus dapat dengan jelas mendengar sesuatu hal yang

    disampaikan dalam media audiovisual.

    Selain itu, Arsyad (2013:32) menyatakan bahwa pembelajaran melalui

    audio-visual adalah produksi dan penggunaan materi yang penyerapannya melalui

  • 59

    pandangan dan pendengaran serta tidak seluruhnya tergantung kepada

    pemahaman kata atau simbol-simbol yang serupa. Sebagaimana konsep yang

    disampaikan Arsyad, penggunaan media audiovisual membantu siswa/penyimak

    membangun konsep pemahaman yang lebih imajinatif sebagai bentuk berpikir

    kritis dan kreatif.

    Berdasarkan penjelasan mengenai hakikat media audiovisual, dapat

    disimpulkan bahwa media audiovisual adalah media perantara berupa gabungan

    suara dan gambar sebagai visualisasi indera pendengaran dan penglihatan yang

    berfungsi sebagai sarana atau perantara dalam proses pembelajaran. Media

    audiovisual termasuk media pembelajaran yang interaktif guna mengkonkretkan

    suatu hal terkait pembelajaran.

    Peralatan audio-visual tidak harus digolongkan sebagai pengalaman

    belajar yang diperoleh dari penginderaan pandang dan dengar, tetapi sebagai alat

    teknologis yang bisa memperkaya serta memberikan pengalaman kongkret

    kepada para siswa (Sudjana 2007:58). Media audiovisual memiliki daya guna

    yang efektif, melalui media ini siswa/penyimak menyaksikan suatu hal sesuai

    dengan keadaan yang sesungguhnya sehingga pemahaman maupun pengetahuan

    yang dimiliki siswa/penyimak tidak bias.

    Media audiovisual memiliki kekhasan atau karakteristik tersendiri,

    begitu pula media pembelajaran yang lain. Berikut akan dijelaskan beberapa

    kelebihan dan kekurangan media audiovisual. Kelebihan media audiovisual

    dikemukakan oleh Indriana (dalam Maroha 2013:122) yaitu sebagai berikut.

    Pertama, memberikan pesan yang dapat diterima secara lebih merata oleh siswa.

  • 60

    Kedua, sangat baik untuk menerangkan suatu proses. Ketiga, mengatasi

    keterbatasan ruang dan waktu. Keempat, dapat diulang-ulang dan dihentikan

    sesuai dengan kebutuhan. Kelima, memberikan kesan mendalam yang dapat

    mempengaruhi sikap siswa. Keenam, memberikan hiburan tersendiri bagi peserta

    didik, sehingga peserta didik tidak bosan mengikuti sesi pembelajaran.

    Umumnya, media audiovisual mempunyai karakteristik dapat didengar

    dan dapat dilihat, begitu juga film dan video. Sebagaimana Arsyad (2013:50-51)

    memaparkan kelebihan media audiovisual, khususnya film dan video. (1) Film

    dan video dapat melengkapi pengalaman-pengalaman dasar dari siswa ketika

    mereka membaca, berdiskusi, berpraktik, dan lain-lain. Film merupakan

    pengganti alam sekitar dan bahkan dapat menunjukkan objek yang secara normal

    tidak dapat dilihat, seperti cara kerja jantung ketika berdenyut. (2) Film dan video

    dapat menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat disaksikan secara

    berulang-ulang jika dipandang perlu. (3) Di samping mendorong dan

    meningkatkan motivasi, film dan video menanamkan sikap dan segi-segi afektif

    lainnya. (4) Film dan video yang mengandung nilai-nilai positif dapat

    mengundang pemikiran dan pembahasan dalam kelompok siswa. (5) Film dan

    video dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara langsung

    seperti lahar gunung berapi atau perilaku binatang buas. (6) Film dan video dapat

    ditunjukkan kepada kelompok besar atau kelompok kecil, kelompok yang

    heterogen, maupun perorangan. (7) Dengan kemampuan dan teknik pengambilan

    gambar frame demi frame, film yang dalam kecepatan normal memakan waktu

    satu minggu dapat ditampilkan dalam satu atau dua menit.

  • 61

    Selain mempunyai kelebihan, media audiovisual juga mempunyai

    kekurangan. Kekurangan media audiovisual menurut Arsyad (2013:51)

    khususnya film dan video. (1) Pengadaan film dan video umumnya memerlukan

    biaya mahal dan waktu yang banyak. (2) Pada saat film dipertunjukkan, gambar-

    gambar bergerak terus sehingga tidak semua siswa mampu mengikuti informasi

    yang ingin disampaikan melalui film tersebut. (3) Film dan video yang tersedia

    tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan belajar yang diinginkan; kecuali

    film dan video itu dirancang dan diproduksi khusus untuk kebutuhan sendiri.

    Berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan media audiovisual, dapat

    disimpulkan bahwa media audiovisual mempunyai kelebihan: (1)

    menggambarkan atau mengilustrasikan sesuatu hal; (2) memberikan kesan kepada

    siswa/penyimak karena bersifat sugestif; (3) efektif menumbuhkan motivasi

    siswa/penyimak; (4) bersifat kondisional, bisa diputar ulang sesuai kebutuhan; (5)

    mengatasi kebosanan. Selain itu, media audiovisual mempunyai kekurangan, di

    antaranya: (1) pembuatan media audiovisual memerlukan biaya yang tidak sedikit

    dan membutuhkan waktu yang lama; (2) tayangan media audiovisual bergerak

    terus-menerus sehingga siswa/penyimak harus fokus agar tidak tertinggal saat

    menyimak.

    2.2.4.5 Media Audiovisual Berbasis Pendidikan Karakter

    Sumber langsung dari ajaran moral ialah pelbagai orang yang

    mempunyai kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, pemuka

    masyarakat dan agama, serta tulisan para bijak (Marno dan M.Idris, 2008:45).

  • 62

    Selain orang-orang dan lingkungan di sekitar, media juga mempengaruhi moral

    dan perilaku seseorang. Pendidikan merupakan wadah yang tepat untuk mendidik

    dan membimbing seseorang/anak agar dapat berkepribadian. Salah satunya,

    media pembelajaran yang digunakan guru dalam pelaksanaan pembelajaran

    sangat membantu siswa. Sebagaimana pendapat Tugur (2009), media akan

    menjadi alat bantu efektif tatkala guru mampu mengemas beberapa kegiatan yang

    memungkinkan siswa untuk mengembangkan dirinya sendiri secara aktif.

    Sependapat dengan hal ini, Iskandarwassid dan Dadang (2009:10) menyatakan

    bahwa pendidik di zaman sekarang seharusnya mampu memanfaatkan media

    belajar yang sangat kompleks seperti video, televisi dan film, disamping media

    pendidikan yang sederhana.

    Media pembelajaran sebagai salah satu sarana pendukung guna mendidik

    siswa. Selain berperan sebagai media penyampai ilustrasi secara konkret dalam

    pembelajaran, media audiovisual dapat digunakan guru untuk menyelipkan

    pendidikan karakter. Sebagaimana kompetensi inti dalam pembelajaran bahasa

    Indonesia membelajarkan sikap religius dan sikap sosial sebagai wujud mendidik

    pendidikan karakter untuk siswa. Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa

    Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana menyajikan

    informasi lisan, adalah sikap religius. Percaya diri, peduli, dan santun dalam

    merespon secara pribadi peristiwa jangka pendek, adalah sikap sosial.

    Berkaitan dengan hal tersebut, Wibowo (2013:18-19) menyatakan bahwa

    pendidikan karakter tidak hanya berhenti pada kawasan anak didik tahu dan

    paham tentang karakter-karakter mulia (kognitif), tetapi hendaknya membuat

  • 63

    anak didik memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai karakter itu (afektif), dan

    selanjutnya anak didik terdorong untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah

    menjadi milik mereka itu dalam tindak dan laku kehidupan sehari-hari

    (psikomotorik). Pada intinya, pendidikan karakter menekankan perilaku mulia

    dalam segala aspek kehidupan.

    Berdasarkan teori pendukung berkaitan dengan media audiovisual

    berbasis pendidikan karakter, dapat disimpulkan bahwa media audiovisual yang

    digunakan guru sebagai sarana pembelajaran memuat esensi pendidikan karakter

    yang tercermin pada video atau media audiovisual yang ditayangkan ketika

    pembelajaran. Pendidikan karakter yang dimaksud berwujud visualisasi cara

    bercerita, tahapan-tahapan bercerita, pemodelan bercerita. Secara langsung dan

    tidak langsung mendidik siswa memiliki kepribadian yang bersyukur dan taat

    terhadap Tuhan, selain itu berkepribadian santun, percaya diri, peduli, dan dapat

    bersosialisasi dengan khalayak umum. Media audiovisual berbasis karakter

    diharapkan dapat membantu siswa memahami bagaimana bercerita dengan baik,

    sebagaimana karakteristik teks cerpen sebagai acuan ketika bercerita di depan

    kelas.

    2.2.5 Hakikat Sikap Religius dan Sikap Sosial

    Sikap religius dan sikap sosial merupakan bagian dari pendidikan

    karakter yang digunakan sebagai landasan pendidikan nasional sebagaimana

    dikembangkan dalam kurikulum 2013. Pendidikan Nasional berfungsi

    mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

  • 64

    yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

    berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

    bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

    kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

    jawab (Abidin 2012:45).

    Dalam subbab ini akan membahas mengenai hakikat sikap religius dan

    hakikat sikap sosial.

    2.2.5.1 Hakikat Sikap Religius

    Pilar religi adalah pilar utama dan pertama. Melalui pilar religi akan

    terbentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga akan

    selalu terjaga dari perbuatan yang merugikan diri dan lingkungannya (Narwanti

    2011:56-57). Sebagaimana yang kita tahu, konsep agama pada dasarnya

    mengajarkan kebaikan. Selain tunduk kepada Tuhan dengan beribadah sesuai

    dengan agama yang dianut, agama juga memandu kita melakukan perbuatan yang

    baik.

    Adapun Aqib dan Sujak (2012:7) menyatakan bahwa religius adalah

    pikiran, perkataaan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan

    pada nilai-nilai ketuhanan dan atau ajaran agamanya. Konsep ini menganggap

    bahwa ajaran agama menjadi pedoman hidup seseorang dalam segala aspek

    kehidupan. Umumnya memberi pengaruh positif, karena mangajarkan kebaikan

    dalam bersikap.

  • 65

    Sikap religius perlu dikembangkan dalam bidang pendidikan, salah

    satunya dengan pencanangan pendidikan karakter yang tercermin dalam

    pembelajaran di sekolah. Dalam konteks pendidikan karakter, kami melihat

    bahwa kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik melalui

    persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan manusia

    sebagai makhluk yang berketuhanan (tunduk patuh pada konsep ketuhanan) dan

    mengemban amanah sebagai pemimpin di dunia (Kesuma, dkk 2012:7). Sikap

    religius dianggap perlu untuk membentuk siswa taat beragama. Taat beragama

    dalam arti, siswa memahami konsep ketuhanan yang diwujudkan dengan

    menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kemudian, bersikap baik

    sebagaimana ajaran agama yang telah dianutnya.

    Berhubungan dengan hal tersebut, lebih lanjut Kemdiknas menyatakan

    bahwa dalam pandangan agama, seseorang yang berkarakter adalah seseorang

    yang di dalam dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidik, amanah, fathonah,

    dan tablig (dalam Abidin 2012:53). Menurut konsep Kemdiknas tersebut, sikap

    religius atau beragama ditunjukkan dengan cerminan akhlak atau perilaku yang

    dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. Sidik berarti bersikukuh pada kebenaran

    atau yakin pada kebenaran. Amanah yaitu jujur, dapat dipercaya karena

    perkataannya sesuai dengan kenyataan. Fathonah berarti cerdas atau pandai dan

    berwawasan. Tablig berarti menyiarkan atau menyampaikan, dapat pula diartikan

    komunikatif dalam berinteraksi dengan orang lain.

    Nilai-nilai yang hendak diinternalisasikan terhadap anak didik melalui

    pendidikan karakter menurut Kemdiknas dalam Wibowo (2013:15) pada nilai

  • 66

    religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama

    yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun

    dengan pemeluk agama lain. Menurut konsep ini, nilai atau sikap religius

    merupakan wujud kehidupan beragama untuk diri sendiri dan hubungan

    antarumat beragama.

    Berdasarkan paparan mengenai sikap religius yang disampaikan oleh

    beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa hakikat sikap religius adalah perbuatan

    dan perilaku yang berlandaskan ajaran agama (ketuhanan) yang memiliki dampak

    positif dalam interaksi sosial. Sehingga sikap religius yang dimiliki seseorang

    akan berpengaruh pada sikap sosialnya.

    Beberapa sikap yang terkait dengan ketuhanan sebagai wujud sikap

    religius, di antaranya: takwa, iman, ikhlas.

    Sikap religius yang pertama, takwa. Menurut kamus umum bahasa

    Indonesia susunan WJS. Poerwodarminto dalam Koesman (2009:276), takwa

    diartikan sebagai kesalehan hidup. Menurut konsep ini, kesalehan yang dimaksud

    adalah kepatuhan atau ketaatan seseorang dalam menjalankan ajaran agama yang

    dianutnya. Elmubarok, dkk (2010:102) menyatakan bertakwa, yaitu memelihara

    diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi segala

    larangan-Nya. Seorang yang bertakwa akan hati-hati sekali menjaga segala

    perintah Allah. Terkait dengan pendapat yang disampaikan Elmubarok, konsep

    takwa tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya yaitu taat dan sungguh-

    sungguh melaksanakan ibadah. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat

    disimpulkan bahwa takwa merupakan sikap menjaga diri untuk tetap taat

  • 67

    melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan sebagaimana ketetapan

    ajaran agama yang dianut.

    Sikap religius yang kedua, iman. Menurut Fowler dalam Budiningsih

    (2004:35) menyatakan bahwa kepercayaan eksistensial (iman) adalah suatu cara

    manusia bersandar atau berserah diri serta menemukan atau memberikan makna

    terhadap berbagai kondisi atau keadaan hidupnya. Menurut konsep ini, manusia

    yang memiliki iman atau keteguhan hati berarti percaya kepada Tuhan. Berkaitan

    dengan hal tersebut, Elmubarok, dkk (2010:31) menyatakan bahwa sistem ibadah

    merupakan salah satu kelanjutan sistem iman. Jika tidak dikehendaki iman

    menjadi sekadar rumusan-rumusan abstrak, tanpa kemampuan memberi dorongan

    batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan yang sejati,

    maka keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi

    perhambaan seseorang kepada Allah. Konsep ini beranggapan bahwa iman

    merupakan keyakinan hati atau batin yang diwujudkan dengan ibadah kepada

    Tuhan sebagai penenang atau kenyamanan. Dari pendapat-pendapat tersebut,

    dapat disimpulkan bahwa sikap iman adalah percaya kepada Tuhan dengan

    berpegang teguh pada ajaran agama yang telah dianut.

    Sikap religius yang ketiga, ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa

    Indonesia (2005:420), ikhlas diartikan bersih hati; tulus hati. Maksud dari bersih

    hati; tulus hati adalah rela menyerahkan atau memberikan suatu hal kepada orang

    lain yang merupakan wujud ketulusan tanpa mengharapkan sesuatu. Adapun,

    Koesman (2009:278) menyatakan bahwa ikhlas adalah mengerjakan sesuatu

    dengan tulus, atau tanpa pamrih. Keikhlasan akan menjauhkan diri dari

  • 68

    kekecewaan. Konsep ini menyatakan bahwa dengan bersikap ikhlas, tidak akan

    ada perasaan menyesal atau kecewa jika dihadapkan pada suatu masalah maupun

    kegagalan. Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap

    ikhlas merupakan kesediaan tulus seseorang dalam melakukan sesuatu, baik untuk

    diri sendiri maupun untuk orang lain.

    Indikator sikap religius, mencakup: (1) berdoa sebelum dan sesudah

    menjalankan sesuatu; (2) memberi salam sesuai agama masing-masing sebelum

    dan sesudah menyampaikan pendapat/presentasi; (3) memelihara hubungan baik

    dengan sesama umat ciptaan Tuhan Yang Maha Esa; (4) mengucapkan keagungan

    Tuhan apabila melihat kebesaran Tuhan sesuai agama masing-masing; (5)

    mengucapkan rasa syukur atas karunia Tuhan sesuai agama masing-masing; (6)

    beraqidah lurus; (7) beribadah yang benar; (8) mengaitkan materi pembelajaran

    dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

    Pertama, berdoa sebelum dan sesudah menjalankan sesuatu. Sikap

    religius ini berprinsip dengan adab ajaran agama dengan memanjatkan doa

    terlebih dahulu dalam melakukan sesuatu, baik di awal maupun di akhir kegiatan

    tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk membangun konsentrasi pada kegiatan yang

    akan dilaksanakan.

    Kedua, memberi salam sesuai agama masing-masing sebelum dan

    sesudah menyampaikan pendapat/presentasi. Mengucapkan salam termasuk adab

    kesopanan kepada orang lain di sekitar kita, hal ini perlu dilakukan agar saling

    hormat-menghormati.

  • 69

    Ketiga, memelihara hubungan baik dengan sesama umat ciptaan Tuhan

    Yang Maha Esa. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya tenggang rasa, hormat-

    menghormati, toleransi antarsesama manusia sehingga tercipta hidup rukun.

    Keempat, mengucapkan keagungan Tuhan apabila melihat kebesaran

    Tuhan sesuai agama masing-masing. Maksud dari indikator ini adalah wujud

    ungkapan kecintaan kita terhadap Tuhan dengan selalu mengagungkan namanya,

    menyebut namanya.

    Kelima, mengucapkan rasa syukur atas karunia Tuhan sesuai agama

    masing-masing. Syukur yang dimaksud adalah kesediaan diri mengingat Tuhan,

    baik di kala suka maupun duka. Selain itu, wujud syukur dapat dilihat dari sikap

    seseorang yang tidak putus asa dan tidak mengeluh.

    Keenam, beraqidah lurus. Maksud dari indikator ini adalah bersikap dan

    berperilaku yang mulia, baik, dan luhur. Hal ini ditunjukkan dengan sikap diri

    yang baik dalam memperlakukan diri sendiri, terlebih memperlakukan orang lain.

    Ketujuh, beribadah yang benar. Sebagaimana agama yang dianut, sesuai

    dengan kepercayaan masing-masing hendaknya melaksanakan ajaran agama

    tersebut dengan baik dan sesuai tuntunan.

    Kedelapan, mengaitkan materi pembelajaran dengan kekuasaan Tuhan

    Yang Maha Kuasa. Hal ini merupakan implikasi dari sikap religius dalam

    pembelajaran yang disampaikan melalui materi. Langkah ini cukup efektif dan

    baik diterapkan dalam sistem pembelajaran, terutama sangat bermanfaat bagi

    siswa.

  • 70

    Dari beberapa indikator sikap religius yang telah dipaparkan, dalam

    penelitian ini indikator sikap religius yang akan dikembangkan sekaligus

    digunakan untuk penilaian sikap religius siswa, yaitu: (1) berdoa sebelum dan