BAB-II

23
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Mikroalga merupakan sumber bahan baku alternatif yang menjanjikan untuk produksi biodiesel. Mikroalga termasuk dalam kelompok mikroorganisme prokariotik dan eukariotik fotosintetik dengan struktur sederhana dan memungkinkan mereka untuk tumbuh dengan pesat (Kawaroe, 2010). Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Chisti (2007), mikroalga tampaknya satu-satunya sumber bahan terbarukan untuk biodiesel yang mampu memenuhi permintaan global untuk bahan bakar transportasi, dan berpotensi untuk menggantikan penggunaan bahan bakar fosil secara penuh (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Perbandingan Potensi Bahan Baku untuk Memproduksi Biodiesel Jenis Tanaman Potensi Minyak yang dihasilkan (Liter/Hektar) Jagung 172 Kedelai 446 Kanola 1190 Jarak 1892 Kelapa 2689 Kelapa Sawit 5950 9

description

BAB II PKL

Transcript of BAB-II

Page 1: BAB-II

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Mikroalga

Mikroalga merupakan sumber bahan baku alternatif yang menjanjikan

untuk produksi biodiesel. Mikroalga termasuk dalam kelompok mikroorganisme

prokariotik dan eukariotik fotosintetik dengan struktur sederhana dan

memungkinkan mereka untuk tumbuh dengan pesat (Kawaroe, 2010). Dalam hasil

penelitian yang dilakukan oleh Chisti (2007), mikroalga tampaknya satu-satunya

sumber bahan terbarukan untuk biodiesel yang mampu memenuhi permintaan

global untuk bahan bakar transportasi, dan berpotensi untuk menggantikan

penggunaan bahan bakar fosil secara penuh (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Perbandingan Potensi Bahan Baku untuk Memproduksi Biodiesel

Jenis TanamanPotensi Minyak yang dihasilkan

(Liter/Hektar)

Jagung 172

Kedelai 446

Kanola 1190

Jarak 1892

Kelapa 2689

Kelapa Sawit 5950

Mikroalgaa) 136.900

Mikroalgab) 58.700

Keterangan : a) 70% minyak (Basis Basah) dalam biomasb) 30% minyak (Basis Basah) dalam biomas Sumber : Chisti (2007).

Pada kondisi pertumbuhan optimal, beberapa spesies mikroalga bisa

menghasilkan dan mengumpulkan hidrokarbon sampai dengan 30-70 % dari berat

kering mereka, dan bahwa kandungan minyak tinggi dari beberapa spesies alga

9

Page 2: BAB-II

10

memungkinkan mereka untuk menghasilkan 1000 kali lebih banyak dibandingkan

dengan minyak kedelai yang ditanam pada luasan tanah yang sama. Kandungan

minyak di mikroalga dapat melebihi 80 % dari berat biomassa kering, tetapi pada

umumnya kandungan minyak yang dapat dicapai berkisar antara 20 sampai 50 %

(Chong dkk, 2000).

Manfaat lainnya dari mikroalga adalah (1) sebagai salah satu sumber

makanan sehat, dimana mikroalga ini menghasilkan senyawa tertentu yang

berguna untuk tubuh), (2) sebagai biofilters untuk menghilangkan nutrisi dan

polutan lainnya dari air limbah dan (3) sebagai indikator perubahan lingkungan.

Mikroalga juga dibudidayakan secara komersial untuk kepentingan farmasi,

kosmetik dan aquakultur (Borowitzka, 1999). Menurut Umdu dkk (2008),

mikroalga merupakan biota yang menjanjikan hasil lebih baik karena (1) Memiliki

laju pertumbuhan tinggi (2) Kandungan lipid dapat disesuaikan dengan mengubah

komposisi media untuk tumbuh (3) Dapat dipanen lebih dari satu kali dalam satu

tahun (4) Dapat menggunakan air laut atau air limbah.

2.2 Chlorella sp.

2.2.1 Deskripsi Chlorella sp.

Chlorella sp. adalah alga hijau satu sel yang tidak mempunyai

kemampuan bergerak. Chlorella sp. termasuk ke dalam mikroorganisme tingkat

rendah karena bentuknya mikroskopik dan tidak memiliki akar, batang dan daun

sejati (thallus) (Kabinawa et al. 1989). Menurut Gupta (1981), Chlorella sp.

dikelompokkan kedalam phylum Thallophyta. Zat warna hijau dan pigmen yang

dimilikinya terdiri atas klorofil, karotenoid dan xanthofil. Klorofil yang terdapat

pada Chlorella sp. adalah klorofil a dan b sebagi pigmen utama dan terdapat pula

klorofil c dan e (Becker, 1994). Chlorella sp. merupakan mikroorganisme

fotosintestik yang muncul sejak masa pre-cambrian ± 2,5 milyar tahun lalu

(Saclan, 1982). Keberhasilan hidupnya hingga sekarang merupakan tanda

kestabilan sifat genetik dan kemampuan mempertahankan pembawa sifatnya

selama milyaran tahun (Jensen, 1992).

Page 3: BAB-II

11

Klasifikasi Chlorella sp. Menurut Gupta (1981) adalah sebagai berikut:

Devisi : Thallophyta

Sub Devisi : Algae

Kelas : Chlorophyceae

Famili : Oocystaceae

Genus : Chlorella

Spesies : Chlorella sp.

Gambar 2.1. Bentuk umum Chlorella sp. (Sumber: http://www.rbgsyd.nsw.gov.au,12 Maret 2012)

Sel Chlorella sp. berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 μm. Dalam

sel Chlorella sp. mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D, E dan K,

disamping banyak terdapat pigmen hijau (klorofil) yang berfungsi sebagai

katalisator dalam proses fotosintesis (Sachlan, 1982).

Sel Chlorella sp. umumnya dijumpai sendiri, kadang-kadang bergerombol.

Protoplast sel dikelilingi oleh membran yang selektif, sedangkan di luar membran

sel terdapat dinding yang tebal terdiri dari sellulosa dan pektin. Di dalam sel

terdapat suatu protoplast yang tipis berbentuk seperti cawan atau lonceng dengan

posisi menghadap ke atas. Pineroid-pineroid stigma dan vacuola kontraktil tidak

ada. Warna hijau pada alga ini disebabkan selnya mengandung klorofil a dan b

Page 4: BAB-II

12

dalam jumlah yang besar, di samping karotin dan xantofil (Bellinger & Sigee,

2010).

Chlorella sp. tumbuh pada salinitas 25 ppt. Alga tumbuh lambat pada

salinitas 15 ppm, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm.

Chlorella sp. tumbuh baik pada suhu 20oC, tetapi tumbuh lambat pada suhu 32oC.

Tumbuh sangat baik sekitar 200-230 C (Bellinger & Sigee, 2010).

Sejak ditemukan, Chlorella sp. berpotensi sebagai sumber protein non

konvensional karena mikroalga ini mengandung profil asam amino yang memadai

baik esensial, semi esensial dan non esensial dan lainnya hampir setara dengan

telur (Priestey et al. 1976). Saat sekarang Chlorella sp. banyak digunakan sebagai

makanan kesehatan bagi manusia (Steenblock. 1996).

Chlorella sp. merupakan alga yang pertama kali dapat diisolasi secara

murni. Kultur murni Chlorella sp. pertama kali dibuat oleh Beijernik (Belanda)

pada tahun 1980. Chlorella sp. mengandung klorofil yang tertinggi dari jenis

tumbuhan yang ada. Kata Chlorella sp. terdiri dari dua suku kata yaitu “chlor”

yang artinya hijau dan “ella” yang artinya kecil. Selanjutnya pada tahun 1919,

Otto Warburg memperkenalkan penggunaan Chlorella sp. sebagai objek untuk

mempelajari fotosintesis (Miyachi. 1998).

Chlorella sp. bersifat kosmopolit (dapat tumbuh dimana-mana), kecuali

pada tempat yang sanagat kritis bagi kehidupan. Chlorella sp. dapat tumbuh pada

kisaran salinitas yang luas. Salinitas optimum untuk pertumbuhan Chlorella sp.

adalah 10-20 ppt. Alga masih dapat bertahan hidup pada suhu 400C tetapi tidak

tumbuh. Suhu optimum pertumbuhan yaitu 25-300C (Isnansetyo dan Kurniastuty.

1995).

Dinding sel Chlorella sp. Terdiri dari selulosa yang kuat dan merupakan

karbohidrat komplek dan bermanfaat unutk mengikat zat-zat toksik sehingga

dapat dikeluarkan dari tubuh serta mampu meningkatkan system kekebalan tubuh.

Pada bagian inti sel Chlorella sp. ini (Chlorella sp. Growth Promotor) merupakan

Page 5: BAB-II

13

komponen gizi yang paling berharga pada Chlorella sp., yang terdiri atas unsure-

unsur gizi yaitu nukleotida-peptida komplel (Hansakul. 1991).

Komposisi dari asam lemak marine Chlorella sp. yang dikulturkan pada

15 ppt salinitas, menunjukkan jumlah asam C18:3n-3, C18:2n-6, C16:0, C18:1n-9

dalam skala medium sampai tinggi, ini mirip dengan komposisi asam lemak yang

terdapat pada Chlorella sp. sp yang hidup pada air tawar. Pada penelitian ini juga

diketemukan kalau kandungan High Unsaturated Fatty acids (HUFAs) pada

Chlorella sp. sangat kecil (Pratoomyot, 2005).

2.2.2 Habitat dan Ekologi

Berdasarkan habitat hidupnya Chlorella sp. dapat dibedakan menjadi

Chlorella sp. air tawar dan Chlorella sp. air laut. Chlorella sp. air tawar dapat

hidup dengan kadar salinitas hingga 5 ppt, sementara Chlorella sp. air laut dapat

mentolerir salinitas antara 33-40 ppt (Bold dan Wynne, 1985). Menurut Hirata

(1981), beberapa spesies Chlorella sp. air laut dapat mentolerir kondisi

lingkungan yang relatif bervariasi. Tumbuh optimal pada salinitas 25-34 ppt

sementara pada salinitas 15 ppt tumbuh lambat dan tidak tumbuh pada salinitas 0

ppt dan 60 ppt. Contoh Chlorella sp. yang hidup di air laut adalah Chlorella sp.

vulgaris, Chlorella sp. pyrenoidosa, Chlorella sp. virginica dan lain-lain

(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Umumnya Chlorella sp. bersifat planktonis

yang melayang di dalam perairan, namun beberapa jenis Chlorella sp. juga

ditemukan mampu bersimbiosis dengan hewan lain misalnya Hydra dan beberapa

ciliata air tawar seperti Paramaecium bursaria (Dolan, 1992).

2.2.3 Reproduksi Chlorella sp. sp.

Reproduksi Chlorella sp. adalah aseksual dengan pembentukan autospora

yang merupakan bentuk miniatur dari sel induk. Tiap satu sel induk (parrent cell)

akan membelah menjadi 4, 8, atau 16 autospora yang kelak akan menjadi sel-sel

anak (daughter cell) dan melepaskan diri dari induknya (Bold dan Wynne, 1985). Anonymous (2012) menyatakan bahwa Chlorella sp. dapat hidup bebas.

Tahapan daur hidup sel Chlorella sp. dapat dibagi dalam empat fase, yaitu:

Page 6: BAB-II

14

a. Fase pertumbuhan adalah fase pertambahan besar dan ukuran sel

Chlorella sp.

b. Fase pemasakan dini adalah fase terjadinya berbagai proses dalam

persiapan pembentukan sel anak.

c. Fase pemasakan akhir adalah fase terbentuknya sel induk muda

d. Fase pelepasan sel anak.

Setiap sel yang telah dewasa membelah menghasilkan 4-8 atau jarang

melebihi 16 autospora. Pada saat pemisahan terjadi membelah atau pemecahan

dinding sel induk (Gupta, 1981, Richmond. 1986). Dalam system kultur system

kultur menurut Fogg (1975), alga akan mengalami lima fase pertumbuhan yaitu:

a. Fase lag ditandai dengan meningkatnya populasi secara tidak nyata.

b. Fase eksponensial ditandai dengan pesatnya laju pertumbuhan hingga

kepadatan bertambah beberapa kali lipat.

c. Fase penurunan laju pertumbuhan ditandai dengan penurunan laju

pertumbuhan bila dibandingkan dengan fase eksponensial.

d. Fase stasioner ditandai dengan laju pertumbuhan yang sama dengan

laju kematian sehingga tidak tampak adanya sel.

e. Fase kematian ditandai dengan laju kematian yang jauh lebih besar

dari pertumbuhan.

Fase pertumbuhan alga dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Page 7: BAB-II

15

Kurva 2.1: Pola Pertumbuhan Sel Alga

Keterangan: (1) fase lag, (2) Fase eksponensial, (3) fase penurunan laju

pertumbuhan (4) fase stasioner, (5) fase kematian (fogg. 1975).

Terjadinya penurunan kecepatan pertumbuhan yang berhubungan dengan

umur suatu kultur pada mikroorganisme sering dihubungkan dengan bahan

penghambat yang berasal dari produk metabolisme sel yang terakumulasi. Pada

alga, karena tingginya kapasitas sintetik dan tingkat ekskresi yang rendah, maka

pengaruh akan menghambat (inhibitor) menjadi kurang penting (Myres dalam

Burlew, 1953.)

Sel Chlorella sp. mampu memproduksi inhibitor yang disebut Clorellin

yang dikeluarkan dari sel kemudian dikulturnya, yang dapat menghambat

pertumbuhan kultur dan pertumbuhan alga lain serta beberapa jenis bakteri

(Burlew. 1953). Chlorellin yang diisolasi dari selnya secara invitro, ternyata

bersifat antibiotic dan efektif terhadap beberapa bakteri gram positif dan gram

negative (Saclab. 1982, Steenblock. 1987).

Pertumbuhan Chlorella sp. dapat diukur dengan cara mengamati dan

menghitung perkembangan jumlah sel dari waktu ke waktu antara menumbuhkan

Chlorella sp. dengan menggunakaan medium walne untuk mengetahui terjadinya

perubahaan nutrisi dan kondisi sel dari Chlorella sp. selama masa penyimpanan.

Dapat diketahui bahwa pada penyimpanaan biomasa Chlorella sp. dalam bentuk

Page 8: BAB-II

16

pasta selama 4 minggu, masih terdapat sel hidup sebanyak 46 %. Penurunan sel

yang hidup diikuti dengan penurunan isi sel selama penyimpanan. Kadar protein

pasta mikroalga dan juga mikroalga kering tidak mengalami perubahan yang

nyata selam penyimpanan, namun kandungan β-karoten mengalami penurunan

demikian pula kapasitas antioksidannya (Vashista, 1979, Rostini, 2007).

Chlorella sp. termasuk cepat berkembang biak, mengandung gizi yang

cukup tinggi yaitu protein 42,2 %, lemak kasar 15,3 %, nitogen dalam bentuk

ekstrak, kadar air 5,7 % dan serat 0,4 %. Chlorella sp. juga menghasilkan suatu

antibiotik yang disebut Chlorellin yang dapat melawan penyakit-penyakit yang

disebabkan oleh bakteri. Chlorella sp. memiliki laju pertumbuhan spesifik k =

0,6486 dan mencapai puncak kepadatan pada hari ke-10 dan hari ke-16. Laju

pertumbuhan tertinggi dicapai oleh perlakuan dengan kepadatan awal terendah

dan diikuti dengan kepadata awal yang lebih tinggi (Watanabe, 1978).

2.2.3 Kultur Chlorella sp. sp.

Chlorella sp. merupaka jenis mikroalga yang pertama kali dikembangkan

dalam kultur murni, mula-mula ditumbuhkan oleh Departemen Biologi Carnegia

Institute pada agar miring (Oh-Hama dan Miyachi. 1988).

Budidaya Chlorella sp. sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

nutrient, karbondioksida dan cahaya (Reham dan reed. 1981). Selanjutnya

Soeroso (1993) mengatakan disamping faktor nutrien, karbondioksida dan cahaya

masih terdapat faktor lingkungan yang menentukan keberhasilan kultur Chlorella

sp. diantaranya suhu, pH, oksigen dan salinitas. Semua komponen lingkungan ini

harus dalam kondisi optimal agar tercapai pertumbuhan maksimum.

Unsur nutrien yang dibutuhkan alga hijau dalam jumlah besar

(makronutrien) adalah C, H, O, N, S, P, K dan Mg yang dibutuhkan untuk

pembentukan sel Chlorella sp., sedangkan unsur makronutrien seperti Fe, Mn, Co,

Na, Cu, dan Ca digunakan sebagai katalis proses biosintesis (Kabinawa et al.

1993).

Sumber nitrogen yang umum digunakan untuk kultur alga adalah garam

ammonium, nitrar dan urea. Jika ammonium atau nitrat digunakan sebagai sumber

Page 9: BAB-II

17

nitrogen, maka pH medium berubah dengan adanya pertumbuhan alga. Absorbs

ion nitrat (NO3) menaikkkan pH medium, sedangkan konsentrasi ion NH4+ dapat

menurunkan pH. Urea hanya sedikit menyebabkan perubahan pH medium untuk

jenis pertumbuhan autotrof dan heterotrof . Jika ada suplai ammonium dan nitrat, alga lebih suka menggunakan ammonium sebagai sumber nitrogennya. Penambahan amonium pada sel yang telah mengasimilasi nitrat menyebabkan penghambatan yang segera dan tuntas pada proses asimilasi tersebut. Asimilasi amonium menyebabkan penekan pada enzim nitrat reduktase. Chlorella sp. dapat menggunakan urea sebagai satu-satunya sumber nitrogen (Richmond. 1986).

Kombinasi pupuk komersial yaitu: urea, TSP dan KCL dapat digunakan untuk kultur Chlorella sp.. Urea dapat dimanfaatkan sebagai

sumber nitrogen (N) bagi pertumbuhan Chlorella sp.. Percepatan pertumbuhan sel

alga pada umumnya sangat bergantung pada ketersediaan nitrogen dalam media

kultur. Kebanyakan mikroalga mengandung 7-9% nitrogen atau berat kering

biomassa (Richmond. 1986).

Cahaya berperan penting dalam proses fotosintesis, dimana energi cahaya

diubah menjadi energi kimia oleh aktifitas klorofil. Di alam sumber cahaya

berasal dari matahari yang mampu dimanfaatkan oleh organism autotrof. Reaksi

yang terjadi adalah (Umebayashi. 1995):

Menurut Umebayashi (1995) pengaruh intensitas cahaya

terhadap pertumbuhan alga berbandingan terbalik dengan suhu. Jika suhu

meningkat, intensitas cahaya sebaiknya diturunkan. Begitu pula sebaliknya, bila

suhu air turun maka intensitas cahaya harus dinaikkan. Di dalam laboratorium,

pengkulturan Chlorella sp. biasanya menggunkan lampu sebagai sumber cahaya

dengan intensitas berkisar 500-5000 lux dan lama pencahayaan 12 jam terang 12

jam gelap (Umebayashi. 1995).

Page 10: BAB-II

18

Pengembangbiakn Chlorella sp. dapat dilakukan di dalam (indoor) atau

dalam ruangan terpisah yang tertutup untuk menjamin kebersihan dan kesterillan,

tetapi proses tersebut lebih banyak membutukan biaya dan dapat mengakibatkan

rendahnya mutu komponen yang berguna terutama klorofil dan faktor

pertumbuhan (Kabinawa. 1999).

Budidaya system outdoor merupakan system yang sangat kompleks,

tergantung pada interaksi berbagai factor eksternal dan internal. Skema umum

diagram alir dari berbagai input dan output pada kultivasi alga. Berdasarkan input

yang diberikan untuk mendapatkan biomassa alga terdapat 2 macam sistem

sebagai berikut (Kabinawa. 1999):

1. Clean process (kultur murni). Sistem ini menggunakan air bersih,

mineral dan penambahan sumber karbon. Alga yang dihasilkan

terutama digunakan sebagai food supplement.

2. Sistem yang menggunakan air limbah industry sebagai media

kultur tanpa penambahan mineral dan karbon eksternal. Pada

sistem ini terdapat simbiosis nutrisi antara alga dan bakteri.

Biomassa yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pakan.

2.2.4 Peranan Chlorella sp.

2.2.4.1 Peranan dalam budidaya perikanan

Kegunaan Chlorella sp. secara tidak langsung mulai berkembang.

Chlorella sp. merupakan makanan hidup bagi jenis-jenis tertentu golongan ikan

sehingga seringkali sangat diperlukan dalam budidaya. Penyediaan makanan

alami berupa plankton nabati dan plankton hewani yang tidak cukup tersedia,

seringkali menyebabkan kegagalan dalam mempertahankan kelangsungan hidup

larva pada pemeliharan larva udang Penaeid. Seperti halnya Chlorella sp. (

Prescott. 1976).

2.2.4.2 Peranan bagi manusia

Page 11: BAB-II

19

Menurut Prescott (1976) jasad renik dengan kesanggupannya tumbuh dan

berkembang biak dengan cepat serta bergizi tinggi, merupakan potensi sumber

bahan makanan yang dapat membantu mengatasi masalah kebutuhan protein bagi

kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari berbagai

penelitian yang telah dilakukannya mengenai Chlorella sp., ternyata jenis alga

memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai bahan makanan manusia.

Chlorella sp. termasuk cepat dalam berkembang biak, mengandung gizi

yangcukup tinggi, yaitu protein 42,2%, lemak kasar 15,3%, nitrogen dalam bentuk

ekstrak, kadar air 5,7%, dan serat 0,4%. Untuk setiap berat kering yang sama,

Chlorella sp. mengandung vitamin A, B, D, E, dan K, yaitu 30 kali lebih banyak

dari pada vitamin yang terdapat dalam hati anak sapi, setta empat kali vitamin

yang terkandung dalam sayur bayam, kecuali vitamin C (Watanabe, 1978).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Chlorella sp. dapat digunakan

sebagai makanan tambahan yakni ditambahkan ke dalam es cream, roti, ataupun

air susu sapi. Dengan penambahan tepung Chlorella sp., ternyata dapat

meningkatkan kadar protein sebesar 20% dan lemak 75% di dalam roti dan mie,

dan kira-kira 30% protein dan lemak 15% di dalam es krim (Verkarataman, 1969).

Chlorella sp. juga menghasilkan suatu antibiotik yang disebut Chlorellin, yaitu

suatu zat yang dapat melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri

(Vashista, 1979).

2.1 Industri Tahu

2.1.1 Limbah cair Industri Tahu

Limbah industri tahu terdiri dari dua jenis, yaitu limbah cair dan padat.

Dari kedua jenis limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan

berpotensi mencemari lingkungan. Sebagian besar limbah yang dihasilkan

bersumber dari cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu pada proses

penggumpalan dan penyaringan yang disebut air dadih atau whey. Sumber limbah

lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian,

penyaringan. Pencucian peralatan proses dan lantai. Jumlah limbah cair yang

dihasilkan oleh nutrisi pembuatan tahu sebanding dengan penggunaan air untuk

Page 12: BAB-II

20

pemrosesannya. Menurut Nuraida (1985) jumlah kebutuhan air proses dan jumlah

limbah cair yang dihasilkan dilaporkan berturut-turut sebesar 45 dan 43.5 liter

untuk tiap kilogram bahan baku kacang kedelai. Pada beberapa industri tahu,

sebagian kecil dari limbah cair tersebut (khusus air dadih) dimanfaatkan kembali

sebagai bahan penggumpal (Dhahiyat. 1990).

Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik kompleks

yang tinggi terutama protein dan asam-asam amino (EMDI-Bapedal. 1994) dalam

bentuk padatan tersuspensi maupun terlarut (BPPT. 1997). Adanya senyawa-

senyawa organic tersebut menyebabkan limbah cair industry tahu mengandung

BOD, COD dan TSS yang tinggi (BPTT 1997 dan Husin 2003) yang apabila

dibuang kedalam pearairan tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan

pencemaran.

Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu

maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan berupa limbah

padat dan cair. Limbah padat industri tahu belum dirasakan dampaknya karena

limbah padat industri tahu bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Nuraida.

1985).

Air banyak digunakan sebagai bahan pencucian dan merebus kedelai untuk

proses produksinya. Akibat dari banyaknya pemakaian air dalam proses

pembuatan tahu maka limbah cair yang dihasilkan juga cukup besar. Limbah cair

industri tahu memiliki beban pencemar yang tinggi. Pencemaran limbah cair

industri tahu berasal dari bekas pencucian kedelai, perendaman kedelai, air bekas

pembuatan tahu dan air bekas perendaman tahu (Hermana. 1985).

Air limbah tersebut mengandung bahan organik, bila langsung dibuang

kebadan air penerima tanpa ada nya proses pengolahan maka akan menimbulkan

pencemaran, seperti menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap dan

berkurangnya oksigen yang terlarut dalam air sehingga mengakibatkat organisme

yang hidup didalam air terganggu karena kehidupannya tergantung pada

lingkungan sekitarnya. Pencemaran yang dilakukan terus menerus akan

Page 13: BAB-II

21

mengakibatkan mati nya organisme yang ada dalam air, menginggat air berubah

kondisinya menjadi anaerob. (Astuti,2007).

Menurunnya kadar oksigen yang terlarut dalam air berati kondisi

pencemaran didalam air semakin meningkat, maka diperlukan pencegahan

pencemaran akibat limbah cair industri tahu agar habitat dan kehidupan air yang

ada disekitar lingkungan tetap terlindungi (Farid, 2008).

Air limbah tahu sendiri didefinisikan sebagai air sisa penggumpalan tahu

yang dihasilkan selama proses pembuatan tahu. Pabrik tahu di Indonesia

mengalami kesulitan dalam mengelola limbahnya. Bahkan, tak jarang pengusaha

industri tersebut membuang limbah cair mereka tanpa adanya pengolahan terlebih

dahulu. Hal ini tentu saja merugikan lingkungan. Berdasarkan penelitian-

penelitian terdahulu, limbah cair tahu mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan

tanaman. Limbah cair tahu tersebut dapat dijadikan alternatif baru yang digunakan

sebagai pupuk sebab di dalam limbah cair tahu tersebut memiliki ketersediaan

nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman (Handajani. 2005).

Limbah cair tahu dimanfaatkan menjadi pupuk cair organik dengan

menambahkan EM4. Data dari penelitian tersebut adalah total kandungan nitrogen

dalam pupuk cair organik dengan berbagai konsenterasi EM4 dan tanpa

pemberian EM4 sangat tinggi jika dibandingkan dengan Permetan No

28/Permetan/OT.140/2/2009 tentang Standar Mutu Pupuk Organik. Sumbernya

berasal setelah proses pengendapan dengan cuka (Triawati. 2010).

Menurut Handajani (2005) hasil penelitian menunjukkan bahwa

pemberian limbah cair tahu dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh

berbeda sangat nyata terhadap laju pertumbuhan relatif populasi Spirullina.

Perlakuan terbaik adalah pemberian limbah cair tahu dosis 31 mg/l dimana

kandungan N dan P pada media kultur sebesar 21,04 ppm dan 2,098 ppm.

Menurut Mackentum (1969) berdasarkan uji pendahuluan pada limbah cair tahu

mengandung Nitrat sebesar 14,628 ppm dan kandungan Orthophosfat sebesar 13,5

ppm.

Page 14: BAB-II

22

Berdasarakan penelitian Triawati (2010) terhadap tiga sampel limbah tahu

pabrik Kedung Tarukan mengandung Nitrogen berturut-turut 16,59%, 16,74%,

dan 17,04%. Menurut Suriadikata, dkk (2006), syarat komposisi N dan P yang

diperlukan untuk pupuk cair yakni sebesar kurang dari 5%. Komposisi limbah

tahu dapat memenuhi persyaratan pupuk cair tersebut.

2.1.3 Karakteristik Limbah Cair Industri

Bahan-bahan organik terkandung di dalam buangan industri tahu pada

umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organic didalam air buangan tersebut

dapat berupa protein, karbohidrat lemak, dan minyak. Di antara senyawa-senywa

tersebut, protein dan lemaklah yang jumlah paling besar (Nurhasan dan

Pramudyanto. 1991), yang mencapai 40-60% protein, 25-50% karbohidrat, dan

10% lemak (Sugiharto. 2009). Semakin lama jumlah dan jenis bahan organik ini

semakin banyak, dalam hal ini akan menyulitkan pengelolaan limbah, karena

beberapa zat sulit diuraikan oleh mikroorganisme didalam air limbah tahu

tersebut (Nurhasan dan Pramudyanto. 1991).

Berdasarkan hasil studi Balai Perindustrian Medan terdapat karakteristik

air buangan industri tahu di Medan (Bappeda Medan. 1993), diketahui bahwa

limbah cair industri tahu rata-rata mengandung BOD (4583 mg/l), COD (7050

mg/l), TSS (4743 mg/l) dan minyak atau lemak 26 mg/l serta pH 6.1. Sementara

menurut Laporan EMDI-Bapedal (1994) limbah cair industri tersebut rata-rata

mengandung BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar 3250, 6520 dan 1500

mg/l.

2.1.4 Aspek Ekonomi Pengolahan Limbah

Aspek ekonomi pengolahan limbah cair menyangkut manfaat yang

diperoleh dari unit pengolahan dengan mikroalga Chlorella sp. Adata kompensasi

pengolahan limbah yang dilakukan dan biaya (cost) yang dikeluarkan untuk

mengolah limbah tersebut. Beberapa ukuran yang digunakan antara lain (Garrison.

1996):

1. Manfaat (Benefit) Pengolahan Limbah

Page 15: BAB-II

23

Manfaat langsung dari kegiatan mengelola limbah berupa

hasil penjualan biomassa kering Chlorella sp. Sebagai bahan baku

pakan (feed grade).

2. Harga Pokok Biaya Pengolahan Limbah

Harga pokok biaya pengolahan limbah adalah besarnya

biaya yang dikeluarkan untuk mengola limbah setiap m3 limbah

cair. Harga pokok biaya pengolahan limbah cair diperoleh hasil

bagi antara biaya total (total cost ) dengan volume yang diolah

selama periode tertentu.

3. Biaya total pengolahan Limbah

Biaya total adalah semua biaya yang dikeluarkan selama

periode waktu tertentu, dipergunakan untuk membayar pengolahan

limbah yang dihasilkan oleh industry pupuk. Biaya total terdiri dari

biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang besar

kecilnya tidak dipengaruhi oleh volume limbah yang diolah, seperti

penyusutan atau amortisasi sedangkan biaya variabel adalah biaya

yang perubahannya dipengaruhi oleh perubahan volume limbah

yang diolah, seperti biaya pemeliharaan dan perbaikan peralatan,

biaya listrik dan air.