panduan transfusi

31
BAB I PENDAHULUAN Transfusi darah merupakan tindakan pengobatan pada pasien (anak,bayi dan dewasa) yang diberikan atas indikasi. Kesesuaian golongan darah antara resipien dan donor merupakan salah satu hal yang mutlak. Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan. Transfusi darah telah mulai dicoba dilakukan sejak abad ke 15 dan hingga pertengahan abad ke 17, namun berakhir dengan kegagalan, karena cara pemberiannya dan pada waktu itu dipakai sebagai sumber donornya adalah darah hewan. Melalui berbagai percobaan dan pengamatan kemudian disimpulkan bahwa manusia yang semestinya menjadi sumber darah. Namun demikian pada masa ini, karena masih banyaknya kegagalan yang berakibat kematian, transfusi darah sempat dilarang dilakukan. Pada masa ini, transfusi darah telah dikerjakan langsung dari arteri donor ke dalam vena resipien. Pemikiran dasar pada transfusi adalah cairan intravaskuler dapat diganti atau disegarkan dengan cairan pengganti yang sesuai dari luar tubuh. Pada tahun 1901, Landsteiner menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian system antigen Rh (rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson di tahun 1939. Kedua system ini menjadi dasar penting bagi transfusi darah modern. Meskipun kemudian ditemukan berbagai system antigen lain seperti Duffy, Kell dan lainlain, tetapi system- system tersebut kurang berpengaruh. Tata cara transfusi darah semakin berkembang dengan digunakannya 1

description

tras

Transcript of panduan transfusi

Page 1: panduan transfusi

BAB I

PENDAHULUAN

Transfusi darah merupakan tindakan pengobatan pada pasien (anak,bayi dan dewasa)

yang diberikan atas indikasi. Kesesuaian golongan darah antara resipien dan donor

merupakan salah satu hal yang mutlak.

Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam

sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan. Transfusi darah telah mulai dicoba

dilakukan sejak abad ke 15 dan hingga pertengahan abad ke 17, namun berakhir dengan

kegagalan, karena cara pemberiannya dan pada waktu itu dipakai sebagai sumber donornya

adalah darah hewan. Melalui berbagai percobaan dan pengamatan kemudian disimpulkan

bahwa manusia yang semestinya menjadi sumber darah. Namun demikian pada masa ini,

karena masih banyaknya kegagalan yang berakibat kematian, transfusi darah sempat dilarang

dilakukan. Pada masa ini, transfusi darah telah dikerjakan langsung dari arteri donor ke dalam

vena resipien.

Pemikiran dasar pada transfusi adalah cairan intravaskuler dapat diganti atau

disegarkan dengan cairan pengganti yang sesuai dari luar tubuh. Pada tahun 1901,

Landsteiner menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian system antigen Rh

(rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson di tahun 1939. Kedua system ini menjadi dasar

penting bagi transfusi darah modern. Meskipun kemudian ditemukan berbagai system antigen

lain seperti Duffy, Kell dan lainlain, tetapi system- system tersebut kurang berpengaruh. Tata

cara transfusi darah semakin berkembang dengan digunakannya antikoagulan pada tahun

1914 oleh Hustin (Belgia), Agote (Argentina), dan Lewisohn (1915). Sekitar tahun 1937

dimulailah sistem pengorganisasian bank darah yang terus berkembang sampai kini.

Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam

banyak hal, dalam bidang anestesi misalnya dalam proses pembedahan besar. Dalam

pembedahan, pasien dapat mengalami perdarahan dari yang paling ringan sampai perdarahan

massif. Pada pasien dewasa dengan Hb normal perdarahan sampai 20% volume darah total

atau penurunan Hb sampai 9-10 g% volume darah total atau penurunan Hb masih dapat

ditoleransi oleh tubuh.

Namun transfusi bukanlah tanpa risiko, meskipun telah dilakukan berbagai upaya

untuk memperlancar tindakan transfusi, namun efek samping, reaksi transfusi, atau infeksi

akibat transfusi tetap mungkin terjadi. Maka bila diingat dan dipahami mengenai

keamanannya, indikasinya perlu diperketat. Apabila memungkinkan, masih perlu dicari

alternatif lain untuk mengurangi penggunaan transfusi darah. Pemberian komponen

1

Page 2: panduan transfusi

komponen darah yang diperlukan saja lebih dibenarkan dibandingkan dengan pemberian

darah lengkap (whole blood).1,3 Dengan alasan tersebut, maka dibuatlah refrat ini yang

diharapkan dapat memberi informasi mengenai fisiologi normal cairan dan elektrolit,

transfusi darah serta implikasi-implikasi anestesinya.

2

Page 3: panduan transfusi

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi Transfusi Darah

Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari donor ke

sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena.1 Berdasarkan sumber darah atau

komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan darah dari orang

lain;

2. Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah resipien itu

sendiri yang diambil sebelum transfusi dilakukan.

2.2 Darah sebagai Organ

Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan

sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam system kardiovaskular, tersusun dari

(1)komponen korpuskuler atau seluler, (2)komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu

materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah

putih dan keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup

dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati

jika masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala

pada waktu- waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan

sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50

volume % organ darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya

terdiri dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah

albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis.

Peran penting darah adalah (1)sebagai organ transportasi, khususnya oksigen(O2),

yang dibawa dari paru- paru dan diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa

pembakaran (CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paru- paru. Fungsi pertukaran

O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein

plasma ikut berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang

bebas dalam plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh.

Selain itu, darah juga berfungsi (2)sebagai organ pertahanan tubuh(imunologik),

khususnya dalam menahan invasi berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing.

Mekanisme pertahanan ini dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein

plasma khusus (immunoglobulin).

3

Page 4: panduan transfusi

Fungsi lain yang tidak kalah penting yaitu (3)peranan darah dalam menghentikan

perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah

apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme

fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitashomeostasis yang berlebihan.

Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah

korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang

didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat

maka diperlukan penggantian dengan jalan transfusi darah, khususnya dari komponen yang

diperlukan.2,3

2.3 Golongan Darah

Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenik berbeda.

Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal, tanda dari masing-masing

adalah di bawah kontrol genetik dari kromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem

yang penting pada transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody

(alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi

dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi

sebelumnya.

2.3.1 Sistem ABO

Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua allel: A dan B. Masing-masing

merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel

glycoprotein, menghasilkan antigen yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan

B.) Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibodi

(sebagian besar immunoglobulin M) melawan antigens di dalam tahun pertama kehidupan.

Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu kromosom tempat

berbeda. Tidak adanya antigen H (hh genotype, juga disebut Bombay pheno-type) mencegah

munculny gen A atau B; individu dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A,

anti-B, dan anti-H antibodi.4,8

Bila sel darah merah (SDM) yang ditransfusikan tidak kompatibel, antibodi dalam

plasma resipien akan mengikat reseptor khusus di dinding SDM donor. Hal ini akan

mengaktifkan jalur komplemen yang akan menyebabkan lisis dinding SDM (intravaskular

hemolisis). Jalur komplemen ini akan melepaskan anafilatoksin C3a dan C5a yang akan

membebaskan sitokin seperti TNF, IL1 Dan IL8, dan menstimulasi degranulasi sel mast

4

Page 5: panduan transfusi

dengan mengsekresikan mediator vasoaktif. Semua substansi ini bisa menyebabkan

inflamasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan hipotensi yang akan mengarah ke shock

dan gagal ginjal. Mediator juga akan menyebabkan agregasi platelet, oedema paru

peribronchial, dan kontraksi otot kecil.

Tabel 1. Daftar Golongan Darah

Golongan Antigen di

RBC

Antibodi dalam

plasma

Golongan donor yang

kompatibel

A Antigen A Anti-B A, O

B Antigen B Anti-A B, O

AB Antigen A &

B

Tidak Ada A, B, AB, O

O Tidak ada Anti- A & B O

Sumber: Kepustakaan No.2

2.3.2 Sistem Rh

Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome 1. Ada sekitar 46 Rh-

berhubungan dengan antigen, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e)

dan menyesuaikan dengan antibodi.

Biasanya, ada atau tidak alel yang paling immunogenik dan umum, D antigen,

dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen

D. Individu yang kekurangan alel ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan

melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi sebelumnya atau

kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).

2.3.3 Sistem Lain

Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg,

Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan beberapa perkecualian

5

Page 6: panduan transfusi

( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi

hemolytic serius.

2.4 Tes Kompatibilitas

Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-antibody

sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah harus di periksa

adanya antibody yang tidak baik.10

Tabel 2. Golongan darah ABO

* angka rata-rata pada orang di Eropa

2.4.1 Tes ABO-Rh

Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan inkompatibilitas

ABO. antibodi yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dari transfusi

(asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravaskular. Sel darah

merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A dan B untuk

menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO alami,

konfirmasi jenis darah kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah

merah dengan antigen yang dikenal.4,8

Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Jika

hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum

pasien dengan sel darah merah Rh (+). Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah

paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.

6

TIPE Adanya antibodi dalam serum

Insidensi*

A anti– B

45%

B anti – A

8%

AB -

4%

O anti A, anti–B

43%

Page 7: panduan transfusi

2.4.2 Crossmatching

Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima. Crossmatch

mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari 5 menit), ( 2)

mendeteksi antibodi pada golongan darah lain ,dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer

rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45

menit.

2.4.3 Screening Antibodi

Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya

dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga Coombs Tes tidak

langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum pasien dengan sel darah

merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah

dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel darah.

Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor

sebagai ganti dari crossmatch.4

7

Page 8: panduan transfusi

2.4.4 Pemeriksaan lain terhadap infeksi.

Tabel 3. Risiko transmisi agen-agen infeksi sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan rutin terhadap produk-produk darah 5,6,9

2.5 Komponen Darah

2.5.1 Whole blood

Darah lengkap segar digunakan pada perdarahan akut, syok hemovolemik, dan bedah

mayor dengan perdarahan >1500 mL. Darah lengkap segar hanya untuk 48 jam, baru untuk 6

hari, dan biasa untuk 35 hari. Sekarang produk ini sudah jarang digunakan, para klinisi lebih

senang menggunakanproduk komponen darah saja.

2.5.2 Sel darah merah

8

Page 9: panduan transfusi

Biasa juga disebut PRC (packed red blood cells), mengandung konsentrat eritrosit dari

whole blood yang disentrifugasi atau dengan metodeapheresis. Kandungan yang terdapat

dalam PRC: hematokrit sekitar 50-80%, +50 mL plasma, 42,5-80 hemoglobin (128-240 mL

eritrosit murni), 147-dan 278 mg besi. Transfusi PRC mempunyai waktu paruh sekitar 30

hari.11

Dosis: pada dewasa tergantung kadar hemoglobin sekarang dan yang akan dicapai.

Satu kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien sekitar 1 g/dL. Pada neonatus,

dosisnya 10-15 mL/kgBB akan meningkatkan kadar hemoglobin 3 g/dL. Kadar hemoglobin

akhir dapat diperkirakan dengan rumus = volume darah x hematokrit x 0,91.

Indikasi: hanya pada pasien dengan gejala klinis gangguan hemodinamik seperti

hipoksia, transfusi pengganti misal pada bayi dengan penyakit hemolitik, thalasemia.

Biasanya bila kadar hemoglobin kurang dari 6 g/dL dengan target akhir 10 g/dL.10

2.5.3 Platelet

Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 1010 platelet per

kantong, dan 50 mL plasma.

Dosis: pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong, atau sesuai target kadar platelet

biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat meningkatkan platelet sekitar

50-100.000/mm3.

Indikasi: untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, dan fungsi

platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada dewasa,

dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus.10

Kontraindikasi: autoimun trombositopenia, trombotik trombositopeniapurpura.

2.5.4 Frozen plasma

Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 kantong berjumlah sekitar 250 mL yang

dibekukan pada suhu -180C dalam 6-8 jam. FFP dalam 24 jam mengandung Faktor V dan

Faktor VIII.10

Indikasi: perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan kuagulopati pada penyakit hati,

trombotik trombositopenia purpura.

Dosis: 10-20 mL/kg.

2.5.5 Cryoprecipitated AHF

9

Page 10: panduan transfusi

Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor. Didapatkan dengan mencairkan

FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor VIII:C, faktor

VIII:vWF (von Willebrand factor), faktor XIII, fibronectin, dan 5- 20 mL plasma.

Dosis: kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1 kantong per

7-10 kgBB.

Indikasi: perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII, pasien dengan

hemofili A atau von Willebrand’s disease.10

2.5.5 Granulosit

Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien

neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit

mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari

transfusi 1010 granulosit pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan

insiden timbulnya reaksi graft-versus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-

paru, dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit ( lihat di bawah), tetapi

mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating

faktor, atau G-CSF) dan sargramostim (granulocytemacrophage colony-stimulating faktor,

atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.4

2.6 Komplikasi Transfusi Darah

2.6.1 Reaksi Hemolisis

Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah

yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolisis sel darah merah

resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah. Trombosit konsentrat yang

inkompatible, FFP, clotting factor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan

anti-A atau anti-B (atau kedua-duanya) alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat

menyebabkan hemolisis intravaskular.4

Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed

(extravascular).4

1. Reaksi hemolisis akut

Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan Inkompatibilitas

ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling

umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini

adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi.

Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada

10

Page 11: panduan transfusi

pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat,

tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari

lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi

ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada

berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi

setelah transfusi 10 – 15 ml darah yang ABO inkompatibel.

Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;

Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan segera.

Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.

Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.

Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh

darah.

Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP

2. Reaksi hemolisis lambat

Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular biasanya

ringan dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel asing di sistem lain

seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-kompatibel,

pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody untuk melawan antigen asing.

Pada saat itu sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa

bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody

menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama

selama transfuse sel darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing.

Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe lambat

terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice,

dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya

perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.4

Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin

(Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel darah. Test ini tidak

bisa membedakan antara membran antibodi resipien pada sel darah merah dengan membran

antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang

lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor.4

Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi transfusi

hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel darah

merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloantibodies pada seldarah merah.

11

Page 12: panduan transfusi

Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct

antiglobulin test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalysis. Fungsi ginjal

harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja pada transfusi

selanjutnya perlu berhati-hati dengan melakukan screening golongan darah dan atibodi.

3. Reaksi imun nonhemolisis

Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke

donor lekosit, platelet, atau protein plasma

2.6.2 Reaksi Febris

Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febris.

Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu peningkatan

temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris berulang harus

menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah merah dapat dibuat leukositnya kurang

dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.

2.6.3 Reaksi Urtikaria

Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik merah

dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang

transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien terhadap transfusi protein

plasma. Reaksi urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin ( H, dan mungkin H2

blockers) dan steroid.4

2.6.4 Reaksi Anafilaksis

Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi). Reaksi ini

berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA

pasien dengan defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi

defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan

pemberian epinefrin, cairan, kortikosteroid, H1, dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA

perlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free

blood Unit .4

Tandanya meliputi hipotensi, bronkospasme, periorbital dan laryngeal edema, mual &

muntah, erythema, urtikaria, konjunctivitis, dyspnoea, nyeri dada, dan nyeri abdomen.

Manajemen: hentikan transfusi sampai gejala menghilang selama 30 menit. Untuk

menghilangkan gejala berikan antihistamin, misalnya chlorpheniramine 10 mg. Berikan

chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.4

12

Page 13: panduan transfusi

2.6.5 Edema Pulmoner Nonkardiogenik

Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI])

merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi

antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah

putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner. Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi

dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory

distress syndrome (ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan terapi suportif.

Manajemen: atasi distres pernapasan dengan ventilator, dan berikan steroid.

2.6.6 Graft versus Host Disease

Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah

berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus sendiri

tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versushost. Iradiasi (1500-3000 cGy) sel

darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi limfosit tanpa

mengubah efikasi dari transfusi.4

2.6.7 Purpura Posttransfusi

Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan

berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi

menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi.

Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.4

2.6.8 Imunosupresi

Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini

adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif

nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi

dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah

selama pembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit

allogenik dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat

meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahanatau trauma.4

2.7 Komplikasi Infeksi

2.7.1 Infeksi Virus Hepatitis

Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis

setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan

13

Page 14: panduan transfusi

hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000, 75%

tentang kasus ini adalah anikterik, dan sedikitnya 50% berkembang menjadi penyakit hati

kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang

menjadi cirrhosis.4

2.7.2 Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi

darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi. Dengan

adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan

menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.4

2.7.3 Infeksi Virus Lain

Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit

sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu

menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan

virus. Pasien immunosupresif dan Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan

penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya,

pasien - pasien menerima hanya CMV negatif.

Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari

transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negatif.

Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok

diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan

HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan

melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus

telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient

aplastic pada pasien immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya

mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnyakomplikasi di atas.4

2.7.4 Infeksi Parasit

Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti

malaria,toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.4

2.7.5 Infeksi Bakteri

Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi

kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk RBC.

Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai

14

Page 15: panduan transfusi

1/250,000 untuk RBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau

hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positif (Staphylococus) dan

bakteri gram-negatif (Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan

menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus

berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi

darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam

rickettsia.4

Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik sesuai

bakteri penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut dapat

dipertimbangkan:

Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari;

atau meropenem 1 g tds iv.

Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.10

2.7.6 Overload Cairan

Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung ventrikel

kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering, peningkatan JVP, ronki

basal paru, hipertensi, dan takikardi.10

Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik.

2.7.7 Iron Overload

Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang hidupnya

bergantung pada transfusi darah seperti talasemia dan sickle cell. Komplikasi ini terjadi bila

transfusi sudah mencapai 10-50 kantong.10

Manajemen: dilakukan iron chelation therapy dengan desferoxamine 30- 50 mg subkutan

atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.10

2.8 Transfusi Darah Masif

Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu

sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan

10-20 unit.4

2.8.1 Koagulopati

15

Page 16: panduan transfusi

Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional

thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien

normal. Pelajari koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan

transfusi trombosit dan FFP. Analisa viskoelastis dari pembekuan darah

(thromboelastography dan Sonoclot Analyze) juga bermanfaat.4

2.8.2 Keracunan Sitrat

Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting

setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia penting, karena

menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi

1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit

atau disfungsi hepar (dan kemungkinan pada pasien hipotermi) memerlukan infus kalsium

selama transfusi masif.4

2.8.3 Hipotermia

Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah

cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Aritmia Ventrikular dapat menjadi

fibrilasi, sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat

resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat

efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan

transfuse.4

2.8.4 Kelainan Asam Basa

Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan

antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah (karbondioksida dan

asam laktat), berkenaan dengan metabolisme asidosis metabolik yang berkaitan dengan

transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah

masif adalah alkalosis metabolik postoperatif. Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis

metabolik berakhir dan alkalosis metabolik progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam

tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar.4

2.8.5 Perubahan Konsentrasi Kalium Serum

Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan

waktu. Jumlah kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masingmsaing kurang dari 4

mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika

16

Page 17: panduan transfusi

transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama

sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolik.4

2.9 Strategi Alternatif Penanganan Kehilangan Darah

2.9.1 Transfusi Autologus

Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu kemungkinan

tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan selama

operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien

diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih

34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara

mendonorkan darah dan membuat volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi

dan terapi eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit pada

umumnya dikumpulkan sebelum operasi.4

Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai efek

tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mengalami operasi untuk kanker.

Walaupun transfusi autologous mungkin mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi,

mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi

yang berhubungan dengan kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label,

pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam

kaitan dengan alergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat

pengumpulan dan gudang penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative autologous

dilakukan dengan frekuensi berkurang.4

2.9.2 Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang

Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vaskular dan bedah tulang.

Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah pembekuan darah

(heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang

merah di konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku kemudian

di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai

hematokrit 50- 60%. Untuk digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan

darah lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka yang

busuk dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi

sel malignan via teknik ini tidak dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana

memungkinkan reinfusion darah tanpa centrifuge.4

2.9.3 Normovolemik Hemodilusi

17

Page 18: panduan transfusi

Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi

sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah

dalam jumlah besar ditumpahkan. Lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume

intravaskular terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter

intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap

normovolemic tetapi dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam

kantong CPD pada suhu sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit. Darah di

transfusikan kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.4

2.9.4 Donor – Transfusi Langsung

Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang

mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal ini dan

umumnya memerlukan donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk memproses darah

dan mengkonfirmasikan kompatibilitas. Studi yang membandingkan keamanan dari

pendonor-langsung dengan donor secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah

lebih aman.4

BAB III

KESIMPULAN

Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam

banyak hal, dalam bidang anestesi misalnya dalam proses pembedahan besar. Dalam

18

Page 19: panduan transfusi

pembedahan, pasien dapat mengalami perdarahan dari yang paling ringan sampai perdarahan

massif.

Penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis darah yang digantikan tepat

dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat

terjadi dalam reaksi transfusi darah penggantian darah ataupun komponen-komponen darah

merupakan suatu tindakan yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan tujuan utama

transfusi yaitu memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan

biologis darah atau komponen agar lebih bermanfaat, memelihara dan mempertahankan

volume darah yang normal pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah). mengganti

kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan,

memperbaiki fungsi hemostatis.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 20: panduan transfusi

1. Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital

Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm

2. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80;

1-6.

3. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan. Edisi

Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI. 2002

4. Banks JB, Meadows S. Intravenous Fluids for Children with Gastroenteritis. Clinical

Inquiries, American Family Physician, January 1 2005. American Academy of Family

Physicians.

5. D Payne J, Elliot E. Gastroenteritis in Children. Clin Evid 2004; 12: 1-3. BMJ

Publishing Group Ltd 2004.

6. Eliason BC, Lewan RB. Gastroenteritis in Children: Principles of Diagnosis and

Treatment. American Family Physician Nov 15 1998. American Academy of Family

Physicians.

7. Morgan G.E, et al. Clinical Anesthesiology. Fourth edition. New York: Lange

Medical Books – McGraw Hill Companies. 2006: 662-689

8. Martin S. Intravenous Therapy. Nova Southeastern University PA Program.

9. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online] 2006 Mar

URL:http://www.emedicine.c om/CHILD/topic925.htm .

10. 10.McClelland, DBL. Handbook of transfusion medicine ed. 4. 2007. United kingdom

blood service.

20