BAB I - V
Transcript of BAB I - V
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 1/58
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu
penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Hidung
dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi
yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal
(Purnaman dan Rifki, 1990).
Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan
sinus paranasalis (PERHATI, 2001). Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang
sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup, sehingga penting bagi dokter umum atau
dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi,
gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini (Roos, 1999).
Rinosinusitis ini sendiri di klasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut,
rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronis.
Rinosinusitis kronis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus
paranasalis yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki,
2003). Rinosinusitis kronis secara nyata akan menurunkan kualitas hidup akibat
obstruksi hidung dan iritasi, gangguan penghidu, gangguan tidur dan gejala pilek
yang persisten (Harowi, 2007). Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis kronik
ialah obstruksi mekanik seperti deviasi septum, hipertropi konka media, benda
1
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 2/58
asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung yang dibiarkan terus
menerus tanpa penanganan pengobatan. Faktor predisposisi lain seperti
rangsangan yang menahun dari lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering,
yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Faktor-
faktor fisik, kimia, saraf, hormonal atau emosional dapat juga mempengaruhi
mukosa hidung yang selanjutnya dapat mempengaruhi mukosa sinus.
Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari
populasi orang dewasa. Menurut American Academy of Otolaringology, kondisi
ini menghabiskan langsung dana kesehatan sebesar 3,4 milyar dolar per tahun.
Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri yang sudah masuk data rumah sakit
berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah
200.000 orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap
tahunnya juga (Ryan, 2006).
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan
dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan
PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7
propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus
2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi
operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Karena berbagai kendala dari
jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Di Bagian THT RS
2
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 3/58
Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, dilaporkan tindakan BSEF pada periode
Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi rinoinusitis, 33 kasus pada
polip hidung disertai rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan
septum koreksi atas indikasi rinosinusitis dan septum deviasi.
Saat ini di RSUD Mataram belum ada studi epidemiologi mengenai data pasti
dari kasus rinosinusitis, padahal rinosinusitis kronis tersebut merupakan salah satu
penyakit yang sering dijumpai di poli THT RSUD Mataram, sehingga sangat
diperlukan data yang akurat untuk mengetahui distribusi profil subjek berdasarkan
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor
predisposisi dari rinosinusitis kronis.
Propinsi NTB merupakan daerah pegunungan dengan iklim berupa udara
yang dingin dan lembab, sebagian besar masyarakat NTB merupakan golongan
menengah kebawah dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan yang rendah
sehingga rata–rata memiliki status gizi yang kurang dan tingkat higiene yang
rendah. Iklim seperti udara dingin dan kering, lembab dengan suhu yang berubah-
ubah, alergi, dan keadaan umum yang buruk (status gizi kurang), merupakan
faktor-faktor yang mempermudah terjadinya rinosinusitis.
Dari uraian diatas dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya, maka
penulis bermaksud mengangkat judul ”Profil Pasien Rinosinusitis Kronis di Poli
THT RSUD Mataram Periode 1 Januari - 31 Desember 2007”. Di NTB khususnya
RSUD Mataram yang merupakan pusat rujukan dari berbagai kabupaten/kodya di
NTB, belum terdapat penelitian yang melaporkan tentang angka kejadian
penderita rinosinusitis kronis.
3
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 4/58
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah profil pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di
bagian Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007?
1. 3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui profil pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di
bagian poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.
1.3.2. Tujuan Khusus
Mengetahui rentang usia pasien rinosinusitis kronis.
2. Mengetahui jenis kelamin pasien rinosinusitis kronis.
3. Mengetahui tingkat pendidikan terakhir pasien rinosinusitis kronis.
4. Mengetahui jenis pekerjaan pasien rinosinusitis kronis.
5. Mengetahui keluhan utama pasien rinosinusitis kronis.
6. Mengetahui faktor predisposisi pasien rinosinusitis kronis.
I.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi peneliti:
1. Mengetahui secara lebih mendalam profil pasien rinosinusitis kronis yang
menjalani pemeriksaan di bagian Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari
– 31 Desember 2007.
2. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram.
4
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 5/58
1.4.2. Bagi RSU Mataram:
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pihak RSUD Mataram
dalam mengambil kebijakan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
1.4.3. Bagi para pembaca:
Diharapkan bahwa hasil Karya Tulis Ilmiah ini nantinya dapat menjadi sumber
informasi dan bahan bacaan tambahan yang dapat memperluas wawasan
pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa kedokteran, tenaga kesehatan, maupun
masyarakat pada umumnya.
5
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 6/58
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Rinosinusitis Kronis
Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat
dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa
hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu
sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan
(Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu
maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis (Paraswati, 2007).
2.1.1. Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat
lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus
terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding
anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,
dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
6
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 7/58
sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus
paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga
aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari
anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1
dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus
medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
2.1.2. Sinus Etmoidalis
Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak
diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus
maksilaris, bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior
dan 1,5 ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
7
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 8/58
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2003).
Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina
papirasea. Sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya
pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma
(Ballenger, 1994).
2.1.3. Sinus Frontalis
Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi, di
os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada
usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun.
Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang
biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya
ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus
frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-
8
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 9/58
kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk
salah satu sinus (Hilger, 1997).
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut
dengan tulang compacta dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini (Ballenger, 1994).
2.1.4. Sinus Sfenoidalis
Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid
posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7
cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis
dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak
di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral
os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis
di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk
oleh os sfenoidale. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri
karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus
sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini, dan pasien dapat
mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding
medial dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus
kiri dari yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa
dan sebelah inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997).
9
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 10/58
Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)
Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)
10
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 11/58
1. Sinus frontal
2. Sinus etmoid anterior
3. Aliran dari sinus frontal
4. Aliran dari ethmoid
5. Sinus etmoid posterior
6. Konka media
7. Sinus sphenoid
8. Konka Inferior
9. Hard palate
Gambar 2.3. Dinding lateral hidung (Hazenfield, 2009)
2.2. Etiologi Rinosinusitis Kronis
Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-
antibiotik, rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang
berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia,
saraf, hormonal dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum,
rinosinusitis kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi,
kelemahan tubuh yang tidak bugar, dan penyakit umum sistemik perlu
dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktor-
faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembapan, dan kekeringan, demikian
pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan faktor
predisposisi.
11
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 12/58
Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap
infeksi sebelumnya, misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti
rinitis alergika.
Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit
rinosinusitis kronis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda
asing dan neoplasma.
Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana
virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti, rinosinusitis,
faringitis, dan sinusitis akut. Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung,
nasofaring dan juga meluas ke sinus, yang termasuk didalamnya adalah rinovirus,
influenza virus dan parainfluenza virus.
Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan rinosinusitis akut. Namun, karena rinosinusitis kronik biasanya
berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang
terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri
penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya, baik anaerob maupun yang
aerob, namun yang merupakan proporsi terbesar adalah bakteri anaerob (Munir
dan Kurnia, 2007). Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain
staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemuphilus influenza, neisseria
flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia, dan escherichia
coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus,
corynebacterium, bacteroides, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme
aerob dan anaerob sering kali juga terjadi (Hilger, 1997).
12
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 13/58
2.3. Patofisiologi Rinosinusitis Kronis
Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, rinitis
kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada
obstruksi anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan alergenik
kronik, seperti hipertropi mukosa, dan poliposis (Hilger, 1997).
Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung, dan pelapis
sinus merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis
kronis ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius
akibat reaksi radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus
respiratorius atas biasanya mengenai mukosa sinus, karena epitel sinus merupakan
epitelium kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner
bertingkat bersilia pada hidung, sehingga hal-hal yang terjadi di hidung biasanya
terjadi pula di sinus-sinus, karena hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat
menghasilkan superinfeksi bakterial, yang kemudian bakteri tersebut dapat masuk
melalui ostium menuju ke dalam rongga-rongga sinus dan berkembangbiak
didalamnya (Samsudin, 1991).
Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang
letaknya berhadapan akan saling bertemu, dimana sekretnya ini menebal, dan bila
ditunggangi kontaminasi bakteri, mukosanya akan mengandung purulen. Virus
juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan
mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia, hal ini menyebabkan silianya
menjadi kurang aktif, dan sekret yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental,
sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi gangguan drenase dan ventilasi
13
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 14/58
di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung berulang atau terus-meneruslah
yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis, dimana akan terjadi hipoksia dan
retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob.
Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid
berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi, dimana stroma akan terisi
oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila
proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga
terjadilah polip.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas
hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus
etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan (Pawankar, 2000
dan Stammberger 1997). Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop,
mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger
didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media
dan infundibulum. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di
nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus
maksila dan disebut juga polip antro-koana. Menurut Stammberger polip
antrokoana biasanya berasal dari kista yang terdapat pada dinding sinus maksila.
Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid posterior atau
resesus sfenoetmoid (Jareoncharsri dan Stammberger, 1997).
14
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 15/58
Polusi,Zat kimia
Sumbatan Alergi,
Mekanis defisiensi
imun
Sepsis residual
Pengobatan yang tidak memadai
Gambar 2.4. Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis
(Hilger, 1997)
Gambar 2.5. Purulen pada infeksi sinus maksilaris (Cody, 1991)
15
Drenase ygtidak
memadai
Hilangnyasilia
Perubahan mukosa
Infeksi
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 16/58
Gambar 2.6. Kista atau polip pada sinus maksilaris sinistra (Hazenfield, 2009)
Gambar 2.7. Polip hidung tampak pada rinoskopi anterior (Nizar danMangunkusumo, 2003)
16
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 17/58
Gambar 2.8. Polip hidung dengan tangkainya (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)
Gambar 2.9. Nasal polip (Hazenfield, 2009)
17
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 18/58
Gambar 2.10. Polipektomi hidung. Suatu pengait digunakan untuk menjerat danmenarik polip (Hilger, 1997)
2.4. Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis
Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Kennedy, 1995). Yang merupakan
kriteria mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:
a. Nyeri atau sakit pada bagian wajah.
b. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal
(post nasal drip).
c. Gejala faring, yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.
d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rhinoskopi anterior ditemukan
sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior, sedangkan
pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.
18
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 19/58
e. Hyposmia atau anosmia.
f. Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
g. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.
Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:
a. Nyeri atau sakit kepala.
b. Demam.
c. Halitosis.
d. Kelelahan ( fatigue).
e. Sakit gigi (dental pain).
f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan
komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial,
sehingga terjadi penyakit sinobronkial.
g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba
eustachius (Ryan, 2005).
Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan
akan berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus
dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan
Rifki, 2003).
19
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 20/58
2.5. Diagnosis Rinosinusitis Kronis
Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak berdasarkan
gambaran klinik, yaitu:
No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis KronisDewasa Anak Dewasa Anak
1 Lama gejala dan tanda < 12minggu
< 12minggu
> 12minggu
> 12minggu
2 Jumlah episode seranganakut, masing-masing
berlangsung minimal 10hari
< 4 kali /tahun
< 6 kali /
tahun
> 4 kali /
tahun
> 6 kali /
tahun
3 Jumlah episode seranganakut, masing-masing
berlangsung minimal 10hari
Dapat sembuhsempurna dengan
pengobatanmedikamentosa
Tidak dapat sembuhsempurna dengan
pengobatanmedikamentosa
Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy,1995)
Dari gambaran klinik ini, barulah kita dapat menentukan langkah diagnosis
dari rinosinusitis kronis, yang dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasalis yang
dilakukan dengan inspeksi dari luar, palpasi, perkusi, rinoskopi anterior, rinoskopi
posterior dan transilumetri. Transiluminasi hanya dapat dipakai untuk memeriksa
sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila fasilitas radiologis tidak tersedia.
Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin yang
dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Pungsi sinus maksila, sinoskopi
sinus maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari
jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus
medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan
pemeriksaan CT-Scan (Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CT–Scan,
20
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 21/58
merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada
sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan
mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu
atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada kasus-
kasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis dengan komplikasi,
evaluasi preoperatif, dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam resolusi jaringan
lunak dan sangat baik untuk membedakan rhinosinusitis karena jamur, neoplasma,
dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar baik dan
harganya mahal (FKUI-Kapita Selekta Kedokteran, 2003).
2.6. Komplikasi Rinosinusitis Kronis
Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses
subperiostal, kelainan orbita, kelainan intrakranial dan kelainan paru.
Osteomielitis dan abses subperiostal penyebab terseringnya pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya ditemukan
pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang dikelilingi
pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial dan maksilaris
21
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 22/58
di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat meluas untuk
melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis, tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Selain itu juga, semua sinus mempunyai hubungan sirkulasi di
mata melalui pembuluh pterigodea, serta cabang-cabang arteri yang mempunyai
nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan berdampingan dengan vena
yang menghubungkannya dengan mata. Seperti cabang sfenopalatina dari arteri
maksilaris interna menyuplai konka, meatus dan septum. Cabang etmoidalis
anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan
etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu
cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri
maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan
ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang
rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media
dan inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil.
Drenase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina,
seperti pada vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Untuk persarafannya yang
terlibat langsug adalah termasuk juga divisi oftalmikus, misalnya bagian depan
dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasolabialis, yang berasal dari
nervous oftalmikus. Pada sfenoid dapat pula timbul gejala pada mata, tetapi hanya
karena hubungannya dengan sinus kavernosus tempat lewatnya saraf otak ketiga
22
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 23/58
(okulomotorius), keempat (troklearis), kelima (trigeminus) dan keenam
(abdusens) (Hilger, 1997). Kelainan yang dapat timbul, antara lain:
a. Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk .
b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
c. Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita juga
proptosis yang makin bertambah.
d. Trombosis sinus kavernosus: merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik, dan yang selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Kelainan intrakranial yang dimaksud dapat berupa:
a. Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara etmoidalis.
b. Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
23
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 24/58
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
c. Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Sedangkan untuk kelainan paru berupa bronkitis kronik dan bronkiektasis,
selain itu dapat pula timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
2.7. Terapi Rinosinusitis Kronis
Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan
operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas
sekret, dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya,
maka dapat dilakukan tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan
konservatif, dengan pemberian antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya
serta obat-obatan simptomatis lainnya seperti analgetik berupa aspirin atau
preparat codein, dan kompres hangat pada wajah juga dapat membantu untuk
menghilangkan rasa sakit tersebut. Dekongestan, misalnya pseudoefedrin, dan
tetes hidung poten seperti fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk
mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus. Terapi pendukung
lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin (Piccirillo, 2004).
Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
24
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 25/58
Agen Antibiotika Dosis
SINUSITIS AKUT
Lini pertamaAmoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3
dosisDewasa: 3 x 500 mg
Kotrimoxazol Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 – 60 mgSMX/ kg/hari terbagi dlm 2 dosisDewasa: 2 x 2 tab dewasa
Eritromisin Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jamDewasa: 4 x 250-500mg
Doksisiklin Dewasa: 2 x 100 mgLini kedua
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2dosisDewasa: 2 x 875 mg
Cefuroksim 2 x 500 mgKlaritromisin Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250 mgAzitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama
4 hari berikutnya.Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500 mg
SINUSITIS KRONIK Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosisDewasa: 2 x 875 mg
Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti5mg/kg selama 4 hari berikutnyaDewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x250mg selama 4 hari
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg
Tabel 2.2. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis (Piccirillo,2004)
Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra
Short Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini
membantu memperbaiki drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit.
Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk
25
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 26/58
sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan
pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 – 6 kali tidak ada
perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen, berarti mukosa sinus
sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible), maka dapat dilakukan
operasi radikal untuk menghindari komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui
perubahan mukosa masih reversible atau tidak, dapat juga dilakukan dengan
pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum (sinus maksila) secara langsung
dengan menggunakan endoskop (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Bila penanganan konservatif gagal, maka dilakukan terapi operatif yaitu
dengan cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc,
sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari
dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) (Mangunkusumo dan Rifki,
2003).
Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat
operasi kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada
rongga-rongga sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan
normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar, inilah yang disebut dengan
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui
26
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 27/58
osteum alami. Dengan demikian sinus akan kembali normal (Mangunkusumo dan
Rifki, 2003).
2.8. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai
berikut:
Gambar 2.11. Kerangka konsep penelitian
BAB III
27
Rinosinusitiskronis
Tingkat pendidikan
Faktor predisposisi
Jeniskelamin
Usia Jenis pekerjaan
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 28/58
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dirancang secara deskriptif, dengan pengumpulan data bersifat
retrospektif yaitu melakukan tinjauan terhadap rentang usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor predisposisi pada pasien
rinosinusitis kronis yang berobat di Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari –
31 Desember 2007.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RSUD Mataram NTB pada bulan Oktober 2008. Data
dalam penelitian ini diambil dari kartu rekam medis pada pasien rinosinusitis
kronis yang menjalani pemeriksaan di bagian Poli THT di RSUD Mataram
periode 1 Januari – 31 Desember 2007.
3.3. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rinosinusitis kronis yang
menjalani pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31
Desember 2007.
3.4. Definisi Operasional
28
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 29/58
1. Rinosinusitis kronis merupakan peradangan pada mukosa hidung dan sinus
paranasalis yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
2. Profil pasien rinosinusitis kronis merupakan gambaran umum penderita
yang terdiri dari rentang usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, jenis
pekerjaan, keluhan utama, dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis yang
disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau ikhtisar lainnya yang mewakili
serangkaian karakteristik secara kuantitatif.
3. Usia pasien rinosinusitis kronis merupakan waktu hidup pasien sejak
dilahirkan sampai datang ke poli THT dengan penyakit rinosinusitis.
4. Jenis kelamin adalah laki –laki dan perempuan.
5. Tingkat pendidikan merupakan pendidikan formal yang telah diselesaikan
6. Pekerjaan merupakan mata pencaharian dari pasien rinosinusitis kronis.
7. Keluhan utama merupakan gejala yang dirasakan oleh pasien rinosinusitis
kronis saat datang berkunjung ke poli THT.
8. Faktor predisposisi merupakan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya
rinosinusitis kronis, seperti: obstruksi mekanik seperti deviasi septum,
hipertropi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam
rongga hidung yang dibiarkan terus menerus, rangsangan menahun dari
lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, faktor fisik, kimia, saraf,
hormonal ataupun emosional.
3.5. Alat dan Cara Pengumpulan Data
29
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 30/58
Sumber data dalam penelitian ini adalah informasi yang tertulis dalam rekam
medis pasien rinosinusitis kronis. Pengumpulan data dilakukan dengan mencatat
informasi-informasi yang penting dalam kartu rekam medis pasien. Data yang
dicatat meliputi:
1. Nomor rekam medis.
2. Tanggal masuk rumah sakit.
3. Nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan alamat pasien.
4. Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis kronis.
5. Keluhan utama.
6. Hasil pemeriksaan penunjang.
3.6. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini, digunakan prosedur penelitian yang sesuai dengan langkah-
langkah berikut:
1. Melakukan pencatatan pasien rinosinusitis dari buku registrasi di poli THT
RSUD Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.
2. Melakukan pencarian rekam medik pasien rinosinusitis kronis di RSUD
Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.
3. Mencatat profil semua pasien rinosinusitis kronis di RSUD Mataram periode 1
Januari – 31 Desember 2007.
4. Mengumpulkan data dan melakukan pengentrian data.
5. Melakukan analisa data dengan metode analisis deskriptif sederhana terhadap
data yang sudah terkumpul dalam bentuk tabel dan gambar.
30
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 31/58
6. Membahas dan menginterprestasikan hasil data yang diperoleh yang dikaitkan
dengan variable-variabel penelitian yang digunakan.
3.7. Analisis Data
Data yang diperoleh disusun dan ditabulasi serta disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik.
3.8. Rencana Kegiatan
Adapun jadwal penelitian berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan yaitu:
Rencana kegiatan Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Penyusunan judul X
Penyusunan proposal X X X
Pengumpulan data X
Analisis data X X
Laporan penelitian X X X X X
Tabel 2.3. Jadwal penelitian berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini pengumpulan data hanya berdasarkan informasi-informasi
yang tertera di lembaran rekam medis pasien rinosinusitis kronis yang menjalani
31
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 32/58
pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.
Adapun informasi yang dicatat yaitu nomor rekam medis, tanggal masuk rumah
sakit, nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, keluhan utama,
faktor predisposisi dan hasil pemeriksaan penunjang.
Penelitian mengenai profil rinosinusitis kronis ini dilakukan selama satu
bulan yaitu pada bulan oktober dan berdasarkan hasil pengumpulan data rekam
medis yang dilakukan, maka didapatkan data-data pasien rinosinusitis kronis yang
menjalani pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram, yakni sebanyak 241 pasien
rinosinusitis yang diperiksa di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari – 31
Desember 2007, dan diantaranya terdapat 120 pasien yang terdiagnosa
rinosinusitis kronis.
Berikut merupakan gambaran karakteristik subjek penelitian sebanyak 120
kasus yang dijabarkan dalam bentuk tabel dan grafik berdasarkan rentang usia,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor
predisposisi pasien rinosinusitis kronis yang diperiksa di poli THT RSUD
Mataram periode 1 Januari – 31 Desember 2007.
4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia
Tabel 4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia
No Rentang usia Frequency Percent (%)1 <5 3 2.50
2 6-15 8 6.66
3 16-25 28 23.33
4 26-35 26 21.66
32
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 33/58
5 36-45 28 23.33
6 >46 27 22.50
7 Total 120 100.00Sumber : rekam medik RSUD Mataram
05
1015
202530
<5 Tahun 6 -15 Tahun 16 - 25 Tahun26 -35 Tahun36 - 45 Tahun >46 Tahun
Gambar 4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkanrentang usia
Dari tabel dan gambar 4.1. didapatkan bahwa usia pasien rinosinusitis kronis
paling banyak pada kelompok usia 16-25 tahun dan kelompok usia 36-45 tahun
yang memiliki jumlah pasien yang sama yaitu sebanyak 28 (23,33%) pasien, dan
paling sedikit pada kelompok usia <5 tahun yaitu sebanyak 3 (2,5%) pasien. Dari
keseluruhan data pasien rinosinusitis kronis, usia termuda 2 tahun dan usia tertua
66 tahun. Pada penelitian sebelumnya Massudi (Semarang, 1991) mendapatkan
usia terbanyak adalah 21-25 tahun (38,16%), NW Nizar (Jakarta, 1994) usia
terbanyak 26-30 tahun (47,21%), Moerseto (Jakarta, 1995) usia terbanyak 21-30
tahun (38,95%). Di RS Adam Malik Medan, Rizal A. Lubis (1998) usia terbanyak
18-27 tahun (60%), Alfian Taher (1999) usia terbanyak 15-24 tahun (36,85%),
Elfahmi (2001) usia terbanyak adalah 35-44 tahun (30%) dan Usu (2003)
mendapat usia terbanyak adalah 25-34 tahun. Menurut Hilger (1997) anak-anak
cenderung lebih rentan mengalami infeksi virus dan alergi pada saluran nafas atas
33
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 34/58
dibanding usia dewasa. Namun, berbeda halnya dalam penelitian ini, dimana
jumlah pasien anak yang berkunjung di poli THT RSUD Mataram dalam jumlah
yang kecil jika dibandingkan dengan usia dewasa 16-45 tahun. Penurunan jumlah
kunjungan anak ini bisa terjadi dikarenakan sikap dan perilaku orangtua untuk
memilih usaha preventif terhadap dampak kesehatan, didukung dengan
peningkatan tingkat pengetahuan orangtua yang lebih baik sehingga dapat
dilakukan penanganan sedini mungkin agar tidak mengakibatkan dampak kronis.
Selain itu juga bahwa kunjungan anak usia 0-14 tahun lebih banyak datang ke poli
anak. Sedangkan tingginya kasus rinosinusitis kronis pada usia dewasa 16-45
tahun terjadi akibat aktivitas sosial yang lebih banyak dilakukan diluar rumah
dengan polutan atmosfer termasuk asap rokok dan kendaraan bermotor, sehingga
resiko untuk tertular dengan virus dan bakteri pembawa penyakit rinosinusitis ini
sangat besar dan umumnya mereka memiliki keterbatasan merawat kebugaran
tubuh sehingga mereka rentan terhadap penyakit terutama ISPA. Dan juga faktor
perilaku kaum dewasa ini yang mempunyai kebiasaan merokok yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya rinosinusitis kronis.
4.2. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin
No Jenis kelamin Frequency Percent (%)
1 Wanita 57 47.50
2 Laki-laki 63 52.50
3 Total 120 100.00Sumber : rekam medik RSUD Mataram
34
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 35/58
50
55
60
65
Laki - Laki Wanita
Gambar 4.2.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronisberdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2.2. Distribusi rentang usia dan jenis kelamin pasien rinosinusitis kronis
No Rentang usiaJenis kelamin pasien
Wanita Laki-laki Total1 <5 0 3 32 6-15 1 7 83 16-25 15 13 284 26-35 19 7 265 36-45 15 13 286 >46 7 20 27
7 Total 57 63 120
0
5
10
15
20
Jumlah Pasien
< 5 th 6 - 15 th 16- 25th 26 - 35th 36 - 45th >46 th
Rentang usia
Gambar 4.2.2. Distribusi rentang usia dan jenis kelamin pasien rinosinusitis kronis
Laki-laki Wanita
Dari tabel dan gambar 4.2.1. didapat jenis kelamin terbanyak adalah laki – laki
sebanyak 63 (52,5%) pasien dan wanita sebanyak 57 (47,5%) pasien dengan
35
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 36/58
perbandingan kasus ♂ : ♀ = 1,1 : 1. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Usu (2003) dimana jumlah pasien laki-laki 22 orang dan
wanita 19 orang dengan perbandingan kasus ♂ : ♀ = 1,2 : 1 dan Elfahmi (Medan,
2001) dari 40 penderita maksila kronis didapat laki-laki 21 (52,5%) orang dan
wanita 19 (47,5%) orang dengan perbandingan kasus ♂ : ♀ = 1,1 : 1. Sedangkan
pada penelitian lainnya, Massudi (Semarang, 1991) mendapatkan laki-laki 48,5%
dan wanita 51,5%. Beninger MS (1996) dari 100 penderita sinusitis maksila
kronis didapat laki-laki 45 orang dan wanita 55 orang dan Pramono (Semarang,
1999) mendapatkan 34 laki-laki dan 37 wanita. Jika disesuaikan dengan teori hasil
ini sangat bertentangan, seperti dikutip dalam Falagas ME (2007) menyatakan
bahwa wanita biasanya lebih banyak terkena infeksi saluran nafas atas yaitu
sinusitis, tonsilitis dan otitis eksterna dan laki-laki sebagian besar menderita otitis
media, batuk dan beberapa infeksi saluran nafas bawah. Schachter J, Higgins MW
(1976) juga melaporkan bahwa ISPA pada anak perempuan lebih sering
berkembang pada saat dewasa dibandingkan dengan anak laki-laki, mugkin
pengaruh hormonal. Namun dalam hal ini tidak dapat dipungkiri juga bahwa
struktur anatomi, gaya hidup, kebiasaan dan perbedaan sosial ekonomi antara
wanita dan laki-laki sangat berperan penting. Lebih banyaknya laki-laki yang
menderita rinosinusitis kronis yang melakukan pemeriksaan di poli THT RSUD
Mataram mungkin dipengaruhi oleh gaya hidup dan kebiasaan masyarakat NTB.
Pada umumnya laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas sosial dibanding
wanita yang lebih banyak melakukan aktivitasnya dirumah, maka orang-orang
yang banyak melakukan aktivitas sosial diluar akan lebih beresiko. Selain itu,
36
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 37/58
kebiasaan merokok sebagian besar dilakukan oleh laki-laki, dimana asap rokok
akan menyebabkan iritasi saluran pernafasan yang cukup berat, dan merupakan
salah satu faktor yang berperan penting dalam mencetuskan penyakit rinosinusitis
kronis. Kaum wanita pada umumnya lebih memilih usaha perawatan preventif
terhadap kesehatan sehingga mereka cenderung akan berusaha lebih waspada dan
bergerak cepat untuk mengatasi penyakit yang timbul sehingga tidak berlanjut ke
kondisi yang semakin parah.
Dari distribusi rentang usia dan jenis kelamin pada tabel dan grafik 4.2.2.
diatas didapat paling banyak penderita rinosinusitis kronis adalah dari kelompok
laki-laki dengan rentang usia >46 tahun yaitu sebanyak 20 pasien dan pada wanita
usia <5 tahun tidak ditemukan kasus. Pada kelompok rentang usia 16-45 tahun
kasus rinosinusitis kronis terbanyak ditemukan pada wanita.
4.3. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan
terakhir
Tabel 4.3.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikanterakhir
No Tingkat Pendidikan Terakhir Frequency Percent (%)1 Belum/tidak sekolah 5 4.16
2 TK 3 3.333 SD 14 11.66
4 SMP 13 10.83
5 SMA 51 42.506 Tamatan universitas 34 28.337 Total 120 100.00
Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram
37
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 38/58
0
10
20
30
40
50
60
Belum/Tidak
Sekolah
T K S D S M P S M A Tamatan
Universita
Gambar 4.3.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis
berdasarkan tingkat pendidikan terakhir
Tabel 4.3.2. Distribusi rentang usia dan tingkat pendidikan terakhir pasien
rinosinusitis kronis
No Rentangusia
Tingkat pendidikan terakhir pasienBelum/tidak
sekolahTK SD SMP SMA Tamatan
universitasTotal
1 <5 3 0 0 0 0 0 32 6-15 0 3 5 0 0 0 83 16-25 0 0 1 4 22 1 284 26-35 1 0 2 5 10 8 265 36-45 0 0 3 4 9 12 286 >46 1 0 3 0 10 12 267 Total 5 3 14 13 51 34 120
38
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 39/58
0
5
10
15
20
25
Jumlah Pasien
<5th 6 - 15th 16 - 25th 26- 35 th 36- 45 th >46th
Rentang Usia
Gambar 4.3.2. Distribusi rentang usia dan tingkat pendidikan terakhir
pasien rinosinusitis kronis
Tidak Belum Sekolah TK SD SMP SMA Tamatan Universi
Dari tabel dan gambar 4.3.1. terlihat bahwa tingkat pendidikan terakhir
penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok SMA sebanyak 51 (42,5%)
pasien dan terendah pada kelompok TK sebanyak 3 (3,33%) pasien. Kelompok
SMA terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun dengan jumlah kasus tertinggi
yaitu sebanyak 22 pasien. Untuk distribusi rentang usia dan tingkat pendidikan
terakhir lainnya dapat dilihat pada tabel dan gambar 4.3.2 diatas. Namun
demikian, belum ada penjelasan yang pasti mengenai hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kejadian rinosinusitis kronis.
4.4. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan
Tabel 4.4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Frequency Percent (%)1 Belum/tidak bekerja
3226.66
39
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 40/58
2 Pelajar 15 12.503 Mahasiswa 16 13.33
4 Swasta 32 26.665 PNS 25 20.83
6 Total 120 100.00Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram
0
5
10
15
20
25
30
35
Belum/Tidak BekerjaPelajar Mahasiswa Swasta PNS
Gambar 4.4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronisberdasarkan jenis pekerjaan
Tabel 4.4.2. Distribusi rentang usia dan jenis pekerjaan pasien rinosinusitis kronis
No Rentangusia
Jenis pekerjaan pasienBelum/tidak
bekerja Pelajar Mahasiswa Swasta PNS Total
1 <5 3 0 0 0 0 32 6-15 0 8 0 0 0 83 16-25 4 4 15 5 0 284 26-35 13 0 0 7 6 26
5 36-45 7 2 0 11 8 286 >46 5 1 1 9 11 277 Total 32 15 16 32 25 120
40
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 41/58
0
5
10
15
J umlah Pasien
<5 th 6 - 15 th 16 - 25 th 26 - 35 th 36 - 45 th >46 th
Rentang Usia
Gambar 4.4.2. Distribusi rentang usia dan jenis pekerjaan pasien rinosinusitis
kronis
Belum/Tidak Bekerja Pelajar Mahasiswa Swasta PNS
Pada tabel dan gambar 4.4.1. didapat jenis pekerjaan terbanyak dari
kelompok belum/tidak bekerja dan kelompok swasta yang memiliki jumlah pasien
yang sama sebanyak 32 (26,66%) pasien. Kelompok belum/tidak bekerja ini
terdiri dari anak usia <5 tahun yang belum bersekolah, IRT dan pensiunan,
sedangkan kelompok swasta antara lain terdiri dari petani, buruh, montir bengkel,
sopir dan tukang ojek. Dan yang merupakan kelompok terkecil adalah kelompok
pelajar sebanyak 15 (12,50%) pasien.
Dalam tabel dan gambar 4.4.2. diatas terlihat bahwa pasien rinosinusitis
kronis yang berkunjung ke poli THT dengan kelompok belum/tidak bekerja
memiliki kasus tertinggi pada rentang usia 26-35 tahun sebanyak 13 pasien,
sedangkan kelompok swasta memiliki kasus tertinggi pada rentang usia 36-45
tahun sebanyak 11 pasien. Untuk kelompok belum/tidak bekerja yang diketahui
26 dari 33 pasiennya adalah IRT, dimana mereka lebih banyak melakukan
aktivitas di rumah, sehingga hal ini berhubungan erat dengan paparan yang terus-
menerus dari alergen yang berada dalam rumah dan lingkungan sekitarnya, seperti
41
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 42/58
debu rumah, apalagi di daerah urban terdapat banyak pemukiman padat penduduk
yang biasanya di huni oleh kalangan menengah bawah, dengan lingkungan yang
buruk pada tempat tinggal mereka, karena pada umumnya rumah-rumah tersebut
memiliki sedikit ventilasi sehingga sirkulasi udara berjalan tidak lancar. Namun
faktor resiko non alergi seperti udara dingin, kerja berat, infeksi virus dan lain-lain
dapat juga berperan dalam mencetuskan rinosinusitis kronis penghuni rumah
tersebut. Kemudian untuk kelompok swasta dengan rata-rata penghasilan rendah
seperti yang telah dijelaskan diatas, dimana mereka lebih banyak melakukan
aktivitasnya di luar rumah yang boleh diprediksikan bahwa kondisi lingkungan
kerja mereka kurang baik, karena mereka akan lebih sering terpapar oleh polusi
udara dari kendaraan bermotor, apalagi masyarakat Indonesia kita ini yang
sebagian besar penduduknya merupakan perokok aktif, sehingga perokok pasif
pun akan terpapar juga oleh asap rokok yang merupakan salah satu alergen yang
dapat mencetuskan rinosinusitis kronis. Kasus rinosinusitis kronis pada PNS juga
cukup banyak, dimana kelompok ini menempati urutan kedua setelah kelompok
belum/tidak bekerja dan kelompok swasta. Jumlah PNS yang tinggi dikarenakan
RSU Mataram menerima pelayanan ASKES, sehingga banyak dari mereka yang
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan gratis dari ASKES.
4.5. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama
Tabel 4.5.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama
No Jenis keluhan pasienrinosinusitis kronis
Frequency Percent (%)
1 A 85 70.832 B 17 14.163 C 1 0.83
42
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 43/58
4 D 6 5.005 E 77 64.166 F 8 6.667 G 15 12.508 H 18 15.009 I 20 16.6610 J 11 9.1611 K 6 5.0012 L 25 20.8313 M 2 1.6614 N 10 8.3315 O 10 8.3316 P 60 50.0017 Q 4 3.3318 R 7 5.8319 S 15 12.5020 T 4 3.3321 U 3 2.5022 V 8 6.6623 W 7 5.83
24 X 2 1.6625 Y 3 5.0026 Z 2 1.6627 Total 120 100.00
Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram
Gambar 4.5.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama
43
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 44/58
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
A C E G I K M O Q S U W Y
Frecuency
keluhan utama
Tabel 4.5.2. Distribusi rentang usia dan keluhan utama pasien rinosinusitis kronis
No Rentang
usia
Keluhan utama pasienA B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
1 <5 2 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 12 6-15 5 0 0 0 6 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 6 0 1 0 0 1 1 1 0 2 03 16-25 22 4 1 0 21 2 3 7 7 2 1 5 0 2 2 12 0 1 0 1 0 1 1 1 0 14 26-35 15 3 0 1 16 0 4 4 4 1 0 6 1 3 2 12 0 3 7 2 1 2 0 0 1 05 36-45 21 3 0 2 19 1 1 5 5 5 2 5 0 1 2 18 3 1 2 0 0 3 4 1 0 0
6 >46 20 6 0 3 14 4 5 3 3 3 2 8 1 3 4 12 1 0 6 1 1 1 1 0 0 07 Total 85 17 1 6 77 8 15 18 20 11 6 25 2 10 10 60 4 7 15 4 3 8 7 2 3 2
44
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 45/58
0
5
10
15
20
25
J umlah Pasien
<5 th 6 - 15 th 16 - 25 th 26 - 35 th 36 -45 th >46 th
Rentang Usia
Gambar 4.5.2. Distribusi rentang usia dan keluhan utama pasien rinosinusitis
kronis
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X
Keterangan :
A= pilek N = nyeri/sakit telinga
B= ingus berbau O = telinga bindeng
C= sulit buang ingus P = pusing
D= penciuman berkurang Q = mata kabur
E = hidung tersumbat R = sulit bernafas
F = benjolan dihidung S = batuk
G= nyeri/sakit hidung T = bersin-bersin
H= hidung bengkak U = mual
I = mimisan V = panas/demam
J = nyeri/sakit pipi W = sakitgigi
K= pipi bengkak X = bau mulut
L = sakit/gatal tenggorokan Y = sakit/nyeri saat menelan
M = pendengaran berkurang Z = nafsu makan berkurang
45
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 46/58
Dari tabel dan gambar 4.5.1. didapatkan keluhan utama pasien terbanyak
adalah pilek sebanyak 85 (70,83%) pasien, diikuti hidung tersumbat sebanyak 77
(64,16%) pasien dan pusing sebanyak 60 (50%) pasien. Sedangkan keluhan utama
terkecil adalah sulit buang ingus sebanyak 1 (0,83%) pasien. Beberapa keluhan
utama terbanyak diatas memang merupakan kriteria mayor dari gejala klinis
rinosinusitis kronis dan keadaan ini sesuai dengan kepustakaan bahwa penderita
rinosinusitis kronis umumnya menderita keluhan gangguan pada hidung,
gangguan pada faring dan sakit kepala (Taufik, Kusno dan Suprihati, 1989). Usu
(2003) dan Benninger (1996) juga mendapatkan keluhan terbanyak penderita
sinusitis maksila kronis berupa hidung tersumbat. Hal yang sama juga didapatkan
pada penelitian yang dilakukan Massudi (Semarang, 1991) dimana keluhan utama
penderita adalah hidung tersumbat 42,4% dan sakit kepala 15,1%. Hidung
tersumbat biasanya akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan oleh alergi
serta sekret yang mengental karena infeksi sekunder sebelum terjadi rinosinusitis.
Menurut Kennedy DW, hidung tumpat dihubungkan dengan pembengkakan
dalam celah hidung dan sinus yang menyebabkan gangguan ventilasi dan drenase
sinus.
Untuk keluhan pilek dan hidung tersumbat ditemukan terbanyak pada rentang
usia 16-25 tahun berturut-turut sebanyak 22 pasien dan 21 pasien, sedangkan
pusing terbanyak pada rentang usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 18 pasien dan
ketiga keluhan utama terbanyak ini terendah pada rentang usia yang sama yaitu <5
tahun berturut-turut sebanyak 2 pasien, 1 pasien, dan 0 pasien, dikarenakan pada
46
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 47/58
usia tersebut jumlah kasusnya memang sedikit. Untuk distribusi rentang usia dan
keluhan utama lainnya dapat dilihat pada tabel 4.5.2. dan grafik 4.5.2. di atas.
Suatu laporan dari delapan negara Asia-Pasifik yang dilaporkan dalam
Journal of Allergy and Clinical Immunology (2003) menunjukan bahwa
rinosinusitis mengganggu kualitas hidup, seperti gejala hidung tersumbat, pilek,
tenggorokan gatal, wajah terasa bengkak, penciuman dan pendengaran menjadi
terganggu. Dampak rinosinusitis terhadap kualitas hidup pun tidak dapat
diabaikan, hal ini ditunjukkan pula dari laporan tersebut, seperti keterbatasan
dalam berekreasi atau berolahraga 52,7%, aktivitas fisik 44,1%, pemilihan karier
37,9%, aktivitas sosial 38%, cara hidup 37,1% dan pekerjaan rumah tangga
32,6%. Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami
oleh 36,5% anak dan 26,5% orang dewasa.
4.6. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi
Tabel 4.6.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi
No Faktor Predisposisi Frequency Percent (%)1 A 33 27.502 B 14 11.663 C 6 5.00
4 D 18 15.005 E 7 5.836 F 2 1.66
7 G 2 1.668 H 2 1.669 I 10 8.3310 J 5 4.1611 K 2 1.6612 L 1 0.8313 M 1 0.8314 N 7 5.83
47
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 48/58
15 O 30 25.00
16 Total 120 100.00Sumber: Rekam Medik RSUD Mataram
Gambar 4.6.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi
0
5
10
15
20
25
30
35
A B C D E F G H I J K L M N O
Frecuency faktor
predisposisi
Tabel 4.6.2. Distribusi rentang usia dan faktor predisposisi pasien rinosinusitiskronis
No Rentangusia
Faktor predisposisi pasienA B C D E F G H I J K L M N O
1 <5 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 13 6-15 2 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 33 16-25 8 3 2 1 2 0 0 1 2 2 0 0 0 1 134 26-35 7 3 1 8 1 1 1 0 4 1 1 1 0 0 45 36-45 7 5 0 2 2 0 1 1 1 1 1 0 1 4 46 >46 9 3 2 6 2 0 0 0 1 1 0 0 0 1 57 Total 33 14 6 18 7 2 2 2 10 5 2 1 1 0 30
48
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 49/58
01
2
3
4
5
6
7
8
9
Jumlah Pasien
<5 th 6 - 15 th 16 - 25 th 26 - 35 th 36 - 45 th >46 th
Rentang Usia
Gambar 4.6.2. Distribusi rentang usia dan faktor predisposisi pasien rinosinusitis
kronis
A B C D E F G H I J K L M N O
Keterangan:
A = polip I = hipertropi konka
B = rinitis alergi J = deviasi septum
C = rinitis akut K = ca nasofaring
D = rinitis kronis L = tumor septum nasi
E = faringitis kronis M = trauma
F = tonsillitis kronis N = kelainan geligi
G = OMSK O = belum diketahui
H = tinitus
Pada tabel dan gambar 4.6.2. terlihat faktor predisposisi terbanyak adalah
polip sebanyak 33 (27,5%) pasien, diikuti dengan belum diketahuinya faktor
predisposisi penyakit pasien sebanyak 30 (25%), kemudian rinitis kronis sebanyak
18 (15%) pasien dan rinitis alergi sebanyak 14 (11,66%) pasien. Dan faktor
predisposisi terendah adalah tumor septum nasi dan trauma masing-masing
sebanyak 1 (0,83%) pasien.
49
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 50/58
Polip merupakan faktor predisposisi terbesar dari sekian banyak faktor
pencetus rinosinusitis kronis yang ada pada data yang telah diteliti, ini
dikarenakan sebagian besar pasiennya mengalami sumbatan hidung yang
berlangsung terus-menerus. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun
perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut, ini terbukti didapatkannya
polip dalam semua rentang usia kecuali pasien <5 tahun. Polip dapat timbul pada
hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang
mengakibatkan rinosinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis
yang disebabkan oleh hidung dan sinus. Secara makroskopik polip merupakan
massa lunak yang tumbuh didalam rongga hidung dengan permukaan licin,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, dapat tunggal atau
multiple dan bilateral serta tidak sensitif, bila ditekan atau ditusuk tidak terasa
sakit. Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah ke
polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah
menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat
menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat (Lee dan
Larsen, 1997).
Begitu juga dengan faktor predisposisi rinitis kronis dan rinitis alergi yang
cukup banyak kasusnya, dimana yang termasuk dalam rinitis kronis ini antara lain
rinitis hipertropi, rinitis sika dan rinitis spesifik. Meskipun penyebabnya bukan
radang, kadang-kadang rinitis alergi dimasukkan juga dalam rinitis kronis. Aliran
udara hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada
rinitis alergi. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada
50
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 51/58
orang dewasa, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, baik yang
didapatkan dari dalam rumah maupun diluar rumah seperti debu rumah, bulu
binatang, kain yang terlalu sering dipakai serta polen dan jamur, dan juga alergen
ingestan yang sering merupakan penyebab pada anak-anak yang masuk ke saluran
cerna berupa makanan seperti susu, telur, coklat ikan, udang. Seorang perokok
mungkin alergi terhadap tembakau serta juga mengalami iritasi kimia oleh asap
rokok.
Selain itu, banyaknya pasien yang belum diketahui faktor predisposisinya
secara jelas dengan jumlah kasus sebanyak 30 pasien ini dikarenakan pada pasien
tersebut belum dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai anamnesis lanjutan,
seperti pemeriksaan radiologik berupa posisi waters, PA dan bilateral, begitu juga
dengan pemeriksaan mikrobiologiknya yang dilakukan di laboratorium, ini
kemungkinan karena pertimbangan biaya, atau mungkin juga pada saat dilakukan
anamnesis, riwayat pasien tidak ditanyakan secara lengkap sehingga sedikit
informasi yang di dapatkan, padahal ini merupakan hal yang paling penting dalam
membantu menentukan faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau memperhebat
gambaran klinis dari penyakit rinosinusitis kronis tersebut.
51
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 52/58
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa angka
kejadian rinosinusitis kronis di poli THT RSUD Mataram periode 1 Janurai – 31
Desember 2007 adalah 120 kasus (49,79%) dari 241 kasus rinosinusitis dan profil
pasien rinosinusitis kronis yang berkunjung ke poli THT tersebut antara lain
sebagai berikut:
1. Pada profil rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia, kasus tertinggi pada
kelompok usia 16-25 tahun dan kelompok usia 36-45 tahun yang memiliki
jumlah pasien yang sama yaitu sebanyak 28 (23,33%) pasien terendah pada
kelompok usia <5 tahun sebanyak 3 (2,5%) pasien.
2. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin, terbanyak ditemukan
pada kelompok laki-laki sebesar 63 (52,5%) pasien sedangkan pada wanita
sebanyak 57 (47,5%) pasien dengan perbandingan kasus ♂ : ♀ = 1,1 : 1. Dan
bila dihubungkan antara rentang usia dan jenis kelamin didapat laki-laki
terbanyak pada rentang usia >46 tahun sebanyak 20 pasien dan wanita lebih
banyak dijumpai pada rentang usia 16-45 tahun.
3. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, terbanyak
didapatkan pada kelompok SMA yaitu sebanyak 51 (42,5%) pasien dan
paling sedikit pada kelompok TK sebanyak 3 (2,5%) pasien. Bila
52
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 53/58
dihubungkan antara rentang usia dan tingkat pendidikan didapat SMA
terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun yaitu sebanyak 22 pasien.
4. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan, terbanyak dari
kelompok belum/tidak bekerja dan swasta masing-masing sebanyak 32
(26,66%) pasien dan terendah adalah kelompok pelajar sebanyak 15 (12,5%)
pasien. Dan bila dihubungkan antara rentang usia dan jenis pekerjaan maka
didapat kelompok belum/tidak bekerja memiliki kasus tertinggi pada rentang
usia 26-35 tahun sebanyak 13 pasien, sedangkan kelompok swasta memiliki
kasus tertinggi pada rentang usia 36-45 tahun sebanyak 11 pasien.
5. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama, terbanyak di
karenakan oleh pilek yaitu 85 (70,83%) pasien, disusul dengan hidung
tersumbat 77 (64,16%) pasien dan pusing 60 (50%) pasien dan terkecil
dengan keluhan sulit buang ingus sebanyak 1 (0,83%) pasien. Bila
dihubungkan antara rentang usia dan keluhan utama didapat pilek dan hidung
tersumbat ditemukan terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun berturut-turut
sebanyak 22 pasien dan 21 pasien, sedangkan pusing terbanyak pada rentang
usia 36-45 tahun sebanyak 18 pasien dan ketiga keluhan utama terbanyak ini
terendah pada rentang usia yang sama yaitu <5 tahun berturut-turut sebanyak
2 pasien, 1 pasien, dan 0 pasien.
6. Kasus berdasarkan faktor predisposisi, terbanyak adalah polip yaitu 33
(27,5%) pasien dan terkecil adalah tumor septum nasi dan trauma masing-
masing sebanyak 1 (0,83%) pasien. Polip didapatkan dalam semua usia
kecuali <5 tahun.
53
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 54/58
5.2. Saran
1. Diperlukan penelitian lanjutan agar hasilnya lebih maksimal sehingga
didapatkan gambaran yang lebih luas tentang profil rinosinusitis, khususnya
rinosinusitis kronis.
2. Setiap pasien rinosinusitis yang berkunjung ke poli THT RSUD Mataram
sedapat mungkin untuk dilakukan pencatatan data rekam medik selengkap-
lengkapnya untuk memudahkan dilakukannya penelitian selanjutnya.
54
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 55/58
DAFTAR PUSTAKA
Cody, D.T.R,. Taylor. (1991), Pemeriksaan Hidung dan Sinus-Sinus, Penyakit
Telinga Hidung dan Tenggorokan (Diseases of the ears, nose, and throath),
alih bahasa oleh Samsudin, Sonny, EGC, Jakarta.
(1991), Sinusitis, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan (Diseases
of the ears, nose, and throath), alih bahasa oleh Samsudin, Sonny, EGC,
Jakarta.
Depkes RI. (2006), Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia, _hlm /52,
HTA Indonesia, Available from: http://www. yanmedik depkes. net/hta/
Hasil% 20Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20Endoscopic%20 Sinus%
20Surgery% 20di% 20Indonesia. doc. (Accessed: 2008, September 17).
Dorland, W.A. Newman. (2002), Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, alih
bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND,EGC, Jakarta.
Falagas ME dkk. (2007), Sex differences in the incidence and severity of
respiratory tract infections, Respiratory medicine, 10 (9): 1845-63.
Hazenfield, Hugh N., M.D., F.A.C.S., (2009), Endoscopic Sinus Surgery by the
American Board of Otolaryngology, Available from:
www.dochazenfield.com/sinus_surgery.htm (Accesed: 2009, April 3).
Harowi, M. Roikhan. (2007), Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronis
Pasca Terapi Bedah, Thesis Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu
Kedokteran Klinis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Available from:
http://puspasca.ugm.ac.id/files/Abst_(2781-H-2007).pdf . (Accessed: 2008,
July 31).
55
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 56/58
Hilger, Peter. A. (1997), Anatomi dan Fisiologi Terapan Hidung dan Sinus
Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya,
Caroline, edisi 6, EGC, Jakarta.
(1997), Penyakit Sinus Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES,
alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Kapita Selekta Kedokteran. (2002), Sinusitis Kronis, Ilmu penyakit Telinga
Hidung dan Tenggorok, edisi ketiga, Media Aesculapius, FakultasKedokteran UI, Jakarta.
Kennedy, DW. (1995), International Conference On Sinus Disease, Terminology,
Staging, Therapy, Ann Otol Rhinol Laryngol ; (Suppl. 167):7-30, dalam
HTA Indonesia 2006 Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia
hlm /52; 104, Available from: http://www. yanmedik depkes. net/hta/ Hasil
% 20Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20Endoscopic%20 Sinus%
20Surgery% 20di% 20Indonesia. doc. (Accessed: 2008, September 17).
Mangunkusumo, Endang dan Rifki, Nusjirwan. (2003). Sinusitis, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, FKUI.
Jakarta.
Mangunkusumo, Endang. (1999), Sinusitis, dalam Kumpulan Makalah
Simposium Sinusitis, Jakarta, Available from: http:// www. kalbe. co.
id/files/cdk/files/ cdk_155_THT. pdf. (Accessed: 2008, September 17).
Munir, Delfitri dan Kurnia, Beny. (2007), Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis
Maksila Kronis, Cermin Dunia Kedokteran, No. 155, Poliklinik THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum
Pusat H. Adam Malik Medan, Sumatera Utara, Indonesia, Available from:
http:// www. kalbe. co.id/ files/ cdk/ files/ cdk_155_THT. pdf. (Accessed:
2008, July 31).
56
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 57/58
Nizar, Nuty W. dan Mangunkusumo, Endang. (2003). Polip Hidung , Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima,
FKUI. Jakarta.
Pawankar R., (2000), Nasal Polyposis: A Multifactorial Disease. In: Proceeding
of World Allergy Forum Symposia: Non Allergic Rhinitis and Polyposis.
Sydney Australia: Oct. 17, Available from: http://www.yanmedik-
depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic
%20Sinus%20Surgery % 20di%20Indonesia.doc. (Accessed: 2008,September 17).
Piccirillo. (2004), Faktor-Faktor Prognosis Kesembuhan Rinosinusitis Kronis
Yang Dengan Terapi Medikamentosa, Available from: http://www.google.
com/search?q= cache: l5m__5v9 WEJ: puspasca.ugm. ac.id/ files(1021-
H2004). pdf+rhinosinusitis&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a
(Acessed: 2008, July 31).
PIT, PERHATI. (2001), Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis, dipresentasikan di
Palembang, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil%
20 Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus%20Surgery
% 20di%20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17).
Purnaman dan Rifki, Nusyirwan. (1990), Sinusitis, dalam Nurbaiti Iskandar,
Efiaty AS, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung Tenggorok, edisi
pertama, FKUI, Jakarta, Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/
files/cdk_155_THT.pdf . (Accessed: 2008, September 17).
Roos, K. (1999), The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis, In Rhinosinusitis:
Current Issues in Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The
Royal Society of Medicine Press Limited, London, UK, Round Table Series
67: 3-9, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20
57
5/8/2018 BAB I - V - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-v-559bf451da2a8 58/58
Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20 Endoscopic% 20 Sinus% 20
Surgery % 20 di % 20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17).
Ryan, Matthew. (2006), Management of Chronic Rhinosinusistis. Grand Rounds
Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology.
Samsudin, Sony. (1991), Sinusitis, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan,
EGC, Jakarta.
Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. (1995), Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta.
Stammberger, H. dan Jareoncharsri. (1997), Examination and Endoscopy of The
Nose and Paranasal Sinuses. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal Polyposis:
An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard;
120-36, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20
Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus% 20 Surgery%
0 di %20 Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17).
Taufik, M., Kusno., dan Suprihati. (1986), Faktor Alergi Pada Sinusitis Kronis.
Lab/UPF THT/FK UNDIP, RS Kariadi Semarang Dalam Kumpulan Naskah
Ilmiah Konas VIII Perhati Ujung Pandang, 927-31.
USU digital library. (2003), Profil Sinusitis Maksila Kronis di Poliklinik THT
RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2000 – Februari 2001.
(Accessed: 2009, January 10).
Wiadyana, I.G.P. et al. (1998), Pedoman Upaya kesehatan Telinga dan
Pencegahan Gangguan pendengaran untuk Puskesmas, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.
Yuniandri, Tiara Paraswati. (2007), Sinusitis, November, Friday 30 [04:48:53
UTC] - last modification, FK Universitas Islam Indonesia. (Accessed: 2008,
July 31).
58