BAB II

download BAB II

of 30

description

BAB II Edit

Transcript of BAB II

BAB IILANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka1. Vitamin AVitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu, harus didatangkan dari makanan, vitamin termaksud kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Tiap vitamin mempunyai tugas spesifik di dalam tubuh. Karena vitamin adalah zat organik maka vitamin dapat rusak karena penyimpanan dan pengelolahan (Almatzier, 2006). Vitamin A adalah vitamin yang larut lemak yang pertama ditemukan. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor /provitamin A/karotenoid yang merupakan aktivitas biologik sebagai retinol (Almatzier, 2006). a. Sifat Kimia Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan vitamin A biasanya terdapat dama bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang (Almatzier,2006).

Gambar 1. Struktur kimia vitamin A

b. Metabolisme Vitamin AVitamin A yang di dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk ester retinil, bersama karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Di dalam sel-sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorpsi daripada ester retinil. Sebagian dari karotenoid, terutama betakaroten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol. Retinol di dalam mukosa usus bereaksi dengan asam lemak dan membentuk ester dan dengan bantuan cairan empedu menyebrangi sel-sel vili dinding usus halus untuk kemudian diangkut oleh kilomikron melalui sistem limfe ke dalam aliran darah menuju hati. Hati berperan sebagai tempat menyimpan vitamin A utama di dalam tubuh. Dalam kedaan normal, cadangan vitamin A dalam hati dapat bertahan hinggan enam bulan. Bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Bila tubuh memerlukan vitamin A dimobilisasi dari hati dalam bentuk retinol oleh Retinol Binding Protein (RBP) yang disintesis di dalam hati. Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor pada permukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding Protein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan (Almatzier, 2006). c. Fungsi Vitamin A 1) Penglihatan Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Di dalam mata, retinol, bentuk vitamin A yang di dapat dalam darah, dioksidasi menjadi retinal. Retinal kemudian mengikat protein opsin dan membentuk pigmen visual merah-ungu atau rodopsin. Rodopsin ada di dalam sel khusus di dalam retina mata yang dinamakan rod . Bila cahaya mengenai retina, pigmen visual merah-ungu ini berubah menjadi kuning dan retinal dipisahkan dari opsin. Pada saat itu, terjadi rangsangan elektrokimia yang merambat sepanjang saraf mata ke otak yang menyebabkan terjadinya suatu bayangan visual. Selama proses ini, sebagian dari vitamin A dipisahkan dari protein dan diubah menjadi retinol. Sebagian besar retinol ini diubah kembali menjadi retinal, yang kemudian mengikat opsin lagi untuk membentuk rodopsin. Sebagian kecil retinol hilang selama proses ini dan harus diganti oleh darah. Jumlah retinol yang tersedia di dalam darah menentukan kecepatan pembentukan kembali rodopsin yang kemudian bertindak kembali sebagai reseptor di dalam retina.Kebutuhan vitamin A untuk penglihatan dapat dirasakan, bila kita dari cahaya terang di luar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang cahayanya. Mata membutuhkan waktu untuk dapat melihat. Begitu pula bila pada malam hari bertemu mobil yang memasang lampu yang menyilaukan. Kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia di dalam darah untuk membentuk rodopsin. Tanda pertama kekurangan vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan oleh kekurangan vitamin A. 2) Diferensiasi Sel Diferensiasi sel terjadi bila sel-sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini adalah salah satu karakteristik dari kekurangan vitamin A yang dapat terjadi pada tiap tahap perkembangan tubuh, seperti pada tahap pembentukan sperma dan sel telur, pembuahan, pembentukan struktur organ dan organ tubuh, pertumbuhan dan perkembangan janin, masa bayi, anak-anak, dewasa dan masa tua. Diduga vitamin A, dalam bentuk asam retinoat memegang peranan aktif dalam kegiatan inti sel, dengan demikian dalam pengaturan faktor penentu keturunan atau gen yang berpengaruh terhadap sintesis protein. Pada diferensiasi sel terjadi perubahan dalam bentuk dan fungsi sel yang dapat dikaitakan dengan perubahan perwujudan gen-gen tertentu. Sel-sel yang paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus, terutama sel-sel goblet , yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Semua permukaan tubuh, di luar dan di dalam dilapisi oleh sel-sel epitel. Jaringan epitel yang menutupi tubuh di luar dinamakan epidermis, sedangkan yang menutupi bagian dalam dinamakan membran mukosa, yaitu yang menutupi permukaan dalam saluran cerna, saluran pernapasan, kantung kemih dan uretra, uterus dan vagina, kelopak mata, saluran sinus dan sebagainya. Mukus melindungi sel-sel epitel dari serbuan mikroorganisme dan partikel lain yang berbahaya. Lapisan mukus pada dinding lambung juga melindungi sel-sel lambung dari cairan lambung. Di bagian atas saluran pernapasan sel-sel secara terus-menerus menyapu mukus keluar, sehingga benda-benda asing yang mungkin masuk akan terbawa ke luar. Bila terjadi infeksi, sel-sel goblet akan mengeluarkan lebih banyak mukus yang akan mempercepat pengeluaran mikroorganisme tersebut. Kekurangan vitamin A menghalangi fungsi sel-sel kelenjar yang mengeluarkan mukus dan digantikan oleh sel-sel epitel bersisik dan kering (keratinized). Kulit menjadi kering dan kasar dan luka sukar sembuh. Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan mukus sempurna sehingga mudah terserang bakteri (infeksi). Keratinisasi konjungitva mata (selaput yang melapisi kelopak dan bola mata) merupakan salah satu tanda khas kekurangan vitamin A. Peranan vitamin A diduga berkaitan dengan dua hal : a. Peranan vitamin A dalam sintesis glikoprotein khusus yang terlibat dalam pembentukan membran sel mengontrol diferensiasi sel dan b. Kompleks vitamin A-CRBP masuk ke dalam nukleus sel sehingga mempengaruhi DNA3) Fungsi Kekebalan Mekanisme sebenarnya belum diketahui. Retinol tampaknya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan differensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral). Di samping itu kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel T (limfosit yang berperan pada kekebalan seluler). Dalam kaitannya vitamin A dan fungsi kekebalan ditemukan bahwa : a. Ada hubungannya kuat antara status vitamin A dan risiko terhadap penyakit infeksi pernapasan b. Hubungan antara kekurangan vitamin A dan diare c. Kekurangan vitamin A pada campak cenderung menimbulkan komplikasi yang dapat berakibat kematian. 4) Pertumbuhan dan Perkembangan Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, dengan demikian terhadap pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. d. Angka Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk vitamin A.Tabel 1. Angka kecukupan gizi vitamin A Golongan umurAKG (RE) Golongan umur AKG (RE)

AnakWanita

0-6 bulan37510-12 tahun600

7-12 bulan40013-15 tahun600

1-3 tahun40016-18 tahun600

4-6 tahun45019-29 tahun500

7-9 tahun50030-49 tahun500

50-64 tahun500

60 + tahun500

Laki-laki Hamil (+an)

10-12 tahun600Trimester 1+300

13-15 tahun600Trimester 2+300

16-18 tahun600Trimester 3+300

19-29 tahun600

30-49 tahun600Menyusui (+an)

50-64 tahun6006 bulan pertama(+350)

60 + tahun 6006 bulan kedua(+350)

Sumber depkes 2004.

e . Suplementasi Vitamin A Dosis Tinggi Kapsul vitamin A yang digunakan dalam kegiatan suplementasi vitamin A adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi.

Kapsul vitamin A biru dengan dosis 100.000 IU hanya diberikan untuk bayi usia 6-11 bulanKapsul vitamin A merah dengan dosis 200.000 IU hanya diberikan untuk anak balita dan ibu nifas.

Gambar 2. Kapsul Vitamin A Dosis Tinggi

f . Sasaran Vitamin A

Tabel 2. Sasaran Suplemen Vitamin A SasaranDosisFrekuensi

Bayi 6-11 bulanKapsul biru (100.000 SI)1 kali

Anak balita 12-59 bulanKapsul merah (200.000 SI)2 kali

Ibu nifas (0-42 hari )Kapsul Merah (200.000 SI)2 kali

Sumber depkes 2009.

g. Suplementasi Vitamin A Pada Bayi dan Balita 1. Waktu Pemberian Suplementasi Vitamin A Dosis Tinggi Untuk Bayi dan Anak Balita. Suplementasi vitamin A diberikan kepada seluruh anak balita umur 6-59 bulan secara serentak :a. Untuk bayi umur 6-11 bulan pada bulan Februari atau Agustus b. Untuk anak balita umur 12-59 bulan pada bulan Februari dan Agustus2. Tenaga Yang Memberikan Suplementasi Vitamin A Pada Bayi dan Anak Balita a. Tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, tenaga gizi dll)b. Kader terlatih 3. Cara Pemberian Sebelum dilakukan pemberian kapsul, tanyakan pada ibu balita apakah pernah menerima kapsul vitamin A pada satu bulan terakhir. a. Berikan kapsul biru (100.000 SI) untuk bayi dan kapsul merah (200.000 SI) untuk balita b. Potong ujung kapsul dengan menggunakan yang bersihc. Pencet kapsul dan pastikan anak menelan semua isi kapsul (tidak membuang sedikitpun isi kapsul) d. Untuk anak yang sudah bisa menelan dapat diberikan langsung satu kapsul untuk diminum. 4. Tempat Pemberian a. Sarana fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas pembantu (pustu), polindes/poskesdes, balai pengobatan ) b. Posyandu c. Sekolah taman kanak-kanak, pos PAUD termaksud kelompok bermain, tempat penitipan anak, dan lain-lain.

2. Sistem Pernapasan a. Embriologi Sistem Pernapasan 1) Perkembangan Pranatal : a) Periode Embrionik : periode ini dimulai kira-kira minggu ke 4 kehamilan. Awalnya munculnya respiratori primitif muncul sebagai tonjolan keluar (divertikulum) di bagian ventral pada epitelium endodermal usus depan. Tonjolan keluar ini segera membelah menjadi dua tangkai tunas bronkial utama,yang dengan cepat masuk ke dalam mesenkim yang memisahkan usus depan dan rongga selomik. Pembuluh darah paru berasal dari mesenkim. Segera setelah pembuluh darah muncul, tunas bronkial dikelilingi oleh suatu pleksus pembuluh darah yang berasal dari aorta dan akan mengalir ke vena-vena somatik mayor. Seluruh struktur pendukung paru, termaksud pleura, septum paru, otot polos, kartilago dan jaringan ikat yang meliputi saluran napas, berasal dari mesenkim. b) Periode Pseudoglandular : menuju minggu ke enam kehamilan. Saluran respiratori utama telah terbentuk dan memiliki hubungan erat dengan arteri dan vena pulmonal. Pada periode ini saluran respiratori terus membentuk cabang hingga seluruh sistem saluran respiratori terbentuk.c) Periode Kanalikular : periode ini berlangsung antara minggu ke 16 dan minggu ke 26-28. Pertumbuhan epitel yang lebih pesat pada periode ini daripada mesenkimal. Akibatnya pertumbuhan bronkial menjadi tampak lebih tubular , sementara distalnya membagi untuk membentuk pondasi struktural asinus paru. Pada periode ini memungkinkan terjadinya pernapasan minggu ke 22. d) Periode Sakular : pada saat ini, saluran respiratori terminal terus melebar dan membentuk struktur silindris yang disebut sakular. e) Periode Alveolar : pada janin manusia, pembentukan septum sakula yang dimulai dengan munculnya krista-krista sekunder terjadi dengan cepat, sehingga struktur multifaset yang analog dengan alveolus paru matur dapat dilihat minggu ke 32 kehamilan. b. Anatomi Sistem Pernapasan1) Rongga Hidung : organ yang pertama kali dilewati oleh udara. Hidung memberikan kelembaban dan pemanasan udara pernapasan sebelum masuk ke nasofaring. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas sampai bawah. Rongga hidung memiliki 4 dinding dan pada dinding lateralnya terdapat 3 buah konka yaitu konka superior, konka media, dan konka inferior. Rongga yan terletak diantara konka disebut sebagai meatus dan meatus sendiri di bagi menjadi 3 yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dan dasar hidung dengan dinding lateral rongga hidung. Meatus medius terletak dibawah konka medius dan merupakan saluran penting karena hampir seluruh sinus bermuara di saluran ini sedangkan meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis.

Gambar 3. Anatomi hidung

2) Faring : faring memiliki 3 bagian yang terdiri dari nasofaring yaitu bagian yang langsung berhubungan dengan rongga hidung, kemudian dilanjutkan dengan orofaring dan terakhir adalah laringofaring

Gambar 4. Anatomi faring

3) Laring : terletak setinggi servikal 6, berperan pada proses fonasi sebagai katup untuk melindungi saluran respiratori bawah. Epiglotis merupakan tulang rawan yang berbentuk seperti lembaran yang melekat pada dasar lidah dan tulang rawan tiroid. Tiroid merupakan tulang rawan yang membentuk jakun (adams apple). Pada bagian dalam laring terdapat 2 lipatan yang menyatu pada bagian depan serta memiliki mukosa yang berwarna merah yang disebut sebagai pita suara palsu. Pada bibir bawah ventrikel yang dibentuk oleh otot yang disebut sebagai pita suara asli.

Gambar 5. Anatomi laring4) Trakea : merupakan bagian dari saluran pernapasan yang bentuknya menyerupai pipa serta memanjang mulai dari bagian inferior laring yaitu setinggi servikal 6 sampai daerah percabangannya yaitu antara torakal 5-7. Panjangnya sekitar 9-15 cm yang terdiri dari 15-20 kartilagi hialin yang berbentuk menyerupai huruf c dengan bagian posterior yang tertutup oleh otot.

Gambar 6. Anatomi trakea

5) Bronkus : merupakan percabangan dari trakea yang mencabangkan 2 bronkus utama kanan dan kiri. Bronkus utama kiri memiliki rongga yang sempit dan lebih horizontal bila dibandingkan dengan yang kanan daripada yang kiri. Bronkus lalu bercabang lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi dan halus yang disebut sebagai bronkiolus.

Gambar 7. Anatomi bronkus dan bronkiolus

6) Alveolus : bronkiolus berakhir pada struktur yang menyerupai kantungyang dikenal sebagai alveolus. Alveolus berdiameter 0,1 mm dengan ketebalan dinding hanya beberapa mikronmeter. Pertukaran gas terjadi secara difusi pasif bergantung pada gradient konsentrasi.

Gambar 8. Anatomi alveolus

c. Histologi Saluran Pernapasan.Sistem respirasi secara fungsional dibagi menjadi dua bagian konduksi dan bagian respiratorik. Bagian konduksi terdiri rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis dan bagian yang terdiri atas bronkiolus respiratorius, ductus alveolaris, dan alveoli.Epitel silindris bersilia merupakan epitel yang melapisi bagian konduksi yang dikenal sebagai epitel respiratorik yang mempunyai 5 macam jenis sel silindris, sel goblet mukosa, sel sikat, sel granul kecil dan sel basal.

1. Hidung : sebagian besar rongga hidung terdiri dari epitel toraks berlapis semu bersilia dengan sel goblet dan juga terdapat epitel olfaktori yang berfungsi mempersepsikan bau. 2. Faring : dilapisi oleh epitel respiratorik mulai dari nasofaring, orofaring dan laringofaring. 3. Laring : seluruh permukaan lingual dan apikal laring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng namun pada beberapa titik permukaan laringeal epitel berubah menjadi epitel bertingkat silindris. Sedangkan pada pita suara palsu dilapisi epitel respiratorik yang dibawah nya terdapat kelenjar seromukosa dan pada pita suara asli dilapisi oleh epitel skumamosa berlapis dan memiliki berkas serat elastis pararel. 4. Trakea : dinding trakea dilapisi epitel bertingkat silindris,bersilia dan bersel goblet. Trakea terdiri dari tulang rawan hialin yang berderet dan membentuk huruf C. 5. Bronkus : dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia dan pada lamina propria tipis mengandung jaringan ikat halus dengan banyak serat elastin . submukosa mengandung kelenjar serosa, mukosa atau asini mukosa. 6. Bronkiolus : bronkiolus ukuran besar dilapisi epitel selapis thoraks, bersilia dan bersel goblet dan bronkiolus ukuran kecil dilapisi epitel selapis kubus, tak bersilia dan rendah. Lamina propria tidak terdapat kelenjar maupun tulang rawan. 7. Bronkiolus terminalis : mukosa yang berombak dan epitel silindris bersilia, tidak ada sel goblet. Lamina propria tipis. 8. Bronkiolus respiratorius : dilapisi epitel kuboid rendah dan terdapat serat otot polos, elastin dan kolagen. Bagian terminal setiap bronkiolus respiratorius bercabang menjadi beberapa duktus alveolaris. 9. Alveolus : merupakan kantong kecil yang dibatasi dengan epitel selapis gepeng yang sangat tipis yang disebut sebagai sel pneumosit I . selain itu juga terdapat sel pneumosit II yang berbentuk sel epitel kuboid yaitu sel septal yang berfungsi menghasilkan produk kaya fosfolipid (surfaktan) yang berfungsi menutupi menutupi permukaan sel alveolar, membasahi dan menurunkan tegangan permukaan alveolar sehingga menstabilkan diameter alveoli dan mencegah kolaps alveoli selama respirasi

d. Fisiologi Pernapasan. Sistem respirasi terdiri dari saluran napas yang menuju paru dan struktur dada yang menyebabkan aliran udara masuk dan keluar paru melalui saluran pernapasan. Saluran pernapasan merupakan suatu tabung atau pipa yang mengangkut udara antara atmosfer dan kantung udara (alveolus). Alvelous adalah tempat pertukaran gas satu-satunya antara udara dan darah. Udara masuk pertama kali melewati hidung lalu masuk ke dalam faring yang merupakan saluran bersama antara saluran pernapasan dengan pencernaan. Faring bercabang menjadi dua menjadi trakea dan esofagus, dimana udara yang masuk melalui hidung akan masuk ke dalam faring dan berlanjut ke trakea namun udara juga dapat masuk ke dalam esofagus. Setelah udara masuk meleawati faring, udara akan masuk ke dalam laring yang disana terdapat pita suara yang pada saat udara masuk akan terjadi getaran yang dapat menimbulkan berbagai suara bicara. Di belakang laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri lalu akan bercabang lagi menjadi lebih kecil (bronkiolus) lalu menjadi alveolus yang merupakan tempat pertukaran gas yang berdinding tipis yang dapat mengembang dan dikelilingi oleh kapiler paru (Fisiologi Sherwood, 2011).

3. Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA)Yang dikatakan sebagai ISPA adalah infeksi yang mengenai saluran napas atas berserta adneksanya dan juga saluran napas bawah hingga parenkim paru yang berlangsung selama 14 hari. Infeksi saluran napas atas terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis, rinosinusitis, dan otitis media. Sedangkan infeksi saluran napas bawah terdiri dari epiglotitis, croup (laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia (Respirologi Anak, 2008)

a. Etiologi Penyebab ISPA : 1) Virus : Rhinovirus, virus parainfluenza, adenovirus, virus influenza. 2) Bakteri : staphylococcus aureus, Streptococcus pygones, Diplococcus pneumoniae, Pneumocccus, Haemophilus influenzae3) Jamur : Aspergillus sp, candida albicans, histoplasma 4) Aspirasi : makanan, asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak (minyak tanah), cairan amnion saat lahir, benda asing (biji-bijian, mainan plastik) (Widoyono,2008)

b. Faktor Resiko Yang Mempengaruhi ISPA : 1) Usia : berdasarkan data yang didapatkan penderita ISPA terbesar pada usia di bawah 5 tahun dengan presentase 50% dan anak yang berusia 5-12 tahun sebesar 30%. 2) Jenis kelamin : pada umumnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan namun berdasarkan penelitian terdapat sedikit perbedaan yaitu pada anak berusia di atas 6 tahun insidensi tertinggi pada jenis kelamin laki-laki. 3) Status Gizi : gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini disebabkan karena gangguan sistem imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Dari hasil penelitian anak yang mengalami defisiensi vitamin A mengalami ISPA dua kali lebih banyak dibandingkan yang tidak defisiensi. Oleh karena itu selain perbaikan gizi dan pemberian ASI dilakukan pula perbaikan atas defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA4) Pemberian air susu ibu (ASI) : ASI memiliki nilai proteksi yang tinggi terutama terhadap pneumonia khususnya pada 1 bulan pertama. Pemberian ASI dengan waktu yang lama mempunyai proteksi terhadap ISPA selama satu tahun pertama.5) Berat badan lahir rendah (BBLR) : di negara berkembang kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR6) Imunisasi : dapat menurunkan faktor resiko terhadap angka kejadin ISPA 7) Pendidikan orang tua : tingkat pendidikan berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi dan juga berkaitan dengan tingkat pengetahuan orang tua yang nanti akan berujung terhadap ketidaktahuan orang tua terhadap gejala penyakit, pengobatan dan pencegahan. 8) Status ekonomi : status ekonomi yang nanti akan berkaitan dengan asupan nutrisi, lingkungan dan penerimaan layanan kesehatan. 9) Polusi udara : polusi udara berkaitan dngan konsentrasi polutan yang mengiritasi mukosa saluran pernapasan. 10) Bencana alam : bencana alam seperti tsunami dapat menyebabkan peningkatan kasus ISPA dan dapat menyebabkan kematian ISPA khususnya pneumonia (Respirologi Anak, 2008)

c. Klasifikasi ISPA Atas : 1). Rinitis Merupakan istilah konvensional untuk infeksi saluran pernapasan atas ringan dengan gejala utama hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorok, dan batuk. Terjadi secara akut dan dapat sembuh spontan. Etiologi Paling sering disebabkan oleh rhinovirus, virus para influenza, RSV dan coronavirus. Epidemiologi Merupakan salah satu penyakit yang paling tersering terjadi pada anak. Rata-rata 6-8 kali per tahun pada anak-anak dan 2-4 kali pertahun pada dewasa.

Diagnosa Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakit yang diperoleh dari anamnesis lengkap. Pemeriksaan fisik menunjukkan gambaran yang khas. Pengobatan 1. Nonmedikamentosa : Pemberian cairan yang adekuat dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal pada tenggorokan. 2. Medikamentosa : Obat-obat yang bersifat simptomatis. Pada bayi dan anak diberikan asetaminofen (ibuprofen)a) Antihistamin : Berdasarkan penelitian antihistamin tidak mengubah perjalanan penyakit. Efek samping dari antihistamin dapat memperparah penyakit. b) Antitusif : Sama halnya seperti antihistamin, antitusif tidak memberikan manfaat secara klinis. c) Dekongestan : Merupakan obat simptomatik yang bersifat vasokonstriksi mukosa hidung. Obat yang sering digunakan adalah pseudoefedrine hydrocloride, phenylephrine hydrocloride. d) Antibiotik : Meskipun diketahui bahwa antibiotik tidak bermanfaat pada infeksi virus, pada kenyataanya diberikan pada ISPA tanpa disertai komplikasi. Pemberian antibiotik hanya direkomendasikan pada kondisi yang jelas berhubungan dengan infeksi sekunder bakteri. Komplikasi Otitis media, rinosinusitis,infeksi saluran napas bawah,eksaserbasi asma.

2). Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis Akut. Menunjukkan semua infeksi akut pada faring, termaksud tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain disekitarnya. Epidemiologi Merupakan penyebab tersering selain dari rinitis. Paling sering terjadi pada anak namun jarang terjadi pada anak di bawah usia 1 tahun. Angka kejadian meningkat sesuai dengan bertambahnya usia dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun dan berlanjut hingga dewasa. Etiologi : Faringitis disebabkan oleh bakteri dan virus yang merupakan manifestasi tunggal ataupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi tersering dari faringitis akut. Terutama pada anak usia kurang dari 3 tahun. Virus penyebab penyakitnya antara lain Adenovirus, Rhinovirus, virus parainfluenza. Sedangkan bakteri penyebab faringitis streptokokus beta hemolitikus grup A. Manifestasi klinis Gejala yang disebabkan oleh bakteri biasanya nyeri tenggorok dengan awitan mendadak,disfagia dan demam dan biasanya demam mencapai 40C. Sedangkan gejala yang disebabkan oleh virus seperti rinore, suara serak, batuk, konjungtivitis dan diare. Diagnosis Sulit membadakan antara faringitis streptokokus dan faringitis virus hanya berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Baku emas penegakaan diagnosa faringitis bakteri atau virus adalah pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pengobatan Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus. Istirahat yang cukup dan pemberian cairan sesuai merupakan terapi suportif yang dapat diberikan. Selain itu pemberian gargles (obat kumur) dan lozzes (obat hisap) untuk mengurangi nyeri tenggorok pada anak dewasa dan jika terdapat keluhan demam diberikan ibuprofen atau paracetamol. Pada infeksi faringitis yang disebabkan oleh bakteri diberikan antibiotik seperti penisilin oral 15-30 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 hari selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan penisilin. Jika pasien alergi dengan penisilin dapat diberikan eritromisin suksinat 40mg/kgbb/hari, eritromisin estolat 20-40 mg/kgbb/hari. Tonsilektomi dilakukan jika terdapat keluhan tonsilifaringitis berulang atau kronik. Keputusan untuk melakukan operasi didasarkan pada gejala dan tanda yang terkait secara langsung terhadap hipertrofi, obstruksi dan infeksi kronik pada tonsil dan struktur terkait. Tonsilektomi sedapat mungkin dihindari pada anak berusia dibawah 3 tahun. Komplikasi Komplikasi faringitis virus sangat jarang karena bersifat self limiting diseases namun beberapa kasus berlanjut menjadi otitis media purulen. Sedangkan komplikasi faringitis bakteri terjadi komplikasi akibat penyebaran secara hematogen ataupun secara langsung. Penyebab dari penyebaran langsung antara lain rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau parafaringeal. Komplikasi yang disebabkan oleh penyebaran bakteri secara hematogen yaitu meningitis, osteomielitis atau artitis septik.

3). Otitis media. Infeksi saluran telinga meliputi infeksi telinga luar (otitis eksterna, saluran telinga tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis) dan telinga telinga bagian dalam (labyrinithis). Otitis media adalah inflamasi telinga tengah berhubungan denga efusi telinga tengah yang merupakan penumpukan cairan di telinga tengah. Epidemiologi Delapan puluh lima persen anak memiliki episode otitis media akut paling sedikit 1 kali dalam 3 tahun pertama kehidupan dan 50% anak mengalami 2 episode atau lebih. Anak yang menderita otitis media pada tahun pertama, mempunyai resiko otitis media kronik ataupun otitis media berulang. Manifestasi klinis Gejala diawali dengan infeksi saluran napas yang kemudian disertai keluhan nyeri telinga, demam, anoreksia, irritabel atau juga muntah, malas minum dan sering menangis. Pada anak dengan usia lebih besar biasanya keluhan tidak nyaman pada telinga dan rasa nyeri

Diagnosis Melalui pemeriksaan membran timpani dengan pemeriksaan otoskopi yang didapatkan gerakan membran timpani yang berkurang, cembung, kemerahan dan keruh dan dapat juga disertai dengan purulen.Pengobatan Terapi kausatif tergantung berdasarkan uji sensitivitas kuman. Sebelum hasil uji sensitivitas amoksisilin oral merupakan antibiotik pilihan awal. Amoksisilin dengan dosis 40 mg/kgbb/24 jam, 3 kali sehari selama 10 hari. Pada otitis media tanpa komplikasi pemberian antibiotika selama 5 hari. Selain diberikan terapi kausatif, diberikan juga terapi suportif seperti analgetik, antipiretik, dekongestan. Pada pasien dengan nyeri berat dapat dilakukan miringotomi.

d. Klasifikasi ISPA Bawah 1) Rinosinusitis Rinitis biasanya dibuat atas dasar adanya keluhan rinore, hidung tersumbat dan bersin-bersin atau hidung gatal. Adapun definisi sinusitis adalah inflamasi pada sekurang-kurangnya satu sinus paranasal. Gejala sinusitis bervariasi mulai dari ringan sampai berat. Pasien datang dengan keluhan batuk kronik, post nasal drip, sakit kepala. Etiologi Sejak awal kelahiran, anak sudah menjadi faktor predisposisi rinosinusitis paranasal. Pada usia anak yang lebih muda, sinus etmoid dan sinus maksila sering terlibat sedangkan pasa usia yang lebih tua sinus sfenoid dan frontal lebih sering terlibat dan rinitis alergik lebih sering terjadi. Di Poliklinik Respirologi Anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dari 823 anak dengan batuk kronis berulang, 321 di antaranya berusia di atas 5 tahun dan 73 menderita rinosinusitis.

Klasifikasi : Pembagian rinosinusitis menurut the consensus Panel for pediatric rhinosinusitis : 1. Rinosinusitis akut yaitu infeksi sinus dengan resolusi gejala yang komplit dalam waktu 12 minggu. Rinosinusitis akut dapat dikategorikan menjadi severe atau nonsevere berdasarkan gejala klinis yang timbul. American Academy of Pediatric membagi kelompok menjadi akut dan sub-akut. Akut apabila gejala kurang dari 30 hari dan sub-akut 30-90 hari (12 minggu). 2. Rinosinusitis kronik : infeksi sinus dengan gejala yang ringan-sedang yang menetap lebih dari 12 minggu. 3. Rinosinusitis akut berulang yaitu beberapa episode akut dengan diselingi masa sembuh diantara 2 episode. Sebaliknya jika antara 2 episode pasien tidak pernah sembuh benar maka dikategorikan sebagai eksaserbasi akut rinosinusitis kronik. Etiologi : 1. Patogen akut dan subakut : a. Streptokokus pneumoniae, 20-30% b. Hemophilus influenza,15-20%c. Streptokokus pyogenes 5%2. Patogen kronis : a. Streptokokus alpha hemolitikusb. Staphylokokus aureusc. Haemophilus influenzaeFaktor predisposisi : 1. Rinitis alergik 2. Kelainan anatomi 3. Defisiensi imun4. Penyakit GER5. Alergi fungus

Diagnosis : 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik : rinitis ditandai dengan adanya rinore, hidung tersumbat, bersin-bersin atau gatal. Sinusitis akut ditandai dengan nyeri pada wajah, hidung tersumbat, ingus purulen atau post nasal drip, hiposmia/anosmia dan demam. 2. Pemeriksaan penunjang : Foto radiologis baku untuk diagnosis adalah gambaran yang sugestif konfirmasi sinusitis adalah perkabutan komplit, penebalan mukosa sedikitnya 4 mm atau adanyan air fluid level. a. Waters (occipitomental) untuk melihat sinus frontalis dan maksilarisb. Caldwell (postero anterior) untuk melihat sinus frontal dan etmoid c. Lateral untuk melihat sinus sphenoid dan adenoid. 3. Pemeriksaan mikrobiologi : Pemeriksaan baku emas adalah spesimen yang didapatkan dari pungsi atau aspirasi sinus maksilaris, namun hal ini tidak rutin dikerjakan pada anak karena memerlukan anastesi umum. Pengobatan Pemberian antibiotik, irigasi nasal dengan salin, steroid topikal dan dekongestan. 1. Antibiotik : Pemberian antibiotik merupakan pengobatan medis utama pada anak yang diberikan selama 10-14 hari atau 1 minggu setelah perbaikan gejala. Pengobatan memperlihatkan perbaikan pada pemberian amoksisilin. Untuk anak yang alergi dengan golongan penisilin diberikan sefalosporin generasi kedua atau ketiga, selain itu juga dapat diberikan trimetropim-sulfametoksazol. 2. Efikasi irigasi sinus dengan salin pada pengobatan rinosinusitis akut dan kronis bertujuan untuk meningkatkan pergerakan mukosiliar dan vasokonstriksi. 3. Dekongestan topikal dapat memperbaiki keadaan dan memberikan rasa nyaman yang diberikan selama 4-5 hari pertama pengobatan medis.

2). Epiglotitis : Infeksi yang sangat serius dari epiglotis dan struktur supraglotis yang berakibat obstruksi jalan napas akut dan menyebabkan kematian jika tidak diobati.

Epidemiologi Epiglotitis terjadi pada anak berusia 2-7 tahun dengan puncak usia 3,5 tahun. Selama 13 tahun terakhir di Amerika Serikat (AS), rata-rata usia pasien epiglotis adalah 35-80 bulan. Etiologi Haemophilus influenzae tipe B, S.aureus, S.pnemoniae, C.albicans, virus dan trauma. Gejala Secara klasik ditandai dengan demam tinggi mendadak dan berat, nyeri tenggorok, sesak napas, diikuti dengan obstruksi saluran respiratori yang progresif. Pada anak yang lebih besar, didahului dengan nyeri tenggorok dan disfagia, pasien lebih menyukai posisi duduk, badan membungkuk ke depan dengan mulut terbuka dan leher ekstensi (sniffing position) sedangkan pada anak kecil, keadaan umum awalnya baik, kemudian anak terbangun di malam hari dengan panas tinggi, afonia, lidah terjulur disertai gawat napas (respiratory distress) sedang hingga berat dan stridor inspirasi. Diagnosis Ditegakkan atas dasar ditemukannya epiglotis yang besar dan bengkak dan berwarna merah ceri, dengan pemeriksaan langsung ataupun laringoskopi. Pada laringoskopi terlihat radang epiglotis yang berat dan kadang-kadang disertai peradangan di daerah sekelilingnya, termaksud aritenoid dan lipatan ariepiglotis, plika vokalis dan daerah subglotis. Apabila anak diduga menderita epiglotis, pemeriksaan menggunakan spatula lidah harus dihindari karena menimbulkan refleks laringospasme dan obstruksi total akut, aspirasi sekret serta henti kardiorespirasi. Pengobatan 1. Intubasi atau trakeostomi : dapat dilakukan tanpa memandang derajat gawas napas yang terlihat. Lama intubasi adalah 2-3 hari yaitu hingga tampak perbaikan inflamasi.2. Antibiotik : diberikan secara intravena berupa sefalosporin generasi ketiga seperti sefotaksim atau seftriakson. Sefotaksim diberikan selama 7-10 hari dan anak bebas demam selama 2 hari, sedangkan seftriakson dosis tunggal sehari dapat diberikan selama 5 hari. Prognosis Pasien yang meninggal sebagian besar disebabkan oleh obstruksi jalan napas dan komplikasi trakeostomi.

3). CROUP ( Laringotrakeobronkitis Akut) Suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. Epidemiologi Biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-6 tahun, dengan puncaknya pada usia 1-2 tahun. Namun pada sindrom croup dapat terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. Lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan rasio 3:2. Etiologi Virus merupakan penyebab tersering dari sindrom croup (sekitar 60% kasus) : Human parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV 2, HPIV 3 dan HPIV 4, virus Influenza A dan B, Adenovirus. Gejala klinis Didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi selama 12-72 jam, hidung berlendir, nyeri menelan dan batuk ringan. Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara parau dan kasar. Gejala sistemik menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stridor, inspiratorik yang berat, retraksi dan anak tampak gelisah dan akan bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering menangis, rewel dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong.

Diagnosis Ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologis tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisis. Pengobatan Tatalaksana utama adalah mengatasi obstruksi jalan napas. Pasien berusia di bawah 6 bulan dengan gejala terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik dan tidak ada respon terapi diharuskan dirawat di RS. 1. Terapi inhalasi : terapi uap digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan napas pada sindrom croup. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori, meringankan inflamasi, mengencerkan lendir pada saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan menenangkan bagi anak. 2. Epinefrin : nebulisasi menggunakan epinefrin sudah digunakan sejak 30 tahun dan pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak diperlukan. Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vaskular epitel bronkus dan trakea,memperbaiki edema mukosa laring dan meningkatkan laju udara pernapasan.3. Kortikosteroid : mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme antiradang. a) Deksametason : dosis 0,6 mg/kgbb per oral/IM sebanyak satu kali dan dapat diulang dalam 6-24 jam. b) Prednison atau prednisolon : dosis 1-2 mg/kgBBc) Budesonid : larutan 2-4 mg budesonid (2 ml) diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. 4. Intubasi endotrakeal : merupakan terapi alternatif selain trakeostomi untuk mrngatasi obstruksi jalan napas. Indikasi adanya hiperkarbia dan ancaman gagal napas.Komplikasi Pada 15 % kasus dilaporkan terjadi otitis media, dehidrasi dan pneumonia (jarang terjadi)

4). Bronkitis Akut Proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai akut serta biasanya akan membaik tanpa terapi. Etiologi a) Bronkitis akut virus : Rhinovirus, RSV, virus Influenza, virus Parainfluenza, Adenovirus, virus Rubeola dan paramyxovirus. 1) Gejala dan tanda : batuk biasanya muncul 3-4 hari setelah rinitis. Batuk pada mulanya keras dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan produktif. Pemerikasaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam ronkhi, suara napas berat dan kasar, wheezing, ataupun suatu kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan peningkatan corakan bronkial. Pada umumnya, gejala akan menghilang dalam 10-14 hari. Bila tanda-tanda klinis menetap hingga 2-3 minggu, perlu dicurigai adanya proses kronis. 2) Terapi : terapi bersifat supportif. Istirahat yang cukup, kelembaban udara yang cukup, masukan cairan yang adekuat, serta pemberian asetaminofen pada keadaan demam bila perlu. Antibiotik sebaiknya tidak digunakan bila dicuragai adanya infeksi bakteri atau dengan pemeriksaan penunjang. Obat-obat penekan batuk sebaiknya tidak diberikan, karena batuk diperlukan untuk mengeluarkan sputum.

b) Bronkitis akut bakteri : jumlah kasus lebih sedikit dibandingkan dengan bronkitis virus. 1) Etiologi : staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae, Mycoplasma pneumoniae, Bordetella pertussis, corynebacterium diphteriae. 2) Gejala : batuk kuat berturut-turut dalam satu ekspirasi, yang diikuti dengan usaha keras dan mendadak untuk inspirasi sehingga menyebabkan timbulnya whoop. Batuk ini menghasilkan mukus yang kental dan lengket. Muntah pasca batuk (posttusive emesis). 3) Diagnosis : dapat dipastikan dengan pemeriksaan kultur dari sekresi mukus. 4) Pengobatan : bersifat supportif. Pemberian antibiotik dan membunuh kuman dari nasofaring dalam waktu 3-4 hari sehingga dapat mengurangi penyebaran penyakiy.Perjalanan dan prognosis Bergantung pada penatalaksanaan yang tepat atau mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal dari penyakit yang mendasarinya.

5). Bronkiolitis Penyakit infeksi saluran napas akut bagian bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya disebabkan oleh virus. Etiologi Sekitar 95 % disebabkan oleh invasi RSV selain itu disebabkan Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus dan mikoplasma namun belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri. Epidemiologi Bronkiolitis merupakan infeksi saluran napas tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% diantaranya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun.

Diagnosis a) Anamnesis : gejala awal akibat infeksi virus ringan seperti pilek ringan, batuk dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya ditemui wheezing, sianosis, merintih (gruntting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan penurunan napsu makan. b) Pemeriksaan fisik : didapatkan adanya takipnea, takikardi dan peningkatan suhu di atas 38,5C selain itu juga dapat ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis, napas cuping hidung dan retraksi interkostal, didapatkan ronkhi pada pemeriksaan auskultasi paru.c) Pemeriksaan penunjang : pada pemeriksaan rontgen didapatkan gamabaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy infiltrates), gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal dan aspirasi. Untuk menemukan virus penyebab dilakukan pemeriksaan dilakuan tes PCR (polymerase chain reaction). d) Penentuan diagnosa dilihat dari manifestasi klinis dan juga memperhatikan epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus dan musim-musim tertentu dalam satu tahun. Pengobatan Bersifat suportif yaitu pemberian oksigen, minimal handling bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan dan penyesuaian lingkungana agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan nutrisi. 6). Pneumonia Inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikrooeganisme virus/bakteri dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi). Epidemiologi Merupakan masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar di Afrika dan Asia Tenggara.Etiologi a) Bakteri : Streptococcus pneumoniae, E coli, Pseudomonas sp, Haemophillus influenzae tipe B dan Staphylococcus aureusb) Virus : RSV, Rhinovirus dan Parainfluenzae Manifestasi klinis a) Gejala infeksi umum : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare. b) Gejala gangguan respiratori yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, merintih dan sianosis. c) Pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Umumnya pada auskultasi tidak ditemukan kelainan. Diagnosis Berdasarkan dari gejala klinis, klasifikasi penyakit dan menentukan dasar pemakaian antibiotik. Gejala klinis meliputi napas cepat, sesak napas dan berbagai tanda bahaya. Pengobatan Dasar penatalaksanaan dari pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik sesuai serta tindakan suportif. Tindakan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit dan gula darah. Penggunaan antibiotik merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.Komplikasi Empiema torasis, perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta.

e. Pencegahan dan Pemberantasan Pencegahan dapat dilakukan dengan : a) Menjaga keadaan gizi agar tetap baik. b) Immunisasi. c) Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan. d) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA. Pemberantasan yang dilakukan adalah : a) Penyuluhan kesehatan yang terutama di tujukan pada para ibub) Pengelolaan kasus yang disempurnakan. c) Immunisasi Pelaksana pemberantasan Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama. Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya. Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan sangat membantu menemukan kasus-kasus pneumonia yang perlu mendapat pengobatan antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlusegera dirujuk ke rumah sakit . Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut : a) Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau sarana dan tenaga yang tersedia. b) Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis. c) Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu. d) Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke rumah sakit. e) Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada ibu-ibu yang mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah f) Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri wewenang mengobati penderita penyakit ISPA g) Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA h) Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA. menditeksi hambatan yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian target. Paramedis Puskesmas a) Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai petunjuk yang ada. b) Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus ISPA tertentu seperti pneumoni berat, penderita dengan weezhing dan stridor. Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader. c) Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu. d) Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA. Kader kesehatan a) Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia. b) Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakitc) Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan pneumonia) dengan tablet parasetamol dan obat batuk tradisional obat batuk putih. d) Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.e) Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk.

B. Kerangka Konsep

Faktor resiko : Usia Jenis kelaminStatus gizi Pemberian ASI Berat badan lahir rendah Imunisasi Pendidikan orang tua Status sosial ekonomi Polusi udara Penyakit lain bencana alam

Vitamin A

Etiologi

Pemberian kapsul vitamin A

Virus Rhinovirus Coronavirus Parainfluenza

Infeksi saluran napas akut

Bakteri Streptokokus grup A Keterangan : : variabel yang diteliti

Bagan 1. Kerangka teori

C. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Pemberian vitamin A

ISPA

Bagan 2. Kerangka konsep

D. Hipotesis PenelitianHa : Ada hubungan antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian infeksi saluran napas akut di Puskesmas Kelurahan Rawa Terate periode September-November 2013.