BAB II

45
BAB II PENGGUNAAN GLUCAGON-LIKE PEPTIDE 1 (GLP-1) AGONIS DALAM PENATALAKSANAAN DM TIPE 2 DIPANDANG DALAM ILMU KEDOKTERAN 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglicemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglicemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Soegondo, 2009). Menurut WHO 1980 diabetes melitus merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema 8

description

GLP

Transcript of BAB II

BAB IIPENGGUNAAN GLUCAGON-LIKE PEPTIDE 1 (GLP-1) AGONIS DALAM PENATALAKSANAAN DM TIPE 2 DIPANDANG DALAM ILMU KEDOKTERAN2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 DefinisiDiabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglicemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglicemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Soegondo, 2009).Menurut WHO 1980 diabetes melitus merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin yang berhubungan dengan aterosklerosis yang dipercepat dan merupakan predisposisi untuk terjadinya kelainan mikrovaskular spesifik seperti terjadinya retinopati, nefropati dan neuropati (Soegondo, 2009).Definisi lain dari diabetes melitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglicemia), kadar glukosa darah tinggi disebabkan jumlah hormon insulin yang kurang atau jumlah insulin cukup tetapi kurang efektif (resistensi insulin) sehingga kadar glukosa darah yang tinggi dalam tubuh tidak dapat diserap semua dan tidak dapat dipergunakan sebagai bahan energi/tenaga dalam sel tubuh terutama sel otot. Akibatnya seseorang akan kekurangan energi sehingga mudah lelah, banyak makan tetapi berat badan terus menurun, sering buang air kecil dan banyak minum (Waspadji, 2007).

2.1.2 KlasifikasiDiabetes melitus adalah suatu penyakit dengan gejala konsentrasi glukosa dalam darah yang meningkat (hiperglicemia) dan dapat digolongkan menjadi (Soegondo, 2009) :1. Diabetes melitus tipe 1Kebanyakan diabetisi (penderita diabetes) tipe 1 adalah anak-anak dan remaja yang pada umumnya tidak gemuk. Setelah penyakitnya diketahui mereka harus langsung menggunakan insulin karena pankreas sangat sedikit bahkan tidak menghasilkan insulin.2. Diabetes melitus tipe 2Diabetes tipe 2, umumnya terjadi pada orang dewasa (kadang-kadang dapat terjadi pada anak dan remaja), dan disebabkan oleh adanya kekurangan hormon insulin secara relatif. Umumnya terjadi secara berlahan-lahan dan tanpa gejala dan secara bertahap akan bertambah berat.3. Diabetes melitus tipe lainKelainan pada diabetes tipe lain ini adalah akibat kerusakan atau kelainan fungsi kelenjar pankreas yang dapat disebabkan oleh bahan kimia, obatobatan atau penyakit pada kelenjar tersebut.4. Diabetes gestasional (kehamilan)Diabetes ini hanya terjadi pada saat kehamilan dan menjadi normal kembali setelah persalinan.

2.1.3 Etiologi Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) 1997, diabetes melitus dapat digolongkan berdasarkan penyebabnya, yaitu :Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologi Diabetes MelitusTipe 1Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut Autoimun Idiopati

Tipe 2Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang utama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi yang jarang Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes mellitus gestasional

2.1.4 EpidemiologiBerbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (Perkeni, 2011). Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimanatan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat (Perkeni, 2011). 2.1.5 PatogenesisDiabetes mellitus tipe 1Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes (Subakti, 2009).Diabetes Melitus Tipe 2Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata (Subakti, 2009).2.1.6 Manifestasi Klinik Banyak makan (polifagia) Sering merasa haus (polidipsia) Sering kencing (poliuria) terutama malam hari Lemas Berat badan menurun Kesemutan pada jari tangan dan kaki Gatal-gatal Penglihatan kabur Impotensi pada pria Pruritus vulva pada wanita Luka sukar sembuh Melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg

2.1.7 Diagnosis KlinikDiagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadarglukosa darah. Diagnosis tidak dapat d itegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (PERKENI, 2011). Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanitaKriteria diagnosis DM (Perkeni):Dikutip dari: Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia 2011

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokokApabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (Perkeni, 2011) : 1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L). 2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

Gambar 1. Bagan pemeriksaan diabetes mellitusDikutip dari: Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia 2011

2.1.8 TerapiTujuan pengelolaan Diabetes mellitus adalah :a. Tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan gejala/keluhan dan mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.b. Tujuan jangka panjang yaitu mencegah komplikasi, mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunya mortalitas dan morbiditas penderita DM.Prinsip pengelolaan Diabetes mellitus, meliputi :1) Edukasi/PenyuluhanTujuan penyuluhan yaitu meningkatkan pengetahuan diabetisi tentang penyakit dan pengelolaannya dengan tujuan dapat merawat sendiri sehingga mampu mempertahankan hidup dan mencegah komplikasi lebih lanjut.2) Terapi Gizi Medis/Diet DMTujuan Diet pada Diabetes mellitus adalah mempertahankan atau mencapai berat badan ideal, mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup. Penderita Diabetes mellitus didalam melaksanakan diet harus memperhatikan 3 J, yaitu : jumlah kalori yang dibutuhkan, jadwal makan yang harus diikuti, dan jenis makanan yang harus diperhatikan.3) Latihan Jasmani4) Intervensi FarmakologisObat hipoglikemik oralBerdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinidB. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindionC. Penghambat glukoneogenesis (metformin)D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.E. DPP-IV inhibitorA. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinidSulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepatsetelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.B. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindionTiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.C. Penghambat glukoneogenesis: metforminMetformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.D. Penghambat glukosidase alfa (acarbose)Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens (PERKENI, 2011). E. DPP-IV inhibitorDPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai jaringan termasuk sel imun.DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan glucose- mediated insulin secretion dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %. Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagaimonoterapi (Nathan et al., 2008)Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan Metformin: sebelum /pada saat / sesudah makan Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

Terapi insulinBerdasarkan konsensus ADA-EASD, insulin dapat diberikan bila target gula darah tidak tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian metformin. Selain itu, insulin juga diberikan pada keadaan adanya kondisi akut, seperti sakit berat, keadaan hiperosmolar, ketosis, dan pada pembedahan. Keputusan untuk memulai pemberian insulin dibuat berdasarkan pertimbangan akan kemampuan penderita untuk menyuntikkan sendiri insulin, dan keutuhan fungsi kognitif. Pada lansia yang bergantung pada orang lain untuk memberikan insulin, maka gunakan insulin masa kerja panjang (long-acting) dengan dosis sekali sehari, walaupun ini tidak dapat memberikan kontrol gula darah sebaik yang dicapai dengan pemberian insulin basal bolus atau regimen dua kali sehari (Indra, 2010). Tidak seperti obat anti hiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al., 2008).

2.2 Terapi glucagon-like peptid 1 (GLP 1) agonis 2.2.1 Hormon inkretinTraktus gastrointestinal memainkan peran penting dalam mengontrol pencernaan makanan, absorpsi nutrient dan asimilasi energi. Traktus gastrointestinal mempuyai sel-sel enteroendokrin yang ada di sepanjang usus kecil dan usus besar, berkontribusi untuk mengontrol homeostasis energi dengan mensekresi hormon yang penting untuk regulasi rasa kenyang, gut motility, dan fungsi dari pulau langerhans pankreas.(Lamont dan Drucker,2008). Hormon inkretin, terutama glucagon-like peptid 1 (GLP 1) dan glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP), adalah hormon polipeptida yang disintesis di usus yang merangsang sekresi insulin sebagai respon terhadap asupan makanan (Lahiri, 2012). GIP adalah suatu peptida asam amino 42 tunggal yang terletak di kromosom 17 pada manusia. GIP disekresikan dalam satu bentuk bioaktif tunggal oleh sel K dan dilepaskan dari usus kecil bagian atas (duodenum dan jejunum proksimal) sebagai respon terhadap pencernaan karbohidrat dan lipid. Sedangkan GLP-1 adalah suatu produk gen proglukagon, terletak di rantai panjang kromosom 2, yang mengkode tidak hanya GLP-1 tetapi juga glucagon.GLP-1 terekspresikan terutama di sel-sel L mukosa yang terletak terutama di usus distal (ileum dan kolon), dan juga terekspresikan di sel-sel alfa pancreas, serta di neuron dari beberapa bagian otak (hipotalamus, pituitary, nucleus saluran solitaries, nucleus retikuler) (Ethical digest, 2008). GIP dan GLP-1juga beraksi pada tipe-tipe sel lain yang mempengaruhi homeostasis energi. GIP mempertinggi penyimpanan energi dalam jaringan adiposit, sedangkan GLP-1 mengatur homeostasis glukosa melaluiinhibisi sekresi glucagon dan pengosongan lambung, dan menyebabkan rasa kenyang sebagai pengontrol berat badan. GIP dan GLP-1 beraksi via reseptor spesifik pada sel p untuk meningkatkan biosintesis dan sekresi insulin, dengan demikian memelihara kemampuan endokrin pankreas untuk mengatur pembuangan dan penyimpanan energi setelah absorpsi nutrisi ( Flock, et al., 2007). Sebagai tambahan pada aksi insulinotropik, GLP-1 dan GIP juga meningkatkan proliferasi sel beta dan ketahanan hidupnya (Meece, 2007). Pengikatan GIP dan GLP 1 pada reseptornya akan merangsang sekresi insulin yang dependen glukosa melalui aktivasi reseptor G-protein pada sel beta pankreas; hal ini akan merangsang cyclic adenosine monophosphate dan aktivasi protein kinase A (Van et al., 2008; Gallwitz, 2011; Davidson, 2010). Setelah makan, hormon GIP dan GLP 1 akan disekresikan, kemudian berikatan dengan reseptornya masing-masing dan merangsang pelepasan insulin dari sel beta pankreas. Hormon GLP-1 dan GIP akan dimetabolisme menjadi bentuk tidak aktif dengan cepat oleh enzim dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4) yang terdapat pada sel endotel kapiler, akibatnya waktu paruh dari hormon tersebut sangat singka (1-2 menit) dan hanya sekitar 10-15% yang beredar dalam sirkulasi yang secara aktif merangsang pankreas. Aktivasi dari reseptor GIP yang ekspresinya terutama pada sel beta, adiposit, dan sistem saraf pusat juga akan mencegah apoptosis dan memperpanjang masa hidup dari sel betapankreas serta dapat menyebabkan lipolisis. Sementara aktivasi dari reseptor GLP-1 yang ekspresinya tidak hanya pada sel beta, tetapi juga pada sel alfa pankreas, saluran cerna, hipotalamus, saraf vagus dan bagian tertentu dari otak akan menyebabkan penurunan sekresi glukagon, hambatan pengosongan lambung, menginduksi perasaan kenyang dan menurunkan nafsu makan, serta menekan produksi glukosahati.Terlihat pada gambar 2 bahwa reseptor GLP-1 juga terdapat pada jaringan lain selain pankreas, termasuk di ginjal, jantung, system saraf pusat dan tepi, hati, dan saluran cerna (Van et al., 2008; Gallwitz, 2011). Stimulasi reseptor inkretin akan menimbulkan efek inkretin, yaitu peningkatan sekresi insulin yag lebih tinggi secara signifikan saat diberikan asupan glukosa oral dibandingkan glukosa intravena. Stimulasi dari inkretin ini bertanggung jawab atas 50-70% sekresi insulin sebagai respon pemberian glukosa oral. Pada penderita DM efek inkretin ini berkurang bahkan menghilang. Oleh karena itu, dikembangkan terapi menggunakan inkretin yang berdasarkan aksi fisiologis dan farmakologis GLP-1 untuk penatalaksanaan DM tipe 2 (Neumiller, 2009; Freeman, 2010; Gallwitz, 2011).

Gambar 2. Aksi GLP-1 pada jaringan perifer(Sumber : Davidson, 2010; Taylor, 2011) Gambar 3. Efek inkretin pada orang yang sehat (kiri) dan pasien DM tipe 2 (kanan)(Sumber : Faisal, 2012)2.2.2 Jenis-jenis glucagon-like peptid 1 agonisGolongan agonis dapat dibagi atas analog GLP-1 manusia dan inkretin mimetik, yaitu peptida dengan sekuens asam amino yang mirip dengan GLP-1 manusia sehingga dapat berikatan dan megaktifkan reseptor GLP-1. Berdasarkan cara kerjanya, GLP-1 agonis dibagi atas kerja jangka panjang dan kerja jangka pendek.

Tabel 1. GLP-1 agonis kerja panjang dan kerja pendek(Sumber : Alan, 2011)2.2.3 Peranan glucagon-like peptid 1 agonisAdapun beberapa peranan dari GLP-1 agonis bagi penderita DM tipe 2 adalah sebagai berikut : Hormon GLP-1 dapat memperbaiki defek pada pankreas, dengan cara meningkatkan sensitivitas sel terhadappeningkatan kadar glukosa di sirkulasi. Karena merangsang sekresi insulin, dibandingkan dengan hipoglikemik oral, obat yang mengandung GLP-1 jarang memberikan efek hipoglikemia. Hal tersebut karena kadar GLP-1 meningkat cepat dalam waktu 30 menit setelah makan, kemudian menurun dengan sendirinya seiring dengan menurunnya kadar glukosa darah. Meningkatnya rasio insulin terhadap glukagon sebagai efek GLP-1 menyebabkan perbaikan metabolism karbohidrat, sehingga peningkatan kadar asam lemak bebas (ALB) di sirkulasi yang terjadi pada penderita DM tipe 2 dapat diturunkan (Ahren, 1998; Drucker, 2003).2.2.4 Mekanisme kerja glucagon-like peptide 1 agonis1. Short-acting GLP-1 agonisInkretin, seperti glukagon-like peptide-1 (GLP-1), meningkatkan sekresi insulin-dependent glukosa dan menunjukkan tindakan antihiperglikemik. Exenatide (Byetta) adalah agonis reseptor GLP-1 yang meningkatkan sekresi insulin-dependent glukosa oleh sel-beta pankreas, menekan sekresi glukagon tidak tepat tinggi, dan memperlambat pengosongan lambung (Fineman et al., 2012).Exenatide berikatan dengan reseptor GLP-1 dan menunjukkan potensi in vivo yang sangat tinggi dan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan GLP-1 manusia (Faisal, 2012).Hal ini menyebabkan peningkatan baik sintesis tergantung glukosa insulin, dan sekresi insulin dari sel beta pankreas, dengan mekanisme yang melibatkan AMP siklik dan / atau jalur sinyal intraseluler lainnya.Exenatide mempromosikan pelepasan insulin dari sel beta pankreas dengan adanya konsentrasi glukosa.Exenatide meningkatkan kontrol glikemik dengan mengurangi puasa dan konsentrasi glukosa postprandial pada pasien dengan diabetes tipe 2 melalui tindakan dijelaskan di bawah ini (Fineman et al., 2012).Sekresi insulin dependent glukosa: exenatide memiliki efek akut pada respon sel-beta pankreas menyebabkan pelepasan insulin terutama dengan adanya konsentrasi glukosa.Sekresi insulin ini berkurang akibat konsentrasi glukosa darah yang menurun dan terjadi pendekatan euglycemia.Respon insulin fase pertama:Pada individu yang sehat, sekresi insulin yang kuat terjadi selama 10 menit pertama setelah pemberian glukosa intravena (IV).Sekresi ini, yang dikenal sebagai "respon insulin fase pertama," bersifat absen pada pasien dengan diabetes tipe 2.Hilangnya respon insulin fase pertama adalah kerusakan sel-beta pada awal diabetes tipe 2.Penggunaan exenatide pada konsentrasi plasma terapeutik memulihkan respon fase pertama insulin dengan bolus glukosa IV pada pasien dengan diabetes tipe 2.Baik sekresi insulin fase pertama dan sekresi insulin fase kedua dapat meningkat secara signifikan pada pasien dengan diabetes tipe 2 diobati dengan exenatide dibandingkan dengan saline (David, 2012).Setelah pemberian subkutan (SC) untuk pasien dengan diabetes tipe 2, exenatide mencapai konsentrasi plasma puncak rata-rata dalam 2,1 jam.Rata-rata konsentrasi exenatide puncak (Cmax) sebesar 211 pg / mL dan secara keseluruhan berarti area di bawah kurva waktu konsentrasi (AUC 0-inf) adalah 1036 pg h / mL setelah pemberian SC dosis 10 mcg dari exenatide.Paparan exenatide (AUC) meningkat secara proporsional selama rentang dosis terapi dari 5 mcg sampai 10 mcg.Nilai-nilai Cmax meningkat kurang dari proporsional selama rentang yang sama.Eksposur serupa dicapai dengan pemberian SC dari exenatide di perut, paha, atau lengan atas.Distribusi:Volume distribusi rata-rata dari exenatide setelah pemberian SC dari dosis tunggal Byetta adalah 28,3 L.Metabolisme dan Eliminasi:Penelitian telah menunjukkan bahwa exenatide dieliminasi dengan filtrasi glomerulus dengan degradasi proteolitik berikutnya.Clearance rata-rata exenatide pada manusia adalah 9,1 L / jam dan rata-rata waktu paruh 2,4 jam.Karakteristik farmakokinetik exenatide independen terhadap dosis.Pada kebanyakan orang, konsentrasi exenatide terukur untuk sekitar 10 jam setelah dosis (David, 2012).

2. Long-acting GLP-1 agonisLiraglutide adalah agonis Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) yang resisten dengan ezim DPP-4 dan 97% homolog dengan urutan asam amino endogen manusia (Fieneman et al., 2012).Pada struktur liragutide terdapat penambahan asam lemak pada atom C-16. Penambahan tersebut yang menyebabkan DPP-4 tidak dapat dimetabolisme dengan cepat menjadi bentuk yang aktif dan secara reversible dapat mengikat albumin (PERKENI, 2009; Fieneman et al., 2012). Seperti GLP-1 manusia, liraglutide mengaktifkan reseptor GLP-1 pada permukaan sel membran-terikat digabungkan dengan adenilat siklase oleh stimulasi G-protein, Gs, dalam sel beta pankreas. Liraglutide meningkatkan AMP siklik intraseluler (cAMP) yang menyebabkan pelepasan insulin di hadapan konsentrasi glukosa.Sekresi insulin ini berkurang karena konsentrasi glukosa darah menurun dan pendekatan ke arah euglycemia.Liraglutide juga dapat menurunkan sekresi glucagon.Mekanisme menurunkan glukosa darah juga melibatkan penundaan pengosongan lambung.GLP-1 memiliki paruh 1,5-2 menit karena degradasi oleh enzim endogen di mana-mana, dipeptidyl peptidase IV (DPP-IV) dan endopeptidases netral (NEP).Tidak seperti asli GLP-1, liraglutide stabil terhadap degradasi metabolik oleh kedua peptidase dan memiliki paruh plasma dari 13 jam setelah pemberian subkutan.Profil farmakokinetik liraglutide, yang membuatnya cocok untuk pemberian sekali sehari, adalah hasil dari self-asosiasi yang menunda penyerapan, protein plasma mengikat dan stabilitas terhadap degradasi metabolik oleh DPP-IV dan NEP (David, 2012).Proses penyerapan terjadi setelah pemberian subkutan, konsentrasi maksimum liraglutide tercapai pada 8-12 jam pasca pemberian dosis.Puncak rata-rata (Cmax) dan total (AUC) eksposur dari liraglutide adalah 35 ng / mL dan 960 ng h / mL, masing-masing, untuk dosis tunggal subkutan 0,6 mg.Setelah pemberian subkutan dosis tunggal, Cmax dan AUC liraglutide meningkat secara proporsional selama rentang dosis terapi 0,6 mg sampai 1,8 mg.Pada 1,8 mg liraglutide, konsentrasi steady state rata-rata liraglutide selama 24 jam adalah sekitar 128 ng / mL.AUC0-setara antara lengan atas dan perut, dan antara lengan atas dan paha.AUC0-dari paha adalah 22% lebih rendah dibandingkan dari perut.Namun, eksposur liraglutide dianggap sebanding antara tiga lokasi injeksi subkutan ini.Bioavailabilitas mutlak dari liraglutide setelah pemberian subkutan adalah sekitar 55%.Distribusi : Volume distribusi rata-rata setelah pemberian subkutan liraglutide 0,6 mg adalah sekitar 13 L, berarti volume distribusi setelah pemberian intravena liraglutide adalah 0,07 L / kg.Liraglutide secara luas terikat pada protein plasma (> 98%).Metabolisme :Selama awal 24 jam setelah pemberian dosis tunggal, komponen utama dalam plasma adalah liraglutide utuh.Liraglutide dimetabolisme dengan cara yang mirip dengan protein besar tanpa organ tertentu sebagai rute utama eliminasi.Eliminasi : Liraglutide utuh tidak terdeteksi dalam urin atau feses.Hanya sebagian kecil dari radioaktivitas yang diberikan diekskresikan sebagai metabolit-liraglutide terkait dalam urin atau feses (6% dan 5%, masing-masing).Mayoritas urin dan feses radioaktivitas yang dikeluarkan selama 6-8 hari pertama.Clearance rata-rata setelah pemberian subkutan dosis tunggal liraglutide adalah sekitar 1,2 L / jam dengan waktu paruh eliminasi sekitar 13 jam, membuat liraglutide cocok untuk pemberian sekali sehari (David, 2012).2.2.5 Efektifitas glucagon-like peptid 1 agonis 1. Short-acting GLP-1 agonisHasil uji klinis menunjukan bahwa exenatide bila digunakan bersamaan dengan obat hipoglikemik oral terpilih, secara efektif dapat mengurangi konsentrasi HbA1c sekitar 0,4-1,5% pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 yang tidak cukup terkontrol pada metformin dengan atau tanpa sulfonilurea. Selain itu, exenatide juga dapat menurunkan berat badan penderita. Pengobatan dengan exenatide dosis 10 mg sebagai tambahan untuk metformin dapat menurunkan berat badan terbesar 2,8 kg pada pasien yang sebelumnya diobati dengan metformin saja. Exenatide secara umum ditoleransi dengan baik, dengan efek gastrointestinal ringan sampai sedang menjadi efek samping yang paling umum. Jumlah pasien mengalami mual memuncak selama minggu-minggu awal pengobatan (0-8 minggu) tetapi menurun setelahnya.Tingkat hipoglikemia relatif rendah dalam studi ini, meskipun frekuensi hipoglikemia meningkat ketika exenatide digunakan dalam kombinasi dengan sulfonylurea.Ketika exenatide digunakan dalam kombinasi dengan sulfonylurea, perlu dipertimbangkan untuk mengurangi dosis sulfonylurea untuk mengurangi resiko hipoglikemia (Alan, 2011).Efek samping yang paling umum terjadi (5%) lebih sering daripada plasebo dalam uji klinis: mual, hipoglikemia, muntah, diare, merasa gelisah, pusing, sakit kepala, dispepsia.Mual biasanya menurun dari waktu ke waktu.Efek samping lain dari penggunaan exenatide adalah dapat menyebabkan hipovolemia yang diakibatkan karena mual dan muntah, sehingga dapat memperburuk fungsi ginjal. Oleh karena itu, exenatide tidak dianjurkan sepenuhnya bagi penderita DM tipe 2 yang memiliki gangguan fungsi ginjal berat (clearance kreatinin