BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II...

29
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Status Ekonomi 2.1.1.1. Definisi Status Ekonomi Soekanto dalam Dahlani (2007:13) mendefinisikan status sebagai berikut: ’Status sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok berhubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.’ Sedangkan status sosial sebagaimana dikemukakan oleh Abdulsyani dalam Dahlani (2007:13), yaitu: ’Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam suatu kelompok dan hubungannya dengan anggota kelompok yang lain dalam kelompok yang sama, kedudukan tersebut diperbandingkan menurut nilai dan kuantitasnya sehingga terlihat ada perbedaan antara kedudukan yang rendah dan yang tinggi.’ Definisi lain dari status sosial dikemukakan Idianto (2005:34), dimana ”status sosial merupakan kedudukan atau posisi sosial seseorang dalam kelompok masyarakat, meliputi keseluruhan posisi sosial yang terdapat dalam suatu kelompok besar masyarakat, dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi.” Adapun definisi dari status sosial ekonomi menurut Chaplin yaitu ’posisi yang ditempati individu atau keluarga yang berkenaan dengan ukuran rata-rata yang umum berlaku tentang pemilikan kultural, pendapatan efektif, pemilikan

Transcript of BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II...

Page 1: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Status Ekonomi

2.1.1.1. Definisi Status Ekonomi

Soekanto dalam Dahlani (2007:13) mendefinisikan status sebagai

berikut:

’Status sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok berhubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.’

Sedangkan status sosial sebagaimana dikemukakan oleh Abdulsyani

dalam Dahlani (2007:13), yaitu:

’Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam suatu kelompok dan hubungannya dengan anggota kelompok yang lain dalam kelompok yang sama, kedudukan tersebut diperbandingkan menurut nilai dan kuantitasnya sehingga terlihat ada perbedaan antara kedudukan yang rendah dan yang tinggi.’

Definisi lain dari status sosial dikemukakan Idianto (2005:34), dimana

”status sosial merupakan kedudukan atau posisi sosial seseorang dalam kelompok

masyarakat, meliputi keseluruhan posisi sosial yang terdapat dalam suatu

kelompok besar masyarakat, dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi.”

Adapun definisi dari status sosial ekonomi menurut Chaplin yaitu ’posisi

yang ditempati individu atau keluarga yang berkenaan dengan ukuran rata-rata

yang umum berlaku tentang pemilikan kultural, pendapatan efektif, pemilikan

Page 2: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

16

barang-barang, dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya.’

(Dahlani, 2007:14).

Di Indonesia, sangat sulit untuk menentukan tingkat status sosial

ekonomi, karena tidak ada kriteria khusus yang membatasi golongan keluarga

yang termasuk status sosial ekonomi tinggi, sedang atau rendah. Namun, ada yang

menyatakan bahwa kedudukan manusia dalam suatu masyarakat yang heterogen

dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan atau status yang dimilikinya.

Status yang diperoleh seseorang dalam suatu masyarakat bisa didasarkan atas

harta atau kekayaan yang dimiliki, pangkat atau jabatan, dan lain sebagainya.

Keadaan sosial ekonomi keluarga tentu mempunyai peranan terhadap

perkembangan anak-anak. Anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan cukup

(sosial ekonomi cukup), maka anak-anak tersebut lebih banyak mendapatkan

kesempatan untuk memperkembangkan bermacam-macam kecakapan. Dengan

adanya perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak dalam

keluarganya lebih luas. Ia mendapat kesempatan yang lebih luas untuk

mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat ia kembangkan

apabila tidak ada alat-alatnya.

Status sosial ekonomi keluarga secara langsung dan tidak langsung dapat

mempengaruhi pendidikan seseorang. Bagi keluarga dengan kondisi ekonomi

memadai mungkin dapat memberikan pendidikan kepada anaknya lebih baik.

Sebaliknya kelompok yang kemampuan ekonominya rendah cenderung

mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga dapat

mempersulit dalam mengikuti pendidikan. Seperti dinyatakan oleh Manan

Page 3: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

17

(1989:102) ”karena dia merasa terasing dari masyarakat luas, anak kelas bawah,

terutama anak golongan minoritas, sering kali kurang mempunyai dorongan untuk

tujuan-tujuan vokasional yang seyogyanya dia mampu mencapainya.”

Pendapat lain dari Patmonodewo (2000: 37), ”terdapat perbedaan yang

berarti dalam tugas intelektual dan akademik antara anak yang berasal dari

keluarga yang kurang beruntung dibandingkan dengan yang lebih beruntung.”.

Ketidakmampuan ekonomi keluarga untuk membiayai segala proses yang

dibutuhkan selama menempuh pendidikan merupakan salah satu problem dalam

dunia pendidikan di Indonesia. Sebagaimana disebutkan Ahmadi (2001:256),

”Masalah yang berkaitan dengan pendidikan dan anak didik cukup banyak. Problem tersebut akan menjadi penghambat apabila tidak mendapatkan pemecahan, antara lain problem kemampuan ekonomi yang menempati urutan pertama dari sekian banyak problematika yang dihadapi oleh pendidikan dan anak didik. ”

Sewel dan Hauser (Purwanto, 2004:42) mengemukakan bahwa

’kemampuan ekonomi keluarga akan memberikan pengaruh baik langsung

maupun tidak langsung pada pendidikan dan pekerjaan atau jabatan serta

mempertimbangkan hasil yang dicapai pada pendidikan dan pekerjaan.’ Ini berarti

bahwa kondisi kemampuan ekonomi keluarga turut mempengaruhi pola perilaku

individu dalam kehidupannya, termasuk pendidikan dan pekerjaan atau jabatan

tertentu yang akan dimasukinya.

Menurut John Stone (Soelaiman, 1995:57) ’kelompok yang memiliki

status sosial ekonomi rendah kurang menekankan pentingnya pencapaian

pendidikan yang tinggi.’

Page 4: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

18

Kemudian, dari beberapa penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa

’perbedaan kedudukan dalam lapisan sosial berkaitan dengan perbedaan persepsi

dan sikap serta cita-cita rencana pendidikan. Perbedaan tersebut ditemukan

dikalangan orang tua maupun kaum remaja. Citra diri (Self Concept) juga

berbeda-beda sesuai dengan status dalam stratifikasi sosial.”. (Somantri,

1993:60).

Walaupun pemerintah telah menetapkan kebijakan sekolah gratis, namun

orang tua tetap harus mengeluarkan biaya untuk pakaian sekolah, uang daftar,

buku dan alat tulis lainnya, serta biaya transportasi atau akomodasi bagi siswa

yang jauh dari sekolah disamping biaya-biaya lain yang tetap dibebankan pada

siswa. Hal-hal tersebut masih dianggap sebagai beban oleh orang tua sehingga

membuat mereka enggan untuk menyekolahkan anaknya.

Meski demikian status sosial ekonomi tidak dapat dikatakan sebagai

faktor multak sebab hal itu bergantung pula kepada sikap orang tua dan corak

interaksi dalam keluarga. Walaupun status sosial ekonomi orang tua memuaskan

tetapi mereka tidak memperhatikan pendidikan anaknya maka hal tersebut tidak

akan menguntungkan bagi perkembangan anak-anak. Sehingga dapat diinfersikan

bahwa faktor kemiskinan merupakan penyebab putus sekolah disamping masih

banyak faktor lain yang mempengaruhi.

Faktor ekonomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

ketidakmampuan keluarga untuk membiayai segala proses yang dibutuhkan

selama anak menempuh pendidikan atau sekolah dalam satu jenjang tertentu.

Page 5: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

19

2.1.1.2. Indikator Status Ekonomi

Latar belakang sosial ekonomi keluarga siswa perlu dipertimbangkan

karena akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Perhatian terutama

diberikan pada anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang

menguntungkan misalnya kemiskinan.

Kemiskinan menurut BPS adalah ketidakmampuan untuk memenuhi

standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan non

makanan. Di negara berkembang, kemiskinan sering kali mempengaruhi

penduduk di pedesaan dimana pengeluaran pemerintah daerah cenderung lebih

rendah dari pada perkotaan. Kemiskinan sebagai gejala sosial lebih banyak

berkaitan dengan sikap hidup penduduk miskin yang tidak punya keinginan untuk

maju dan berusaha memperbaiki taraf kehidupan. Kemiskinan akan

mempengaruhi kesempatan seseorang untuk memperoleh pendidikan.

Berdasarkan beberapa penelitian menunjukan terdapat korelasi positif

antara kesempatan memperoleh pendidikan dengan tingkat pendapatan. Semakin

tinggi pendapatan suatu keluarga maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan

bagi anak-anaknya akan semakin besar. Tetapi semakin kecil pendapatan suatu

keluarga maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan pun akan semakin

kecil.

Beberapa indikator latar belakang sosial ekonomi sebagaimana

dikemukakan oleh Supriadi (1997:33) adalah sebagai berikut:

1. pendidikan orang tua

2. pekerjaan orang tua

Page 6: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

20

3. penghasilan orang tua

4. tempat tinggal

Keempat indikator sosial ekonomi diatas memiliki keterkaitan satu sama

lainnya, dimana ketika orang tua memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi

maka akan memperoleh pekerjaan yang baik dengan tingkat penghasilan yang

tinggi pula sehingga akan mendapatkan tempat tinggal yang layak.

Selain indikator diatas, menurut kriteria Herbert Sorenson (Nasution,

2004:25) ‘tingkat status sosial ekonomi dilihat dari pekerjaan orang tua,

penghasilan dan kekayaan tingkat pendidikan orang tua, keadaan rumah dan

lokasi, pergaulan dan aktivitas sosial.’

Adapun menurut Sarlito Wirawan (Soelaiman, 1995:39) ‘status sosial

orang tua dapat dilihat dari tiga hal yaitu: pendidikan, jabatan atau pekerjaan dan

kekayaan.’

Selanjutnya Sarlito Wirawan (M.I Soelaiman, 1995: 39) menjelaskan

bahwa :

‘yang termasuk kedalam pendidikan mencakup pendidikan formal, non formal dan pembinaan belajar kepada anak serta perhatian dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak. Pekerjaan dan jabatan mencakup aktualisasi pekerjaan orang tua, cara memimpin dan keterlibatan orang tua di masyarakat. Sedangkan pekerjaan mencakup penghasilan terutama dalam ukuran bulan dan anggaran biaya pendidikan.’

2.1.1.3. Peran status ekonomi terhadap putus sekolah.

Status atau keadaan ekonomi sebuah keluarga adalah faktor eksternal yang

mempengaruhi berhasil atau tidaknya pendidikan seseorang. Namun meskipun

faktor eksternal, bukan berarti tidak berpengaruh. Status ekonomi yang dimiliki

Page 7: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

21

oleh keluarga sangat besar pengaruhnya baik langsung maupun tidak langsung.

Telah banyak penelitian yang berhasil mengungkap besarnya pengaruh kondisi

ekonomi keluarga terhadap kemampuan untuk menyelesaikan suatu jenjang

pendidikan.

Keadaan ekonomi keluarga serta hubungannya dengan putus sekolah.

Anak usia sekolah selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya

kebutuhan untuk makan, pakaian, perlindungan kesehatan dan lain-lain, juga

membutuhkan berbagai fasilitas belajar. Sedangkan fasilitas belajar itu hanya

dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang.

Tingginya angka putus sekolah tidak dapat dipungkiri berawal dari

ketidakmampuan ekonomi keluarga. Meskipun anak dan orang tua memiliki

keinginan yang sangat besar untuk tetap bersekolah hingga selesai, tetapi

kenyataannya mereka hidup serba kekurangan maka tidak ada pilihan lain selain

berhenti dari lembaga persekolahan. Bagi masyarakat yang hidup dibawah garis

kemiskinan, jangankan menyisishkan pendapatannya untuk biaya sekolah, untuk

kebutuhan pokok pun sering kali kekurangan.

Kaitan antara ketidakmampuan ekonomi dengan ketidakmampuan untuk

menuntaskan pendidikan dalam teori pembangunan disebut dengan vicious circle

atau lingkaran yang tak berujung. Pendidikan yang rendah disebabkan kondisi

ekonomi yang buruk. Sebaliknya kondisi ekonomi yang buruk karena masyarakat

tidak memiliki bekal pengetahuan untuk hidup yang lebih baik. Digambarkan

sebagai berikut:

Page 8: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

22

Gambar 2.1 Vicious Circle

Lingkaran yang tak berujung tersebut apabila tidak diputus maka akan

selamanya seperti itu dan orang yang sudah ada didalamnya akan sulit untuk

keluar. Para praktisi pendidikan sepakat bahwa untuk memutus lingkaran yang tak

berujung itu harus diawali dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas

pendidikan. Sehingga dengan membaiknya kualitas pendidikan akan dapat

meningkatkan kualitas kesehatan dan tentu saja memperbaiki kondisi

perekonomian.

Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak

terganggu, sehingga belajar anak juga terganggu. Bahkan banyak diantaranya

anak harus bekerja mencari nafkah untuk membantu perekonomian orang tuanya

walaupun anak belum saatnya untuk bekerja. Apalagi dewasa ini banyak anak-

anak hidup dijalanan. Fenomena mengamen dan minta-minta seperti menjadi tren

di kalangan anak-anak. Besarnya jumlah penghasilan mereka dari hidup dijalan

jauh melampaui uang saku yang biasa diperoleh dari orang tua. Sehingga pada

akhirnya anak menjadi enggan untuk kembali ke bangku sekolah.

Pendidikan Kesehatan

Ekonomi

Page 9: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

23

Sebaliknya anak dari keluarga yang kaya raya, orang tua sering

mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anaknya. Mereka mendapatkan

segala fasilitas belajar. Bahkan bukan hanya fasilitas belajar formal tetapi juga

fasilitas belajar nonformal dan segala kegiatan yang menunjang pendidikan anak

seperti bimbingan belajar, les, dan sebagainya.

Maka sangat terlihat perbedaan antara anak dari status sosial tinggi dengan

segala fasiltas yang dimiliki dan besarnya peluang untuk tetap bersekolah, dengan

anak dari keluarga ekonomi lemah dengan segala keterbatasannya dan kesulitan

untuk mengakses pendidikan.

2.1.2. Sosial Budaya

Menurut Koentjaraningrat dalam Effendi (2007:94) mendefinisikan

’budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

cara belajar.’

Sedangkan Peursen (1976:18), ”kebudayaan dewasa ini hendaklah

dilukiskan sebagai sutau tahap, sebagai suatu bagian dalam cerita tentang sejarah

perkembangan.” Adapun Keesing menyebutkan bahwa ’kebudayaan meletakan

fokusnya pada adat-adat kebiasaan masyarakat’ (Manan, 1989:3)

Budaya dalam makna yang paling hakiki adalah sesuatu yang baik. Tak

pernah budaya membawa orang kepada keburukan, kemalasan dan sejenisnya.

Budaya melatih orang berperilaku jujur, bertanggung jawab, dan peduli kepada

sesama. Budaya dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan bersifat baik.

Page 10: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

24

Sesungguhnya kebudayaan yang kita miliki seharusnya menjadi kekuatan yang

prima dalam pembangunan yang berkelanjutan. Perubahan kebudayaan dapat

terjadi karena adanya penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan

masyarakat.

Menghadapi era globalisasi, masih banyak masyarakat yang tidak

mendukung perubahan budaya. Mereka dikatakan sebagai masyarakat dengan

keterbelakangan budaya. Keterbelakangan budaya merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan. Masyarakat dengan

keterbelakangan budaya kurang menaruh minat dan perhatian terhadap nilai-nilai

pendidikan, kemajuan IPTEK, tidak berorientasi ke masa depan, dan tidak ikut

berperan serta dalam pembangunan sebab mereka kurang memiliki dorongan

untuk maju. Seperti yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat (1987:32) ”sikap

mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan.”

Kendala budaya yang dimaksudkan adalah pandangan masyarakat yang

menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Pandangan banyak anak banyak

rejeki membuat masyarakat di pedesaan lebih banyak mengarahkan anaknya yang

masih usia sekolah diarahkan untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah.

Di daerah pedesaan, sering kali perempuan menjadi beban dalam keluarga,

dimana biasanya mereka kurang berpendidikan dibandingkan laki-laki,

mempuanyai kesempatan kerja yang lebih sedikit, dan menerima upah yang jauh

lebih rendah. Selain mengurus keluarga, mereka juga harus membantu kepala

keluarga untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Mereka juga kadang-kadang

bekerja di sektor pertanian dan sektor informal lainnya dimana pekerjaannya

Page 11: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

25

membutuhkan kerja keras, jam kerja yang panjang, dan upah yang rendah. Oleh

karena itu pendidikan yang tinggi bagi perempuan dianggap tidak penting karena

kurang memberikan dampak yang positif bagi pekerjaan dan kehidupan

perempuan.

Berbeda dengan pandangan sosiokultural masyarakat perkotaan yang

pada umumnya memiliki pola fikir maju, terbuka dengan hal-hal yang baru dan

berwawasan jauh kedepan. Mereka tidak lagi terikat dengan alam dan tradisi-

tradisi yang sering kali menghambat pembangunan. Masyarakat perkotaan telah

memiliki suatu keyakinan bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang

dan tidak akan pernah ada habisnya. Mereka cenderung memilih untuk

mewariskan pendidikan yang tinggi pada anak-anaknya, bukan mewariskan harta

sebagai mana yang terjadi pada masyarakat desa. Maka apabila masyarakat desa

menempa keturunannya dengan memupuk harta sebanyak mungkin, sebaliknya

masyarakat kota menempa anak-anaknya dengan pendidikan.

Pandangan sosiokultural keluarga dan masyarakat tentang penting atau

tidaknya sekolah juga kerap kali menentukan keberlangsungan nasib siswa dalam

melanjutkan pendidikan. Selain itu, pandangan tentang penting atau tidaknya

pendidikan juga menjadi penyebab anak enggan berangkat sekolah hingga

akhirnya putus sekolah. Persoalan ini merupakan suatu bentuk kecenderungan

semakin menurunnya mentalitas masyarakat. Padahal, anak merupakan harapan

generasi penerus pembangunan. Sebagaimana dinyatakan Manan, (1989:9)

bahwa ”pendidikan adalah penanaman pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada

Page 12: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

26

masing-masing generasi dengan menggunakan pranata-pranata, seperti sekolah-

sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut.”

Permasalahan mengenai kelemahan mentalitas untuk pembangunan

disebutkan Koentjaraningrat (1987:43-55) adalah:

1. sifat mentalitas yang meremehkan mutu

2. mentalitas yang suka menerabas

3. sifat tidak percaya pada diri sendiri

4. sifat tidak berdisiplin murni

5. sifat tidak bertanggung jawab

Mentalitas atau budaya yang menghambat proses pembangunan dalam

bidang pendidikan sebagaimana dinyatakan Effendi (2007: 69-70) adalah:

1. perbedaan persepsi dan sudut pandang pendidikan

2. sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru

3. hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologis

4. masyarakat daerah terpencil yang kurang komunikasi dengan masyarakat

luar karena pengetahuannya yang serba terbatas seolah-olah tertutup

untuk menerima program pembangunan

Adapun Burhanuddin (2008:21), faktor budaya terkait dengan

kebiasaan masyarakat disekitar yang menghambat pendidikan adalah:

1. rendahnya kesadaran orang tua atau masyarakat akan pentingnya

pendidikan.

2. anggapan tanpa bersekolah pun anak-anak mereka dapat hidup layak

seperti anak lainnya yang bersekolah.

Page 13: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

27

3. di desa jumlah anak yang tidak bersekolah lebih banyak dan mereka

dapat hidup layak maka kondisi seperti itu dijadikan landasan dalam

menentukan masa depan anaknya.

Dapat disimpulkan bahwa semakin suatu masyarakat terikat dengan

budaya-budaya atau tradisi kuno yang tidak berorientasi ke depan dan untuk

kemajuan pendidikan, semakin sulit mengharapkan perbaikan kualitas dan

kuantitas pendidikan. Padahal, suatu nilai budaya yang perlu dimiliki oleh

manusia Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang

berorientasi ke masa depan. Nilai budaya semacam itu akan mendorong manusia

untuk melihat dan merencanakan masa depan dengan lebih seksama.

Koentjaraningrat (1987:36) mengungkapkan:

”Suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan, dan demikian bersifat hemat untuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan, lebih menilai tinggi hasrat explorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi, lebih menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya, dan akhirnya menilai tinggi mentalitas berusaha atau kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri.”

Pendidikan merupakan sarana transfer nilai-nilai budaya yang paling

efektif. Menurut Hutchin dalam Manan (1989:104):

”tujuan utama pendidikan adalah untuk mengetahui apa yang baik untuk manusia. Untuk mengetahui yang baik-baik menurut urutannya. Ada satu hirarki nilai. Tugas pendidikan adalah menolong kita untuk mengertinya, membentuknya, dan hidup dengan yang baik-baik.”

Pendidikan mengharapkan terbentuknya manusia yang modern, yakni

manusia yang menaruh perhatian dan menilai tinggi hal-hal yang bersifat material,

Page 14: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

28

bersikap terbuka terhadap perubahan, penuh perencanaan hidup, menghargai

waktu, menilai tinggi IPTEK dan percaya bahwa hidup tidak selalu pasrah kepada

nasib, berorientasi ke masa depan, berani mengambil resiko untuk

mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya, memiliki jiwa yang sabar dan

tabah, dan mampu hidup bekerjasama secara disiplin dan penuh tanggung jawab.

2.1.3. Lingkungan Geografis

Lingkungan adalah segala sesuatu dari luar individu. Dalam keseluruhan

tingkah lakunya, individu berinteraksi dengan lingkungan baik disadari maupun

tidak disadari, langsung maupun tidak langsung.

“Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar baik benda hidup, benda mati, termasuk manusia lainnya serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara elemen-elemen alam.” (Effendi, 2007:145)

Definisi lain, disebutkan oleh Suryosubroto (1990:17) bahwa

“lingkungan berarti segala hal yang berada diluar diri anak yang dapat

mempengaruhi perkembangannya.”

Soekanto dalam Agus (2008:3), lingkungan dibedakan dalam kategori-

kategori sebagai berikut:

1. Lingkungan fisik, yakni semua benda mati yang ada di sekeliling

manusia.

2. Lingkungan biologi, yakni segala sesuatu di sekeliling manusia yang

berupa organisme yang hidup (manusia termasuk juga di dalamnya).

Page 15: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

29

3. Lingkungan sosial yang terdiri dari orang-orang, baik individual maupun

kelompok yang berada di sekita manusia.

Lingkungan mempunyai arti penting bagi manusia. Dengan lingkungan

fisik manusia dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan materilnya,

dengan lingkungan biologi manusia dapat memenuhi kebutuhan jasmaninya, dan

dengan lingkungan sosialnya manusia dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Bagi manusia, lingkungan dipandang sebagai tempat beradanya manusia dalam

melakukan segala aktivitas kesehariannya, olehnya lingkungan tempat beradanya

manusia menentukan seperti apa bentukan manusia yang ada di dalamnya.

Lingkungan geografis disebut juga lingkungan alami yaitu faktor yang

mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses belajar misalnya keadaan

udara, cuaca, waktu, tempat atau gedungnya, alat-alat yang dipakai untuk belajar

seperti alat-alat pelajaran.

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan lingkungan geografis atau

lingkungan alam kepada tempat atau lokasi sekolah dan jarak tempat tinggal siswa

dengan sekolah. Lokasi dari pada letak tempat pendidikan mempengaruhi

jalannya pendidikan, seperti di desa dengan di kota. Ada pola yang berbeda dalam

tingkat putus sekolah antara sekolah-sekolah di berbagai lokasi geografis,

termasuk antar desa, dan antar kecamatan.

Berkaitan dengan lokasi sekolah, unsur waktu (jarak) dan biaya

merupakan faktor penting dalam merencanakan suatu lokasi sekolah. Lokasi

sekolah yang dekat, prasarana jalan yang baik, ditunjang fasilitas yang lengkap

menciptakan sekolah yang ideal sehingga kapasitas akan terpenuhi. Lokasi

Page 16: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

30

sekolah seperti ini hanya terjadi untuk sekolah-sekolah di perkotaan umumnya

atau di perdesaan yang sudah maju. Tapi untuk daerah terpencil kendala lokasi

jarak dan sulitnya atau mahalnya biaya transportasi menjadi kendala pemenuhan

kapasitas daya tampung sekolah. Akibatnya banyak sekolah yang kekurangan

siswa, atau angka partisipasi siswa untuk bersekolah kecil.

Lokasi yang jauh di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas

dan aksesnya terbatas, seperti wilayah-wilayah pedalaman, untuk mencapai

sekolah yang berjarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah. Jika kondisi

transportasi wilayah memang sulit dan memakan biaya besar, bisa dipastikan

putus sekolah bagi anak tinggal menunggu waktu.

Walter Christallei Timr dan August Losch, dalam Mulyarto (2008:5)

mengembangkan teori tempat pusat (central place theory). Konsep utama dalam

teori ini adalah apa yang dinamakan dengan the range of good dan the threshold

value. Range of good service merupakan jarak yang ditempuh para konsumen

menuju suatu tempat untuk mendapatkan pelayanan, adapun threshold value atau

threshold population merupakan jumlah penduduk minimal yang dibutuhkan

suatu unit pelayanan sebelum dapat beroperasi secara menguntungkan. Maka dari

itu, sekolah sebagai suatu unit pelayanan, juga harus memperhatikan letak atau

lokasi sekolah dimana letak suatu sekolah diharapkan dalam suatu lokasi yang

baik atau optimal.

Menurut Daldjoeni (1992:61), lokasi optimal adalah lokasi yang terbaik

secara ekonomis. Model yang sederhana dari teori lokasi adalah memperoleh

keuntungan ekonomi dengan cara meminimkan biaya transportasi. Pemilihan

Page 17: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

31

lokasi yang strategis merupakan hal penting. Lokasi adalah tempat suatu

perusahaan melakukan kegiatannya. Dalam menentukan lokasi perusahaan,

Sumarni dalam Fadilah (2007:29) mengemukakan dasar teori lokasi yaitu

”tempatkanlah pada titik geografis yang paling banyak memberikan kesempatan

kepada perusahaan didalam usaha mencapai tujuannya,”

Tempat atau gedung sekolah mempengaruhi belajar siswa. Menurut

Suryabrata (2004:233-234):

“letak sekolah atau tempat belajar harus memenuhi beberapa syarat seperti tempat yang tidak terlalu dekat dengan kebisingan atau jalan ramai, lalu bangunan itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam ilmu kesehatan sekolah.”

Gedung sekolah yang efektif untuk belajar memiliki ciri-ciri seperti

letaknya jauh dari tempat-tempat keramaian (pasar, gedung bioskop, bar, pabrik

dan lain-lain), tidak menghadap ke jalan raya, tidak dekat dengan sungai, dan

sebagainya yang dapat membahayakan keselamatan siswa.

Dalam penempatan lokasi sekolah, perlu diperhatikan biaya dan kesulitan

transportasi yang dialami peserta didik karena semakin jauh dan sulit mencapai

sekolah, biaya pendidikan akan semakin tinggi sehingga sekolah menjadi tidak

efisien. Ada beberapa hal yang yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi

sekolah sebagaimana panduan DEPDIKBUD, yaitu:

1. memperhatikan peta pendidikan seperti luas penyebaran penduduk,

jumlah penduduk usia sekolah dan lulusan jenjang sebelumnya untuk

menghindari kekurangan unit gedung atau kekurangan siswa

Page 18: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

32

2. peruntukan lahan harus sesuai dengan lokasi pendidikan sehingga proses

belajar mengajar tidak terganggu

3. kondisi fisik lahan harus siap bangun sehingga tidak diperlukan biaya

tembahan yang besar

4. melengkapi dokumen administrasi untuk menghindari gugatan atau

sengketa di masa depan

2.1.4. Putus Sekolah

2.1.4.1. Definisi Putus Sekolah

Putus sekolah merupakan persoalan yang dihadapi oleh semua negara

miskin. Putus sekolah atau drop out berarti ketidakmampuan seseorang untuk

melanjutkan pendidikannya hingga jenjang yang lebih tinggi. Semakin tinggi

angka putus sekolah mengindikasikan semakin rendahnya mutu atau kualitas

pendidikan di negara yang bersangkutan. Angka putus sekolah atau drop out yang

tinggi mempersulit peluang anak-anak untuk menempuh SD atau SLTP hingga

selesai dan kemudian melanjutkan pada jenjang berikutnya. Artinya anak yang

mengalami putus sekolah sulit untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan

yang lebih tinggi.

”Putus sekolah (dalam bahasa Inggris dikenal dengan Drop Out) adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Drop out perlu dicegah karena hal ini dipandang sebagai pemborosan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan sebelumnya. Banyaknya peserta didik drop out adalah indikasi rendahnya produktivitas pendidikan.” (Imron, 2004:33).

Page 19: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

33

2.1.4.2. Faktor Penyebab Putus Sekolah

Banyaknya siswa-siswa yang tidak berhasil dalam belajar, termasuk

banyaknya anak-anak putus sekolah bisa dilihat dari berbagai faktor. Putus

sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terlantarnya anak dari sebuah

lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Grand theory yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori

putus sekolah C.E. Beeby (1980:176-177), yang memaparkan penyebab tingginya

angka putus sekolah yaitu:

1. faktor ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan siswa

mengalami drop out adalah keadaan sosial ekonomi orang tua sehingga

tidak mampu membiayai pendidikan

2. terbatasnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan anak

3. faktor kebosanan atau kejenuhan, rendahnya aspirasi siswa drop out itu

sendiri, baik yang menyangkut cita-cita belajar, motivasi belajar, dan

kemampuan belajar

Kemudian, dua aspek penyebab putus sekolah yang diungkapkan Bentri

(2009:2) sebagai berikut:

1. faktor internal (dalam diri) meliputi kemampuan, minat, motivasi, nilai-

nilai dan sikap, ekspektasi (harapan), dan persepsi siswa tentang sekolah.

2. faktor eksternal (luar diri) siswa meliputi latar belakang ekonomi

orangtua, persepsi orangtua tentang pendidikan, jarak sekolah dari

rumah, hubungan guru-murid, usaha yang dilakukan pemerintah

(meliputi pemberian bantuan dan pengadaan sarana dan prasarana).

Page 20: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

34

Selain itu, Imron (2004:34) dalam bukunya Manajemen Peserta Didik

Berbasis Sekolah menjelaskan sebab-sebab mengapa peserta didik drop out dan

tidak menyelesaikan pendidikannya yaitu:

1. rendahnya kemampuan yang dimiliki menyebabkan peserta didik merasa

berat untuk menyelesaikan pendidikannya

2. tidak memiliki biaya untuk sekolah. Ini terutama banyak terjadi di

daerah pedesaan dan kantong-kantong kemiskinan

3. sakit yang tidak tahu kapan sembuhnya sehingga jauh tertinggal dengan

peserta didik lainnya

4. harus bekerja. harus membantu orangtua di ladang

5. di drop out oleh sekolah

6. peserta didik menginginkan drop out dan tidak mau sekolah

7. terkena kasus pidana dengan kekuatan hukuman yang sudah pasti

8. sekolah dianggap sudah tidak menarik lagi bagi peserta didik

Menurut Sutadipura (1983:74), drop out atau putus sekolah disebabkan

karena:

1. lingkungan yang tidak merupakan perangsang untuk anak-anak

2. keadaan sosial orang tua yang memerlukan bantuan anak-anaknya untuk

ikut mencari nafkah

3. kurang adanya dedikasi atau panggilan dari gurunya sehingga pada anak-

anak timbul semacam antipati, baik terhadap mata pelajaran, maupun

terhadap gurunya.

Page 21: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

35

Pendapat lain dari Yunita (2007:11), beberapa faktor yang menyebabkan

para remaja putus sekolah, antara lain:

1. biaya sekolah yang terlalu mahal

2. sekolah membosankan

3. tidak dapat membeli buku dan peralatan belajar

4. guru melakukan kekerasan

5. letak lokasi sekolah (Unit Sekolah Baru) yang susah diakses, jarak

sekolah dan tempat tinggal terlalu jauh, susah ditempuh dan butuh biaya

tinggi dalam hal transportasi

6. kurangnya fasilitas pendukung seperti sarana prasarana pendukung

seperti bangku, meja, papan tulis, peralatan praktik dan laboratorium

7. faktor ekonomi keluarga, banyak siswa yang harus membantu ekonomi

keluarga sehingga mengorbankan pendidikannya.

8. pertimbangan lingkungan yang kurang kondusif seperti letak sekolah

yang jauh dari rumah penduduk, dekat dengan daerah rawan bencana

dan sanitasi yang buruk.

Selanjutnya, putus sekolah menurut Mudyahardjo (2001:90) merupakan

salah satu bentuk kegagalan sekolah, sehingga dapat dijelaskan dengan konsep

sebagai berikut:

Page 22: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

36

Gambar 2.2 Konsep Kegagalan Sekolah

Beberapa penelitian lain yang dilakukan oleh BPS, menunjukkan bahwa

penyebab anak putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan sekolah adalah antara

lain karena:

1. tidak mampu membiayai

2. pendidikan yang diperoleh sudah dianggap cukup

3. tidak mampu pikirannya

4. jarak tempat sekolah dengan rumah terlalu jauh

5. kawin usia muda;

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa putus sekolah

disebabkan oleh banyak faktor, yaitu:

1. faktor ekonomi yaitu pendapatan keluarga yang tidak mencukupi sehingga

tidak ada alokasi untuk biaya pendidikan atau sekolah anak

Variabel Lingkungan:

1. lokasi sekolah

2. luas sekolah

3. organisasi sekolah

4. bangunan dan perlengkapan sekolah

5. ekonomi masyarakat

Variabel Murid:

1. kesiapan belajar

2. kemampuan belajar

3. gaya belajar

Kegagalan sekolah

1. putus sekolah

2. tinggal kelas

Page 23: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

37

2. faktor budaya yaitu budaya penghambat pembangunan seperti rendahnya

mentalitas masyarakat, gender, tradisi menikah usia muda

3. iklim geografis yang kurang menguntungkan yaitu wilayah pedesaan sulit

mendapatkan akses pendidikan, jarak sekolah terlalu jauh karena pendidikan

atau sekolah tinggi masih terkonsentrasi di perkotaan

4. faktor internal siswa seperti malas sekolah, lebih memilih bekerja karena

akan mendapatkan penghasilan, sakit, terkena kasus pidana, terbatasnya

sumber-sumber belajar, dan sebagainya.

2.1.5. Kajian Empirik Beberapa Hasil Penelitian

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang membahas mengenai putus

sekolah atau ketidakmampuan siswa dalam melanjutkan pendidikan dasar adalah:

Tabel 2.1 Kajian Empirik Hasil Penelitian

No Nama Judul Hasil Penelitian 1. Manap

Somantri Tesis: Penelusuran penyebab rendahnya tingkat melanjutkan dari SD ke SLTP dan implikasinya bagi pemantapan rencana pelaksanaan wajib belajar SLTP di Kabupaten Bogor (1993)

Faktor yang menyebabkan siswa tidak melanjutkan adalah: a. membantu pekerjaan orangtua b. orangtua tidak memiliki

penghasilan tetap c. pendidikan orangtua juga rendah d. merasa cukup dengan tamat SD e. merasa tanggung bila melanjutkan

hanya sampai SLTP f. cukup puas dengan hanya bisa

membaca, menulis, dan berhitung g. kekhawatiran tidak mendapatkan

pekerjaan lebih baik bila lulus SLTP

h. orang tua hanya mampu memberi biaya SPP, tanpa uang saku dan peralatan sekolah

i. ingin lokasi sekolah yang dekat tetapi tidak tersedia

Page 24: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

38

2. Nunung Sanuhri

Tesis: perencanaan strategis angka melanjutkan sekolah lulusan SD/MI ke SMP/MTs dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Kabupaten Indramayu (1999)

Hasil penelitian penghambat keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun: a. keadaan ekonomi lemah b. fasilitas sekolah kurang memadai c. sulitnya transportasi d. rendahnya partisipasi orang tua e. kurang optimalnya tim koordinasi

wajib belajar pendidikan dasar

3. Lulu Fadilah

Skripsi: Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun di Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi (2007)

Hasil penelitian faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan dasar 9 tahun: a. pendapatan orang tua b. budaya c. harapan mendapat pekerjaan

2.2. Kerangka Pemikiran

Putus sekolah merupakan permasalahan yang tidak pernah selesai.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya,

namun permasalahan ini semakin kompleks karena dihadapkan pada berbagai

persoalan lain. Putus sekolah perlu dicegah sedini mungkin karena dipandang

sebagai pemborosan biaya yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Drop out juga

mengindikasikan rendahnya produktivitas pendidikan. Selain itu, putus sekolah

juga akan semakin menyulitkan kemungkinan pencapaian tujuan pendidikan

nasional. Oleh karena itu, harus diidentifikasi berbagai penyebab terjadinya putus

sekolah sehingga dapat diambil alternatif penyelesaian dari masalah tersebut.

Dari sekian banyak penyebab putus sekolah, penulis mengidentifikasi

tiga penyebab, yang pertama dan utama alasan status sosial ekonomi keluarga.

sebagaimana teori C.E. Beeby, “faktor ekonomi merupakan faktor utama yang

Page 25: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

39

menyebabkan siswa mengalami drop out adalah keadaan sosial ekonomi orang tua

sehingga tidak mampu membiayai pendidikan”. Status sosial ekonomi yaitu posisi

yang ditempati individu atau keluarga yang berkenaan dengan ukuran rata-rata

yang umum berlaku tentang pemilikan kultural, pendapatan efektif, pemilikan

barang-barang, dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya.

Dari berbagai kasus putus sekolah, alasan kondisi ekonomi keluarga yang

lemah telah menyebabkan siswa dengan terpaksa meninggalkan bangku sekolah

agar dapat membantu orang tua ikut mencari nafkah. Meskipun pemerintah telah

membebaskan biaya pendidikan namun orang tua tetap mengeluarkan berbagai

biaya selama sekolah. Anak harus mengeluarkan biaya untuk pakaian sekolah,

uang daftar, buku dan alat tulis lainnya serta biaya transportasi. Hal tersebut

membuat orang tua merasa terbebani sehingga membuat mereka enggan untuk

menyekolahkan anaknya.

Alasan kedua adalah budaya atau tradisi, dimana masih banyak ditemui

budaya penghambat pembangunan dalam pendidikan, seperti masalah kesetaraan

gender dimana laki-laki memiliki hak yang lebih untuk bersekolah dari pada

perempuan. Budaya menikah di usia muda terutama pada perempuan, dan merasa

tabu jika sampai pada batas usia tertentu anak belum menikah. Kemudian pola

fikir atau pandangan orang tua yang tidak mementingkan pendidikan karena bagi

mereka yang terpenting adalah bagaimana bisa mendapatkan uang (kekayaan)

sehingga bisa mendapatkan posisi atau strata yang lebih tinggi di masyarakat.

Kondisi tersebut sebagaimana dinyatakan oleh C.E. Beeby bahwa “faktor

Page 26: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

40

penyebab putus sekolah adalah terbatasnya kesadaran orang tua terhadap

pentingnya pendidikan anak “.

Alasan ketiga yaitu lingkungan geografis, dalam hal ini jarak dan letak

sekolah. Letak sekolah yang tidak strategis dapat menimbulkan keengganan siswa

untuk bersekolah. Sentralisasi sarana pendidikan diwilayah perkotaan membuat

wilayah pedesaan dan wilayah terpencil lainnya kesulitan menjangkau fasilitas

pendidikan tersebut. Begitu pula dengan jarak tempuh ke sekolah, semakin jauh

jarak rumah ke sekolah semakin memperkecil peluang seseorang untuk terus

melanjutkan pendidikan karena semakin besar biaya dan pengorbanan yang harus

dikeluarkan.

Louis William Stern dengan teori Konvergensinya menyatakan bahwa

hasil pendidikan tergantung dari lingkungan. Begitu pula dengan teori medan

yang dikembangkan oleh Kurt Lewin, bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh

lingkungan (environment). Dari kedua teori ini dapat ditarik kesimpilan bahwa

pendidikan atau kegiatan sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Ketika

lingkungan mendukung maka pendidikan dapat berhasil. Sebaliknya ketika

lingkungan tidak mendukung maka akan sulit untuk dapat mencapai keberhasilan

pendidikan. Akibatnya banyak terjadi kasus putus sekolah.

Dari konsep diatas, jelas tergambar bahwa status ekonomi keluarga,

sosial budaya, serta lingkungan geografis sangat berpengaruh terhadap tingkat

putus sekolah. Maka dari itu dapat dibuat sebuah paradigma berfikir sebagai

berikut:

Page 27: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

41

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

Hubungan antara Status Ekonomi, Sosial Budaya, dan Lingkungan Geografis terhadap Putus Sekolah

2.3. Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang penting kedudukannya dalam

penelitian, dimana hipotesis merupakan suatu petunjuk yang akan memudahkan

dalam mengumpulkan dan mengambil data. Hipotesis adalah pernyataan tentatif

yang merupakan dugaan atau terkaan tentang apa saja yang kita amati dalam

usaha untuk memahaminya.

Hipotesis dapat diturunkan dari teori, akan tetapi adakalanya sukar

diadakan perbedaan yang tegas antara teori dan hipotesis. Ada yang menganggap

bahwa dalam kenyataan teori merupakan “an elaborate hypotesis”. Dalam taraf

permulaannya teori-teori ini sering merupkan hipotesis yang perlu dibuktikan

kebenarannya (Nasution, 1996:38).

STATUS EKONOMI

(X1)

SOSIAL BUDAYA

(X2)

LINGKUNGAN

GEOGRAFIS

(X3)

PUTUS SEKOLAH

(Y)

Page 28: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

42

Good dan Scates dalam Nazir (2003:151), mendefinisikan hipotesis

sebagai berikut:

“Hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah penelitian selanjutnya.”

Adapun Sudjana (2005:219) mendefinisikan “hipotesis adalah asumsi

atau dugaan mengenai sesuatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu yang

sering dituntut untuk melakukan pengecekannya.”

Demikian juga seperti halnya yang dikemukakan Surakhmad dalam

Mulyasari (2000:26), memberikan batasan tentang hipotesis yaitu “Suatu yang

masih kurang (hipo) dan sebuah kesimpulan (thesis), dengan kata lain bahwa

hipotesis adalah sebuah kesimpulan tetapi kesimpulan ini belum final dan masih

harus dibuktikan kebenaranya”.

Hipotesis dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua macam. Yaitu

hipotesis Mayor dan hipotesis minor. Hipotesis mayor adalah hipotesis induk

yang menjadi sumber dari anak-anak hipotesis (hipotesis minor). Sedangkan

hipotesis minor merupakan penjabaran dari hipotesis mayor tersebut. Dari

pengertian diatas, hipotesis dari penelitian yang akan penulis lakukan adalah:

a. Hipotesis Mayor

Status ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan geografis berpengaruh

terhadap putus sekolah

Page 29: BAB II 2.1. Kajian Pustakaa-research.upi.edu/operator/upload/s_pek_056797_chapter2(1).pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. ...

43

b. Hipotesis Minor

1. status ekonomi berpengaruh negatif terhadap putus sekolah. Artinya

jika status ekonomi meningkat maka angka putus sekolah akan

menurun.

2. sosial budaya berpengaruh positif terhadap putus sekolah. Artinya

semakin tinggi budaya penghambat pembangunan dan pendidikan

akan semakin tinggi pula angka putus sekolah.

3. lingkungan geografis berpengaruh positif terhadap putus sekolah.

Artinya semakin jauh jarak tempuh rumah ke sekolah akan semakin

tinggi angka putus sekolah.