BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi...

26
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung 2.1.1 Keadaan Geometrik Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung Bandar Udara Radin Inten II Provinsi Lampung adalah bandar udara yang melayani kota Bandar Lampung di Lampung, Indonesia. Bandara Radin Inten II merupakan bandara tersibuk ketiga di Pulau Sumatera. Bandar Udara Radin Inten II terletak di Jl. Alamsyah Ratu Prawiranegara Branti Raya, Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Tepatnya berada di koordinat 05 o 14’25,77”LU 105 o 10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m). Gambar 2.1 Lokasi Bandar Udara Radin Inten II (Sumber: Wikipedia, 2016) Gambar 2.2 Tampak Depan Bandar Udara Radin Inten II (Sumber: Wikipedia, 2016)

Transcript of BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi...

Page 1: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung

2.1.1 Keadaan Geometrik Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung

Bandar Udara Radin Inten II Provinsi Lampung adalah bandar udara yang

melayani kota Bandar Lampung di Lampung, Indonesia. Bandara Radin Inten II

merupakan bandara tersibuk ketiga di Pulau Sumatera. Bandar Udara Radin Inten

II terletak di Jl. Alamsyah Ratu Prawiranegara Branti Raya, Natar, Kabupaten

Lampung Selatan, Lampung. Tepatnya berada di koordinat 05o14’25,77”LU

105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

Gambar 2.1 Lokasi Bandar Udara Radin Inten II

(Sumber: Wikipedia, 2016)

Gambar 2.2 Tampak Depan Bandar Udara Radin Inten II

(Sumber: Wikipedia, 2016)

Page 2: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

5

Analisis Morfologi atau bentuk kenampakan alam dan kemiringan lereng

memperlihatkan bahwa kondisi tanah di bandara ini cukup datar, namun sebagian

besar wilayah Bandara Radin Inten II merupakan wilayah hasil rekayasa geologi

dengan yang terdapat di Bandara Radin Inten II. Morfologi yang datar pada lokasi

Bandara Radin Inten II dapat terbentuk karena adanya rekayasa morfologi berupa

pengukuran yang membuat lokasi bandara menjadi datar. Pengukuran yang

dilakukan sekitar 4 meter pada area landasan pacu.

Gambar 2.3 Rekayasa Morfologi Berupa Pengukuran di Bandara Radin Inten II

(Sumber: Analisis Spasial Pengembangan Bandar Udara di Provinsi Lampung, 2015)

Dari gambaran morfologi di Bandara Radin Inten II, untuk kegiatan

pembangunan bandara sudah sangat baik. Akan tetapi, disekitar Bandara Radin

Inten II terdapat bukit yang cukup tinggi. Bukit Branti menjadi obstacle yang

mengganggu kegiatan bandara seperti landing dan take-off pesawat di Bandara

Radin Inten II dengan ketinggian yang mencapai 467 m dpl.

Page 3: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

6

Gambar 2.4 Bukit yang Dapat Menjadi Obstacle di Bandara Radin Inten II

(Sumber: Analisis Spasial Pengembangan Bandar Udara di Provinsi Lampung, 2015)

Selain itu, lokasi Bandara Radin Inten II saat ini merupakan wilayah dengan

kondisi tanah berupa singkapan granit dalam bentuk lapuk, dengan deskripsi

berwarna putih, fanerik, mineralogi terdiri atas kuarsa, feldspar, dan mika. Wilayah

dengan singkapan atas berupa granit merupakan wilayah yang mampu menopang

pembangunan dengan stabil. Namun, dengan jenis batuan singkapan berupa granit,

wilayah Bandara Radin Inten II tidak memiliki akifer yang berguna untuk

menampung air akibat karakter jenis batuan bek (granit) yang tidak menyimpan air.

Kondisi ini menyebabkan pengeboran air dapat dilakukan dengan kedalaman yang

tinggi.

2.1.2 Sejarah Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung

Menururt Wikipedia (2016) Bandar Udara Radin Inten II Lampung

sebelumnya bernama Pelabuhan Udara Branti merupakan peninggalan

Pemerintahan Jepang yang dibangun pada tahun 1943. Pada Tahun 1946

diserahkan kepada Pemerintahan Republik Indonesia Cq. Detasemen Angkatan

Udara / AURI. Dari tahun 1946 sampai dengan 1955 Pelabuhan Udara Branti

dikelola oleh Detasemen Angkatan Udara / AURI dan pada saat itu belum ada

penerbangan komersial / reguler.

Pada tahun 1955, pengelolaan Pelabuhan Udara Branti dikelola oleh

Djawatan Penerbangan Sipil (DPS) karena pada tahun tersebut Detasemen

Page 4: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

7

Angkatan Udara / AURI memiliki pangkalan udara di Menggala Kabupaten

Lampung Utara. Pada tahun 1956 Garuda Indonesian Airways merintis membuka

jalur penerbangan yang pertama kali dengan rute Jakarta - Tanjung Karang PP,

dengan menggunakan pesawat jenis Barron dan pada tahun itu juga penerbangan

komersil dimulai dengan frekuensi penerbangan tiga kali/minggu (jenis pesawat

Barron diganti Dakota) dengan panjang landasan pacu kurang lebih 900 M. Pada

tahun 1963 secara resmi Bandar Udara Branti dari AURI diserahterimakan kepada

Residen Lampung dan pada tahun 1964 diserahkan pengelolaannya kepada

Djawatan Penerbangan Sipil (DPS).

Pada tahun 1975 (Pelita II Tahun I) dimulai pembangunan landasan baru yang

terletak disamping/sejajar dengan landasan lama. Pembangunan landasan baru

dengan maksud untuk dapat didarati pesawat jenis F-28 dan sejenisnya. Secara

bertahap landasan dibangun dan pada saat itu panjangnya mencapai kurang lebih

1.850 M. Pada tahun 1976 pembangunan landasan beserta Apron yang baru telah

selesai dan diresmikan penggunaannya pada bulan Juni 1976 oleh Direktur Jenderal

Perhubungan Udara Bapak Marsma Kardono dengan menggunakan pesawat F-28

MK 3.000.

Pada tanggal 1 September 1985 istilah Pelabuhan Udara Branti dirubah

menjadi Bandar Udara Branti dengan singkatan Bandara Branti, sesuai dengan

Telex Sekretaris Jendral Departemen Perhubungan No.

378/TLX/DEPHUB/VIII/85 Tanggal 22 Agustus 1985.

Sejak tanggal 11 Agustus 1989 PT. GIA tidak melayani jalur penerbangan

Jakarta - Tanjung Karang PP dialihkan kepada PT. MNA diterbangi 7 Flight/hari

dengan pesawat CN-235, disamping itu juga ada insidentil Flight / Penerbangan

Carter. Selain untuk Jakarta -Bandar Lampung PP, dilayani juga rute Palembang -

Bandar Lampung PP.

Terminal baru yang selesai dibangun tahun 1995 diresmikan dalam

pengoperasian oleh Menteri Perhubungan pada tanggal 22 Mei 1995. Bandara

Branti dirubah menjadi Bandar Udara Radin Inten II berdasarkan SK. Menteri

Perhubungan No. KM. 10 Tahun 1997, tanggal 10 April 1997 diresmikan oleh

Menteri Perhubungan pada tanggal 21 April 1997. Terhitung mulai tanggal 29 April

Page 5: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

8

2004 PT. MNA yang tadinya mengoperasikan pesawat jenis Fokker 28 (F-28)

diganti dengan pesawat berbadan lebar jenis Boeing 737 Series 200 (MZ-202 /

Flight II).

Pada Tahun Anggaran 2004 landasan pacu diperpanjang dari 1.850 m x 30 m

menjadi 2.000 m x 30 m. Maskapai penerbangan Sriwijaya Airlines mulai

membuka jalur penerbangan pada tanggal 3 Mei 2005 dan Adam Air pada tanggal

5 September 2005 dengan jenis pesawat yang sama yaitu Boeing 737 Series 200,

sedangkan Riau Airlines pada tanggal 06 Nopember 2006 dengan jenis pesawat

Fokker-50.

Pada Tahun Anggaran 2007 landasan pacu diperpanjang dari 2.000 m x 30 m

menjadi 2.250 m x 30 m. Pada Tahun 2008 Maskapai penerbangan Adam Air (1

Maret 2008) dan Riau Air (2 Juni 2008) tidak melayani lagi jalur penerbangan ke

Bandar Udara Radin Inten II. Maskapai penerbangan Batavia Air mulai membuka

jalur penerbangan ke Bandar Udara Radin Inten II pada tanggal 8 Agustus 2008.

2.1.3 Perluasan Bandara Radin Inten II Provinsi Lampung

Pemerintah Provinsi Lampung dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sejak Juni 2012 telah menandatangani

MoU tentang pengembangan dan pembangunan Bandara Udara Radin Inten II

Lampung Selatan.

MoU bernomor G/454/III.06/HK/2012 dan HK.201/1/14/DRJU-2012 itu

dijadikan dasar kedua belah pihak untuk mengembangkan bandara terbesar di

Provinsi Lampung tersebut menjadi bandara bertaraf internasional. Targetnya,

rencana pengembangan ini rampung pada Tahun 2017

Berikut adalah tahapan proyek Bandara Radin Inten II yang sedang

dikembangkan ditabelkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Tahapan Proyek Bandara Radin Inten II

Tahap Tahun Deskripsi Status

I

2016 Pembangunan terminal kedatangan dan

keberangkatan di gedung lama

Tahap

Konstruksi

2016 Pemindahan areal parkir ke sebelah terminal lama Tahap

Konstruksi

Page 6: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

9

Tabel 2.1 Lanjutan

Tahap Tahun Deskripsi Status

II

2016 Pembangunan terminal penumpang 3 lantai Tahap Konstruksi

2016 Pembangunan areal parkir 4 lantai Tahap Konstruksi

2016 Pembangunan jaringan rel kereta api dari Stasiun Tanjung Karang ke Bandara Radin Inten II

Tahap Konstruksi

III

2016 Pembangunan jalan bebas hambatan dari Bandara Radin Inten II ke Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar atau sebaliknya

Tahap Konstruksi

2016 Pembuatan taxi way paralel Rencana

2016 Perpanjangan runway bandara Selesai

(Sumber: Wikipedia, 2016)

Saat ini Bandara Radin Inten II sedang dalam tahap renovasi. Bangunan milik

pemda atau selasar yang selama ini mempersempit lahan parkir akhirnya dibongkar.

Diperkirakan sebelum akhir Januari 2016, lahan parkir di kawasan tersebut makin

luas dan mampu memuat 400 kendaraan.

Tahun 2016, terminal bandara ditingkatkan menjadi tiga lantai yang

diproyeksikan dapat memuat lebih dari 3 juta penumpang per tahunnya dengan

gedung parkir empat lantai hingga bisa memuat 1000 kendaraan. Selain itu, sesuai

rencana Kementerian Perhubungan, landasan pacu diperpanjang menjadi 3.000

meter dari sebelumnya 2.500 meter.

Bandara Radin Inten II mampu melayani 3.350 penumpang setiap hari. Ketika

beroperasi penuh pada 2017, jumlah penumpang yang mampu dilayani mencapai

8.000 per hari atau tiga juta penumpang per tahun. Adapun apron mampu

menampung 10 pesawat dengan 50 pergerakan pesawat per hari. Jumlah pergerakan

itu hanya berbeda tipis dengan Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud

Badaruddin II Palembang yang mencapai 60 pergerakan per hari. Karena itu,

dibutuhkan lahan seluas 78 hektare dan pembebasannya dilakukan dalam dua tahap.

Penambahan landasan pacu tersebut merupakan prasyarat mutlak, agar dapat

didarati pesawat jenis Airbus yang banyak digunakan sebagai armada angkutan

internasional. Saat ini perluasan bandara sudah memasuki tahapan konsultasi

Page 7: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

10

publik. Perluasan lahan akan dilakukan dituju h desa di Kecamatan Natar, Lampung

Selatan.

Pembebasan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama akan dibebaskan

seluas 36 hektare pada 2015 ini dan 42 hektare pada tahun 2016, dan hingga kini

mendapat dukungan penuh dari masyarakat.

2.2 Landasan Pacu (Runway)

Menurut Sandhyavitri dan Taufik (2005) pengertian landasan pacu (Runway)

adalah bagian memanjang dari sisi darat aerodom yang disiapkan untuk tinggal

landas dan mendarat pesawat terbang (Sumber: Sandhyavitri, 2005).

Menurut Horonjeff (1994) system runway di suatu Bandara terdiri dari

perkerasan struktur, bahu landasan (shoulder), bantal hembusan (blast pad), dan

daerah aman runway (runway and safety area)

Gambar 2.5 Tampak Atas Unsur-Unsur Runway

(Sumber: Horonjeff, 1993)

Berikut adalah penjelasan mengenai fungsi dari masing-masing bagian yang

berada di Landasan pacu (runway):

a. Perkerasan struktur mendukung pesawat sehubungan dengan beban struktur,

kemampuan manuver, kendali, stabilitas dan kriteria dimensi dan operasi

lainnya.

b. Bahu landasan (shoulder) yang terletak berdekatan dengan pinggir

perkerasan struktur menahan erosi hembusan jet dan menampung peralatan

untuk pemeliharaan dan keadaan darurat.

c. Bantal hembusan (blast pad) adalah suatu daerah yang dirancang untuk

mencegah erosi permukaan yang berdekatan dengan ujung-ujung runway

yang menerima hembusan jet yang terus-menerus atau yang berulang. ICAO

menetapkan panjang bantal hembusan 100 feet (30 m), namun dari

Page 8: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

11

pengalaman untuk pesawat-pesawat transport sebaiknya 200 feet (60 m),

kecuali untuk pesawat berbadan lebar panjang bantal hembusan yang

dibutuhkan 400 feet (120 m). Lebar bantal hembusan harus mencakup baik

lebar runway maupun bahu landasan.

d. Daerah aman runway (runway end safety area) adalah daerah yang bersih

tanpa benda-benda yang mengganggu, diberi drainase, rata dan mencakup

perkerasan struktur, bahu landasan, bantal hembusan dan daerah perhentian,

apabila disediakan. Daerah ini selain harus mampu untuk mendukung

peralatan pemeliharaan dan dalam keadaan darurat juga harus mampu

mendukung pesawat seandainya pesawat karena sesuatu hal keluar dari

landasan.

Penerapan konfigurasi runway pada setiap bandara berbeda-beda, hal ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

a. Perbedaan kapasitas maksimum

b. Perbedaan arah dan kecepatan angin

c. Kompleksitas pengendalian lalu-lintas udara

d. Kelengkapan alat bantu navigasi

Menurut Sandhyavitri dan Taufik (2005) Terdapat banyak konfigurasi

runway. Kebanyakan merupakan kombinasi dari konfigurasi dasar. Adapun uraian

beberapa bentuk dari konfigurasi dasar runway adalah sebagai berikut:

a. Runway Tunggal

Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Kapasitas

runway jenis ini dalam kondisi VFR berkisar diantara 50 sampai 100 operasi

per jam, sedangkan dalam kondisi IFR kapasitasnya berkurang menjadi 50

sampai 70 operasi, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang dan

alat-alat bantu navigasi yang tersedia.

Gambar 2.6 Runway Tunggal

(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)

Page 9: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

12

b. Runway Sejajar

Kapasitas sistem ini sangat tergantung pada jumlah runway dan jarak

diantaranya. Untuk runway sejajar berjarak rapat, menengah dan renggang

kapasitasnya per jam dapat bervariasi di antara 100 sampai 200 operasi dalam

kondisi-kondisi VFR, tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang.

Sedangkan dalam kondisi IFR kapasitas per jam untuk yang berjarak rapat

berkisar di antara 50 sampai 60 operasi, tergantung pada komposisi campuran

pesawat terbang. Untuk runway sejajar yang berjarak menengah kapasitas per

jam berkisar antara 60 sampai 75 operasi dan untuk yang berjarak renggang

antara 100 sampai 125 operasi per jam.

Gambar 2.7 Runway Sejajar

(Sumber; Sandhyavitri dan Taufik, 2005)

c. Runway Dua Jalur

Runway dua jalur dapat menampung lalu lintas paling sedikit 70 persen lebih

banyak dari runway tunggal dalam kondisi VFR dan kira-kira 60 persen lebih

banyak dari runway tunggal dalam kondisi IFR.

Gambar 2.8 Runway Dua jalur

(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)

d. Runway Bersilangan

Kapasitas runway yang bersilangan sangat tergantung pada letak

persilangannya dan pada cara pengoperasian runway yang disebut strategi

(lepas landas atau mendarat). Makin jauh letak titik silang dari ujung lepas

Page 10: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

13

landas runway dan ambang (threshold) pendaratan, kapasitasnya makin

rendah.

Gambar 2.9 Runway Bersilangan

(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)

Gambar 2.10 Runway Bersilangan Tampak Atas

(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)

e. Runway V Terbuka

Runway V terbuka merupakan runway yang arahnya memencar (divergen)

tetapi tidak berpotongan. Strategi yang menghasilkan kapasitas tertinggi

adalah apabila operasi penerbangan dilakukan menjauhi V (Gambar 2.11).

Dalam kondisi IFR, kapasitas per jam untuk strategi ini berkisar antara 50

sampai 80 operasi tergantung pada campuran pesawat terbang, dan dalam

kondisi VFR antara 60 sampai 180 operasi.

Gambar 2.11 Runway V terbuka

(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)

Gambar 2.12 Runway V Terbuka Tampak Atas

(Sumber: Sandhyavitri dan Taufik, 2005)

Page 11: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

14

2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Panjang Runway

Banyak faktor yang bisa mempengaruhi panjang sebuah runway baik itu

faktor internal maupun faktor ekstrenal. Sesuai dengan rekomendasi dari

International Civil Aviation Organization (ICAO) bahwa perhitungan panjang

runway harus disesuaikan dengan kondisi lokal lokasi Bandara. Metode ini dikenal

dengan metoda Aeroplane Reference Field Length (ARFL). Menurut International

Civil Aviation Organization (ICAO), Aeroplane Reference Field Length (ARFL)

adalah runway minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas pada maximum

sertificated take off weight, elevasi muka laut, kondisi standard atmosfir, keadaan

tanpa ada angin, runway tanpa kemiringan (kemiringan = 0). Jadi didalam

perencanaan persyaratan - persyaratan tersebut harus dipenuhi dengan melakukan

koreksi akibat pengaruh dari keadaan lokal. Menurut Basuki (1986) berikut faktor-

faktor yang mempengaruhi panjang landasan pacu (Runway):

a. Koreksi Ketinggian (Elevasi)

Menurut International Civil Aviation Organization ( ICAO ) bahwa panjang

runway bertambah sebesar 7% setiap kenaikan 300 m ( 1000 ft ) dihitung dari

ketinggian di atas permukaan laut.

Maka diperoleh rumus sebagai berikut:

Keterangan: Fe = Faktor koreksi elevasi

h = Elevasi diatas permukaan laut (m) (Sumber: Basuki, 1986)

b. Koreksi Temperatur

Pada temperatur yang lebih tinggi dibutuhkan runway yang lebih panjang

sebab temperatur tinggi akan menyebabkan kepadatan ( density ) udara yang

rendah, menghasilkan output daya dorong yang rendah. Suhu temperatur

standar adalah 15⁰C atau 59°F. Menurut ICAO panjang runway harus

dikoreksi terhadap temperatur sebesar 1% untuk setiap kenaikan 1⁰C.

Sedangkan untuk setiap kenaikan 1000 m dari permukaaan laut temperatur

akan turun 6.5⁰C.

Page 12: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

15

Dengan dasar diatas maka didapatkan rumus sebagai berikut:

Ft = 1 + 0,01 {T – ( 15 – 0,0065 x h )} Keterangan: Ft = Faktor koreksi temperature

T = Temperature di bandara (oC) (Sumber: Basuki, 1986)

c. Koreksi Kemiringan Runway

Kemiringan (slope) memerlukan runway yang lebih panjang untuk setiap

kemiringan 1%, maka panjang runway harus ditambah dengan 10%. Faktor

koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Fs = 1 + (0,1 S)

Keterangan: Fs = Faktor koreksi kemiringan

S = Kemiringan runway (%) (Sumber: Basuki, 1986)

d. Koreksi Angin Permukaan (Surface Wind)

Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin haluan (head

wind) dan sebaliknya bila bertiup angin buritan (tail wind) maka runway yang

diperlukan lebih panjang. Angin buritan (tail wind) maksimum yang

diizinkan bertiup dengan kekuatan 10 knots. Berikut adalah pengaruh angin

permukaan terhadap panjang runway yang ditabelkan pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway

Kekuatan Angin Persentase Pertambahan / Pengurangan Runway +5 -3 +10 -5 -5 +7

(Sumber: Basuki, 1986) e. Kondisi Permukaan Runway

Untuk kondisi permukaan runway hal sangat dihindari adalah adanya

genangan tipis air (standing water) karena membahayakan operasi pesawat.

Genangan air mengakibatkan permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat

yang membuat daya pengereman menjadi jelek dan yang paling berbahaya

lagi adalah terhadap kemampuan kecepatan pesawat untuk lepas landas.

Menurut hasil penelitian NASA dan FAA tinggi maksimum genangan air

Page 13: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

16

adalah 1,27 cm. Oleh karena itu drainase Bandara harus baik untuk

membuang air permukaan secepat mungkin. Setelah koreksi ketinggian

(elevasi), koreksi temperature, koreksi kemiringan, dan koreksi angin

permukaan ditemukan, maka diperoleh panjang runway perencanaan:

Lr = ARFL × Ft × Fe × Fs + Fa

Dimana : Lr = Panjang rencana runway

ARFL= Runway minimum yang dibutuhkan

Ft = Faktor koreksi temperature

Fe = Faktor koreksi elevasi

Fs = Faktor koreksi kemiringan

Fa = Faktor koreksi angin

2.4 Daerah Parkir Pesawat (Apron)

Menurut Horronjef (1993) Apron adalah komponen bandara yang

menghubungkan antara bangunan terminal dan sisi udara bandara yang mencakup

daerah parkir pesawat yang disebut ramp dan daerah menuju ramp tersebut. Apron

juga berfungsi untuk menaik-turunkan penumpang dan muatan, pengisian bahan

bakar, parkir dan persiapan pesawat terbang sebelum melanjutkan penerbangan.

Pada ramp ini, pesawat diparkir di tempat yang disebut parking stand atau gate.

Pembagian daerah apron dilihat dari fungsinya adalah sebagai berikut:

a. Traffic Area, daerah yang disediakan untuk menaikkan dan menurunkan

penumpang, muatan, pengisian bahan bakar, aircraft servicing dan

preparation for flight.

b. Parking Area, daerah yang disediakan untuk parkir pesawat.

c. Maintenance Area, daerah yang disediakan untuk pemeliharaan pesawat.

Apron terdiri atas tempat parkir pesawat dan jalur khusus untuk sirkulasi

pesawat memasuki/keluar tempat parkir (taxilane). Ukuran dan letak parking stand

harus direncanakan dengan memperhatikan karakter pesawat yang menggunakan

parking stand tersebut seperti lebar sayap, panjang dan radius belok pesawat serta

area yang diperlukan oleh kendaraan-kendaraan yang menyediakan servis untuk

pesawat selama berada di parking stand. Untuk menjamin keselamatan pesawat di

Page 14: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

17

daratan, ICAO juga menetapkan persyaratan jarak minimum antara pesawat terbang

yang sedang parkir di apron satu sama lainnya, dengan bangunan, atau objek-objek

tetap lain yang ada di apron berdasarkan jarak sayap pesawat (wing tip clearance)

seperti pada Tabel 2.3 berikut: Tabel 2.3 Wing Tip Clearance

Code Letter Aircraft Wing Span Clearance

A Up to but including 15 m (49 ft) 3,0 m (10 ft)

B 15 m (49 ft) up to but not including 24 m (79 ft) 3,0 m (10 ft)

C 24 m (79 ft) up to but not including 36 m (118 ft) 4,5 m (15 ft)

D 36 m (118 ft) up to but not including 52 m (171 ft) 7,5 m (25 ft)

E 52 m (171 ft) up to but not including 60 m (197 ft) 7,5 m (25 ft)

(Sumber: Basuki, 1986)

Menururt Basuki (1986) ada beberapa macam tipe parkir pesawat di apron.

Tipe parkir pesawat saat di apron dimaksudkan sebagai posisi parkir pesawat

terhadap gedung terminal dan cara pesawat tersebut bergerak keluar/memasuki dari

tempat parkirnya. Pesawat yang keluar/masuk apron dengan tenaganya sendiri

(taxi-out) atau dibantu dengan peralatan (push-out). Cara kedua memerlukan luas

area yang lebih kecil dibandingkan dengan cara pertama. Pemilihan tipe parkir

pesawat juga harus memperhatikan kenyamanan penumpang dari kebisingan, jet

blast dan pengaruh buruk cuaca, termasuk juga biaya operasi dan pemeliharaan

peralatan pelayanan pesawat di apron. Berikut adalah jenis-jenis tipe parkir pesawat

di apron:

a. Nose-in Parking

Pada parkir tipe ini, pesawat berada tegak lurus dengan bangunan terminal

dengan hidung pesawat berjarak sedekat mungkin dengan bangunan tersebut.

Pesawat memasuki posisi parkir dengan tenaganya sendiri, namun saat keluar

disorong dengan bantuan alat dorong (pushback tractor) sampai jarak yang

cukup hingga pesawat mampu bergerak dengan tenaganya sendiri.

Keuntungan menggunakan tipe parkir nose-in:

• Luas area parking stand yang dibutuhkan minimum.

• Kebisingan aki

Page 15: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

18

• bat mesin pesawat kecil.

• Tidak memancarkan jetblast ke arah bangunan.

• Memudahkan penanganan penumpang keluar/masuk pesawat.

Kerugian menggunakan tipe parkir nose-in:

• Memerlukan banyak pushback tractor.

• Letak pintu belakang pesawat cukup jauh.

b. Angled-Nose in Parking

Tipe parkir pesawat jenis ini serupa dengan tipe nose-in, hanya saja pesawat

diparkir bersudut terhadap bangunan. Keuntungan tipe parkir ini adalah

pesawat dapat keluar/masuk area parkir dengan tenaganya sendiri namun

memerlukan area aprkir yang lebih luas dibandingkan tipe nose-in dan juga

menimbulkan kebisingan yang lebih besar.

c. Angled-Nose out Parking

Pada tipe parkir ini, pesawat diparkir bersudut dengan hidung membelakangi

bangunan terminal.

Keuntungan menggunakan tipe parkir angled nose-out:

• Pesawat dapat masuk/keluar lokasi parkir dengan tenaganya sendiri.

• Memerlukan luas area yang lebih kecil dibanding konfigurasi parkir tipe

angled nose-in.

Kekurangan menggunakan tipe parkir angled nose-out:

• Efek jet blast atau semburan jet serta bisingnya mesin pesawat saat

dinyalakan mengarah langsung ke bangunan.

d. Paralell Parking

Dilihat dari sudut manuver pesawat, konfigurasi parkir ini adalah yang paling

mudah dilakukan. Walaupun tipe parkir ini memerlukan area yang lebih

besar, kebisingan dan efek jet blast dapat diminimalkan dan juga

memudahkan penanganan penumpang karena posisi pintu depan dan

belakang pesawat berdekatan dengan bangunan (terminal).

Berikut adalah gambar dari masing-masing tipe parkir pesawat di apron

sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan diatas yang ditunjukkan pada

Gambar 2.13.

Page 16: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

19

Gambar 2.13 Tipe-Tipe Parkir Pesawat

(Sumber: Basuki, 1986)

2.5 Karakteristik Pesawat Terbang

Sebelum merancang pengembangan sebuah lapangan terbang, dibutuhkan

pengetahuan karakteristik pesawat terbang secara umum untuk merencanakan

prasarananya. Karakteristik pesawat terbang antara lain:

a. Berat (Weight) Menurut Basuki (1986) berat pesawat diperlukan untuk merencanakan tebal

perkerasan dan kekuatan landasan pacu, taxiway, dan apron. Ada beberapa

macam bobot pesawat yang berhubungan dengan pengoperasian dalam

penerbangan yaitu:

• Operating Weight Empty (OWE) adalah berat dasar pesawat, termasuk

di dalamnya crew dan peralatan pesawat yang biasa disebut “No Go

Item” tetapi tidak termasuk bahan bakar dan penumpang/barang yang

membayar. Operating Weight Empty tidak tetap untuk pesawat

komersii, besarnya tergantung komfigurasi tempat duduk.

• Pay Load adalah produksi muatan (barang/penumpang) yang

membayar diperhitungkan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.

Termasuk didalamnya penumpang, barang, surat-surat, paket-paket,

excess bagasi. Maximum Structural Pay Load adalah muatan maximum

yang diizinkan untuk tipe pesawat itu oleh Direktorat Jendral

Perhubungan Udara, sertifikat muatan maximum bisa untuk

penumpang/barang bisa campuran keduanya, tercantum dalam izin

yang dikeluarkan.

• Zero Fuel Weight adalah batasan berat, spesifik pada tiap jenis pesawat,

Page 17: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

20

diatas batasan berat itu tambahan berat harus berupa bahan bakar.

Sehingga ketika pesawat sedang terbang tidak terjadi momen lentur

yang berlebihan pada sambungan.

• Maximum Ramp Weight adalah berat maximum pesawat diizinkan

untuk taxi. Pada saat pesawat taxiing dari apron menuju ujung landasan

pacu dia berjalan dengan kekuatannya sendiri, membakar bahan bakar

sehingga kehilangan berat. Selisih dan perbedaan maximum ramp

weight sangat sedikit, hanya beberapa ratus kilogram saja.

• Maximum Take Off Weight (MTOW) adalah bobot pesawat maksimum

yang diizinkan pada saat take off, termasuk crew, berat pesawat kosong,

bahan bakar, dan pay load yang diizinkan oleh pabrik.

• Maximum Landing Weight (MLW) adalah bobot pesawat udara yang

diizinkan pada saat landing. Main gear (roda pendaratan utama) yang

strukturnya direncanakan untuk menyerap gaya yang lebih besar tentu

harus dengan gear yang lebih kuat. Selama penerbangan pesawat akan

kehilangan berat dengan dibakarnya bahan bakar, lebih-lebih untuk

pesawat-pesawat yang baru menerbangi route-route jauh.

b. Ukuran atau Dimensi (Size) Menurut Basuki (1986) ukuran atau dimensi pesawat mempengaruhi dimensi

parkir area pesawat dan apron, konfigurasi terminal, lebar landasan pacu,

dan taxiway, jarak antara keduanya sangat ditentukan oleh ukuran pesawat.

Ukuran atau dimensi pesawat meliputi:

• Wingspan adalah panjang sayap pesawat udara, diukur dari ujung sayap

kiri sampai ujung sayap kanan.

• Lenght adalah panjang badan pesawat udara, diukur dari ujung hidung

(nose) sampai ujung ekor (tail) pesawat udara.

• Height adalah tinggi pesawat udara, diukur dari permukaan perkerasan

sampai bagian tertinggi dari pesawat udara (ekor).

• Wheel Base adalah jarak antara as roda depan (nose gear) sampai as roda

utama (main gear).

• Wheel Tread adalah jarak antara as roda utama kiri dan as roda utama

Page 18: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

21

kanan.

• Turning Radius adalah jari-jari minimum yang bisa dicapai pesawat

udara pada saat membelok di atas permukaan perkerasan.

c. Kapasitas Penumpang Menururt Basuki (1986) kapasitas penumpang berpengaruh terhadap

perhitungan perencanaan terminal building dan sarana lainnya.

d. Panjang Landasan Pacu Menurut Basuki (1986) panjang landasan pacu berpengaruh terhadap luas

tanah yang dibutuhkan suatu bandar udara.

Berikut ini adalah karakteristik dari beberapa pesawat terbang yang

ditabelkan dalam Tabel 2.4. Tabel 2.4 Karakteristik Beberapa Pesawat Terbang

AEROPLANE TYPE REF

CODE

AEROPLANE CHARACTERISTICS

ARFL

(m)

Wing-

span

(m)

OMGWS

(m)

Lenght

(m)

MTOW

(kg)

TP

(kPa)

DHC2 Beaver 1A 381 14.6 3.3 10.3 2490 240

Beechcraft:

58 (Baron) 1A 401 11.5 3.1 9.1 2449 392

100 1A 628 14.0 4.0 12.2 5352 -

Britten Norman Islander 1A 353 14.9 4.0 10.9 2850 228

Cessna:

172 1A 272 10.9 2.7 8.2 1066 -

206 1A 274 10.9 2.6 8.6 1639 -

310 1A 518 11.3 3.7 9.7 2359 414

404 1A 721 14.1 4.3 12.1 3810 490

Partenavia P68 1A 230 12.0 2.6 9.4 1960 -

Piper:

PA 31 (Navajo) 1A 639 12.4 4.3 9.9 2950 414

PA 34 1A 378 11.8 3.4 8.7 1814 -

Beechcraft 200 1B 592 16.6 5.6 13.3 5670 735

Cessna:

208 (Caravan) 1B 296 15.9 3.7 11.5 3310 -

Page 19: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

22

Tabel 2.4 Lanjutan

AEROPLANE TYPE REF

CODE

AEROPLANE CHARACTERISTICS

ARFL

(m)

Wing-

span

(m)

OMGWS

(m)

Lenght

(m)

MTOW

(kg)

TP

(kPa)

402C 1B 669 13.45 5.6 11.1 3107 490

441 1B 544 15.1 4.6 11.9 4468 665

DHC 6 Twin Otter 1B 695 19.8 4.1 15.8 5670 220

Dornier 228-200 1B 525 17.0 3.6 16.6 5700 -

DHC-7 1C 689 28.4 7.8 24.6 19505 620

DHC-5E 1D 290 29.3 10.2 24.1 22361 -

Lear Jet 28/29 2A 912 13.4 2.5 14.5 6804 793

Beechcraft 1900 2B 1098 16.6 5.8 17.6 7530 -

CASA C-212 2B 866 20.3 3.5 16.2 7700 392

Embraer EMB 110 2B 1199 15.3 4.9 15.1 5670 586

Metro II 2B 800 14.1 5.4 18.1 5670 740

Metro III 2B 991 17.37 5.4 18.1 6577 740

ATR 42-200 2C 1010 24.6 4.9 22.7 16150 728

Cessna 550 2C 912 15.8 6.0 14.4 6033 700

DHC-8:

100 2C 948 25.9 8.5 22.3 15650 805

300 2C 1122 27.4 8.5 25.7 18642 805

Lear Jet 55 3A 1292 13.4 2.5 16.8 9298 -

IAI Westwind 2 3A 1495 13.7 3.7 15.9 10660 1000

Bae 125-400 3B 1713 15.7 3.3 15.5 12480 1007

Canadair:

CL600 3B 1737 18.9 4.0 20.9 18642 1140

CRJ-200 3B 1527 21.21 4.0 26.77 21523 1117

Cessna 650 3B 1581 16.3 3.6 16.9 9979 1036

Dassault-Breguet:

Falcon 900 3B 1515 19.3 5.3 20.2 20640 1300

Embraer EMB 145 3B 1500 20 4.8 29.9 19200 -

Fokker F28-2000 3B 1646 23.6 5.8 29.6 29480 689

Metro 23 3B 1341 17.4 5.4 18.1 7484 742

Shorts 3D3-60 3B 1320 22.8 4.6 21.6 11793 758

Bae:

Page 20: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

23

Tabel 2.4 Lanjutan

AEROPLANE TYPE REF

CODE

AEROPLANE CHARACTERISTICS

ARFL

(m)

Wing-

span

(m)

OMGWS

(m)

Lenght

(m)

MTOW

(kg)

TP

(kPa)

Jetstream 31 3C 1440 15.9 6.2 14.4 6050 448

Jetstream 41 3C 1500 18.3 - 19.3 10433 -

146-200 3C 1615 26.3 5.5 26.2 42185 1138

146-300 3C 1615 26.3 5.5 31.0 44225 945

Bombardier Global

Express 3C 1774 28.7 4.9 30.3 42410 -

Embraer EMB 120 3C 1420 19.8 7.3 20.0 11500 828

McDonnell Douglas:

DC-3 3C 1204 28.8 5.8 19.6 14100 358

DC9-20 3C 1551 28.5 6.0 31.8 45360 972

Fokker:

F27-500 3C 1670 29.0 7.9 25.1 20412 540

F28-4000 3C 1640 25.1 5.8 29.6 32205 779

F50 3C 1760 29.0 8.0 25.2 20820 552

F100 3C 1695 28.1 5.0 35.5 44450 920

SAAB SF-340 3C 1220 21.4 7.5 19.7 12371 655

Airbus A300 B2 3D 1676 44.8 10.9 53.6 142000 1241

Airbus A320-200 4C 2058 33.9 8.7 37.6 72000 1360

Boeing:

B717-200 4C 2130 28.4 6.0 37.8 51710 -

B737-200 4C 2295 28.4 6.4 30.6 52390 1145

B737-300 4C 2749 28.9 6.4 30.5 61230 1344

B737-400 4C 2499 28.9 6.4 36.5 63083 1400

B737-800 4C 2256 35.8 6.4 39.5 70535 1470

B737-900 4C 2240 34,3 7 42,1 66.000 1470

McDonnell Douglas:

DC9-30 4C 2134 28.5 6.0 37.8 48988 -

DC9-80/MD80 4C 2553 32.9 6.2 45,1 72575 1390

Airbus:

A300-600 4D 2332 44.8 10.9 54.1 165000 1260

A310-200 4D 1845 43.9 10.9 46.7 132000 1080

Page 21: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

24

Tabel 2.4 Lanjutan

AEROPLANE TYPE REF

CODE

AEROPLANE CHARACTERISTICS

ARFL

(m)

Wing-

span

(m)

OMGWS

(m)

Lenght

(m)

MTOW

(kg)

TP

(kPa)

Boeing:

B707-300 4D 3088 44.4 7.9 46.6 151315 1240

B757-200 4D 2057 38.0 8.7 47.3 108860 1172

B767-200ER 4D 2499 47.6 10.8 48.5 156500 1310

B767-300ER 4D 2743 47.6 10.8 54.9 172365 1310

McDonnell Douglas:

DC8-63 4D 3179 45.2 7.6 57.1 158757 1365

DC10-30 4D 3170 50.4 12.6 55.4 251744 1276

Lockheed:

L1011-100/200 4D 2469 47.3 12.8 54.2 211378 1207

McDonnell Douglas:

MD11 4D 2207 51.7 12.0 61.2 273289 1400

Tupolev TU154 4D 2160 37.6 12.4 48.0 90300 -

Airbus:

A 330-200 4E 2713 60.3 12.0 59.0 230000 1400

A 330-300 4E 2560 60.3 12.0 63.6 230000 1400

A 340-300 4E 2200 60.3 12.0 63.7 253500 1400

Boeing:

B747-SP 4E 2710 59.6 12.4 56.3 318420 1413

B747-300 4E 3292 59.6 12.4 70.4 377800 1323

B747-400 4E 3383 64.9 12.4 70.4 394625 1410

B777-200 4E 2500 60.9 12.8 63.73 287800 1400

(Sumber: Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara Nomor: KP 29 Tahun 2014)

2.6 Struktur Perkerasan Runway

Menurut Basuki (1986) perkerasan adalah struktur yang terdiri dari

beberapa lapisan dengan kekerasan dan daya dukung yang berlainan. Dalam

merencanakan tebal perkerasan landas pacu bandara hal yang utama yang perlu

diketahui adalah karakteristik pesawat yang akan mendarat pada landas pacu.

Dalam perencanaan tebal perkerasaan yang digunakan adalah metode yang

Page 22: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

25

dikembangkan oleh FAA yaitu berdasarkan berat pesawat dan nilai CBR tanah.

Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA adalah perencanaan untuk

masa umur rencana, dimana selama masa layanan tersebut harus dilakukan

pemeliharaan secara berkala. Dalam struktur perkerasan runway pada skripsi ini

akan membahas 2 jenis tipe perkerasan saja yaitu struktur perkerasan lentur

(flexible pavement) dan struktur perkerasan kaku (rigid pavement), tetapi dalam

skripsi ini penulis hanya lebih menekankan kepada struktur perkerasan Lentur.

Berikut adalah penjelasan dari kedua jenis tipe perkerasan:

a. Stuktur Perkerasan Lentur (Flexible Pavement )

Menururt Basuki (1986) pengertian perkerasan flexible adalah suatu

perkerasan yang dibuat dari campuran aspal dengan agregate, digelar diatas

suatu permukaan material granular mutu tinggi. Perkerasan flexible

mempunyai sifat elastis, maksudnya adalah perkerasan akan melendut saat

diberi pembebanan. Adapun struktur lapisan perkerasan lentur sebagai

berikut:

• Tanah dasar (Subgrade)

Tanah dasar (subgrade) pada perencanaan tebal perkerasan akan

menentukan kualitas konstruksi perkerasan sehingga sifat–sifat tanah

dasar menentukan kekuatan dan keawetan konstruksi landasan pacu.

• Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)

Lapisan pondasi bawah (subbase course) adalah bagian dari konstruksi

perkerasan landasan pacu yang terletak di antara tanah dasar (sub

grade) dan lapisan pondasi atas (Base Course). Menurut Horonjeff

(1993) fungsi dari lapisan pondasi bawah (subbase course) adalah sama

seperti lapisan pondasi atas (base course) tetapi karena ia tidak

menerima beban secara langsung, ia hanya memikul intensitas tegangan

yang lebih rendah.

• Lapisan Pondasi Atas (Base Course)

Lapisan pondasi atas (base coarse) adalah bagian dari perkerasan

landasan pacu yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan

permukaan. Menurut Horonjeff (1983) fungsi dari lapisan pondasi atas

Page 23: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

26

(base course) adalah direncanakan untuk mencegah kegagalan pada

tanah dasar, memikul tegangan-tegangan yang timbul pada lapisan

pondasi atas, menahan tekanan vertikal yang cenderung untuk

memindahkan konsolidasi dan deformasi dari lapisan penutup, dan

menahan perubahan volume yang disebabkan oleh fluktuasi dari

kandungan kelembaban.

• Lapisan Permukaan (Surface Course)

Lapisan permukaan (surface course) adalah lapisan yang terletak

paling atas. Menurut Horonjeff (1993) fungsi dari lapisan permukaan

(surface course) adalah melindungi lapisan pondasi atas dari

perembesan air permukaan, memberikan permukaan yang rata, terikat

baik dan bebas dari butiran-butiran lepas, memikul gaya geser yang

disebabkan oleh beban pesawat, dan memberikan permukaan yang tidak

menimbulkan keausan pada ban yang tidak semestinya. Lapisan

permukaan (surface course) harus tahan terhadap tumpahan bahan bakar

dan bahan pelarut lainnya pada daerah dimana pemeliharaan pesawat

mungkin dilakukan.

b. Struktur Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Menurut Basuki (1986) pengertian perkerasan kaku adalah suatu

perkerasan yang dibuat dari slab-slab beton (Portland Cement Concrete).

Perkerasan kaku (rigid pavement) mempunyai sifat dimana saat pembebanan

berlangsung perkerasan tidak mengalami perubahan bentuk, artinya

perkerasan tetap seperti kondisi semula sebelum pembebanan berlangsung.

Sehingga dengan sifat ini, maka dapat dilihat apakah lapisan permukaan yang

terdiri dari plat beton tersebut akan pecah atau patah. Perkerasan kaku ini

biasanya terdiri tiga lapisan yaitu :

• Tanah Dasar (Subgrade)

Lapisan yang berada paling bawah dan merupakan faktor terpenting

dalam struktur perkerasan karena harus menahan beban-beban yang

berada diatasnya. Subgrade harus dipadatkan agar diperoleh stabilitas

daya dukung yang cukup dan seragam. Hasil pengujian daya dukung

Page 24: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

27

lapisan subgrade dinyatakan dengan California Bearing ratio (CBR) dan

modulus reaksi tanah dasar (k).

• Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)

Lapisan ini terdiri dari material kerikil dan batu pecah dengan gradasi

baik. Lapisan ini berfungsi untuk mengatasi serta mengurangi terjadinya

pumping, meningkatkan daya dukung lapisan subgrade sehingga harga k

yang meningkat dapat mengurangi ketebalan perkerasan yang

diperlukan.

• Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketebalan perkerasan kaku antara lain

jumlah lalu lintas pesawat (annual departure), umur desain (design life),

jenis dan karakteristik pesawat, dan kondisi subgrade seta sub-base.

Pada perkerasan kaku biasanya dipilih untuk: Ujung landasan, pertemuan

antara landasan pacu dan taxiway, apron dan daerah-daerah lain yang dipakai

untuk parkir pesawat atau daerah-daerah yang mendapat pengaruh panas blast

jet dan limpahan minyak.

Gambar 2.14 Lapisan-Lapisan Perkerasan Lentur dan Kaku (Sumber: Basuki, 1986)

Page 25: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

28

2.7 Material Perkerasan Runway

Perkerasan lentur terdiri dari lapisan permukaan, lapisan pondasi bawah (base

course), dan jika diperlukan akibat kondisi tanah dasar di atas lapisan pondasi bawah

(subbase course). Keseluruhan susunan struktur perkerasan tersebut sepenuhnya

didukung oleh tanah dasar (subgrade). Menurut FAA berdasarkan AC 150/5320-6D,

Airport Pavement Design and Evaluation berikut adalah beberapa material yang

digunakan dalam merencanakan perkerasan lentur:

a. Lapisan Permukaan (Surface Course)

Untuk lapisan permukaan digunakan item P-401 HMA (Hot Mix Asphalt) Item ini

terdiri dari agregat mineral dan material aspal yang dicampur di dalam satu central

mixing plant. Pencampuran yang dilakukan harus sesuai dengan spesifikasi yang

disyaratkan. Adapun materi yang digunakan adalah agregat, mineral pengisi dan

material aspal.

b. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)

Lapisan pondasi atas terdiri dari material berbutir dengan bahan pengikat

misalnya semen dengan portland atau aspal, atau bahan pengikat. Spesifikasi

terkait dengan komponen, gradasi, control manipulasi dan persiapan berbagai

material pondasi yang digunakan di bandara untuk beban 30.000 lbs (13.608

kg) atau lebih adalah sebagai berikut:

• Item P-209 – (Crushed Aggregate Base Course)

• Item P-211 – (Lime Rock Base Course)

• Item P-304 – (Cement Treated Base Course)

• Item P-306 – (Econocrete Subbase Course)

Penggunaan jenis P-209, sebagai material pondasi terbatas untuk perkerasan

yang didesain untuk beban kotor ≤ 100.000 lbs (45.359 kg).

c. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)

Lapisan pondasi bawah terdiri dari bahan batu yang dipecah dulu atau yang

alamiah. Spesifikasi terkait dengan kualitas komponen, gradasi, kontrol

manipulasi dan persiapan dari berbagai tipe lapisan pondasi bawah yang

digunakan pada bandara untuk beban rencana ≥ 30.000 lbs (13.608 kg) adalah

sebagai berikut:

Page 26: BAB II 2.1 Bandara Radin Inten II Provinsi Lampungeprints.umm.ac.id/35093/3/jiptummpp-gdl-dimasalfiy-48531-3-babii.pdf · 105o10’31,97”BT dengan ketinggian MDPL 283 kaki (86 m).

29

• Item P-154 – (Subbase Course)

• Item P-208 – (Aggregate Base Course)

• Item P-210 – (Caliche Base Course)

• Item P-212 – (Shell Base Course)

• Item P-213 – (Sand Clay Base Course)

• Item P-301 – (Soil Cement Base Course)