Bab II

download Bab II

If you can't read please download the document

Transcript of Bab II

BAB II

59

59

BAB II

KONFLIK DAN INTEGRASI

Seputar Konflik dan Integrasi 1. Konflik

Konflik berasal kata con-fligere, conflictum yang berarti saling bertentangan baik dalam bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonistis-pertentangan.Pengertian konflik mempunyai beberapa pengertian yang sangat beragam seperti konflik diartikan secara negatif, positif bahkan ada yang mengartikan netral sebagaimana yang diungkapkan oleh Kartini Kartono sebagai berikut: Pertama, ketika konflik di kaitkan dengan : sifat-sifat animalistik, kebuasan, kekerasan, barbarisme, destruksi atau pengrusakan, penghancuran, irrasionalisme, tanpa kontrol emosional, huru-hara, pemogokan dan perang.Kedua, ketika konflik di hubungkan dengan peristiwa : petualangan, hal-hal baru, inovasi, pembersihan, pemurnian, pembaharuan, penerangan batin, kreasi, pertumbuhan, perkembangan, rasionalitas yang dialektis, mawasdiri dan perubahan. Dan yang ketiga ketika konflik di artikan sebagai : akibat biasa dari keaneka-ragaman individu manusia dengan sifat-sifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang tidak sama pula. Kartini Kartono, 1992, Pemimpin dan Kepemimpinan, Bandung : Rajawali Pers, 212-213Dalam hal ini Kartini Kartono mengutip Clinton F. Fink mendifinisikan bahwa konflik adalah: Pertama konflik merupakan relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa di sesuaikan ; interest-interest ekslusif dan tidak bisa di pertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai-nilai yang berbeda.Kedua, konflik merupakan interaksi yang antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung : sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan huru-hara, makar, gerilya dan perang. Ibid., 213 Peg Pickering dengan mengutip Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai : Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain,keadaan atau prilaku yang bertentangan (misalnya : pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antar individu), perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan dan perseturuan. Peg pickering, 2006, How To Manage Conflict, Edisi Ketiga, di Indonesiakan Menjadi, Kiat Menangani Konflik, oleh Masri Maris, Jakarta : Esensi,, 1Dalam hal ini Alo Weli memberikan kesimpulan bahwa konflik merupakan:Bentuk pertentangan alamiah yang di hasilkan oleh individu atau kelompok, karena mereka yang terlibat mimiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan.Hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran tertentu namun di liputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.Pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, motivasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya.Suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain perasaan dan fisik orang lain terganggu.Bentuk pertentangan yang bersifat fungsional, karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan membarui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok.Proses mandapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau melemahkan para pesaing.Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis.Kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu. Alo Liliweri, 2005, Prasangka dan Konflik, Yogyakarta : Lkis, 249-250

Berdasarkan beberapa definisi di atas, konflik dapat di katakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang di hasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik (suku bangsa, ras, agama, golongan), karena di antara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan. Sering kali konflik itu di mulai dengan hubungan pertentangan antara dua atau lebih etnik (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memilik, sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan. Bentuk pertentangan alamiah di hasilkan oleh individu atau kelompok etnik, baik intraetnik maupun antaretnik, yang memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai-nilai atau kebutuhan.Pertentangan atau pertikaian antar etnik itu muncul karena ada perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan motivasi pelaku yang terlibat di dalamnya.

Pengertian Integrasi.

Dalam daftar kata filsafat (vocabulaire philosophique), Maurice Duverger dengan mengutip Lalande memberikan definisi integrasi sebagai dibangunnya interdependensi yang lebih rapat antara bagian-bagian dari organisme hidup atau anggota-anggota dalam masyarakat. Integrasi karena itu adalah proses mempersatukan masyarakat, yang cenderung membuatnya menjadi suatu kota yang harmonis, yang di dasarkan pada tatanan yang oleh anggota-anggotanya dianggap sama harmonisnya. Menyatukan suatu masyarakat berarti, terutama, menghila Maurice Duverger mengungkapkan bahwa antagonisme yang membagi-baginya, menghentikan pergolakan yang mengancam untuk meremukkannya. Maurice Duverger, 1998, The Study Of Politics, di Indonesiakan Menjadi, Sosiologi Politik, Oleh Daniel Dhakidae, Jakarta : Rajawali Pers, , 310Integrasi merupakan pembauran hingga menjadi kesatuan yang yang utuh atau bulat. Sedang integrasi kelompok merupakan proses penyesuaian perbedaan tingkah laku warga suatu kelompok yang bersangkutan. Sehingga integrasi dapat diterjemahkan sebagai penyatuan kelompok-kelompok yang semula berpisah kedalam satu kelompok dengan menyingkirkan setiap perbedaan sosial dan budaya kelompok yang dulu ada dan menyingkirkan identifikasi kelompok yang terpisah itu.Integrasi secara teoritik berkonotasi kepada intern suatu kelompok yang mengacu kepada derajat keselarasan, yakni kurang atau lebih kompaknya. Integrasi dapat terlihat dalam hal-hal adanya koperasi di antara para anggota kelompok, adanya persesuaian paham dan persamaan perasaan dalam hal-hal yang angggap penting, serta dalam hal adanya cita-cita yang sama dan perjuangan bersama untuk mewujudkan cita-cita itu. Sjamsudduha, 1999, Konflik dan Rekonsilili NU Muhammadiyah, Surabaya : PT. Bina Ilmu , 35-36Kalau integrasi masyarakat dapat di artikan adanya kerja sama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan persenyawaan-persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama-sama di junjung tinggi. Dalam hal ini terjadi akomodasi, asimilasi, dan berkurangnya prasangka-prasangka di antara anggota masyarakat keseluruhan.Integrasi masyarakat akan terwujud apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, dominasi, tidak banyak sistem yang tidak saling melengkapi dan tumbuh integrasi tanpa paksaan. Oleh karena itu untuk mewujudkan integrasi masyarakat pada masyarakat majemuk di lakukan dengan mengatasi atau mengurangi prasangka.Hal yang penting untuk mengamati dimensi kemajemukan suatu masyarakat dapat di lakukan dengan melihat jumlah kelompok yang berbeda kebudayaannya., konsensus anggota-anggota masyarakat terhadap nilai yang mengikat seluruh warga masyarakat, dan mudah-tidaknya individu pindah dari suatu kelompok-kelompok lainnya. Munandar Soelaiman, 1992, Ilmu Sosial Dasar , Bandung : PT. Eresco 1992, 240Dalam memahami integrasi masyarakat, kita juga mengenal integrasi nasional, yang keduanya sama-sama menyangkut struktur, yaitu organisasi-organisasi formal melalui makna masyarakat menjalankan keputusan-keputusan yang berwenang seperti misalnya partai politik, atau organisasi non formal sebagai organisasi masyarakat. Kesemuanya menjadi anggota nasional sehingga dapat di hasilkan persenyawaan-persenyawaan nasional. Untuk terciptanya integrasi nasional di mana perlu adanya suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk dari prasaan yang timbul sebagai akibat pengorbanan yang telah di buat dan bersedia di buat lagi pada masa depan (Ernest Renan, 1825-1892). Tentunya perlu di cari bentuk-bentuk akomodatif yang dapat mengurangi konflik sebagai akibat dari prasangka, yaitu melalui : Sistem budaya seperti nilai-niai pancasila dan UUD 1945. Sistem sosial seperti kolektif-kolektif sosial dalam segala bidang. Sistem kepribadian yang terwujud sebagai pola-pola penglihatan (persepsi), perasaan (cathexis), pola-pola penilaian yang di anggap pola-pola keindonesiaan. Sistem organik jasmaniah, di mana nasion tidak di dasarkan atas persamaan ras.

Untuk mengurangi prasangka ke-empat sistem itu harus dibina, dikembangkan dan memperkuatnya sehingga perwujudan nasional Indonesia tercapai. Wahyu M.S.,1986,, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Surabaya : Usaha Nasional, 167-168. Lihat juga dalam Azumardi Azra dan Qomasuddin Hidayat., 2007, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, Hak Aasasi Manusia, dan Masyarakat Madani , Jakarta: ICCE, UIN Syarif Hidayatullah, 96Pembauran bangsa (dalam hal ini bangsa Indonesia) merupakan usaha untuk menyatukan suku-suku bangsa dalam masyarakat bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh atau pemaduan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi satu bangsa baru, yaitu Indonesia. Bersatu sebagai satu bangsa tidak hanya berdasarkan atas kesamaan ras, suku bangsa, bahasa, agama kepentingan atau batas-batas geografis. Tetapi berdasarkan pada kesamaan perasaan, kesamaan niat yang timbul sebagai akibat pengorbanan yang telah di alami di masa lampau, masa kini dan akan di alami bersama-sama di masa mendatang.Masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa, tidak hanya merupakan federasi antara kelompok-kelompok manusia Nusantara yang masing-masing mempunyai ciri khas, melainkan merupakan satu kesatuan satu kesatuan baru dan mewujudkan ikatan solidaritas yang mencakup segenap manusia-manusia Indonesia seluruhnya. Dengan demikian ikatan solidaritas itu bukan lagi karena persamaan suku, bangsa, ras, agama ataupun golongan, namun melainkan berazaskan ikatan kejiwaan, solidaritas dan kesetiakawanan seluruh rakyat Indonesia yang berkeyakinan sebagai satu bangsa Indonesia. Hartomo & Arnicun Aziz, MKDU Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta : Bumi Aksara, 1990), 275.Dari kenyataan yang ada sudah menjadi takdir bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini terdiri dari masyarakat heterogen, masyarakat majemuk, kenyataan ini merupakan kekeyaan bangsa Indonesia dan sekaligus menciptakan tantangan-tantangan.Sejarah telah membuktikan kepada kita, bahwa perjalanan masyarakat Nusantara menuju terwujudnya kesatuan bangsa tidak selalu berjalan dengan mulus, melainkan kadang-kadang berhadapan dengan berbagai masalah.

Teori-Teori Konflik.Konflik-konflik sosial keagamaan yang terjadi di Situbondo, tentunya akan lebih relevan jika di pahami melelui pendekatan konflik (conflict approach). Pendekatan konflik merupakan pendekatan untuk memahami permasalahan, dengan menggunakan teori-teori konflik. Pendekatan konflik merupakan pendekatan struktural, yang karena itu teori-teori yang di pergunakan adalah teori-teori struktural. Ada teori-teori yang tergolong Structuralist-Marxist dan ada yang termasuk Structuralist-Non Marxist. Teori-teori konflik yang di jadikan sandaran analisis dalam pengkajian ini adalah teori-teori konflik Structuralist-Non Marxist, yang boleh jadi relevan dengan kondisi sosial yang di teliti.

Teori-teori konflik Structuralist-Non Marxist tersebut antara lain di ketengahkan oleh Ralf Dahrendorf, dengan premis-premis utama sebagai berikut : Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain bahwa perubahan sosial merupakan gejala yang melekat dalam setiap masyarakat.Setiap masyarakat di dalam dirinya terkandung konflik-konflik atau dengan kata lain bahwa konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap masyarakat.Setiap unsur dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atas dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang lain. Nurhadiantomo, 2004, Konflik-Konflik Sosial Pri-Nonpri dan Hukum Keadilan Sosial, Jakarta : Muhammadiyah University Press, 27-28

Teori ini di bangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori Fungsionalisme Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang di kemukakan oleh penganutnya bertentangn dengan proposisi yang terdapat dalam teori Fungsionalisme Struktural. Menurut teori Fungsionalisme Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan. Maka menurut teori konflik malah sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya.Sedangkan dalam teori Fungsionalisme Struktural setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas. Maka teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori Fungsionalisme Struktural melihat anggota masyarakat terikat secara imformal oleh norma-norma, nilai-nilai, dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah di sebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. George Ritzer, 2003, Sociology : A Multiple Paradikm Sciencei, di Indonesiakan Menjadi, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Oleh Alimandan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 25-26Para teoritisi konflik, dalam hal ini para fungsionalis gagal mengajukan pertanyaan secara fungsional bermamfaat untuk siapa. Para teoritisi konflik menuduh para fungsionalis berkecenderungan konservatif, dalam arti para fungsionalis berasumsi bahawa keseimbangan yang serasi bermamfaat bagi setiap orang sedangkan hal itu menguntungkan beberapa orang dan merugikan sebagian lainnya.Para teoritisi konflik memandang keseimbangan susatu masyarakat yang serasi sebagai suatu khayalan dari mereka yang tidak berhasil mengetahui bagaimana kelompok yang dominan telah membungkam mereka yang telah dieksploitasi. Paul B. Horton & Chester L. Hunt 1987, Sociology, di Indonesiakan Menjadi, Sosiologi, Oleh Aminuddin Ram & Tita Sobari, Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama, 20 Teori struktural konflik berasumsi bahwa masyarakat selalu dalam keadaan berubah. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan tertentu bagi terjadinya perubahan sosial atau disentegrasi. Integrasi masyarakat berada pada penguasaan oleh sejumlah orang atas sejumlah orang lain. Dalam tatanan sosial perlu melibatkan setiap individu yang melahirkan kepentingan-kepentingannya. Sistem sosial dalam kerangka struktur konflik senantiasa berubah karena individu di libatkan dalam mekanisme perubahan, terutama dalam proses sintesa. Proses sintesa memberikan banyak peluang kepada individu untuk menciptakan nilai (creating value). Meskipun kreativitas individu dapat menimbulkan konflik, namun konflik dapat di arahkan sebagai pemelihara solidaritas, menciptakan aliansi, mengaktifkan peranan individu yang terisolasi dan sebagai sarana komunikasi sehingga posisi masing-masing lawan yang berkonflik saling di ketahui. Paradigma struktur konflik menciptakan individu dalam tatanan masyarakat, bukan hanya sebagai penerima dan penerus nilai-nilai, tetapi ikut bertanggung jawab dan menentukan nilai yang di inginkan. Munandar Soelaiman, 1998, Dinamika Masysarakat Transisi, Yogyakarata : Pustaka Pelajar, 65-66 Teori konflik lebih menitik beratkan analisanya pada asal usul terciptanya pada suatu aturan atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal-usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berprilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidak seimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya. Karena kekuasaan yang di miliki oleh kelompok-kelompok elit, maka kelompok-kelompok itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka.Berkaitan dengan hal itu, perspektif konflik memahmi masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok-kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka di menangkan. Dwi Narwoko, 2004, Sosiologi : Teks Pengantar dan Terapan, ( Jakarta : Prenada Media, 97Dahrendorf merupakan seorang partisipan yang utama dalam mengkaji masalah pertentangan teori integrasi dengan teori konflik kohersif. Ia telah menekankan bahwa orang itu hendaknya membedakan tentang dua matateori masyarakat. Matateori pertama menggambarkan bahwa sistem sosial itu terintegrasi secara fungsional dan menyumbangkan suatu nilai yang mendasar peranannya dalam mempertahankan sistem keseimbangan. Sedangkan yang matateori kedua memandang bahwa struktur sosial itu merupakan suatu bentuk organisasi yang di jalankan bersama-sama melalui tekanan dan paksaan secara terus menerus sehingga pada akhirnya melampaui dirinya sendiri dengan suatu pengertian bahwa dalam tekanan itu sendiri akan melahirkan ketahanan dengan proses perubahan yang tiada henti-hentiya.Tidak setiap orang menyadari bahwa Dahrendorf tidak menempatkan dirinya semata-mata dalam wilayah yang di sebut dengan konflik kohersif. Ia sendiri menyatakan bahwa ada beberapa permasalahan sosiologis terhadap teori konflik-konflik di mana penjelasan teori integrasi tentang masyarakat melahirkan beberapa asumsi yang memadai, tetapi juga terdapat beberapa masalah lain yang hanya dapat di jelaskan oleh teori konflik-konflik. Akhirnya berbagai masalah akan dapat di jelaskan secara memadai melalui dua teori tersebut. Irving M. Zeitlin, 1998, Rethinking Sociology, di Indonesiakan Menjadi, Memahami Kembali Sosilogi, Oleh Ansshori & Juhanda, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 172Dahrendorf dari awal menekankan bahwa teorinya tidak bermaksud untuk mengganti teori konsensus. Setiap teori berurusan dengan suatu rangkaian masalah yang berbeda. Keduanya menggunakan konsep yang sama, tetapi dalam cara yang berlawanan setiap unsur sosial mempunyai suatu fungsi tapi juga memiliki suatu disfungsi, menurutnya konsensus selalu berdampingan dengan paksaan. Ian Craib, 1992, Modern Social Theory : From Parsons To Habermas, di Indonesiakan Menjadi, Teori-Teori Sosial Modern : Dari Parsons Sampai Habermas, Oleh Paul S. Baut, Jakarta : CV. Rajawali Pers, 92Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah yaitu konflik dan konsesus. Karena itu, teori sosilogi di bagi menjadi dua bagian yaitu teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus menguji nilai integrasi, dan sedangkan teoritisi konflik menguji konflik kepentingan dan paksaan. Ia mengakui masyarakat tidak dapat bertahan tanpa konflik dan konsensus, yang keduanya menjadi prasarat. Jadi, kita tidak dapat menemukan konflik jika sebelumnya tidak ada konsensus. Sebaliknya konflik dapat mengarahkan konsensus dan integrasi.Dahrendorf memulai dengan Fungsionalisme Struktural. Menurutnya dalam tradisi fungsionalis, sistem sosial di lihat sebagai penjaga kesatuan dengan kerja sama suka rela atau kesepakatan umum, atau keduanya. Teoritisi konflik menganggap kesatuan masyarakat di jaga oleh kekuatan memaksa. Beberapa kedudukan dalam masyarakat di serahkan pada kekuasaan dan kewenangan. Dahrendorf memusatkan pada struktur sosial yang lebih luas. Artinya berbagai kedudukan dalam masyarakat mempunyai jumlah wewenang yang berbeda. Wewenang tidak terletak dalam individu, tetapi dalam kedudukan dan kewenangan menurut Dahrendorf tugas utama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai wewenang peran dalam masyarakat.Wewenang yang melekat pada posisi adalah elemen kunci dalam analisis Dahrendorf, orang yang menduduki posisi wewenang di harapkan mengontrol orang yang berada di bawahnya. Mereka mendominasi karena harapan orang-orang di sekelilingnya, bukan karena karekteristik psikologis mereka. Harapan-harapan ini, seperti wewenang, di letakkan pada kedudukan bukan pada orang.Dahrendorf berpendapat bahwa masyarakat di susun dari sejumlah unit yang dia sebut persekutuan yang mendominasi secara paksa (imperatively coordinated assosiations). Assosiasi ini mungkin di lihat sebagai asosiasi orang yang di kontrol oleh sebuah hirarki wewenang kedudukan.Dalam masyarakat, seorang individu dapat menduduki sebuah kedudukan wewenang dan bawahan pada posisi lainnya. Wewenang dalam setiap asosiasi adalah dikotomis, yaitu orang dalam posisi wewenang dan orang dalam posisi bawahan, yang mempunyai kepentingan tertentu yang berlawanan dalam substansi dan arah. Di sini di temukan istilah kunci lainnya dari teori kunci Dahrendorf yaitu kepentingan. Zainuddin Maliki, 2003, Narasi Agung, Surabaya : LPAM, , 207-208Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang di kuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara golongan-golongan itu.Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status-qua sedangkan golongan yang di kuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan.Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur. Karena itu kekusaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya dari golongan yang anti status status-qua. Kepentingan yang terdapat dalam satu golongan tertentu selalu di nilai obyektif oleh golongan yang bersangkutan dan selalu berdempetan (coherence) dengan posisi individu yang termasuk kedalam golongan itu. Seorang individu akan bersikap dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang di harapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang di harapkan oleh golongan itu, yang oleh Dahrendorf di sebut sebagai peranan laten.Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe. Kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari pada pemegang kekusaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karna munculnya kelompok kepentingan. Sedangkan kelompok yang kedua yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat. Ritzer, Sociology : A Multiple , 26-27 Dengan demikian kelompok semu merupakan sumber dari para anggota kelompok kepentingan berasal atau dibentuk. Sebagaimna diketahui, setiap quasi-group, baik yang tidak memiliki kekuasaan otoritatif (subjection), masing-masing dapat melahirkan beberapa kelompok kepentingan. Dalam pada itu perlu di peringatkan di sini, bahwa kelompok kepentingan adalah suatu istilah yang sangat umum.Setiap kelompok sekunder, seperti perkumpulan sepak bola, perkumpulan catur, maupun perkumpuan-perkumpulan yang bersifat politis, pada dasarnya dapat di pandang sebagai kelompok kepentingan. Akan tetapi apa yang di maksud dengan kelompok kepentingan di dalam kerangka teori konflik di sini, mempunyai karekteristik tersendiri yang berhubungan dengan suatu legetimasi atas suatu pola hubungan-hubungan kekuasaan tertentu antara mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif dengan mereka yang tidak memiiki kekuasaan otoritatif.Dengan demikian apa yang di maksud dengan kelompok kepentingan di sini adalah berkenaan dengan perkumpulan-perkumpulan yang bersifat politis seperti serikat kerja dan partai politik. Nasikun, 2006, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta : PT. Raja Gravindo Persada, 23 Secara Analisis, Proses pembentukan kelompok-kelompok yang bertentangan dapat di gambarkan menurut sebuah model. Seluruh kategori yang di gunakan dalam model ini akan di gunakan menurut pandangan teori penggunaan kekuasaan tentang struktur sosial. Dengan berpedoman kepada pembatasan ini, maka tesis yang menyatakan bahwa pertentangan kelompok di dasarkan atas dikhotomi pembagian wewenang dalam perserikatan yang di kordinasi secara memaksa dapat di taruh sebagai asumsi dasar model ini. Kini, terhadap asumsi ini kita tambahkan sebuah proposisi bahwa posisi yang di perlengkapi dengan wewenang yang berbeda-beda dalam perserikatan yang menyebabkan pertentangan kepentingan orang yang memegangnya.Pemegang posisi dominan dan pemegang posisi yang di tundukkan, berdasarkan posisinya itu mempunyai kepentingan tertertu yang berlawanan substansi dan arah pelaksanannya. Kepentingan pemegang posisi dominan adalah kepentingan yang berkuasa itu sendiri, yang dapat pula di lukiskan sebagai nilai-nilai ; tetapi dalam kontek sekarang ini penulis bermaksud untuk tetap memakai kategori kepentingan sebagai sebuah istilah umum yang mengarah kepada kumpulan orang yang dominan dan yang di tundukkan.Dengan mempostulatkan bahwa kepentingan ditentukan dan disyaratkan oleh posisi, kita kini sekali lagi berhadapan dengan sebuah masalah yang harus kita hadapi secara tepat. Dalam bahasa sehari-hari, istilah kepentingan berarti pamrih atau arah perilaku lebih berkaitan dengan individu-individu dibandingkan dengan posisi mereka sendiri. Bukanlah posisi, melainkan individu-individu yang mempunyai minat terhadap barang sesuatu, itulah yang mempunyai kepentingan terhadap barang sesuatu dan yang merasakan barang sesuatu itu menarik. Memang benar nampaknya bahwa ide mengenai kepentingan tak dapat dibayangkan lebih berarti dari pada di dalam antar hubungan individual.Kepentingan akan terlihat bersifat psikologis dalam artinya yang paling tepat. Tetapi proposisi yang menyatakan pertentangan kepentingan tertentu di persiapkan oleh, bahkan menjadi sifat dari posisi sosial, justru nampaknya mengandung pernyataan yang tak berarti, karena ada memang kepentingan yang diingatkan kepada individu dari luar dirinya tanpa partisipasi individu itu sendiri. Ralf Dahrendorf, 1986, Class And Class Conflik Industrial Society, di Indonesiakan Menjadi, Konflik Dan Konflik Dalam Masyarakat Industri, Oleh Ali Mandan, Jakarta : CV. Rajawali , 212-213 Sesungguhnya peran utama dari kajian teori konflik adalah untuk mengidentifikasikan berbagai peranan, baik yang menyangkut peran, wewenang, maupun posisi. Suhermanto Jafar, 2002, El-Ijtima Media Komunikasi Pengembangan Masyarakat Madani, Vol 3 Surabaya : Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Sunan Ampel, 81 Konflik senantiasa melekat dalam setiap masyarakat, tetapi makna konflik tersebut tergantung dari tingkat intensitasnya. Mulai dari bentuk konflik yang paling ringan seperti perbedaan pendapat, unjuk rasa, atau demonstrasi, kerusuhan semacam demonstrasi yang di warnai dengan kekerasan fisik, yang muncul karna unsur kesengajaan yang terencana, maupun adanya spontanitas. Serangan bersenjata merupakan salah satu bentuk konflik dengan intensitas yang tinggi.

Macam-Macam Konflik.Konfllik Antar Individu

Keinginan untuk dihargai dan diperlukan sebagai manusia, menginginkan orang lain mengakui martabat kita, serta menghargai kita dan jerih payah yang kita berikan merupakan keinginan setiap orang, itulah sebabnya penghargaan merupakan alat motivasi yang ampuh. Kita senang ketika di puji setelah menyelesaikan sesuatu pekerjaan dengan baik, dan di hargai atas sumbangan pikiran yang kita beriakan. Bila kita merasa tidak di hargai atau di anggap dapat diperlukan kehendak hati orang lain, atau dapat di mamfaatkan untuk kepentingan orang lain, ini berarti keinginan kita untuk di hargai telah di langgar. Pelanggar itu memicu reaksi kita, berupa rasa takut atau amarah.Seperti juga memegang kendali adalah keinginan semua orang dan pada beberapa orang keinginan ini besar sekali. Orang yang memiliki keinginan yang sangat berlebihan untuk memegang kendali, maka tentunya akan menimbulkan sebuah konflik.Keinginan untuk memiliki harga diri. Rasa harga diri yang tinggi adalah landasan yang kokoh untuk menghadapi berbagai jenis situasi. Harga diri adalah kunci bagi kemampuan kita untuk memberikan jawaban, bukan untuk bereaksi. Menjawab suatu persoalan adalah pendekatan positif, terkendali, dan berorentasi memecahkan masalah. Reaksi adalah langkah negatif, dan sering kali tidak tepat, penuh emosi, tanpa pikir panjang. Keinginan untuk konsisten. Bila anda telah mengambil sikap tegas mengenai suatu masalah dan tidak mengubah pendirian anda lagi, akan sulit bagi anda untuk mengubah sikap anda mengakui anda salah. Kenginan untuk konsisten bersama dengan keinginan untuk benar demi menyelamatkan muka, menjadi faktor penting dalam setiap konflik. Pickering, How To Manage , 14-15 2. Konflik Sebagai Instrumen Pengembangan Organisasi Konflik dalam diri individu, yang terjadi bila seorang inidividu menghadapi ketidak pastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu di harapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.Konflik antar individu dalam organisasi yang sama, di mana hal ini sering di akibatkan oleh perbedaan-perbedaan kepribadian. Konflik ini juga berasal dari adanya konflik antar peranan (seperti antara manajer dan bawahan).Konflik antara individu dan kelompok, yang berhubungan dengan cara individu menanggapi tekanan untuk keseragaman yang di paksakan oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh, seorang invidu mungkin dihukum atau diasingkan oleh kelompok kerjanya karena melanggar norma-norma kelompok.Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, karena terjadi pertentangan kepentingan antar kelompok.Konflik antar organisasi, yang timbul sebagai akibat bentuk persaingan ekonomi dalam sistem perekonomian. Konflik ini telah mengarahkan timbulnya pengembangan produk baru, teknologi, dan jasa, harga-harga lebih rendah, dan penggunaan sumber daya lebih efisien. T. Hani Handoko, 1986, Manajemen, Edisi Kedua, Yogyakarta : BPFE, 349

3. Konflik Sebagai Instrumen Sosial-Keagamaan Dan Kepentingan Konflik-konflik instrumental,maksudnya bahwa yang permasalahahkan dalam konflik biasanya berujung pada tujuan-tujuan dan cara-cara di samping penentuan struktur dan prosedur-prosedur supaya dapat memenuhi tujuan-tujuan yang telah di tentukan. Konflik-konflik ini mengandung sifat zakelijk(tidak pribadi) dan mengarah kepada tugas. Ia dapat mengambil banyak bentuk : prioritas-prioritas yang tak jelas atau tidak cukup dimufakat prioritas-prioritasnya. Saling salah mengerti, saling menggunakan bahasa yang berlainan, tak cukupnya kemampuan berkomunikasi. Prosedur-prosedur tak memadai untuk menangani masalah-masalah, tak cukup saling bertukar pendapat dan saling menyesuaikan diri.Konflik Sosial-Emosional, jenis konflik-konflik ini muncul jika identitas sendiri menjadi masalah. Ia mengandung kandungan emosi yang kuat. Konflik-konflik ini bertalian dengan citra diri yang di miliki orang, prasangka yang bertalian dengannya dan masalah di terima dan kepercayaan. Rasa-rasa terikat dan identifikasi dengan kelomppok-kelompok, lembaga-lembaga dan lambang-lambang tertentu sering kali menjadi taruhan di samping sistem-sistem nilai yang di anut. Konflik-konflik ini juga dapat bertalian dengan cara bagaimana orang-orang menangani hubungan-hubungan pribadi. Maka masalahnya adalah cara bagaimana orang-orang saling mendekati dan saling bereaksi. Ini dapat di sertai perasaan-perasaan yang sangat negatif.Konflik kepentingan, konflik ini biasanya terjadi ketegangan-ketegangan yang muncul pada waktu membagi barang-barang langka. Ini dapat menyangkut segalanya : uang, peralatan, ruang, wewenang. Selalu saja dalam organisasi orang-orang mengembangkan pandangan tajam tentang posisi pihak sendiri-sendiri terhadap lain-lain pihak. Apakah itu menjadi lebih kuat atau lebih lemah? Apakah kemungkinan berpengaruh, wewenang dan paket-paket tugas pihak sendiri bertambah atau berkurang? Konflik-konflik kepentingan bertalian dengan penyalamatan atau kekuatan posisi sendiri dengan menuntut bagian yang wajar dari barang yang ada bagi pihak sendiri. W.F.G. Mastenbroek, 1986, Conflicthantering En Organisatie-Ontwikkeling, di Indonesiakan Menjadi, Penanganan Konflik Dan Pertumbuhan Organisasi, Oleh Pandam Guritno, Jakarta : UI-Press, 191-192 Menurut hemat penulis konflik bukanlah hal yang kebetulan melainkan, sebagaimana yang telah di paparkan di atas bahwasannya konflik sangat bermacam-macam orentasi kepentingannya.

Model-Model Penyelesaian Konflik 1. Model Pluralisme Budaya

Sebagaimana yang telah di ketahui bahwa bangsa Indonesia multi budaya. Kerap kali konflik terjadi karena setiap kelompok etnik tidak mengakui perbedaan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Akibatnya, setiap etnik akan mengangkat etniknya pada level superior dan menjadikan etnik lain sebagai inferior. Model pluralisme ini dapat menolong kita melakukan resolusi konflik. Misalnya, untuk mengurangi konflik antaretnik, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk tersebut. Itulah asimilasi antaretnik.Di samping asimilasi, faktor yang membuat kita dapat menyelesaikan konflik antar etnik adalah akomodasi, dalam proses akomodasi, dua etnik atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama. Dengan akomodasi, maka orang-orang yang berbeda suku bangsa atau etnik dapat mengakui kebudayaan yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Liliweri, Prasangka , 321 2. Model Tiga FaktorPara pemerhati konflik juga mengajukan model tiga faktor. Disebut demikian karena model ini memperhatikan faktor kepentingan (interest), kekuasaan (power), dan hak (right) yang menjadi sumber konflik antara dua pihak yang disebabkan oleh hal-hal : Pertama, kepentingan adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber konflik. Artinya, dua punya kebutuuhan dan keinginan yang sama terhadap objek yang disengketakan, misalnya barang, uang, jasa layanan, dan lain-lain.Kedua, kekuasaan adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber konflik. Artinya, dua pihak punya kebutuhan dan keinginan yang sama untuk memperoleh status dan peran sehingga memiliki hak dan kewenangan tertentu yang dominan.Ketiga,hak adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber konflik. Artinya, dua pihak punya kebutuhan dan keinginan yang sama untuk memperoleh tuntutannya, karena masing-masing merasa bahwa tuntutan itu berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab.Model ini meng-isyaratkan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik adalah memenuhi kebutuhan semua pihak yang bersengketa : kepentingan, kekuasaan, dan hak. Oleh karena itu, menurut model ini, penyelesaian konflik pun harus di lakukan dengan metode dan teknik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan itu. Dalam prakteknya, penyelesaian konflik sebagaimana dianjurkan model ini tidaklah mudah. Ingat bahwa pemeberian barang, uang, jasa dalam rangka memenuhi kepentingan dua pihak ternyata bersifat sementara. Saat semua barang dan jasa telah di terima (kepentingan dipenuhi). Maka konflik merendah. Tapi jika persediaan barang dan jasa menipis, maka konflik muncul kembali.Pilihan penyelesaian konflik berikutnya adalah memberikan besaran kekuasaan kepada pihak-pihak yang terlibat konflik, sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelbagai riset menunjukkan bahwa penyelesaian konflik dengan memberikan kekuasan kepada seorang karena dialah yang seharusnya memegang kekuasaan yang paling berwewenang pun tidak menyelesaikan masalah. Betapa sering, setelah di beri kekuasaan itu untuk menindas orang lain yang menjadi oposannya.Pilihan penyelesaian konflik lainnya dari model ini adalah memberikan hak kepada pihak-pihak yang terlibat konflik, sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelbagai riset menunjukkan bahwa penyelesaian konflik dengan memberikan hak kepada seorang karena dialah yang seharusnya memegang hak, tidak menyelesaikan masalah. Betapa sering, setelah di beri hak, seseorang menyalahgunakan haknya untuk menindas orang lain yang menjadi oposannya.Model ini menganjurkan agar pertautan antara tiga faktor dalam rencana penyelesaian konflik jadi pilihan terbaik dalam menyelesaian konflik. Artinya, konflik dapat diselesaikan jika kita mempertemukan dua kepentingan atau lebih, kekuasaan, dan hak dari mereka yang terlibat konflik.C. Model Posisi, Kepentingan, dan KebutuhanSalah satu gagasan klasik dalam penyelesaian konflik adalah membedakan antara posisi pihak yang bertikai, dan kepentingan serta kebutuhan tersembunyi mereka. Contohnya, dua tetangga bertikai tentang sebatang pohong. Masing-masing mengklaim bahwa pohon tersebut berada di tanah milik mereka. Tidak ada, kompromi yang mungkin dicapai ; pohon tidak dapat digergaji menjadi dua. Tetapi kepentingan salah seorang dari mereka adalah memamfaatkan buah tersebut, dan kepentingan pihak yang lain adalah keteduhan yang di berikan. Jadi, dua kepentingan sering kali lebih mudah direkonsiliasiakan di bandingkan dengan posisi, karana biasanya ada sejumlah posisi yang mungkin memuaskan kepentingan tersembunyi, dan beberapa posisi tersebut dapat saling mengisi. Ibid, 309-312 Dari beberapa model yang telah di uraikan di atas bahwa penulis ingin mengatakan bermacam-macam model atau cara untuk menyelesaikan konflik.Agama, Konfik dan Integrasi pada Masyarakat MadaniAgama diperlukan dalam kehidupan manusia untuk memberi arah kesadaran etika agar keberbudayaan lebih bermakna dan memiliki inspirasi yang substantif. Sementara itu, agama juga memerlukan medium budaya agar agama eksis dalam kehidupan manusia, sebab agama hanya bisa diwujudkan secara nyata dalam belantara kehidupan budaya manusia. Manusia lahir, hidup dan mati selalu mencari makna, baik untuk awal maupun untuk akhir hidupnya serta masa antara keduanya. Pencarian makna ini adalah pokok, sehingga dalam kenyataan kehidupan bahwa kerinduan kepada yang Maha Suci dan ia merupakan kebutuhan manusia yang paling langgeng.

Adanya kerinduan manusia kepada Yang Maha Suci merupakan sebuah fitrah (keniscayaan) semua manusia dalam tingkat kebudayaan maupun peradaban dimana pun berada di dunia ini, mulai dari yang paling primitif sampai yang paling modern dalam rangka untuk mencari makna kehidupan. Ini merupakan sebuah bukti bahwa kebudayaan apa pun di dunia memerlukan kehadiran yang Suci entah dengan nama apapun sesuai dengan bahasanya sendiri. Kehadiran yang suci inilah merupakan sebuah refleksi kesadaran manusia yang dalam bahasa fenomenologi, manusia mempunyai keterarahan dengan Tuhan (intensionalitas) atau relasi manusia dengan Tuhan.Adanya relasi (keterarahan) manusia dengan Yang Suci, ketika direalisasikan dalam wujud nyata kehidupan, pada akhirnya memunculkan perbedaan dalam memahami dan menghayati-Nya, sehingga adanya perbedaan ini secara perlahan namun pasti dapat menimbulkan perselisihan. Allah sejak dini dalam al-Quran telah meng-isyaratkan bahwa perselisihan, perbedaan dan ketegangan merupakan sebuah rahmat bukan sebuah laknat. Ini ditegaskan Allah agar manusia supaya dapat menahan diri, sehingga konflik dan ketegangan yang melanda umat manusia bisa diatasi, setidak-setidaknya intensitas ketegangan dan konflik dapat dibatasi secara maksimal menjadi faktor penting dinamika internalnya sendiri.Realitas penggolongan masyarakat dalam kebangsaan dan kelompok-kelompok etnis dan budaya itu juga dikemukakan sebagai bagian dari ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan Tuhan. Realitas itu, dalam konsep teologi Islam memang sudah menjadi fitrah, jati diri atau sunnatullah (Hukum Alam atau Karma dalam tradisi Hindu) komunitas manusia. Realitas manusia mengelompok dalam satuan-satuan komunitas, suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang beraneka latar belakang kepentingan, sistem nilai budaya atau kecenderungan-kecenderungan politik. Karena itu, Allah dengan kekuasaan dan kehendakNya selalu berada dalam kebajikan untuk menyelamatkan manusia dari keterhinaan yang bersifat universal tidak terikat pada wilayah, bangsa, agama dan suku tertentu. Inilah universalisme keselamatan yang ditawarkan dan dikehendaki Tuhan tanpa melihat ras, suku, bahasa maupun agama disepanjang jaman.Agama-agama itu ada sebagai institusionalisasi dari pengalaman iman akan Allah. Sehingga agama merupakan sebuah perwujudan sistem keimanan yang terorganisir. Karena itu, sebagai sebuah institusi, agama hidup secara kontekstual dan situasional dalam pengertian institusi agama bisa berbeda-beda tergantung dari penghayatan dari pengalaman iman, namun sistem keimanan itu tetap satu. Dalam kodratnya, manusia sesungguhnya mempunyai kebebasan untuk memilih agama sesuai dengan pengalaman imannya dan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan pribadinya. Disinilah Allah menegaskan dalam al-Quran bahwa Allah menawarkan kepada manusia untuk memilih jalan iman (kebenaran) atau jalan kufur. Penawaran Allah tersebut merupakan bentuk refleksi kebebasan manusia untuk bertindak otonom.Berangkat dari hal tersebut, maka sesungguhnya pluralitas agama di dunia ini merupakan sebuah realitas yang tidak bisa ditawar-tawar oleh manusia termasuk di Indonesia. Pluralitas beragama di Indonesia merupakan konteks kongkrit di mana agama dihayati oleh pemeluknya. Perbedaan agama perlulah diterima dan dihayati sebagai pernyataan dan perwujudan betapa kayanya rahmat Allah. Bahkan Allah sendiri sesungguhnya mempunyai kekuasaan untuk menyamakan manusia pada satu agama, tetapi mengapa Allah tidak melakukan hal tersebut ? Justru Allah sendiri menghendaki sebuah pluralitas untuk keseimbangan ciptaan Tuhan.Ayat ini merupakan penegasan Allah tentang penciptaan manusia yang heterogen, sehingga pluralitas itu merupakan sebuah keniscayaan dan kehendak Tuhan. Allah melalui ayat ini menghargai adanya sebuah kemajemukan dalam segala aspek, baik ras, bahasa, agama, suku bangsa maupun adat istiadat. Lihat al-Quran dalam surat al-Hujurat : 12. Bersama rahmat Allah yang kaya ini, Allah menyapa manusia dalam konteksnya yang paling kongkrit dengan latar belakang sejarahnya, lingkungan dan keyakinan serta kepercayaan dalam hidupnya. Pluralitas beragama bahkan telah menjadi realitas niscaya yang kongkrit sebagai kesempatan bagi manusia Indonesia untuk hidup bersama dengan saling melengkapi dan saling memperkaya wawasan religiusitas-spiritual. Bukankah perbedaan diantara umat itu sebagai sebuah rahmat ? Itulah pertanyaan dan anjuran Allah melalui firmanNya yang harus kita renungkan untuk memahamai makna sejatinya.Indonesia merupakan sebuah negara yang cukup unik dalam hal bersentuhan dengan kemajemukan, sehingga para founding fathers memunculkan sebuah prinsip atau sikap hidup yang terangkai dalam sebuah ungkapan Bhinika Tunggal Ika. Ungkapan kata-kata itu pertama kali dicetuskan oleh Mpu Tantular (sekitar 13-14 M) dalam karyanya Kitab Sutasoma. Ungkapan itu muncul dilatar belakangi oleh sebuah kisah, seperti yang diungkapkan oleh Mpu Tantular, yaitu diawali adanya seorang raja Raksasa yang bernama PURUSADA yang gemar memakan daging manusia untuk makanan sehari-harinya. Satu demi satu rakyat jelata menjadi mangsanya dan mereka sangat takut. Sutasoma merupakan seorang satria, menaruh belas kasihan pada nasib rakyat jelata tersebut dengan menawarkan dirinya kepada sang raksasa sebagai mangsa dan makanannya selaku pengganti rakyat. Purusada marah sekali terhadap Sutasoma karena mencoba mengganggu kebiasaan makanya yang dipandangnya wajar. Ia berupaya untuk membunuh Sutasoma tetapi gagal. Pada akhirnya, Dewa Syiwa membantu dengan masuk kedalam tubuh Purusada, raja raksasa dan Dewa Budha menitis kedalam tubuh Sutasoma, sang Satria. Terjadilah suatu pertarungan yang tidak berkesudahan disertai kekuatan-kekuatan adialami (kesaktian-kesaktian). Masing-masing pihak tidak berhasil mengalahkan yang lainnya. Lalu datanglah para Brahmana dan menghimbau agar mereka menghentikan pertarungan serta mengingatkan bahwa walau penampilan mereka berbeda namun pada dasarnya mereka adalah satu (Bhinneka Tunggal Ika). Siwa dan Budha, menyadari kesatuan mereka, lalu meninggalkan tubuh kedua pihak yang sedang bertarung. Sesungguhnya pertarungan antara Purusada dengan Dewa Siwa yang menitis dan sang Satria Sutasoma dengan sang Budha yang menitis disebabkan ketidak tahuan mereka, bahwa mereka sesungguhnya adalah satu kesatuan. Pada akhirnya, Purusada, sang raja raksasa menanggalkan kebiasaan buruknya dengan makan-makan manusia sebagai santapan dan selanjutnya menjalani hidup wajar. Lihat Lee Khoon Chaya, 1977, Indonesia Between Myth and Reality,(Singapore : Federal Publications, 1-5 Berkaitan dengan ungkapan tersebut, maka sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran dualisme-monistis, yang tidak memberikan peluang adanya konfrontasi tegas dan frontal. Alam pikiran dualisme-monistis ini merupakan sebuah tradisi dan sistem kepercayaan masyarakat di dunia Timur yang menekankan adanya sistem kehidupan dengan mengajarakan adanya keselerasan dan keteraturan melalui penyatuan dan persekutuan antara khaliq dan makhluk. Adanya ungkapan: Bhinneka Tunggal Ika, Kalih Sameka, Loro-loroning atunggil, membuktikan sebuah kecenderungan alam pikiran asli yang memperpadukan semua aspek yang tampaknya logis masing-masing unsur yang dipersatukan di dalamnya dalam rangka menuju sebuah keharmonisan. Istilah Kalih Sameko sejajar dengan Bhinneka Tunggal Ika diperkenalkan oleh Mpu Tantular dalam karyanya yang lain, yaitu Kitab Arjuna Wijaya. Arti ungkapan ini menunjukkan bahwa kedua adalah sama sebagai sebuah identifikasi Syiwa-Buddha. Sedangkan rumus Loro-loroning atunggil merupakan ajaran yang ditulis dan diperkenalkan dalam Serat Centhini untuk mendamaikan monisme Hindu dengan pandangan Islam yang sangat menegaskan perbedaan Khalik dan Makhluk. Lihat Bambang Noersena,1992, Antara Bayangan dan Kenyataan : Kembang setaman seputar ke-Kristenan di tengah perjumpaan Agama-agama dalam kepustakaan Jawa, Jogjakarta : Yayasan ANDI, 16-23Kehidupan beragama yang dinamis tercermin pada kerukunan hidup beragama yang mantap, otentik dan produktif dengan pribadi-pribadi umat beragama yang matang dengan sikap moral yang otonom, krisis dan terbuka. Tidak menutup diri dari dialog, baik itu dialog kehidupan, dialog teologis, dialog perbuatan maupun dialog pengalaman keagamaan yang dilakukan secara terbuka, lapang dada dan menghormati perbedaan masing-masing. Tarmizi Taher, 1977, Kerukunan Hidup beragama di Indonesia, dalam Mustoha (Penyunting), Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat beragama di Indonesia,(Jakarta : Depag RI, , vii xi. Bandingkan dengan Moerdiono, 1996, Makna Kerukunan Hidup Umat beragama menurut tinjauan paham Negara Kesatuan Republik Indonesia : Beberapa pokok pikiran,(Jakarta : Kertas Kerja dalam sarasehan sehari Majelis Ulama Indonesia, 5 Nopember 1996. Karena itu, wujud Pelaksanaan ini benar-benar dilakukan baik oleh pemerintah pusat (Depag) maupun Pemerintah Daerah khususnya di Jatim, dimana penulis telah berkali-kali mengikuti kegiatan ini, seperti Musyawarah Agamawan Muda I Nasional se Jawa di Semarang 1993, Dialog Antar Agama untuk pemuda di Batu Malang yang diselenggarakan oleh Pemda Jawa Timur pada tahun 1996.Agama dalam kehidupan masyarakat modern yang ditandai dengan adanya industrialisasi tidak lagi dipahami secara komprehensif sebagai sumber terpenting kesadaran makna (sence of meaning) bagi manusia dan sumber legitimasi kehidupan bermasyarakat. Agama selanjutnya hanya dijadikan sandaran kehidupan kerohanian (spiritual) yang telah mengalami reduksi positivistis

Reduksi positivistik di sini lebih ditekankan pada penyempitan makna agama yang hanya sekedar didasarkan pada fakta-fakta atomik-positif, yaitu agama yang hanya didasarkan atas hal-hal yang bisa diverifikasi secara empiris. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan agama dan metafisika sebagai konsep yang tidak dapat diverifikasi dianggap tidak benar, sehingga agama dianggap salah. Namun disini yang dimaksudkan adalah pemahaman agama yang hanya dipersempit kepada doktrin-doktrin hukum agama, yang berisfat hitam-putih (fiqh oriented dalam istilah Islam). Mengenai pandangan positivisme tentang agama, sebagaimana dibahas oleh kaum positivis terutama Comte, lihat KJ. Veerger, 1993, Realitas Sosial, Jakarta : Gramedia, Cet. IV, 29-31. dan cakupannya begitu sangat sempit, yaitu hanya menyentuh kehidupan persona manusia. Agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi pemeluknya dalam interaksi sosialnya justru mengalami konflik interpretasi, sehingga disinilah, sebuah konflik itu muncul. Konflik antar pemeluk agama mengandung muatan kompleks dan tidak sekedar menyentuh dimensi keyakinan dari agama yang dipeluk. Tetapi juga terkait dengan kepentingan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Konflik antar pemeluk agama amat mudah ditunggangi kelompok kepentingan, sehingga konflik yang terjadi adalah konflik kepentingan yang mengatas namakan Tuhan dan agama. Sebelum kita melangkah lebih jauh tentang konflik dan integrasi, maka akan kita bahas terlebih dahulu pengertian teori konflik dan integrasi dalam perspektif filsafat sosial.Tulisan ini mencoba mendeskripsikan tentang penilaian dan perkembangan sebuah teori konflik dan relevansinya dengan konflik antar agama. Deskripsi singkat tentang teori konflik ini diilhami oleh adanya sebuah anggapan yang keliru (misperception dan mis understanding) oleh masyarakat bahwa konflik hanya selalu dimakna negatif, padahal sesungguhnya, konflik itu mempunyai makna positif, yaitu memperatkan solidaritas dan persatuan. Asumsi ini yang perlu dikaji karena bagaimanapun fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan dari konflik, baik komunitas kecil maupun yang besar termasuk didalamnya hubungan antar agama.Konflik sesungguhnya lahir karena dilatar belakangi makin meluasnya dogma teori struktural-fungsional, yang menurut sebagian pandangan tokoh sosial dianggap sudah tidak lagi sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Jika demikian, maka konstruksi teori tidak akan membantu kita untuk memahmai secara proporsional dan menerapkan sebuah peristiwa (kejadian). Oleh karena itu, konflik yang timbul dalam suatu kondisi akan dapat membangunkan kesadaran baru manusia pada iklim perubahan kondisi secara lebih baik dan membangunkan sebuah dinamisitas kehidupan masyarakat. Hubungan dan interaksi pemeluk agama, baik dengan seagama maupun antar agama, juga tidak bisa dipisahkan dengan adanya teori konflik dan integrasi (struktural-fungsional). Persoalan diatas menjadi tambah pelik dan krusial manakala dikaitkan dengan institusi-institusi sosial yang ada dan berkembang dalam masyarakat, baik yang menyangkut otoritas kebenaran maupun klaim yang menyelamatkan, sehingga persoalan-persoalan yang ada, seperti adanya konsensus, pertentangan, integrasi maupun disintegrasi merupakan sebuah sunnatullah yang tidak bisa kita hindari keberadaannya dalam kehidupan manusia. Karena itu, konflik dan konsensus (integrasi) adalah sebuah keniscayaan penciptaan Tuhan yang dalam firman-Nya menciptakan segala seuatu dengan berpasang-pasangan, termasuk integrasi dan konflik.Seperti dikatakan di atas, bahwa teori konflik muncul disebabkan adanya hegemoni paradigma teori struktural-fungsional. Teori Struktural-fungsional merupakan suatu teori yang menekankan adanya suatu ketertiban (orde) dalam kehidupan masyarakat. Dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam kesimbangan. Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap tatanan (struktur) dalam sistem sosial akan berfungsi pada yang lain, sehingga bila fungsional tidak ada, maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.Berangkat dari hal tersebut, maka teori struktural-fungsional dapat kita sederhanakan,yaitu:Masyarakat merupakan suatu perpaduan nilai-nilai budaya bersama yang dilembagakan menjadi norma-norma sosial dan dimantapkan oleh individu-individu kepada sebuah motivasi. Karena itu, perilaku sosial individu sesungguhnya digairahkan dari nilai intrinsik (dalam batin) oleh tujuan-tujuan bersama dengan orang lain, dimana diharapkan semua struktur lembaga sosial dalam sebuah sistem dapat berjalan sesuai dengan fungsinya secara sadar. Semua ini didasarkan atas konsep relasional antara subyek dan obyek yang dalam bahasa fenomenologi disebut intersubyektivitas atau dunia alterego.Realitas sosial merupakan relasi-relasi yang membentuk sistem sosial yang mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, konsep fungsi yang dimengerti sebagai sumbangan kepada keselamatan dan ketahanan. Konsep ini dititik beratkan pada berjalannya bagian-bagian dalam sistem sosial sesuai fungsinya yang saling bergantungan dan tak unsur yang terpisah satu sama lainnya. Kedua, adanya konsep pemeliharaan keseimbangan sebagai ciri utama dari tiap-tiap sistem sosial. Konsep ini merupakan tujuan yang diharapkan dengan mengandaikan bahwa saling ketergantungan merupakan upaya keseimbangan (equilibrum). Karena setiap perubahan yang terjadi akan mempengaruhi bagian yang lain. Hal ini karena dilatar belakangi oleh suatu keseuaian atau keselarasan paham (konsensus) diantara anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.Masyarakat adalah suatu sistem yang secara keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung (Interdependensi). Keseluruhan sistem yang utuh menentukan bagian-bagian. Artinya, bagian yang satu tidak dapat dipahami secara parsial dan terpisah kecuali dengan mempertahankan hubungan dengan sistem keseluruhan yang luas, dimana bagian-bagian menjadi unsurnya. Bagian-bagian harus dipahami dalam relevansinya dengan fungsi terhadap keseimbangan sistem keseluruhan, sehingga bagian-bagian tersebut menunjukkan gejala saling tergantung dan saling mendukung untuk memelihara keutuhan sistem. Disinilah perspektif fenomenologis mempengaruhi pandangan teori struktural fungsional dalam ilmu sosiologi.Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap, berintegrasi satu sama lain dengan baik. Orang lebih banyak bekerja sama daripada menentang, biarpun telah terjadi pergantian dan perubahan-perubahan apapun. Masyarakat diharapkan dapat menjalankan tugas sesuai fungsinya masing, sehingga sistem yang dibangun akan berjalan dengan sendirinya, sekalipun mengalami perubahan-perubahan, karena adanya keteraturan dan ketertiban dari suatu bangunan sistem.

Teori Struktural-fungsional yang dikembangkan oleh Talcott Parson merupakan sebuah teori sosial yang dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi yang menekankan adanya suatu intensionalitas, dimana eksistensi subyek dan obyek yang juga mempunyai kesadaran saling mempunyai ketergantungan, karena keduanya mempunyai sebuah relasi intersubyektivitas atau dunia alterego. Teori struktural-fungsional ini menekankan pada adanya keteraturan (orde) dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan yang berkembang di masyarakat, sehingga teori ini menggunakan konsep tentang fungsi, disfungsi dan keseimbangan (equilibrium). Untuk lebih jelasnya, George Ritzer, Sociolgy : A Multiple Paradigm science, terjemahan Drs. Alimandan, 1985, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali, 25 30. Bandingkan dengan KJ. Veeger, I b I d, 199-206.

Berangkat dari hal tersebut, hubungan antar pemeluk agama, baik yang seagama maupun antar agama dalam perspektif teori struktural-fungsional adalah adanya keharmonisan dan kedamaian yang akan dapat terciptakan, karena semua unsur, bagian merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga semua pemeluk agama dalam interaksi sosial keagamaannya akan berjalan sesuai dengan fungsinya, bahkan para pemeluk agama dapat menyadari tugas dan fungsi pelaksanaan agamanya dan pemeluk agama yang lain juga akan menyadari eksistensi fungsinya masing-masing. Karena itu, sulit akan terjadi pertentangan dan konflik, jika seluruh fungsi berjalan sesuai dengan kesadaran tugasnya. Agama tidak lagi dipahami sebagai sebuah keimanan dan kepercayaan, tetapi juga dijadikan sebagai way of live dan kebutuhan azazi manusia akan pentingnya makna religiusitas kehidupan manusia, sehingga hubungan antar pemeluk agama berjalan damai, agama berfungsi sebagai penyelamat dan pembebas benar-benar berjalan mantap dengan penuh kesadaran bagi pemeluknya. Disinilah keharmonisan antar pemeluk agama tercipta dengan sendirinya tanpa adanya sebuah rekayasa semu.Teori struktural fungsional relevansinya dengan hubungan antar pemeluk agama menjadikan pemeluk agama berjalan secara linier, karena memang menafikan adanya persaingan. Dengan tidak adanya persaingan, bahkan konflik, maka dinamisatias hubungan pemeluk agama kurang bergairah, sehingga masyarakat cenderung deterministik, tunduk patuh dan menerima apapun secara rela yang membuat masyarakat menjadi pasif untuk berinisiatif serta kemajuan masyarakat pemeluk agama cenderung tidak kreatif. Karena itu, konflik di satu sisi dalam makna positif amat perlu untuk mendorong kemajuan, sepanjang konflik bukan anarkhismeDinamisitas dan kreativitas masyarakat (para pemeluk agama) akan muncul kalau disertai dengan adanya konflik dalam pengertian positif, karena dengan adanya konflik dalam kajian filsafat sosial sesungguhnya mengajarkan adanya suatu keseimbangan diantara wewenang, posisi dan peran para pemeluk agama. Sesungguhnya peran utama dari kajian teori konflik adalah untuk mengidentifikasikan berbagai peranan, baik yang menyangkut wewenang maupun posisi dan peran masyarakat pemeluk agama. Dengan demikian, masyarakat pemeluk agama dalam kajian teori konflik terbagi menjadi duna, yaitu kelompok masyarakat yang dikatagorikan sebagai penguasa (yang mempunyai otoritas dan wewenang) dan kelompok masyarakat yang dikatagorikan sebagai yang dikuasai atau meminjam istilah George Ritzer adalah kelompok semu (Quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group). Disini masyarakat pemeluk agama yang mempunyai wewenang dititik beratkan pada otoritas penafsirkan ajaran agamanya (ulama) dan kaum awam yang dikuasai. Sedangkan dalam hubungan antar pemeluk agama, maka masyarakat yang mempunyai otoritas religiusitas disini adalah dominannya pemeluk agama tertentu. Istilah ini merupakan pendapat Dahrendorf yang dikutip George Ritzer. Menurut Dahrendorf tipe kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya tipe kelompok kepentingan. Sedangkan tipe kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan dan anggota yang jelas. Adanya kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber dari segala sumber konflik dalam masyarakat (para pemeluk agama). Untuk lebih jelasnya, lihat George Ritzer, Sociolgy : A Multiple Paradigm science, terjemahan Drs. Alimandan, 1985, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali, 30 35.Melihat konsep dan pengertian tersebut, pada dasarnya teori konflik mempunyai asumsi dasar dalam memandang masyarakat, yaitu :Inti masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam peranan sosial didasarkan atas konflik atau kerja sama yang antagonistik. Teori konflik sesungguhnya mempunyai peran yang amat positif, yaitu semakin memupuk persaudaraan, menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi dan pada akhirnya dapat mempertahankan masyarakat. Namun yang berkembang justru konflik dimengerti secara negatif, yaitu sebagai bentuk pertentangan yang mengakibatkan permusuhan, anarkhisme dan destroyer.Teori konflik memandang masyarakat senantiasa berada dalam proses dinamis dan bergerak menuju proses oerubahan yang ditandai dengan adanya unsur pertentangan (disconsensus) di segala bidang. Tidak semua orang sepaham, sesuara, sehingga selalu menampakkan dua sisi yang berlawanan, ada yang pro maupun yang kontra. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen sangat berpotensi membuka peluang disintegrasi sosial, kecuali adanya faktor tekanan dan pemaksaan dari golongan yang mempunyai wewenang dan otoritas.Tiap-tiap masyarakat mengalami proses di segala bidang, perubahan sosial terdapat dimana-mana. Ini dikaarenakan adanya manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dicapai oleh para pendahulunya dan tidak pernah selesai dalam melakukan perubahan-perubahan. Semua ini disebabkan manusia selalu gelisah dengan keadaannya.Tiap-tiap unsur dalam masyarakat menyumbang terhadap terjadinya disintegrasi dan perubahan. Setidak-tidaknya, ada kemungkinan bagi kelompok potensi untuk menjadi faktor yang mencerai beraikan. Hal ini dikarenakan adanya paksaan yang dikenakan pada segelintir anggota atas anggota lainnya. Adanya konflik-konflik dalam masyarakat dapat dibagi menjadi dua, yaitu konflik potensial, yaitu sebuah konflik yang terjadi masih berjalan sendiri-sendiri. Sedangkan konflik aktual merupakan sebuah konflik yang telah terorganisir rapi dari kelompok-kelompok tertentu, dibiayai, ada aktor intelektualnya dengan tujuan-tujuan tertentu. Pembagian kelompok kepentingan menjadi dua tipe ini merupakan pembagian yang dikemukakan Dahrendorf, dimana tipe kelompok konflik potensial merupakan kelompok kepentingan yang dilakukan secara bersama, tetapi belum terorganisir dan bersatu serta masih berjalan sendiri-sendiri, sedangkan konflik kepentingan telah teroganisir dan mempunyai program kongkrit dalam mencapai tujuan. Untuk lebih jelasnya, lihat KJ. Veeger, I b I d, 210 221 serta bandingkan dengan George Ritzer, I b I d, 30 35.

Berdasarkan asumsi dasar dari konsep teori konflik ini, maka yang menjadi persoalan adalah adanya konflik dari kelompok kepentingan, sebab inilah yang menjadi sumber nyata dari muncul konflik anarkhis yang mempunyai konotasi negatif. Adanya konflik kepentingan ini relevansinya dengan hubungan antar pemeluk agama, maka jelas bahwa konflik antar pemeluk agama semakin tidak mendapat penyelesaian dikarenakan adanya kelompok kepentingan yang memang sengaja memanas-manasi situasi dan kondisi, sehingga potensi disintegrasi semakin jelas dikehendaki, sebagai tujuan utama dari kelompok konflik kepentingan. Secara ontologis-metafisis dalam rangka mengantisipasi potensi disintegrasi tersebut, perlu adanya upaya-upaya untuk mencapai kesaling-mengertian seperti upaya mencari titik temu agama-agama, yakni dengan menyadari terdapatnya dimensi relatif yang absolut dari setiap agama. Upaya untuk mencapai kesaling-mengertian akan mencerminkan dinamika kehidupan beragama, seperti misalnya yang terjadi dalam dialog antar agama. Pluralitas agama sebagai fakta yang tak terelakkan mempertemukan berbagai agama. Mengingat setiap agama mengandung watak yang sifatnya universal, dan memiliki klaim kebenaran absolut, maka demi terciptanya kerukunan, pertemuan agama tersebut mensyarati tercapainya pengertian yang komunikatif seperti yang terjadi pada sebuah dialog antar agama.Agama sangat berpengaruh dalam totalitas keperibadian, dan penghayatan agama lebih bersifat subyektif-emosional terutama pada tingkat lapisan awam. Pada lapisan ini penghayatan dan pemahaman agama sangat sederhana dengan pendekatan positivistik (salah-benar, hitam-putih). Kenyataan ini juga memperlihatkan bahwa agama merupakan suatu sistem yang total dan menurut Koentjaraningrat dengan mengutip pendapat Emile Durkheim dalam karyanya yang terkenal, Les Formes Elementaires de la vie Religieuse (1912), menyatakan bahwa ada empat unsur pokok dalam agama, yaitu: emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara dan komuniti keagamaan. Dalam hubungan antara komuniti dan emosi keagamaan akan terbentuk hubungan primer dan solidaritas kelompok, mengingat emosi keagamaan merupakan juga dasar hubungan primer dalam komunitas masyarakat dan sumber dari sentimen kemasyarakatan, dimana kesadaran tentang hubungan itu menjadi paling kuat dan paling mudah disinggung dan dilukai sehingga gampang disulut bagi timbulnya konflik mengatas namakan Tuhan dan agama. Berdasarkan data-data faktual, sepanjang pertengahan tahun 1996 sampai menjelang pemilu 1997, maupun yang terjadi belakangan ini, Indonesia secara beruntun diguncang kerusuhan massal diberbagai tempat di tanah air. Sebagian besar kerusuhan itu diwarnai sentimen SARA atau Suku, Agama, Ras, Antar Golongan.

F. Konflik dan Integrasi pada Masyarakat Komunikatif (Ineraksi Sosial)Pluralitas kehidupan juga menjadi kecenderungan dari kehidupan dunia dewasa ini, seperti terdapatnya kesaling tergantungan antara negara yang semakin luas dan dalam. Kesaling tergantungan tersebut tidak hanya menyangkut antara negara dan ekonomi tetapi juga meliputi berbagai macam aspek kehidupan masyarakat lainnya seperti tradisi, budaya dan agamanya.Kemudahan transportasi menyebabkan terjadinya arus migrasi yang luar biasa, menjadikan manusia dapat berintegrasi dan berkomunikasi begitu mudah dan cepat. Istilah desa global telah menjadi ungkapan umum yang menunjuk kepada dunia yang kita tinggali ini semakin kecil. Didalam lingkungan kepercayaan agama, masyarakat dari berbagai tradisi agama tidak lagi dapat hidup terpisah, namun saling berintegrasi dan bergantung satu sama lain.Problematika kehidupan umat beragama dewasa ini bukan lagi hanya semata-mata menyangkut pemahaman tentang kebenaran, tetapi juga menyangkut hubungan satu sama lain, serta terciptanya suatu iklim yang saling memahami diantara berbagai agama melalui proses komunikasi. Melalui tindakan komunikasi inilah pada nantinya akan dapat menciptakan suatu masyarakat komunikatif dengan segala konsensus, setara dan saling pemahaman dalam melakukan dialog. Karena itu, melalui komunikasi relasi antar sesama manusia tidak lagi diandaikan dengan logika pertentangan, yaitu bagaimana manusia yang satu harus menguasai manusia yang lainnya. Dalam interaksi antar agama ini agar tercipta suatu dialog komunikatif, penulis menawarkan paradigma komunikasi yang ditawarkan Habermas. Habermas merumuskan paradigma komunikasi sebagai tindakan yang selalu diorientasikan pada saling pemahaman dan saling pengertian. Teori tindakan komunikasi Jurgen Habermas merupakan sebuah upaya Habermas dalam membentuk sebuah tatanan masyarakat yang komunikatif. Bagi Habermas stabilisasi sistem sosial didasari atas tindakan komunikatif yang hanya bisa dicapai melalui konsensus antar pemberi informasi (the sender) dan penerima informasi (the receiver). Lihat Jurgen Habermas, 1990, Moral Consciousness and Communication Action, (Cambridge-Masschussett : the MIT Press, 145. Bandingan dengan Jane Braaten, 1991, Habermass Critical Theory of society, Albany : State University of New York, 57. Partner komunikasi atau orang lain diandaikan sebagai partner untuk meyampaikan tujuan, menjadi lawan bicara sebagai saksi, sebagai tempat obyektivasi dan ekspresi serta saling tukar informasi dan pengalaman sehingga tujuannya diarahkan untuk pemahaman tindakan bersama.Untuk sampai pada pemahaman tindakan bersama, Habermas memberikan cara dengan mengadakan interpretasi terhadap tindakan dan membuat mekanisme koordinasi dari tindakan tersebut untuk merumuskan konsensus dari tindakan dialogis tadi. Interpretasi diarahkan untuk mencipta situasi yang ideal dalam dialog, dimana masing-masing pihak dapat menunda kepentingannya (to suspend mutual interest) dan membuat aturan mainnya. Adapun mekanisme koordinasi tindakan lebih pada membuat keabsahan dalam tindakan komunikatif tersebut berdasarkan : sincerity (antara intensi yang dimaksud dengan yang diucapkan terdapat kesatuan), exactness (ketepatan rumusan tindakan berdialog), truthness (kebenaran sebagai acuan dalam komunikasi) dan comprehensiveness (keseluruhan dari ketiga hal di atas). Habermas, Moral counciousness, Ibid. Dengan demikian, maka tindakan komunikatif meliputi semua aspek kemanusiaan yang ideal dan diinginkan. Pelaku tindakan dengan demikian tidak hanya mengacu pada subyektivitas dirinya yang ingin memahami irama tindakannya tersebut, melainkan juga berusaha membuat sarana dimana keberadaan yang lain diandaikan sebagai sarana aktualisasi diri yang mendalam. Dalam hal ini, maka relasi sosial atau tindakan bersama yang seiring dan seirama dapat diciptakan. Tujuan dari tindakan komunikatif adalah dalam rangka mencari ketersaling mengertian (mutual understanding), maka kesuksesan dari tindakan ini disebutkan sebagai rasionalitas komunikatif. Jaane Braaten, Habermass Critical , 58 Mengenai persoalan rasionalitas Komunikatif akan dapat membentuk masyarakat komunikatif, menurut Habermas bahwa yang menentukan suatu perubahan sosial tidak hanya faktor kekuatan produksi dan teknologi semata sebagaimana pandangan kapitalisme, melainkan juga proses belajar dalam dimensi etis dimana masyarakat harus mengintegrasikan kekuatan-kekuatan komunikasinya menuju tahpa-tahap perkembangan komunikasi dan dialog yang rasional. Dialog rasional disini merupakan langkah awal menuju kesaling mengertian antara agama yang satu dengan agama yang lain secara setara melalui sebuah konsensus atau kesepakatan bersama. Jurgen Habermas, Moral Consciousness , 146-147Dalam menghadapi pluralitas agama ini, dituntut upaya sikap yang pernuh toleransi serta keterlibatan positif dan usaha-usaha aktif untuk mengerti perbedaan melalui dialog yang komunikatif. Perbedaan agama mengasumsikan suatu tingkat keterbukaan, atau dialog yang komunikatif dan penuh makna. Karenanya, dialog antar agama pada masa mendatang memerlukan suatu sikap yang kreatif di dalam suatu atmosfir pengertian yang saling timbal balik, siap untuk menerima pendapat yang berbeda dan mengapresiasi nilai-nilai yang lain. Adanya sikap seperti ini kan muncul, jika ada sebuah public Sphere, untuk dijadikan ekpresi keimanan dengan penghayatan yang total terhadap agamanya tanpa adanya rasa takut toleh para pemeluk agama.