BAB II
-
Upload
arum-puspita -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
Transcript of BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Endometrium
Endometrium merupakan lapisan dalam dinding kavum uteri yang
berfungsi sebagai bakal tempat implantasi hasil konsepsi dan dialiri oleh banyak
pembuluh darah, (Campbell, 2004). Selama siklus haid, jaringan endometrium
berproliferasi, menebal dan mengadakan sekresi, kemudian jika tidak ada
pembuahan/implantasi, endometrium rontok kembali dan keluar berupa
darah/jaringan haid. Jika ada pembuahan/implantasi, endometrium dipertahankan
sebagai tempat konsepsi. Fisiologi endometrium juga dipengaruhi oleh siklus
hormon-hormon ovarium.
Pada endometrium didapatkan lubang-lubang kecil, merupakan muara-
muara dari saluran-saluran kelenjar uterus yang dapat menghasilkan sekret alkalis
yang membasahi cavum uteri. Epitel endometrium berbentuk silindris.
Dalam kehamilan endometrium berubah menjadi desidua. Di bawah
pengaruh hormonal maka lapisan mukosa uterus mengalami perubahan-perubahan
tertentu hingga cukup baik untuk implantasi dan untuk memberi makanan pada
ovum.
Gambar 1. Organ Reproduksi Wanita
3
II. 2. Siklus Menstruasi
Istilah siklus menstruasi secara spesifik mengacu pada perubahan yang
terjadi dalam uterus. Melalui kesepakatan, hari pertama periode menstruasi
perempuan atau hari pertama menstruasi dinyatakan sebagai hari 1 dari siklus
tersebut. Fase aliran menstruasi ( Menstrual Flow Phase) siklus tersebut, saat
pendarahan menstruasi (hilangnya sebagian besar lapisan fungsional
endometrium) terjadi, umumnya berlangsung beberapa hari. Kemudian sisa
endometrium yang tipis lainnya mulai mengalami regenerasi dan menebal selama
seminggu atau dua minggu. Fase tersebut dinamakan fase proliferasi (Proliferasi
Phase) siklus menstruasi. Selama fase berikutnya yaitu fase sekresi (Sectretory
Phase) yang umumnya berlangsung sekitar dua minggu lamanya, endometrium
menebal mengandung lebih banyak pembuluh, dan mengembangkan kelenjar
yang mensekresikan cairan yang kaya glikogen, (Price, 2005).
Gambar 2. Siklus Menstruasi
Sumber : http://www.yalemedicalgroup.org/stw/images/161351.jpg diakses tanggal 21
oktober 2012
4
II. 3. Siklus Ovulasi
Siklus ini dimulai dengan fase folikel (Follicular cycle) saat beberapa
folikel di ovarium mulai tumbuh. Sel telur membesar dan pembungkus sel folikel
berlapis-lapis. Di antara beberapa folikel yang mulai tumbuh, umumnya hanya
satu yang membesar dan matang, sementara yang lainnya akan mengalami
disintegrasi. Folikel yang mengalami pematangan itu mengembangkan rongga
internal yang penuh cairan dan tumbuh menjadi sangat besar, dan membentuk
tonjolan dekat permukaan ovarium. Fase folikular berakhir dengan ovulasi, ketika
folikel dan dinding ovarium di dekatnya pecah sehingga melepaskan oosit.
Jaringan folikel yang tetap ada di ovarium setelah ovulasi berkembang menjadi
korpus luteum (jaringan endokrin yang mensekresikan hormone betina) selama
fase luteal (Luteal Phase), (Guyton, 2007).
Gambar 3. Siklus Ovulasi
II. 4. Hormon, Siklus Ovarium, dan Siklus Menstruasi
Hormon mengkoordinasikan siklus menstruasi dan siklus ovarium
sedemikian rupa sehingga folikel dan peristiwa ovulasi dan siklus sedemikian
rupa sehingga folikel dan peristiwa ovulasi disinkronasikan dengan persiapan
dinding uterus untuk kemungkinan implantasi embrio. Lima hormon yang
berpartisipasi dalam skema rumit yang melibatkan baik umpan balik negatif
maupun positif. Hormon-hormon tersebut adalah hormon pembebas gonadotropin
(GnRH), yang disekresikan oleh hipotalamus, hormone perangsang folikel (FSH)
5
dan hormone luteinisasi (LH), yang merupakan dua gonadotropin yang dihasilkan
oleh hipofisis anterior dan estrogen serta progesteron, yaitu dua hormone kelamin
yang disekresikan oleh ovarium, (Price, 2005).
Selama fase folikular siklus ovarium, pituitari mensekresikan sejumlah
kecil FSH dan LH sebagai respon terhadap rangsangan GnRH dari hipotalamus.
Pada waktu tersebut sel-sel folikel ovarium yang belum matang mempunyai
reseptor untuk FSH. FSH merangsang pertumbuhan folikel dan sel-sel folikel
yang sedang tumbuh ini mensekresikan estrogen. Peningkatan kadar estrogen
secara perlahan terjadi selama sebagian besar fase folikuler.
Peningkatan kecil kadar estrogen tersebut akan menghambat sekresi
hormon pituitari, sehingga mempertahankan kadar FSH dan LH relatif rendah
selama fase folikuler. Hubungan antar hormon tersebut berubah secara radikal dan
relatif mendadak ketika sekresi estrogen oleh folikel yang sedang tumbuh mulai
meningkat. Sementara peningkatan kadar estrogen yang terjadi dapat menghambat
sekresi hormon gonadotropin pituitari, estrogen dalam konsentrasi tinggi
mempunyai pengaruh berlawanan dan merangsang sekresi gonadotropin dengan
cara mempengaruhi hipotalamus untuk meningkatkan produksi GnRH. Pengaruh
itu lebih besar untuk LH karena konsentrasi estrogen yang tinggi, selain
merangsang sekresi GnRH, juga meningkatkan sensitifitas mekanisme pelepasan
LH di pituitari terhadap sinyal hipotalamus (GnRH). Pada saat itu, folikel telah
mempunyai reseptor terhadap LH dan dapat merespon terhadap petunjuk
hormonal ini. Dalam satu contoh umpan balik positif, peningkatan konsentrasi LH
yang disebabkan oleh peningkatan sekresi estrogen dari folikel yang sedang
tumbuh menginduksi pematangan akhir folikel tersebut, dan ovulasi terjadi sekitar
sehari setelah lonjakan kadar LH tersebut, (Price, 2005).
LH dapat merangsang transformasi jaringan folikel yang tertinggal di
ovarium untuk membentuk korpus luteum setelah ovulasi. Selama fase luteal
siklus ovarium, LH mempengaruhi korpus luteum setelah ovulasi. Selama fase
luteal siklus ovarium, LH mempengaruhi korpus luteum mensekresikan estrogen
dan hormone steroid kedua yaitu progesterone. Korpus luteum umumnya
mencapai perkembangan maksimalnya sekitar 8 sampai 10 hari setelah ovulasi.
Setelah kadar estrogen dan progesteron meningkat, kombinasi hormon-hormon
6
tersebut memberikan umpan balik negatif pada hipotalamus dan pituitari,
sehingga menghambat sekresi LH dan FSH. Mendekati akhir masa luteal, korpus
luteum akan lisis ( kemungkinan sebagai akibat prostaglandin yang disekresikan
oleh sel-sel itu sendiri). Konsekuensinya, konsentrasi estrogen dan progesteron
menurun. Penurunan kadar hormon ovarium tersebut membebaskan hipotalamus
dan pituitari dari pengaruh yang bersifat menghambat dari hormon-hormon
tersebut. Kemudian pituitari mulai mensekresikan cukup FSH untuk merangsang
pertumbuhan folikel baru di ovarium, yang mengawali fase folikuler siklus
ovarium berikutnya, (Guyton, 2007).
Estrogen yang disekresikan dalam jumlah yang semakin meningkat oleh
folikel yang sedang tumbuh, merupakan suatu sinyal hormonal ke uterus yang
menyebabkan endometrium menebal. Dengan demikian, fase folikel siklus
ovarium dikoordinasikan dengan fase proliferasi siklus menstruasi. Penurunan
cepat dalam kadar hormon ovarium ketika korpus luteum lisis menyebabkan
dinding ovarium menstruasi dan permulaan satu siklus menstruasi baru, (Guyton,
2007).
7
Gambar 4. Perubahan Hormon pada Siklus Menstruasi
Sumber : http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/menstrual-cycle-
gynecology-lecture.html diakses tanggal 21 oktober 2012
II. 5. Endometriosis
II. 5. 1. Definisi
Suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi
terdapat diluar kavum uteri dan diluar miometrium, (Prawihardjo, 2008). Definisi
lain tentang endometriosis yaitu terdapatnya kelenjar-kelenjar dan stroma
endometrium pada tempat-tempat diluar rongga rahim. Implantasi endometriosis
bisa terdapat pada ovarium, ligamen latum, cavum douglas, tuba falopii, vagina,
serviks, pada pusat, paru-paru, dan kelenjar-kelenjar limfa, (Rayburn, 2001).
Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di dalam miometrium
disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan jaringan
8
endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut endometriosis
eksterna atau endometriosis sejati, (Prabowo, Raden P, 2005).
II. 5. 2. Epidemiologi
Endometriosis merupakan salah satu masalah kesehatan pada wanita yang
cukup penting. Endometriosis diperkirakan terjadi sebanyak 3-10% pada wanita
usia reproduktif (usia 15-44 tahun), 25-35% pada wanita infertil, 1-2% pada
wanita yang menjalani sterilisasi, 10% pada operasi histerektomi, 16-31% pada
laparoskopi, dan 53% terjadi pada wanita dengan nyeri pelvis berat yang
memerlukan evaluasi pembedahan, (Fortner, 2007).
II. 5. 3. Etiologi
Menurut Sumilat, penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti,
para ahli mengatakan bahwa “banyak faktor yang menyebabkan penyakit
endometriosis, dapat berasal dari aliran menstruasi mundur dan implantasi,
metaplasia, predisposisi genetik, dan pengaruh lingkungan”. Orgasme saat
menstruasi dapat menimbulkan aliran menstruasi mundur dan endometriosis dapat
menurun ke wanita yang ibu atau saudara perempuan menderita endometriosis
karena terjadi penurunan imunitas pada penderita endometriosis, hal ini sesuai
dengan teori predisposisi genetik yang dikemukakan oleh Dmoski tahun 1995.
Beberapa teori muncul menyangkut faktor anatomis, imunologis,
hormonal, dan genetik, (Edmonds, DK., 2007).
1. Menstruasi retrograde
Menurut Sampson, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir
kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan
bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel
endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di
pelvic.
9
Gambar 5. Menstruasi Mundur dan Transplantasi
2. Faktor imunologis
Faktor imunologis spesifik yang berperan dalam implantasi endometriosis
seperti VEGF (vascular endothelial growth factor), MIF (migration inhibitory
factor), dan mediator radang (interleukin, TNF) diduga mengalami peningkatan
pada situs endometriosis.
3. Faktor hormonal
Aromatase, enzim pencetus produksi estrogen, telah ditemukan pada
implantasi endometriosis, walaupun belum ditemukan data bahwa aromatase juga
ditemukan pada endometrium normal. PGE2 (prostaglandin E2) berperan sebagai
induksi terkuat produksi aromatase pada implantasi endometriosis.
4. Metaplasia selomik
Teori mengemukakan sel potensial pada ovarium dan peritoneum
bertransformasi menjadi lesi endometriosis akibat stimulasi hormon dan paparan
hormonal berulang. Robert Meyer mengemukakan bahwa endometriosis terjadi
karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat
mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini menyebabkan
metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium.
10
II. 5. 4. Faktor Risiko
Wanita yang beresiko terkena penyakit endometriosis, yaitu (Wood, 2008) :
Wanita yang ibu atau saudara perempuannya pernah menderita endometriosis
Memiliki siklus menstruasi kurang atau lebih dari 27 hari
Menarche (menstruasi yang pertama) terjadi pada usia relatif muda (< 11 thn)
Masa menstruasi berlangsung selama 7 hari atau lebih
Orgasme saat menstruasi
II. 5. 5. Lokasi Endometriosis
Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat
sebagai berikut :
1) Ovarium;
2) Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding belakang
uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum rotundum, dan sigmoid.
3) Septum rektovaginal;
4) Kanalis inguinalis;
5) Apendiks;
6) Umbilikus;
7) Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum;
8) Parut laparotomi;
9) Kelenjar limfe; dan
10)Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan dilengan, paha,
pleura, dan perikardium.
Gambar 6. Lokasi Endometriosis
11
II. 5. 6. Patogenesis
Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab
terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan
kejadian endometriosis, antara lain :
a. Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)
Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi)
melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid
ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini
kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis, (Prabowo, Raden P, 2005).
Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan
kasus endometriosis di luar pelvis.
b. Teori metaplasia (Rober Meyer)
Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal
dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini
akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan
endometrium, (Prabowo, Raden P, 2005). Secara endokrinologis, epitel
germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel
selom yang sama.
Teori Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping
itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran
melalui darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat
operasi.
c. Teori penyebaran secara limfogen (Halban)
Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui
saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai
tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan
endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis sampai 20% dari penderita
endometriosis.
d. Teori imunologik
Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit
autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan,
bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan
12
menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Disamping itu telah dikemukakan bahwa
danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka
bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati
penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada
monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.
II. 5. 7. Klasifikasi Endometriosis
Berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume tiga dimensi dari
endometriosis dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi, dan kedalaman invasi,
keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini
didapatkan nilai-nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan
derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium 1), 5-15
adalah ringan (stadium II), 16-40 adalah adalah sedang (stadium III) dan lebih
dari 40 adalah berat (stadium IV), (Rusdi, 2009).
Tabel 1. Derajat Endometriosis berdasarkan scoring dari Revisi AFS
13
II. 5. 8. Gejala Klinik
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah:
1) Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama
haid (dismenore);
2) Disparenunia;
3) Nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid;
14
4) Poli- dan hipermenore;
5) Infertilitas
Dismenore pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu haid
yang semakin lama semakin menghebat. Sebab dari dismenore ini tidak diketahui,
tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam
sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu
didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas, sebaliknya kelainan
ringan dapat menimbulkan gejala nyeri yang keras. Dispareunia yang merupakan
gejala yang sering dijumpai, disebabkan oleh karena adanya endometriosis di
kavum Douglasi.
Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid, disebabkan oleh
karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid. Kadang-kadang bisa
terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut. Endometriosis kandung kencing
jarang terdapat, gejala-gejalanya ialah gangguan miksi dan hematuria pada waktu
haid.
Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila
kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu. Ada
korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. 30-40 persen wanita
dengan endometriosis menderita infertilitas.
Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah
apabila mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di
sekitarnya, (Pernoll ML, 2001).
II. 5. 9. Dampak yang ditimbulkan
Fakta-fakta menunjukkan adanya hubungan antara endometriosis dengan
infertilitas. Endometriosis ditemukan 50% pada wanita infertil. Pasien infertil
dengan endometriosis ringan tanpa perawatan dapat hamil dengan rata-rata 2%
sampai 4,5% perbulan, dibandingkan pada normal fertilitas dari 15% sampai 20%
perbulannya. Pasien infertil dengan endometriosis sedang dan berat memiliki rata-
rata kehamilan tiap bulannya kurang dari 2%. Endometriosis berhubungan dengan
infertilitas, tidak semua wanita yang memiliki endometriosis adalah infertil.
Penyebab dan efek endometriosis diperkirakan berhubungan antara berkurangnya
15
fertilitas namun tidak terbukti. Ini diperkirakan bahwa endometriosis merubah
secara tidak langsung keadaan rongga pinggang dengan menimbulkan perlekatan
pada organ-organ rongga pelvik sehingga mengganggu fungsi dari organ tersebut.
Teori mencakup inflamasi, perubahan sistem imun, perubahan hormon,
gangguan fungsi tuba falopii, fertilitas dan implantasi. Itu lebih mudah untuk
dipahami bagaimana endometriosis sedang dan berat dapat mengurangi fertilitas,
karena sebagian besar perlekatan di rongga pinggang menyebabkan tidak
terjadinya ovulasi, menghalangi sperma masuk ke tuba Falopii, dan menghalangi
kemampuan tuba Falopii menangkap ovum selama ovulasi (American Fertility
Society, 2007).
Tabel 2. Jenis gangguan sistem yang disebabkan oleh endometriosis
Pada penderita endometriosis dibandingkan wanita normal, makrofag
teraktifasi oleh adanya kista, hal ini menyebabkan makrofag pada penderita
infertil dengan endometriosis membunuh lebih banyak sperma. Jika makrofag ini
memasuki sistem reproduksi melalui tuba, maka akan terbentuk antibodi terhadap
sperma yang akhirnya mematikan sperma sehingga terjadi infertilitas, (Abdullah,
2009).
Endometriosis pada tuba falopii akan menyebabkan kerusakan pada
fimbriae sehingga tidak dapat menangkap sel telur yang dilepaskan oleh ovarium.
Endometriosis juga menyebabkan penurunan silia pada tuba falopii sehingga sel
telur tidak dapat turun ke uterus. Pada fungsi ovarium terjadi anovulasi sehingga
folikel yang telah matang langsung membentuk korpus luteum tanpa melepaskan
sel telur. Hal ini juga berpengaruh terhadap hormon gonadotropin dan
mengakibatkan terganggunya siklus ovarium selanjutnya. Menurut Abdullah
(2009) perlengketan tuba yang luas akan menghambat motilitas dan kemampuan
16
fimbriae untuk menangkap sel telur. Sedangkan berkurangnya motilitas tuba dan
transportasi ovum mungkin disebabkan oleh sekresi prostaglandin oleh jaringan
endometritik.
Endometriosis berhubungan dengan perubahan-perubahan fisiologis alat
reproduksi yang dapat menghambat terjadinya kehamilan. Derajat keterlibatan
organ-organ pelvik merupakan faktor utama dalam menentukan kemampuan
reproduksi penderita.
Di bawah beberapa fenomena yang mungkin mengurangi kemampuan
reproduksi pada penderita endometriosis sesuai dengan letak jaringan
endometriotik berimplantasi, (Abdullah, 2009) :
Endometriosis pada serviks : kekakuan dan penyempitan serviks, akibat
endometriosis akan mengurangi laju pergerakan sperma sehingga mengurangi
fertilitas.
Endometriosis pada Cavum Douglas : melibatkan ligamentum sakrouterina
dan bagian posterior uterus akan menyebabkan dispareuni, sehingga
mengurangi frekuensi koitus.
Endometriosis pada ovarium : akan menyebabkan destruksi kortikal dan pada
gilirannya menyebabkan oligo atau anovulasi, sehingga menghambat proses
reproduksi.
Endometriosis Tuba Falopii : perlengketan tuba falopii yang luas akan
menghambat motilitas dan kemampuan fimbriae untuk menangkap sel telur.
II. 5. 10. Diagnosis
Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan
pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan
sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan
laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila
ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk
tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing,
(Prabowo, Raden P, 2005).
17
Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala, yakni, (Mounsey A,
et.al, 2006) :
1) Dismenorea : dismenorea primer, dismenorea sekunder yang disebabkan antara
lain adenomiosis, mioma, infeksi, dan stenosis servikalis.
2) Dispareunia : kurangnya lubrikasi,kelainan gastrointestinal (irritable bowel
syndrome), kongestif vaskular pelvik, dan sebagainya.
3) Infertilitas : anovulasi, defisiensi fase luteal, infeksi atau penyakit tuba.
II. 5. 11. Patologi
Organ yang biasa terkena endometriosis adalah ovarium, organ tuba dan
dalah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, cavum douglas dan permukaan
uterus bagian belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai
benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan, (Prawihardjo, 2008).
II. 5. 12. Pengobatan Endometriosis
Bila diagnosis endometriosis sudah ditegakkan, pilihan terapi diambil
berdasarkan luasnya endometriosis dan kebutuhan pasien. Regimen pengobatan
oral dan pembedahan ditentukan berdasarkan usia, status fertilitas, beratnya
penyakit, pengobatan sebelumnya, biaya, risiko pengobatan, dan lama
pengobatan. Tujuan dari pengobatan ini adalah:
– Apa yang diobati (penyakit, gejala, atau keduanya)?
– Mengapa diberikan terapi?
– Alasan memberikan terapi: mengembalikan fertilitas, meredakan nyeri sebagai
alternative pembedahan, meredakan nyeri sambil menunggu pembedahan,
profilaksis mencegah rekurensi penyakit.
a. Terapi Medis
Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan
kesuburannya atau yang gejala ringan, (Rayburn, 2001). Jenis-jenis terapi medic
seperti terlampir pada tabel dibawah ini, (Widjanarko, 2009).
Tabel 3. Jenis-jenis Terapi Medis Endometriosis
18
Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan
dan fungsi jaringan endometriosis sama seperti jaringan endometrium yang
normal, dimana jaringan endometriosis juga dikontrol oleh hormon-hormon
steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis
mengandung reseptor estrogen, progesteron dan androgen, yakni estrogen
merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi,
sedang progesteron masih diperdebatkan, namun progesteron sintetik yang
mengandung efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan
endometriosis, (Prabowo, Raden P, 2005).
Dari dasar tersebut, prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis
adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik, sehingga
diharapkan kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan
endometriosis dan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid yang berarti
tidak terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan
endometriosis. Kemudian prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon
tinggi androgen atau tinggi progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi
jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi
progestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena
gangguan pada pertumbuhan folikel, (Prabowo, Raden P, 2005).
Tabel 4. Penatalaksanaan pada Pasien dengan Endometriosis
19
b. Terapi Pembedahan
Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan
kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan merusak
fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit dan transportasi
sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan,
(Olive, DL, 2001).
Pembedahan terbagi atas terapi bedah definitif dan koservatif, yaitu :
1. Terapi bedah definitif meliputi histerektomi total dengan salfingo-ooferektomi
bilateral. Setelah pembedahan definitive dilakukan, pasien diberikan terapi
sulih hormon (Hormone Replacement Theraphy).
2. Terapi bedah konservatif bertujuan untuk mengembalikan posisi anatomi
panggul dan mengangkat semua lesi endometriosis yang terlihat.
Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifat bedah
konservatif yakni mengangkat saranng-sarang endometriosis dengan
mempertahankan fungsi reproduksi dengan cara meninggalkan uterus dan jaringan
ovarium yang masih sehat, dan perlekatan sedapat mungkin dilepaskan.
20
Pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni
laparotomi atau laparoskopi operatif, (Prabowo, Raden P, 2005).
Pembedahan konservatif pada pasien usia dua puluhan akhir dan awal
empat puluhan terutama bila fertilitas di masa depan dikehendaki, maka
endometriosis yang cukup luas diterapi dengan : 1) reseksi endometriomata; 2)
melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi presakral (untuk
mengurangi dismenorea); 3) suspensi uterus (melepaskan fiksasi retroversi fundus
uteri dari kavum Douglasi akibat perlekatan endometriotik); 4) menghilangkan
apendiks dikarenakan tidak jarang sarang-sarang endometriosis terdapat pada
serosa apendiks.
Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita
endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan radikal
histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan sarang-sarang
endometriosis yang ditemukan.
Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat
terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini
mengakibatkan tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah
pecahnya kista, dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama
beberapa bulan. Cara lain untuk mencegah pecahnya kista dengan pungsi kista
per-laparaskopi yang kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi
cara ini masih belum banyak dilakukan dan masih diperdebatkan, (Baziad A,
1993).
Tabel 5. Keuntungan dan Kerugian Terapi Medik dan Terapi Pembedahan
II. 5. 13. Pencegahan
21
Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis.
Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan
sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang
endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama,
dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang
diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya
merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari
terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan
pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat
menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul,
(Prabowo, Raden P, 2005).
II. 5. 14. Komplikasi
Bila implantasi terjadi di usus atau ureter dapat mengakibatkan obstruksi
dan gangguan fungsi ginjal. Distorsi pelvis mengakibatkan gangguan fertilitas,
penggunaan kontrasepsi oral berakibat troboembolisme dan efek hipoetrogen
GnRH analog jangka panjang mengakibatkan osteoporosis, (Hohenhaus MH,
2007).
22