BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf ·...

47

Transcript of BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf ·...

Page 1: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana
Page 2: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah proses penyelenggaraan memilih untuk

pemilihan umum (pemilu) secara langsung di tingkat lokal untuk memilih kepala daerah dan

wakil kepala daerah di setiap provinsi (Gubernur/Wakil Gubernur), Kabupaten (Bupati/Wakil

Bupati),dan Kota (Walikota/Wakil Walikota) yang diselenggarakan secara demokratis oleh

KPUD Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur

dan adil.

Dasar hukum pelaksanaan Pilkada adalah: (1) UUD 1945 Hasil Amandemen; (2) UU

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (yang beberapa pasalnya telah diubah

dengan Perpu Nomor 3 Tahun 2005); dan (3) PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang pemilihan,

Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(yang beberapa pasalnya telah diubah dengan PP Nomor 17 tahun 2005).

Pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkada adalah semua pihak atau semua komponen

dimana: KPUD sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan Pilkada; Panwasda

yang mengawasi pelaksanaan Pilkada; Partai Politik yang mengajukan calon kepala daerah

dan wakil kepala daerah; Pemerintah Daerah dan DPRD yang mengalokasikan anggaran

biaya Pilkada yang dituangkan dalam APED; Masyarakat/rakyat yang menjadi pemilih untuk

menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada.

Kriteria keberhasilan Pilkada adalah: Proses penyelenggaran Pilkada dilaksanakan

sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku; Proses penyelenggaraan. Pilkada

berlangsung dengan lancar, aman, damai dan tertib; dan. Proses penyelenggaraan Pilkada

menunjukkan adanya keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pililinya.

Partisipasi masyarakat dalam Pilkada sangat penting karena masyarakat adalah

stakeholder yang paling utama dalam penyelenggaraan Pilkada. Semakin banyak masyarakat

menggunakan hak pilihnya, maka semakin bagus-paling tidak secara kuantitas-bobot

penyelenggaraan Pilkada.

Meskipun di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat yang kadar demokrasinya

relatif tinggi, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya kurang lebih 60%, dan juga

dalam peraturan perandang-undangan di Indonesia belum diatur aturan minimal penggunaan

Page 3: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

hak pilih dalam Pilkada, namun secara sosiologis-politis, semakin besar keterlibatan

masyarakat dalam, penggunaan hak pilih akan semakin mendukung suksesnya

penyelenggaraan. Pilkada.

Sebagai catatan, di Kabupaten Bekasi, yang pada tahun lalu menyelenggarakan.

Pilkada untuk memilih Bupati dan. Wakil Bupati Bekasi, jumlah pemilih yang menggunakan

hak pilihnya hanya berkisar 53%, sehingga hal ini memberikan garnbaran bahwa masyarakat

di Kabupaten Bekasi cenderung untuk tidak melibatkan diri dalam penyelenggaraan Pilkada.

Kenyataan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosialisasi yang kurang

intensif dan kecenderungaii pemilih yang menilai Pilkada tidak akan menentukan nasib

mereka (pernilih pasif).

Agar pelaksanaan Pilkada mengalami keberhasilan, dimana pemilih yang

menggunakan hak pilihnya semakin besar, maka yang harus dilakukan adalah: Memberikan

pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat tentang anti pentingnya Pilkada, melalui

sosialisasi; Memberikan pendidikan dan pelatihan tata cara pemilihan dan pencoblosan dalam

pilkada, melalui simulasi; dan memberikan penjelasan dan pandangan perlunya kedewasaan

politik masyarakat dalam menerima hasil-hasil Pilkada.

Dalam konteks Kota Sukabumi, pada bulan Maret 2008 ini, akan diselenggarakan

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara Langsung (Pilkadal). Pilkada

secara langusng ini baru pertama kali dilaksanakan di Kota Sukabumi sehingga memerlukan

berbagai persiapan, khususnya kesiapan masyarakat dalam merespon penyelenggaraan

Pilkada di Kota Sukabumi Tahun 2008. Meskipun secara geografis sangat kecil, namun

secara demografis jumlah pemilih yang terdaftar untuk sementara relatif besar, yakni di atas

205 ribu pemilih. Bandingkan dengan Kota Cirebon, yang hanya berkisar di atas 200 ribuan

pemilih.

Sebagai “hajatan” akbar rakyat, berbagai persiapan kelihatan telah dilakukan oleh

stakeholders di Kota Sukabumi, khususnya KPUD sebagai penyelenggara proses Pilkada

dalam menyelenggarakan berbagai langkah persiapan menuju tahapan pelaksanaan Pilkada.

Keberhasilan pelaksanaan Pilkada Kota Sukabumi sangat ditentukan oleh dukungan seluruh

pihak, mengingat baru pertama kalinya, Kota Sukabumi melaksanakan proses Pilkada secara

langsung.

Seperti layaknya Pilkada di daerah lain, Pilkada Kota Sukabumi yang akan digelar

tentunya akan menyebabkan suhu politik menjadi menghangat, meskipun diharapkan tidak

sampai memanas. Di tingkat elit, sudah dapat dipastikan akan lahir polarisasi antar elit

sehubungan dengan calon yang diusung masing-masing partai politik. Di tingkat grass

Page 4: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

rootlakar rumput, tidak bisa dielakkan akan muncul fragmentasi dukungan dan pilihan politik

masing-masing individu dan kelompok terhadap calon-calon yang akan bertarung dalam

Pilkada.

Partisipasi politik pemilih dalam penyelenggaraan Pilkada sangat penting dan krusial

sehingga secara kuantitas ada hipotesis yang mengatakan bahwa semakin besar partisipasi

masyarakat dalam Pilkada, maka semakin besar peluang terciptanya tatanan politik

demokratis yang dihasilkannya. Walaupun secara kualitas, masih diperdebatkan apakah

besarnya partisipasi masyarakat tersebut karena kesadaran diri atau mobilisasi.

Kesadaran diri atau mobilisasi masyarakat pemilih dalam Pilkada sebenarrya sangat

tergantung pada pendidikan pemilih (voter education) yang dilakukan menjelang pelaksanaan

Pilkada. Biasanya saat mendekati penyelenggaraan Pilkada, pendidikan pernilih marak

dilakukan oleh penyelenggaraa pihak. Aliran dana mengucur deras dari lembaga pemerintah,

lembaga non pemerintah dan lembaga funding internasional yang disalurkan kepada pihak

penyelenggara pendidikan pemilih. Tujuannya agar supaya masyarakat pemilih tahu, paham

dan sadar akan hak politiknya sehingga dengan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam

prosesi Pilkada.

Oleh karena itu, saga sebagai dosen Jurusan Ilmu Pernerintahan. Fakultas Ilmu Sosial

dan Iimu Politik Universitas Padjajaran melakukan penelitian dengan judul “Responsivitas

Pemilih Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008”.

B. Identifikasi Masalah

Pertama, Pada saat Pilkada tahun 2008 masyarakat Kota Sukabumi dihadapkan pada

hal yang cukup membingungkan, karena munculnya beragam pilihan yang menyangkut

aneka ideologi/asas, warns benders, program dan slogan partai politik yang mengusung calon

Walikota Sukabumi. Bahkan dari empat pasting calon yang diusung tersebut sebagian besar

masih belum dikenal luas masyarakat Kota Sukabumi;

Kedua, Menjelang pilkada tahun 2008, masyarakat Kota Sukabumi dihadapkan pada

trauma pemilu legislatif tahun 2004, dimana anggota DPRD Kota Sukabumi ada yang

memiliki atau terlibat kasus tertentu: seperti ijzah palsu, tindak korupsi dan skandal;

Ketiga, Akumulasi kekecewaan publik, dimana sebagaian besar masyarakat merasa

sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu melaksanakan

tugas dan kewajibannya, sehingga kecenderungan untuk tidak merespon pilkada cukup besar.

Page 5: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

C Pokok-Pokok Permasalahan

Dari uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka pokok Permasalahan

yang akan diteliti, yaitu:

1. Bagaimana respon pemilih dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara

Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi responsivitas pemilih dalam penyelenggaraan

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan responsivitas pemilih dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala

Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008.

2. Untuk mengeksplanasikan faktor-faktor yang mempengaruhi responsivitas pemilih dalam

penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada) di Kota Sukabumi

Tahun 2008.

E. Manfaat Penelitian

1. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi stakeholders, penentu kebijakan dalam rangka

mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung

(Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008;

2. Sebagai bahan rekomendasi bagi stakeholders Kota Sukabumi dalam mendukung

suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota

Sukabumi Tahun 2008.

F. Kerangka Pemikiran

Menempatkan pemilu sebagai alat demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam

fungsi azasinya sebagai wahana pembentukan representative government. Berlangsungnya

pemilu sebagai wahana representative government dan sebagai metoda pemerintahan, telah

melibatkan berbagai mekanisme dan prosedur tertentu serta melibatkan berbagai kekuatan

komponen bangsa baik pada tatanan suprastruktur politik maupun tataran infrastruktur

Page 6: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

politik. Masing-masing berproses dalam memilih sebagian dan anggota masyarakat.

Kajian mendalam tentang pemilihan umum menurut Laboratorium Ilmu Politik Fisip

UI selalu terpusat pada dua sistem pernilu universal yakni sistem proporsional dan sistem

distrik serta beberapa variannya, dimana baik sistem proporsional maupun distrik kedua-

duanya diatur dalam dua elemen dasar pemilihan umum yakni electoral laws dan electoral

proces. Electoral laws membahas tentang aturan dasar pemilu yang berlaku secara universal

baik rumusan tentang tujuan dan fungsi maupun aturan dasar mekanisme pemilu serta

struktur pemilu itu sendiri. Sedangkan dalam electoral proces membahas tentang sistem

struktur dan prosesnya1.

Mencermati praktik pemilu dalam sistem pemerintahan Indonesia, LIP Fisip UI

memberikan adanya dua sinyelemen tujuan pemilu, yaitu pemilu sebagai formalitas politik

dan pemilu sebagai alat demokrasi. Sebagai formalitas politik, pemilu dijadikan alat legalisasi

pemerintahan non demokratis. Kemenangan suatu kontestan lebih merupakan hasil rekayasa

kekuasaan ketimbang hasil pilihan rakyat. Sedangkan sebagai alat demokrasi, pemilu

dijalankan secara jujur, bersih, adil, bebas dan kompetitif.

Jika pelaksanaan pemilu demokratis, maka tujuan dan fungsi pemilu akan tercapai,

tetapi jika proses pemilu tidak demokratis atau sebatas sebagai formalitas belaka maka akan

menimbulkan ekses atau dampak negatif bagi kualitas dan kinerja lembaga perwakilan

rakyat. LIP Fisip UI melaporkan temuan penelitiannya, bahwa salah satu akses, pernilu

adalah langsung berhubungan dengan kinerja lembaga legislatif2.

Liddle berpendapat bahwa: Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilu sering

dianggap sebagai penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek pemerintahan

oleh sejumlah elite politik. Setiap warga negara yang telah dianggap dewasa, dan memenuhi

persyaratan menurut undang-undang dapat memilih wakil-wakil mereka di parlemen,

termasuk para pimpinan pemerintahan3.

Berdasarkan pendapat dari Liddle tersebut tersirat bahwa dalam menjalankan suatu

roda pemerintahan, dibutuhkan suatu keharmonisan hubungan antara pemerintah dengan

yang diperintah. Upaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis tersebut, pemerintah

Indonesia melakukan perubahan kebijakan dalam pelaksanaan pemilu, sebagai respon atas

tuntutan yang dilakukan oleh masyarakat.

Dalam menganalisis responsivitas pemilih, dapat menggunakan analisis perilaku

1 LIP Fisip UI, 1997. Evaluasi Pemilu Orde Baru. Jakarta: Press, hlm 5

2 LIP Fisip UI, op.cit, hlm 17

3 Liddle R, William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, hlm 41

Page 7: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

pemilih yang dapat digunakan, yaitu model sosiologis, psikologis, dan rasional (Asfar, 2006).

Pertama, model sosiologis. Di lingkungan ilmuwan sosial di AS, model sosiologis

awalnya dikembangkan oleh mazhab, Columbia, yaitu The Columbia School of Electoral

Behavior. Model ini menjelaskan bahwa karaktenstik sosial dan pengelompokan-

pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam menentukan

perilaku memilih seseorang. Model sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa perilaku

pemilih dalam tanggapan politiknya adalah status sosio-ekonomi dan afiliasi sosio-religius.

Model ini mendasarkan diri pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga,

dan hubungan emosional yang dialami oleh pemilih secara historic. Adalah sesuatu yang

sangat vital dalam memahami perilaku politik pemilih, karena karakter kelompok-kelompok

inilah yang mempunyai peranan besar dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi

seseorang.

Kedua, model psikologis. Model psikologis ini dikembangkan oleh mazhab Michigan,

The Michigan Survey Research Center. Model ini melihat sosialisasi dan internalisasi sebagai

determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan hanya karakteristik sosiologis.

Model ini menjelaskan bahwa sikap pemihh merupakan refleksi dan kepribadian seseorang

yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik

pemilih. Model ini memprioritaskan pada tiga pilar psikologis, yaitu ikatan emosional pada

partai politik, orientasi terhadap isu/progrann, dan orientasi terhadap kandidat/calon. Pendek

kata, kandidat yang terpilih akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan figur

mencitrakan diri dan merekatkan diri dengan pemilih melalui berbagai media yang tersedia.

Ketiga, model pilihan rasional (rational choice). Model ini ingin melihat perilaku

pemilih sebagai produk kalkulasi untung-rugi. Mayoritas pemilih biasanya selalu

mempertimbangkan faktor untung rugi dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang

dipilihnya. Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung-rugi dari

tindakannya dalam memilih calon. Sebuah pilihan tindakan dikatakan “menguntungkan” bila

ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan basil dari tindakan tersebut lebih rendah dari

basil tindakan itu sendiri. Sebaliknya, sebuah tindakan disebut “rugi” bila ongkos untuk

mendapadkan basil itu lebih tinggi nilainya ketimbang basil yang diperoleh.

Di samping tiga model yang dikemukakan oleh Asfar di atas, Dennis Kavanagh

(1983) dalam buku Political Science and Political Behavior, menyatakan bahwa terdapat lima

model untuk menganalisis perilaku pemilih, yakni model struktural, sosiologis, ekologis,

psikologi sosial, dan pilihan rasional.

Kepada siapakah pemihh menjatuhkan pilihannya? Tidak seorang pun futurolog

Page 8: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

politik yang dapat memastikan hal ini. Adman Mursal, penulis buku Political Marketing:

Strategi Menenangkan Pemilu, terbitan tahun 2004, menguraikan sejumlah orientasi pemilih

dalam. pemilu.

Pertama, orientasi agama. Mengutip pelitian perilaku pemilih di pedesaan Jawa oleh

Afan Gaffar (1992), orientasi sosio-religious sangat berkorelasi terhadap perilaku pemilih.

Pemlih yang santri akan cenderung memilih calon yang diusung partai berlabel agama

(Islam), sedangkan pemilih yang abangan akan cenderung memilih calon yang diusung oleh

partai berlabel nasionalis.

Kedua, orientasi kelas sosial dan kelompok sosial. Biasanya, pilihan politik pemilih

sangat ditentukan oleh status sosial pemilih di tengah masyarakat. Lapisan sosial masyarakat

di tingkat bawah akan berkecenderungan berbeda pilihannya politiknya dengan lapisan sosial

masyarakat di inmgkat menengah dan atas.

Ketiga, faktor kepemimpinan. Pengaruh kepemimpinan (leadhership) calon kepala

daerah akan berkorelasi positif terhadap orientasi perilaku pemilih. Pemilih akan cenderung

mendasarkan pilihannnya pada pertimbangan apakah calon kepala daerah memiliki nilai-nilai

kepemimpinan yang visioner atau tidak. Gaya kepemimpinan yang populis, akomodatif dan

demokratis biasanya akan sangat mempengaruhi onentasi pemilih.

Keempat, faktor identifikasi. Dihadapkan pada pilihan politik, orientasi mmilih

cenderung mempertimbangkan untak melihat persamaan identitas antara pemilih dan yang

dipilih. Artinya, perilaku pernilih akan mempertimbangkan apakah calon kepala daerah

memih identitas yang sama dengan identitas pemilih. Identitas ini bisa berupa persamaan

politik, ekonomi, atau sosial budaya.

Kelima, orientasi isu/program. Meskipun masih relatif sedikit, perilaku pemilih ada

yang didasarkan pada isu/program. Kecenderungan untuk memilih berdasarkan orientasi

program atau isu biasanya terdapat dalam pemilih yang sudah dewasa dan matang secara

politis. Orientasi pemilih jenis ini akan melihat apakah program yang ditawarkan calon

Kepala Daerah menguntungkan atau justru akan merugikan dirinya.

Keenam, orientasi kandidat. Di mata pemilih, kandidat calor. Kepala Daerah akan

sangat menentukan pilihan politiknya. Biasanya, pemilih akan melihat track record,

kompetensi, moralitas, mentalitas, popularitas, dan kinerja kandidat. Orientasi-pemilih akan

mempertimbangkan apakah kandidat berasal dari birokrat, pengusaha, tokoh masyarakat

ataupun kalangan TNI/Polri. Kandidat yang menjadi public figure biasanya cenderung

menjadi pilihan pemilih.

Ketujuh kaitan dengan peristiwa. Kandidat yang diajukan kaitamya dengan peristiwa

Page 9: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

yang menimpanya akan mempengaruhi pikiran dan perilaku pemilih. Pemilih cenderung akan

bersimpati dan memilih kandidat yang dicitrakan dalam. kondisi “menderita” karena di

“siksa” oleh rezim yang berkuasa. Hal ini bisa melahirkan simbolisasi dan representasi

kondisi pemilih dari kalangan bawah sehingga mendorong untuk menjatuhkan pilihannya

pada kandidat yang bersangkutan.

G. Metode Penelitian

Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini, dengan mengkombinasikan analisis

data kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1)

wawancara, terhadap para stake holder yang relevan, khususnya tokoh masyarakat di masing-

masing kecamatan; 2) Observasi terhadap obyek penelitian; 3) Kuesioner yang dibagikan

kepada responden untuk diisi; dan 4) Studi kepustakaan, yakni mempelajari dan menelaah

serta menganalisas literatur baik berupa buku-buku, artikel, maupun karya ilmiah baik itu

jurnal maupun buletin yang ada kaitanya dengan permasalahan yang dikaji.

Penentuan sampel berdasarkan stratified random sampling. Teknik sampling yang

digunakan secara garis besar menggunakan rumus slovin, yaitu:

n = 𝑁

𝑁(0,05)2+1

= 353389/876

= 403.4121004566210045662100456621

= 400

Jika asumsi N (pemilih) berjumlah 206.000 orang, maka jumlah responder survei ini

sebanyak 400 responden. Namun agar hasilnya lebih representatif, maka dalarn penelitian ini

menggunakan ukuran sampel sekitar 700 orang calon pemilih.

- Tingkat kepercayaan 95%, dengan presisi 5%

- Karakteristik responden didasarkan pada pekerjaan, yakni: PNS, Pegawai Swasta, Buruh,

Mahasiswa/Pelajar, dan Umum

- Wilayah responden dibagi di masing-masing kelurahan, dimana terdapat 33 Kelurahan di

Kota Sukabumi

H. Waktu Penelitian

Page 10: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Kegiatan ini dilaksanakan dalam waktu 8 (delapan) minggu, dengan rencana

pelaksanaan dari Minggu I sampai dengan Minggu VIII pada bulan Januari/Februari 2008.

Rincian jadwal kegiatan sebagai berikut:

Jadwal Kegiatan

No. Kegiatan I II III IV V VI VII VIII

1 Persiapan

2 Pelaksanaan

3 Rapat Facilitating

4 Konsultasi/Koordinasi

5 Presentasi/Seminar

6 Pelaporan

I. Pelaksana Kegiatan Penelitian

Pelaksana kegiatan penelitian ird dilakukan secara individu oleh says sebagai Jurusan

Ilmu Pemerintahan FISIP-UNPAD yang dibantu oleh 3 (tiga) prang surveyor dari mahasiswa

Jurusan 11mu Pemerintahan FISIP-UNPAD.

J. Sistematika Laporan Akhir

Sistematika laporan akhir penelitiar, ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab III Gambaran Umum Daerah Penelitian

Bab IV Analisis Hasil Penelitian

Bab V Penutup

Page 11: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindakan dan Pemberian Suara

Pendapat Nimmo, ada empat cara alternatif dalam pemikiran bagaimana memberi

suara bertindak yaitu:

1. Pemberi suara yang rasional

2. Pemberi suara reaktif

3. Pemberi suara responsif

4. Pemberi suara aktif

Pertama, pemberi suara yang rasional. Menurut Louise Anthony Dexter (1996) dalam

bukunya The Sociology and Politics of Cangress yang dikutif oleh Dan Nimmo dalam

Political Communication and Public Opinion in America mengatakan bahwa: Pemberi suara

yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter

personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara yang rasional adalah

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Selalu dapat mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif;

2. Memilih alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja,

atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain;

3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara transitif: jika A lebih disukai daripada B, dan

B daripada C, maka A lebih disukai daripada C;

4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi; dan

5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang

sama.

Dari ciri-ciri tersebut terlihat bahwa gagasan tersebut menetapkan persyaratan yang

ketat untuk memberikan kualifikasi sebagai pemberi suara yang rasional. Berelson dan

kawan-kawannya melalui tulisannya yang berjudul “voting” mengemukakan pendapatnya

berkenaan dengan kualifikasi pemberi suara yang rasional dengan pernyataan sebagai berikut:

“Pemberi suara yang rasional selalu dimotivasi untuk bertindak jika dihadapkan pada pilihan

politik, berminat secara aktif terhadap politik sehingga memperoleh cukup informasi dan

Page 12: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

berpengetahuan tentang berbagai alternatif, berdiskusi tentang politik sebagai cara untuk

mencapai suatu peringkat alternatif, dan bertindak berdasarkan prinsip, bukan secara

kebetulan, atau serampangan, atau impulsif, atau kebiasaan, melainkan hanya berkenaan

dengan standar tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan

umum”.

Kedua, pemberi suara yang reaktif. Gambaran tentang pemberi suara yang reaktif

adalah diturunkan dari asumsi fisikalistik bahwa manusia bereaksi terhadap rangsangan

dengan cara pasif dan terkondisi. Dalam kampenye politik, kandidat dan partai menyajikan

isyarat yang menggerakan para pemilih dengan memicu faktor-faktor jangka panjang yang

menetapkan arah perilaku memberikan suara. Faktor-faktor jangka panjang tersebut terutama

adalah faktor-faktor sosial dan demografi seperti pekerjaan, pendidikan, pendapatan, usia,

jenis kelamin, ras, agama, wilayah tempat tinggal dansebagainya. Di samping faktor-faktor

sosial dan demografi pada studi-studi tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an menambahkan

konstruksi mentalistik (sikap, predisposisi, identifikasi, kesetiaan, dan sebagainya) sebagai

variabel perantara dalam urutan penyebab-akibat.

Ketiga, pemberi suara yang responsif. Ilmuan politik Gerald Pomper membuat

gambaran tentang pemberi suara yang responsif sebagai berikut: apabila karakter pemberi

suara yang reaktif itu tetap, stabil, dan kekal, maka karakter pemberi suara yang responsif

adalah inpermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubah-

rubah terhadap pilihan para pemberi suara. Ada perbedaan lain menurut Pomper yang

membedakan suara yang responsif dan reaktif:

1. Meskipun pemberi suara yang responsif itu dipengaruhi oleh karakteristik sosial dan

demografis mereka, pengaruh yang pada kahekatnya merupakan atribut yang permanen

ini tidak diterministik.

2. Pemberi suara yang responsif juga memiliki kesetiaan kepaa partai, tetapi afiliasi ini tidak

menentukan perilaku pemilihan. Identifikasi partai bagi pemberi suara yang responsif

justru dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan isu yang dipandang dapat membantunya

dalam membuat pilihan.

3. Pemberi suara yang responsif lebih dipengaruhi faktor-faktor jangka pendek yang penting

dalam pemilihan umum tertentu daripada oleh kesetiaan jangka panjang kepada kelompok

dan atau kepada partai.

Dengan demikian pemberi suara yang responsif menurut Pomper dikutipnya dari

pendapat V.O Ke, Jr, adalah “bukanlah gambaran tentang pemiih dibelenggu oleh determinan

Page 13: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

sosial atau digerakkan oleh dorongan bahwa sadar yang dipicu propangandis yang luas biasa

terampilnya. Ia lebih merupakan gambaran tentang pemilih yang digerakkan oleh

perhatiannya terhadap masalah pokok dan relevansi tentang kebijakan umum, tentang prestasi

pemerintah, dan kepribadian eksekutif.1

Keempat, pemberi suara aktif. Yang dimaksud pemberi suara yang aktif adalah

pemberi suara yang bertindak terhadap objek berdasarkan makna objek itu bagi mereka.

Dengan demikian individu yang aktif itu menghadapi dunia yang harus diinterprestasikan dan

diberi makna untuk bertindak bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya,

yang terhadapnya orang menanggapi karena sifat atribut dan atau sikap individu atau

rangsangan yang terbatas.

B. Pendekatan Perilaku Pemilih

Di awal sudah dijelaskan bahwa studi perilaku pemilih menurut Jack C. Plano adalah

dimaksudkan sebagai studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan

atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa

mereka melakukan pilihan itu.2 Pandangan lain mengenai perilaku memilih adalah diberikan

oleh Bone dan Raney. Menurut mereka perilaku memilih diartikan dnegan pernyataan

sebagai berikut: “In most study of voting behavior ....., voting behavior is pictures as having

the two dimension. Preference ......, can be used to measure his approval or disampproval of

Demokratic and Republican Parties, their percevies stands on issues, and the personal

quality of their candidate ......, Activity has six main categories: organization activities,

organization contributors, opinion leaders, voters, dan apolitical”3.

Dengan mengacu pada dua pandangan di atas, maka apa sebenarnya yang dimaksud

dengan perilaku memilih menjadi lebih jelas. Perilaku memilih adalah tingkahlaku atau

tindakan individu dalam proses pemberian suara dalam penyelenggaraan pemilu serta latar

belakang seseorang melakukan tindakan tersebut. Tingkahlaku atau tindakan individu dalam

proses pemberian suara ialah meliputi tiga aspek yakni preferensi (orientasi terhadap isu,

orintasi terhadap kualitas personal kandidat, identifikasi partai), aktivitas (keterlibatan dalam

partai politik tertentu, keterlibatan dalam setiap kampanye, kehadiran dalam pemungutan

suara) dan pilihan terhadap salah satu partai politik tertentu.

1 Nimmo, op.cit, hlm 1987 - 197

2 Plano, C Jack, op.cit, hlm 280

3 Bone Hugh a dan Ranney Austin, Ioc.cit.

Page 14: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Sekalipun dalam sejarah ilmu politik belum pernah dikemukakan Grand Theory

tentang votong behavior, namun sampai saat ini terdapat dua macan teori voting behavior

yang dapat dikelompokkan dalam dua mashab besar. Pertama, pendekatan voting behavior

dari mashab sosiologis yang dipelopori oleh Columbia’s University Bureau of Applied Social

Science. Kedua, pendakatan voting mashab psikologis yang dikembangkan oleh University of

Michigan’s Survey Research Center pendapat dari Gaffar. Di samping kedua pendekatan

tersebut, dalam literatur politik ternyata juga ditemukan adanya model atau pendekatan lain

yaitu pendekatan politik rasional:

Pertama, pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis sebenarnya berasal dari Eropa,

kemudian di AS dikembangkan oleh para ilmuwan sosial yang mempunyai latar belakang

pendidikan Eropa. Karena itu Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa.

David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku masyarakat

Inggris, menyebut model ini sebagai sosial determinism approach.

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan karakteristik sosial dan pengelompokkan-

pengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan

perilaku pemilih. Pengelompokkan sosial seperti umum (tua-muda), jenis kelamin (laki-

perempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan

dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokkan sosial

baik secara formal, seperti keanggotan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan,

organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun

pengelompokkan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil

lainnya merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik, karena

kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan

orientasi seseorang.

Dean Jaros dkk, ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu

kelompok dan perilaku politik seseorang menyederhanakan pengelompokkan sosial itu ke

dalam tiga kelompok, yaitu kelompok primer, kelompok sekunder dan kelompok kategori.

Gerald Pomper memperinci pengaruh pengelompokkan sosial dan kajian voting behavior ke

dalam dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial ekonomi pemilih. Menurutnya,

predisposisi sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang

signifikan dengan perilaku pemilih. Prefensi-prefensi politik keluarga, apakah prefensi ayah

atau prefensi politik ibu akan berpengaruh pada prefensi politik anak. Predisposisi sosial

ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karekteristik

demografis dan semacamnya.

Page 15: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Hubungana antara agama dengtan perilaku pemilih tampak paa penelitian Lipset. Di

beberapa negara di mana partai tidak mempunyai batas yang jelas dengan agama, kelompok

minoritas di bidang ekonomi, politik diskriminasi tertentu, cenderung untuk memilih partai

yang berfaham liberal atau partai yang berhaluan kiri. Sementara kelompok mayoritas

cenderung untuk memberikan suaranya kepada partai politik konservatif atau partai sayap

kanan. Di AS misalnya, penganut agama Katholik dan Yahudi, kulit hitam dan Hispanic

(keturunan Latin) merupakan pendukung setia partai Demokrat. Sementara kaum Protestan

Anglo Aaxon memberikan dukungan kepada partai Republik. Pada pemilihan presiden tahun

1984 misalnya, 68% orang Yahudi di Amerika Serikat memberikan suaranya untuk Partai

Demokrat dibanding dengan 39% suara dari kaum Protestan.

Latin halnya dengan penemuan Afan Gaffar dalam penelitiannya tentang Javanese

Voters. Gaffar justru menemukan bahwa agama memiliki pengaruh terhadap pilihan

seseorang dalam pemilu. Orang-orang yang mengaku santri cenderung mendukung partai

Islam, sementara kelompok abangan lebih cenderung untuk mendukung PDI dan informan

yang moderat (santri dan abangan) mereka lebih banyak memberikan pilihannya terhadap

Golkar4.

Jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang berhubungan dengan perilaku

pemilih. Kajian voting behavioer di Eropa pada dekade 1970-an menunjukkan bahwa wanita

lebih suka mendukung partai borjuis daripada partai sosialis.

Setuju dengan administrasi (birokrasi), menghindari pemihakan pada ekstrim kiri maupun

ekstrim kanan, mendukung partai demokrat. Aspek sosiologis lain yang ikut mempengaruhi

perilaku pemilih adalah geografis. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang

terhadap partai politik. Di beberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai

tertentu, sampai mampu bertahan berabad-abad. Kasus yang patut diangkat adalah loyalitas yang begitu kuat

terhadap Partai Demokrat dari masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah Selatan AS. Penduduk di

wilayah Selatan tanpa memperhatikan faktor etnis dan kelas, merupakan pendukung tetap Partai

Demokrat. Meskipun masvarakat New England pada umunya menjadi pendukung partai Republik, di

wilayah Selatan mereka lebih mendukung Partai Demokrat.

Dan bagaimana dengan struktur sosial, apakah variabel memiliki pengaruh terhadap perilaku

politik? Berkenaan dengan pertanyaan ini Lipset setelah melakukan penelitian, di beberapa negara

(1981) menyimpulkan “more than anything else the party struggle is a conflict among classes

the lower income grups vote mainly of the right”.

4 Ibid, hlm 191

Page 16: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Fakta empirik yang menunjukkan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap perilaku

pemilih terutama sangat nampak dalam hasil penelitian yang ditemukan di Eropa dan Amerika. Di

Eropa, kelompok ber[enghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara pada

partai sosialis dan komunis, sedangkan kelompok menengah dan atas menjadi pendukung

Partai Konservatif. Di Amerika Serikat masyarakat kelas bawah dan pekerja biasanya cenderung

mendukung Partai Demokrat, sedangkan kelas atas dan menengah merupakan pendukung Partai

Republik.

Namun demikian penelitian di Inggris menunjukan fakta sebaliknya. Penelitian Anthony

Heath dan McAllister menemukan bahwa pengaruh h" baik yang obyektif maupun yang

subyektif pada perilaku pemilih adalah sangat kecil. Penelitian Afan Gaffar tentang Javanese

voters dan penelitian J. Kristiadi tentang “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih” menunjukkan

hal yang sama dengan penelitian Heath dan Allister, yaitu bahwa pengaruh kelas dalam perilaku

pemilih di Indonesia tidak begitu dominan5.

Kedua, Pendekatan Psikologis. Pelopor utama pendekatan psikologis, mengenai voting

behavior adalah Angust Campbell. Pendekatan ini sepenuhnya di Amerika Serikat melalui

Survey Research Center di Universitas Michigan. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi

atau ketidakpuasan pendukung pendekatan psikologis terhadap pendekatan sosiologis. Secara

metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diatur, seperti bagaimana mengukur secara tepat

sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya. Di samping itu, secara

materi, patut dipersoalkan apakah benar variabel-variabel sosiologis, seperti sosial ekonomi, keluarga,

kelompok-kelompok primer ataupun sekunder itu memberi sumbangan pada perilaku pemilih.

Tidaklah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih kalau ada proses

sosial, untuk itu, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan, bukan karakteristik sosiologis.

Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi,

terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan ini

masyarakat dalam suatu. Proses pemilihan umum lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis

yang berkembang dalam dirinya sendiri yang kesemuanya itu sebenarnya merupakan akibat

dari proses sosialisasi politik. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa konsep

sosialisasi politik ataupun resosialisasi politik merupakan kunci dalam memahami model sosio-

psikologis6.

Melalui proses sosialisasi ini kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara

seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati terhadap partai

5 Ibid, hlm 195

6 Campbell, dkk. 1960. The American Voter, New York: John Willey & Sone, hlm 121

Page 17: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

politik. Ikatan psikologis ini kemudian dikenal sebagai identifikasi partai. Berkenaan dengan hal tersebut

Campbell mengatakan bahwa identifikasi partai merupakan faktor yang dapat menjelaskan bagi pola

perilaku pemilih serta merupakan fakta central dalam memperhitungkan terhadap sikap dan perilaku

pemilih itu sendiri7.

Ketiga, Pendekatan Politic Rasional. Pendekatan politic rasional pada hakikatnya

merupakan pendekatan yang memiliki pandangan bahwa pemilihan politik seseorang sangat dipengaruhi

oleh situasional. Lebih lanjut pendekatan ini juga menyatakan bahwa para pemilih selbenarnya bukan

hanya pasif tetapi juga aktif dan babas bertindak. Faktor-faktor situasional itu bisa berupa isu-isu politik

atau kandidat yang dicalonkan. Penjelasan-penjelasan perilaku pemilih tidak harus permanen, tetapi

berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa politik tertentu. Dengan begitu isu-isu politik

menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya

terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.

Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku politik sebenarnya diadaptasikan

dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi) dengan perilaku

pemilih politik. Apabila secara ekonomi anggota dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos

sekecil-kecilnya untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya, maka dengan perilaku politikpun

anggota masyarakat akan dapat bertindak secara rasional pula, yakni memberi suara ke OPP yang

dianggap dapat memberi keuntungan dan menekan kerugian Sherman dan Kolker8.

Orientasi isu politik telah dimulai penelitiannya oleh Angust Campbell dalam studinya

pada penelitian presiden Amerika tahun 1952 dan di tahun 1956. Dalam bukunya The American Voter

Campbell menerangkan bahwa isu partai dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pemberian suara

warganegara jika terpengaruhi tiga syarat, yaitu:

1. Warganegara mengetahui isu tersebut

2. Warganegara menaruh perhatian akan isu tersebut

3. Warganegara merasa bahwa dengan isu tersebut dapat menjadikan mereka memberikan

kepercayaan kepada partai9.

David Re Pass memiliki pendapat yang hampir sama dengan Campbell. Dari hasil

studinya pada pemilihan presiden Amerika di tahun 1960 dan 1964 David Re Pass menegaskan bahwa

isu partai politik dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pernberian suara pemilih. Alasan yang

7 Ibid, hlm 7

8 Asfar, Muhammad, 1996. Beberapa Pendekatan dalam Perilaku Pemilih (Jurnal Ilmu Politik), Jakarta:

Gramedia, hlm 52 9 Campbell, op.cit, hlm 70

Page 18: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

dikemukakan oleh Re Pass bahwa isu partai politik dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pemberian

suara pemilih disebabkan adanya harapan dan kekhawatiran warganegara pada masalah-masalah yang

terjadi pada diri mereka dan bangsanya. Untuk memenuhi harapannya itu, mereka memperlihatkan

perhatiannya kepada isu-isu dari partai politik10

. Hubungan isu-isu politik dan penilaian kandidat dengan

perilaku pemilihpun juga dikaji oleh Gerald Pomper dalam karyanya berjudul Voter’s choice: Varities of

American Electoral Behavior (1975). Dengan membandingkan tiga kali hasil penelitiannya pada pemilu

1956, 1964, dan 1972 Pomper mengemukakan dalam satu kesimpulannya sebagai berikut: “bahwa posisi

isu-isu politik dalam menentukan voting meningkat tajam, baik dampaknya secara langsung terhadap

pemilih maupun secara tidak langsung melalui penilaian kandidat”11

.

Berbeda dengan temuan Samugyo Ibnu Redjo dkk, dalam penelitiannya tentang “Persepsi Sosial

Politik Masyarakat Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dalam menghadapi Pemilu”. Mereka

menemukan secara umum isu/program partai tidak begitu kuat mempengaruhi perilaku pemilih12

.

Hubungan yang rendah atau kecil antara isu kampanye PDI dengan sikap politik ternyata ditemukan pula

oleh Muhaini Rini dalam penelitiannya tentang “Hubungan antara Isu Kampanye Partai PDI dengan

Sikap Politik Pemilih Pemula pada Pemilu 1992 di Petamburan DKI Jakarta”. Dari hasil analisis data

diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi pada pengujian kedua variabel berkisat antara 0,27 sampai

dengan 0,38,

C. Potensi-potensi Penyimpangan dalam Pilkada Langsung13

Dilihat dari sistem dan tahapan-tahapan serta ruang lingkupnya, tampaknya pilkada

ada kemiripan dnegan pilpres, dalam arti yang disiplin lebih sedikit dan daerah pemilihannya

hanya satu. Sesuai ketentuan batas parpol atau gabungan parpol yang berhak ajukan calon

adalah yang memperoleh 15% kursi DPRD atau akumulasi perolehan suara (Pasal 59).

Dengan ketentuan ini maka rakyat memilih di suatu daerah kemungkinan hanya akan

memilih dua hingga tujuh pasangan saja. Sesuai asumsi ini maka potensi penyimpangan akan

menyerupai pada pilpres yang lalu. Meski demikian, penyimpangan yang khas pada pemilu

legislatif (yakni pemalsuan/penggunaan dokumen tidak sah) tidak mustahil muncul pada

pilkada ini.

10

Yeric, Jerry L. John R Todd. 1983. Public Opinion The Visibble Politics, Illinois: Peacock Publisher, hlm 122 11

Asfar, Muhammad, Loc.cit. 12

Redjo, Samugyo Ibnu. 1996. Persepsi Masyarakat Kotamadya Bandung dalam menghadapi Pemilu, Laporan Penelitian Fisip (Unpad) hlm 81 13

Dalam Artikel Topo Santoso. Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum. Kandidat PhD pada University of Malaya. Harian Cendrawasih, 28 November 2004.

Page 19: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Dengan berpijak pada pengalaman pemilu legislatif maupun polpres, setidaknya lima

potensi penyimpangan patut diwaspadai. Pertama, pamalsuan/penggunaan dokumen tidak

sah. Sejumlah persyaratan calon kepala daerah telah diatur pada Pasal 58 UU No. 32 Tahun

2004, antara lain pendidikan sekurangnya SLTA atau sederajat serta sehat jasmani dan

rohani. Melihat syarat-syarat calon kepala daerah itu semestinya tidak terlalu sulit untuk

dipenuhi. Tidak semestinya parpol/gabungan parpol mengajukkan jagonya yang diragukan

pendidikan ataupun kesehatannya. Tapi, toh pengalaman pada pemilu legislatif lalu

menunjukkan betapa banyak partai tetapi mengajukkan calon-calonya yang bermasalah

(membeli surat keterangan pendidikan, mamalsu ijazah, ijazah dari sekolah fiktif, dan

sebagainya). Tidak mustahil jika kasus-kasus ini berulang lagi di pilkada, terutama jika

penyelenggara dan pengawas pilkadanya teledor atau terbujuk permainan.

Kedua, potensi penyimpangan birokrasi dan penyalahgunaan kewenangan.

Pimpangan birokrasi dan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi selama pemilu legislatif

dan pilpres yang lalu, dalam kenyataannya menjadi masalah yang sukap ditangani hingga

tuntas. Ini disebabkan problem peraturan maupun faktor sosio-politik yang ada. Potensi

penyimpangan ini tampaknya akan kian membesar. Hal ini wajar saja sebab yang ikut

bermain kepentingan akan lebih banyak dan lebih serius. Penyimpangan yang perlu

diwaspadai khususnya dalam tiga pola, yaitu dengan mempengaruhi penyelenggara pilkada,

dengan mobilisasi aparat birokrasi (termasuk kepala desa), atau dengan lahirnya kebijakan

yang menguntungkan calon tertentu.

Ketiga, potensi penyimpangan money politics dan dana kampanye. Aturan dana

kampanye yang “praktis” mengcopy dari UU 12 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 23

Tahun 2003 tampaknya akan tidak berarti banyak menjerat praktik penyimpangan dana

kampenye. Banyaknya donatur fiktif dan penyumbang tak masuk akan juga bakal terjadi.

Penulis ingat ucapan seorang akuntan: aturan dana kampanye tidak bakal menjerat pelaku,

paling mengajari menulis pembukaan lebih rapi. Sementara soal money politics (dalam arti

political bribery), juga ada potensi peningkatan. Aturan hukum yang ada memang sulit untuk

digunakan menjerat pelaku politik untuk memilih calon kepala daerah. Bukankah masalah

yang sama juga menjadi titik lemah pada pemilu legislatif dan pilpres? Selama ini para

pelaku cukup lihai bermain di bawah bayang-bayang undang-undang, sedangkan jebakan

pidana harus melulu tuntuk pada kekuasaan unsur-unsur pasal peraturan. Jurus inilah yang

sekali lagi akan “dimainkan” pada pilkada mendatang. Meski keefektifan money politics ini

kian diragukan, tampaknya penyebaran uang politik ini masih coba dilakukan. Dan, meski

ancamannya bisa membatalkan sang calon, jalan ke sana tampak sangat terjal.

Page 20: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Keempat, kampenye bersekubung atau curi start kampenye. Di antara masalah yang

paling “ngetop” selama pemilu lalu adalah “curi start kampanye” atau kampanye terselubung.

Samalah ini sebenarnya dipicu adanya jarak waktu antara penetapan peserta pemilu dan masa

kampanye. Hal ini terdapat baik pada pemilu legislatif dan pilpres. Pengalaman menunjukkan

betapa sangat banyak energi kita terkuras :hanya” untuk menjerat pelaku “curi start”

kampanye. Sampai-sampai setiap aktivitas parpol oleh masyarakat dilaporkan kepada penwas

agar ditindak. Sementara itu perbedaan penafsiran tentang apa itu “kampanye di luar jadwal”

justru membuat kian kaburnya persoalan. Di negara lain, seperti Malaysia ataupun Thailand,

soal-soal seperti ini tidak menonjol sama sekali kampanye dimulai sejak adanya penetapan

kandidat yang akan berkompetisi pada pemilihan. Karena dalam pilkada nanti masih ada

jarak waktu itu, bisa dipastikan polemik soail”curi start kampanye” masih akan muncul. Ke

depan memang disarankan aturan ini diubah saja sehingga tidak menghabiskan energi kita

semua.

Kelima, manipulasi pada penghitungan suara. Berkaca pada pemilu legislatif lalu

kasus seperti ini muncul antara lain dari pencoblosan ribuan suara secara tidak sah di Papua

serta Tawau, Malaysia. Pengubahan hasil juga dilaporkan terjadi di banyak tempat, mulai

level PPS hingga KPU kabupaten/kota. Bahkan pada pemilu legislatif lalu, gerilya para caleg

untuk mempengaruhi pelaksana pemilu dilaporkan dari banyak tempat. Sekali lagi, potensi

penyimpangan seman ini juga tetap besar. Bahkan sesungguhnya, dibanding penyimpangan-

penyimpangan sebelumnya di atas, inilah yang paling efektif mengubah hasil.

Potensi-potensi penyimpangan akan jauh lebih sulit diatasi jika kita melihat pada

jebakan berikutnya dari pilkada yaitu jika pengawasan pemilu tidak beres dan tidak

independent. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 maka yang bertugas melakukan pengawasan

pilkada adalah panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang anggotanya diangkat dan

bertanggung jawab kepada DPRD. Pada banyak klausul, panitia pengawas pilkada ini

mengikuti pola pengawas pemilu pada pemilu legislatif dan pilpres, termasuk soal unsur

keanggotaan dan tugas serta wewenangnya. Bedanya, untuk pilkada ini pengawas pemilu

pilkada tadi tidak diangkat oleh Panwas Pemilu (Pusat) melainkan oleh DPRD. Begitu pula

tanggung jawabnya. Pada pemilu yang lalu, panwas daerah diangkat oleh Panwas Pemilu di

atasnya dengan mekanisme fit and proper test dengan syuarat utama soal independensi serta

kemampuannya. Bagaimana DPRD akan merekrut pengawas pilkada akan sangat berpegaruh

terhadap kinerja dan independensi panwas pilkada itu nantinya. Yang jadi pertanyaan adalah

apakah DPRD akan merekrut orang-orang independen ataukan yang berafiliasi kepada

partainya? Apakah orang-orang yang selama ini kritis dan tegas terhadap penyimpangan

Page 21: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

pemilu (khususnya mantan-mantan panwas daerah) justru akan dihindari? Apakah

pertanggungjawaban kepada DPRD ini justru akan menyulitkan dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya? Apakah ada jaminan para calon kepala daerah tidak akan menggunakan

pengaruhnya untuk “menginjak kaki” pengawas jika mereka dianggap terlalu berbahaya bagi

pihaknya? Bagaimana jika yang terlibat dalam penyimpangan serius justru yang masih berada

di puncak kekuasaan daerah, pakah ada kekuatan untuk menegakkan aturan? Sederet problem

di atas memang jauh lebih sulit dijawab dengan pertanggungjawaban seperti seperti tertuang

dalam UU 32/2004 di atas.

Jebakan lainnya pilkada mendatang berhubungan (dan juga disebabkan) aturan hukum

yang menyisakan masalah. Ini karena pola “mencontoh” UU 12/2003 dan UU 23/2003 yang

tanggung-tanggung. Jelasnya dalam pilkada mendatang tidak diatur mengenai limitasi waktu

penanganan laporan masyarakat/peserta pilkada. Tidak ada limitasi berapa lama laporan

diajukan pelapor dan dikaji pengawas. Tidak diatur berapa lama penyidik melakukan

penyidikan tindak pidana. Tidak dibatasi berapa lama penuntut menyerahkan berkasnya ke

pengadilan, dan berapa lama pengadilan harus menjatuhkan vonis. Juga tidak diatur

pengadilan level mana yang berwenang mengadili perkara macan apa. Ketiadaan pengaturan

seperti itu bakal membuat perkara-perkara pidana pilkada akan bernasib sama dengan perkara

tindak pidana pada pemilu 1999 yang baru selesai jauh setelah seluruh tahapan pemilu tuntas,

bahkan ada yang hingga kini belum diputus di tingkat kasasi.

Dengan adanya sejumlah jebakan pilkada, belum termasuk sosial-soal

penyelenggarannya, maka perlu adanya pemikiran kita bersama dan kemungkinkan langkah

yang tepat untuk menjamin terselenggaranya pilkada yang bersih dan adil, dengan adanya

jaminan bahwa setiap penyimpangan dapat dituntaskan sesuai hukum dan keadilan dan

bahwa tidak seorangpun dapat mempengaruhi upaya penegakan hukum yang dilakukan.

Potensi penyimpangan/kecurangan akan kian membesar jika pilkada nanti diawasi oleh para

pengaas yang mudah diitervensi kepentingan politik dan mekanisme hukum yang akurat tidak

tersedia. Oleh sebab itu, jika memungkinkan amademen terhadap pasal-pasal tertentu

menyangkut pengawasan dan penegakan hukum yang tidak sempurna perlu dipikirkan

mendalam.

Page 22: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

BAB III

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Pada bab tiga ini akan dipaparkan tentang gambaran umum daerah penelitian yang

meliputi deskripsi wilayah Kota Sukabumi, Struktur Pemerintahan Kota Sukabumi, kondisi

sosial Kota Sukabumi, visi dan misi Kota Sukabumi, deskripsi para pemimpin Kota

Sukabumi, serta deskripsi wilayah Kecamatan Lembursitu dan Kecamatan Warudoyong yang

didalamnya terdapat kelurahan Lembursitu dan kelurahan Dayeuhluhur.

A. Deskripsi Wilayah Kota Sukabumi

1. Letak Geografis

Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, yang

berjarak 119 Km, dan di sebelah Barat Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, Bandung, yang berjarak

93 Km, dan terletak pada koordinat 106o 45’10” sampai dengan 106

o 45’50” Bujur Timur dan

6o 50’44” Lintang Selatan. Terletak di kaki Gunung Pangrango dan Gunung Gede yang

mempunyai ketinggian 584 Meter di atas permukaan laut.

Kota Sukabumi mempunyai kekuatan pada iklim mikro yang relatif nyaman untuk

tempat peristirahatan dan dengan bentangan alam yang ada sangat diperlukan pemanfaatan

pola penggunaan lahan dan ruang secara selektif, dengan tetap menjaga pada terjaminnya

lingkungan yang serasi danseimbang.

Sukabumi berasal dari kata sunda yakni “suka bumen” (cinta daerah), sehingga

mereka yang datang ke daerah ini tidak ingin pindah lagi, karena suka/senang terhadap

bumen-bumen atau ketempat tinggal di daerah ini.

2. Batas Wilayah

Wilayah Kota Sukabumi berbatasan seluruhnya dengan wilayah Kabupaten Sukabumi

yakni di Sebelah Utara dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan Kecamatan Nyalindung

Kabupaten Sukabumi, sebelah barat dengan Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi, sebelah

timur dengan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi.

Page 23: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

3. Fisik Dasar dan Sumber Daya Alam

Kondisi fisik dasar Kota Sukabumi secara umum tergolong ideal untuk

pengembangan berbagai kegiatan perkotaan. Parameter yang dijadikan acuan antara lain:

a. Kondisi topografi kawasan yang relatif tidak merata sehingga memungkinkan

pemanfaatan lahan kawasan secara optimal;

b. Kondisi geologi, memungkinkan optimalisasi daya dukung lahan, sehingga memberikan

peluang untuk pengembangan berbagai kegiatan pembangunan fisik;

c. Kondisi iklim relatif tidak berpengaruh negatif terhadap pengembangan berbagai kegiatan

perkotaan.

Kota Sukabumi relatif tidak memiliki sumber daya alam, namun demikian untuk

memperhatikan keseimbangan lingkungan, upaya penggalian potensi sumber daya yang ada

seperti: sumber daya air, baik air permukaan maupun air bawah tanah, perlu diatur dan

dikendalikan secara proporsional.

Sekain itu juga diupayakan pemanfaatan dan pemeliharaan lahan-lahan terbuka yang

berfugnsi sebagai hutan kota dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan hidup dan

dijadikan sebagai paru-paru kota.

4. Kondisi Pemeritnahan

Pendapat umum yang muncul ke permukaan di era reformasi ini dalam aspek

kepemerintahan adalah bagaimana memberdayakan aparatur pemerintah agar lebih reponsif,

akomodatif, aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat. Kondisi seperti ini hanya akan tercapai

apabila terpenuhinya standar kualtias dan kuantitas aparatur yang memadai dengan kebutuhan

dan tantangan pembangunan kota dalam mengantisipasi pelaksanan otonomi daerah.

Dalam mempersiapkan otonomi daerah, peranan Aparatur Negara merupakan faktor

penentu, karena aparat merupakan unsur penggerak (faktor dinamis) dalam penyelenggaraan

otonomi daerah. Oleh karena itu pembinaan aparatur negara diarahkan kepada peningkatan

kualitas, agar lebih memiliki sikap dan perilaku pengabdian, kejurusan, tanggung jawab,

sehingga dapat memberikan pelayanan dan pengayoman terhadap masyarakat secara optimal

(public good dan services) dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (good

goverment).

Page 24: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Pada hakikatnya dalam mewujudkan pemerintahan yang baik diperlukan beberapa

syarat antara lain demokrasi, transparansi, akuntabilitas dan peran serta aktif seluruh lapisan

masyarakat.

Penyelenggaraan Pemerintah di Kota Sukabumi dilandasi semangat prinsip good

governance dan semangat pemberdayaan masyarakat melalui pengaturan sistem maupun

proses yang memungkinkan masyarakat memiliki kemampuan untuk terlibat baik

secaraemosional maupun fisik untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan (partisipatory planning).

Penyelenggaraan pemerintahan secara good governance menjadi fokus perhatian

Pemerintah Kota Sukabumi, sebagai upaya pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap citra

dan peranan aparatur dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan dan

kemasyarakatan dengan peningkatan kinerja yang optimal terhindar dari praktek-praktek

Kolusi, Korupsi dan nepotisme (KKN).

5. Administrasi Pemerintahan

Pemerintah Kota Sukabumi dalam mensikapi pergeseran peran dan fungsi

pemerintahan di daerah, mengambil langkah proaktif bersama-sama dengan seluruh stake

holders, khususnya dengan DPRD untuk membangun kesisteman pemerintahan dalam

bentuk:

a. Hubungan yang harmonis antara proses politik dengan proses manajemen;

b. Menyelenggarakan kebijakan dalam hubungan dengan kewenangan yang dimiliki;

c. Menata, mengembangkan dan memahami kelembagaan secara utuh, serta

mengembangkan sensitivitas arah kebijakan organisasi pada iklim perubahan;

d. Penataan administrasi keuangan dan aset pemerintah daerah;

e. Menyelenggarakan pemberdayaan aparatur dan masyarakat;

f. Peningkatan pelayanan masyarakat di bidang ekonomi, sosial budaya dan fisik prasarana;

g. Penyelenggaraan pembinaan dan penegakan hukum, serta pelaksanan penertiban umum;

Dengan memperhatikan prinsip kepemerintahan serta arah kebijakan yang telah

ditetapkan, maka penyelenggaraan pemerintahan dilakukan melalui pendekatan:

a. Partisipatif, artinya melibatkan seluruh unsur masyarakat dan swasta untuk berperan serta

dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan;

Page 25: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

b. Transparansi, artinya keterbukaan bagi berbagai aspek perencanaan, pembiayaan, dan

pelaksanaan pembangunan serta pengawasan;

c. Akuntabilitas, artinya setiap tindakan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan baik

secara administrasi maupun fisik;

d. Dialogis, artinya adanya komunikasi yang harmonis antara unsur legislatif, eksekutif

maupun masyarakat.

6. Wilayah Administrasi Pemerintahan

Luas wilayah Kota Sukabumi yang mengalami perubahan berdasar kepada Peraturan

Pemerintah Nomor 3 Tahun 1995 tentang Perubahan Batas Kotamadya Daerah Tingkat II

Sukabumi dan Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi berdampak pada bertambahnya

wilayah administrasi pemerintahan semula 4 kecamatan meliputi 15 kelurahan menjadi 5

kecamatan yang meliputi 15 kelurahan dan 18 desa. Dalam lima tahun aterakhir wilayah

pemerintahan secara administratif mengalami perubahan kembali berdasar kepada Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999.

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 126 ayat (2) dinyatakan bahwa “Desa-desa yang

ada dalam wilayah Kotamadya, Kotamadya Administratif dan Kota Administratif

berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pada saat mulai berlakunya undang-

undang ini ditetapkan sebagai kelurahan”. Menindaklanjuti pasal dimaksud maka diteapkan

Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000 tentang Pembentukan kecamatan dan kelurahan,

sehingga sampai dengan tahun 2003, wilayah administrasi Kota Sukabumi berkembang

menjadi 7 kecamatan dan 33 kelurahan.

Penetapan kebijakan tersebut dilatar belakangi oleh pesatnya pertumbuhan wilayah

perkotaan, sejalan dengan tingginya kebutuhan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan

pembangunan prasana perkotaan, terutama perumahan, perdagangan, industri, dan jasa, maka

diperlukan pula peningkatan pelayanan kepada masyarakat dari segi organisasi.

Pengaruh perubahan organisasi, khususnya untuk kecamatan dan kelurhan ternyata

membawa pengaruh yang signifikan terhadap penyelenggaraan tugas umum pemerintahan,

hal ini disebabkan antara lain:

a. Adanya pelimpahan kewenangan terhadap kecamatan dan kelurhan baru menjadi beban

regulasi tidak bertumpuk pada kecamatan awal.

b. Jarak yang ditempuh menjadi semakin dekat.

Page 26: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

c. Keinginan masyarakat melalui tokoh-tokoh setempat untuk berpartisipasi lebih mudah

diakomodasikan.

d. Perubahan status desa menjadi kelurahan berpengaruh terhadap pelayanan masyarakat

yang bercirikan perkotaan.

e. Perubahan status eselonering membawa pengaruh terhadap mental dan perilaku pegawai

dalam pelayanan publik.

Untuk melihat gambaran pembagian wilayah administrasi pemerintahan dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 2.1

Wilayah Administrasi Pemerintahan

Kota Sukabumi

No. Kecamatan Jumlah

Kelurahan

Luas Wilayah

(Ha)

Jumlah

RT RW

1. Gunungpuyuh 4 549.579 201 50

2. Cikole 6 708.280 311 68

3. Citamiang 5 404.000 207 39

4. Warudoyong 5 759.830 250 57

5. Baros 4 611.389 143 39

6. Lembursitu 5 889.763 174 52

7. Cibeureum 4 887.390 118 35

Jumlah 33 4.800.231 1.404 340

Sumber: Bagian Tata Pemerintahan Setda Kota Sukabumi, 2004

Selain dibagi secara administratif, pembagian wilayah Kota Sukabumi terbagi juga ke

dalam wilayah pembangunan. Kebijakan perwilayahan dan revisi RTRW Kota Sukabumi

Tahun 2001, kedudukan dan peran Kota Sukabumi secara regional dan nasional adalah

sebagai berikut:

1. Dalam RTRW Nasional sebagai salah satu kawasan andalan untuk wilayah Provinsi Jawa

Barat yang disebut kawasan andalam Sukabumi dan sekitarnya;

2. Kota Sukabumi sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang diarahkan sebagai salah

satu pusat keluar masuknya aliran orang dan barang dari dan ke daerah sekitarnya;

3. Dalam sistem perkotaan Jawa Barat, Kota Sukabumi ditetapkan sebagai Kota Hirarki III

A yang memiliki fungsi dan peran sebagai:

- Pusat produksi, koleksi dan distribusi dengan skala pelayanan inter regional.

- Memiliki intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi.

Page 27: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Adapun kebijakan perwilayahan dalam revisi RTRW Kota Sukabumi bahwa pembagian

wilayah kota (BWK) yang semula dari lima BWK berubah menjadi tujuh BWK, sebagai

berikut:

BWK 1 Kecamatan Gunung Puyuh, berfungsi sebagai Perumahan.

BWK 2 Kecamatan Cikole; sebagai pusat Kota yang berfungsi untuk perdagangan dan

jasa, Pemerintahan/Perkotaan, Perumahan dan Pariwisata.

BWK 3 Kecamatan Cibeureum; berfungsi sebagai industri, Perdagangan dan Perumahan.

BWK 4 Kecamatan Citamiang; berfungsi sebagai Perdagangan, Industri dan Perumahan.

BWK 5 Kecamatan Warudoyong; berfungsi sebagai Industri, Perdagangan dan

Perumahan.

BWK 6 Kecamatan Baros; berfungsi sebagai Perdagangan dan Jasa, Industri dan

Pariwisata.

BWK 7 Kecamatan Lembursitu; berfungsi sebagai Perumahan, Perdagangan dan

Pariwisata.

Berdasarkan hal tersebut maka pokok-pokok kebijakan penataan ruang dalam rangka

pengembangan kota untuk tahun 2002-2011 dilakukan guna tercapainya perencanaan kota

bagi kepentingan seluruh komponen masyarakat melalui kebijakan sebagai berikut:

1. Peningkatan fungsi Kota Sukabumi sebaai bagian wilayah di Jawa Barat dan nasional;

2. Pengelolaan pengembangan kependudukan yang menyangkut besaran jumlah penduduk

dan perkembangannya, kepadatan penduduk dan penyebarannya serta ketenagakerjaan;

3. Pengembangan kegiatan perekonomian yang bertumpu pada perdagangan, industri,

pariwisata dan penataan kegiatan perekonomian transportasi;

4. Pengembangan struktur dan pola pemanfaatan rumah dengan mempertimbangkan daya

dukung, aspek lingkungan, kawasan adalan dan kegiatan fungsional yang mempercepat

perkembangan kota;

5. Pengembangan transportasi dengan mempercepat pembangunan Jalan Lingkar Selatan,

membentuk sisten atau pola jaringan jalan yang terstruktur serta fasilitas transportasi

lainnya guna meningkatkan akses terhadap fungsi-fungsi ruang yang direncanakan;

6. Pengembangan prasarana dasar untuk meningkatkan kebutuhan dan jangkauan pelayanan

kepada masyarakat;

Page 28: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

7. Pengembangan ruang terbuka hijau untuk menciptakan Kota Sukabumi yang nyaman

dengan pengembangan pada seluruh aspek tata lingkungan pemukiman menjadi tatanan

ruang hijau kota.

B. Kondisi Sosial

1. Kependudukan

Dalam proses pembangunan, penduduk merupakan faktor yang sangat dominan. Hal

tersebut dikerenakan penduduk bukan saja sebagai pelaksana tetapi juga sebagai sasaran dari

pembangunan. Oleh karena itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan perkembangan

penduduk perlu diarahkan sehingga mempunyai ciri-ciri maupun karakteristik yang

menguntungkan dalam pembangunan.

Diantara karakteristik tesebut diantaranya berkaitan dengan kualitas. Jika berkualitas,

jumlah penduduk yang banyak merupakan potensi berharga. Sebaliknya jiwa suatu wilayah

memiliki jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk yang pesat dengan kualitas

rendah justru akan menjadi beban besar bagi proses pembangunan yang akan dilaksanakan.

Beberapa indikator kependudukan yang berkaitan erat dengan kondisi sosial

dianaranya adalah jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, rasio jenis kelamin, kepatan

penduduk, persebaran penduduk, struktur umur dan angka beban tanggungan. Indikator-

indikator tersebut selalu digunakan dalam menyusun rancangan kebijakan, terlebih lagi bagi

Kota Sukabumi sebagai daerah urban.

Tabel 2.2

Penduduk per Kecamatan dan Kelurahan

Se-Kota Sukabumi Tahun 2004

No. Kecamatan Penduduk Jumlah

Penduduk Laki-laki Perempuan

1. Gunung Puyuh 17.608 18.237 35.845

2. Cikole 26.399 27.611 54.010

3. Citamiang 20.595 21.187 41.782

4. Warudoyong 23.648 23.309 46.957

5. Baros 13.536 12.797 26.333

6. Lembursitu 14.194 13.808 28.002

7. Cibeureum 13.063 12.925 25.988

Jumlah 129.043 129.874 258.917 Sumber data: Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Sukabumi, Desember 2004

Page 29: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Berdasarkan tabel 2.2, terebut di atas komposisi penduduk antara kecamatan sangat

berbeda. Jumlah penduduk yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Cibeureum sedangkan

jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Cikole.

Penduduk merupakan potensi sumber daya manusia yang dapat dipandang sebagai

suatu modal dalam upaya mendukung kegiatan pembangunan karena Pemerintah Kota

Sukabumi tidak memiliki sumber daya alam yang dapat diandalkan untuk mendukung

kemajuan penggalian potensi daerah, sehingga banyaknya penduduk diharapkan mampu

membawa kemajuan Kota Sukabumi di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Berdasarkan hasil analisis bahwa rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota

Sukabumi tercatat 0,98% pertahun. Atas dasar laju pertumbuhan penduduk tersebut, maka

perkiraan jumlah penduduk Kota Sukabumi sampai dengan tahun 2011 adalah sebanyak

266.174 jiwa. Dengan kenyataan yang ada sekarang ini, untuk tahun-tahun mendatang harus

ada usaha-usaha dari pihak pemerintah, terutama dalam menciptakan pola penyebaran

penduduk sistem berimbang pada setiap kelurahan. Usaha tersebut berupa pengarahan dan

pengendalian antara lain:

a. Untuk pengarahan penyebaran penduduk diusahakan adanya penyeimbang di seluruh

kawasan, yaitu dengan membentuk sistem pusat-pusat pelayanan lokal (BWK) yang lebih

baik, melalui penyebaran fasilitas-fasilitas sosial ekonomi, hal ini untuk melayani

kebutuhan penduduk pada setiap bagian wilayah, sehingga konsentrasi penduduk pada

pusat kota dapat berkurang.

b. Membangun prasana trasportasi di daerah yang relatif jarang penduduknya untuk menarik

minat penduduk bermukim dikawasan tersebut dengan memberikan kemudahan

pergerakan.

c. Menyediakan berbagai fasilitas sosial-ekonomi di daerah yang kepadatannya masih

rendah lebih langka lagi sehingga untuk memperoleh pelayanan sosial ekonomi tidak

perlu datang ke pusat kota.

d. Mengendalikan percepatan kepadatan penduduk pada kawasan-kawasan yang relatif

tinggi penduduknya, dengan tidak memberikan peluang kepada penduduk baru untuk

ermukim pada kawasan tersebut.

e. Pengendalian dengan alikasi variasi kepadatan bangunan yakni:

- Kepadatan tinggi (lebih dari 80 jiwa/Ha) berada di pusat kota.

- Kepadatan sedang (5-79 jiwa/Ha) berada di bagian utara kota.

- Kepadatan rendah (20-49 jiwa/Ha) berada di bagian selatan.

Page 30: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

2. Ketenagakerjaan

Peningkatan pendapatan masyarakat bias diterjemahkan sebagai upaya mengurangi

kemiskinan dan pemerataan pendapatan, berarti pengurangan kesenjangan pendapatan

kelompok berpenghasilan rendah dan tinggi. Untuk mengukur perekonomian masyarakat

diperlukan indikator yang dapat mencerminkan keberhasilan di bidang ekonomi. Indikator

tersebut diantaranya dalah indikator ketenagakerjaan.

Penduduk merupakan sumber angkatan kerja, sehingga laju pertumbuhan penduduk

yang tinggi dengan sendirinya akan mencerminkan laju pertumbuhan angkatan kerja yang

tinggi pula. Cepatnya laju pertumbuhan angkatan kerja tentunya akan menimbulkan berbagai

persoalan sosial ekonomi apabila tanpa dibarengi kesempatan kerja yang memadai.

Bertitik tolak dari ketenagakerjaan seperti ini, maka perlu adanya penggalakan

program yang dapat memotivasi masyarakat untuk dapat menciptakan lapangan kerja sendiri

dengan dibarengi pembinaan dari pihak pemerintah sehingga dapat meningkatkan

produktifitas dari pekerja sektor informal ini yang pada akhirnya berarti pada peningkatan

pendapatan mereka sendiri.

Salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga

kerja adalah dengan melihat proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan perubahan bahwa

peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dengan disertainya pergeseran pada struktur

lapangan usaha.

Dari hasil Susenas, diketahui komposisi penduduk yang bekerja menurut lapangan

usaha di Kota Sukabumi didominasi oleh sektor perdagangan dan sektor jasa, sedangkan

sumbangan sektor pertanian dalam hal menyerap tenaga kerja relatif kecil. Kecilnya tenaga

kerja di sektor pertanian selain karena potensi lahan pertanian yang ada di Kota Sukabumi

sangat terbatas juga potensi sumber daya manusia yang ada pada umumnya sudah memiliki

tingkat pendidikan yang relatif tinggi.

Sehingga sangat tepat apabila Kota Sukabumi memiliki visi dan misi sebagai kota

pusat pelayanan jasa perdangan, pendidikan, dan kesehatan. Karena apabila dilihat dari

potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang tersedia sangat mendukung

untuk menjadikan Kota Sukabumi sebagai kota pusat pelayanan jasa.

Page 31: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

3. Kesehatan

Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat

memenuhi kesehatan dasar dan memperoleh pelayanan kesehatan secara merata, mudah dan

murah. Dengan adanya upaya tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat

yang baik, yang pada gilirannya bermuara kepada meningkatnya kesehatan masyarakat secara

umum. Pembangunan yang sedang digiatkan pemerintah diharapkan bisa berakselerasi positif

terhadap derajat kesehatan masyarakat yang digambarkan antara lain dengan angka kematian

ibu, kematian bayi dan anak balita, angka harapan hidup serta angka kelahiran.

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, arah dan kebijakan pembangunan

pada bidang kesehatan tahun 2003 adalah sebagai berikut:

1. Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 40 kematian per 1000 kelahiran dan

penurunan angka kematian Balita (AKABA) menjadi 8 kematian per 1000 anak, melalui

pengembangan/peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan pemberdayaan

masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri menjaga dan memelihara status

Kesehatan individu dan keluarga.

2. Mengupayakan adanya tenaga kerja yang terampil dan profesional.

3. Mengupayakan adanya perlindungan tenaga kerja dan pengawasan upah minimum.

4. Keterlaksananya dalam pengaturan dan penetapan sistem pengupahan (UMK).

5. Peningkatan pembinaan dan penyuluhan norma keselamatan dan kesehatan kerja.

6. Mengupayakan adanya pembinaan rehabilitasi, pelatihan, keterampilan dan pemberian

modal usaha.

7. Peningkatan penyuluhan, bimbingan dan pembinaan usaha kepada korban bencana dan

musibah.

8. Mengupayakan adanya penyuluhan anak jalanan melalui pelatihan dan bimbingan.

9. Penanggulangan tingkat kemiskinan turun 15%.

10. Peningkatan kesehatan jender.

4. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan

keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari

kualitas pendidikan. Pembangunan pendidikan di Kota Sukabumi dititik beratkan pada

peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang pendidikan serta perluasan kesempatan belajar,

Page 32: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

terutama pada jenis pendidikan dasar. Seperti telah diketahui selain aspek kependudukan dan

kesehatan, aspek pendidikan pun memegang peranan penting dalam hubungannya dengan

indikator sosial.

Sebagai wujud tanggungjawab Pemerintah Kota Sukabumi terhadap komitmen

pendidikan, berbagai kebijakan telah ditempuh seperti pencanangan Wajib Belajar 6 Tahun

untuk anak kelompok usia 7-12 Tahun, yang selanjutnya ditingkatkan lagi menjadi Wajib

Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdan) 9 tahun.

Program Pembangunan bidang pendidikan pada tahun 2003 arah dan kebijakan umum

pembangunannya kepada:

- Keterlaksanaan Kurikulum Nasional dan Kurikulum Lokal.

- Peningkatan daya serap Kurikulum Nasional dan Kurikulum Lokal.

- Peningkatan Angka Partisipasi Kasar dan didik.

- Peningkatan Angka Partisipasi Murni, Angka Pendaftaran Siswa dan Survival Rate.

- Penurunan Angka Putus Sekolah dan Angka Mengulang.

- Peningkatan Angka Kelulusan.

- Peningkatan Guru Berkualitas.

- Peningkatan Guru Keahlian.

- Peningkatan Rasio Guru dan Siswa.

- Ketersediaan Lahan, bangunan, peralatan sarana olah raga.

- Peningkatan pembiayaan anggaran yang berasal dari pemerintah dan swadaya

masyarakat.

- Peningkatan kehadiran guru, tenaga administrasi, tenaga pendidikan lainnya dan siswa.

- Peningkatan tertib administrasi dan kinerja sekolah.

- Mengupayakan adanya dukungan komite sekolah, perhatian orang tua, peran serta tokoh

masyarakat dan peran serta dunia usaha.

- Peningkatan prestasi oleh raga sampai pada tingkat nasional.

- Peningkatan peran serta masyarakat.

- Meningkatkan pembinaan terhadap siswa dan pemuda.

- Meningkatkan pembinaan kesenian dan kebudayaan.

- Meningkatkan sarana dan prasarana.

Page 33: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

5. Agama

Pembangunan keagamaan merupakan faktor yang sangat menunjang dalam

membentuk moral kepribadian dalam pelaksanaan pembangunan secara menyeluruh baik

dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat,a dapun beberapa permasalahan

pembangunan keagamaan yaitu masih terdapat perilaku sosial masyarakat yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai agama, disamping itu perlu diwaspadai kemungkinan munculnya konflik

antar umat beragama ataupun intern umat beragama itu sendiri, namun demikian dukungan

keagamaan dalam bentuk sarana ibadah secara komposisi perbandingan cukup baik.

Prioritas pembangunan keagamaan dengan tujuan mewujudkan keadaan yang

harmonis untuk meningkatkan kesadaran umat dalam menajalankan kehidupan beragama.

C. Visi dan Misi Kota Sukabumi

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 18 Tahun 2000 tentang

Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kota Sukabumi Tahun 2001-2005, maka visi yang

ditetapkan yaitu:

“SEBAGAI PUSAT PELAYANAN JASA TERPADU DI BIDANG

PERDAGANGAN, PENDIDIKAN DAN KESEHATAN”.

Perwujudan dari visi tersebut diharapkan dapat tercapai dalam kurun waktu 15 tahun

sampai dengan tahun 2015, dengan indikator keberhasilan adalah Indek Pembangunan

Manusia (IPM) sesuai dengan diamanatkan dalam Propeda 2001-2005. Untuk lebih

memantapkan pencapaian visi tersebut, dalam RENSTRA Kota Sukabumi 2003-2008

ditegaskan Motto Kabupaten Sukabumi, yakni:

“PEMERINTAHAN YANG AMANAH DALAM KERANGKA MEMBANGUN

KOTA SUKABUMI YANG SEJAHTERA”.

Motto di atas sangat relevan dengan visi Walikota dan Wakil Walikota Sukabumi

periode 2003-2008. Pengertian amanah secara umum mengandung makna yaitu

menyelenggarakan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Clean and Good

Governance) melalui prinsip-prinsip parsipatif, akuntabilitas, transparansi dan tanggap atau

responsif terhadap tuntutan masyarakat dan taat pada azas pertanggungjawaban publik dan

diharapkan seluruh aparat pemerintah, lembaga-lembaga sosial, organisasi politik, dan

seluruh lapisan masyarakat (stakeholder) dapat berperan aktif dalam membangun Kota

Sukabumi.

Page 34: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Misi pembangunan Kota Sukabumi mengacu pada visi yang ingin diwujudkan, untuk

itu rumusnya dapat dikelompokkan pada sektor pokok sesuai dengan visi yang ingin dicapai.

Misi Kota Sukabumi adalah:

1. Mendorong usaha kecil dan menengah/koperasi sebagai basis perekonomian rakyat.

2. Meningkatkan kualitas dan produktifitas sumber daya manusia.

3. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui komitmen, kebersamaan

dan pemberdayaan.

4. Memberikan kesempatan memperoleh layanan pendidikan di semua jenjang pendidikan.

5. Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengembangan kemampuan profesional yang

didukung oleh pemerintah dan masyarakat.

6. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu, terpadu dan dikelola secara profesional.

7. Pelaksanaan otonomi daerah dengan penekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta

masyarakat, pemerataan dan keahlian.

8. Mewujudkan aparatur negara yang profesional, berdayaguna, produktif, transparan dan

bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pelayanan kepada masyarakat.

D. Deskripsi Pemimpin Pemerintahan Kota Sukabumi

Sejak tahun 1926 Sukabumi telah dipimpin oleh berbagai suku bangsa sejak dari

jaman Belanda, Jepang sampai jaman Republik, berturut-turut para pemimpin Sukabumi:

a. Jaman Pemerintahan Hindia Belanda

1. Mr. GF. Rambonet, tahun 1926

2. Mr. WM. Ouwekerk

3. Mr. Ala Van Vnen

4. Mr. Wj Ph Van Waning

b. Jaman Jepang (Walokita-Kenco)

1. Raden Rangga Adiwikarta

2. Raden Abas Wilagasomantri

3. Mr. Raden Syamsudin

c. Jaman Republik (Walikota)

1. Mr. Raden Syamsudin

2. Raden Mamun Soeria Hoedaya

3. Raden Ebo Adinegara

4. Raden Afandi Kartajumena

Page 35: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

5. Raden Soebandi Prawiranata

6. Raden Mohammad Soelaeman

7. Raden Soewala

8. Drs. Ahmad Darmawan Adi

9. Saleh Wairadikarta, SH.

10. Soeyoed

11. H. Zainuddin Mulaebary, SH.

12. H. Udin Koswara, SH.

13. Pj. Nuriana

14. Plt. Dra. Hj. Molly Mulyahadi Djubaedi, M.Sc.

15. Dra. Hj. Molly Mulyahadi Djubaedi, M.Sc.

16. H. Mokh. Muslikh, Abdussyukur, SH., M.Si. (Walikota) dan Iwan Kustiawan (Wakil

Walikota).

Page 36: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Respon Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung

(Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008

Latar belakang yang pluralistik dari para pemilih berdasarkan pekerjaan memberikan

banyak informasi bagi peneliti dalam mengidentifikasikan responsivitas. Informasi-informasi

tersebut selanjutnya ditabulasi dan dianalisis serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Hal ini

dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut:

Tabel 4.1

Data Karakteristik Pemilih Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan hasil Penelitian Tahun 2008

No. Pekerjaan Jumlah %

1. PNS 103 14,07

2. Pedagang 178 24,32

3. Mahasiswa/Pelajar 44 6,01

4. Swasta 31 4,23

5. Ibu Rumah Tangga 124 16,94

6. Lainnya 252 34,43

Total 732 100,00

Sumber: Hasil Penelitian, Pebruari 2008

Memperhatikan tabel 4.1 di atas, maka untuk jumlah pemilih pada penelitian ini yang

paling banyak sebesar 34,43% atau sebanyak 252 orang pekerjaannya dalah lain-lain, yaitu

terdiri dari para pensiunan, tukang becak, dan sebagainya. Pedagang sebanyak 178 orang atau

24,32%, ibu rumah tangga, swasta sebesar 16,94% atau sebanyak 124 orang,

mahasiswa/pelajar sebanyak 6,01% atau 44 orang, dan paling sedikit adalah karyawan swasta

sebanyak 4,23% atau 31 orang.

Survey terhadap responden berdasarkan latar belakang pekerjaan di atau membantu

peneliti dalam menentukan frame pengambilan interprestasi terhadap data dan informasi yang

diperoleh dari survey. Muatan informasi yang diperoleh dari responden ibu rumah tangga

akan berbeda interprestasinya dengan responden pedagang atau responden pegawai indusri,

dan berbeda dengan responden mahasiswa/pelajar.

Perbedaan interpretasi antar responden sebagai hasil dari survey tidak akan dibahas

secara mendalam dalam bab ini, akan tetapi hanya menjadi bagian dari indentifikasi

deskpriptif. Perbedaan latar belakang pekerjaan menimbulkan perbedaan responden pemilih

(Vooter) dalam Pilkada di Kota Sukabumi, karena respon yang diperlihatkan oleh pemilih

sangat bergantung dari reaksi persepsi, daya tangkap dan daya nalar mereka terhadap

fenomena pilkada.

Berdasarkan dari seluruh responden adalah mereka digerakan oleh perhatian terhadap

masalah pokok dan relevansi tentang pebijakan umum, tentang prestasi pemerintah, dan

keperibadian eksekutif1. Adapun karakter pemberi suara yang responsip adalah: Petama,

inpermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubah-ubah

terhadap pilihan para pemberi suara. Kedua, dipengaruhi oleh karakteristik sosial dan

demografis mereka, pengaruh yang pada hakekatnya merupakan atribut yang permanen ini

1 Lihat bab 2 hal 18

Page 37: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

tidak deterministik. Ketiga, memiliki kesetiaan kepada partai, tetapi afiliasi ini tidak

menentukan perilaku pemilihan. Indentifikasi partai bagi pemberi suara yang responsif justru

dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan isu yang dipandang dapat membantunya dalam

membuat pilihan. Keempat, lebih dipengaruhi faktor-faktor jangka pendek yang penting

dalam pemilihan umum tertentu dari pada oleh kesetiaan jangka panjang kepada kelompok

dan atau kepada partai.

Karakteristik pemberi suara responsif di atas, hanya merupakan gambaran secara

teoritis sifat-sifat pemberi suara responsif yang tentunya dapat dianalisis lebih lanjut dengan

kondisi pilkada di Kota Sukabumi. Perbandingan-perbandingan diperlukan dalam

mempertajam hasil penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian, dari responden sebanyak 732 orang responden diperoleh

data sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4.2 dan gambar 4.1 sebagai berikut:

Tabel 4.2

Data hasil Penelitian Tahun 2008

No. Pasangan Kandidat Pekerjaan Jumlah

1 2 3 4 5 6 n %

1. Drs. H. Herman Gurnawijaya Machpud, M.Si.

Dra. Hj. Yanti Indri

0 11 0 1 12 14 38 5,2

2. H. Deddy Syafei, SE.

H. Itang Abdulkarim, SH.

1 4 2 0 6 10 23 3,1

3. Ir. H. Yudi Widiana Adia, M.Si.

Iwan Kustiawan

2 29 1 12 12 55 111 15,2

4. H. Mokh. Muslikh Abdussyukur, SH., M.Si. 36 52 27 17 62 81 275 37,6

5. Tidak akan memilih 0 6 0 4 1 0 11 1,5

6. Masih ragu-ragu 25 64 1 10 25 72 197 26,9

7. Masih rahasia 39 12 0 0 6 20 77 10,5

Jumlah 103 178 31 44 124 252 732 100,0

Keterangan:

1 = PNS

2 = Pedagang

3 = Karyawan

4 = Mahasiswa/Pelahar

5 = Ibu Rumah Tangga

6 = Lainnya

Sumber: Hasil Penelitian, Pebruari 2008

Gambar 4.1

Hasil Penelitian Responsivitas Masyarakat pada

Pilkada Kota Tahun 2008

Page 38: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Sumber: Hasil Penelitian, Pebruari 2008

Berdasarkan tabel 4.2 dan Gambar 4.1 di atas, maka terlihat adanya respon dari para

responden terhadap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) Kota

Sukabumi tahun 2008. Beberapa responden yang teridentifikasi yaitu:

1. Akan memilih dan langsung menyatakan dukungan pada pasangan calon;

2. Akan memilih, tetapi rahasia dalam menyatakan pilihannya;

3. Masih ragu-ragu, sambil menunggu proses sosialisasi dalam kampanye;

4. Masih ragu-ragu sambil menunggu ajakan dari teman;

5. Masih ragu-ragu sambil menunggu dana dari calon;

6. Masih ragu-ragu karena takut salah pilih;

7. Tidak akan memilih karena tidak ada pengaruh pada pemilih;

8. Tidak akan memilih, karena tidak ada calon yang cocok;

9. Tidak akan memilih, karena tidak mengenal calon;

10. Tidak akan memilih, karena memang tidak mau memilih.

Responden yang diungkapkan oleh para responden di atas, dapat dideskripsikan ke

dalam 3 (tiga) respon utama yaitu memilih, ragu-ragu dan tidak memilih. Hal ini berarti

masyarakat yang diwakili oleh responden memiliki otonomi dalam mengungkapkan

responnya terhadap pemilihan kepala daerah langsung di Kota Sukabumi.

Tanggapan responden yang mengambil sikap memilih, sikap ragu-ragu dan sikap

tidak memilih didasari sesuati hal yang tidak mungkin dapat terungkap secara eksplisit.

Hanya saja dalam penelitian ini, mungkin saja dapat teridentifikasi berdasarkan temuan-

temuan di lapangan dan kesesuaian teori yang dijadikan pijakan analisis.

Selanjutnya akan diuraikan 3 respon yang dimaksuk sebagai berukut:

1) Respon masyarakat yang mengambil sikap untuk memilih

Mengambil sikap memilih adalah keputusan yang tepat dalam partisipasi politik

dalam Pilkada di Kota Sukabumi. Berbagai slogan, ajakan, liflet dan spanduk yang

digelar oleh organisasi masyarakat (formal/informal) sangat gencar dilakukan dalam

mengajak masyarakat untuk mengambil sikap memilih sebagai berikut “respon positif”.

Beberapa responden menyatakan bahwa dalam mengambil sikap memilih sebagai bentuk

HERMAN - YANTI 5% DEDDY - ITANG

3% YUDI - IWAN 15%

MUSLIKH - MULYONO

38%

Tidan Akan Memilih

1%

Masih Ragu-ragu 27%

Masih Rahasia 11%

Hasil Penelitian Responsivitas Masyarakat pada Pilkada Kota Sukabumi Tahun 2008

(n=732)

Page 39: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

respon positif dalam Pilkada sangat tidak mudah, karena banyak sekali pertimbangan

yang menjadi dasar dalam mengambil sikap memilih tersebut.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut dipengaruhi pula oleh budaya politik

kelompok masyarakat, tingkat pendidikan, pengaruh ketokohan/figur, pemahaman sosial

dan dampak sosialisasi. Secara bertahap proses pertimbangan tersebut menjadi proses

pengambilan keputusan sikap/respon.

Sebagian besar responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa dalam

mengambil sikap memilih lebih banyak berdasarkan logika sederhana yaitu

kefiguran/ketokohan. Hal ini kurang memberikan informasi yang menyenangkan bagi

partai, karena kefiguran/ketokohan dapat meleburkan kelompok-kelomok kepentingan.

Responden menyaakan bahwa kefiguran/ketokohan lebih banyak dilihat ketimbang partai

yang mengusung, sehingga hal ini menjadikan bahan evaluasi total bagi partai-partai

besar yang merasa memiliki basis massa tetap. Dampak/proses pembangunan Kota

Sukabumi dan adanya pejabat walikota (incumbent) yang mencalonkan diri tentu

merubah secara signifikan pola budaya politik yang terbangun selama ini, sehingga wajar

apabila salah satu calon akan lebih dominan dibandingkan calon yang lain.

2) Respon masyarakat yangmengambil sikap untuk ragu-ragu

Mengambil sikap ragu-ragu oleh sebagian kecil responden masih dianggap wajar

dalam sebuah proses demokrasi. Ragu-ragu memang bukan keputusan yang tepat dalam

mewujudkan partisipasi politik dalam Pilkada di Kota Sukabumi. Selama dalam proses

Pilkada, responden yang bersikap ragu-ragu dianggap sebagai floating mass (massa

mengambang) dan menjadi rebutan bagi perolehan suara mengambang yang masih dapat

diumpan dan ditangkap oleh tim sukses masing-masing pasangan calon.

Beberapa responden menyatakan bahwa dalam mengambil sikap regu-ragu dalam

pilkada mereka sadari kurang memberikan respon positif dalam pilkada. Sikap ragu-ragu

pun tidak mudah juga, karena ada juga pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar

dalam mengambil sikap ragu-ragu tersebut.

Selain itu, tampak jelas dari tanggapan responden bahwa mereka belum

mengambil keputusan untuk mementukan pilihannya karena ada beberapa pertimbangan.

Dalam hal ini tampak bahwa kegiatan kampanye dari masing-masing pasangan calon

adalah mutlak dilakukan, agar para pemilih benar-benar mengenal dan mengetahui

program yang akan mereka lakukan bila calon tersebut terpilih sebagai walikota/wakil

walikota Sukabumi.

Para pemilihpun sebagian ada yang mengharapkan, bahwa calon walikota/wakil

walikota memberikan uang kepada para pemilih2 (miney politicas). Kenyataan ini

menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Kota Sukabumi akan memilih calon

walikota/wakil walikota bila calon tersebut memberikan sejumlah uang.

Tentunya masyarakat tersebut berharap demikian, kaena adanya pengalaman pada

kegiatan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah ditempat lain, karena untuk Kota

Sukabumi kegiatan Pemilihan Kepala Daerah/Wakil kepala Daerah secara langsung baru

dilakukan untuk yang pertama kalinya, sehingga dapat dikatakan wajar jika ada

sekelompok masyarakat yang masih menunjukkan keinginan/harapan seperti di atas.

Pertimbangan lainnya dominan dipengaruhi oleh isu-isu lokal yang terkadang

memberikan informasi yang kurang sesuai dengan kenyataan (blakc campaign) atau

belum jelas validitasnya dan ada intervensi/pengaruh kelompok masyarakat yang tidak

mau pilkada di Kota Sukabumi berjalan lancar sesuai koridor aturan dan etika.

2 Identifikasi dilapangan pada saat survey di wilayah Cigugur Tengah Kota Cimahi

Page 40: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

3) Respon masyarakat yang mengambil sikap untuk tidak memilih

Dari jawaban responden ternyata ada 1,50% yang tidak akan memilih. Melihat

angka ini, dari perspektif partisipasi dan pendidikan politik masyarakat Kota Sukabumi

menunjukkan sangat baik, karena dari data yang diperoleh, artinya ada 98,50% dari

seluruh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih (responden) akan menggunakan

hak pilihnya.

Bila dilihat dari jawaban yang diberikan oleh responden tentang alasan tidak

memilih dan bila dihubungkan dengan pekerjaan yang dimiliki oleh responden, yaitu

pedagang 6 orang, mahasiswa/pelajar 4 orang dan ibu rumah tangga 1 orang, maka alasan

yang diberikan memang masuk akal dan masih wajar, karena memang selama ini mereka

tidak pernah berhubungan langsung atau berkepentingan langsung dengan siapapun yang

akan terpilih sebagai Walikota/Wakilwalikota Sukabumi.

Mengambil sikap untuk tidak memilih oleh sekelompok kecil responden dalam

pelaksanaan pemilihan Walikota/Wakil Walikota Sukabumi di atas, dapat dikatakan

masih tahap wajar, jika alasan tidak akan memilih disebabkan oleh responden kurang

mengenal calon dan merasa tidak ada calon yang cocok dengan kriteria atau standar

responden. Karena pada dasarnya setiap responden pemilih memiliki persepsi dalam

menentukan standar tertentu dalam memilih.

Dapat dikatakan kurang wajar, jika responden pemilih mengambil sikap tidak

memilih, dikarenakan alasan jika memilih dan tidak memiih tidak berpengaruh pada

mereka dan yang lebih tidak wajar adalah responden pemilih sudah menyatakan tidak

mau memilih. Dua responden terakhir yang disebutkan ini menunjukkan bahwa

pendidikan politik di Kota Sukabumi dapat diinterpretasikan masih ada yang kurang

menyentuh rasa masyarakat. Walaupun prosentasinya sangat kecil atau kurang dari 1%,

dua sikap terakhir ini harus menjadi bahan evaluasi seluruh stakeholder yang terlibat

dalam Pilkada di Kota Sukabumi, jangan sampai angkanya meningkat dalam pelaksanaan

pemilu-pemilu yang akan datang.

Tidak memilih bukan keputusan yang tepat dalam proses politik di manapun,

termasuk Kota Sukabumi. Realitas politik memperhatikan hal-hal yang mengejurkan dari

respon pemilih selama dalam proses Pilkada di Kota Sukabumi, salah satunya adalah ada

responden yang bersikap tidak mau memilih gara-gara partainya berkoalisi dengan partai

lain yang dianggap tidak sepaham. Beberapa responden menyatakan bahwa dalam

mengambil sikap tidak memilih dalam Pilkada mereka sadari kurang baik dalam

memberikan respon positif dalam Pilkada. Sikap tersebut pun dipengaruhi pertimbangan-

pertimbangan yang sulit diungkapkan secara eksplisit. Selain itu, tanggapan responden

yang mengambil keputusan untuk tidak memilih terkadang disebabkan oleh himpitan

kebutuhan ekonomi, artinya responden merasa selama ini banyak pelaku politik

meninggalkan mereka untuk tetap terpuruk oleh kondisi ekonomi di bawah standar

kelayakan hidup sejahtera.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Responsivitas Pemilih pada Pemilihan Kepala

Daerah/Wakil Daerah di Kota Sukabumi Tahun 2008

Responsivitas pemilih pada Pilkada Kota Sukabumi dipengaruhi oleh beberapa faktor

yang dapat diidentifikasi berdasarkan hasil survey terhadap responden masyarakat pemilih

(n=732). Dengan merujuk kepada data hasil survey yang diperlihatkan pada tabel 4.2 di atas,

tampak bahwa pasangan calon yang secara eksplisit adalah incumbent menduduki posisi

teratas perolehan tanggapan dari responden ditambah beberapa ungkapan responden yang

Page 41: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

menyatakan rahasia dan ragu-ragu, dalam setiap akhir tanggapannya secara garis besar

menyatakan incumbent masih menjadi pertimbangan responden.

Trend responsivitas pemilih masih dapat berubah setiap waktu, akan tetapi deskripsi

hasil penelitian dominan masih ditujukan kepada incumbent. Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi perubahan tanggapan/respon yang diperlihatkan oleh responden di Kota

Sukabumi. Apalagi dengan melihat hasil survey yang prosentasenya banyak ditujukan dan

mengarah kepada calon incumbent, sudah menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi

realitas tersebut.

Dengan mengkolaborasikan analisis data kualitatif yang diawali dari hasil survey dan

wawancara terbatas terhadap beberapa responden yang bisa ditemui dilapangan, maka dapat

digambarkan pada gambar 4.2 trend faktor yang dapat menjadi pendorong perubahan respon

dari pemilih di Kota Sukabumi, yaitu:

Gambar 4.2

Kurva Trend Faktor yang Mempengaruhi Resposivitas Pemilih

Di Kota Sukabumi Tahun 2008

Keterangan:

F1 = Identifikasi

F2 = Orientasi kandidat

F3 = Kepemimpinan

F4 = Agama/isu/Program

Selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut:

Pertama, faktor kepemimpinan. Berdasarkan hasil survey tanggapan responden faktor

kepemimpinan menempati kurva tertinggi, hal ini disebabkan incumbent memiliki pengaruh

kepemimpinan (leadership) yang berkorelasi kuat terhadap orientasi responden. Responden

akan cenderung mendasarkan pilihannya pada pertimbangan mengenai kepala daerah yang

memiliki nilai-nilai kepemimpinan yang visioner, pola kepemimpinan yang populis,

akomodatif dan berhasil memperlihatkan kondisi nyata proses pembangunan di Kota

Sukabumi.

Kedua, pengnalan kandidat. Calon Kepala Daerah di Kota Sukabumi yang diinginkan

oleh responden adalah memiliki track record, kompetensi, moralitas, mentalitas, popularitas,

Page 42: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

dan kinerja kandidat. Hal ini sudah cenderung mengarah ke incumbent sebagai kandidat yang

sudah menjadi public figure. Karena sosialisasi diri dan performance sudah diadopsi oleh

responden dalam jangka waktu yang cukup lama.

Ketiga, faktor agama/orientasi isu/program. Orientasi sosio-religious masih

berkolerasi terhadap responden dalam memilih calon kepala Daeah di Kota Sukabumi.

Responden akan cenderung memilih calon yang se-agama atau diusung partai berlabel agama

(Islam) dan respoden cenderung untuk memilih berdasarkan sosialisasi program atau isu. Hal

ini ternyata berada dalam satu paket orientasi yang tereduksi dalam visi dan misi calon

kandidat.

Keempat, faktor identifikasi. Kecenderungan ini mengarah kepada clon yang diusung

oleh responden dengan mempertimbangkan untuk melihat persamaan identitas antara pemilih

dan yang dipilih. Artinya, responden mempertimbangkan calon Kepala Daerah di Kota

Sukabumi memiliki identitas yang sama dengan identitas pemilih. Untuk Pilkada di Kota

Sukabumi identitas ini cenderung kepada persamaan politik dan sosial budaya. Artinya calon

yang diusung oleh banyak partai (terutama partai besar) akan cenderung menjadi pilihan

responden di Kota Sukabumi ditambah entitas kesukuan masih kuat dalam Pilkada Kota

Sukabumi.

Page 43: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Responsivitas masyarakat/responden yang mengambil sikap untuk memilih, baik

langsung dinyatakan untuk keempat pasangan calon maupun yang masih rahasia sebesar

71%, sedangkan yang mengambil sikap ragu-ragu dengan alasan tertentu sebesar 26,9%

dan sisanya sebesar 1,5% responden tidak akan memilih. Hal ini menunjukkan

responsivitas pemilih (responden) dapat dikatakan masih tinggi untuk Pemilihan Kepala

Daerah di Kota Sukabumi atau 98,5% responden dipastikan kan memilih atau ikut

berpartisipasi dalam Pilkada Kota Sukabumi yang tepatnya akan dilaksanakan pada hari

Sabtu, 8 Maret 2008.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi responsivitas pemilih berdasarkan hasil penelitian

yaitu: Pertama, faktor kepemimpinan, menempati kurva tertinggi, hal ini disebabkan

incumbent memiliki pengaruh kepemimpinan (leadership) yang berkorelasi kuat terhadap

orientasi responden. Kedua, Pengenalan kandidat. Calon Kepala Daerah Kota Sukabumi

yang diinginkan oleh responden adalah memiliki track record, kompetensi, moralitas,

mentalitas, popularitas, dan kinerja kandidat. Ketiga, faktor agama/orientasi isu/program.

Orientasi sosio-religious masih berkolerasi terhadap responden dalam memilih calon

Kepala Daerah di Kota Sukabumi. Keempat, faktor identifikasi. Artinya, responden

mempertimbangkan calon kepala daerah di Kota Sukabumi memiliki identitas yang sama

dengan identitas pemilih yang cenderung kepada persamaan politik dan sosial budaya,

yaitu calon yang diusung oleh banyak partai (terutama partai besar) dan entitas

keagamaan akan cenderung menjadi pilihan responden dalam Pilkada Kota Sukabumi.

B. Saran

1. Memperhatikan kesimpulan di atas, maka masih diperlukan sosialisasi yang komprehensif

dan berkelanjutan selama proses pemilihan Walikota/Wakil Walikota Sukabumi yang

dapat dilakukan oleh KPU sebagai lembaga penyenggaran Pilkada, Tim Sukses masing-

masing Calon Walikota/Wakil Walikota dan stakeholders lain yang memiliki tanggung

jawab dan kewenangan dalam suksesnya Pilkada di Kota Sukabumi.

Page 44: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi responsivitas pemilih, dapat diidentifikasi oleh seluruh

stakeholders yang terlibat dalam pemilihan Walikota/Wakil Walikota Sukabumi dalam

melakukan evaluasi internal dan eksternal, sehingga menemukan kekurangan dan

kelebihan masing-masing stakeholders.

3. Bagi masing-masing pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota beserta tim suksesnya

harus memanfaatkan kampanye dengan sebaik-baiknya, serta menjelaskan visi dan

misinya, karena hal ini akan menjadi pertimbangan bagi para pemilih pada saat Pilkada

berlangsung.

Page 45: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Almond, Gabriel A. 1974. Comparative Politics to Day: A wor;d View, :ittle Brown and Co,

Boston.

Sanit, Arbi. 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi, editor Prasetyo – Yogyakarta: Ghalia

Indonesia.

Azhar, Ipong S. 1997. Benarkan DPR Mandul: Pemilu, dan DPR Masa Orde Baru,

Yogyakarta: Bigraf Publising.

Bogdan, Robert dan Taylor, Steven J. 1993. Penerjemah A. Khozhin Afandi, Kualitatif

Dasar-dasar penelitian: Surabaya: PT. Usaha nasional.

Bone, Hugh A, Austin Ranney. 1971. Politics and Voters, Third Edition New York: Mc.

Graw-Hill Book Company.

Budiarjo, Mariam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Combs, James E. Nimmo, Dan. 1993. Propaganda Baru, Bandung: Remaja Rosda karya.

Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan para Pengeritiknya, jilid III/Robert A. Dahl,

penerjemah dan Kata Pengantar: A. Rahman Zainuddin, Jakarta: yayasan Obor

Indonesia.

Duverger, Maurice. 1951. Partai Politik dan kelompok Penekan/Maurice Duverger,

diterjemahkan Laila Hosglun, disunting dan diantar oleh, Affan Gaffat. Jakarta: Bina

Aksara.

Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi/Afan Gaffar, editor,

Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

_______, 1992. Javannes Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party

System,: Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Huntington, Samuel P dan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta:

Rineka Cipta

_________, 1994. Partisipasi Politik Penerjemah Saat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta

Karya.

_________, 1997. Gelombang Demokrasi Ketiga, Penerjemah, Asril Marjonah, Pustaka

Utama Grafik.

Liddle R, William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta:

LP3ES.

Page 46: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

__________, 1992. Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES.

Nimmo, Dan. 1970. Political Persuaders. New York: Printice-Hall, Engliwood Cliffs.

Nursal Adman, 2004. Political Marketing: Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama.

Reitman, Alan and Robert B. Davidson 1980. The Election Process: Law of Public Election

Campaigns, New York: Oceana Publication Inc, Dobbs Ferry.

Richard Rose. 1974. Electoral Behaviour, New York: The Free Pressw A Division Of

Macmillan Publishing. Co.Inc.

Sanit, Arbi. 1980. Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan, Jakarta: Yayasan

Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI.

Saragih, Bintan R. 1997. Masyarakat dan Sistem Pemilu Indonesia, dalam Evaluasi Pemilu

Orde Baru, Jakarta: LIP Fisip UI, Nizan.

Thoha. Miftah. 1988. Perilaku Organisasi, Jakarta: Rajawali

Turmedi Endang, 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKIS.

Yeric, Jerry L. John R. Todd. 1993. Public Opinion The Visibble Poltics, Illinois: Peacock,

Publisher.

Makalah/Artikel

Redjo, Samugyo Ibu. 1996. Persepsi Masyarakat Kotamadya Bandung dalam Menghadapi

Pemilu. Laporan Penelitian Fisip (Unpad)

Santoso, Topo. 2004. Anggota Panitia Pangawas Pemilihan Umum. Kandidat PhD pada

University of Malaya. Harian Cendrawasih 28 November 2004.

Dokumen Pemerintah Kota Cimahi:

BPS, Kota Cimahi Dalam Angka, tahun 2005.

Data Monografi Kecamatan, tahun 2004.

Undang-undang:

UUD 1945 Amandemen

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 12 tahun 2003, tentang Pemilu Anggota DPRD,

Undang-undang Nomor 31 tahun 2002, tentang Partai Politik.

Undang-undang Nomor 9 tahun 2001, tentang Pembentukan Kota Cimahi.

Page 47: BAB I - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/...dalam-pemilihan-kepala-daerah.pdf · sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu ... Bagaimana

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,

dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.