BAB I PENGANTAR A. Latar...
-
Upload
truongduong -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar...
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Seorang pengelana berkebangsaan Spanyol, Tome Pires,
dalam kesempatan berkunjung ke Semenanjung Malaka awal abad
16, sempat menulis sebuah catatan dalam buku hariannya yang
mengatakan:
“Para pedagang Melayu berkata bahwa Tuhan telah menciptakan Timor untuk cendana, Banda untuk pala dan
Maluku untuk cengkeh. Barang-barang ini tidak dapat ditemukan dimanapun kecuali di ketiga tempat ini. Saya telah bertanya ke banyak orang dengan sangat cermat dan
sabar, mengenai apakah ketiga komoditas tersebut dapat ditemukan di tempat lain, dan semua orang menjawab
tidak”.1
Bukan hanya Tome Pires saja yang terkagum-kagum akan
keharuman pohon cendana, ada juga seorang Kapitan (Panglima
Perang) Portugis yang mengirim surat tertanggal 6 Januari 1514
kepada Raja Manuel di Lisboa (Portugal), dalam surat kepada
1 Lihat, Tome Pires., Suma Oriental: Perjalanan dari Laut
Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), hlm. 283; bandingkan dengan Paramita
Abdurachman., Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia. (Jakarta: LIPI Press dan
Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm.122; dan, Anthony Reid., Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 4.
2
rajanya, ia menjelaskan rasa kagumnya yang luar biasa tentang
pulau Timor sebagai pulau penghasil kayu cendana.2 Selain itu
masih banyak lagi laporan-laporan lainnya yang juga menyebut
Timor sebagai pulau penghasil cendana.
Laporan dan cerita-cerita para pedagang ini mendorong Raja
Spanyol dan Portugis serta Belanda mengirim armada kapal
dagangnya ke wilayah Timor Barat untuk membeli kayu cendana,
dan bahkan berlangsung selama hampir 400 tahun. Namun
bangsa Eropa bukanlah bangsa asing pertama yang sampai ke
Timor Barat karena pada abad-abad sebelumnya para pedagang
Cina, India, serta Arab, telah lebih dahulu datang ke wilayah
Timor Barat untuk mencari dan membeli kayu cendana.
Dalam catatan sejarah, Pulau Timor dikenal pertama kali
dari catatan musafir Cina, yaitu buku Chu-Fan-Cih karya Chau
Ju-Kua pada tahun 1225, yang menyebutkan Ti-wu, Ti-mon, atau
Ti-mat, (merupakan sebutan untuk Timor), kaya akan kayu
cendana dan telah mengadakan hubungan dengan kerajaan
Kadiri.3 Kayu cendana juga merupakan komoditas perdagangan
masyarakat Timor Barat jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.
2 Lihat, Paramita Abdurachman, ibid, hlm.120. 3 Walaupun fakta dalam berita tersebut kurang tepat,
karena kerajaan kediri sudah runtuh pada tahun 1225, namun berita ini mempunyai arti besar dikarenakan pulau Timor di
zaman kuno memiliki peran penting sebagai produsen kayu cendana dalam lalulintas perdagangan. Daerah-daerah pinggir
pantai yang strategis kemudian berkembang menjadi kerajaan
3
Keterangan tentang perdagangan kayu cendana juga ditulis
dalam kronik Cina yang menyebutkan bahwa pegunungan Pulau
Timor ditutupi pohon cendana, dan kayu cendana merupakan
komoditi perdagangan masyarakat lokal dengan bangsa-bangsa
Asia seperti Cina, India, Melayu, Jawa, Bugis, Mandar, dan
sebagainya. Perdagangan pada waktu itu masih bersifat musiman
karena para pedagang menggunakan perahu layar yang
tergantung arah angin, pola perdagangan juga masih menerapkan
sistem barter.4
Fei Xin dalam bukunya Xingcha Shenglan ‘Catatan Umum
Perjalanan di Lautan’ yang terbit tahun 1436, memberitakan
bahwa, “Timor terletak disebelah timur Madura, gunung-
gunungnya penuh ditumbuhi pohon cendana dan tak ada lain lagi
yang dihasilkannya kecuali cendana, terdapat 12 pelabuhan yang
masing-masing diperintah oleh seorang penguasa”. Kayu cendana
kuno guna mengawasi perdagangan kayu cendana. Lihat, Chau Ju-Kua, William Woodville Rockhill, Friedrich Hirth., Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-Fan-Chi. Diterjemahkan dan
dianotasikan oleh: William Woodville Rockhill dan Friedrich Hirth. (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hlm. 86, 158, dan 208-209.
4 Munandjar Widyatmika., Cendana dan Dinamika
Masyarakat Nusa Tenggara Timur. (Kupang: Pusat Pengembangan Madrasah Propinsi NTT, 1995), hlm. 11-17.
4
ditukar dengan barang-barang kerajinan Cina seperti, peralatan
makan yang terbuat dari besi, tembikar, serta emas dan perak.5
Pentingnya fungsi cendana bagi masyarakat dunia
memungkinkan perdagangan cendana berkembang pesat dan nilai
jualnya pun semakin melesat. Maka ajang perebutan kekuasaan
terhadap cendana semakin kuat. Masing-masing pihak memiliki
keinginan menanamkan kekuasaan dalam perdagangan cendana.
Kapitalis Eropa pun ikut terlibat di dalamnya, ketika Bangsa
Portugis datang ke Pulau Timor tahun 1550 dan berhasil
mengusai perdagangan cendana, kekuasaan Portugis mendapat
saingan dari Bangsa Belanda, dan mereka seringkali berselisih
memperebutkan kekuasaan ekspor kayu cendana diperairan
Timor Barat.6
Mengantisipasi perselisihan yang semakin meruncing,
kedua belah pihak sepakat membagi kekuasaan yang
menetapkan bahwa Portugis menguasai wilayah Timor Timur,
5 Lihat, Willem Pieter Groeneveldt., The Historical Note on
Indonesian and Malaya, Compiled from Chinese Sources. (Jakarta: Bhratara, 1969), hlm. 116; atau dapat dilihat pula dalam edisi terjemahanya, Willem Pieter Groeneveldt., Nusantara dalam Catatan Tionghoa. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 163-164.
6 I Ketut Ardhana., Penataan Nusa Tenggara pada Masa
Kolonial 1915-1950. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 51.
5
sedangkan Belanda menguasai wilayah Timor Barat.7 Sejak
adanya pembagian wilayah kekuasaan yang jelas, pemerintah
Belanda mulai mengeksploitasi cendana di Timor Barat.
Sampai awal abad ke-20 karena adanya kekhawatiran
persediaan cendana habis, maka pada tahun 1916 perdagangan
cendana secara bebas dan penebangan cendana secara bebas
mulai di larang.8 Era kejayaan perdagangan kayu cendana tempo
dulu merupakan bentangan sejarah masa lalu tentang bagaimana
ramainya kapal-kapal dagang Makasar, Cina, Portugis dan
Belanda secara teratur menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di
wilayah Timor Barat untuk membeli cendana. Tetapi zaman pun
telah berubah, citra Timor Barat yang melekat dengan kayu
cendana sekarang sudah di ambang kepunahan, hanya tinggal
menunggu waktu saja. Pemandangan bukit dan gunung-gunung
7 Wilayah Timor Timur merupakan wilayah di Pulau Timor
bagian timur yang mencakup daerah-daerah bekas kekuasaan Portugis yang kemudian pada tahun 1975 bergabung dengan Indonesia dan menjadi Propinsi Timor-Timur, yang sejak tahun
1999 menjadi Negara sendiri yaitu Republik Demokrat Timor Leste. Sedangkan Timor Barat merupakan wilayah di Pulau Timor
bagian barat yang dulunya adalah wilayah kekuasaan pemerintah Belanda, yang kemudian setelah masa kemerdekaan masuk dalam daerah atministrasi Propinsi Nuasa Tenggara Timur. Wilayah
Timor Barat sendiri sekarang terdiri dari beberapa Kabupaten dan satu Kota Madya, diantaranya; Kabupaten Kupang, Timor Tengah
Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Malaka, dan Kota Madya Kupang.
8 Lihat, Ferdinand Jan Ormeling., The Timor Problem: A
Geographical Interpretation of an Underdeveloped Island. (Djakarta:
J.B. Wolters-Martinus Nijhoff, 1955); lihat pula, Munandjar Widiyatmika, op. cit., hlm. 29.
6
yang digambarkan oleh Tome Pires, Fe Hsin, dan Chau Ju-Kua,
sekarang sudah tak relevan lagi untuk menyebut Timor pulau
cendana.
Melihat angka populasi cendana yang sudah diambang
kepunahan membuat kita hanya bisa merenung sambil
bernostalgia tentang Timor Barat yang telah dikenal dengan
kakayaan kayu cendana dan ramainya perdagangan cendana
masa lalu. Oleh karena itu, maka kajian sejarah mengenai
perkonomian cendana di Timor Barat menjadi sangat penting
untuk dikemukakan.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
Masalah pokok yang ingin dikaji dalam studi ini adalah
mengenai bagaimana kedudukan dan fungsi cendana dalam
perekonomian Timor Barat pada abad ke-19 sampai awal abad ke-
20 disaat intervensi politik dan ekonomi kolonial yang semakin
dalam? Pembahasan akan difokuskan pada pemanfaatan,
produksi dan perdagangan cendana abad ke-19, juga perubahan-
perubahan yang terjadi.
Dilihat dari latar belakang dan permasalah pokoh di atas
maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan-pertanyaan
penelitian dalam pengkajian ini. Pertama, bagaimana cendana
menjadi komoditi perdagangan penting di wilayah Timor Barat?
Secara umum keadaan alam merupakan faktor penentu dalam
7
perekonomian masyarakat di suatu daerah, begitu juga di Timor
Barat. Wilayah dengan populasi cendana terbesar yang
menghasilkan cendana kualitas terbaik, tentu didukung pula
keaadaan alam yang cocok sebagai habitat pertumbuhannya.
Karena cendana merupakan tanaman endemic yang hanya bisa
hidup di daerah-daerah tertentu saja, maka akan muncul
pertanyaan; bagaimana keadaan alam, masyarakat dan
pemenuhan kebutuhannya? Bagaimana struktur agrarianya?
bagaimana arti cendana dalam perekonomian di Timor Barat?
Sampai sejauh mana pengaruh Eropa di sana?
Kedua, cendana sebenarnya bukan baru diperdagangkan
pada abad ke-19 tetapi telah diperdagangkan sejak abad-abad
sebelumnya, bahkan Timor Barat sejak masa lampau telah dikenal
dalam perdagangan dengan komuditi cendananya. Sehingga
dengan melihat perekonomian dan perdagangan cendana sebelum
abad ke-19 maka kita dapat mengetahui proses atau pola-pola
perdagangan cendana sebelumnya, oleh karena itu perlu di jawab
pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana perdagangan cendana
pada abad-abad sebelumnya? Seperti apa corak perdagangannya?
Sampai pada bagaimana campurtangan bangsa Eropa dalam
perdagangan?
Ketiga, cendana merupakan primadona perdagangan pada
masa lampau, selama abad ke-19 banyak pedagang dari berbagai
penjuru dunia datang ke Timor Barat untuk membeli cendana,
8
disisi lain muncul monopoli dan dominasi yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial. Maka perlu dijawab pertanyaan seperti
bagaiman jejaring perdagangannya? Bagaimana transportasi dan
pengirimannya? Sampai bagaimana monopoli dan dominasi yang
terjadi?
Keempat, secara umum dengan adanya perdagangan di
suatu wilayah maka hal itu akan mempengaruhi perekonomian di
wilayah tersebut tak terkecuali dengan perdagangan cendana di
Timor Barat, bahkan dengan adanya monopoli dan dominasi yang
diterapkan pemerintah kolonial memunculkan penentangan dari
pihak lokal, oleh karena itu perlu dijawab bagaimana penentangan
terhadap monopoli? Bagaimana perubahan-perubahan yang
terjadi? Sampai bagaimana peran masyarakat lokal dalam
perdagangan cendana?
Kajian tentang sejarah perekonomian cendana di Timor
Barat pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20 ini merupakan
kajian lokal dengan cakupan terbatas yaitu wilayah pulau Timor
barat Barat yang dulunya adalah wilayah kekuasaan pemerintah
Belanda. Kemudian setelah masa kemerdekaan Timor Barat
masuk dalam wilayah atministrasi provinsi Nusa Tenggara Timur,
yang sampai saat ini terdiri dari lima kabupaten dan satu kota
madya. Sedangkan lingkup temporal dalam kajian ini adalah pada
abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Selain itu sebagai bahan
9
pertimbangan maka pembahasan akan sedikit ditarik ke belakang
atau pada beberapa abad sebelum.
Pertimbangan utama pemilihan Timor Barat sebagai objek
studi didasari oleh kenyataan bahwa wilayah ini merupakan
wilayah dengan populasi kayu cendana tebesar di Pulau Timor.
Sehingga kayu cendana menjadi komuditi utama disini, berbeda
dengan wilayah Timor Timur atau Timor Portugis yang lebih
dikenal dengan komuditi kopi.9 namun tidak menutup
kemungkinan studi ini juga akan sedikit menyinggung mengenai
wilayah Timor bagian timur dan dan wilayah-wilayah di sekitarnya
selama masih berkaitan dengan tema kajian.
Disini juga ingin ditekankan bahwa jika terdapat penulisan
atau argumen mengenai “Pulau Timor atau Timor” maka hal itu
dirujuk pada Timor Barat, dikarenakan data yang didapat
kebanyakan masih mencantumkan pulau Timor atau Timor secara
umum, tanpa membedakan konteks wilayah antara Timor Barat
“Timor Belanda” atau Timor Timur “Timor Portugis”. Contohnya
data yang diperoleh mengenai pengiriman cendana, disitu cuma di
catumkan pengiriman cendana dari Timor padahal pengiriman itu
terjadi pada pelabuhan Kupang dan Atapupu yang merupakan
9 Hal ini juga disebapkan karena perjanjian pembagian
wilayah di pulau Timor antara pemerintah Belandan dan Portugis juga belum jelas sampai pada awal abad ke-20 makanya masih
sebagian besar arsip pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 masih mencantumkan Timor untuk merujuk Timor barat
sebagai tempat asal cendana.
10
wilayah dari Timor Barat atau Timor Belanda. Sedangkan ruang
lingkup temporal memang dibatasi pada awal abad ke-20, dengan
alasan bahwa pada akhir abad ke-19 muncul wacana mengenai
pelarangan penebangan dan perdagangan cendana secara bebas
yang kemudian diberlakukan pada awal abad ke-20, dan
dilanjutkan dengan sensus atau pendataan terhadap pohon
cendana.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ada beberapa tujuan penting dalam penelitian ini. Pertama,
menjelaskan arti cendana bagi masyarakat Timor Barat sejalan
dengan adanya perdagangan cendana. Kedua, menjelaskan
jejaring dan monopoli dalam perdagangan cendana di Timor Barat.
Berkaitan dengan itu maka tujuan yang Ketiga, adalah
mengungkapkan kenyataan tentang perubahan atau pergeseran
fungsi dan kedudukan cendana dalam perekonomian di Timor
Barat. Selain itu, tidak menutup kemungkinan melalui kajian ini
juga dapat digali beberapa kearifan lokal yang berhubungan
dengan keberadaan cendana di Timor Barat.
Mengingat penulisan sejarah Indonesia sampai saat ini
masih didominasi oleh kajian-kajian dari Indonesia bagian barat,
maka studi ini juga bermanfaat untuk mengisi kekurangan itu
dengan menghadirkan penulisan sejarah Indonesia bagian timur,
tepatnya di wilayah Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Begitu
11
pula dengan kajian di Timor (Indonesia) yang masih didominasi
oleh studi antropologi dan sosiologi. Maka dengan adanya kajian
ini kiranya dapat menjadi acuan atau referensi bagi studi-studi
yang akan datang berkaitan dengan penulisan sejarah Indonesia
bagian timur. Selain itu melalui pengkajian ini diharapkan dapat
berpatisipasi langsung terhadap upaya menghasilkan arah atau
paradigma baru historiografi Indonesia, dengan mengangkat
potongan-potongan sejarah yang terlupakan dalam sejarah
Indonesia.
D. Tijauan Pustaka
Sampai saat ini studi mengenai wilayah Timor Barat pada
umumnya didominasi oleh penelitian-penelitian tentang
antropologi dan sosiologi terutama antropologi budaya dan
struktural, sedangkan studi sejarah untuk wilayah ini masih
terjebak pada tema-tema politik. Bahkan hampir semua kajian-
kajian itu masih membahas konteks Nusa Tenggara Timur secara
umum dan hampir tidak ada yang spesifik membicarakan salah
satu wilayah tertentu.
Kajian-kajian antripologi dan sosiologi yang membahas
mengenai Timor Barat diantaranya seperti penelitian Ferdinand
Jan Ormeling (1955),10 yang menulis mengenai The Timor Problem,
10 Ferdinand Jan Ormeling., The Timor Problem: A
Geographical Interpretation of an Underdeveloped Island. (Djakarta:
J.B. Wolters-Martinus Nijhoff, 1955).
12
juga Herman Gerrit Schulte-Nordholt (1971),11 yang membahas
mengenai sistem politik salah satu masyarakat suku asli di Timor,
kemudian James J. Fox (1977),12 yang secara khusus meneliti
tentang kehidupan masyarakat di pulau Rote, juga rangkuman
dari hasil penelitian di wilayah Timor, Sumba dan sekitarnya yang
diterbitkan dengan judul The Flow of Life (1980).13 Kemudian
tulisan Munandjar Widiyatmika (2014),14 yang membahas
mengenai cendana dan dinamika masyarakat Nusa Tenggara
Timur, tulisan ini lebih menekankan cendana sebagai identitas
masyarakat Nusa Tenggara Timur secara umum, dengan
memaparkan mengenai cendana dalam dinamika kehidupan
masyarakat Nusa Tenggara Timur sejak zaman kerajaan lokal.
Selanjutnya sebuah disertasi yang di tulis oleh H. Ataupah
(1992), Ekologi Persebaran Penduduk dan Pengelompokan Orang
11 Herman Gerrit Schulte Nordholt., The Political System of
the Atoni of Timor. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch Indie (VKI), Vol. 60.
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1971). 12 James J. Fox., The Harvest of the Palm, an Ecological
Change in Eastern Indonesia. (Harvard University Press, 1977). 13 James J. Fox., The Flow of Life: Essays on Eastern
Indonesia. (Harvard University Press, 1980).
14 Munandjar Widyatmika., Cendana dan Dinamika
Masyarakat Nusa Tenggara Timur. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014).
13
Meto di Timor Barat.15 dan merupakan satu-satunya kajian ilmiah
yang spesifik menggunakan istilah nama Timor Barat. Disertasi ini
ditulis untuk memperoleh gelar doktor di bidang Ilmu Sosiologi
Unversitas Indonesia. Walaupun kajian ini bukan merupakan
kajian sejarah namun dalam tulisannya Ataupah mengungkapkan
bahwa orang meto yang merupakan penduduk mayoritas di Timor
Barat telah memanfaatkan kayu cendana sebagai komoditi
dagang. Bahkan perdagangan cendana telah dilakukan sejak
zaman kerajaan dan hanya boleh dikelola oleh para usif atau
pemimpin lokal. Maka cendana diibaratkan “puteri rumah” yang
menebarkan aroma wangi bagi keindahan sebuah sonaf atau
istana raja. Hasil penelitian ini juga bermanfaat dan relevan untuk
mengetahui posisi cendana sebagai mata dagangan yang
menguntungkan penguasa atau raja-raja dan masyarakat lokal.
Terkait kajian mengenai perdagangan abad ke-19 dalam
sejarah Indonesia, sebagian besar masih berkisar pada wilayah-
wilayah seperti Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Hai ini
dimungkinkan karna wilayah-wilayah ini dianggap memiliki
pelabuhan-pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang pada
masa lampau, sedangkan tema sejarah ekonomi dan perdagangan
yang membahas Indonesia Bagian Timur masih di dominasi oleh
wilayah Makasar seperti tulisan Adrian B. Lapian (2009), yang
15 Hendrik Ataupah., Ekologi Persebaran Penduduk dan
Pengelompokan Orang Meto di Timor Barat. (Universitas Indonesia:
Disertasi, 1992).
14
membahas mengenai aktivitas pelayaran bajak laut di perairan
Sulawesi abad ke-19,16 Edward L. Poelinggomang (2002) yang
membahas mengenai perkembangan perdagangan makasar abad
ke-19,17 kemudian Christiaan G. Heersink (1995), yang melakuakn
studi mengenai pertumbuhan ekonomi di pulau Selayar periode
1600-1950, dengan melihat perkembangan perdagangan kopra di
pulau Selayar dari sudut pandang sosial-ekonomi.18
Ada juga studi tentang perdagangan abad ke-19 di wilayah
Nusa Tenggara oleh I Gde Parimartha (2002),19 yang membahas
mengenai perdagangan dan politik di Nusa Tenggra. Walaupun
tulisan ini membahas secara umum wilayah Nusa Tenggara
berkaitan dengan perdagangan dan politik namun dapat menjadi
acuan tentang bagaimana pola perdagangan waktu itu. Juga
beberpa kajian yang kiranya dapat dipakai sebaga referensi
16 Adrian B. Lapian., Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut:
Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).
17 Edward Lamberthus Poelinggomang., Makasar Abad Ke-
19: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2002).
18 Christiaan Gerard Heersink., The Green Gold of Selayar: A
Socio-Economic History of an Indonesian Coconut Island, c. 1600-1950: Perspectives from a Periphery. (Amsterdam: Vrije Universiteit,
Disertasi 1995). 19 I Gde Parimartha., Perdagngan dan Politik di Nusa
Tenggara 1815-1915. (Jakarta: Djambatan dan KITLV, 2002).
15
sumber seperti tulisan I Ketut Ardhana (2000),20 yang membahas
mengenai penataan Nusa Tenggara pada masa kolonial sampai
kemerdekaan. Dan tulisan Jan C. van Leur (1983),21 yang
membahas mengenai perdagangan dan masyarakat Indonesi,
tulisan ini juga memperkenalkan penggunaan metodologi baru
yang menggunakan interpretasi sosiologis untuk memahami
perkembangan dan perubahan ekonomi.
Kemudian beberapa pustaka yang membahas keberadaan
cendana yang relevan digunakan sebagai acuan pemahaman
maupun sebagai sumber data antara lain tulisan Jacb Wadu, dkk
(2003), merupakan studi tentang Pemerintahan Kabupaten Timor
Tengah Selatan dari Masa ke Masa.22 Buku ini relevan digunakan
sebagai penunjang pemahaman mengenai hubungan cendana
dengan penguasa lokal pada zaman kerajaan, karena membahas
sistem pemerintahan masyarakat Timor Tengah Selatan sejak awal
zaman kerajaan lokal sampai dengan zaman reformasi.
Dimana sejak zaman kerajaan, cendana memiliki aspek penting
dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan
20 I Ketut Ardhana., Penataan Nusa Tenggara pada Masa Kolonial 1915-1950. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005).
21 Jacob Cornelis van Leur., Perdagangan dan Masyarakat
Indonesia: Esai-esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia. Edisi Terjemahan Indonesia oleh: Abmi Handayani, Abdul Azis dan Aditya Pratama. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015).
22 Jacob Wadu, dkk., Sejarah Pemerintahan Kabupaten Timor
Tengah Selatan. (Kupang: Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah
Selatan, 2003).
16
yang penguasaannya berada di tangan penguasa lokal. Selain itu,
buku tersebut juga menyinggung keberadaan cendana sebagai
komoditi perdagangan masa lampau menggunakan sistem barter.
Selanjutnya, buku yang ditulis oleh Didik Pradjoko dan
Friska Indah Kartika tentang Pelayaran dan Perdagngan Kawasan
Laut Sawu Abad Ke-18-Awal Abad Ke-20. Buku ini menyajikan
sejumlah pernyataan mendasar berkaijtan dengan perairan di
kawasan Laut Sawu sekaligus memberikan informasi tentang
dunia maritim di Indonesia abad ke-18 hingga awal abad ke-20.23
Buku ini juga sangat cocok dijadikan sebagai referensi sumber
mengingat Laut Sawu masuk dalam kawasan kepulauan Nusa
Tenggara Timur dan merupakan salah satu jalur perdagangan laut
menuju Timor Barat.
Kemudian penerbitan kembali karya Paramita R.
Abdurachman (2008), tentang sumber-sumber sejarah Portugis di
Indonesia yang selama ini tersebar di berbagai jurnal. Kehadiran
Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia kurang-lebih 500
tahun yang lalu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah sampai
hari ini masih dipertahankan oleh beberapa komunitas lokal di
Nusantara, khususnya di Timor, Flores, Solor, dan Maluku. Salah
satu warisan Portugis yang menarik adalah nama Pulau Flores
23 Didik Pradjoko dan Friska Indah Kartika., Pelayaran dan
Perdagngan Kawasan Laut Sawu Abad Ke-18-Awal Abad Ke-20. (Jakarta: Wedatama Widyasastra, 2014).
17
yang sesungguhnya merupakan kependekan dari Cabo de Flores,
sebuah nama yang dipergunakan pelaut-pelaut Portugis di masa
lalu ketika mereka mencapai Tanjung Bunga.24 Tulisan Bunga
Angin Portugis di Nusantara ini merupakan kumpulan narasi
tentang jejak-jejak Portugis di Nusantara yang dapat dipakai
sebagai referensi sumber untuk melihat hubungan Portugis dalam
perdagangan cendana.
Berdasarkan studi-studi di atas, dapat dikatakan bahwa
studi ilmiah mengenai sejarah perekonomian cendana di Timor
Barat masih sangat langkah, apalagi kajian yang khusus
membahas mengenai perdagangan cendana di wilayah ini. Oleh
karena itu studi ini mencoba menghadirkan realitas perekonomian
masa lalu sehubungan dengan adanya perdagangan cendana di
Timor Barat pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
E. Kerangka Konseptual
Sejarah perkenomian cendana di Timor Barat, pada
dasarnya adalah sebuah fenomena terkait dengan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam perekonomia di Timor Barat sejalan
dengan adanya perdagangan cendana. Timor Barat yang sampai
abad ke-19, dengan populasi cendananya yang melimpah,
memposisikan cendana sebagai salah satu sumber perekonomian
24 Paramita Abdurachman., Bunga Angin Portugis di
Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia. (Jakarta:
LIPI Press dan Yayasan Obor Indonesia, 2008).
18
di wilayah ini. Dalam mengungkapkan perubahan-perubahan yang
terjadi, maka kajian ini akan menggunakan pendekatan sejarah
ekonomi. Maka sangat penting untuk dibangun konsep mengenai
tema penelitian, dengan tujuan agar nantinya dalam pembahasan
tidak keluar dari pemahaman yang ada, serta memperjelas
pemahaman terhadap studi sejarah yang diteliti.
Pendekatan ekonomi pada beberapa tingkatan analisis perlu
digunakan untuk memahami dan menjelaskan dinamika ekonomi
yang muncul pada tingkat lokal. Pendekatan ini hanya akan
menggunakan beberapa indikator ekonomi secara terbatas sebagai
cara untuk membaca perubahan-perubahan ekonomi yang terjadi
tanpa bermaksut menghasilkan sebuah kajian yang benar-benar
ekonomis.25 Seperti konsep mengenai perdagangan dan
perekonomian.
Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang
dilakukan antara penjual dan pembeli di suatu tempat. Transaksi
perdagangan dapat timbul jika terjadi pertemuan antara
penawaran dan permintaan terhadap barang yang dikehendaki.
Perdagangan sering dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi
yang terjadi sebagai akibat munculnya problem kelangkaan
barang. Perdagangan juga merupakan kegiatan spesifik, karena di
25 Lihat, Abdul Wahit., Bertahan di Tengah Krisis: Komunitas
Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009), hlm. 19.
19
dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan produksi dan distribusi
barang.26
Perdagangan juga merupakan sebuah bentuk hubungan
ekonomi antara suatu daerah, wilayah, atau bangsa dengan
dengan daerah, wilayah, atau bangsa lainnya. Meskipun dalam
sejarah banyak terjadi bahwa dalam perdagangan sering diikuti
dengan kekuatan politik yang bahkan mengakibatkan terjadinya
perang, seperti tampak pada perdagangan di wilayah Nusantara
baik pada periode sebelum datangnya pedagang-pedagang Eropa
ataupun setelah adanya pengaruh Eropa di Nusantara. Hal ini
bisa saja terjadi karena perdagangan merupakan salah satu
sumber kesejateraan bagi para penguasa lokal maupun
pemerintahan. Itu sebapnya sejumlah kerajaan yang berada di
jalur perdagangan berkembang dan berusaha untuk mengontrol
jalur yang dikuasai.
Pada dasarnya perdagangan cendana di Timor Barat pada
abad ke-19 sampai awal abad ke-20 berjalan dalam suatu lingkup
yang beraneka ragam. Melalui perdagangan, berbagai pelabuhan
di Nusantara bahkan kawasan Asia Tenggara dan Samudera
Hindia menjadi suatu kesatuan interaksi antar budaya yang
mempengaruhi pula sejarah di wilayah masing-masing. meskipun
26 Lihat, Robert L. Heilbroner and Lester C. Thurow., The
Economic Problem. (New Jersey: Prentice-Hall, 1978); lihat pula, Titi
Surti Nastiti., Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna: Abad VIII-XI Masehi. (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2003), hlm. 52-102.
20
terjadi perubahan-perubahan dengan masuknya pengaruh asing,
namun perkembangan perekonomian berjalan tetap dan tidak
begitu banyak mengalami perubahan.
Selain itu konsep perdagangan yang di pahami juga
mengalami proses perubahan atau transformasi sehubungan
dengan adanya pengaruh yang dibawah bangsa Eropa dalam
kegitan perekonomian masyarakat lokal. Seperti mulai dikenal alat
pembayaran dan mulai diterapkan mekanisme pertukaran dengan
sistem nilai tukar mata uang. Walaupun begitu tidak sertamerta
masyarakat meninggalkan tradisi barter yang telah berkembang
sebelumnya, sehingga tampak dalam sejarah perdagangan di
Nusantara abad ke-19 kedua sistem pembayaran ini tetap dipakai.
Dalam perspektif ilmu budaya sesunggunya masalah
perekonomian dalam hal ini pertukaran, perdagangan atau apaun
bentuknya, menjadi bahan perdebatan panjang yang seolah tak
berujung.
Di seluruh kepulauan Nusantara termaksut Timor Barat,
penguasa lokal berperan penting dalam perdagangan dan
produksi. Barang-barang eksklusif dan produk-produk masal
diperdagangkan oleh para penguasa dan pejabat, dan barang-
barang tertentu saja yang tersisa bagi para pedagang “penjaja”
21
atau pedagang tanpa mekanisme modal.27 Kaum bangsawan dan
penguasa dalam perdagangan berperan pasif, sedangkan yang
berperan aktif dilakukan oleh pedagang-pedagang yang
menjalankan usaha mereka dalam bentuk kerjasama perdagangan
terbatas untuk suatu kegiatan.28
Berangkat dari konsep tersebut maka istila pertukaran,
perdagangan atau barter dapat dipertegas dengan nuansa
pengertian yang berbeda. Pertukaran adalah sebuah kegiatan yang
didasarkan pada digunakan tidaknya alat tukar berupa uang,
yang mengandung nilai tukar atau bobot yang kurang lebih sama.
Sedangkan perdagangan adalah aktivitas pertukaran barang yang
ditandai oleh alat tukar atau dengan tanpa uang yang secara tidak
langsung melibatkan otoritas formal sebagai pihak yang
berwenang mengeluarkan uang, atau menetapkan nilai barang
yang akan ditukarkan tentu saja berorientasi pada keuntungan.29
Pandangan Eric R. Wolf (1982) yang menunjukan adanya
interaksi spontan antara masyarakat pedalaman dan perkotaan
27 Jacob Cornelis van Leur., Indonesian Trade and Society:
Essays in Asian Social and Economic History. (Bandung: W. van
Hoeve, 1955), hlm. 8. 28 Ibid., hlm. 55.
29 Heriyanti Ongkodharma., Perdagangan di Kesultanan
Baten 1552-1684. (Depok: Universitas Indonesia, Disertasi 1998), hlm. 22; lihat juga, Heriyanti Ongkodharma., Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1552-1684. (Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2007), hlm. 22.
22
yang mendorong terjadinya perubahan di dalamnya, dengan
memberi gambaran mengenai raksi dunia non Barat atas
kontaknya dengan dunia kapitalis yang membuat perubahan di
tingkat lokal. Wolf antara lain menyatakan bahwa produksi selama
abad ke-19 mencapai kemajuan besar dibawah kapitalisme,
kebutuhan akan bahan mentah mendorong munculnya pasar yang
mendunia. Dengan demikian usaha untuk meningkatkan produksi
menjawab kepentingan pasar yang membawah perubahan pada
tingkat kehidupan keluarga atau kelompok masyarakat. Selain itu
spesialisasi daerah tertentu muncul sebagai wilayah produksi
untuk memenuhi kebutuhan pasar.30 Sejalan dengan pendapat
Wolf, hal ini memunculkan wilayah Timor Barat sebagai salah satu
wilayah produksi yang menyediakan cendana bagi kebutuhan
pasar dunia pada abad ke-19.
Berkaitan dengan jaringan perdagangan, dapat dilihat pada
abad ke-19 pedagang pribumi semakin berinteraksi dengan
pedagang asing antara lain pedagang Cina, Arab, dan Eropa yang
datang di wilayah Timor Barat membentuk kelompok-kelompok
pedagang dengan aktivitas masing-masing, bisa dikatakan setiap
kelompok juga membentuk jaringan perdagangannya masing-
masing. Kelompok-kelompok pedagang Asia ini pada mulanya
nampak mendominasi perdagangan cendana Timor Barat, mereka
30 Eric Robert Wolf., Europe and the People without History.
(Oakland, California: University of California Press, 1982), hlm.
310-314.
23
bekerjasama dengan penguasa-penguasa setempat. Akan tetapi
ketika pengaruh Eropa semakain meluas maka dominasi mereka
tergeser oleh pedagang-pedagang Eropa.
Dalam perdagangan cendana, kontak dengan dunia yang
lebih luas bisa membawa perubahan-perubahan menguntungkan
bahkan merugikan. Maka pendapat dari Wolf ini mungkin relevan
melihat perkembangan Timor Barat dari adanya jaringan antara
pasar yang lebih berkembanga di kota atau wilayah pelabuhan
dan pasar di wilayah pedalaman, hal ini memunculkan tingkat-
tingkat dalam perdagangan cendana atau sruktur pasar yang
membentuk suatu sistem dalam perdagangan baik di lingkungan
Timor Barat maupun dalam konteks wilayah yang lebih luas.31
Selain itu pola-pola perdagangan antar pulau di Hindia
Belanda pada abad ke-19 terjadi perubahan dikarenakan
timbulnya persaingan antar negara-negara Eropa yang mencari
bahan baku serta perbedaan prinsip antara monopoli dan
perdagangan bebas.32 Pemerintahan Belanda abad ke-19 dituntut
untuk melakukan perdaganga bebas sebagai salah satu bagian
31 Lebih jauh mengenai konsep jaringan perdagangan dan
sistem pasar dapat dilihat Hans-Dieter Evers., “Traditional Trading Networks in Southeast Asia”. Working Paper No. 67, Sociology of Development Research Center, (Univ. of Bielefeld, 1985), hlm. 5-6;
juga, Hans-Dieter Evers., “Traditional Trading Networks of Southeast Asia”. In: Archipel, volume 35, pp. 89-100. (1988), hlm.
92-95. 32 Lihat, David Kenneth Fieldhouse., Economics and Empire
1830-1914. (London: Cox and Wyman Ltd, 1976), hlm. 78.
24
dari Konvensi London 1814 dan Traktat London 1824, namun di
pihak lain pemerintah Belanda juga ingin melanjutkan monopoli
perdagangan yang sudah di jalankan VOC selama hampir 200
tahun di Nusantara. Sistem monopoli yang telah berlangsung
sejak masa VOC kemudian menjadi pilihan Pemerintah Belanda
untuk di terapkan di wilayah koloninya.33 Seperti yang terjadi di
wilayah Timor Barat dalam hal monopoli perdagangan cendana.
Memang benar bahwa pada tahun 1865 pemerintah Belanda
membuka Kupang sebagai pelabuhan bebas, namun dalam
pelaksanaannya pemerintah Belanda masih sering mencampuri
dan memonopoli kegiatan produksi dan perdagangan cendana di
wilayah ini.
Pemikiran yang melandasi kebijakan monopoli pada
dasarnya sejalan dengan gagasan ekonomi merkantilisme, yang
berpendapat bahwa kekayaan merupakan alat untuk melayani
kekuasaan. Sehingga kekayaan dan kekuasaan harus saling
mendukung, dengan kata lain jika ingin memperluas kekuasaan
maka kekayaan pun harus ditingkatkan.34 Merkantilisme juga
beranggapan bahwa kekayaan dunia tetap sehingga keuntungan
suatu negara dianggap sebagai kerugian bagi negara lain. Itulah
33 Edward Lamberthus Poelinggomang., Makasar Abad Ke-
19: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2002), hlm. 1.
34 Ibid., hlm. 4.
25
sebabnya keuntungan dan kekuasaan dianggap sebagai dua sisi
mata uang yang saling bergandengan atau harusnya berjalan
seiringan.35 Negara merkantilisme cenderung melindungi
perdagangan di negaranya dan memonopoli perdagangan di
koloninya, seperti yang di terapkan VOC di Nusantara.36
Pertumbuhan ekonomi atau perkembangan ekonomi suatu
wilayah menurut kaum Merkantilis ditentukan oleh peningkatan
perdagangan internasional dan penambahan pemasaran hasil
industri serta surplus neraca perdagangan.
F. Sumber Penulisan dan Mertode Penelitian
Penelitian ini pada hakikatnya bertujuan untuk
menghasilkan tulisan sejarah. Mengacu pada pokok
permasalahannya, penelitian ini merupakan penelitian sejarah
perekonomian namun tidak terlepas kaitannya dengan aspek-
aspek sejarah lainnya, namun fokus utamanya tentang
perdagangan cendana dan implikasinya terhadap perekonomian di
Timor Barat pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Sumber
awal dalam penulisan ini didapat dari beberapa artikel dan buku-
buku terbitan yang berkaitan dengan pokok penelitian.
Pencarian awal sumber penelitian dilakukan dengan
mencoba mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan tema
35 Ibid., hlm. 5.
36 Charles Ralph Boxer., The Dutch Seaborne Empire 1600-
1800. (London: Hutchinson and Co, 1972), hlm. 24.
26
penelitian di beberapa perpustakaan yang berada di dalam
kampus Universitas Gadjah Mada, diantaranya yaitu
Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Fakultas
Kehutanan, Perpustakaan Pusat, dan Pusat Studi Pedesaan. selain
itu penulis juga mengunjungi salah satu perpustakaan di wilayah
Yogyakarta yaitu perpustakaan Ignatius. Dari Perpustakaan Pusat
dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM ditemukan
beberapa tulisan yang menyinggung tentang cendana di Pulau
Timor, serta buku-buku Antropologi yang membahas tentang
kebudayaan di Nusa Tenggara Timur, juga beberapa literatur
tentang sejarah Nusa Tenggara Timur. Sumber-sumber tersebut
walaupun masih bersifat umum namun dapat memberi informasi
awal mengenai tema penelitian.
Selain itu penulis coba mencari literatur-literatur atau
jurnal-jurnal di Jstor, disini penulis menemukan beberapa jurnal
tentang pulau Timor, walaupun tidak berkaitan dengan kajian ini
tapi sedikit banyaknya telah memberi informasi awal mengenai
penulisan. Selanjutnya penulis mencoba mencari artikel-artikel
online di internet yang berkaitan dengan tema kajian, walaupun
data yang didapat perlu di ferifikasi lagi namun dapat menjadi
informasi awal bagi pencarian data kedepan.
Setelah berada di Kupang penulis memulai pencarian
sumber dengan mengunjungi Kantor Badan Arsip Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur, namun sayang kenyataan di lapangan tidak
27
sesuai dengan apa yang diharapkan, karena ternyata koleksi arsip
di Badan Arsip Daerah Provinsi NTT hanya berisi arsip-arsip pada
periode Repubilik Indonesia, yang mana koleksi tertuanya adalah
dari tahun 1950-an. Hal yang sama juga terjadi di bebarapa Badan
Perpustakaan dan Kearsipan Daerah di Kabupaten dan Kota yang
berada di wilayah Timor Barat, diantaranya Badan Perpustakaan
dan Kearsipan Daerah Kabupaten Kupang, TTS, TTU, dan Belu,
yang penulis kunjungi, kerena ternyata koleksi arsipnya rata-rata
berkisar tahun 1964 ke sini.
Namun karena di wilayah kabupaten, Badan Kearsipan
dengan Perpustakaan Daerah Kabupaten masih satu naungan,
maka penulis tidak pulang dengan tangan kosong. Disini penulis
menemukan beberapa karya tulis yang diterbitkan maupun yang
tidak diterbitkan, juga buku-buku terbitan lokal di masing-masing
Perpustakaan Daerah Kabupaten. Walaupun kebanyakan dari
temuan ini menulis tentang budaya dan cerita-cerita rakyat di
wilayah masing-masing, namun dari situ penulis lumayan banyak
mendapat informasi atau gambaran mengenai tema penelitian.
Setelah itu penulis melanjutkan lagi dengan mencari sumber
di Badan Perpustakaan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur
yang berada di Kupang. Disini penulis menemukan banyak
sumber yang berkaitan dengan periode penelitian yang mana
sumber ini berupa laporan-laporan perjalannan, jurnal, juga
28
artikel-artikel yang membahas tentang Timor dan lain-lain, yang
semuanya telah diterjemakan ke dalam bahasa Indonesia.
Selanjutnya penulis juga mengunjungi Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, di Jakarta. Disini penulis juga menemukan catatan-
catatan arsip, seperti Algemeen Verslag dan dokumen-dokumen
atau catatan arsip yang lain. Dengan arsip-arsip ini sangat
membantu penulis dalam mengungkapkan tentang perdagangan
cendana dan perubahan perekonomian di Timor Barat.
Wawancara juga penting dilakukan untuk lebih melengkapi
sebuah penelitian. Hal-hal yang tidak tertulis dalam arsip dan
catatan lainnya dapat ditelusuri dengan wawancara dari sumber-
sumber yang relevan dengan penelitian tentunya dengan
memperhatikan kredibilitas kesaksian.37 Namun dalam kajian ini
tidak menggunakan sumber wawancara, mengingat periode yang
sangat lampau sehingga tidak dapat ditemukan narasumber yang
sejaman. Tapi dari tidak adanya data wawancara, dapat dilengkapi
kekurangan itu dengan menggunakan foklor dan cerita-cerita
rakyat yang beredar di masyarakat. Sumber-sumber tersebut diuji
secara kritis sehingga menghasilkan tulisan yang objektif.38
37 Helius Sjamsuddin., Metodologi Sejarah. (Yogyakarta:
Ombak, 2007), hlm. 147. 38 Helius Sjamsuddin., Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta:
Depdikbud, 1996), hlm.61.
29
Selain sumber lisan dan tertulis, penelitian ini juga
menggunakan foto sebagai sumber penulisan. Sebagian besar foto
diperoleh dari webside KITLV dan Tropen Museum. Foto selalu
menyimpan banyak cerita dibaliknya, latar belakang foto misalnya,
jika foto diambil di rumah, akan menunjukkan gaya hidup tiap
keluarga. Demikian juga dengan data lain tentang perabot rumah,
pakaian, kendaraan, dan klangenan, mungkin terungkap lewat
foto.39
Setelah sumber tertulis, lisan dan visual didapatkan,
selanjutnya dilakukan verifikasi atau kritik terhadap sumber-
sumber tersebut. Kritik sumber merupakan tahap penilaian atau
pengujian terhadap bahan-bahan sumber yang diperoleh dari
sudut pandang nilai kebenarannya. Terdapat dua macam kritik,
yakni kritik ekstern untuk meneliti otentisitas atau keaslian
sumber, dan kritik intern untuk meneliti kredibilitas sumber.40
Foto contohnya, dilihat terlebih dahulu autentisitasnya, apakah
hasil dari pemotretan alami atau justru hasil manipulasi studio.
Kemudian diuji kredibilitasnya dengan cara melihat subjek yang
39 Apriani Harahap., Voor Indiers: Sejarah Kehidupan Sehari-
hari Orang India di Kota Medan Abad Ke-20. (Universitas Gadjah
Mada, Tesis-2014), hlm. 23. 40 Kuntowijoyo., Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1995), hlm. 100.
30
ditampilkan foto, apakah sudah lazim pada masa ketika foto itu
diproduksi.41
Selesai melakukan verifikasi, tahap selanjutnya adalah
menguraikan fakta-fakta yang terkandung dalam sumber,
kemudian menyatukannya, dan terakhir menyajikannya dalam
tulisan atau historiografi. Menurut Gottschalk Louis, historiografi
adalah rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau
berdasarkan data yang diperolah dengan menempuh proses
menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan
masa lampau.42
Dengan demikian, metode penelitian dalam studi ini
sepenuhnya menggunakan metode sejarah, dimulai dari tahap
pencarian sumber, verifikasi sumber, perumusan fakta, sampai
penyajian pemikiran baru dalam tulisan. Sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Kuntowijoyo, metode sejarah pada prinsipnya
melalui empat tahapan yaitu heuristik, kritik atau verifikasi,
interpretasi, dan historiografi.43
41 Apriani Harahap., log. cit. 42 Gottschalk Louis., The Nature of Historical Explanation.
(London: Oxford University Press, 1985); lihat pula, Gottschalk Louis., Mengerti Sejarah. Cet. 4, Terjemahan, Notosusanto.
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), hlm. 39. 43 Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 89.
31
G. Sitematika Penulisan
Penulisan ini dimulai dengan Bab I yaitu pengantar, yang
berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual,
sumber penulisan dan metode penelitian, sampai sitematika
penulisan. Selanjutnya dalam Bab II memaparkan mengenai
cendana dan Masyarakat Timor Barat. dimulai dari keadaan alam,
masyarakat dan pemenuhan kebutuhan, kemudian mengenai
struktur agrarianya yang dilanjutkan dengan membahas tentang
arti cendana bagi masyarakat Timor Barat, dan ditutup dangan
berkembangnya pengaruh Eropa.
Sebagai gambaran tentang bagaimana keadaan perdagangan
cendana pada abad-abad sebelumnya maka, dalam Bab III akan
dibahas berakaitan dengan perdagangan cendana sebelum abad
ke-19. Kemudian dalam Bab IV akan dibahas mengenai
perdagangan cendana Timor Barat abad ke-19, dan akan
difokuskan pada jejaring sampai pada monopoli perdagangan.
Kemudian dalam pembahasan Bab V akan dipaparkan
mengenai perubahan-perubahan atau implikasi dari perdagangan
cendana terhadap perekonomian di Timor Barat sampai awal abad
ke-20, dan yang terakhir adalah Bab VI merupakan bab penutup,
yang akan memberikan jawaban dari permasalahan dan realisasi
dari tujuan penelitian.