BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi...
Transcript of BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung
2.1.1 Keadaan Geometrik Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung
Bandar Udara Radin Inten II Provinsi Lampung adalah bandar udara yang
melayani kota Bandar Lampung di Lampung, Indonesia. Bandara Radin Inten II
merupakan bandara tersibuk ketiga di Pulau Sumatera. Bandar Udara Radin Inten
II terletak di Jl. Alamsyah Ratu Prawiranegara Branti Raya, Natar, Kabupaten
Lampung Selatan, Lampung. Tepatnya berada di koordinat 05o14’25,77”LU
105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).
Gambar 2.1 Lokasi Bandar Udara Radin Inten II
(Sumber: Wikipedia, 2016)
Gambar 2.2 Tampak Depan Bandar Udara Radin Inten II
(Sumber: Wikipedia, 2016)
5
Analisis Morfologi atau bentuk kenampakan alam dan kemiringan lereng
memperlihatkan bahwa kondisi tanah di bandara ini cukup datar, namun sebagian
besar wilayah Bandara Radin Inten II merupakan wilayah hasil rekayasa geologi
dengan yang terdapat di Bandara Radin Inten II. Morfologi yang datar pada lokasi
Bandara Radin Inten II dapat terbentuk karena adanya rekayasa morfologi berupa
pengukuran yang membuat lokasi bandara menjadi datar. Pengukuran yang
dilakukan sekitar 4 meter pada area landasan pacu.
Gambar 2.3 Rekayasa Morfologi Berupa Pengukuran di Bandara Radin Inten II
(Sumber: Analisis Spasial Pengembangan Bandar Udara di Provinsi Lampung, 2015)
Dari gambaran morfologi di Bandara Radin Inten II, untuk kegiatan
pembangunan bandara sudah sangat baik. Akan tetapi, disekitar Bandara Radin
Inten II terdapat bukit yang cukup tinggi. Bukit Branti menjadi obstacle yang
mengganggu kegiatan bandara seperti landing dan take-off pesawat di Bandara
Radin Inten II dengan ketinggian yang mencapai 467 m dpl.
6
Gambar 2.4 Bukit yang Dapat Menjadi Obstacle di Bandara Radin Inten II
(Sumber: Analisis Spasial Pengembangan Bandar Udara di Provinsi Lampung, 2015)
Selain itu, lokasi Bandara Radin Inten II saat ini merupakan wilayah dengan
kondisi tanah berupa singkapan granit dalam bentuk lapuk, dengan deskripsi
berwarna putih, fanerik, mineralogi terdiri atas kuarsa, feldspar, dan mika. Wilayah
dengan singkapan atas berupa granit merupakan wilayah yang mampu menopang
pembangunan dengan stabil. Namun, dengan jenis batuan singkapan berupa granit,
wilayah Bandara Radin Inten II tidak memiliki akifer yang berguna untuk
menampung air akibat karakter jenis batuan bek (granit) yang tidak menyimpan air.
Kondisi ini menyebabkan pengeboran air dapat dilakukan dengan kedalaman yang
tinggi.
2.1.2 Sejarah Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung
Menururt Wikipedia (2016) Bandar Udara Radin Inten II Lampung
sebelumnya bernama Pelabuhan Udara Branti merupakan peninggalan
Pemerintahan Jepang yang dibangun pada tahun 1943. Pada Tahun 1946
diserahkan kepada Pemerintahan Republik Indonesia Cq. Detasemen Angkatan
Udara / AURI. Dari tahun 1946 sampai dengan 1955 Pelabuhan Udara Branti
dikelola oleh Detasemen Angkatan Udara / AURI dan pada saat itu belum ada
penerbangan komersial / reguler.
Pada tahun 1955, pengelolaan Pelabuhan Udara Branti dikelola oleh
Djawatan Penerbangan Sipil (DPS) karena pada tahun tersebut Detasemen
7
Angkatan Udara / AURI memiliki pangkalan udara di Menggala Kabupaten
Lampung Utara. Pada tahun 1956 Garuda Indonesian Airways merintis membuka
jalur penerbangan yang pertama kali dengan rute Jakarta - Tanjung Karang PP,
dengan menggunakan pesawat jenis Barron dan pada tahun itu juga penerbangan
komersil dimulai dengan frekuensi penerbangan tiga kali/minggu (jenis pesawat
Barron diganti Dakota) dengan panjang landasan pacu kurang lebih 900 M. Pada
tahun 1963 secara resmi Bandar Udara Branti dari AURI diserahterimakan kepada
Residen Lampung dan pada tahun 1964 diserahkan pengelolaannya kepada
Djawatan Penerbangan Sipil (DPS).
Pada tahun 1975 (Pelita II Tahun I) dimulai pembangunan landasan baru yang
terletak disamping/sejajar dengan landasan lama. Pembangunan landasan baru
dengan maksud untuk dapat didarati pesawat jenis F-28 dan sejenisnya. Secara
bertahap landasan dibangun dan pada saat itu panjangnya mencapai kurang lebih
1.850 M. Pada tahun 1976 pembangunan landasan beserta Apron yang baru telah
selesai dan diresmikan penggunaannya pada bulan Juni 1976 oleh Direktur Jenderal
Perhubungan Udara Bapak Marsma Kardono dengan menggunakan pesawat F-28
MK 3.000.
Pada tanggal 1 September 1985 istilah Pelabuhan Udara Branti dirubah
menjadi Bandar Udara Branti dengan singkatan Bandara Branti, sesuai dengan
Telex Sekretaris Jendral Departemen Perhubungan No.
378/TLX/DEPHUB/VIII/85 Tanggal 22 Agustus 1985.
Sejak tanggal 11 Agustus 1989 PT. GIA tidak melayani jalur penerbangan
Jakarta - Tanjung Karang PP dialihkan kepada PT. MNA diterbangi 7 Flight/hari
dengan pesawat CN-235, disamping itu juga ada insidentil Flight / Penerbangan
Carter. Selain untuk Jakarta -Bandar Lampung PP, dilayani juga rute Palembang -
Bandar Lampung PP.
Terminal baru yang selesai dibangun tahun 1995 diresmikan dalam
pengoperasian oleh Menteri Perhubungan pada tanggal 22 Mei 1995. Bandara
Branti dirubah menjadi Bandar Udara Radin Inten II berdasarkan SK. Menteri
Perhubungan No. KM. 10 Tahun 1997, tanggal 10 April 1997 diresmikan oleh
Menteri Perhubungan pada tanggal 21 April 1997. Terhitung mulai tanggal 29 April
8
2004 PT. MNA yang tadinya mengoperasikan pesawat jenis Fokker 28 (F-28)
diganti dengan pesawat berbadan lebar jenis Boeing 737 Series 200 (MZ-202 /
Flight II).
Pada Tahun Anggaran 2004 landasan pacu diperpanjang dari 1.850 m x 30 m
menjadi 2.000 m x 30 m. Maskapai penerbangan Sriwijaya Airlines mulai
membuka jalur penerbangan pada tanggal 3 Mei 2005 dan Adam Air pada tanggal
5 September 2005 dengan jenis pesawat yang sama yaitu Boeing 737 Series 200,
sedangkan Riau Airlines pada tanggal 06 Nopember 2006 dengan jenis pesawat
Fokker-50.
Pada Tahun Anggaran 2007 landasan pacu diperpanjang dari 2.000 m x 30 m
menjadi 2.250 m x 30 m. Pada Tahun 2008 Maskapai penerbangan Adam Air (1
Maret 2008) dan Riau Air (2 Juni 2008) tidak melayani lagi jalur penerbangan ke
Bandar Udara Radin Inten II. Maskapai penerbangan Batavia Air mulai membuka
jalur penerbangan ke Bandar Udara Radin Inten II pada tanggal 8 Agustus 2008.
2.1.3 Perluasan Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung
Pemerintah Provinsi Lampung dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sejak Juni 2012 telah menandatangani
MoU tentang pengembangan dan pembangunan Bandara Udara Radin Inten II
Lampung Selatan.
MoU bernomor G/454/III.06/HK/2012 dan HK.201/1/14/DRJU-2012 itu
dijadikan dasar kedua belah pihak untuk mengembangkan bandara terbesar di
Provinsi Lampung tersebut menjadi bandara bertaraf internasional. Targetnya,
rencana pengembangan ini rampung pada Tahun 2017
Berikut adalah tahapan proyek Bandara Radin Inten II yang sedang
dikembangkan ditabelkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Tahapan Proyek Bandara Radin Inten II
Tahap Tahun Deskripsi Status
I
2016 Pembangunan terminal kedatangan dan
keberangkatan di gedung lama
Tahap
Konstruksi
2016 Pemindahan areal parkir ke sebelah terminal lama Tahap
Konstruksi
9
Tabel 2.1 Lanjutan
Tahap Tahun Deskripsi Status
II
2016 Pembangunan terminal penumpang 3 lantai Tahap Konstruksi
2016 Pembangunan areal parkir 4 lantai Tahap Konstruksi
2016 Pembangunan jaringan rel kereta api dari Stasiun Tanjung Karang ke Bandara Radin Inten II
Tahap Konstruksi
III
2016 Pembangunan jalan bebas hambatan dari Bandara Radin Inten II ke Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar atau sebaliknya
Tahap Konstruksi
2016 Pembuatan taxi way paralel Rencana
2016 Perpanjangan runway bandara Selesai
(Sumber: Wikipedia, 2016)
Saat ini Bandara Radin Inten II sedang dalam tahap renovasi. Bangunan milik
pemda atau selasar yang selama ini mempersempit lahan parkir akhirnya dibongkar.
Diperkirakan sebelum akhir Januari 2016, lahan parkir di kawasan tersebut makin
luas dan mampu memuat 400 kendaraan.
Tahun 2016, terminal bandara ditingkatkan menjadi tiga lantai yang
diproyeksikan dapat memuat lebih dari 3 juta penumpang per tahunnya dengan
gedung parkir empat lantai hingga bisa memuat 1000 kendaraan. Selain itu, sesuai
rencana Kementerian Perhubungan, landasan pacu diperpanjang menjadi 3.000
meter dari sebelumnya 2.500 meter.
Bandara Radin Inten II mampu melayani 3.350 penumpang setiap hari. Ketika
beroperasi penuh pada 2017, jumlah penumpang yang mampu dilayani mencapai
8.000 per hari atau tiga juta penumpang per tahun. Adapun apron mampu
menampung 10 pesawat dengan 50 pergerakan pesawat per hari. Jumlah pergerakan
itu hanya berbeda tipis dengan Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud
Badaruddin II Palembang yang mencapai 60 pergerakan per hari. Karena itu,
dibutuhkan lahan seluas 78 hektare dan pembebasannya dilakukan dalam dua tahap.
Penambahan landasan pacu tersebut merupakan prasyarat mutlak, agar dapat
didarati pesawat jenis Airbus yang banyak digunakan sebagai armada angkutan
internasional. Saat ini perluasan bandara sudah memasuki tahapan konsultasi
10
publik. Perluasan lahan akan dilakukan dituju h desa di Kecamatan Natar, Lampung
Selatan.
Pembebasan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama akan dibebaskan
seluas 36 hektare pada 2015 ini dan 42 hektare pada tahun 2016, dan hingga kini
mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
2.2 Landasan Pacu (Runway)
Menurut Sandhyavitri dan Taufik (2005) pengertian landasan pacu (Runway)
adalah bagian memanjang dari sisi darat aerodom yang disiapkan untuk tinggal
landas dan mendarat pesawat terbang (Sumber: Sandhyavitri, 2005).
Menurut Horonjeff (1994) system runway di suatu Bandara terdiri dari
perkerasan struktur, bahu landasan (shoulder), bantal hembusan (blast pad), dan
daerah aman runway (runway and safety area)
Gambar 2.5 Tampak Atas Unsur-Unsur Runway
(Sumber: Horonjeff, 1993)
Berikut adalah penjelasan mengenai fungsi dari masing-masing bagian yang
berada di Landasan pacu (runway):
a. Perkerasan struktur mendukung pesawat sehubungan dengan beban struktur,
kemampuan manuver, kendali, stabilitas dan kriteria dimensi dan operasi
lainnya.
b. Bahu landasan (shoulder) yang terletak berdekatan dengan pinggir
perkerasan struktur menahan erosi hembusan jet dan menampung peralatan
untuk pemeliharaan dan keadaan darurat.
c. Bantal hembusan (blast pad) adalah suatu daerah yang dirancang untuk
mencegah erosi permukaan yang berdekatan dengan ujung-ujung runway
yang menerima hembusan jet yang terus-menerus atau yang berulang. ICAO
menetapkan panjang bantal hembusan 100 feet (30 m), namun dari
11
pengalaman untuk pesawat-pesawat transport sebaiknya 200 feet (60 m),
kecuali untuk pesawat berbadan lebar panjang bantal hembusan yang
dibutuhkan 400 feet (120 m). Lebar bantal hembusan harus mencakup baik
lebar runway maupun bahu landasan.
d. Daerah aman runway (runway end safety area) adalah daerah yang bersih
tanpa benda-benda yang mengganggu, diberi drainase, rata dan mencakup
perkerasan struktur, bahu landasan, bantal hembusan dan daerah perhentian,
apabila disediakan. Daerah ini selain harus mampu untuk mendukung
peralatan pemeliharaan dan dalam keadaan darurat juga harus mampu
mendukung pesawat seandainya pesawat karena sesuatu hal keluar dari
landasan.
Penerapan konfigurasi runway pada setiap bandara berbeda-beda, hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Perbedaan kapasitas maksimum
b. Perbedaan arah dan kecepatan angin
c. Kompleksitas pengendalian lalu-lintas udara
d. Kelengkapan alat bantu navigasi
Menurut Sandhyavitri dan Taufik (2005) Terdapat banyak konfigurasi
runway. Kebanyakan merupakan kombinasi dari konfigurasi dasar. Adapun uraian
beberapa bentuk dari konfigurasi dasar runway adalah sebagai berikut:
a. Runway Tunggal
Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Kapasitas
runway jenis ini dalam kondisi VFR berkisar diantara 50 sampai 100 operasi
per jam, sedangkan dalam kondisi IFR kapasitasnya berkurang menjadi 50
sampai 70 operasi, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang dan
alat-alat bantu navigasi yang tersedia.
Gambar 2.6 Runway Tunggal
(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)
12
b. Runway Sejajar
Kapasitas sistem ini sangat tergantung pada jumlah runway dan jarak
diantaranya. Untuk runway sejajar berjarak rapat, menengah dan renggang
kapasitasnya per jam dapat bervariasi di antara 100 sampai 200 operasi dalam
kondisi-kondisi VFR, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang.
Sedangkan dalam kondisi IFR kapasitas per jam untuk yang berjarak rapat
berkisar di antara 50 sampai 60 operasi, tergantung pada komposisi campuran
pesawat terbang. Untuk runway sejajar yang berjarak menengah kapasitas per
jam berkisar antara 60 sampai 75 operasi dan untuk yang berjarak renggang
antara 100 sampai 125 operasi per jam.
Gambar 2.7 Runway Sejajar
(Sumber; Sandhyavitri dan Taufik, 2005)
c. Runway Dua Jalur
Runway dua jalur dapat menampung lalu lintas paling sedikit 70 persen lebih
banyak dari runway tunggal dalam kondisi VFR dan kira-kira 60 persen lebih
banyak dari runway tunggal dalam kondisi IFR.
Gambar 2.8 Runway Dua jalur
(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)
d. Runway Bersilangan
Kapasitas runway yang bersilangan sangat tergantung pada letak
persilangannya dan pada cara pengoperasian runway yang disebut strategi
(lepas landas atau mendarat). Makin jauh letak titik silang dari ujung lepas
13
landas runway dan ambang (threshold) pendaratan, kapasitasnya makin
rendah.
Gambar 2.9 Runway Bersilangan
(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)
Gambar 2.10 Runway Bersilangan Tampak Atas
(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)
e. Runway V Terbuka
Runway V terbuka merupakan runway yang arahnya memencar (divergen)
tetapi tidak berpotongan. Strategi yang menghasilkan kapasitas tertinggi
adalah apabila operasi penerbangan dilakukan menjauhi V (Gambar 2.11).
Dalam kondisi IFR, kapasitas per jam untuk strategi ini berkisar antara 50
sampai 80 operasi tergantung pada campuran pesawat terbang, dan dalam
kondisi VFR antara 60 sampai 180 operasi.
Gambar 2.11 Runway V terbuka
(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)
Gambar 2.12 Runway V Terbuka Tampak Atas
(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)
14
2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Panjang Runway
Banyak faktor yang bisa mempengaruhi panjang sebuah runway baik itu
faktor internal maupun faktor ekstrenal. Sesuai dengan rekomendasi dari
International Civil Aviation Organization (ICAO) bahwa perhitungan panjang
runway harus disesuaikan dengan kondisi lokal lokasi Bandara. Metode ini dikenal
dengan metoda Aeroplane Reference Field Length (ARFL). Menurut International
Civil Aviation Organization (ICAO), Aeroplane Reference Field Length (ARFL)
adalah runway minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas pada maximum
sertificated take off weight, elevasi muka laut, kondisi standard atmosfir, keadaan
tanpa ada angin, runway tanpa kemiringan (kemiringan = 0). Jadi didalam
perencanaan persyaratan - persyaratan tersebut harus dipenuhi dengan melakukan
koreksi akibat pengaruh dari keadaan lokal. Menurut Basuki (1986) berikut faktor-
faktor yang mempengaruhi panjang landasan pacu (Runway):
a. Koreksi Ketinggian (Elevasi)
Menurut International Civil Aviation Organization ( ICAO ) bahwa panjang
runway bertambah sebesar 7% setiap kenaikan 300 m ( 1000 ft ) dihitung dari
ketinggian di atas permukaan laut.
Maka diperoleh rumus sebagai berikut:
Keterangan: Fe = Faktor koreksi elevasi
h = Elevasi diatas permukaan laut (m) (Sumber: Basuki, 1986)
b. Koreksi Temperatur
Pada temperatur yang lebih tinggi dibutuhkan runway yang lebih panjang
sebab temperatur tinggi akan menyebabkan kepadatan ( density ) udara yang
rendah, menghasilkan output daya dorong yang rendah. Suhu temperatur
standar adalah 15⁰C atau 59°F. Menurut ICAO panjang runway harus
dikoreksi terhadap temperatur sebesar 1% untuk setiap kenaikan 1⁰C.
Sedangkan untuk setiap kenaikan 1000 m dari permukaaan laut temperatur
akan turun 6.5⁰C.
15
Dengan dasar diatas maka didapatkan rumus sebagai berikut:
Ft = 1 + 0,01 {T – ( 15 – 0,0065 x h )} Keterangan: Ft = Faktor koreksi temperature
T = Temperature di bandara (oC) (Sumber: Basuki, 1986)
c. Koreksi Kemiringan Runway
Kemiringan (slope) memerlukan runway yang lebih panjang untuk setiap
kemiringan 1%, maka panjang runway harus ditambah dengan 10%. Faktor
koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Fs = 1 + (0,1 S)
Keterangan: Fs = Faktor koreksi kemiringan
S = Kemiringan runway (%) (Sumber: Basuki, 1986)
d. Koreksi Angin Permukaan (Surface Wind)
Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin haluan (head
wind) dan sebaliknya bila bertiup angin buritan (tail wind) maka runway yang
diperlukan lebih panjang. Angin buritan (tail wind) maksimum yang
diizinkan bertiup dengan kekuatan 10 knots. Berikut adalah pengaruh angin
permukaan terhadap panjang runway yang ditabelkan pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway
Kekuatan Angin Persentase Pertambahan / Pengurangan Runway +5 -3 +10 -5 -5 +7
(Sumber: Basuki, 1986) e. Kondisi Permukaan Runway
Untuk kondisi permukaan runway hal sangat dihindari adalah adanya
genangan tipis air (standing water) karena membahayakan operasi pesawat.
Genangan air mengakibatkan permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat
yang membuat daya pengereman menjadi jelek dan yang paling berbahaya
lagi adalah terhadap kemampuan kecepatan pesawat untuk lepas landas.
Menurut hasil penelitian NASA dan FAA tinggi maksimum genangan air
16
adalah 1,27 cm. Oleh karena itu drainase Bandara harus baik untuk
membuang air permukaan secepat mungkin. Setelah koreksi ketinggian
(elevasi), koreksi temperature, koreksi kemiringan, dan koreksi angin
permukaan ditemukan, maka diperoleh panjang runway perencanaan:
Lr = ARFL × Ft × Fe × Fs + Fa
Dimana : Lr = Panjang rencana runway
ARFL= Runway minimum yang dibutuhkan
Ft = Faktor koreksi temperature
Fe = Faktor koreksi elevasi
Fs = Faktor koreksi kemiringan
Fa = Faktor koreksi angin
2.4 Daerah Parkir Pesawat (Apron)
Menurut Horronjef (1993) Apron adalah komponen bandara yang
menghubungkan antara bangunan terminal dan sisi udara bandara yang mencakup
daerah parkir pesawat yang disebut ramp dan daerah menuju ramp tersebut. Apron
juga berfungsi untuk menaik-turunkan penumpang dan muatan, pengisian bahan
bakar, parkir dan persiapan pesawat terbang sebelum melanjutkan penerbangan.
Pada ramp ini, pesawat diparkir di tempat yang disebut parking stand atau gate.
Pembagian daerah apron dilihat dari fungsinya adalah sebagai berikut:
a. Traffic Area, daerah yang disediakan untuk menaikkan dan menurunkan
penumpang, muatan, pengisian bahan bakar, aircraft servicing dan
preparation for flight.
b. Parking Area, daerah yang disediakan untuk parkir pesawat.
c. Maintenance Area, daerah yang disediakan untuk pemeliharaan pesawat.
Apron terdiri atas tempat parkir pesawat dan jalur khusus untuk sirkulasi
pesawat memasuki/keluar tempat parkir (taxilane). Ukuran dan letak parking stand
harus direncanakan dengan memperhatikan karakter pesawat yang menggunakan
parking stand tersebut seperti lebar sayap, panjang dan radius belok pesawat serta
area yang diperlukan oleh kendaraan-kendaraan yang menyediakan servis untuk
pesawat selama berada di parking stand. Untuk menjamin keselamatan pesawat di
17
daratan, ICAO juga menetapkan persyaratan jarak minimum antara pesawat terbang
yang sedang parkir di apron satu sama lainnya, dengan bangunan, atau objek-objek
tetap lain yang ada di apron berdasarkan jarak sayap pesawat (wing tip clearance)
seperti pada Tabel 2.3 berikut: Tabel 2.3 Wing Tip Clearance
Code Letter Aircraft Wing Span Clearance
A Up to but including 15 m (49 ft) 3,0 m (10 ft)
B 15 m (49 ft) up to but not including 24 m (79 ft) 3,0 m (10 ft)
C 24 m (79 ft) up to but not including 36 m (118 ft) 4,5 m (15 ft)
D 36 m (118 ft) up to but not including 52 m (171 ft) 7,5 m (25 ft)
E 52 m (171 ft) up to but not including 60 m (197 ft) 7,5 m (25 ft)
(Sumber: Basuki, 1986)
Menururt Basuki (1986) ada beberapa macam tipe parkir pesawat di apron.
Tipe parkir pesawat saat di apron dimaksudkan sebagai posisi parkir pesawat
terhadap gedung terminal dan cara pesawat tersebut bergerak keluar/memasuki dari
tempat parkirnya. Pesawat yang keluar/masuk apron dengan tenaganya sendiri
(taxi-out) atau dibantu dengan peralatan (push-out). Cara kedua memerlukan luas
area yang lebih kecil dibandingkan dengan cara pertama. Pemilihan tipe parkir
pesawat juga harus memperhatikan kenyamanan penumpang dari kebisingan, jet
blast dan pengaruh buruk cuaca, termasuk juga biaya operasi dan pemeliharaan
peralatan pelayanan pesawat di apron. Berikut adalah jenis-jenis tipe parkir pesawat
di apron:
a. Nose-in Parking
Pada parkir tipe ini, pesawat berada tegak lurus dengan bangunan terminal
dengan hidung pesawat berjarak sedekat mungkin dengan bangunan tersebut.
Pesawat memasuki posisi parkir dengan tenaganya sendiri, namun saat keluar
disorong dengan bantuan alat dorong (pushback tractor) sampai jarak yang
cukup hingga pesawat mampu bergerak dengan tenaganya sendiri.
Keuntungan menggunakan tipe parkir nose-in:
• Luas area parking stand yang dibutuhkan minimum.
• Kebisingan aki
18
• bat mesin pesawat kecil.
• Tidak memancarkan jetblast ke arah bangunan.
• Memudahkan penanganan penumpang keluar/masuk pesawat.
Kerugian menggunakan tipe parkir nose-in:
• Memerlukan banyak pushback tractor.
• Letak pintu belakang pesawat cukup jauh.
b. Angled-Nose in Parking
Tipe parkir pesawat jenis ini serupa dengan tipe nose-in, hanya saja pesawat
diparkir bersudut terhadap bangunan. Keuntungan tipe parkir ini adalah
pesawat dapat keluar/masuk area parkir dengan tenaganya sendiri namun
memerlukan area aprkir yang lebih luas dibandingkan tipe nose-in dan juga
menimbulkan kebisingan yang lebih besar.
c. Angled-Nose out Parking
Pada tipe parkir ini, pesawat diparkir bersudut dengan hidung membelakangi
bangunan terminal.
Keuntungan menggunakan tipe parkir angled nose-out:
• Pesawat dapat masuk/keluar lokasi parkir dengan tenaganya sendiri.
• Memerlukan luas area yang lebih kecil dibanding konfigurasi parkir tipe
angled nose-in.
Kekurangan menggunakan tipe parkir angled nose-out:
• Efek jet blast atau semburan jet serta bisingnya mesin pesawat saat
dinyalakan mengarah langsung ke bangunan.
d. Paralell Parking
Dilihat dari sudut manuver pesawat, konfigurasi parkir ini adalah yang paling
mudah dilakukan. Walaupun tipe parkir ini memerlukan area yang lebih
besar, kebisingan dan efek jet blast dapat diminimalkan dan juga
memudahkan penanganan penumpang karena posisi pintu depan dan
belakang pesawat berdekatan dengan bangunan (terminal).
Berikut adalah gambar dari masing-masing tipe parkir pesawat di apron
sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan diatas yang ditunjukkan pada
Gambar 2.13.
19
Gambar 2.13 Tipe-Tipe Parkir Pesawat
(Sumber: Basuki, 1986)
2.5 Karakteristik Pesawat Terbang
Sebelum merancang pengembangan sebuah lapangan terbang, dibutuhkan
pengetahuan karakteristik pesawat terbang secara umum untuk merencanakan
prasarananya. Karakteristik pesawat terbang antara lain:
a. Berat (Weight) Menurut Basuki (1986) berat pesawat diperlukan untuk merencanakan tebal
perkerasan dan kekuatan landasan pacu, taxiway, dan apron. Ada beberapa
macam bobot pesawat yang berhubungan dengan pengoperasian dalam
penerbangan yaitu:
• Operating Weight Empty (OWE) adalah berat dasar pesawat, termasuk
di dalamnya crew dan peralatan pesawat yang biasa disebut “No Go
Item” tetapi tidak termasuk bahan bakar dan penumpang/barang yang
membayar. Operating Weight Empty tidak tetap untuk pesawat
komersii, besarnya tergantung komfigurasi tempat duduk.
• Pay Load adalah produksi muatan (barang/penumpang) yang
membayar diperhitungkan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.
Termasuk didalamnya penumpang, barang, surat-surat, paket-paket,
excess bagasi. Maximum Structural Pay Load adalah muatan maximum
yang diizinkan untuk tipe pesawat itu oleh Direktorat Jendral
Perhubungan Udara, sertifikat muatan maximum bisa untuk
penumpang/barang bisa campuran keduanya, tercantum dalam izin
yang dikeluarkan.
• Zero Fuel Weight adalah batasan berat, spesifik pada tiap jenis pesawat,
20
diatas batasan berat itu tambahan berat harus berupa bahan bakar.
Sehingga ketika pesawat sedang terbang tidak terjadi momen lentur
yang berlebihan pada sambungan.
• Maximum Ramp Weight adalah berat maximum pesawat diizinkan
untuk taxi. Pada saat pesawat taxiing dari apron menuju ujung landasan
pacu dia berjalan dengan kekuatannya sendiri, membakar bahan bakar
sehingga kehilangan berat. Selisih dan perbedaan maximum ramp
weight sangat sedikit, hanya beberapa ratus kilogram saja.
• Maximum Take Off Weight (MTOW) adalah bobot pesawat maksimum
yang diizinkan pada saat take off, termasuk crew, berat pesawat kosong,
bahan bakar, dan pay load yang diizinkan oleh pabrik.
• Maximum Landing Weight (MLW) adalah bobot pesawat udara yang
diizinkan pada saat landing. Main gear (roda pendaratan utama) yang
strukturnya direncanakan untuk menyerap gaya yang lebih besar tentu
harus dengan gear yang lebih kuat. Selama penerbangan pesawat akan
kehilangan berat dengan dibakarnya bahan bakar, lebih-lebih untuk
pesawat-pesawat yang baru menerbangi route-route jauh.
b. Ukuran atau Dimensi (Size) Menurut Basuki (1986) ukuran atau dimensi pesawat mempengaruhi dimensi
parkir area pesawat dan apron, konfigurasi terminal, lebar landasan pacu,
dan taxiway, jarak antara keduanya sangat ditentukan oleh ukuran pesawat.
Ukuran atau dimensi pesawat meliputi:
• Wingspan adalah panjang sayap pesawat udara, diukur dari ujung sayap
kiri sampai ujung sayap kanan.
• Lenght adalah panjang badan pesawat udara, diukur dari ujung hidung
(nose) sampai ujung ekor (tail) pesawat udara.
• Height adalah tinggi pesawat udara, diukur dari permukaan perkerasan
sampai bagian tertinggi dari pesawat udara (ekor).
• Wheel Base adalah jarak antara as roda depan (nose gear) sampai as roda
utama (main gear).
• Wheel Tread adalah jarak antara as roda utama kiri dan as roda utama
21
kanan.
• Turning Radius adalah jari-jari minimum yang bisa dicapai pesawat
udara pada saat membelok di atas permukaan perkerasan.
c. Kapasitas Penumpang Menururt Basuki (1986) kapasitas penumpang berpengaruh terhadap
perhitungan perencanaan terminal building dan sarana lainnya.
d. Panjang Landasan Pacu Menurut Basuki (1986) panjang landasan pacu berpengaruh terhadap luas
tanah yang dibutuhkan suatu bandar udara.
Berikut ini adalah karakteristik dari beberapa pesawat terbang yang
ditabelkan dalam Tabel 2.4. Tabel 2.4 Karakteristik Beberapa Pesawat Terbang
AEROPLANE TYPE REF
CODE
AEROPLANE CHARACTERISTICS
ARFL
(m)
Wing-
span
(m)
OMGWS
(m)
Lenght
(m)
MTOW
(kg)
TP
(kPa)
DHC2 Beaver 1A 381 14.6 3.3 10.3 2490 240
Beechcraft:
58 (Baron) 1A 401 11.5 3.1 9.1 2449 392
100 1A 628 14.0 4.0 12.2 5352 -
Britten Norman Islander 1A 353 14.9 4.0 10.9 2850 228
Cessna:
172 1A 272 10.9 2.7 8.2 1066 -
206 1A 274 10.9 2.6 8.6 1639 -
310 1A 518 11.3 3.7 9.7 2359 414
404 1A 721 14.1 4.3 12.1 3810 490
Partenavia P68 1A 230 12.0 2.6 9.4 1960 -
Piper:
PA 31 (Navajo) 1A 639 12.4 4.3 9.9 2950 414
PA 34 1A 378 11.8 3.4 8.7 1814 -
Beechcraft 200 1B 592 16.6 5.6 13.3 5670 735
Cessna:
208 (Caravan) 1B 296 15.9 3.7 11.5 3310 -
22
Tabel 2.4 Lanjutan
AEROPLANE TYPE REF
CODE
AEROPLANE CHARACTERISTICS
ARFL
(m)
Wing-
span
(m)
OMGWS
(m)
Lenght
(m)
MTOW
(kg)
TP
(kPa)
402C 1B 669 13.45 5.6 11.1 3107 490
441 1B 544 15.1 4.6 11.9 4468 665
DHC 6 Twin Otter 1B 695 19.8 4.1 15.8 5670 220
Dornier 228-200 1B 525 17.0 3.6 16.6 5700 -
DHC-7 1C 689 28.4 7.8 24.6 19505 620
DHC-5E 1D 290 29.3 10.2 24.1 22361 -
Lear Jet 28/29 2A 912 13.4 2.5 14.5 6804 793
Beechcraft 1900 2B 1098 16.6 5.8 17.6 7530 -
CASA C-212 2B 866 20.3 3.5 16.2 7700 392
Embraer EMB 110 2B 1199 15.3 4.9 15.1 5670 586
Metro II 2B 800 14.1 5.4 18.1 5670 740
Metro III 2B 991 17.37 5.4 18.1 6577 740
ATR 42-200 2C 1010 24.6 4.9 22.7 16150 728
Cessna 550 2C 912 15.8 6.0 14.4 6033 700
DHC-8:
100 2C 948 25.9 8.5 22.3 15650 805
300 2C 1122 27.4 8.5 25.7 18642 805
Lear Jet 55 3A 1292 13.4 2.5 16.8 9298 -
IAI Westwind 2 3A 1495 13.7 3.7 15.9 10660 1000
Bae 125-400 3B 1713 15.7 3.3 15.5 12480 1007
Canadair:
CL600 3B 1737 18.9 4.0 20.9 18642 1140
CRJ-200 3B 1527 21.21 4.0 26.77 21523 1117
Cessna 650 3B 1581 16.3 3.6 16.9 9979 1036
Dassault-Breguet:
Falcon 900 3B 1515 19.3 5.3 20.2 20640 1300
Embraer EMB 145 3B 1500 20 4.8 29.9 19200 -
Fokker F28-2000 3B 1646 23.6 5.8 29.6 29480 689
Metro 23 3B 1341 17.4 5.4 18.1 7484 742
Shorts 3D3-60 3B 1320 22.8 4.6 21.6 11793 758
Bae:
23
Tabel 2.4 Lanjutan
AEROPLANE TYPE REF
CODE
AEROPLANE CHARACTERISTICS
ARFL
(m)
Wing-
span
(m)
OMGWS
(m)
Lenght
(m)
MTOW
(kg)
TP
(kPa)
Jetstream 31 3C 1440 15.9 6.2 14.4 6050 448
Jetstream 41 3C 1500 18.3 - 19.3 10433 -
146-200 3C 1615 26.3 5.5 26.2 42185 1138
146-300 3C 1615 26.3 5.5 31.0 44225 945
Bombardier Global
Express 3C 1774 28.7 4.9 30.3 42410 -
Embraer EMB 120 3C 1420 19.8 7.3 20.0 11500 828
McDonnell Douglas:
DC-3 3C 1204 28.8 5.8 19.6 14100 358
DC9-20 3C 1551 28.5 6.0 31.8 45360 972
Fokker:
F27-500 3C 1670 29.0 7.9 25.1 20412 540
F28-4000 3C 1640 25.1 5.8 29.6 32205 779
F50 3C 1760 29.0 8.0 25.2 20820 552
F100 3C 1695 28.1 5.0 35.5 44450 920
SAAB SF-340 3C 1220 21.4 7.5 19.7 12371 655
Airbus A300 B2 3D 1676 44.8 10.9 53.6 142000 1241
Airbus A320-200 4C 2058 33.9 8.7 37.6 72000 1360
Boeing:
B717-200 4C 2130 28.4 6.0 37.8 51710 -
B737-200 4C 2295 28.4 6.4 30.6 52390 1145
B737-300 4C 2749 28.9 6.4 30.5 61230 1344
B737-400 4C 2499 28.9 6.4 36.5 63083 1400
B737-800 4C 2256 35.8 6.4 39.5 70535 1470
B737-900 4C 2240 34,3 7 42,1 66.000 1470
McDonnell Douglas:
DC9-30 4C 2134 28.5 6.0 37.8 48988 -
DC9-80/MD80 4C 2553 32.9 6.2 45,1 72575 1390
Airbus:
A300-600 4D 2332 44.8 10.9 54.1 165000 1260
A310-200 4D 1845 43.9 10.9 46.7 132000 1080
24
Tabel 2.4 Lanjutan
AEROPLANE TYPE REF
CODE
AEROPLANE CHARACTERISTICS
ARFL
(m)
Wing-
span
(m)
OMGWS
(m)
Lenght
(m)
MTOW
(kg)
TP
(kPa)
Boeing:
B707-300 4D 3088 44.4 7.9 46.6 151315 1240
B757-200 4D 2057 38.0 8.7 47.3 108860 1172
B767-200ER 4D 2499 47.6 10.8 48.5 156500 1310
B767-300ER 4D 2743 47.6 10.8 54.9 172365 1310
McDonnell Douglas:
DC8-63 4D 3179 45.2 7.6 57.1 158757 1365
DC10-30 4D 3170 50.4 12.6 55.4 251744 1276
Lockheed:
L1011-100/200 4D 2469 47.3 12.8 54.2 211378 1207
McDonnell Douglas:
MD11 4D 2207 51.7 12.0 61.2 273289 1400
Tupolev TU154 4D 2160 37.6 12.4 48.0 90300 -
Airbus:
A 330-200 4E 2713 60.3 12.0 59.0 230000 1400
A 330-300 4E 2560 60.3 12.0 63.6 230000 1400
A 340-300 4E 2200 60.3 12.0 63.7 253500 1400
Boeing:
B747-SP 4E 2710 59.6 12.4 56.3 318420 1413
B747-300 4E 3292 59.6 12.4 70.4 377800 1323
B747-400 4E 3383 64.9 12.4 70.4 394625 1410
B777-200 4E 2500 60.9 12.8 63.73 287800 1400
(Sumber: Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara Nomor: KP 29 Tahun 2014)
2.6 Struktur Perkerasan Runway
Menurut Basuki (1986) perkerasan adalah struktur yang terdiri dari
beberapa lapisan dengan kekerasan dan daya dukung yang berlainan. Dalam
merencanakan tebal perkerasan landas pacu bandara hal yang utama yang perlu
diketahui adalah karakteristik pesawat yang akan mendarat pada landas pacu.
Dalam perencanaan tebal perkerasaan yang digunakan adalah metode yang
25
dikembangkan oleh FAA yaitu berdasarkan berat pesawat dan nilai CBR tanah.
Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA adalah perencanaan untuk
masa umur rencana, dimana selama masa layanan tersebut harus dilakukan
pemeliharaan secara berkala. Dalam struktur perkerasan runway pada skripsi ini
akan membahas 2 jenis tipe perkerasan saja yaitu struktur perkerasan lentur
(flexible pavement) dan struktur perkerasan kaku (rigid pavement), tetapi dalam
skripsi ini penulis hanya lebih menekankan kepada struktur perkerasan Lentur.
Berikut adalah penjelasan dari kedua jenis tipe perkerasan:
a. Stuktur Perkerasan Lentur (Flexible Pavement )
Menururt Basuki (1986) pengertian perkerasan flexible adalah suatu
perkerasan yang dibuat dari campuran aspal dengan agregate, digelar diatas
suatu permukaan material granular mutu tinggi. Perkerasan flexible
mempunyai sifat elastis, maksudnya adalah perkerasan akan melendut saat
diberi pembebanan. Adapun struktur lapisan perkerasan lentur sebagai
berikut:
• Tanah dasar (Subgrade)
Tanah dasar (subgrade) pada perencanaan tebal perkerasan akan
menentukan kualitas konstruksi perkerasan sehingga sifat–sifat tanah
dasar menentukan kekuatan dan keawetan konstruksi landasan pacu.
• Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapisan pondasi bawah (subbase course) adalah bagian dari konstruksi
perkerasan landasan pacu yang terletak di antara tanah dasar (sub
grade) dan lapisan pondasi atas (Base Course). Menurut Horonjeff
(1993) fungsi dari lapisan pondasi bawah (subbase course) adalah sama
seperti lapisan pondasi atas (base course) tetapi karena ia tidak
menerima beban secara langsung, ia hanya memikul intensitas tegangan
yang lebih rendah.
• Lapisan Pondasi Atas (Base Course)
Lapisan pondasi atas (base coarse) adalah bagian dari perkerasan
landasan pacu yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan
permukaan. Menurut Horonjeff (1983) fungsi dari lapisan pondasi atas
26
(base course) adalah direncanakan untuk mencegah kegagalan pada
tanah dasar, memikul tegangan-tegangan yang timbul pada lapisan
pondasi atas, menahan tekanan vertikal yang cenderung untuk
memindahkan konsolidasi dan deformasi dari lapisan penutup, dan
menahan perubahan volume yang disebabkan oleh fluktuasi dari
kandungan kelembaban.
• Lapisan Permukaan (Surface Course)
Lapisan permukaan (surface course) adalah lapisan yang terletak
paling atas. Menurut Horonjeff (1993) fungsi dari lapisan permukaan
(surface course) adalah melindungi lapisan pondasi atas dari
perembesan air permukaan, memberikan permukaan yang rata, terikat
baik dan bebas dari butiran-butiran lepas, memikul gaya geser yang
disebabkan oleh beban pesawat, dan memberikan permukaan yang tidak
menimbulkan keausan pada ban yang tidak semestinya. Lapisan
permukaan (surface course) harus tahan terhadap tumpahan bahan bakar
dan bahan pelarut lainnya pada daerah dimana pemeliharaan pesawat
mungkin dilakukan.
b. Struktur Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Menurut Basuki (1986) pengertian perkerasan kaku adalah suatu
perkerasan yang dibuat dari slab-slab beton (Portland Cement Concrete).
Perkerasan kaku (rigid pavement) mempunyai sifat dimana saat pembebanan
berlangsung perkerasan tidak mengalami perubahan bentuk, artinya
perkerasan tetap seperti kondisi semula sebelum pembebanan berlangsung.
Sehingga dengan sifat ini, maka dapat dilihat apakah lapisan permukaan yang
terdiri dari plat beton tersebut akan pecah atau patah. Perkerasan kaku ini
biasanya terdiri tiga lapisan yaitu :
• Tanah Dasar (Subgrade)
Lapisan yang berada paling bawah dan merupakan faktor terpenting
dalam struktur perkerasan karena harus menahan beban-beban yang
berada diatasnya. Subgrade harus dipadatkan agar diperoleh stabilitas
daya dukung yang cukup dan seragam. Hasil pengujian daya dukung
27
lapisan subgrade dinyatakan dengan California Bearing ratio (CBR) dan
modulus reaksi tanah dasar (k).
• Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapisan ini terdiri dari material kerikil dan batu pecah dengan gradasi
baik. Lapisan ini berfungsi untuk mengatasi serta mengurangi terjadinya
pumping, meningkatkan daya dukung lapisan subgrade sehingga harga k
yang meningkat dapat mengurangi ketebalan perkerasan yang
diperlukan.
• Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketebalan perkerasan kaku antara lain
jumlah lalu lintas pesawat (annual departure), umur desain (design life),
jenis dan karakteristik pesawat, dan kondisi subgrade seta sub-base.
Pada perkerasan kaku biasanya dipilih untuk: Ujung landasan, pertemuan
antara landasan pacu dan taxiway, apron dan daerah-daerah lain yang dipakai
untuk parkir pesawat atau daerah-daerah yang mendapat pengaruh panas blast
jet dan limpahan minyak.
Gambar 2.14 Lapisan-Lapisan Perkerasan Lentur dan Kaku (Sumber: Basuki, 1986)
28
2.7 Material Perkerasan Runway
Perkerasan lentur terdiri dari lapisan permukaan, lapisan pondasi bawah (base
course), dan jika diperlukan akibat kondisi tanah dasar di atas lapisan pondasi bawah
(subbase course). Keseluruhan susunan struktur perkerasan tersebut sepenuhnya
didukung oleh tanah dasar (subgrade). Menurut FAA berdasarkan AC 150/5320-6D,
Airport Pavement Design and Evaluation berikut adalah beberapa material yang
digunakan dalam merencanakan perkerasan lentur:
a. Lapisan Permukaan (Surface Course)
Untuk lapisan permukaan digunakan item P-401 HMA (Hot Mix Asphalt) Item ini
terdiri dari agregat mineral dan material aspal yang dicampur di dalam satu central
mixing plant. Pencampuran yang dilakukan harus sesuai dengan spesifikasi yang
disyaratkan. Adapun materi yang digunakan adalah agregat, mineral pengisi dan
material aspal.
b. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)
Lapisan pondasi atas terdiri dari material berbutir dengan bahan pengikat
misalnya semen dengan portland atau aspal, atau bahan pengikat. Spesifikasi
terkait dengan komponen, gradasi, control manipulasi dan persiapan berbagai
material pondasi yang digunakan di bandara untuk beban 30.000 lbs (13.608
kg) atau lebih adalah sebagai berikut:
• Item P-209 – (Crushed Aggregate Base Course)
• Item P-211 – (Lime Rock Base Course)
• Item P-304 – (Cement Treated Base Course)
• Item P-306 – (Econocrete Subbase Course)
Penggunaan jenis P-209, sebagai material pondasi terbatas untuk perkerasan
yang didesain untuk beban kotor ≤ 100.000 lbs (45.359 kg).
c. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapisan pondasi bawah terdiri dari bahan batu yang dipecah dulu atau yang
alamiah. Spesifikasi terkait dengan kualitas komponen, gradasi, kontrol
manipulasi dan persiapan dari berbagai tipe lapisan pondasi bawah yang
digunakan pada bandara untuk beban rencana ≥ 30.000 lbs (13.608 kg) adalah
sebagai berikut:
29
• Item P-154 – (Subbase Course)
• Item P-208 – (Aggregate Base Course)
• Item P-210 – (Caliche Base Course)
• Item P-212 – (Shell Base Course)
• Item P-213 – (Sand Clay Base Course)
• Item P-301 – (Soil Cement Base Course)