BAB II 2100020 -...

44
24 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT UANG A. Pengertian dan Jenis-Jenis Uang 1. Definisi Uang Para tokoh ekonomi pada umumnya memberikan definisi yang sama mengenai uang. Mereka mendefinisikan uang sebagai sesuatu yang secara umum diterima sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual-beli barang dan jasa, pembayaran utang, pajak dan lainnya. 1 Definisi yang lain diberikan oleh An-Nabhani yang mengatakan bahwa uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga yaitu sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga. 2 Weber yang lebih dikenal sebagai seorang sosiolog pun, tidak mau ketinggalan untuk ikut mendefinisikan uang. Ia tidak hanya mendefinisikan uang dari perspektif ekonomi tetapi juga melihat uang dari perspektif sosial. Menurut Weber sebagaimana yang dikutip kembali oleh Nugroho mengatakan bahwa uang adalah sarana yang paling akurat untuk transaksi dan interaksi sosial ekonomi. 3 1 Iswardono, Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE, 1999, hlm. 4. Pendapatan senada disampaikan juga oleh beberapa ekonom lain seperti William A. Mc Eachern, Economics: A Contemporary Introduction, terj. Sigit Triandaru: “Ekonomi Makro Pendekatan Kontemporer”, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 258. Selain itu definisi serupa disampaikan oleh Y. Sri Susilo, et.al., Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 5 2 Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nidham Al-Iqtishadi Fil Islam, terj. M. Maghfur Wahid: “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif”, Surabaya: Risalah Gusti, 2002, hlm. 297 3 Heru Nogroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I, hlm. 25

Transcript of BAB II 2100020 -...

24

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT UANG

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Uang

1. Definisi Uang

Para tokoh ekonomi pada umumnya memberikan definisi yang sama

mengenai uang. Mereka mendefinisikan uang sebagai sesuatu yang secara

umum diterima sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual-beli barang

dan jasa, pembayaran utang, pajak dan lainnya.1

Definisi yang lain diberikan oleh An-Nabhani yang mengatakan

bahwa uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga

yaitu sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan

tenaga.2

Weber yang lebih dikenal sebagai seorang sosiolog pun, tidak mau

ketinggalan untuk ikut mendefinisikan uang. Ia tidak hanya mendefinisikan

uang dari perspektif ekonomi tetapi juga melihat uang dari perspektif

sosial. Menurut Weber sebagaimana yang dikutip kembali oleh Nugroho

mengatakan bahwa uang adalah sarana yang paling akurat untuk transaksi

dan interaksi sosial ekonomi.3

1 Iswardono, Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE, 1999, hlm. 4. Pendapatan senada

disampaikan juga oleh beberapa ekonom lain seperti William A. Mc Eachern, Economics: A Contemporary Introduction, terj. Sigit Triandaru: “Ekonomi Makro Pendekatan Kontemporer”, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 258. Selain itu definisi serupa disampaikan oleh Y. Sri Susilo, et.al., Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 5

2 Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nidham Al-Iqtishadi Fil Islam, terj. M. Maghfur Wahid: “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif”, Surabaya: Risalah Gusti, 2002, hlm. 297

3 Heru Nogroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I, hlm. 25

25

Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa sesuatu itu

menjadi uang karena pemilihan masyarakat, hukum dan sejarahnya. Hal ini

tampak dari definisi-definisi yang diberikan oleh para tokoh di atas, di

mana mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikan uang karena mereka

tidak berada pada situasi dan kondisi yang sama. Keadaan masyarakat baik

itu dari segi hukum maupun historisnya sangat mempengaruhi pemikiran

mereka. Namun setidaknya ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan

patokan dalam menentukan sesuatu agar bisa disebut sebagai uang.

Criteria-kriteria tersebut antara lain:

a. Acceptability dan Cognizability

Uang harus dapat diterima secara umum dan diketahui secara umum,

baik itu sebagai alat tukar, penimbun kekayaan, standar cicilan utang,

dan lain-lain.

b. Stability of Value

Uang harus memiliki nilai yang stabil. Kepercayaan seseorang akan

nilai uang serta perubahan nilai uang yang terlalu besar, hanya dapat

terwujud jika nilai uang terjaga kestabilannya.

c. Elasticity of Supply

Jumlah uang yang beredar harus mencukupi kebutuhan dunia usaha

(perekonomian). Kekurangan supplay uang akan menghambat kegiatan

perekonomian sehingga mengakibatkan kemacetan perdagangan. Oleh

karena itu, otoritas moneter (Bank Sentral) perlu memantau

26

perkembangan perekonomian sehingga elastisitas ketersediaan dana

terjaga.

d. Portability

Uang harus bisa dibawa setiap hari, sehingga transaksi akan berjalan

lancar.

e. Durability

Uang harus dijaga nilai fisiknya. Dengan kata lain uang harus relatif

tahan lama. Karena kerusakan pada uang akan menurunkan nilai dan

merusakkan kegunaan moneter dari uang tersebut.

f. Divisibility

Uang harus memiliki nilai satuan nominal. Dan nilai nominal tersebut

harus tetap dijaga untuk menjamin dapat ditukarkannya uang yang satu

dengan yang lainnya.4

Uang memainkan peranan yang sangat penting dalam

perekonomian. Beberapa peranan uang tersebut antara lain:5

a. Alat tukar-menukar. Uang berfungsi sebagai alat pertukaran. Karena

uang merupakan sesuatu yang diterima secara umum untuk

pembayaran barang dan jasa.

b. Satuan hitung atau alat pengukur nilai. Uang digunakan sebagai satuan

umum untuk mengukur nilai setiap barang dan jasa. Sehingga uang

4 Iswardono, op. cit, hlm. 5-6. lihat juga Y. Sri Susilo, et.al., op. cit, hlm. 5 5 William A. Mc Eachern, dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Sigit Triandaru, hanya

menyebutkan tiga fungsi uang yaitu sebagai alat pertukaran, satuan hitung, dan penyimpan nilai. Selengkapnya lihat Wiliam A. Mc Eachern, op. cit, hlm. 259

27

dapat berfungsi sebagai alat yang menciptakan harmoni perekonomian,

di mana satuan nilai tersebut disepakati oleh semua orang.

c. Standar pembayaran masa depan. Uang juga berfungsi sebagai standar

untuk pencicilan utang atau untuk menyatakan besarnya utang.

d. Alat penimbun kekayaan atau penyimpan nilai. Uang berperan sebagai

penyimpan nilai bila dapat menyimpan daya beli selama waktu

tertentu.6

2. Jenis-Jenis Uang

Berdasarkan bahan (material), uang dapat dibedakan menjadi:

1) Uang logam. Uang logam ini biasanya terbuat dari emas, perak, dan

perunggu.

2) Uang kertas. Uang kertas ini dibagi lagi menjadi dua yaitu uang kartal

(currencies) dan uang giral (deposit money).

Berdasarkan nilainya, uang dibedakan menjadi:

1) Uang bernilai penuh (full bodied money), yaitu uang yang nilai

bahannya (intrinsik) sama dengan nilai nominalnya.

2) Uang yang tidak bernilai penuh (representative full bodied money) atau

yang dikenal sebagai “uang bertanda” (token money), artinya uang

yang nilai intrinsiknya lebih kecil daripada nilai nominalnya.

Berdasarkan lembaga atau badan pembuatnya, uang juga dibedakan

menjadi:

6 Y. Sri Susilo et.al, op. cit, hlm. 5-6. Mengenai fungsi uang ini, dapat dilihat juga dalam

Iswardono, op, cit, hlm. 6-9

28

1) Uang kartal yaitu uang yang dicetak atau dibuat dan diedarkan oleh

bank sentral berupa uang kertas dan uang logam.

2) Uang giral, yaitu uang yang dibuat dan diedarkan oleh bank-bank

umum (komersial) dalam bentuk demand deposit atau yang lebih

dikenal dengan check.

Berdasarkan kawasan atau daerah berlakunya, uang dapat dibedakan

menjadi:

1) Uang domestik, yaitu uang yang berlaku hanya di suatu negara

tertentu.

2) Uang internasional, yaitu uang yang berlaku tidak hanya dalam suatu

negara tetapi mungkin berlaku atau diakui berlaku di berbagai negara

atau di seluruh dunia.

Berdasarkan pertimbangan bahwa uang merupakan kekayaan, maka

uang dibedakan menjadi:

1) Inside money (uang dalam). Uang jenis ini oleh sektor swasta secara

keseluruhan tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan.

2) Outside money (uang luar). Uang jenis inilah yang dapat dikategorikan

sebagai kekayaan oleh sektor swasta.7

Sedangkan Susilo hanya mengklasifikasikan uang dalam dua

golongan uatama, yaitu uang dalam pengertian sempit (narrow money)

yang terdiri dari uang kartal dan uang giral serta uang dengan pengertian

luas (broad money) yang bisa diartikan dalam dua kelompok. Kelompok

7 Iswardono, Ibid, hlm. 10-16

29

pertama terdiri dari narrow money ditambah dengan saving deposit dan

time deposit. Kelompok pertama ini biasa diberi notasi M2. kelompok

kedua terdiri dari M2 ditambah dengan seluruh simpanan dalam masyarakat

pada lembaga keuangan non bank dan biasa diberikan notasi M3.8

B. Konsep Uang Menurut Islam

1. Uang dalam Sejarah Islam

Orang Arab sebelum datangnya Islam telah dikenal dengan

aktivitas perdagangannya. Dalam hubungan perdagangan tersebut, mereka

menggunakan dinar dan dirham sebagi media pertukaran dengan negara-

negara sekitarnya. Ketika pulang dari Syam mereka membawa dinar emas

Romawi (Byzantium) dan membawa dirham perak Persia (sassanid) dari

Irak. Kadang-kadang mereka membawa pula sedikit dirham himyar dari

Yaman. Jadi saat itu banyak uang mata uang asing yang masuk negeri

Hijaz, berupa dinar emas Romawi dan dirham pereak Persia. Tetapi pada

saat itu dinar dan dirham digunakan menurut beratnya, tidak berdasarkan

nilai nominal maupun cetakannya. Hal itu dikarenakan bentuk dan

timbangan dirham tidak sama dan beratnya menyusut akibat peredarannya.

Agar tidak terjadi penipuan, mereka menggunakan standar timbangan

khusus seperti auqiyah, nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath, dan

habbah. Mitsqal setara dengan 22 qirath kurang satu habbah. Sedangkan 10

dirham sama dengan 7 mitsqal.9

8 Y. Sri Susilo, Ibid, hlm. 4 9 Sigit Purnawan Jati, “Seputar Dinar dan Dirham”, dalam Muhammad Ismail Yusanto, et.al.

(eds), Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta: PIRAC, 2001, Cet.I, hlm. 119-120

30

Pada masa Rasulullah SAW datang membawa Islam, orang-orang

Arab masih menggunakan emas dalam bentuk dinar dan perak dalam

bentuk dirham dalam kegiatan tukar-menukar mereka. Dinar Romawi dan

dirham Persia tidak mereka gunakan secara menyeluruh, karena bentuk,

berat dan ukurannya bermacam-macam. Timbangan-timbangan khusus

yang mereka pakai antara lain rithl (12 uqiyah), uqiyah (40 dirham), nasy

(20 dirham atau ½ uqiyah) dan nawat (5 dirham). Nabi Muhammad SAW

menetapkan untuk memamakai timbangan mata uang Makkah. Beliau

bersabda, “Timbangan berat (wazan) adalah timbangan penduduk Makkah

dan takaran (mikyal) adalah takaran penduduk Madinah”. (H.R. Abu

Dawud dan An-Nasya’i). Dan beliau mewajibkan zakat harta dalam dinar

dan dirham, begitu pula mengenai hukum perdagangan seperti riba dan

pinjaman, dalam hal mahar perkawinan, pemotongan tangan pencuri,

denda (diyat), sehingga emas dan perak dianggap sebagai mata uang yang

disyari’atkan.10

Di samping itu, sepanjang kehidupannya Nabi tidak pernah

merekomendasikan perubahan apapun terhadap mata uang. Begitu pun

khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini. Dalam ilmu hadits hal ini

disebut hadits af’al dan taqrir, yaitu jenis hadits yang tidak diucapkan

tetapi dilakukan dan sikap Nabi yang membenarkan (tidak mengingkari)

sesuatu yang diperbuat oleh seorang sahabat (orang yang mengikuti syara’)

dihadapan Nabi atau diberitakan kepada beliau, lalu beliau tidak

10 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, Jilid I, Kairo: Maktabah Wahabah, t.t, hlm. 62

31

menyanggah atau tidak menyalahkan serta menunjukkan bahwa beliau

menyetujuinya.11

Pada tahun 20 H (tahun kedelapan kekhalifahan Umar), khalifah

Umar mencetak uang dirham baru berdasarkan pola dirham Persia, di mana

berat, gambar, maupun tulisan Bahlawinya (huruf Persianya) tetap ada,

hanya pada tepi lingkarannya ditulisi dengan huruf arab gaya Kufi, seperti

lafadz “bismillah” (dengan nama Allah) dan “bismillahi rabbi” (dengan

nama Allah Tuhanku). Kaum muslimin pada abad-abad kemudian juga

melestarikan tradisi ini.

Pada tahun 75 H (695 M) – ada yang mengatakan 76 H – khalifah

Abdul Malik bin Marwan mencetak dirham khusus yang bercorak Islam

dengan lafadz-lafadz Islam bergaya Arab Kufi, bukan bercorak dirham

Persia lagi. Kemudian pada tahun 77 H (697 M), gambar-gambar manusia

dan hewan pada dinar dan dirham diganti dengan lafadz-lafadz Islam.

Lafadz-lafadz tersebut seperti “Allahu Ahad” (Allah itu Tunggal),

“Allahu Baqa” (Allah itu Abadi), dan salah satu sisinya diberikan tulisan

“Laa Ilaaha Illa Allah”, sedang sisi sebaliknya terdapat tanggal

pencetakan dan nama khalifah atau wali (gubernur) yang memerintah pada

saat pencetakan uang.

Sudarsono menyebutkan pada waktu mata uang Islam dan gedung

tempat pembuatan mata uang disebut dengan sikkah dan dar as-sikkah.

Sedangkan mata uang utamanya adalah dinar emas dan dirham perak, yang

11 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarng:

Pustaka Rizqi Putera, 2001, hlm. 7-8

32

nama keduanya diambil dari kosakata Yunani denarius dan drachmos.

Uang pecahan (maksur) seperti qitha dan mitsqal, juga dikenal pada masa

itu. Ketika Islam mengalami krisis mata uang emas dan perak pada abad

ke-4 H dikenal juga mata uang tembaga tipis yang dicampur dengan perak

yang disebut fulus (dari bahasa latin follies), dan disebut juga dengan al-

qarathis.12

Sejak saat itu kaum muslimin mempunyai dinar dan dirham Islam

sebagai mata uang resmi mereka dan tidak menggunakan mata uang

lainnya. Namun, menjelang Perang Dunia I, dunia menghentikan

penggunaan emas dan perak sebagai mata uang. Paska Perang Dunia I,

emas dan perak dipakai kembali sebagai mata uang, tetapi hanya bersifat

parsial. Apalagi ketika Turki (khilafah atau negara Islam) pada tahun 1924

hancur, dinar dan dirham tidak lagi menjadi mata uang kaum muslimin.

Meskipun demikian, emas dan perak tetap digunakan, walaupun

makin lama makin berkurang. Ketika Richard Nixon – Presiden AS saat itu

– mengumumkan secara resmi penghentian sistem Bretton Woods, maka

pada tanggal 15 Agustus 1971, penggunaan emas dan perak dihentikan

secara total. Padahal sebelumnya ditetapkan bahwa dolar harus ditopang

oleh emas dan terikat dengan emas pada harga tertentu.13

Berat (wazan) dinar di masa Jahiliyah (dinar Romawi) tidak

berbeda dengan berat dinar di masa Islam. Dinar memiliki satu standar

berat, yaitu satu mitsqal. Dinar inilah yang disebut dengan dinar syar’i,

12 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta: EKONISIA, 2002, cet. I, hlm. 144 13 Sigit Purnawan Jati, op.cit.,hlm. 121-123

33

karena Rasulullah SAW mengakuinya serta hukum-hukum seperti zakat,

diyat, dan pemotongan tangan pencuri dikaitkan dengan dinar tersebut.

Khalifah Malik bin Marwan ketika mencetak dinar Islam pada tahun 77 H

(697 M), juga menggunakan standar berat dinar tersebut.14

Al-Baghdadi (1987), sebagaimana dikutip kembali oleh Jati

menyebutkan bahwa dirham Persia pada masa itu berbeda-beda beratnya

dan ada tiga macam:

a. Dirham besar (dirham kibar atau baghliyah atau As-Su’ud al Wafiyah).

Beratnya satu mitsqal atau 20 qirath.

b. Dirham kecil (dirham shighar atau thibriyah), disebut thibriyah, karena

tempat pembuatannya di Thibristan. Beratnya 0,5 mitsqal atau 10

qirath.

c. Dirham sedang (dirham wasath atau Jawariqiyah), disebut demikian

karena tempat pembuatannya di Jurqah (Iran). Sedangkan beratnya 0,6

mitsqal atau 12 qirath.15

Sedangkan yang disebut sebagai dirham syar’i, yaitu berat 10

dirham sedang (dirham wasath) setara dengan bert 7 mitsqal. Berat inilah

yang dikenal sebagai “waznu sab‘ah”. Standar berat inilah yang dipakai

Rasulullah untuk menghukumi kewajiban zakat perak, yaitu untuk setiap

200 gr, zakatnya sebesar 5 dirham. Begitu pula khalifah Abdul Malik bin

14 Ibid. 15 Ibid, hlm. 124

34

Marwan dalam mencetak dirham Islam pada tahun 75 H (695 M), juga

menggunakan standar berat dirham tersebut.16

Jati mengemukakan bahwa mata uang beserta berat timbangan yang

dipakai pada masa Jahiliyah, serta disahkan dan diakui oleh Islam tersebut,

dapat dikonversi ke dalam satuan-satuan berat yang dikenal di zaman

modern saat ini. Konversi tersebut ditunjukkannya melalui tabel-tabel

berikut ini.17

Tabel 1. Konversi Berat (Wazan) Dinar:

Standar Berat syar’i Perhitungan Berat Emas (gr) Keterangan

1 mitsqal (1 dinar) - 4,25 Standar berat dinar

1 daniq emas 1/8 x 4,25 gr emas 0,53125 1 mitsqal = 8 daniq

1 qirath 1/20 x 4,25 gr emas 0,2125 1 mitsqal = 20 qirath

1 habbah sya’ir 1/72 x 4,25 gr emas 0,059 1 mitsqal = 72 habbah

sya’ir (biji gandum)

Tabel 2. Konversi Berat (wazan) dirham:

Standar berat syar’i Perhitungan Berat Emas (gr) Keterangan

1 dirham 7/10 x 4,25 gr emas 2,975 1 dirham = 7/10 mitsqal

10 dirham 10 x 2,975 gr perak 29,75 10 dirham = 7 mitsqal

1 nasy 20 x 2,975 gr perak 59,5 1 nasy = 20 dirham

1 nuwah 5 x 2,975 gr perak 14,8751 Nuwah = 5 dirham

1 daniq perak 1/6 x 2,975 gr perak 0,495 1 dirham = 6 daniq

1 uqiyah 40 x 2,975 gr perak 119 1 uqiyah = 40 dirham

Jadi, dari kedua tabel di atas dapat diketahui bahwa 1 dinar syar’i

adalah emas seberat 4,25 gr. Sedangkan 1 dirham syar’i adalah perak

seberat 2,975 gr. Dengan demikian, pada dasarnya sistem uang di dalam

16 Ibid, hlm. 124 17Ibid, hlm. 125-126

35

Islam mengikuti timbangan emas dan perak. Hanya berat, cetakan, bentuk,

dan model ukirannya saja yang bervariasi.

Sejarah juga menunjukkan bahwa sistem moneter yang dikenal

pada masa Nabi Muhammad SAW adalah sistem dua mata uang

(bimetallic standard) yang terdiri dari emas dan perak. Pada waktu itu ratio

dari peredaran dinar dibanding dirham hanya stabil pada periode tertentu,

yaitu 1:10 sampai dengan masa keempat khalifah. Namun setelah itu,

orang lebih senang menyimpan uang dinar dan menggunakan dirham

sebagai alat transaksi, sehingga memperkecil peredaran dinar, mencapai

tingkat ratio 1:50. Peristiwa inilah yang dikenal sebagai Gresham’s Law

pada abad ke-16, yaitu: bad money tends to drive good money out of

circulation (peredaran uang yang buruk menggeser uang yang baik).

Sistem dua mata uang ini juga diadopsi oleh AS pada tahun 1729, pada

saat gold-silver rationya hanya 1:15. Namun pada tahun 1873 AS

mendemonetisasi silver karena harga jenis metal tersebut berfluktusi tajam,

sehingga sulit untuk mengaitkan kedua jenis mata uang tersebut dalam

suatu tingkat ratio tertentu, yang berdampak pada tidak dipakainya lagi

bimetallic standard secara universal.18

Selanjutnya, emaslah yang diberlakukan secara universal sebagai

standar mata uang (monometalism). Gold currency standard ini pada

asasnya membolehkan suatu negara untuk mengkonversikan atau

menyetarakan mata uangnya dengan emas dengan tingkat legal yang

18 Mulia E. Siregar, “Manajemen Moneter Alternatif”, dalam Muhammad Ismail Yusanto

et.al.(eds), Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta : PIRAC, 2001, Cet. I, hlm.84-85

36

ditetapkan oleh otoritas moneter. Sedangkan bentuknya ada empat macam,

yaitu:

a. The gold coin standard; yaitu suatu sistem moneter di mana gold

coin aktif beredar di masyarakat sebagai standar alat tukar (medium

of exchange).

b. The gold bullion standard; merupakan standar moneter dengan

ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1) Nilai satuan-satuan moneternya dikaitkan dengan seberat

tertentu emas

2) Pemerintah membeli dan menjual seluruh emas yang ditawarkan

pada harga tetap.

3) Emas tidak beredar dalam perekonomian.

4) Emas yang tersedia digunakan untuk tujuan industri dan

transaksi-transaksi internasional dari bank.

5) Pemerintah menerima uang kredit untuk ditukarkan dengan

emas.

c. The managed gold bullion standard; merupakan sistem moneter di

mana emas tidak dapat dipakai lagi dalam peredaran umum.

d. The gold exchange standard atau Breton woods system, yaitu

kesepakatan internasional di bidang moneter di mana mata uang

merupakan fiat money yang dapat dikonversikan ke dalam emas

dengan harga tertentu.19

19 Iswardono, op. cit, hlm. 22-25

37

Namun ternyata dengan sistem gold standard ini tidak mudah untuk

menjaga kestabilan nilai tukar mata uang, karena meningkat dan

menurunnya produksi emas yang tiada menentu. Apalagi ketika terjadi PD

I pada tahun 1914, di mana negara-negara yang terlibat perang berupaya

untuk menjadikan sistem uang emas tersebut menjadi tidak menentu. Ada

negara yang menghentikan kemungkinan bisa ditukarkannya mata uangnya

menjadi emas dan ada yang sengaja membelenggu pengeluaran uang emas

tersebut.20 Akhirnya pada Agustus 1971 AS mendemonetisasi gold, setelah

Breton Woods System yang diterapkan pasca PD II ternyata tidak

memuaskan.

Dengan berakhirnya Breton woods system maka bergantilah dengan

sistem fully fledged managed money standard di mana mata uang yang

beredar sama sekali tidak terkait dengan emas. Konsekuensinya muncullah

dua fenomena utama yaitu tingginya tingkat inflasi dan tidak stabilnya nilai

tukar. Dan sistem inilah yang berlaku hingga sekarang, tidak hanya di AS

saja tapi hampir seluruh negara di dunia ini menerapkannya.

2. Konsep Uang Menurut Pandangan Syari’ah

Dalam kitab-kitab fiqh, konsep uang tidak dijelaskan secara jelas

dan eksplisit. Ulama-ulama fiqh klasik lebih suka untuk mendefinisikan

dan menjelaskan seluk beluk harta daripada uang. Apakah mereka

menganggap uang ini sebagai harta ataukah karena mereka merasa tidak

perlu lagi membicarakan tentang masalah uang karena uang bentuknya

20 Taqiyuddin An-Nabhani, op. cit, hlm. 305

38

telah pasti? Karena itulah banyak ulama kontemporer yang mengkaji

kembali tentang konsep harta sekaligus konsep uang di dalamnya.

Harta dalam kitab-kitab fiqh ditunjukkan dengan istilah al-mal

yang bentuk jamaknya adalah al-amwal. Secara literal al-mal berarti

“condong” atau “berpaling’ dari satu posisi kepada posisi lainnya. Ia

adalah sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya.21 Secara terminologi atau istilah, pengertian tentang harta atau al-mal

ada bermacam-macam, di antaranya ta’rif harta yang berkembang di

kalangan fuqaha’ Hanafiyah sebagai berikut:

���������������������� ������������������������������������22�

“Sesuatu yang tabi’at manusia cenderung kepadanya dan mungkin untuk disimpan sampai batas waktu yang diperlukan.”

Golongan Hanafiyah mensyaratkan adanya unsur iddikhar (dapat

disimpan), hal ini dikarenakan menurut mereka “manfaat” tidak termasuk

bagian dari konsep harta melainkan masuk dalam konsep milkiyah. Mereka

membedakan antara konsep milik dan konsep mal. Milik adalah sesuatu

yang kita dapat bertasharruf dengannya secara ikhtishash, tanpa dicampuri

orang lain. Oleh karena itu manfaat masuk ke dalam bagian milik.

Sedangkan mal adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk

dimanfaatkan diwaktu yang diperlukan.23

Sedangkan konsep harta menurut kalangan jumhur fuqaha’

madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah adalah:

21 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual, Jakarta:P.T. Raja Grafindo Persada,

2002, Cet. I, hlm. 10 22 Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, Al-Madkhal Al-Fiqh Al-‘Amm, Juz III, t.t. hlm. 114 23 Ibid.

39

���������������������� ������������������������24��

“Sesuatu yang tabi’at manusia cenderung kepadanya dan dapat diserah terimakan dan orang lain terhalang untuk mempergunakannya.”

Dari ta’rif di atas dapat disimpulkan bahwa menurut kalangan

jumhur, harta tidak terbatas pada materi saja, melainkan juga manfaatnya.

Adapun para fuqaha’ muta’akhirin mendefinisikan harta sebagai

berikut:

a. Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, mengatakan yang dimaksud dengan

harta adalah:

��������������������� ����!��������" �������25�

“Harta adalah setiap benda (‘ain) yang mempunyai nilai dan bersifat materi yang beredar di kalangan manusia”.

b. Muhammad Sya’labi sebagaimana dikutip kembali oleh Mas’adi

menyampaikan definisi harta sebagai berikut:

����#$�����%� ����$%������������������$&��� �#$������'��26�

“Sesuatu yang dapat dikuasai, dapat disimpan, serta dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan.”

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat

disimpulkan bahwa harta memiliki empat unsur,27 yaitu:

a. Bersifat materi (‘ainiyah) atau mempunyai wujud nyata

b. Dapat disimpan untuk dimiliki (qabilan lit-tamlik)

24 Ibid, 25 Ibid, hlm. 118 26Ghufron A. Mas’adi, op. Cit, hlm. 12 27 Ash-Shiddiqy, dalam pengantar fiqh muamalahnya hanya menyebutkan dua unsur harta,

yaitu ‘ainiyah dan ‘urf. Selengkapnya baca Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizqi Putera, 1999, hlm. 155

40

c. Dapat dimanfaatkan (qabilan lil-intifa’)

d. ‘Urf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai

harta.28

Menurut Mas’adi unsur ‘urf ini tercermin dalam term

mutadawilatin bainannas (beredar di kalangan masyarakat) yang

disampaikan oleh Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, juga sebagaimana yang

disampaikan oleh Muhammad Sya’labi dalam term Mu’tadan (menurut

kebiasaan).29 Hal ini menunjukkan bahwa adat atau kebiasaan sangat

berperan dalam menentukan apakah sesuatu itu dipandang sebagai harta

atau bukan. Adat atau tradisi sebagiamana sesuatu yang berkembang dalam

masyarakat tertetntu bersifat dinamis, sehingga suatu materi pada

masyarakat tertentu bisa dianggap sebagai harta, namun tidak demikian

pada masyarakat yang lain.

Melihat unsur-unsur harta sebagaimana disebut di muka, maka

unsur-unsur tersebut juga dimiliki oleh uang. Term “sesuatu” (ma) dan

“materi” (‘ain), tidak menafikan uang sebagai harta (mal). Begitu juga

unsur-unsur “disimpan, diserah terimakan dan bermanfaat”.30

Mata uang termasuk dalam jenis mal mitsli dan mal istihlaki

huquqi. Mal mitsli yaitu benda-benda yang ada persamaan dalam satu

kesatuannya dalam arti bisa berdiri sebagiannya di tempat sebagian yang

lain, tanpa ada perbedaan yang perlu diperhatikan (dinilai). Adapaun yang

dimaksud dengan mal istihlaki adalah sesuatu yang hanya dapat diambil

28 Ghufran A. Mas’adi, op. cit, hlm. 12 29 Ibid, hlm. 13 30 Ibid.

41

manfaat dan kegunaan secara biasa dengan cara menghabiskannya.

Sedangkan uang dipandang sebagai istihlaki huquqi karena ia hanya

istihlak dari segi hukum, namun bendanya masih utuh.31

Dalam pandangan al-Qur’an uang diartikan sebagai harta kekayaan

dan nilai tukar bagi sesuatu. Islam memandang positif terhadap uang dan

harta. Al-Qur’an memerintahkan untuk mencari fadhl Allah, yang arti

harfiyahnya berarti “kelebihan yang bersumber dari Allah”. Hal ini

mengindikasikan bahwa manusia hendaknya mencari rezqi lebih dari

kebutuhannya. Maksudnya agar kelebihan tersebut dapat menjadi

motivator bagi manusia untuk beribadah secara sempurna serta

mendistribusikannya kepada pihak lain yang tidak bercukupan.32 Salah satu

ayat yang menunjuk hal ini adalah:

������( ���) ������*$���+ ������� ,$����-./ �����) ������0���&�����1��2�

“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah.” (Q.S. 62: 10).33

Selanjutnya Allah SWT menilai harta atau uang sebagai

“qiyaman”, yaitu “sarana pokok kehidupan” (Q.S. An-Nisa’: 5), di mana

Islam memerintahkan untuk menggunakan uang secara baik pada

tempatnya, serta tidak memboroskannya.34

31 Secara lengkap, harta dibagi menjadi sepuluh bagian yang asasi, ditinjau dari berbagai segi

yang masing-masing memiliki ciri-ciri dan hukum sendiri. Untuk lebih jelasnya lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, op. cit, hlm. 157-187

32 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, Cet. III, 1996, hlm. 403

33 Departemen Agama RI, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 933 34 M. Quraish Shihab, loc.cit,

42

Tidak ada dalil yang lebih tegas tentang nilai dan urgensi harta

dalam pandangan Islam, selain dari diturunkannya ayat terpanjang dalam

kitab Allah yang mengatur urusan harta, memelihara, menjaganya, dan

memperkuat berbagai muamalahnya dengan melakukan pencatatan,

persaksian, pegadaian, dan sebagainya. Ayat tersebut terkenal dengan

sebutan ayat Mudayanah (utang piutang), yaitu Surat Al-Baqarah ayat

282.35

Jadi menurut pandangan syari’ah (Al-Qur’an maupun fiqh), uang

termasuk ke dalam jenis harta. Namun syari’ah hanya menyebutkan

kriteria-kriteria uang saja. Sedangkan mengenai ‘ain atau materinya tidak

ada penentuan secara pasti. Yang penting uang tersebut harus memenuhi

unsur-unsur harta sebagaimana di atas. Di dalam al-Qur’an hanya terdapat

larangan untuk tidak menimbun emas dan perak (Q.S. 9:34). Walaupun

dikatakan bahwa yang dimaksud dengan emas dan perak dalam ayat

tersebut adalah uang, karena pada saat diturunkannya ayat itu, emas dan

perak diperlakukan sebagai uang.

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa uang tidak perlu mengandung

emas dan perak, tapi emas dan perak menjadi standar nilai uang.

Pemerintah harus memberikan jaminan terhadap uang yang tidak

mengandung emas dan perak, serta harus menetapkan nilainya.36

35 Yusuf al-Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq Fil Iqtishadil Islam, terj. Didin Hafiduddin

et.al.: “Peran Nilai Dengan Moral Dalam Perekonomian Islam”, Jakarta: Robbani Press, 1997, hlm. 96

36 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Jilid. I, t.k: Dar al-Fikr, t.t., hlm. 388

43

Hal senada disampaikan oleh Al-Ghazali, bahwa peredaran uang

yang sama sekali tidak mengandung emas dan perak dibolehkan, asal

pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar resmi.37

Namun tidak demikian dengan An-Nabhani menurutnya Islam

memang tidak menetapkan barang tertentu sebagai asas pertukaran

(mubadalat atau tabadul) untuk barang dan jasa, baik itu dalam

menetapkan hukum-hukum jual-beli (bai’) dan sewa-menyewa (ijarah).

Selama terdapat unsur saling ridha (taradhi), maka Islam membolehkan

manusia untuk melakukan pertukaran dengan apa saja yang mereka

kehendaki, baik yang dipertukarkan itu barang, jasa, atau uang.38

Hanya saja, Islam membedakan masalah pertukaran (mubadalat

atau tabadul) dengan masalah mata uang (naqd) yang akan dicetak oleh

negara Islam (khilafah). Dalam masalah mata uang bagi negara, Islam telah

menetapkan standar tertentu sebagai asas pertukaran , yaitu emas dan

perak. Dalil syara’ untuk ketentuan hukum ini dipahami dari pengaitan

emas dan perak dengan hukum-hukum syara’ yang tetap dan tidak

berubah-ubah. Hukum-hukum syara’ itu adalah:

a. Islam mengharamkan menimbun emas dan perak. Allah SWT

berfirman:

���������3����4 ��&��3! ,���( ���������� �5�6#�����) #���4 !�����%���������

0����$���1���2�

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada

37 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz. II, Kairo: Daru Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.t., hlm. 70 38 Taqiyuddin An-Nabhani, loc. Cit.

44

mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Q.S. 9:34)39

Larangan pada ayat di atas tertuju pada penimbunan emas dan perak,

sebagai emas dan perak, dan sebagai mata uang dan alat tukar. Pada

saat ayat tersebut turun, zat emas dan perak ketika itu menjadi alat tukar

(medium of exchange), satuan hitung tenaga yang terdapat dalam suatu

pekerjaan dan standar manfa’at yang terdapat pada harta. Baik dalam

bentuk cetakan seperti dinar dan dirham, ataupun tidak dalam bentuk

cetakan atau batangan.40 Yang dimaksud dengan menimbun (al-kanz)

adalah mengumpulkan sesuatu tanpa ada keperluan (hajat). Adapun

mengumpulkan sesuatu karena ada suatu keperluan, disebut al-ihtikar

(menabung atau menyimpan), dan hukumnya boleh, misalnya

mengumpulkan emas dan perak (atau uang) untuk membayar mahar

dalam pernikahan, membangun usaha, membangun rumah, pergi haji,

dan sebagainya.

b. Islam mewajibkan pembayaran diyat dengan emas dan perak, serta

menentukan ukuran tertentu untuk masing-masingnya. Islam juga

menentukan ukuran tertentu dalam bentuk emas, dalam kasus

pencurian. Diyat berupa emas besarnya 1000 dinar, sedangkan diyat

berupa perak besarnya 12.000 dirham. Diriwayatkan dari Ibnu Abas r.a

bahwa pernah seorang laki-laki dari kabilah Bani Ady terbunuh. Lalu

Nabi SAW menetapkan bahwa diyatnya adalah sebesar 12.000 dirham

39 Departemen Agama RI, op,cit., hlm. 283 40 Taqiyuddin An-Nabhani, op. Cit, hlm. 278

45

(H.R. An-Nasa’i).41 Rasulullah SAW pernah mengatakan di dalam surat

beliau yang beliau kirimkan kepada penduduk Yaman: “Bahwa di

dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta… dan

terhadap pemilik emas, (ada kewajiban) sebanyak 1000 dinar.” (H.R.

An-Nasa’i, dari Amru bin Hazm).42 Diriwayatkan dari A’isyah r.a

bahwa Rasululah SAW bersabda, “Tangan itu wajib dipotong, (apabila

mencuri) ¼ dinar atau lebih (H.R. Imam Bukhari).43

c. Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan corak sebagai uang, dan

beliau hanya menjadikan emas dan perak sajalah sebagai standar uang.

Beliau telah membuat standar uang ini dalam bentuk uqiyah, dirham,

daniq, mitsqal, qirath dan dinar.

d. Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah

mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, dan menentukan

nishabnya dengan emas dan perak juga.

e. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (sharf atau money

changer) yang terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukan dengan

emas dan perak semua transaksi dalam bentuk finansial yang

dinyatakan dalam Islam hanya dinyatakan dengan emas dan perak.

Diriwayatkan dari Abi Bakrah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak boleh jual-beli emas dengan emas kecuali dengan nilai setara,

dan perak dengan perak kecuali dengan nilai setara (sama nilainya).

41 An-Nasa’i, As-Sunnan Al-Kubra, Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiah, t.t., hlm. 234-

235 42 Ibid, hlm. 234 43 Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz VII, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiah, t.t., hlm. 328,

lihat juga An-Nasa’i, Ibid, hlm. 236

46

Dan jual belilah emas dan perak, dan perak dengan emas sekehendak

kalian.” (H.R. Bukhari)44

Berdasarkan kelima hal di atas, maka An-Nabhani menyatakan bahwa

uang tersebut harus berupa emas dan perak atau standar moneter

(monetary standard)-nya berupa emas dan perak. Jadi uang dalam Islam

harus berupa emas dan perak. Namun demikian ia memperbolehkan

untuk melakukan pertukaran dengan selain emas dan perak, karena

menurutnya masalah uang terkait dengan masalah penggunaan uang,

bukan dengan masalah pertukaran.45

3. Fungsi Uang dalam Perspektif Islam

Dalam hukum Islam, fungsi uang diterima secara bulat sebagai alat

tukar menukar. Dalam menjalankan fungsi ini, uang dapat dipecah dalam

satuan-satuan terkecil. Sedangkan barang-barang yang lain tidak bisa

demikian, melainkan barang tersebut akan menjadi berkurang nilainya atau

bahkan mengakibatkan kerusakan.

Tetapi dalam era industri dan perdagangan seperti sekarang ini

menurut ekonomi konvensional, fungsi uang tidak hanya sebagai alat tukar,

melainkan sudah meluas fungsinya sebagai komoditas (hajat hidup yang

bersifat terbatas) dan sebagai modal. Dikatakan bahwa uang berfungsi

komoditas, karena uang kedudukannya tidak berbeda dengan barang yang

dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba).

Sedangkan uang berfungsi sebagai modal, karena uang dapat menghasilkan

44 Ibid, Juz III, hlm. 44 45 Penjelasan lebih rinci, lihat Taqiyuddin An-Nabhani, op. cit, hlm. 298-301

47

sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang atau jasa. Fungi uang

sebagai komoditas dan modal ini dapat dilihat dengan semakin maraknya

lembaga keuangan seperti pasar modal, bursa efek dan perbankan

konvensional.

Fungsi uang sebagai komoditas atau modal ditentang keras oleh

sebagian ekonom Islam. A. Mannan, salah seorang pakar ekonomi Islam

menyatakan bahwa Islam hanya mengakui fungsi uang sebagai alat tukar,

bukan suatu komoditi dan juga bukan sebagai modal. Karena dalam Islam

uang tidak bersifat produktif.46 Demikian juga Ibnu Taimiyah menolak

keras perdagangan uang. Karena menurutnya uang itu bukan suatu

komoditas. Ia melarang sultan untuk berbisnis uang, dengan cara membeli

tembaga dan mencetak fulus, sehingga mendapatkan keuntungan dari

pencetakan tersebut.47 Dalam istilah finansial, hal ini disebut seignorage.48

Sejumlah tokoh ekonom muslim Indonesia, seperti Adiwarman A.

Karim, Syafi’i Antonio dan Zainul Arifin juga bersikap dan berpandangan

serupa. Adiwarman A. Karim misalnya, mengatakan bahwa semakin

banyak uang yang diperdagangkan, maka akan semakin sedikit yang dapat

berfungsi sebagai alat tukar. Konsekuensinya akan terjadi inflasi yang

cukup tinggi dan menurunnya perdagangan domestik, maupun

internasional.49 Penolakan mereka terhadap fungsi uang sebagai komoditas

46 Abdul Mannan, op. cit, hlm. 163 47 Ibnu Taimiyah, Majmu’atu Al-Fatawa Li Syaikh Al-Islam, Jilid 29, Pakistan: Dar al-Wafa’,

2001, hlm. 256 48 Seignorage adalah selisih antara biaya pencetakan dengan nilai nominal uang yang dicetak. 49 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam (Suatu Kajian Kontemporer), Jakarta: Gema Insani

Press, 2001, hlm. 54

48

sebagai modal, semata-mata hanyalah untuk melenyapkan ketidakadilan,

ketidakjujuran dan eksploitasi dalam ekonomi tukar-menukar (barter)

karena ketidakjujuran ini digolongkan sebagai riba al-fadhl yang dilarang

agama.

Pendapat senada disampaikan oleh M. Syafi’i Antonio bahwa uang

dalam Islam hanya dipandang sebagai alat tukar, bukan komoditas atau

barang dagangan. Dalam Islam hanya dikenal money demand for

transaction (motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi

kebutuhan transaksi) sedangkan money demand for speculation (permintaan

akan uang untuk spekulasi atau trading) tidak dikenal dalam Islam. Uang

adalah flow concept, karena itu harus selalu berputar dalam

perekonomian.50

Namun lain halnya dengan Mas’adi, ia berpendapat bahwa uang,

juga berfungsi sebagai komoditas dan modal. Alasannya, karena konsep

harta dalam fiqh mu’amalah meliputi harta yang bersifat alamiah dan harta

dalam bentuk uang. Tidak ada perbedaan antara barang alamiah (benda)

maupun uang. Demikian juga tidak terdapat keterangan dalam al-Qur’an

mengenai fungsi uang, apakah hanya berfungsi sebagai alat tukar, ataukah

dapat difungsikan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai midal. Tetapi,

penghalalan al-Qur’an terhadap kegiatan niaga (tijarah), selama dilakukan

dengan saling rela (‘an taradhin), mengindikasikan bahwa harta (termasuk

50 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani

Press, 2001, cet. I, hlm. 185

49

uang) dapat diperdagangkan (berfungsi sebagai komoditas) dan dapat

difungsikan sebagai modal untuk disewakan manfa’atnya.51

Quraisy Syihab mengatakan bahwa menurut pandangan al-Qur’an

uang merupakan modal serta salah satu faktor yang penting, tetapi bukan

yang terpenting. Manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik,

agar ia terus produktif dan tdak habis digunakan. Allah menjadikan uang

atau harta untuk sarana kehidupan manusia, bukan untuk disimpan atau

ditimbun.52

Jadi, menurut pandangan Islam, selain fungsi pokok uang sebagai

alat tukar, uang juga berfungsi sebagai modal dan komoditas (fungsi

pelengkap). Namun, hendaknya jangan sampai terjadi penyalahgunaan

fungsi uang, di mana fungsi pokok dikalahkan oleh fungsi pelengkapnya.

Karena Islam sangat tidak menghendaki pengeksploitasian, yang

mengakibatkan lahirnya kesenjangan dan ketidakadilan dalam

perekonomian.

C. Zakat atas Uang

Zakat artinya sejumlah harta yang dikeluarkan dari orang-orang kaya

dan dibagikan kepada kaum fakir miskin dengan niat melaksanakan perintah

Allah SWT dan mengharap pahala dari sisinya.

Dalam UU RI No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,

disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang

51 Ghufron A. Mas’adi, op. Cit, hlm. 16-17 52 M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op. Cit, hlm. 406

50

muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan

agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Zakat ada dua macam, yaitu zakat fithrah dan zakat mal (harta). Zakat

fithrah artinya zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim ketika

berakhirnya puasa Ramadhan yang berupa makanan pokok (beras) sebanyak 1

sha’ (2,5 kg = 3,5 liter).

Sedangkan zakat mal (harta) adalah zakat yang dikeluarkan dari

kekayaan atau sumber kekayaan, yang mencakup emas dan perak (uang),

pertanian, perdagangan, peternakan, harta galian, termasuk juga pendapatan

dari profesi, usaha, investasi, dan lain-lain.

Zakat mal diwajibkan pada tahun ke-9 H., sedangkan zakat fithrah

pada tahun ke-2 H. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada

peraturan khusus atau ketentuan hukumnya. Namun setelah tahun ke-9 H,

disusunlah peraturan yang meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang

yang dikenai zakat, batas-batas zakat, dan tingkat persentase zakat untuk

barang yang berbeda-beda.53

Dalam Bab IV pasal II ayat 2, dari UU zakat tersebut juga dinyatakan

bahwa harta yang dikenai zakat adalah: emas, perak, dan uang, perdagangan

dan perusahaan, hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan, hasil

pertambangan dan hasil peternakan, hasil pendapatan dan jasa, dan rikaz.

Sedangkan mengenai penentuan nishab, kadar dan waktunya diserahkan

kepada hukum agama.

53 Heri Sudarsono, op. Cit, hlm. 120

51

Zakat dan ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan),

merupakan sumber pendapatan primer pada masa Rasulullah SAW. Namun

obyek yang dikenakan zakat masih terbatas. Emas dan perak zakatnya

ditentukan berdasarkan beratnya. Barang dagangan, bahan tambang, dan

luqathah ditentukan berdasarkan nilai jualnya. Sedangkan hasil pertanian dan

buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya.54

Pewajiban zakat memiliki tiga landasan filosofis, yaitu:

1. Istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di bumi)

Harta benda yang dimiliki seseorang hanyalah titipan Allah SWT.

seluruh alam raya dan segala isinya adalah milik Allah SWT. Titipan

tersebut hanyalah sebagai sarana untuk kehidupan manusia, karena itu

harus digunakan untuk kepentingan bersama, baik itu melalui zakat, infaq,

dan shadaqah.

2. Solidaritas sosial

Manusia tidak dapat hidup sendiri. Segala sesuatu yang

diperolehnya merupakan bantuan dari orang lain, baik disadari maupun

tidak. Manusia hanya mengelola bahan baku (alam seisinya) yang telah

disediakan Allah SWT. Hakikatnya Allahlah pemilik segala sesuatu.

Karena itu, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk mengeluarkan

sebagian kecil hartanya kepada saudaranya yang kurang beruntung.

54 Ibid, hlm. 123

52

3. Persaudaraan

Diakui atau tidak, seluruh manusia di alam ini berasal dari satu

keturunan. Hubungan persaudaraan itu akan lebih kuat, dalam suatu ikatan

kesamaan agama, bangsa, dan sebagainya. Hubungan itu tidak hanya

sebatas take and give (mengambil dan menerima) saja, melainkan disertai

dengan kerelaan untuk saling membantu tanpa pamrih, menyisihkan harta

untuk saudara-saudara yang membutuhkan.55

Penentuan obyek zakat mengalami perkembangan seiring dengan

perkembangan ekonomi masyarakat pada umumnya. Situasi ekonomi

sekarang tentunya berbeda jauh dengan keadaan ekonomi seribu tahun

yang lalu. Misalnya saja tentang naqdain atau atsman (alat tukar dan

standar harga). Sekian abad lamanya, termasuk di masa Rasulullah SAW,

emas dan perak telah mantap posisinya sebagai alat tukar dan standar

harga di seluruh dunia, berupa dinar dan dirham. Namun sekarang, mata

uang tersebut sudah tidak dijumpai lagi. Perekonomian sekarang

didominasi oleh uang kertas dan uang giral, cek, bilyet, dan sebagainya.

Pasar uang dan valas, serta money changer merupakan suatu hal yang

sudah tidak asing lagi. Dan dalam konteks seperti ini, ibadah zakat akan

tetap diterapkan.

Uang merupakan alat tukar langsung yang memiliki harga yang sah

yang biasanya dijamin dengan persedian emas sebesar yang ditentukan

55 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 323-325.

53

oleh undang-undang. Uang ini diterbitkan oleh pemerintah atau badan

yang diberi ijin oleh pemerintah untuk menerbitkannya.

Zakat uang oleh mayoritas ulama disamakan dengan zakat emas

dan perak. Emas dan perak merupakan logam mulia yang selain

merupakan lambang elok, juga sering dijadikan perhiasan. Emas dan perak

juga dijadikan mata uang yang berlaku dari waktu ke waktu. Islam

memandang emas dan perak sebagai harta yang potensial berkembang.

Oleh karena itu, syara’ mewajibkan zakat atas keduanya, baik berupa

uang, leburan logam, bejana, souvenir, ukiran atau yang lain.

Masalahnya sekarang, uang yang ada atau beredar saat ini

bukanlah uang emas dan perak, bahkan sama sekali tidak disandarkan pada

emas dan perak. Uang yang ada sekarang menganut sistem fiat money, di

mana nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas

atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari

kertas). Al-Qur’an hanya mewajibkan emas dan perak saja yang harus

diinfakkan sebagiannya di jalan Allah (Q.S. At-Taubah: 34). Begitu juga

hadits Nabi SAW dan pendapat para ulama klasik, hanya mewajibkan

zakat emas dan perak. Sedangkan mengenai uang yang ada sekarang ini,

belum tersentuh hukumnya oleh ijtihad mereka.

Para fuqaha telah sepakat mengenai wajibnya zakat emas dan

perak.56 Dasar yang mereka gunakan adalah firman Allah:

56 Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, t.t., hlm. 414; lihat juga

Ibnu Hazm, al-Muhallah, Juz V, Beirut: Dar al-Affaq al-Jadidah, t.t., hlm. 60 dan 68; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz II, Dar al-Fikr, 1985, hlm. 317; As-Sayyid Syabiq, Fiqh As-Sunnah,

54

������3����4 ��&��3! ,���( �����������5�6#�����) #���4 !�����%����������7��3�

���������3$%��� ��� ��!�3! 58�35����35!���� �5��� �$��3�5�� ���9�� �5�: �����

���%��$�3$����������3��#��0���$����1��;���2�

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (Q.S. 9: 34-35).57

Adapun dasar kewajiban zakat emas dan perak yang terdapat dalam

hadits Nabi SAW, adalah sunnah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah

r.a:

����3:����: �( ���:/ �( ���� ����<��1���������5���� �=�����) ���4 !��4 ��/ ������

���������������3�5�� ���9���5�: �9����� ������>?�#/ ������#/ �����6���3��������������56�

������ ��6�� ���� 3�� 9�� ��: � ��� �� �� �� ��:�� � 58� �$5��� ����� �5�� @ ���

���������������&�������( ���) 6���$������A�<���3:����� ���58�

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang yang memiliki emas dan perak yang dia tidak mengeluarkan zakatnya kecuali harta tersebut akan dipanaskan dalam neraka Jahannam kemudian disetrikakan dilambungnya, keningnya dan punggungnya, sampai Allah SWT selesai menghukumi di anatara hamba-hamba-Nya pada suatu hari yang kadarnya sama dengan 50.000 tahun”. (H.R. Muslim).

Menurut Abdurrahim dan Mubarok, yang dimaksud “menyimpan”

dalam ayat tersebut adalah tidak mau memberikan zakatnya. Jadi semua

Jilid I, Kairo: Dar al-Fath, hlm. 433; Wahabah Az-Zuhaili, Alfiqhu al-Islami wa Adillatu, Juz III, Dar Al-Fikr, hlm. 1819

57 Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 283 58 Ibnu Qudamah, loc. cit.

55

emas dan perak termasuk perhiasan yang dimiliki, kalau sudah mencapai

nishab harus dizakati.59

An-Nabhani menyatakan bahwa kata emas dan perak dalam ayat-

ayat al-Qur’an maupun ketentuan-ketentuan syara’, bisa berarti dua

macam: untuk uang yang dipergunakan dalam berbagai transaksi, baik

berupa tembaga, maupun uang kertas, yang dijamin dengan emas dan

perak, serta berarti untuk emas dan perak itu sendiri.60

Itulah sebabnya sehingga para ulama kontemporer menjadikan ayat

tersebut sebagai dasar hukum diwajibkannya zakat uang.

Menurut mereka, mata uang yang berlaku pada masa sekarang di

masing-masing negara termasuk dalam kategori emas dan perak. Begitu

juga segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek,

saham atau surat berharga lainnya. Sehingga penentuan nishab dan

besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak. Kekayan lainnya

seperti, rumah, villa, kendaraan, tanah dan lain-lain, yang melebihi

keperluan menurut syara’ dan dibeli atau dibangun dengan tujuan

menyimpan uang dan sewaktu-waktu dapat diuangkan juga diwajibkan

zakat.

Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya

zakat atas uang kertas (An-Nuqud al-Waraqiyah). Jumhur fuqaha yaitu

59 Abdurrahim dan Mubarok, Zakat dan Peranannya dalam Pembangunan Bangsa serta

Kemaslahatannya Bagi Umat, Bandung: Surya Handayani Pratama, 2002, cet. I, 39 60 Taqiyuddin An-Nabhani, op. Cit, hlm. 302

56

Hanafi, Maliki dan Syafi’i, menetapkan bahwa uang kertas tersebut wajib

dikeluarkan zakatnya. Namun tidak demikian dengan madzhab Hanbali.61

Madzhab Syafi’i mengatakan:

Uang kertas sama dengan hutang bank, selama bank belum menginvestasikannya. Bank sebagai pemilik dari nilai hutang dan bank sebagai tempat yang siap membayar, maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakatnya. Tidak adanya ijab dan qabul tidak membatalkannya, karena itu sudah menjadi tradisi. Hal itu karena menurut sebagian ulama syafi’i yang dimaksudkan dengan ijab dan qabul adalah kerelaan (ridha), baik dalam perkataan atau perbuatan. Dan keridhoan di sini benar-benar telah nyata. Madzhab Hanafi berkata:

“Uang kertas – hutang bank – termasuk dalam jenis hutang,

kecuali jika dimungkinkan untuk ditukarkan dengan perak secara

langsung, maka wajib zakat atasnya langsung.”

Sedangkan Madzhab Maliki berpendapat:

“Nota bank walaupun dalam bentuk kwitansi hutang, jika dapat

diwujudkan dengan perak secara langsung, dan mengambil alih

kedudukan emas dalam pergaulan tukar-menukar (mu’amalah),

maka wajib atasnya zakat, lengkap dengan syarat-syaratnya.”

Madzhab Hanbali menetapkan bahwa tidak wajib zakat atas uang

kertas. Mereka mengatakan:

“Tidak diwajibkan zakat atas uang kertas kecuali jika dapat

ditukarkan dengan emas atau perak dan terdapat syarat-syarat

zakat padanya.”62

61 Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hlm. 1834 62 Abdur Rahman al-Jaziri, Kitab Al-Fiqhi Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz I, Mesir: AL-

Maktabah at-Tijarah al-Kubra, t.t., hlm. 605-606

57

Az-Zuhaili mengatakan bahwa alasan madzhab Hambali tidak

mewajibkan zakat atas uang kertas, karena ia tidak dapat ditukarkan

langsung dengan emas dan perak, dianalogikan dengan penerimaan

hutang. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pengqiyasan jenis uang tersebut

dengan hutang adalah salah. Dalam hutang, pemiliknya (ad-da’in) tidak

bisa memanfaatkan uang yang dihutangkan tersebut, sehingga para fuqaha’

tidak mewajibkan zakat atasnya sampai hutang tersebut diterima oleh

orang yang menghutangkan. Namun tidak demkian dengan uang, di mana

pemilik uang dapat memanfaatkannya, sebagaimana pemanfa’atan emas

sebagai harga dari segala sesuatu.

Jadi dalam penentuan hukum zakat atas uang yang ada sekarang,

masih terjadi ikhtilaf di kalangan para fuqaha’. Hal tersebut tergantung

dari sudut mana serta bagaimana cara pandang atau persepsi mereka

terhadap uang itu sendiri. Metode istinbath mereka juga ikut andil dalam

penetapan hukum zakat uang.

D. Nishab dan Kadar Zakat Uang

1. Nishab Zakat Uang

Yang dimaksud dengan nishab adalah ketentuan minimal untuk

harta yang diwajibkan zakatnya.63 Rahman menjelaskan bahwa dalam

63 Sofyan Syafri Harahap, Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam, Jakarta: Pustaka

Quantum, 2001, cet. I, hlm. vii

58

Islam setiap jenis harta telah ditentukan batas pembebasannya yang disebut

dengan nishab.64

Adapun nishab bagi emas adalah 20 mitsqal atau 20 dinar.65 Hadits-

hadits yang menerangkan tentang hal ini adalah sebagai berikut:

� –�����9: �� �- �) ����3/ � �� �B�����9���� �C �� ���� ��������D�����1

<�9� ����������9�� � ����� � ����� ��&� �� ���9�� ����� A / �� � ����� �� , ���

3!� �������3! ���$?��0��<���������� 66 (�

Diceritakan dari Abu Bakr Bin ‘Iyasy dari Ishaq dari ‘Ashim bin Dhamrah dari Ali, ia berkata: “Pada setiap dua puluh dinar (dikeluarkan zakatnya) sebesar setengah dinar dan setiap empat puluh dinar (zakatnya) satu dinar dan setiap dua ratus dirham sebesar lima dirham.” (H.R. Abu Dawud).

� – ��������������������A :����� �����D���1����3!� �����������������( ���� ���D

�����,?� � � ������ ��������( ���� �� ���� ���������1����( ���:/ �9�������

��������� � ����� A / �� ��� �/ �� �� ����� �� , � ��� ��� ��E�� ���� 3:�� ��:

������ �������&� ����. 67�

Telah menceritakan pada kami Bakr bin Khalaf dan Muhammad bin Yahya, keduanya berkata Abdullah bin Musa telah bercerita bahwa Ibrahim bin Isma’il telah mengabarkan kepadanya, diriwayatkan dari Abdillah bin Waqid, dari Ibnu Umar dan A’isyah, bahwasannya Nabi SAW. mengambil (zakat) pada setiap dua puluh dinar atau lebih, setengah dinar dan dari empat puluh dinar satu dinar.

Hadits yang pertama menurut Abu Ubaid merupakan hadits

marfu’68, sedangkan hadits yang ketiga, dinyatakan dha’if oleh Ibnu Majah,

karena dha’ifnya Ibrahim bin Isma’il.69

64 Afzanur Rahman, Ecomic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo Nastangin, “Doktrin Ekonomi

Islam, Jilid. III, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2002, cet. II, hlm. 264 65 Lihat Abu Ubaid, op.cit, hlm. 413; Ibnu Qudamah, op.cit., hlm. 319; Ibnu Hazm, op.cit.,

hlm. 66; As-Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 434; Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm. 1820 66 Ibid. 67 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Dar al-Fikr, t.t., hlm. 571 68 Hadits Marfu’ yaitu hadits (khabar) yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik muttashil

sanadnya maupun tidak muttashil yaitu ada putus pada sanadnya. Jika putus pada satu tempat atau

59

Mengenai berapa sebenarnya ukuran mitsqal atau dinar para ulama

fiqh berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi, 1 mitsqal = 5 gr. Bank

Islam Faishal di Sudan mengatakan 1 mitsqal = 4,457 gr atau 4,25 gr.

Sedangkan golongan Hanbali mengatakan bahwa ukuran dinar lebih kecil

dari mitsqal. Sehingga besarnya nishab emas = 25 2/7 + 1/9 dinar. Ukuran

20 mitsqal atau 20 dinar juga disamakan dengan 14 Lira emas Utsmaniyah

atau 15 Lira emas Prancis, 12 Lira Inggris dan disamakan dengan 100 gr

untuk mitsqal Irak, 96 gr mitsqal a’jam, sedangkan menurut Jumhur 20

dinar = 91 23/25 gr.70

Adapun menurut Imam Malik dalam al-Muwaththa’ 20 dinar itu

sama dengan 280 4/7 dirham menurut kurs dirham Mesir.71 Afzalur

Rahman mengatakan bahwa 20 dinar = 7 ½ tolas.72 Pendapat senada juga

dikemukakan oleh Triyuwono, di mana 7,5 tolas kalau dikonversikan

dengan timbangan sekarang, seberat 3 ons.73 Namun Mursyidi berpendapat

bahwa 20 dinar itu seukuran dengan 85 gr emas74 dan pendapat ini

didukung oleh Jati.75

Untuk perak, para fuqaha’ menetapkan nishabnya sebesar 200

dirham, dan tidak ada ihtilaf di kalangan para ulama mengenai hal ini.

Adapun hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang hal ini adalah: lebih secara tidak beriringan, namanya munqathi’ dan jika putus pada dua tempat secara beriringan dinamanakan mu’dhal. Lebih jelasnya lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, op. cit, hlm. 171

69 Ibnu Majah, loc. cit. 70 Wahbah Az-Zuhaili, loc.cit. 71 As-Sayyid Sabiq, loc.cit. 72 Afzalur Rahman, op. Cit, hlm. 282 73 Iwan Triyuwono, op. Cit, hlm. 32 74 Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 96 75 Sigit Purnawan Jati, op. Cit, hlm. 125

60

�- �����3:����: �( ���:/ �9������ �@ �������&��9���� ��<1���������9��" ��

�F,�3! ���$?��<

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudhri dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Tidak ada (kewajiban zakat) untuk yang lebih sedikit dari dua ratus dirham.”

�- ������3:����: �( ���:/ �( ���� �� �� ����� �<�1������" �����������" ��

����" ������ �����" ��� ���/ �B ������B�����" ��� ���/ ��������� ���

�����/ � �$������B�����������������73:����� �76�

Diriwayatkan dari Jabir dari Rasulullah SAW. beliau bersabda: “Tidak ada kewajiabn zakat untuk perak yang kurag dari lima uqiyah, tidak wajib zakat untuk unta yang kurang dari lima ekor, dan tidak wajib zakat untuk kurma yang kurang dari lima wasaq.” (H.R. Muslim)

Madzhab Hanafi mengatakan ukuran 200 dirham dengan 700 gr.

Sedangkan Jumhur menyamakannya dengan 642 gr. Namun telah

disepakati bahwa ukuran dirham yang digunakan adalah dirham syar’i,

yaitu ukuran yang digunakan untuk menentukan nishab zakat, ukuran

jizyah, diyat dan nishab pemotongan tangan pencuri pada masa Nabi SAW.

Sehingga ukuran tersebut harus disesuaikan dengan dirham Arab

(timbangan Makkah). Tetapi, dalam menentukan ukuran inipun para ulama

masih juga berbeda pendapat. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa 1

dirham itu sama dengan 3,5 gr, Jumhur menyetarakannya dengan 3,208 gr,

sedangkan menurut dirham Arab ukuran 1 dirham = 2,975 gr, dan 1 dinar =

85 gr. Pendapat terakhir inilah yang lebih utama.77 Afzalur Rahman dan

76 Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 267 77 Wahbah az- Zuhaili, loc. Cit.

61

Triyuwono mengatakan bahwa 200 dirham itu setara dengan 52,5 tolas atau

21 ons.78

Dumairi mengatakan bahwa 1 dirham sama dengan 6 daniq,

sedangkan setiap 10 dirham setara dengan 7 mitsqal. Sejak zaman Jahiliyah

sampai datangnya Islam ukuran mitsqal ini tidak berubah. Golongan

Hadawiyah berpendapat bahwa nishab perak sebanding dengan 13 qursy

dan 15 qursy. Adapun menurut pendapat golongan Hanafi, nishab perak

kira-kira 20 qursy lebih sedikit, dan nishab emas kurang lebih 20 qursy.79

Jadi mengenai ukuran dari dirham dan dinar ini, masih terjadi

perselisihan di antara para fuqaha’. Sedangkan Az-Zuhaili mengesahkan

untuk menentukan ukuran dirham dan dinar tersebut, sesuai dengan ukuran

yang berlaku di negara masing-masing.80

Mengenai besarnya nishab bagi zakat uang yang berlaku sekarang,

yaitu mencakup uang logam dan juga uang kertas, yang tidak disandarkan

pada emas dan perak, ada beberapa pendapat. Menurut Az-Zuhaili

nishabnya disamakan dengan emas yaitu sebesar 20 dinar atau 20 mitsqal.

Seseorang yang memiliki uang seharga 20 dinar, maka wajib baginya untuk

mengeluarkan zakat. Ia menyandarkan nishab uang dengan nishab emas,

karena menurutnya nishab emas setara dengan nishab hewan ternak, sejalan

dengan perkembangan zaman serta sesuai dengan kebutuhan. Di samping

78 Afzalur Rahman, op. Cit, hlm. 166, lihat juga Imam Triyuwono, loc. Cit. 79 Ash-Shan’ani, op.Cit., hlm.261 80 Wahbah az- Zuhaili, op.Cit, hlm. 1821

62

itu ia menentukan nishab yang seharga 85 gr emas atau 595 gr perak, di

mana 1 dirham Arab = 2,975 gr perak.81

Abidin sebagaimana dikutip oleh Abdurrahim menyebutkan bahwa

nishab zakat uang setara dengan 94 gr emas atau 672 gr perak. Adapun

Rifa’i dalam bukunya “Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar”,

mengatakan bahwa 20 dinar itu sebanding dengan kira-kira 96 gr emas dan

ukuran inilah yang digunakan untuk nishab zakat uang.82

Rahman mengemukakan bahwa uang selain yang terbuat dari emas

dan perak, yang digunakan untuk berbelanja pribadi tidak dikenakan zakat.

Hanya mata uang yang terbuat dari emas dan perak saja yang dikenai

zakat.83

Mursyidi mengatakan bahwa nishab zakat uang adalah sebesar nilai

pengganti atau harga emas seberat 85 gr. Sedangkan uang yang dizakati

adalah uang yang ada di tangan muzakki (cash on hand), maupun uang

yang tersimpan di bank (cash at bank) apapun jenis uangnya.84

Selain mereka banyak juga ulama-ulama muta’akhirin yang

menetapkan nishabnya dengan nishab perak. Mereka berargumen bahwa

penyandaran nishab dengan perak akan lebih bermanfaat bagi para fuqara’,

sebagai upaya berhati-hati (ihtiyath) terhadap hutang, serta sesungguhnya

nishab perak telah disepakati dan ditetapkan dengan sunnah yang shahih.

81 Ibid, hlm. 1834 82 Abdurrahim dan Mubarok, op. Cit, hlm. 41 83 Afzalur Rahman, op. Cit, hlm. 265 84 Mursyidi, loc, Cit.

63

2. Kadar Zakat Uang

Kadar wajib bagi zakat uang (emas dan perak) adalah 1/40 atau

2,5%.85 Para fuqaha’ tidak ada perselisihan mengenai hal ini. Karena

besarnya kadar yang harus dikeluarkan zakatnya sudah ditetapkan dengan

sunnah Rasulullah SAW sebagai berikut:

�– ����9: �� �1��3:����: �( ���:/ �( ���� ����<�� �3�� ��# ����

����B� ��� ������ ��/� 7�����������! �� ��&� �� ��� ��� ,&��� �� � �$�!� ���

���! ��7������@ ������@ �� $������/ ������������ ��86

Diceritakan dari Ali, ia berkata bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku memaafkan (tidak mewajibkan) kalian (untuk mengambil) zakat dari kuda dan hamba sahaya (budak). Akan tetapi berikanlah (keluarkanlah zakat) 1/40-nya, yaitu setiap empat puluh dirham satu dirham.”(H.R. Ibnu Majah dan dibenarkan oleh Tirmidzi dan Bukhari)

- �,?� � � ������ ���������( ���� �� �1��3:����: �( ���:/ �9�������

�������&� ��� ��� � ����� A / �� ��� �/ �� �� ����� �� , � ��� ��� ��E�� ���

�� ������ ������7������������ ��87�

Diriwayatkan dari Abdillah bin Waqid, dari Ibnu Umar dan A’isyah, bahwasannya Nabi SAW. mengambil (zakat) pada setiap dua puluh dinar atau lebih, setengah dinar dan dari empat puluh dinar satu dinar. (H.R. Ibnu Majah)

Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa bila perak telah

mencapai 200 dirham, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 5 dirham.

Begitu pula bila emas telah mencapai 20 dinar, maka zakat yang harus

dikeluarkan sebesar ½ dinar.

85 Lihat Ibnu Qudamah, op. cit., hlm. 320; Ibnu Hazm, op. cit., hlm. 63; Ash-Shan’ani, op. cit.,

hlm. 261; As-Sayyid sabiq, op. cit., hlm. 434-435; Wahbah Az-Zuhaili, Ibid, hlm. 1822; lihat juga Abdurrahim dan Mubarok, Zakat dan Peranannya dalam Pembangunan Bangsa serta Kemaslahatan bagi Umat, Bogor: Surya Handayani Pratama, 2002, hlm. 42

86 Ibnu Majah, Sunnah Ibnu Majah, Juz I, Beirut: Dar al-Jaili, hlm. 546 87 Ibnu Majah, op. cit, hlm. 547

64

Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana hukumnya, bila

kurang dari nishab atau lebih dari nishab. Para ulama pada umumnya

sepakat bahwa bila emas atau perak ataupun uang yang belum mencukupi

nishab, maka tidak akan dikenakan zakat. Mereka berpegang pada hadits:

�������3:����: �( ���:/ �9������ �1����������4 !���������6D���� , �������9��" ��

����/ �3! ���$?��������������7���� ������ �88

Diceritakan dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Tidak ada (tidak wajib) zakat untuk emas yang kurang dari dua puluh mitsqal dan yang kurang dari dua ratus dirham.” (H.R. Abu Ubaid)

������3:����: �( ���:/ �9������ �9: �� �<�1���F,�3! ���$?������������" �� 89

Diriwayatkan dari Ali, dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Tidak wajib (mengeluarkan zakat) dari sesuatu apapun yang kurang dua ratus dirham.”

Adapun bila melebihi nishab, para fuqaha’ berbeda pendapat.

Menurut ulama Hanafiyah bila lebih 40 dirham, maka wajib dikeluarkan

zakatnya sebesar 1 dirham. Begitu pula pada dinar. Kelebihan pada nishab

dinar tidak diperhitungkan zakatnya, kecuali bila kelebihannya tersebut

mencapai 4 dinar. Dalil yang mereka pakai adalah hadits Nabi SAW:

" 3! ����! ����&� �������"�

“Dari setiap empat puluh dirham (dikeluarkan zakatnya) sebesar satu dirham.”

Jumhur fuqaha’ mengatakan bahwa kelebihan dari nishab akan

diperhitungkan zakatnya sesuai dengan kelebihannya tersebut. Mereka

berpedoman pada hadits:

" ���G ����4 ��������%���� 90 "�

88 Abu Ubaid, op. cit., hlm. 414 89 Ibnu Hazm, op. cit, hlm. 60 90 Wahbah Az-Zuhaili, op. cit, hlm. 1824

65

“Maka jika bertambah, dihitung (sesuai dengan kelebihannya) tersebut.”

E. Syarat Wajib Zakat Uang

Kekayaan (uang) wajib dizakati bila telah memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:91

1. Milik penuh, artinya harta tersebut berada dalam kontrol dan

kekuasaannya secara penuh dan dapat diambil manfaatnya secara

penuh. Harta tersebut didapatkan melalaui proses pemilikan yang

dibenarkan menurut syari’at Islam. Bila suatu barang tidak

memenuhi syarat ini, maka tidak wajib dizakati, misalnya: barang

dagangan yang belum diterima oleh pedagangnya, barang yang

hilang, harta yang menjadi milik umum, tanah wakaf dan harta yang

diperoleh dengan cara yang haram.

2. Berkembang, artinya harta tersebut dapat bertambah atau

berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk

berkembang. Maksudnya adalah meningkatnya jumlah harta atau

kekayaan akibat dari perdagangan dan pembiakan, bukan hasil dari

penggunaan harta seperti melakukan investasi yang menghasilkan

dividen dan harta untuk menghasilkan pendapatan.

3. Cukup nishab, artinya harta tersebut telah mencapai jumlah sesuai

dengan ketetapan syara’. Sedangkan harta yang tidak sampai

nishabnya terbebas dari zakat dan dianjurkan mengeluarkan infaq

serta shadaqah.

4. Lebih dari kebutuhan pokok, kebutuhan pokok adalah kebutuhan

minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi

tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya.

5. Bebas dari hutang, orang yang mempunyai hutang sebesar atau

mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama

91 Az-Zuhaili hanya menyebutkan 4 syarat, yaitu: sampai nishab, mencapai haul, bebas dari

hutang dan lebih dari kebutuhan pokok (tambahan dari Iman Hanafi). Untuk lebih jelasnya baca Wahbah Az-Zuhaili, Ibid, hlm. 1835

66

(dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas

dari zakat.

6. Berlaku satu tahun (haul), persyaratan berlaku 1 tahun hanya

diterapkan pada zakat modal, seperti ternak, uang dan harta benda

dagang.92

Adapun hadits yang menjelaskan tentang syarat tersebut adalah:

�������3:����: �( ���:/ �9������ �9: �� �<�1�����������: ������3! ���$?���G ����������

���������� , �G �������$��4 !�������9�&��F,�G�: �" ����3!� ��������5�#�������

������ �����A / ���5�#����������: ������� ������ , �G ���������E���� �����<������

������������965����������93��

Diceritakan dari Ali, dari Nabi SAW. beliau bersanda: “Jika kamu mempunyai dua ratus dirham, dan telah mencapai haul, maka wajib (zakat) di dalam (dua ratus dirham tersebut), sebesar lima dirham. Dan tidak wajib bagimu sesuatupun, yakni bagi emas sehingga kamu mempunyai dua puluh dinar, yaitu ketika kamu memiliki dua puluh dinar dan telah mencapai haul, maka wajib (ditunaikan zakatnya) sebesar setengah dinar.” (H.R. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang baik)

F. Hikmah Zakat Uang

Zakat diterapkan atau diwajibkan pada kaum muslimin, karena zakat

mengandung hikmah yang sangat banyak sekali. Di antara hikmah-hikmah

tersebut antara lain:

1. Hikmah yang dapat dikembalikan kepada pihak pemberi:

a) Dapat membersihkan diri dari sifat kikir dan tamak terhadap

harta.

b) Dapat membiasakan diri dan mendekatkan diri kepada Khaliq.

c) Dapat melaksanakan kesyukuran hamba kepada Pemberi

nikmat.

92 Mursyidi, op. cit, hlm. 91-94 93 Wahbah az-Zuhaili, op. cit, hlm. 1822

67

2. Hikmah bagi penerima zakat:

a) Dapat memenuhi kebutuhan pihak penerima yang betul-betul

memerlukan.

b) Dapat memotivasi penerima untuk melaksanakan kebajikan

seperti itu.

3. Hikmah yang kembali kepada harta itu sendiri:

a) Harta dapat difungsikan sebagai nikmat Allah dan manifestasi

kesyukuran hamba kepada Khaliknya.

b) Uang dijadikan sarana untuk mencapai tujuan hidup masyarakat,

bukan sebagai tujuan hidup dalam masyarakat.

4. Hikmah yang kembali kepada pihak pemberi, penerima dan

masyarakat:

a) Terjadinya hubungan yang baik antara fuqara, masakin dan

aghniya.

b) Terpenuhinya sebagian keperluan masyarakat.

c) Dapat mengurangi jurang pemisah atau gap dan kecemburuan

sosial di dalam masyarakat.94

94 IAIN Raden Intan, Pengelolaan Zakat Mal Bagian Fakir Miskin Suatu Pendekatan

Operatif, Lampung: IAIN Raden Intan, 1990, hlm. 77-78