BAB I PENGANTAR -...

28
1 PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Bong Suwung merupakan sebuah kawasan hunian liar yang menempati lahan kosong di sepanjang jalur rel kereta api di sisi barat stasiun Tugu Yogyakarta dengan berbagai aktifitas ilegal di dalamnya. Ingatan kolektif masyarakat Kota Yogyakarta memandang Bong Suwung sebagai sebuah paradoks yang terus berlanjut dari sebuah kota. Sejak 2013, Bong Suwung atau sekarang dikenal dengan Ngeril menjadi hangat kembali dengan rencana penggusuran oleh PJKA sebagai bagian dari rencana penataan kawasan pusat perbelanjaan dan wisata kawasan Malioboro ke arah stasiun Tugu 1 . Bagaimana kondisi perkembangan Bong Suwung dari periode awal hingga sekarang dalam bertahan menghadapi penguasa dan dinamika keseharian ditengah stigma terhadap masyarakat miskin kota merupakan perhatian dari kajian penelitian ini. Keberadaan komunitas miskin kota yang membentuk hunian liar di Kawasan Bong Suwung dianggap meresahkan warga kota oleh penguasa sehingga berbagai upaya penertiban dan penggusuran dilakukan melibatkan aparat. Keberadaan para pemukim liar 1 PJKA merencanakan penggusuran lapak-lapak di Bong Suwung sejak 1 Mei 2010, tetapi belum terwujud hingga sekarang. Komunitas masyarakat penghuni Bong Suwung melakukan perlawanan dengan mengadukan perihal penggusuran ke DPRD untuk dimediasikan dengan PJKA (Koran Sindo, 16 Juli 2013, Harian Jogja, 17 Juli 2013) . Rencana Penggusuran ini tidak lepas dari Kebijakan Pemerintah Kotamadya Yogyakarta merencanakan pembenahan Kawasan Pusat Kegiatan Ekonomi dan Pariwisata di Malioboro dan sekitarnya termasuk Stasiun Tugu sebagai sentra layanan transportasi publik, pusat perbelanjaan modern dan parkir sebagai upaya optimalisasi sentra layanan publik kota Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata di Asia Tenggara seperti diatur dalam Perda Provinsi DIY no. 28 Tahun 2010 tentang RPJP Daerah Istimewa Yogyakarta 2009 2029 bdk Dokumen Pembenahan Malioboro Tahun 1983.

Transcript of BAB I PENGANTAR -...

Page 1: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

1

BAB I

PENGANTAR

A. LATAR BELAKANG

Bong Suwung merupakan sebuah kawasan hunian liar yang menempati lahan

kosong di sepanjang jalur rel kereta api di sisi barat stasiun Tugu Yogyakarta dengan

berbagai aktifitas ilegal di dalamnya. Ingatan kolektif masyarakat Kota Yogyakarta

memandang Bong Suwung sebagai sebuah paradoks yang terus berlanjut dari sebuah kota.

Sejak 2013, Bong Suwung atau sekarang dikenal dengan Ngeril menjadi hangat kembali

dengan rencana penggusuran oleh PJKA sebagai bagian dari rencana penataan kawasan

pusat perbelanjaan dan wisata kawasan Malioboro ke arah stasiun Tugu1. Bagaimana

kondisi perkembangan Bong Suwung dari periode awal hingga sekarang dalam bertahan

menghadapi penguasa dan dinamika keseharian ditengah stigma terhadap masyarakat

miskin kota merupakan perhatian dari kajian penelitian ini.

Keberadaan komunitas miskin kota yang membentuk hunian liar di Kawasan Bong

Suwung dianggap meresahkan warga kota oleh penguasa sehingga berbagai upaya

penertiban dan penggusuran dilakukan melibatkan aparat. Keberadaan para pemukim liar

1 PJKA merencanakan penggusuran lapak-lapak di Bong Suwung sejak 1 Mei 2010, tetapi belum

terwujud hingga sekarang. Komunitas masyarakat penghuni Bong Suwung melakukan perlawanan dengan

mengadukan perihal penggusuran ke DPRD untuk dimediasikan dengan PJKA (Koran Sindo, 16 Juli 2013,

Harian Jogja, 17 Juli 2013) . Rencana Penggusuran ini tidak lepas dari Kebijakan Pemerintah Kotamadya

Yogyakarta merencanakan pembenahan Kawasan Pusat Kegiatan Ekonomi dan Pariwisata di Malioboro dan

sekitarnya termasuk Stasiun Tugu sebagai sentra layanan transportasi publik, pusat perbelanjaan modern dan

parkir sebagai upaya optimalisasi sentra layanan publik kota Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata di Asia

Tenggara seperti diatur dalam Perda Provinsi DIY no. 28 Tahun 2010 tentang RPJP Daerah Istimewa

Yogyakarta 2009 – 2029 bdk Dokumen Pembenahan Malioboro Tahun 1983.

Page 2: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

2

di Bong Suwung di sebelah barat stasiun kereta api Tugu Yogyakarta secara teoritik

merupakan ekses pertumbuhan Kota Yogyakarta yang dihadapkan dengan problem sosial

seperti keterbatasan ruang untuk permukiman. Sebagai perbandingan, Basundoro

memberikan gambaran senada tentang kondisi orang miskin Surabaya di Kawasan

Kembang yang menduduki lahan pekuburan yang seharusnya merupakan lahan orang

mati2. Para pendatang yang tidak memiliki akses ruang dan secara ekonomi terbatas ini

kemudian mendirikan hunian-hunian semi permanen di atas tanah kosong bekas kuburan

etnis Tionghoa. Menurut ingatan kolektif masyarakat setempat lokasi Bong Suwung pada

masa kolonial menjadi tempat eksekusi mati para penjahat kota sebuah lokasi penuh semak

belukar yang banyak ditumbuhi ilalang dan rerumputan. Belakangan sejak 1970an,

kawasan Bong Suwung menjadi tujuan para pendatang yang tidak memiliki akses tempat

tinggal dan pekerjaan formal. Para pendatang tersebut membentuk komunitas Bong

Suwung dan mengembangkan aktifitas ekonomi di sektor informal dengan berdagang,

prostitusi dan perjudian sebagai sumber penghidupannya3.

Kawasan Bong Suwung dikenal sebagai daerah hitam sebagai sarang penjahat dan

berbagai tindak kriminal. Dalam ingatan beberapa orang tua jika malam hari, hampir tidak

ada yang berani melewati kampung sekitar Bong Suwung karena alasan keamanan.

Kemudian lahir kebijakan pembersihan kelompok yang dianggap pengganggu “keamanan

dan ketertiban” dengan Operasi Pemberantasan Keamanan4 (OPK) yang dilakukan

2 Purnawan Basundoro, Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang kota Surabaya, 1900 -1960-an,

Disertasi S3 Sejarah, Program Studi Humaniora, Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta,

2011 hlm. 2-5

3 Wawancara Jati Nugroho (58 thn), 18 Oktober 2013.

4 Berburu Gali di Yogyakarta. Tempo, no. 7, 16 April 1983.

Page 3: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

3

Kopkamtib dikenal dengan penembakan misterius atau petrus, terhadap mereka yang

dianggap sebagai „gali‟.5 Mayatnya kemudian dimasukan dalam karung dan dibuang

ditempat umum sebagai terapi kejut (shock therapy). Sebagian besar target OPK adalah

bagian tidak terpisahkan dari komunitas miskin kota yang tinggal di lorong-lorong sempit,

menempati lahan Bong Cina dan kampung-kampung pinggir kali. OPK ini merupakan

sekuel sejarah gelap yang belum terungkap secara transparan. Sebuah peristiwa

pengadilan jalanan, eksekusi tanpa pengadilan, sekitar tahun 1982-1985 yang dilakukan

oleh Kekuasaan. Penghilangan nyawa mereka yang (dianggap) sebagai kelompok orang

yang „mengganggu ketentraman dan ketertiban‟ dalam sistem politik pemerintah Orde

Baru menjadi deretan sejarah kekerasan struktural yang dilakukan oleh penguasa tanpa

pengadilan yang mengundang keprihatinan setelah tragedi politik 1965. Peristiwa ini

merefleksikan bagaimana pemerintah mengkonstruksi sejarah komunitas miskin kota yang

tidak lebih dari „sampah masyarakat‟ dan perlu diwaspadai. Kisah mereka menjadi bagian

integral dari sejarah sosial komunitas Bong Suwung dan masyarakat kampung Badran

yang menghadapi permasalahan sosio spatial, sosio-ekonomi dan sosio-politik pada

pemerintahan rezim Soeharto hingga masa reformasi.

Menurut berbagai kajian, gejala hunian liar merupakan bagian dari sejarah

modernisasi kota yang mendorong arus migrasi penduduk dari desa ke kota-kota besar di

Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lain. Proses urbanisasi merupakan

dampak dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berpusat di perkotaan, dan kebijakan

revolusi hijau yang menuntut rasionalisasi pekerjaan dan berakibat lahirnya pengangguran

5 Istilah gali ini merupakan akronim Gabungan Anak Liar Indonesia, yang secara sosial hidup di

perkotaan sebagai orang yang ditakuti dan memiliki „kekuasaan‟ mengatur tata kehidupan di luar kontrol

penguasa.

Page 4: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

4

di pedesaan. Oleh karenanya, banyak angkatan kerja dari penduduk pedesaan tergerak

untuk mencari penghidupan di kota, sementara pemerintah kota tidak siap dengan

pelayanan fasilitas perumahan bagi kaum migran. Disamping karena alasan rendahnya

ketrampilan para pendatang, mereka tidak bisa masuk dalam sistem formal. Gelombang

urbanisasi pada 1970 – 1980an merupakan dampak dari ketimpangan sistem pembangunan

pemerintah Orde Baru yang memprioritaskan pertumbuhan perekonomian Indonesia

memusat di kota-kota besar dan intensifikasi sistem pertanian pedesaan.

Dalam sejarah Indonesia, fenomen urbanisasi ke kota besar bukan hal baru. Sejak

paruh abad ke-20, kota-kota di Indonesia berkembang sebagai akibat perkembangan

industri perkebunan dan pembangunan alat transportasi kereta api sebagai pendukungnya.

Dampaknya perkembangan kota-kota melahirkan kelompok miskin yang disebut sebagai

gelandangan dan pengemis. Kelompok miskin ini mengais rejeki di sekitar pasar, stasiun

kereta api dan tempat-tempat pekuburan. Kelompok ini dalam terminologi Jawa disebut

sebagai:wong kere, atau wong kramatan – karena mereka memilih bertempat tinggal di

dekat makam-makam, untuk meminta sedekah dari peziarah. Terdesak oleh keadaan

menyebabkan sebagian dari kelompok ini berprofesi sebagai pencuri atau pekerja seks.

Menurut Purwanto, gelombang gelandangan ini meningkat jumlahnya secara tajam sejak

pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan. Di Jakarta, mereka banyak ditemukan di

dekat pasar atau stasiun, terutama di sekitar Jatinegara, Pasar Senen dan Tanah Abang6.

Persoalan sosio-ekonomi menjadi motif utama kenapa orang bermigrasi ke kota, mencari

penghidupan lebih baik meskipun realita berbicara sebaliknya.

6 Bambang Purwanto. Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial

Indonesia, dalam:Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru Penulisan

Sejarah Indonesia(Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008), hlm. 263-264

Page 5: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

5

Para gelandangan atau kaum miskin kota berperan penting selama revolusi fisik.

Saat perang revolusi, sebagian besar penduduk kota, meninggalkan wilayah perang yang

dikuasai sekutu dan mencari tempat yang lebih aman. Dalam taktik perang gerilya, tidak

sedikit para pejuang yang menyamar sebagai pengemis agar lolos dari kejaran tentara

sekutu. Dengan cara ini komunikasi antara wilayah sekutu dan wilayah yang dikuasai

republik tetap terjalin. Tidak sedikit pula, menurut Denis Lombard7, akibat pengaruh

pejuang kota, para pengemis di Jawa, khususnya di Yogyakarta, ada yang terlibat secara

aktif dalam perang gerilya.

Sejak Indonesia merdeka, khususnya pada tahun 1970an terjadi arus urbanisasi

mengalir ke pusat kota Yogyakarta dari pedesaan sekitarnya untuk mencari pekerjaan.

Akan tetapi, ketersediaan peluang kerja tidak sebanding dengan jumlah pendatang,

disamping pertumbuhan angkatan kerja baru penduduk kota Yogyakarta yang tidak

tertampung di dunia kerja formal. Akibatnya angkatan kerja ini berupaya menciptakan

lapangan pekerjaan sendiri di sektor informal dengan memanfaatkan kemajuan kehidupan

kota8. Apakah keberadaan Bong Suwung terkait dengan kondisi tersebut? Bagaimana

komunitas ini mengembangkan strategi dan siasat hidup di kota dalam perkembangan

ruang kota Yogyakarta?

Komunitas marginal kota yang menempati lahan Bong Suwung bertahan hidup dari

residu perkembangan kota dan merebut ruang-ruang kosong lahan pekuburan untuk tempat

tinggal dan membangun sumber penghidupan. Mereka berkontestasi dengan pemegang

otoritas negara. Sejarah Kota Yogyakarta pasca proklamasi kemerdekaan tidak bisa

7 Denis Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya ( Jakarta: Gramedia, 2005).

8 Tadjuddin Noer Effendi, Permukiman Kumuh: Gelaja dan alternatif Kebijakan. Kompas, 10 Juli

1987.

Page 6: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

6

dilepaskan dari keberadaan kelompok sub-altern yang menduduki lahan-lahan kosong di

sepanjang jalur rel kereta api, pinggir-pinggir Sungai Code, Winongo dan Gajah Wong

sebagai bagian dari perkembangan perkotaan Yogyakarta. Hunian liar berkembang pesat di

Kota Yogyakarta sebagai bagian dari belum jelasnya sebagian status penguasaan lahan

(land-use) di kota Yogyakarta sebagai daerah istimewa khususnya tanah-tanah SG (Sultan

Ground) dan memberikan peluang para pendatang melakukan pendudukan atas tanah-tanah

tersebut9 .

Komunitas Bong Suwung hidup mengelompok membentuk kerumunan dengan

cara menduduki tanah-tanah terlantar dan tidak terurus di kanan-kiri jalur rel kereta api, di

atas tanah-tanah wedi kengser milik negara, atau milik Sultan yang belum difungsikan

dan di tanah-tanah yang peruntukannya bukan sebagai tempat tinggal, seperti kuburan etnis

Tionghoa. Kerumunan tempat tinggal seperti ini disebut sebagai hunian liar (urban

squatters)10

.

Karakteristik dari hunian liar ini berbeda dengan perumahan yang dibangun dengan

rencana tata ruang kota yang memperhatikan fasilitas-fasilitas perkotaan seperti listrik,

tilpun, pembuangan air (drainase), sanitasi lingkungan, ruang terbuka hijau, seperti daerah

hunian-hunian elite di kawasan Kota Baru, sisi sebelah timur Kali Code, perumahan di

daerah Sagan, dan Pingit yang dirancang pada abad 20 sebagai kawasan perumahan oleh

arsitek ternama Thomas Kaarsten11

dengan mempertimbangkan aspek perencanaan tata

9 A. Ima‟an Sukri, Cahyadi Joko Sukmono, dkk., Masa Depan Yogyakarta Dalam Bingkai

Keistimewaan (Yogyakarta: Parwi Foundation,2002), hlm. 47-52.

10 Squatter adalah seseorang yang menghuni tanah publik atau tanah yang tidak jelas siapa

pemiliknya.

11 Thomas Kaarsten adalah figure perancang kota-kota satelit zaman kolonial pada awal abab 20

yang sangat memperhatikan aspek-aspek perumahan dengan konsep ideal seperti, infrastruktur memadai,

Page 7: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

7

kota yang nyaman, sehat, dan tertata sebagai ruang tinggal bagi warga kelompok

masyarakat kelas atas. Sebaliknya, kerumunan hunian liar ini membangun kelompoknya

dengan cara yang samasekali berbeda. Sebagai kelompok yang termarjinalkan oleh

dominasi kekuasaan, mereka menciptakan siasat tersendiri untuk mendapatkan pengakuan

dan hak sebagai bagian dari warga yang tidak terfasilitasi oleh Negara.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Permasalahan utama penelitian ini membahas tentang perkembangan keseharian

dan perubahan di Bong Suwung dari sebuah wilayah yang awalnya dihuni komunitas ilegal

menjadi permukiman terorganisir dalam berbagai dimensi kehidupan mereka yang

dalamnya tetap berkembang aktifitas bawah tanah. Pembahasan kondisi Bong Suwung

tersebut meliputi; pertama, Bong Suwung sebagai bagian dari perkembangan ruang kota

Yogyakarta, sejak kapan dan bagaimana Bong Suwung menjadi bagian perkembangan

kota? Mengapa Bong Suwung berkembang di Kota Yogyakarta, faktor-faktor apa yang

ikut menentukan keberdaan Bong Suwung? Siapa saja kelompok yang mendapatkan

kehidupan dari Bong suwung? Apa yang dilakukan oleh penguasa terhadap perkembangan

komunitas Bong Suwung?

Kedua, dinamika keseharian komunitas Bong Suwung dalam interaksi dan

interelasi dengan lingkungan sekitar. Bagaimana strategi mereka menghadapi pemangku

kekuasaan dengan ancaman penggusuran? Bagaimana komunitas Bong Suwung bersiasat

sanitasi, drainase, jaringan sarana prasarana, ruang pubilk, dan ruang terbuka hijau. Sementara pasca

Indonesia merdeka, perkembangan kota tidak terencana dan mengalir organik, seperti kasus pertumbuhan

hunian-hunian liar yang marak di berbagai sudut kota Yogyakarta menyuguhkan pemandangan kontras

dengan kawasan elite perkotaan. Lih. Thomas Kaarsten dalam Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia oleh

Julianto Sumalyo (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1993), hlm. 39 – 48.

Page 8: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

8

secara ekonomi dan politik dalam memperjuangkan hak-hak hidupnya sebagai pribadi atau

kelompok dalam menghadapi penguasa? Siapa saja (agency) yang terlibat dalam

memperjuangkan eksistensi mereka? bagaimana negara „hadir‟ atau tidak hadir dalam

memperjuangkan kehidupan komunitas Bong Suwung? Pertanyaan-pertanyaan tersebut

menjadi kerangka untuk membangun narasi sejarah sosial Bong Suwung di Kota

Yogyakarta dalam ruang lingkup 1970an – awal abad 21.

C. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk memahami sejarah komunitas, khususnya

historiografi orang biasa (common people) komunitas miskin kota yang tinggal di lahan-

lahan kosong sebagai bekas pekuburan Cina (Bong Cina) Kota Yogyakarta. Kajian sejarah

komunitas ini bermaksud memberikan sudut pandang tertentu tentang perkembangan

sebuah kota dari perspektif orang biasa. Penulisan sejarah dari dimensi-dimensi keseharian

orang-orang yang ”tidak punya sejarah” dalam istilah Eric Wolf12

atau orang-orang biasa

menjadi salah satu motivasi utama dari penelitian ini. Pengembangan perspektif sejarah

komunitas sebagai unit kajian seperti yang dikembangkan Sartono Kartodirjo melalui

pendekatan multidimensi13

dalam pengembangan sejarah kontemporer menjadi perlu

dalam mengembangkan historiografi Indonesia.

12

Definisi “Sejarah dari orang-orang yang tidak punya sejarah” merujuk pada pengertian yang

dikembangkan oleh Eric Wolf yang dialamatkan pada budak atau orang-orang non-Eropa yang tidak

memiliki tradisi tulisan sejarah secara formal, dan penegasan Wolf bahwa orang-orang non-Eropa menjadi

bagian aktif dari sejarah dunia, bukan hanya statis. lih. Eric Wolf, Europe and The People without History,

1983

13 Sartono kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia,

1992), hlm. 66.

Page 9: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

9

Penelitian ini bertujuan memberikan suatu sumbangan bagi kajian sejarah

Indonesia dari realitas-realitas historis mikro yang masih terbatas dikaji para peneliti

sejarah umumnya dan kini menunjukkan perkembangan minat dan gerakan historiografi

Indonesia baru seperti yang dirintis sejarahwan Bambang Purwanto14

, Henk Schulte

Nordholte15

, Adrian Vikers16

, dan sejarahwan kontemporer Asia lainnya. Pengalaman

lokalitas di komunitas Bong Suwung Kota Yogyakarta sebagai bagian dari realitas sejarah

perkotaan dalam historiografi Indonesia modern.

D. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam historiografi Indonesia modern, penulisan sejarah komunitas marginal kota

masih terbatas. Tulisan Purwanto17

tentang sejarah keseharian masyarakat di Jakarta paruh

awal abad 20 merupakan terobosan baru penulisan sejarah dengan kesadaran membangun

praktik dan wacana baru tentang kehidupan orang-orang kecil di belantara kota besar

dengan segala bentuk himpitan dan tekanan dari berbagai dimensi; politik, sosial-ekonomi

maupun sosio-spasial. Penulisan sejarah orang-orang biasa dapat membuka ruang untuk

mengkonstruksi identitas kemanusiaan dan peradaban sebagai wacana alternatif dari

dominasi historiografi politik dalam historiografi Indonesiasentris18

. Sebuah pendekatan

12

Bambang Purwanto. Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah

Sosial Indonesia, dalam:Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Saptari Ratna. Perspektif Baru

Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: YOI dan KTLIV, Bali: Pustaka Larasan, 2008)

15 Ibid.

16 Adrian Vikers dalam menyusun Historiografi Indonesia modern memanfaatkan berbagai sumber-

sumber non tertulis seperti karya fiksi novel, foto, catatan harian, peta, dan kelisanan sebagai sumber

sejarah. Lih. Adrian Vikers, A History of Modern Indonesia (Cambrige: Cambrige University Press, 2005).

17 Bambang Purwanto, Op.cit. hlm 245-276

18 Wacana kritis tentang historiografi Indonesiasentris secara khusus telah digulirkan di kalangan

sejarawan Indonesia oleh Bambang Purwanto dalam bukunya: Gagalnya Historiografi Indonesiasentris!,

(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006).

Page 10: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

10

untuk menggali narasi-narasi kecil yang berceceran menjadi sebuah bingkai narasi tertentu

yang bermanfaat dalam membangun sebuah peradaban bangsa.

Kajian sejarah komunitas subaltern dipengaruhi oleh karya seorang ahli linguistik

Gayatri Spivak yang menarasikan secara kritis sistem kasta (cast system) di India. Sebuah

kritik atas praktik ketidakadilan budaya patriarki terhadap kelompok perempuan yang

mengalami hegemoni kultural dalam hierarki kasta sekaligus ketidakberdayaan dari

penindasan kapital dan kolonialisme19

. Pemikiran Spivak kemudian menginspirasi para

ilmuwan di Asia mengembangkan pemikiran dekonstruksi sebagai alternatif penulisan

sejarah Asia. Sejarah hidup komunitas miskin kota yang masuk dalam komunitas sub-

altern, komunitas marginal yang mengalami ketidakberdayaan secara sosial-ekonomi,

kultural dan politik membangun sebuah kelas tersendiri yang „bebas‟ dari kriteria nilai

komunitas yang dibangun oleh kelas penguasa baik elit lokal maupun asing, sebagai

pemegang kontrol atas kehidupan bersama. Kajian sejarah orang biasa masih terbatas

dilakukan para sejarahwan professional. Kajian-kajian sejarah Yogyakarta khususnya

banyak didominasi oleh kajian sejarah elit kekuasaan seperti kajian Heather Sutterland

(1983)20

tentang terbentuknya elite birokrasi, Riyadi Gunawan dkk mengkaji sejarah sosial

DIY awal abad 20 (1993)21

, Selo Sumardjan (1988) tentang perubahan sosial Yogyakarta

pasca Indonesia Merdeka. Tulisan tentang sejarah masyarakat biasa sejak 1970an di

Yogyakarta lebih banyak dilakukan oleh para antropolog seperti Patrick Guiness yang

19

Gayatri spivak, Can Subaltern Speak? dalam C. Nelson and L. Grossberg (eds.), Marxism and

The Interpretation of Culture (Macmillan Education: Basingstoke, 1988 ), hlm. 271 – 313.

20Heather Sutterland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, 1979 (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).

21Riyadi Gunawan, Harnoko, Darto, Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Periode awal

abad dua puluhan. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).

Page 11: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

11

menulis kisah lima keluarga pengali pasir dan Rukun Kampung (1977;1986), John Sullivan

tentang studi kasus komunitas perkotaan dan pemerintah lokal (1992), Hotze lonzt tentang

arisan PKK (2002). Kurun waktu yang kurang lebih sama kajian masyarakat biasa

dilakukan oleh Lea Jellineck (1994) dan Allison Murray (1994) konteks masyarakat kecil

tentang kehidupan Pedadang dan Pelacur di Jakarta.

Sebuah gambaran tentang kondisi kaum miskin secara menarik dilukiskan dalam

hasil sebuah penelitian berjudul My Neighbour Your Neigbour: Governance, Poverty and

Civic Engagement in five Jakarta community oleh Lea Jellinek dkk22

memberikan

deskripsi tentang kaum miskin kota berikut:

“Kaum miskin cenderung tersembunyi di sudut-sudut jalan atau tepi sungai.

Biasanya rumah mereka berada di sudut-sudut jalan di sepanjang lembah

sempit dan gelap dimana matahari, udara maupun listrik tidak dapat masuk,

bahkan di waktu siang. Sebagai gantinya mereka membangun rumahnya di tepi

kali-kali yang baunya tidak enak, atau di sepanjang tembok dari bangunan-

bangunan umum yang ada. Mereka sering digusur–jauh dari pandangan

maupun pikiran, jadi tidaklah mengherankan bila pemerintah maupun pihak

lain tidak memperhatikan mereka”23

.

Lea Jellinek menggambarkan lebih jauh tentang kondisi kaum miskin melalui kasus

seorang janda yang bekerja sebagai tukang pijat. Tidak hanya lokasi tinggal, problem yang

dihadapi oleh kaum miskin kota luar biasa kompleks mulai dari perilakunya yang selalu

menghindar untuk bertatap muka langsung dengan orang asing, kesulitan menyampaikan

22

Lea Jellinek, Susiladiharti, dkk., My Neighour Your Neigbour: Governance, poverty and civic

engagement in five Jakarta communities ( Jakarta: Laporan penelitian DFID (Departemen Pembangunan

Internasional, Januari 2002). Bdk. Penggambaran kondisi kaum miskin Jakarta ini mirip dengan kondisi

kaum miskin kota di Yogyakarta yang ditulis oleh Patrick Guiness dalam bukunya Harmony and Hierarchy

in a Javanese Kampung, Singapore and New York: Oxford University Press, (1986) dan John Sullivan,

Local Government and Community in Java, and Urban Case-Study (New York: Oxford University Press,

1992).

Page 12: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

12

pikiran tentang permasalahannya, selalu curiga, penghasilan sekedar memenuhi subsistensi

melalui jasa minim ketrampilan, dan kondisi-kondisi ketiadaan akses untuk hidup dalam

normalitas umum24

.

Tidak mengherankan jika kaum miskin kota seperti disinyalir oleh Lea Jellinek

“digusur jauh dari pandangan dan pikiran” oleh penguasa. Mereka dianggap berbeda,

kadang membahayakan maka perlu „ditata dan ditertibkan‟. Di Yogyakarta, pada awal

1970an, Polisi Pamong Praja banyak melakukan razia gepeng yang tinggal di gubuk-gubuk

di bawah kolong jembatan, dipinggir kali untuk kemudian dimasukan dalam sebuah panti

rehabilitasi sosial25

, semacam penjara sipil, tempat rehabilitasi penderita gangguan jiwa.

Dalam perspektif penguasa, orang miskin (gelandangan dan pengemis) dikategorikan

sebagai orang yang mengalami sakit kegilaan (kejiwaan). Pendekatan yang dilakukan oleh

penguasa terhadap kaum miskin kota ini menggunakan perpektif struktural dan cenderung

dengan pola intervensi seragam dalam logika “keamanan dan ketertiban”.

Sebuah tulisan yang mendokumentasikan perjuangan komunitas pinggiran

Yogyakarta dilakukan oleh Darwis Khudori (2002) tentang gerakan alternatif komunitas

Ledhok Gondolayu, dan masyarakat miskin kota yang tinggal di permukiman Ngebong

Terban, pada tahun 1980an yang dilakukan oleh Mangunwijaya dengan pendekatan

komprehensif dan manusiawi, mengintegrasikan kajian ilmiah dengan praksis untuk

melakukan perubahan. Kelompok yang terdiri dari kaum intelektual dan kelompok non

24

Ibid.

25 Di Yogyakarta terdapat beberapa panti sosial untuk merehabilitasi Gepeng seperti Panti Sosial di

Tegal rejo, dan Panti Sosial di Tungkak Mergangsan. Sebagian diantara gepeng yang dirazia kemudian

berbaur ke dalam kampung sekitar (kampungisasi) menjalani hidup normal, sebagian ada yang memilih

mengikuti program transmigrasi ke luar Pulau Jawa lih. Dokumentasi Penelitian “ Sejarah dan Politik

Keruangan Kampung” Tungkak, (Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat, Mei 2003).

Page 13: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

13

pemerintah mengembangkan riset aksi penataan dan advokasi komunitas yang menempati

lahan pekuburan Bong Cina di Terban yang dihuni oleh komunitas miskin kota yang

sebagian besar bekerja di sektor infomal. Strategi integral secara bersama dilakukan di dua

level. Level grassroot, melalui pengembangan daya tawar dan ikatan komunitas miskin

kota dengan pendidikan berorganisasi komunitas ibu-ibu dengan peningkatan ketrampilan

dan sumber daya ekonominya, peningkatan kualitas pendidikan untuk anak-anaknya. Level

pemerintah, melakukan lobby dan dialog dengan Komandan Kopkamtib dan Menteri

Lingkungan hidup karena sebagian besar komunitas menduduki wilayah sempadan Kali

Code, tentang gagasan solutif tanpa menggusur kelompok miskin kota melalui pendekatan

sosio-kultural, pengakuan (recognition) keberadaan mereka sebagai warga, dan pemberian

status lahan tinggal dengan hak pakai. Gerakan pemberdayaan masyarakat pinggiran yang

cukup berhasil melakukan perubahan “dari komunitas nge-bong yang menempati bekas

kuburan Cina dan menjadi bagian dari Rukun Ketetanggaan (RT) yang diakui oleh

pemerintah adalah komunitas Ngebong Terban. Komunitas ini mendapatkan pengakuan

dari pemerintah kota Yogyakarta dan memperoleh kekancingan untuk tempat tinggalnya di

bekas lahan kuburan Cina dari Keraton Yogyakarta26

.

Sementara, konteks masyarakat Bong Suwung diteliti oleh Tadjuddin Noer Effendi

(1983) dalam perspektif anthropologi sosial yang mengkaji kehidupan komunitas Bong

Suwung yang dalam penulisannya menggunakan pseudonym untuk penyebutan lokasinya.

Kajian Tadjuddin memberikan gambaran kehidupan masyarakat pinggiran yang hidup dari

kawasan prostitusi liar di lahan miliki PJKA, kanan-kiri rel kereta api sebagai dampak

26

Darwis Khudori, Menuju Kampung Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-

akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code (Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat, 2002), hlm

: 34-43.

Page 14: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

14

proses urbanisasi . Penelitian ini menjadi satu-satunya tulisan yang mengkaji secara ilmiah

perilaku, karakter, sistem kehidupan yang berkembang di komunitas Bong Suwung27

.

Tulisan ini belum mengkaji keterkaitan lebih jauh relasinya dengan penguasa, dan

perubahan-perubahan komunitas dalam aspek historis.

Selain di sepanjang rel kereta api, lahan pinggir kali, sejak meningkatnya urbanisasi

pada 1970-an diperebutkan oleh banyak pihak. Daerah pinggir kali menjadi jujugan

(tempat tujuan) bagi warga kota yang kian kehabisan ruang tinggal, sekaligus sebagai

komoditas bagi spekulan tanah dan pengembang. Mereka berburu lahan disepanjang

pinggir kali, karena hanya disitulah ruang-ruang tersisa di perkotaan. Gejala spekulasi

tanah di kota-kota dunia menjadi fenomena. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Evers

yang mengingatkan bahwa tanah merupakan komoditas tersendiri, dikarenakan kurangnya

peluang-peluang alternatif untuk investasi, di wilayah perkotaan, khususnya di dunia

ketiga28

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Secara konseptual ada beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang komunitas

miskin kota. Konsepsi yang dapat menjelaskan tentang kehidupan komunitas miskin kota

sebagai kelompok subaltern seperti teori tentang budaya kemiskinan (culture of poverty)

dari Oscar Lewis (1969). Sebagian prinsip dari budaya kemiskinan dapat digambarkan

dalam empat dimensi meliputi hubungan antara subculture dengan masyarakat yang lebih

27

Tadjuddin Noer Effendi , Masyarakat Hunian Liar di Kota: Sebuah Studi Kasus di Wonosito, Kotamadya (Yogyakarta: Pusat Penelitian, dan Studi Kependudukan, UGM, 1983).

28 Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara (Jakarta: Penerbit Obor, 2002

), hlm : 302 -304. Bdk. Hermawan Tri Nugroho, Kali, Ruang Kota, dan Siasat dalam Jurnal Kampung

Menulis Kota (Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat, 2005), hlm: 68 – 69.

Page 15: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

15

luas; karakter dari komunitas masyarakat hunian liar; karakter dari keluarga; sikap, nilai

dan struktur karakter dari individu. Lebih lanjut Lewis menyatakan “tidak terintegrasinya

komunitas miskin dengan institusi masyarakat yang utama adalah elemen pokok dari

kebudayaan kemiskinan. Budaya kemiskinan merupakan kombinasi dari berbagai faktor

meliputi kemiskinan, pengelompokan, diskriminasi, ketakutan, kecurigaan, dan apatisme

dari komunitas hunian liar. Masyarakat yang hidup dalam budaya kemiskinan

menghasilkan sedikit kekayaan dan menerima sedikit penghasilan. Masyarakat mengalami

pengangguran kronis, upah rendah dan tidak memiliki properti, tidak memiliki tabungan

dan cadangan makanan, menggunakan pakaian bekas dan alat-alat rumah tangga bekas.

Pendek kata, masyarakat yang hidup dalam budaya kemiskinan ini mengalami sebuah

pengulangan-pengulangan dan stagnasi terus-menerus dari kondisi hidup mereka, maka

solusinya adalah menurut Lewis sebuah perubahan struktural yang radikal sehingga

memungkinkan terjadinya pendistribusian kekayaan dalam masyarakat dengan

pengorganisiran kaum miskin, membangun rasa saling memiliki, kekuatan

kepemimpinan.29

Pendapat tersebut merupakan penggambaran yang diberikan oleh masyarakat

umum, kelas menengah dan pemerintah yang tidak mengerti secara mendalam tentang

kehidupan kaum miskin sebenarnya, dan sudah mendapat banyak kritikan dari para ahli,

tragisnya tidak semua penggambaran tersebut adalah keliru. Clinard, misalnya menemukan

tiga ciri pokok penduduk permukiman kumuh, yakni “berupa perilaku yang menyimpang”,

29

Oscar Lewis, The Culture of Poverty dalam Science, conflict and Society with introduction by

Garrett Hardin, University of California, Santa Barbara ( San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1969),

hlm: 134-140.

Page 16: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

16

“budaya permukiman kumuh” dan “apatisme dan keterasingan sosial”30

yang mirip dengan

sinyalemen dari Lewis.

Perilaku menyimpang, seperti kejahatan, kenakalan, pelacuran, perjudian, kesukaan

mabuk, telah lama menjadi setereotif dan stigma dari kehidupan di permukiman kumuh,

sebagaimana tercermin juga pada kondisi permukiman kumuh di Yogyakarta, seperti

Komunitas Bong Suwung, Komunitas Ngebong Terban di Code dan Kawasan merah di

daerah Pasar kembang. Budaya Permukiman Kumuh merupakan sintesa dari budaya kelas

bawah oleh Clinard digambarkan berikut:

“…Kehidupan di dalam permukiman kumuh biasanya terbentuk kelompok-

kelompok berpusat di suatu kawasan dimana dengan mudah ditemukan kawan,

warung dan tempat peminjaman uang. Disana tidak ada kehidupan pribadi yang

terpisah (privacy). Pengalaman seksual biasanya dimulai lebih awal, baik melalui

pernikahan atau tidak;…diatas segalanya ada toleransi yang tinggi terhadap

perilaku menyimpang; …penduduk permukiman kumuh biasanya bersikap apatis

terhadap kehidupannya. …di seluruh kawasan kumuh, sikap-sikap tersebut

berkembang menjadi kecurigaan terhadap “dunia luar”, termasuk pemerintah,

politisi, pekerja sosial, dan golongan menengah serta golongan atas pada umumnya.

Penghuni permukiman kumuh sering kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan

fasilitas yang disediakan, baik oleh pemerintah maupun swasta…seperti sarana

kesehatan, pendidikan bahkan jasa polisi31

.

Pandangan yang positif ditunjukkan oleh kasus-kasus yang dipelajari oleh Koalisi

Habitat Internasional yang mendapatkan gambaran yang samasekali berbeda dengan

pendapat Lewis dan Clinard. Kasus perjuangan para penduduk yang dianggap liar di Villa

El Salvador (Lima, Peru) menunjukkan bahwa kaum miskin kota punya watak yang kuat

dan aktif. Perjuangan komunitas di Lima untuk mendapatkan tempat tinggal dengan

30

Clinard Marshal B., Slums and Community Development. Experiment in Self-help (New York,

The Free Press, 1970), hlm. 9-14.

31 Clinard, Ibid.

Page 17: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

17

membangun kota mereka sendiri merupakan realitas yang mengagumkan. Dalam jangka

waktu 15 tahun, sebuah padang pasir di pinggiran kota Lima telah diubah oleh sekelompok

imigran miskin menjadi kota kecil berpenduduk 200 ribu, diatur dan dikelola oleh sebuah

pemerintahan yang mereka ciptakan sendiri. Awalnya pembangunan permukiman

mendapatkan tantangan keras dari pemerintah. Perjuangan penduduk tidak berhenti meski

banyak jatuh korban. Akhirnya pemerintah mengakui keberadaan mereka dan mengangkat

mereka sebagai bagian dari kota Lima yang sah32

. Hal senada juga disampaikan oleh

Nelson dari penelitiannya di berbagai negara berkembang, berkesimpulan bahwa kaum

miskin kota secara politis tidaklah pasif.

“Kaum miskin kota ikut ambil bagian dalam politik melalui berbagai saluran dan

didorong oleh banyak alasan. Banyak dari kegiatan politik mereka memiliki motif

dan bentuk yang mirip dengan partisipasi kaum yang tidak miskin “.33

Karakter kaum miskin tersebut dapat ditelisik lebih terang melalui kacamata Teori

Marginalitas dan Teori Ketergantungan34

. Teori marginalitas memandang gejala

permukiman kumuh sebagai hasil dari berpindahnya penduduk dari perdesaan ke perkotaan

yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik tidak terintegrasi dengan kehidupan

masyarakat kota. Secara sosial, penghuni permukiman kumuh memiliki ciri-ciri yang

mengungkapkan kurangnya kohesi sosial dan terisolir secara eksternal karena mereka tidak

terintegrasi dengan masyarakat kota. Secara budaya mereka mengikut pola “budaya

kemiskinan”. Secara ekonomi mereka hidup sebagai parasit karena lebih banyak menyerap

32

Turner Bertha (ed.) Building Community. A Third World Case Book From Habitat International

Coalition, London, Building community Books, 1988, dalam Darwis Khudori, Menuju Kampung

Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-Akarnya Belajar dari Romo Mangun di Kali Code

(Yogyakarta, Yayasan Pondok Rakyat, 2002), hlm: 118-119.

33 Nelson Joan M., Access to Power, Politics and Urban Poor in Developing Nations (New Jersey:

Princeton University, 1979).

34 Mansyur Fakhih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 1996)

Page 18: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

18

sumber-sumber daya kota daripada menyumbangkannya, boros, konsumtif dan tidak

berorientasi pasar. Secara politik, mereka berwatak apatis, tidak berpartisipasi dalam

kehidupan politik, mudah terpengaruh oleh gerakan-gerakan politik revolusioner karena

frustasi, diorganisasi sosial dan ketidakpastian yang dialami.

Sementara, Teori ketergantungan melihat gejala permukiman kumuh sebagai akibat

dari masuknya ekonomi kapitalis ke perdesaan yang penduduknya padat dan secara

struktural diperas oleh perkotaan. Hadirnya ekonomi kapital di pedesaan yang dikenal

dengan “revolusi hijau” dengan program intesifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi

pertanian untuk mendongkrak hasil pangan sebanyak-banyaknya untuk memenuhi

swasembada pangan nasional dan ekspor. Proses ini dilakukan dengan menggunakan

mesin (traktor), bibit unggul, obat-obatan dan penggunaan tenaga yang rasional. Modalnya

sebagian didatangkan dari negara kapitalis maju. Pada tahun 1980an, Indonesia

mengembangkan bibit unggul di IRRI (Indonesian Rice Research Institute), sehingga

tercipta ketergantungan dari negara berkembang kepada negara industri maju. Akibatnya

adalah meningkatnya pengangguran di perdesaan dan akhirnya justru terjadi “shared

poverty” atau “involusi pertanian” dalam istilah Clifford Geertz35

, yang kemudian

mendorong terjadinya urbanisasi dari perdesaan ke perkotaan.

Teori Ketergantungan mengungkapkan bahwa penghuni permukiman kumuh itu

secara sosial, ekonomi, budaya dan politik terintegrasi ke dalam kehidupan masyarakat

kota, suatu bentuk integrasi yang merugikan mereka. Secara sosial, mereka memiliki

35

Clifford Geertz, Involusi Pertanian (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976). Bdk. J. Alexander

dan P. Alexander, “ Shared Poverty as Ideology: Agrarian Relationship in Colonial Java,” Man, Vol. 17, No.

4 (1982) dan Ben White,” Agricultural Involution” and Its Critics: Twenty Years after Clifford Geertz”, ISS

Working Paper No. 6 (The Hague: Institute of Social Studies, 1983).

Page 19: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

19

organisasi dan kohesi kelompok. Mereka tidak mau kembali ke desanya, karena tidak ada

lagi harapan di desa. Mereka mau memanfaatkan prasarana pelayanan dan kelembagaan

yang ada di kota, tetapi mereka tidak diterima. Kehadiran mereka sering tidak diakui.

Secara budaya, mereka memiliki ciri-ciri sama dengan golongan lain: ingin hidup lebih

baik, menyekolahkan anak-anaknya. Tetapi dalam imaginasi golongan berkuasa, mereka

dipandang rendah, sumber malapetaka kota: kejahatan, pelacuran dan kekotoran. Secara

ekonomi, mereka lebih banyak memberi daripada menerima. Dengan adanya sektor

informal yang digerakan oleh mereka, biaya hidup lebih murah bagi golongan yang

berpenghasilan rendah. Dari sampah yang mereka pilah dan kumpulkan mereka memasok

bahan mentah yang murah kepada industri. Mereka menyumbang dalam pertumbuhan

ekonomi, tetapi mereka tidak menerima pembagian keuntungan yang adil. Secara politis,

mereka tidak apatis, karena mereka berkepentingan dengan keputusan-keputusan yang

menyangkut nasib mereka. Tetapi kesempatan dan akses mereka untuk berpartisipasi

terbatas. Partisipasi mereka ditolak oleh “struktur makro” yang dikuasai oleh golongan

menengah ke atas melalui ancaman: penggusuran, pemenjaraan, ketidakpastian hidup dan

penyakit yang tidak terobati. Perilaku politik mereka tidak berbeda dengan masyarakat

pada umumnya36

.

Singkat kata, teori ketergantungan menarik kesimpulan bahwa penghuni

permukiman kumuh merupakan sekelompok masyarakat yang secara sosial ditolak, secara

budaya dihina, secara ekonomi diperas, dan secara politis ditekan oleh struktur dominan

masyarakat yang ada. Mereka tinggal di permukiman kumuh bukan karena “marginalitas”

36

Surbakti A. Ramlan,Kemiskinan di Kota dan Perbaikan Kampung, dalam Prisma No.6/XIII,

Jakarta, 1984.

Page 20: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

20

atau “budaya kemiskinan”, melainkan karena mereka dibikin “marginal” oleh sistem

politik dan ekonomi yang ada. Asumsinya, terdapat struktur ekonomi dan sosial “makro”

yang membuat peluang dari masyakat miskin semakin sulit mengalami mobilitas sosial.

Ada dua model pembangunan yang selama ini menjadi perdebatan yakni, sektor formal

dan informal. Apakah konsep sektor informal dapat menjelaskan realitas sosial-ekonomi

pekerja miskin di kota yang berdampak terhadap dinamika kehidupan komunitas miskin

kota sebagai bagian dari warga negara yang setara dengan golongan menengah dan atas

lainnya. Para ahli telah mengkaji konsep informal berhadapan dengan konsep formal yang

banyak diacu untuk menjelaskan tentang ketimpangan dan kemiskinan masyarakat di

perkotaan.

Breman mengembangkan konsep sektor informal dengan membedakan pekerja

sektor informal menjadi tiga kelompok berdasarkan kondisi sosial-ekonomi tiap pekerja.

Pertama, kelompok pekerja yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki

ketrampilan. Kedua, kelompok buruh pada usaha kecil dan usaha sendiri tanpa modal atau

modal kecil. Ketiga, kelompok pekerja miskin yang kegiatannya cenderung melanggar

hukum atau mirip gelandangan, pemungut puntung rokok37

. Breman menarik kesimpulan

bahwa hubungan antara sektor informal dan sektor formal tidak bisa dilihat sebagai

dualitas dari dua sektor yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebagai hubungan

ketergantungan. Berbagai penelitian menunjukkan ketertinggalan dan ketidakberdayaan

sektor informal merupakan syarat bagi kemajuan sektor formal, sedang hubungan

keduanya menunjukkan subordinasi dan ketergantungan. Pada masa kolonial, ketimpangan

37

Breman, J. C., The Sector Informal in Research, Theory and Practice (Rotterdam:The

comparative Asian Study Programme, Erasmus University, 1980).

Page 21: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

21

pertukaran terjadi menurut Breman, ketika surplus ekonomi dan kebutuhan dasar

subsistensi penduduk jajahan disedot ke negara induk penjajahnya. Bagi Breman yang ada

adalah suatu sektor kapitalis yang berhubungan erat dengan ekonomi internasional dan

sektor lain yang mengikuti cara-cara produksi pra kapitalis atau bukan kapitalis.

Komponen-komponen sektor ini saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan secara

berangsur-angsur kehilangan identitas dan otonominya, watak dan dinamikanya. Dengan

pandangan bahwa sektor informal ada berkat sektor formal, Breman menegaskan bahwa

ketertinggalan sektor informal hanya dapat diakhiri dengan perubahan radikal keseluruhan

sistem ekonomi38

. Breman mengkritisi sistem kapitalis tetapi tidak memberikan program

yang lebih praktis. Beberapa konsep sektor informal lain yang mirip konsep Breman

adalah konsep dari Friedman dan Sullivan yang membagi konsep informal ke dalam dua

kelompok yakni; (1) kelompok pengusaha kecil yang mirip dengan kelompok ke dua

Breman, dan (2) pekerja usaha sendiri atau buruh tidak tetap. Meski beberapa aspek secara

teoritis konsep informal dan formal bisa berguna menjelaskan soal kemiskinan di

Indonesia akan tetapi pendekatan dualisme yang membedakan pekerja ke dalam dua kotak

sektor formal dan informal secara biner tampaknya kurang sesuai dengan realitas.

Keanekaragaman kegiatan yang dicakup dalam sektor informal dapat menyesatkan apabila

hendak dipakai sebagai acuan dalam menangani permasalahan kemiskinan di perkotaan.

Perubahan masyarakat miskin kota perlu pendekatan yang komprehensif meliputi

tataran “makro” dan “mikro”. Selama ini memang belum ada pengalaman perubahan pada

tingkat makro yang cukup bisa menjelaskan dan menjadi solusi untuk memecahkan

persoalan kemiskinan di perkotaan. Secara historis, Indonesia pernah mengalami krisis

38

Ibid.

Page 22: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

22

hebat, pada tahun 1929 sebagai dampak dari resesi ekonomi dunia, yang memberikan

pukulan hebat pada sistem pasar yang menjadi jantung dari ekonomi kapital masa itu.

Krisis moneter 1997 memberikan pukulan hebat pada sektor formal, dan justru sektor

informal yang kecil-kecil menjadi “penyelamat” dan yang mampu bertahan dari

guncangan. Dalam masa-masa sulit seperti ini seperti pendapat Breman, sektor informal

yang memberikan sumbangan dalam perkembangan ekonomi di saat sektor formal

bertumbangan.

Pengalaman historis ini memperkuat pendapat beberapa ahli ekonomi dunia seperti

Hernado de Soto, yang menyatakan bahwa sektor informal yang hampir semuanya berbasis

pada tingkat keluarga menunjukkan jumlah mereka hampir 80 % di seluruh dunia.

Artinya, sektor informal menjadi tonggak bagi ekonomi dunia, khususnya pada negara-

negara berkembang seperti Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Dengan kata lain, problem

kemiskinan perkotaan di banyak negara berkembang tidak mustahil berubah jika pada

level makro didukung oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang berpihak kepada

masyarakat kecil. Akan tetapi, paradigma dan konsep formal yang berkembang lebih

mengedepankan teori pembangunan model “trickle down effect” (menetes ke bawah)

warisan aliran Adam Smith, sangat sedikit konsep dan teori yang menggunakan

pendekatan “bottom up” yang partisipatif dan memberdayakan sebagai sebuah sejarah

sosial di Indonesia.

Faktor keagenan (agency) menjadi kunci dalam menciptakan perubahan-perubahan

sosial pada level mikro. Kajian kasus Code memperlihatkan bagaimana pendekatan multi

level baik pada level makro dan mikro menghasilkan sebuah perubahan yang nyata dari

kisah perjuangan kaum miskin kota yang menempati lahan wedi kengser (sempadan

Page 23: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

23

sungai) yang melakukan negosiasi dengan pemerintah melalui proses panjang yang

melibatkan multi agensi seperti tokoh masyarakat lokal, mahasiswa, pekerja sosial, dan

intelektual yang memiliki jiwa altruis dan berempati bersama-sama melakukan perubahan

di berbagai level melalui pengorganisasian komunitas, membangun kohesi sosial, dan

mendorong perubahan kebijakan dalam pendekatan penanganan masalah komunitas miskin

kota yang hampir tidak memiliki akses untuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan

perumahan yang layak39

.

Pendekatan terpadu yang sesuai dengan konteks lokal dapat memberikan perubahan

(perbaikan) kondisi kehidupan kaum miskin kota yang secara makro “ketiadaan akses” dan

dominasi budaya kemiskinan yang menjerat kaum miskin kota. Permukiman liar di

perkotaan pada tingkat makro dapat dipandang sebagai ketidakseimbangan antara

pertumbuhan permukiman “spontan” di berbagai bagian kota di satu pihak, dan usaha-

usaha untuk mengelola seluruh kota secara sistematis di pihak lain.

Kaum miskin kota di satu pihak tidak mampu membeli rumah melalui sektor formal

(real estate). Mereka hanya bisa mendapatkan perumahan melalui “sektor informal”.

Masyarakat yang relatif kaya dapat menyewa rumah di kawasan permukiman yang sah

seperti di kampung-kampung tua, sedangkan yang tidak cukup kaya hanya bisa membeli

atau menyewa sepetak rumah atau menduduki sepetak tanah tanpa izin siapapun, dan

membangun sebuah hunian di kawasan permukiman yang dianggap “liar”, atau “tidak

sah”, seperti yang terdapat disepanjang sungai atau jalur kereta api.

39

Darwis Khudori, Op. Cit., hlm. 126 - 134

Page 24: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

24

Di pihak lain, pemerintah perlu memasukkan permukiman-permukiman ini ke

dalam pengelolaannya, sehingga pembangunan kota dapat mencapai tujuannya, yang

dianggap sebagai tujuan bersama seluruh warganegara. Maka dibuatlah kebijakan Rencana

Induk Kota (Master Plan) yang menata suatu kawasan kota, termasuk permukiman-

permukiman “spontan”. Sudut pandang ini, memandang permukiman-permukiman

“spontan” mendapatkan label sebagai “tidak terkendali”, “tidak terencana”, “tidak masuk

aturan” harus “dikendalikan”, “direncanakan”, “dikenai aturan” dengan yang disebut

sebagai peraturan zonasi40

.

Masalah permukiman di perkotaan merupakan potensi konflik sosial, ekonomi, dan

politik. Pengelolaan potensi ini tergantung dengan tindakan pemerintah. Kalau pemerintah

menerima dan mengakui kehadiran kaum miskin kota, tindakannya berupa “perbaikan”.

Jika pemerintah ragu-ragu maka tindakannya akan berupa pembiaran. Jika pemerintah

mengutamakan pertumbuhan ekonomi makan tindakannya akan berupa “pemindahan”

atau “penggusuran”. Paradigma permasalahan permukiman liar mengandung segi-segi

masalah struktural yang lengkap, baik “makro”, “mikro” maupun kaitan dari keduanya.

Oleh karenanya, proses institusionalisasi dan integrasi komunitas ke dalam sebuah

mekanisme formal yang sah, merupakan salah satu persoalan pokok dari perubahan

struktural41

.

40 Ibid. hlm 134-135. Kebijakan Perencanaan Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) pada tingkat Propinsi

dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) sebagai payung hukum bagi pemerintah dalam melakukan penataan

peruntukan kawasan, sekaligus menyusun peraturan zonasinya, untuk memperjelas peruntukannnya. Lih. UU

No. 27 Tahun 2007 tentang penyusunan Rencana Tata Ruang. Dengan payung hukum ini maka pendudukan

atas tanah-tanah negara atau Sultan Ground secara normatif dapat dikelola dengan mekanisme insentif

maupun disinsentif.

41 Ibid. hlm 136

Page 25: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

25

F. Metode dan Sumber

Sumber-sumber sejarah tentang kisah keseharian komunitas miskin kota yang

dalam tradisi penelitian sejarah dikategorikan sebagai orang yang tidak punya sejarah,

karena miskinnya tradisi tulis. Penggalian data-data primer menggunakan metode Oral

History dari komunitas miskin kota yang memiliki ingatan kolektif tentang sejarah

perkembangan komunitas Bong Suwung. Hasil dari oral history dikomparasikan sebagai

trianggulasi dengan sumber-sumber sekunder dari arsip, surat kabar, majalah, buku dan

terbitan ilmiah tentang komunitas miskin kota. Sumber-sumber sekunder lain yang dapat

digunakan adalah dokumen kebijakan yang mengatur tentang tata ruang kota, Undang-

Undang terkait dengan status hak kepemilikan tanah.

Mengenai data-data perubahan tata guna lahan di wilayah studi penulis

mengeksplorasi sumber-sumber Peta lama pada awal tahun 1930an dari dokumentasi

perpustakaan Sonobudoyo dan arsip daerah untuk mendapatkan gambaran perubahan-

perubahan kondisi keruangan dari tata guna lahan pada awal di kawasan Bong Suwung

dan perkembangan kampung-kampung sekitarnya. Potret perubahan keruangan ini

khususnya perubahan penggunaan lahan dari pekuburan menjadi permukiman memberikan

deskripsi persebaran bagi komunitas miskin kota dalam mendapatkan tempat tinggal dalam

hubungan dengan institusi pemilik tanah, kraton atau negara.

Pembacaan terhadap perkembangan sosial maupun spatial penulis menggunakan

beberapa konsep sosial, ekonomi, budaya dan spatial yang relevan terkait dengan sistem

sosial, mentalitas dan gerakan permukiman komunitas miskin kota di Yogyakarta.

Page 26: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

26

Konsekwensinya, seperti disinyalir Peter Burke42

karena tema penelitian ini tentang sejarah

hidup orang biasa dengan proses jatuh bangunnya, eksplanasi berdasarkan periodisasi

sederhana. Oleh karena itu, untuk memudahkan analisa penulis membingkai

perkembangan komunitas Bong Suwung ini dalam periode perubahan masyarakat masa

pemerintahan rezim Orde Baru dan sesudahnya antara tahun 1970 – 2000an sebagai

kerangka waktu.

G. Sistematika Penulisan

Dalam historiografi Indonesia penulisan sejarah komunitas yang menulis tentang

keseharian orang-orang biasa adalah satu persoalan tersendiri dari gerakan pemikiran

pengembangan sejarah Indonesia masa kini. Urbanisasi masyarakat pedesaan ke kota-kota

menimbulkan kerumitan masalah baru terkait dengan kemiskinan, permukiman, kerawanan

sosial dan aspek politik keamanan. Komunitas miskin kota dalam masa pemerintah Orde

Baru menjadi „objek‟ kambing hitam sebagai „warga kelas dua‟ yang selalu jadi target

pembersihan karena dianggap mengancam „ketertiban dan kenyamanan‟ kota. Gambaran

konteks dan signifikansi permasalahan komunitas kaum miskin kota dalam perjuangan

menjadi bagian dari warga kota dengan mengembangkan komunitas Bong Suwung

merupakan strategi survival dengan melakukan pendudukan tanah-tanah kuburan Cina

yang masih kosong sebagai ruang tinggal yang berhadapan dengan pendekatan struktural

negara.

Bagian 2 menarasikan tentang konteks perkembangan dari awal terbentuknya

komunitas Bong Suwung dalam ruang Kota Yogyakarta dan relasinya dengan perubahan-

42

Peter Burke, History and Social Theory (USA: Polity Press, 2005), hlm. 16-20.

Page 27: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

27

perubahan kebijakan penguasa terhadap komunitas mereka. Bagaimana mereka

memperoleh tempat tinggal di atas lahan-lahan terlantar terlantar dan belum terpakai

khususnya kawasan pinggir kali dan sepanjang rel kereta api di Yogyakarta, hingga

terbentuk perluasan kampung baru. Proses kampungisasi kelompok-kelompok miskin

dengan penggusuran dan penataan kawasan Bong Suwung secara fisik dan Operasi

Pemberantasan Keamanan, yang diikuti proses alih fungsi lahan dan institusionalisasi

kampung.

Bagian 3 mendiskusikan tentang perkembangan keseharian masyarakat Bong

Suwung dalam membangun sistem kehidupan yang tidak terakomodir dalam logika

formalitas. Peristiwa penggusuran dan kekerasan untuk menyingkirkan masyarakat Bong

Suwung merupakan ketidakmampuan negara dalam melindungi warganegara. Strategi

komunitas Bong Suwung dalam menghadapi absennya negara membentuk “informalitas

komunitas Bong Suwung” secara sosial-ekonomi, perilaku budaya dan siasat politik massa

rakyat miskin kota dalam berinteraksi dengan “formalitas” negara. Membaca dan menafsir

konstruksi realitas terkait dengan pandangan memarginalkan kelompok miskin kota

sehingga perlu “dikontrol, dan ditertibkan”, dinormalisasikan dalam perspektif struktural.

Bagian ini mendiskusikan tentang siasat yang dibangun oleh komunitas miskin kota dalam

berinteraksi dengan negara. Bagaimana komunitas Bong Suwung membangun interaksi

dengan aparat yang bertindak sebagai pelindung semu (pseudo protector) dalam praktik

sejarah keseharian. Hubungan ini ternyata tidak menjamin karena mereka setiap saat dapat

dirazia, digusur, dan „dibersihkan‟.

Bagian 4 mendiskukan tentang politik keseharian massa pinggiran. Bagaimana

masyarakat Bong Suwung mengembangkan siasat ekonomi dan siasat politik dalam

Page 28: BAB I PENGANTAR - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78052/potongan/S2-2014... · Gelombang urbanisasi pada 1970 ... 12 Definisi “Sejarah dari orang-orang

28

keseharian berhadapan „negara‟. Menegaskan kembali bagaimana mereka membangun

narasinya sendiri untuk membangun sistem kehidupan yang berada diluar normalitas

umum. Secara khusus bagian ini membincangkan ketidakhadiran negara dalam proses

keseharian masyarakat Bong Suwung.