BAB II

29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Endometrium Endometrium merupakan lapisan dalam dinding kavum uteri yang berfungsi sebagai bakal tempat implantasi hasil konsepsi dan dialiri oleh banyak pembuluh darah, (Campbell, 2004). Selama siklus haid, jaringan endometrium berproliferasi, menebal dan mengadakan sekresi, kemudian jika tidak ada pembuahan/implantasi, endometrium rontok kembali dan keluar berupa darah/jaringan haid. Jika ada pembuahan/implantasi, endometrium dipertahankan sebagai tempat konsepsi. Fisiologi endometrium juga dipengaruhi oleh siklus hormon-hormon ovarium. Pada endometrium didapatkan lubang-lubang kecil, merupakan muara-muara dari saluran-saluran kelenjar uterus yang dapat menghasilkan sekret alkalis yang membasahi cavum uteri. Epitel endometrium berbentuk silindris. Dalam kehamilan endometrium berubah menjadi desidua. Di bawah pengaruh hormonal maka lapisan mukosa uterus mengalami perubahan-perubahan tertentu hingga cukup baik untuk implantasi dan untuk memberi makanan pada ovum. Gambar 1. Organ Reproduksi Wanita 3

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Endometrium

Endometrium merupakan lapisan dalam dinding kavum uteri yang

berfungsi sebagai bakal tempat implantasi hasil konsepsi dan dialiri oleh banyak

pembuluh darah, (Campbell, 2004). Selama siklus haid, jaringan endometrium

berproliferasi, menebal dan mengadakan sekresi, kemudian jika tidak ada

pembuahan/implantasi, endometrium rontok kembali dan keluar berupa

darah/jaringan haid. Jika ada pembuahan/implantasi, endometrium dipertahankan

sebagai tempat konsepsi. Fisiologi endometrium juga dipengaruhi oleh siklus

hormon-hormon ovarium.

Pada endometrium didapatkan lubang-lubang kecil, merupakan muara-

muara dari saluran-saluran kelenjar uterus yang dapat menghasilkan sekret alkalis

yang membasahi cavum uteri. Epitel endometrium berbentuk silindris.

Dalam kehamilan endometrium berubah menjadi desidua. Di bawah

pengaruh hormonal maka lapisan mukosa uterus mengalami perubahan-perubahan

tertentu hingga cukup baik untuk implantasi dan untuk memberi makanan pada

ovum.

Gambar 1. Organ Reproduksi Wanita

3

Page 2: BAB II

II. 2. Siklus Menstruasi

Istilah siklus menstruasi secara spesifik mengacu pada perubahan yang

terjadi dalam uterus. Melalui kesepakatan, hari pertama periode menstruasi

perempuan atau hari pertama menstruasi dinyatakan sebagai hari 1 dari siklus

tersebut. Fase aliran menstruasi ( Menstrual Flow Phase) siklus tersebut, saat

pendarahan menstruasi (hilangnya sebagian besar lapisan fungsional

endometrium) terjadi, umumnya berlangsung beberapa hari. Kemudian sisa

endometrium yang tipis lainnya mulai mengalami regenerasi dan menebal selama

seminggu atau dua minggu. Fase tersebut dinamakan fase proliferasi (Proliferasi

Phase) siklus menstruasi. Selama fase berikutnya yaitu fase sekresi (Sectretory

Phase) yang umumnya berlangsung sekitar dua minggu lamanya, endometrium

menebal mengandung lebih banyak pembuluh, dan mengembangkan kelenjar

yang mensekresikan cairan yang kaya glikogen, (Price, 2005).

Gambar 2. Siklus Menstruasi

Sumber : http://www.yalemedicalgroup.org/stw/images/161351.jpg diakses tanggal 21

oktober 2012

4

Page 3: BAB II

II. 3. Siklus Ovulasi

Siklus ini dimulai dengan fase folikel (Follicular cycle) saat beberapa

folikel di ovarium mulai tumbuh. Sel telur membesar dan pembungkus sel folikel

berlapis-lapis. Di antara beberapa folikel yang mulai tumbuh, umumnya hanya

satu yang membesar dan matang, sementara yang lainnya akan mengalami

disintegrasi. Folikel yang mengalami pematangan itu mengembangkan rongga

internal yang penuh cairan dan tumbuh menjadi sangat besar, dan membentuk

tonjolan dekat permukaan ovarium. Fase folikular berakhir dengan ovulasi, ketika

folikel dan dinding ovarium di dekatnya pecah sehingga melepaskan oosit.

Jaringan folikel yang tetap ada di ovarium setelah ovulasi berkembang menjadi

korpus luteum (jaringan endokrin yang mensekresikan hormone betina) selama

fase luteal (Luteal Phase), (Guyton, 2007).

Gambar 3. Siklus Ovulasi

II. 4. Hormon, Siklus Ovarium, dan Siklus Menstruasi

Hormon mengkoordinasikan siklus menstruasi dan siklus ovarium

sedemikian rupa sehingga folikel dan peristiwa ovulasi dan siklus sedemikian

rupa sehingga folikel dan peristiwa ovulasi disinkronasikan dengan persiapan

dinding uterus untuk kemungkinan implantasi embrio. Lima hormon yang

berpartisipasi dalam skema rumit yang melibatkan baik umpan balik negatif

maupun positif. Hormon-hormon tersebut adalah hormon pembebas gonadotropin

(GnRH), yang disekresikan oleh hipotalamus, hormone perangsang folikel (FSH)

5

Page 4: BAB II

dan hormone luteinisasi (LH), yang merupakan dua gonadotropin yang dihasilkan

oleh hipofisis anterior dan estrogen serta progesteron, yaitu dua hormone kelamin

yang disekresikan oleh ovarium, (Price, 2005).

Selama fase folikular siklus ovarium, pituitari mensekresikan sejumlah

kecil FSH dan LH sebagai respon terhadap rangsangan GnRH dari hipotalamus.

Pada waktu tersebut sel-sel folikel ovarium yang belum matang mempunyai

reseptor untuk FSH. FSH merangsang pertumbuhan folikel dan sel-sel folikel

yang sedang tumbuh ini mensekresikan estrogen. Peningkatan kadar estrogen

secara perlahan terjadi selama sebagian besar fase folikuler.

Peningkatan kecil kadar estrogen tersebut akan menghambat sekresi

hormon pituitari, sehingga mempertahankan kadar FSH dan LH relatif rendah

selama fase folikuler. Hubungan antar hormon tersebut berubah secara radikal dan

relatif mendadak ketika sekresi estrogen oleh folikel yang sedang tumbuh mulai

meningkat. Sementara peningkatan kadar estrogen yang terjadi dapat menghambat

sekresi hormon gonadotropin pituitari, estrogen dalam konsentrasi tinggi

mempunyai pengaruh berlawanan dan merangsang sekresi gonadotropin dengan

cara mempengaruhi hipotalamus untuk meningkatkan produksi GnRH. Pengaruh

itu lebih besar untuk LH karena konsentrasi estrogen yang tinggi, selain

merangsang sekresi GnRH, juga meningkatkan sensitifitas mekanisme pelepasan

LH di pituitari terhadap sinyal hipotalamus (GnRH). Pada saat itu, folikel telah

mempunyai reseptor terhadap LH dan dapat merespon terhadap petunjuk

hormonal ini. Dalam satu contoh umpan balik positif, peningkatan konsentrasi LH

yang disebabkan oleh peningkatan sekresi estrogen dari folikel yang sedang

tumbuh menginduksi pematangan akhir folikel tersebut, dan ovulasi terjadi sekitar

sehari setelah lonjakan kadar LH tersebut, (Price, 2005).

LH dapat merangsang transformasi jaringan folikel yang tertinggal di

ovarium untuk membentuk korpus luteum setelah ovulasi. Selama fase luteal

siklus ovarium, LH mempengaruhi korpus luteum setelah ovulasi. Selama fase

luteal siklus ovarium, LH mempengaruhi korpus luteum mensekresikan estrogen

dan hormone steroid kedua yaitu progesterone. Korpus luteum umumnya

mencapai perkembangan maksimalnya sekitar 8 sampai 10 hari setelah ovulasi.

Setelah kadar estrogen dan progesteron meningkat, kombinasi hormon-hormon

6

Page 5: BAB II

tersebut memberikan umpan balik negatif pada hipotalamus dan pituitari,

sehingga menghambat sekresi LH dan FSH. Mendekati akhir masa luteal, korpus

luteum akan lisis ( kemungkinan sebagai akibat prostaglandin yang disekresikan

oleh sel-sel itu sendiri). Konsekuensinya, konsentrasi estrogen dan progesteron

menurun. Penurunan kadar hormon ovarium tersebut membebaskan hipotalamus

dan pituitari dari pengaruh yang bersifat menghambat dari hormon-hormon

tersebut. Kemudian pituitari mulai mensekresikan cukup FSH untuk merangsang

pertumbuhan folikel baru di ovarium, yang mengawali fase folikuler siklus

ovarium berikutnya, (Guyton, 2007).

Estrogen yang disekresikan dalam jumlah yang semakin meningkat oleh

folikel yang sedang tumbuh, merupakan suatu sinyal hormonal ke uterus yang

menyebabkan endometrium menebal. Dengan demikian, fase folikel siklus

ovarium dikoordinasikan dengan fase proliferasi siklus menstruasi. Penurunan

cepat dalam kadar hormon ovarium ketika korpus luteum lisis menyebabkan

dinding ovarium menstruasi dan permulaan satu siklus menstruasi baru, (Guyton,

2007).

7

Page 6: BAB II

Gambar 4. Perubahan Hormon pada Siklus Menstruasi

Sumber : http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/menstrual-cycle-

gynecology-lecture.html diakses tanggal 21 oktober 2012

II. 5. Endometriosis

II. 5. 1. Definisi

Suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi

terdapat diluar kavum uteri dan diluar miometrium, (Prawihardjo, 2008). Definisi

lain tentang endometriosis yaitu terdapatnya kelenjar-kelenjar dan stroma

endometrium pada tempat-tempat diluar rongga rahim. Implantasi endometriosis

bisa terdapat pada ovarium, ligamen latum, cavum douglas, tuba falopii, vagina,

serviks, pada pusat, paru-paru, dan kelenjar-kelenjar limfa, (Rayburn, 2001).

Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di dalam miometrium

disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan jaringan

8

Page 7: BAB II

endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut endometriosis

eksterna atau endometriosis sejati, (Prabowo, Raden P, 2005).

II. 5. 2. Epidemiologi

Endometriosis merupakan salah satu masalah kesehatan pada wanita yang

cukup penting. Endometriosis diperkirakan terjadi sebanyak 3-10% pada wanita

usia reproduktif (usia 15-44 tahun), 25-35% pada wanita infertil, 1-2% pada

wanita yang menjalani sterilisasi, 10% pada operasi histerektomi, 16-31% pada

laparoskopi, dan 53% terjadi pada wanita dengan nyeri pelvis berat yang

memerlukan evaluasi pembedahan, (Fortner, 2007).

II. 5. 3. Etiologi

Menurut Sumilat, penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti,

para ahli mengatakan bahwa “banyak faktor yang menyebabkan penyakit

endometriosis, dapat berasal dari aliran menstruasi mundur dan implantasi,

metaplasia, predisposisi genetik, dan pengaruh lingkungan”. Orgasme saat

menstruasi dapat menimbulkan aliran menstruasi mundur dan endometriosis dapat

menurun ke wanita yang ibu atau saudara perempuan menderita endometriosis

karena terjadi penurunan imunitas pada penderita endometriosis, hal ini sesuai

dengan teori predisposisi genetik yang dikemukakan oleh Dmoski tahun 1995.

Beberapa teori muncul menyangkut faktor anatomis, imunologis,

hormonal, dan genetik, (Edmonds, DK., 2007).

1. Menstruasi retrograde

Menurut Sampson, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir

kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan

bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel

endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di

pelvic.

9

Page 8: BAB II

Gambar 5. Menstruasi Mundur dan Transplantasi

2. Faktor imunologis

Faktor imunologis spesifik yang berperan dalam implantasi endometriosis

seperti VEGF (vascular endothelial growth factor), MIF (migration inhibitory

factor), dan mediator radang (interleukin, TNF) diduga mengalami peningkatan

pada situs endometriosis.

3. Faktor hormonal

Aromatase, enzim pencetus produksi estrogen, telah ditemukan pada

implantasi endometriosis, walaupun belum ditemukan data bahwa aromatase juga

ditemukan pada endometrium normal. PGE2 (prostaglandin E2) berperan sebagai

induksi terkuat produksi aromatase pada implantasi endometriosis.

4. Metaplasia selomik

Teori mengemukakan sel potensial pada ovarium dan peritoneum

bertransformasi menjadi lesi endometriosis akibat stimulasi hormon dan paparan

hormonal berulang. Robert Meyer mengemukakan bahwa endometriosis terjadi

karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat

mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini menyebabkan

metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium.

10

Page 9: BAB II

II. 5. 4. Faktor Risiko

Wanita yang beresiko terkena penyakit endometriosis, yaitu (Wood, 2008) :

Wanita yang ibu atau saudara perempuannya pernah menderita endometriosis

Memiliki siklus menstruasi kurang atau lebih dari 27 hari

Menarche (menstruasi yang pertama) terjadi pada usia relatif muda (< 11 thn)

Masa menstruasi berlangsung selama 7 hari atau lebih

Orgasme saat menstruasi

II. 5. 5. Lokasi Endometriosis

Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat

sebagai berikut :

1) Ovarium;

2) Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding belakang

uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum rotundum, dan sigmoid.

3) Septum rektovaginal;

4) Kanalis inguinalis;

5) Apendiks;

6) Umbilikus;

7) Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum;

8) Parut laparotomi;

9) Kelenjar limfe; dan

10)Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan dilengan, paha,

pleura, dan perikardium.

Gambar 6. Lokasi Endometriosis

11

Page 10: BAB II

II. 5. 6. Patogenesis

Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab

terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan

kejadian endometriosis, antara lain :

a. Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)

Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi)

melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid

ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini

kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis, (Prabowo, Raden P, 2005).

Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan

kasus endometriosis di luar pelvis.

b. Teori metaplasia (Rober Meyer)

Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal

dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini

akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan

endometrium, (Prabowo, Raden P, 2005). Secara endokrinologis, epitel

germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel

selom yang sama.

Teori Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping

itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran

melalui darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat

operasi.

c. Teori penyebaran secara limfogen (Halban)

Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui

saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai

tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan

endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis sampai 20% dari penderita

endometriosis.

d. Teori imunologik

Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit

autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan,

bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan

12

Page 11: BAB II

menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Disamping itu telah dikemukakan bahwa

danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka

bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati

penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada

monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.

II. 5. 7. Klasifikasi Endometriosis

Berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume tiga dimensi dari

endometriosis dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi, dan kedalaman invasi,

keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini

didapatkan nilai-nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan

derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium 1), 5-15

adalah ringan (stadium II), 16-40 adalah adalah sedang (stadium III) dan lebih

dari 40 adalah berat (stadium IV), (Rusdi, 2009).

Tabel 1. Derajat Endometriosis berdasarkan scoring dari Revisi AFS

13

Page 12: BAB II

II. 5. 8. Gejala Klinik

Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah:

1) Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama

haid (dismenore);

2) Disparenunia;

3) Nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid;

14

Page 13: BAB II

4) Poli- dan hipermenore;

5) Infertilitas

Dismenore pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu haid

yang semakin lama semakin menghebat. Sebab dari dismenore ini tidak diketahui,

tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam

sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu

didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas, sebaliknya kelainan

ringan dapat menimbulkan gejala nyeri yang keras. Dispareunia yang merupakan

gejala yang sering dijumpai, disebabkan oleh karena adanya endometriosis di

kavum Douglasi.

Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid, disebabkan oleh

karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid. Kadang-kadang bisa

terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut. Endometriosis kandung kencing

jarang terdapat, gejala-gejalanya ialah gangguan miksi dan hematuria pada waktu

haid.

Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila

kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu. Ada

korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. 30-40 persen wanita

dengan endometriosis menderita infertilitas.

Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah

apabila mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di

sekitarnya, (Pernoll ML, 2001).

II. 5. 9. Dampak yang ditimbulkan

Fakta-fakta menunjukkan adanya hubungan antara endometriosis dengan

infertilitas. Endometriosis ditemukan 50% pada wanita infertil. Pasien infertil

dengan endometriosis ringan tanpa perawatan dapat hamil dengan rata-rata 2%

sampai 4,5% perbulan, dibandingkan pada normal fertilitas dari 15% sampai 20%

perbulannya. Pasien infertil dengan endometriosis sedang dan berat memiliki rata-

rata kehamilan tiap bulannya kurang dari 2%. Endometriosis berhubungan dengan

infertilitas, tidak semua wanita yang memiliki endometriosis adalah infertil.

Penyebab dan efek endometriosis diperkirakan berhubungan antara berkurangnya

15

Page 14: BAB II

fertilitas namun tidak terbukti. Ini diperkirakan bahwa endometriosis merubah

secara tidak langsung keadaan rongga pinggang dengan menimbulkan perlekatan

pada organ-organ rongga pelvik sehingga mengganggu fungsi dari organ tersebut.

Teori mencakup inflamasi, perubahan sistem imun, perubahan hormon,

gangguan fungsi tuba falopii, fertilitas dan implantasi. Itu lebih mudah untuk

dipahami bagaimana endometriosis sedang dan berat dapat mengurangi fertilitas,

karena sebagian besar perlekatan di rongga pinggang menyebabkan tidak

terjadinya ovulasi, menghalangi sperma masuk ke tuba Falopii, dan menghalangi

kemampuan tuba Falopii menangkap ovum selama ovulasi (American Fertility

Society, 2007).

Tabel 2. Jenis gangguan sistem yang disebabkan oleh endometriosis

Pada penderita endometriosis dibandingkan wanita normal, makrofag

teraktifasi oleh adanya kista, hal ini menyebabkan makrofag pada penderita

infertil dengan endometriosis membunuh lebih banyak sperma. Jika makrofag ini

memasuki sistem reproduksi melalui tuba, maka akan terbentuk antibodi terhadap

sperma yang akhirnya mematikan sperma sehingga terjadi infertilitas, (Abdullah,

2009).

Endometriosis pada tuba falopii akan menyebabkan kerusakan pada

fimbriae sehingga tidak dapat menangkap sel telur yang dilepaskan oleh ovarium.

Endometriosis juga menyebabkan penurunan silia pada tuba falopii sehingga sel

telur tidak dapat turun ke uterus. Pada fungsi ovarium terjadi anovulasi sehingga

folikel yang telah matang langsung membentuk korpus luteum tanpa melepaskan

sel telur. Hal ini juga berpengaruh terhadap hormon gonadotropin dan

mengakibatkan terganggunya siklus ovarium selanjutnya. Menurut Abdullah

(2009) perlengketan tuba yang luas akan menghambat motilitas dan kemampuan

16

Page 15: BAB II

fimbriae untuk menangkap sel telur. Sedangkan berkurangnya motilitas tuba dan

transportasi ovum mungkin disebabkan oleh sekresi prostaglandin oleh jaringan

endometritik.

Endometriosis berhubungan dengan perubahan-perubahan fisiologis alat

reproduksi yang dapat menghambat terjadinya kehamilan. Derajat keterlibatan

organ-organ pelvik merupakan faktor utama dalam menentukan kemampuan

reproduksi penderita.

Di bawah beberapa fenomena yang mungkin mengurangi kemampuan

reproduksi pada penderita endometriosis sesuai dengan letak jaringan

endometriotik berimplantasi, (Abdullah, 2009) :

Endometriosis pada serviks : kekakuan dan penyempitan serviks, akibat

endometriosis akan mengurangi laju pergerakan sperma sehingga mengurangi

fertilitas.

Endometriosis pada Cavum Douglas : melibatkan ligamentum sakrouterina

dan bagian posterior uterus akan menyebabkan dispareuni, sehingga

mengurangi frekuensi koitus.

Endometriosis pada ovarium : akan menyebabkan destruksi kortikal dan pada

gilirannya menyebabkan oligo atau anovulasi, sehingga menghambat proses

reproduksi.

Endometriosis Tuba Falopii : perlengketan tuba falopii yang luas akan

menghambat motilitas dan kemampuan fimbriae untuk menangkap sel telur.

II. 5. 10. Diagnosis

Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan

pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan

sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan

laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila

ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk

tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing,

(Prabowo, Raden P, 2005).

17

Page 16: BAB II

Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala, yakni, (Mounsey A,

et.al, 2006) :

1) Dismenorea : dismenorea primer, dismenorea sekunder yang disebabkan antara

lain adenomiosis, mioma, infeksi, dan stenosis servikalis.

2) Dispareunia : kurangnya lubrikasi,kelainan gastrointestinal (irritable bowel

syndrome), kongestif vaskular pelvik, dan sebagainya.

3) Infertilitas : anovulasi, defisiensi fase luteal, infeksi atau penyakit tuba.

II. 5. 11. Patologi

Organ yang biasa terkena endometriosis adalah ovarium, organ tuba dan

dalah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, cavum douglas dan permukaan

uterus bagian belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai

benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan, (Prawihardjo, 2008).

II. 5. 12. Pengobatan Endometriosis

Bila diagnosis endometriosis sudah ditegakkan, pilihan terapi diambil

berdasarkan luasnya endometriosis dan kebutuhan pasien. Regimen pengobatan

oral dan pembedahan ditentukan berdasarkan usia, status fertilitas, beratnya

penyakit, pengobatan sebelumnya, biaya, risiko pengobatan, dan lama

pengobatan. Tujuan dari pengobatan ini adalah:

– Apa yang diobati (penyakit, gejala, atau keduanya)?

– Mengapa diberikan terapi?

– Alasan memberikan terapi: mengembalikan fertilitas, meredakan nyeri sebagai

alternative pembedahan, meredakan nyeri sambil menunggu pembedahan,

profilaksis mencegah rekurensi penyakit.

a. Terapi Medis

Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan

kesuburannya atau yang gejala ringan, (Rayburn, 2001). Jenis-jenis terapi medic

seperti terlampir pada tabel dibawah ini, (Widjanarko, 2009).

Tabel 3. Jenis-jenis Terapi Medis Endometriosis

18

Page 17: BAB II

Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan

dan fungsi jaringan endometriosis sama seperti jaringan endometrium yang

normal, dimana jaringan endometriosis juga dikontrol oleh hormon-hormon

steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis

mengandung reseptor estrogen, progesteron dan androgen, yakni estrogen

merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi,

sedang progesteron masih diperdebatkan, namun progesteron sintetik yang

mengandung efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan

endometriosis, (Prabowo, Raden P, 2005).

Dari dasar tersebut, prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis

adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik, sehingga

diharapkan kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan

endometriosis dan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid yang berarti

tidak terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan

endometriosis. Kemudian prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon

tinggi androgen atau tinggi progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi

jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi

progestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena

gangguan pada pertumbuhan folikel, (Prabowo, Raden P, 2005).

Tabel 4. Penatalaksanaan pada Pasien dengan Endometriosis

19

Page 18: BAB II

b. Terapi Pembedahan

Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan

kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan merusak

fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit dan transportasi

sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan,

(Olive, DL, 2001).

Pembedahan terbagi atas terapi bedah definitif dan koservatif, yaitu :

1. Terapi bedah definitif meliputi histerektomi total dengan salfingo-ooferektomi

bilateral. Setelah pembedahan definitive dilakukan, pasien diberikan terapi

sulih hormon (Hormone Replacement Theraphy).

2. Terapi bedah konservatif bertujuan untuk mengembalikan posisi anatomi

panggul dan mengangkat semua lesi endometriosis yang terlihat.

Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifat bedah

konservatif yakni mengangkat saranng-sarang endometriosis dengan

mempertahankan fungsi reproduksi dengan cara meninggalkan uterus dan jaringan

ovarium yang masih sehat, dan perlekatan sedapat mungkin dilepaskan.

20

Page 19: BAB II

Pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni

laparotomi atau laparoskopi operatif, (Prabowo, Raden P, 2005).

Pembedahan konservatif pada pasien usia dua puluhan akhir dan awal

empat puluhan terutama bila fertilitas di masa depan dikehendaki, maka

endometriosis yang cukup luas diterapi dengan : 1) reseksi endometriomata; 2)

melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi presakral (untuk

mengurangi dismenorea); 3) suspensi uterus (melepaskan fiksasi retroversi fundus

uteri dari kavum Douglasi akibat perlekatan endometriotik); 4) menghilangkan

apendiks dikarenakan tidak jarang sarang-sarang endometriosis terdapat pada

serosa apendiks.

Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita

endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan radikal

histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan sarang-sarang

endometriosis yang ditemukan.

Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat

terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini

mengakibatkan tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah

pecahnya kista, dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama

beberapa bulan. Cara lain untuk mencegah pecahnya kista dengan pungsi kista

per-laparaskopi yang kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi

cara ini masih belum banyak dilakukan dan masih diperdebatkan, (Baziad A,

1993).

Tabel 5. Keuntungan dan Kerugian Terapi Medik dan Terapi Pembedahan

II. 5. 13. Pencegahan

21

Page 20: BAB II

Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis.

Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan

sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang

endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama,

dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang

diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya

merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari

terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan

pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat

menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul,

(Prabowo, Raden P, 2005).

II. 5. 14. Komplikasi

Bila implantasi terjadi di usus atau ureter dapat mengakibatkan obstruksi

dan gangguan fungsi ginjal. Distorsi pelvis mengakibatkan gangguan fertilitas,

penggunaan kontrasepsi oral berakibat troboembolisme dan efek hipoetrogen

GnRH analog jangka panjang mengakibatkan osteoporosis, (Hohenhaus MH,

2007).

22