BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... ·...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67560/potongan/S1-2013... ·...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di seluruh dunia penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah
kesehatan. Di Amerika serikat, insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat.
Kurang lebih 26 juta orang dewasa di Amerika dan jutaan warga lain berisiko
terkena gagal ginjal kronik (Lonkhorst dan Wish, 2010). Insiden penyakit GGK
meningkat rata-rata 8% setiap tahunnya (Novoa dkk., 2010). Indonesia sendiri
belum memiliki sistem registrasi yang lengkap dibidang penyakit ginjal, namun di
Indonesia diperkiraan 100 per sejuta penduduk atau sekitar 20.000 kasus baru
dalam setahun (Wahyuni, 2009 cit. Putra, 2012).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif yang
terjadi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun (Wells dkk., 2009). Anemia
merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai hal ini terjadi pada sekitar
80-90% penderita gagal ginjal kronik (Lukito, 2008). Studi populasi yang
dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
menyebutkan bahwa insidensi anemia pada GGK stadium 1 dan 2 kurang dari
10%, pada stadium 3 meningkat menjadi 20-40%, 50-60% pada stadium 4, dan
menjadi lebih dari 70% pada stadium 5 (Lonkhorst dan Wish, 2010). Anemia
yang berkepanjangan akan mempercepat proses memburuknya fungsi ginjal
(Lukito, 2008). Anemia biasanya memberikan kontribusi yang buruk untuk
2
kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik (KDOQI, 2006) sehingga,
penanganan anemia yang tepat juga mengurangi progresifitas GGK.
Penyebab utama anemia adalah menurunnya kadar eritropoietin,
penanganan dengan eritropoietin memberikan outcome yang baik selain
peningkatan Hb, kualitas hidup juga membaik, namun obat ini relatif mahal
sehingga pemakaiannya terbatas sehingga dalam penanganan anemia masih
banyak digunakan transfusi darah karena cara yang paling cepat untuk
meningkatkan hematokrit pada pasien namun ada kemungkinan terjangkit
penyakit hepatitis B, C, dan juga HIV-AIDS (Lukito, 2008).
Biaya terapi yang dikeluarkan untuk penanganan GGK, berdasarkan
United Stated Renal Data System pada tahun 2010 total biaya ESRD (End-Stage
Renal Disease) 32,9 miliar dolar dan untuk biaya tiap orang per tahun sekitar
30,679 dolar (USRDS, 2012). Biaya langsung dalam penanganan penyakit GGK
ini menghabiskan sampai 2% dari anggaran sistem pelayanan kesehatan (Novoa
dkk., 2010) dan dilihat dari data yang dilaporkan United Stated Renal Data
System (USRDS) dari tahun ke tahun biaya yang dikeluarkan untuk penanganan
GGK semakin meningkat. Oleh karena itu, tidak bisa dielakkan dari tahun ke
tahun biaya pelayanan medis dan pelayanan kefarmasian semakin meningkat.
Disinilah peran farmasis sangat dibutuhkan, farmasis harus menjadi pemain
kunci dalam menjamin terapi obat dan pelayanan farmasi agar tidak hanya aman
dan efektif namun juga mempunyai nilai yang nyata dari sisi ekonomi dan
humanistic (Bootman dkk., 2005).
3
Berdasarkan pertimbangan diatas peneliti merasa perlu melakukan
penelitian untuk mengetahui total biaya terapi dan outcome terapi pada
penggunaan transfusi darah dalam terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronik.
Selain itu, perlu diketahui komponen yang mempengaruhi besarnya biaya terapi
yang digunakan untuk pengobatan anemia pada GGK serta faktor yang
mempengaruhi total biaya terapi.
Penelitian ini dilakukan di RSI Ibnu Sina. Rumah Sakit ini dipilih karena
merupakan RS dengan pelayanan lengkap dengan dokter-dokter spesialis dan
peralatan penunjang medis yang dibutuhkan, yang telah berkembang dan
mendapat kemajuan yang pesat, sehingga menjadi Rumah Sakit kebanggaan umat
islam di Provinsi Riau.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran pengobatan anemia dengan terapi transfusi darah pada
pasien gagal ginjal kronik ?
2. Berapa besar total biaya terapi yang dibutuhkan dalam terapi anemia dengan
transfusi darah, komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi besar
dalam pembiayaan dan faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total
biaya terapi anemia pada gagal ginjal kronik?
3. Bagaimana outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran pengobatan anemia dengan terapi transfusi
darah pada pasien gagal ginjal kronik.
4
2. Untuk mengetahui total biaya terapi yang dibutuhkan dalam terapi anemia
dengan transfusi darah, komponen biaya yang memiliki kontribusi besar
dalam pembiayaan dan faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total
biaya terapi anemia pada gagal ginjal kronik.
3. Untuk mengetahui outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit, salah satu sumber informasi tentang analisis total biaya
terapi pada terapi anemia dengan transfusi darah serta outcome terapinya.
2. Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.
3. Sebagai pendukung kemajuan ilmu kesehatan dalam bidang
farmakoekonomi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Rumah Sakit Islam Ibnu Sina
Sebuah cita-cita untuk mendirikan Rumah Sakit Islam (YARSI) Riau
dimulai sejak tahun 1968. Rumah Sakit Islam Ibnu Sina merupakan suatu
bangunan monumental kebanggaan umat Islam baik di bumi Lancang Kuning
Riau. YARSI Riau didirikan pada tanggal 7 Januari 1980 dengan Akta
Pendirian No. 19/1980 dihadapan Notaris Syawal Sutan Diatas. Sejarah
dimulainya kegiatan pembangunan YARSI Riau diawali dengan lembaran
panjang sejarah sebuah gagasan. Pada mulanya, beberapa gagasan untuk
pendirian sebuah rumah sakit yang bernuansa Islami muncul dari keadaan
kebutuhan umat Islami akan pelayanan kesehatan
5
YARSI Riau yang telah berganti badan hukum menjadi PT. SYIFA
UTAMA dengan salah satu unit bisnisnya, mengelola sebuah rumah sakit
dengan nama Rumah Sakit Islam (RSI) Ibnu Sina Pekanbaru telah
berkembang dan mendapatkan kemajuan yang pesat. Diawali dari sebuah
klinik yang mengontrak sebuah bangunan dengan satu dokter hingga kini
telah berkembang menjadi sebuah rumah sakit swasta dengan ciri
memberikan pelayanan secara islami lengkap dengan dokter-dokter spesialis
dan peralatan menunjang medis yang dibutuhkan.
Sekarang Rumah Sakit Ibnu Sina Pekanbaru terlah berumur 26 tahun
dengan kelebihan dan kekurangan tetap ada dalam melayani kesehatan
masyarakat dari berbagai penjuru Provinsi Riau maupun Provinsi tetangga.
2. Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi GGK
Menurut K/DOQI gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal lebih dari 3
bulan, diperlihatkan dengan adanya abnormalitas struktur atau fungsional
ginjal, dengan atau tanpa penurunan glomerular filtration rate (GFR),
dengan manifestasi klinik yaitu abnormalitas patologi atau adanya marker
adanya kerusakan ginjal seperti abnormalitas komposisi darah atau urin, atau
abnormalitas pada imaging test (K/DOQI, 2002). Gagal ginjal kronik adalah
keadaan penurunan fungsi ginjal yang progresif selama beberapa bulan
sampai beberapa tahun (Wells dkk., 2009).
6
b. Etiologi
Penyebab tersering penyakit gagal ginjal kronik antara lain, diabetes
mellitus, hipertensi, glomerulonephritis, penyakit ginjal polikistik, urologi,
dan lain-lain. Penyebab utama GGK adalah diabetes mellitus dan hipertensi
(O’Callaghan, 2006).
c. Patofisiologi
1. GGK karena hipertensi
Dampak primernya adalah kerusakan pada pembuluh darah ginjal akibat
tekanan meningkat. Pada dinding arteri interlobularis, otot digantikan oleh
jaringan skerolitik, dinding arteri aferen mengalami hialinisasi-deposit lipid
dan glikoprotein subintimia yang keluar dari plasma. Kerusakan pada
pembuluh resisten ini membuat endotel kapiler glomerulus terkena
hipertensi merusak hal ini menurunkan aliran darah dan filtrasi glomerulus,
dan memacu proteinuria (O’Callaghan, 2006).
2. GGK karena Diabetes
Hiperglikemia pada diabetes menyebabkan meningkatnya ekspresi NO
syntase (eNOS) di arteri aferen dan kapiler glomerulus. Hal ini memicu
vasodilatasi dan naiknya GFR, secara cepat menyebabkan disfungsi
endothelial dan perubahan hemodinamik, kehilangan glomerular basement
membrane (GBM) electric charge dan kekenyalan GBM, turunnya jumlah
podosyte yang menginisiasi luka pada glomerulus kemudian berkembang
menjadi glomerulosklerosis. Glomerulosklerosis ini terutama disebabkan
turunnya jumlah podosite (Novoa dkk., 2010).
7
d. Faktor Risiko
Faktor risiko yang berkaitan dengan terjadinya gagal ginjal kronik antara
lain :
1. Susceptibility merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya
GGK. Meliputi usia lanjut, penurunan massa ginjal dan berat badan lahir
rendah, riwayat keluarga, tingkat pendidikan dan ekonomi rendah,
inflamasi sistemik, dan dyslipidemia.
2. Initiation merupakan faktor yang secara langsung menyebabkan
kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi obat, meliputi
diabetes, hipertensi, glomerulonephritis, autoimun, penyakit ginjal
polikistik, infeksi saluran kemih, bantu ginjal dan toksisitas obat.
3. Progression merupakan faktor risiko yang memperburuk kerusakan
ginjal. Meliputi glikemia, peningkatan tekanan darah, proteinuria,
obesitas dan merokok. (Wells dkk., 2009).
e. Manifestasi Klinik
Anemia, hiperparatiroidisme sekunder, penyakit kardiovaskular, malnutrisi,
abnormalitas cairan dan elektrolit, gejala uremia (lelah, sesak nafas,
kebingungan mental, mual muntah, pendarahan, anoreksia). Umumnya pada
pasien GGK stadium 5 mungkin juga mengalami gatal-gatal, intoleransi
dingin, berat badan menurun, dan perifer neuropati (Dipiro, 2008).
f. Klasifikasi GGK
GGK diklasifikasikan menjadi lima berdasarkan adanya kerusakan struktur
ginjal dan penurunan fungsi ginjal (kecepatan filtrasi ginjal/GFR).
8
Tabel 1. Klasifikasi Gagal ginjal kronik
Stadium Deskripsi GFR
(mL/min/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR
normal atau tinggi
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR ringan
60-89
3 Penurunan GFR sedang 30-59
4 Penurunan GFR berat 15-29
5 Gagal ginjal <15
(KDOQI, 2006)
g. Diagnosis
Diagnosis GGK dapat diketahui dari hasil evaluasi laboratorium seperti :
1. Pemeriksaan serum kreatinin untuk estimasi GFR (Glomerular filtration
rate)
2. Rasio protein dengan kreatinin atau albumin dengan kreatinin pada
sampel urin di pagi hari
3. Pemeriksaan endapan urin
4. Melihat keadaan ginjal menggunakan USG
5. Elektrolit darah seperti natrium, kalium, klorida, bikarbonat (K/DOQI,
2002).
h. Komplikasi
Banyak komplikasi timbul seiring dengan penurunan fungsi ginjal antara
lain :
9
1. Anemia pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan oleh produksi
eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal.
2. Dehidrasi, hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi
natrium dan air akibat hilangnya nefron. Namun demikian, beberapa
pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi
tubulus, sehingga mengeksresi urin sangan encer, yang dapat
menyebabkan dehidrasi.
3. Hiperparatiroidisme
4. Hyperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat
penurunan katabolisme trigliserida.
5. Uremia
6. Fungsi imumologis terganggu pada gagal ginjal kronik, uremia menekan
fungsi sebagian besar imun.
7. Malnutrisi
8. Penyakit jantung (O,Callaghan, 2006).
i. Komorbid
Pasien dengan GGK mengalami berbagai kondisi komorbid. Kormorbiditas
adalah keadaan lain selain penyakit utama (dalam hal ini GGK). Komplikasi
seperti hipertensi, anemia, malnutrisi, penyakit tulang dan neuropathy tidak
termasuk dalam komorbid. Ada tiga tipe komorbid yaitu penyakit yang
menyebabkan GGK (contoh : diabetes dan tekanan darah tinggi), penyakit
yang tidak berkaitan dengan GGK, dan penyakit kardiovaskuler (K/DOQI,
2002).
10
j. Terapi
Terapi pada GGK lebih pada pengatasan gejala yang muncul.
1. Anemia
Diobati dengan eritropoietin, setelah dipastikan tidak ada pendarahan dari
saluran pencernaan atau menstruasi berlebihan serta kadar besi, folat dan
vitamin B12 adekuat (O’callaghan, 2006) atau pada kondisi mendesak
menggunakan transfusi darah.
2. Hipertensi
Tekanan darah target untuk pasien GGK 130/80mmHg. ACE inhibitor atau
ARB merupakan first line untuk pasien hipertensi dengan GGK (Carrol,
2006)
3. Diabetes
Target kadar HgbA1C < 7% (Carrol, 2006) dan target glukosa darah
prepandrial 70 -120 mg/dl dan postpandrial <180 mg/dL.
4. Proteinuria
Ditemukan sejumlah protein dalam urin. Hal ini biasa terjadi seiring
dengan meningkatnya keparahan penyakit GGK. Jika rasio albumin
dengan kreatinin > 0,3 sebaiknya diterapi dengan ACEI atau ARB (Carrol,
2006).
5. Dyslipidemia
Obat yang dianjurkan golongan statin tidak ada penyesuaian dosis
(Abboud, 2010).
6. Penyakit tulang
11
Diobati dengan mengurangi asupan fosfat, mengonsumsi senyawa
pengikat fosfat bersama makanan, dan mengkonsumsi vitamin D3 atau
1,25-dihidroksi-vitamin D3 (O’callaghan, 2006).
3. Anemia pada Gagal Ginjal Kronik
a. Eritropoiesis
Eritropoiesis merupakan proses terbentuknya sel darah merah yang terjadi di
sumsum tulang. Eritropoiesis diatur oleh regulator humural eritropoietin
(EPO) (Notopoero, 2007). Eritropoietin merupakan protein retglikosilasi
tinggi yang mengandung 165 asam amino. Protein ini berinteraksi dengan
reseptor eritopoietin (EpoR) yang homolog dengan reseptor faktor
pertumbuhan lainnya. Ginjal merupakan sumber utama eritropoietin, yaitu
faktor pertumbuhan hematopoietic yang memacu pembentukan sel darah
merah, eritropietin meningkatkan produksi retikulosit dan pelepasan dini
retikulosit dari sumsum tulang (O’callaghan, 2006). Ketika ginjal mendeteksi
rendahnya kadar oksigen di darah maka ginjal akan melepaskan hormon yang
tersebut EPO yang akan menuju sumsum tulang merah untuk menstimulasi
pembentukan sel darah merah (Lankhorst dan Wish, 2010).
b. Definisi Anemia
Anemia adalah sekelompok gangguan yang dikarakterisasi dengan
penurunan hemoglobin atau sel merah (SDM), berakibat pada penurunan
kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah (Wells, 2009). Menurut
Guideline snemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin (Hb) pada anemia adalah
<13.5 g/dL untuk laki-laki dan 12.0 g/dL untuk wanita. Target Hb yang
12
diharapkan pada anemia karena GGK adalah ≥11g/dL dengan Tsat >20%
untuk terapi menggunakan ESAs (KDOQI, 2006; Hudson, 2008).
Anemia dapat terjadi pada semua stadium GGK, prevalensi dan
keparahannya berkorelasi dengan penurunan GFR. Prevalensi anemia
meningkatkan ketika GFR kurang dari < 60 mL/menit/173m2. Berdasarkan
survey yang dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES). Adanya kenaikan prevalensi anemia 5% pada stadium 3 GGK
menjadi 44% pasien stadium 4, semua pasien stadium 5 akan menderita
anemia (Berns dkk., 2006).
c. Etiologi
Sebab-sebab terjadinya anemia adalah sebagai berikut :
a) Defisiensi
zat-zat tersebut antara lain, zat besi, vitamin B12, asam folat dan
pyridoxine.
b) Pusat
karena gangguan fungsi sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh
anemia penyakit kronik, anemia pada lansia dan kanker sumsum tulang.
c) Peripheral
1. Pendarahan (hemorrhage)
2. Hemodialisis (anemia hemodialisis)
d. Patofisiologi Anemia karena GGK
Faktor yang dianggap paling berperan adalah menurunnya produksi
eritropoietin, eritropoietin dihasilkan oleh ginjal dan sebagian kecil oleh
13
hepar. Fungsi eritropoietin adalah merangsang sel progenitor eritroid untuk
berdiferensiasi dan maturasi sehingga menghasilkan eritroblas dan
mempercepat pelepasan retikulosit. Pada ginjal yang sehat bila terjadi
penurunan konsentrasi hemoglobin dan saturasi oksigen dalam darah, maka
hipoksia yang terjadi akan merangsang pembentukan eritropoietin sampai
100-1000 mU/ml. sedangkan pada gagal ginjal kronik, rangsangan
hipoksemia karena anemia akan menyebabkan ginjal tidak menghasilkan
eritropoietin, hal ini disebabkan oleh sel-sel yang memproduksi eritropoietin
sudah rusak, jadi pasien dengan gagal ginjal kronik mempunyai respon
eritropoietin yang submaksimal terhadap stimulus anemia (Lukito, 2008).
e. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala tergantung pada onset, penyebab anemia dan individu.
Anemia onset akut dikarakterisasi dengan gejala kardiorespiratori seperti
takikardia, kepala terasa ringan, dan sesak napas. Anemia kronis
dikarakterisasi dengan rasa lelah, letih, vertigo, pusing, sensitif terhadap
dingin, pucat, dan hilang skin tone. Orang dewasa normal dapat mentoleransi
anemia lebih baik daripada orang yang sudah tua.
Anemia defisiensi besi dikarakterisasi dengan rasa tidak enak pada lidah,
penurunan aliran saliva, pagophagia (compulsive eating of ice). Anemia
defisiensi vitamin B12 dan asam folat dengan kulit pucat, icterus, dan atropi
mukosa gastrik (Sukandar dkk., 2009). Anemia yang terjadi dalam jangka
waktu yang lama akan berakibat pada banyak hal, diantaranya menyebabkan
kenaikan cardiac output untuk mengimbangi turunnya kapasitas oksigen
14
yang dibawa darah yang akan menyebabkan naiknya stroke volume dan
denyut jantung, terjadinya penurunan fungsi kognitif, hiperprolaktinemia,
defisiensi hormon pertumbuhan, kerusakan pada hormon seks, dan terjadinya
pendarahan (Macdougall, 2011).
f. Diagnosis Anemia
Pada pasien GGK dengan GFR kurang dari 60 ml/menit/1.73 m2 harus
dievaluasi tejadinya anemia (Macdougall, 2011), kadar Hb pada anemia
adalah <13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita (KDIGO,
2012).
Tes laboratorium yang diperlukan dalam penegakan diagnosis anemia pada
GGK:
1. Pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/CBC)
Pemeriksaan ini meliputi konsentrasi Hb, indeks sel darah merah (mean
corpuscular hemoglobin, mean corpuscular volume, mean corpuscular
hemoglobin consentration).
2. Absolute reticulosyte count
Retikulosit dilepaskan ke sirkulasi darah kira-kira dua hari sebelum matang
menjadi sel darah merah. Reticulosyte count dapat memperkirakan jumlah
dan persentase retikulosit di sirkulasi darah. Normalnya, reticulosyte count
berkisar 1-2% dari sel darah merah di sirkulasi darah. Ketika terjadi anemia,
retikulosit dalam jumlah yang lebih besar dilepaskan ke darah sehingga
menaikkan jumlah dan persentasenya.
3. Level ferritin serum
15
Feritin merupakan parameter untuk menilai cadangan besi tubuh. Jika
kurang dari 100 µg/L. menandakan butuh suplemen besi. Pada ACD
(anemia chronic disease) konsentrasinya normal atau meningkat.
4. Saturasi transferrin serum (TSAT)
Jika terjadi penurunan menjadi >20% maka menunjukkan adanya
kekurangan besi.
5. Kadar vitamin B12 level asam folat
Kadang tidak umum dilakukan pemeriksaan, tetapi penting untuk diterapi
pada kasus anemia khususnya yang terjadi sel darah merah makrositik.
6. TIBC (Total Iron Binding Capacity)
7. Kadar besi
Pada IDA (iron deficiency anemias/ anemia karena kekurangan besi) dan
pada ACD (anemia chronic disease/ anemia penyakit kronik)
konsentrasinya rendah (Ineck dkk., 2008; Lankhorst dan Wish, 2010;
KDIGO, 2012).
g. Jenis Anemia
Anemia diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah merah yaitu anemia
makrositik berarti ukuran sel darah merah lebih besar dari normal, hal ini
terkait dengan defisiensi vitamin B12 atau asam folat, anemia mikrositik
yaitu ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal dan terjadi akibat
defisiensi zat besi, anomali genetik (sickle cell anemia, thalassemia,
hemoglobinopati lainnya ) dan anemia normositik yaitu ukuran sel darah
16
merah tetap normal dan ini terjadi pada keadaan penyakit kronis dan
kehilangan darah (Wells dkk., 2009; Sukandar, 2009).
Anemia yang terjadi pada GGK merupakan anemia normokromik
normocytic karena anemia yang terjadi disebabkan oleh turunnya sintesis
eritropoietin (Macdougall, 2011).
h. Tatalaksana Terapi Anemia
1. Asam folat menstimulasi produksi sel darah merah, sel darah putih dan
platelet pada anemia megaloblastik (Sukandar dkk, 2009).
2. Vitamin B12, suplemen vitamin B12 oral sama efektifnya dengan parenteral
meskipun pada beberapa pasien dengan anemia pernisiosa, karena jalur
absorpsi vitamin B12 alternatif tidak dipengaruhi faktor intrinsik (Sukandar
dkk., 2009).
3. Hemodialisis
4. Eritropoietin Stimulating Agent (ESA)
ESA adalah semua agen yang menambah aksi eritropoesis pada reseptor
eritropoetin secara langsung maupun tidak langsung. ESA yang tersedia
saat ini seperti epoetin alfa, epoetin beta, dan darbepoetin (KDOQI, 2006).
5. Terapi besi
Keputusan untuk memberikan pasien dengan terapi besi harus didasarkan
pada pertimbangan kadar Hb yang diinginkan. Suplemen besi baik oral
atau IV telah dipertimbangkan dan tepat yang diharapkan menguntungkan
(KDIGO, 2012). Pasien seharusnya tetap diberikan suplemen besi
17
meskipun sudah mendapatkan terapi ESAs karena secara farmakologi
induksi eritropoiesis dibatasi oleh ketersedian zat besi (Nukro, 2007).
6. Transfusi darah
Transfusi darah merupakan lini ketiga dalam terapi anemia pada GGK
(Ineck dkk., 2008). Penggunaan transfusi darah perlu dipertimbangkan
antara manfaat dan kerugiaannya. Manfaatnya menjaga ketersediaan
oksigen (KDIGO,2012). Transfusi darah kadang diperlukan, khususnya
dalam pengaturan perdarahan akut (KDOQI, 2006).
i. Transfusi Darah
Transfusi darah masih banyak digunakan dalam penanganan anemia karena
cara yang paling cepat untuk meningkatkan hemtokrit pada pasien namun ada
kemungkinan terjangkit penyakit hepatitis B, C, dan juga HIV-AIDS (Lukito,
2008). Risiko lain adalah terjadi overlood zat besi karena penggunaan
transfusi dalam jangka waktu berbulan-bulan hingga hitungan tahun akan
menyebabkan terjadinya ketergantungan terhadap supplay sel darah merah
dari luar (KDIGO, 2012). Karena itu transfusi darah hanya diberikan pada
keadaan khusus, yaitu :
1) Ketika kadar Hb <7g/dL atau ketika anemia kronik menunjukkan gejala
yang parah.
2) Tidak memungkinkan untuk dilakukan terapi menggunakan eritropoietin.
Transfusi darah diberikan ketika dengan pemberian ketika dengan
pemberian terapi ESA tidak efektif seperti pada keadaan
hemoglobinopathies, bone marrow failure, ESA resistence dan
18
penggunakan ESA lebih banyak kerugian daripada keuntungan disebabkan
kondisi pasien (KDIGO, 2012).
3) Pengobatan anemia pada situasi klinik mendesak
Contoh : terjadi hemorragi (pendarahan akut), pada unstable coronary
artery disease dan pada tindakan dialysis. Transfusi darah dapat diberikan
secara bertahap bersamaan dengan waktu hemodialisis untuk menghindari
kelebihan cairan (Prodjosudjadi dan Lydia, 2001).
Dalam memutuskan penggunaan terapi anemia tidak hanya didasarkan pada
kadar Hb saja namun juga memperhatikan gejala yang muncul (KDIGO, 2012).
Berdasarkan PERNEFRI tahun 2012 menyebutkan transfusi darah dilakukan jika
kadar Hb < 7 g/dL. Target terapi transfusi darah menurut PERNEFRI tahun 2012
adalah 7 - 9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi ESA). Pada kadar Hb
≥ 7 g/dL diketahui pasien juga mendapatkan transfusi darah hal ini, dapat terjadi
jika gejala anemia yang ada menyebabkan pasien tidak bisa beraktivitas tanpa
diobati terlebih dahulu anemia yang diderita, sehingga harus ditransfusi (Sharma
dkk., 2011). Kadar Hb optimum (transport oksigen terbesar pada kondisi energi
kecil) adalah pada Hb 10 g/dL.
4. Evaluasi Farmakoekonomi
a. Pengertian Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah deskripsi dan analisis biaya terapi menggunakan
obat untuk memelihara fungsi kesehatan dan sosial. Penelitian
farmakoekonomi adalah proses identifikasi, mengukur, dan membandingkan
harga (yang akan dikeluarkan konsumen) dengan konsekuensi (klinik,
19
ekonomi, humanistic) dari produk dan pelayanan kefarmasian (Bootman,
2005).
b. Kategori Biaya
1) Biaya medis langsung (direct medical cost) adalah biaya yang harus
dibayarkan untuk pelayanan kesehatan. Biaya ini meliputi biaya pengobatan,
tenaga medis, biaya tes laboraturium, dan biaya pemantauan efektivitas dan
efek samping (Kulkarni dkk., 2009).
2) Biaya medis tidak langsung (direct non medical cost) adalah biaya yang
harus dikeluarkan secara langsung yang tidak terkait langsung dengan
pembelian produk atau jasa pelayanan kesehatan. Biaya yang termasuk
didalamnya adalah biaya transportasi dari dan ke rumah sakit, makanan untuk
keluarga pasien (Kulkarni dkk., 2009).
3) Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang dapat mengurangi
produktivitas pasien maupun keluarga, kehilangan pendapatan karena tidak
biasa bekerja akibat sakit, kehilangan waktu (Kulkarni dkk., 2009).
4) Biaya tidak teraba (intangible cost) adalah biaya yang berhubungan dengan
rasa sakit pasien dan penderitaannya, khawatir tertekan, efek nya pada
kualitas hidup. Kategori ini tidak bias diukur dalam matar uang, namun
sangat penting bagi pasien maupun dokter (Kulkarni dkk., 2009).
c. Perspektif Analisis
Perspektif adalah sudut pandang mana yang diambil peneliti dalam
melakukan evaluasi farmakoekonomi. Perspektif analisis terbagi menjadi
empat, yaitu :
20
1) Perspektif pasien yaitu pasien mendapatkan pelayanan kesehatan dengan
biaya yang murah
2) Perspektif penyedia pelayanan kesehatan yaitu menyediakan pelayanan
kesehatan yang diperlukan masyarakat.
3) Perspektif pembayar (perusahaan asuransi) yaitu membayarkan biaya terkait
dengan pelayanan kesehatan yang digunakan peserta asuransi selama
pelayanan kesehatan yang digunakan peserta termasuk dalam tanggungan
perusahaan bersangkutan. Menyusun program pelayanan kesehatan yang
lebih efektif sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan bagi
perusahaan.
4) Perspektif masyarakat yaitu masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan
untuk mencegah terjangkitnya berbagai penyakit, seperti program
pencegahan penyakit dengan imunisasi (Vogenberg, 2001).
d. Metode Evaluasi Farmakoekonomi
Metode evaluasi farmakoekonomi yang sering digunakan :
1) Cost Analysis
Cost analysis sering disebut cost of illness (COI) atau biaya yang
dikeluarkan dalam pengobatan. COI merupakan gabungan 3 komponen
yaitu biaya medik, biaya non medik yang berhubungan dengan pengobatan,
dan biaya tak langsung. Kadang juga dilakukan perhitungan biaya yang tak
teraba. Metode ini dapat mengidentifikasi biaya total yang timbul akibat
penyakit atau biaya terapi namun, tidak membandingkan kemanjuran/
efficacy dari terapi atau penggunaan obat yang satu dengan obat yang
21
lainnya. Meskipun demikian metode ini menunjukkan berapa biaya total
sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi biaya-biaya tersembunyi (hidden
cost).
2) Cost Minimization Analysis (CMA)
Metode ini mmbandingkan biaya total penggunaan 2 obat atau 2
intervensi yang efikasi dan efek samping atau outcome di anggap
ekuivalen (Bootman, 2005).
3) Cost Effectiveness Analysis (CEA)
CEA membandingkan program atau alternatif perlakuan yang memiliki
profil keamanan dan efikasi yang berbeda. Dua atau lebih program yang
dibandingkan dengan CEA harus memiliki outcome klinik yang sama
dalam psysical unit (misal penurunan nilai HbA1c, tekanan darah). Biaya
dihitung dalam unit mata uang, sedangkan keluarannya dinyatakan dalam
unit natural atau unit selain mata uang. Yang terpilih adalah program yang
memiliki biaya rendah dengan efektifitas tinggi (Vogenberg, 2001).
4) Cost Benefit Analysis (CBA)
Cost Benefit analysis merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan
manfaat suatu intervensi dengan ukuran moneter dan pengaruhnya
terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk
membandingkan perlakuan yang beda untuk kondisi yang berbeda
(Vogenberg, 2001).
5) Cost Utility Analysis (CUA)
22
Cost utility analysis merupakan tipe analisis yang membandingkan
biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan
peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Metode ini
menggunakan satuan pengukuran Quality Adjusted Life Years (QALYs)
yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas hidup. Dianggap sub
kelompok CEA (cost effective analysis) karena pengukurannya
menggunakan efektivitas biaya dan menyesuaikan dengan nilai kualitas
hidup (Vogenberg, 2001).
23
F. Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Terapi Transfusi Darah dalam
pengobatan anemia pada GGK Karakteristik Pasien:
1. Jenis Kelamin
2. Usia
3. Kelas Perawatan
4. Cara Bayar
5. Stadium GGK
6. Penyakit Penyerta
7. Lama Perawatan Biaya Terapi
Biaya Medis Langsung
1. Biaya Transfusi Darah
2. Biaya Alat Kesehatan
3. Biaya Obat Penyakit Lain
4. Biaya Anemia
5. Biaya Hemodialisis
6. Biaya Pemeriksaan
7. Biaya Layanan Rumah
Sakit
Total Biaya Terapi Analisis faktor yang mempengaruhi Total Biaya
Terapi
Outcome Terapi
transfusi darah
1. Pencapaian
target terapi
transfusi
darah
2. Peningkatan
Kadar Hb
Biaya Non
Medis
1. Biaya
Administrasi
2. Biaya Kamar
3. Biaya
Pendaftaran
24
G. Keterangan Empiris
Dengan dilakukannya penelitian ini dapat diketahui total biaya
terapi dalam menjalani terapi pada pasien anemia dengan transfusi darah
pada pasien gagal ginjal kronik rawat inap di RSI Ibnu Sina tahun 2012.
Penelitian ini juga dapat melihat gambaran terapi yang digunakan dalam
pengatasan anemia, dapat menentukan komponen biaya penyusun,
menghitung persentasenya sehingga diketahui komponen biaya manakah
yang memiliki kontribusi besar dalam pembiayaan dan melihat faktor
manakah yang mempengaruhi besarnya biaya terapi. Selain itu, dapat
melihat outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah dengan
melihat persentase pasien yang mencapai target terapi dilihat dari kadar
Hb ≥ 7 g/dl dan kenaikan kadar Hb.