BAB I PENDAHULUAN - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/61929/13/BAB I.pdfberada dalam zona patahan...
-
Upload
truongdieu -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/61929/13/BAB I.pdfberada dalam zona patahan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara geografis Indonesia terletak di antara 6° LU dan 11° LS serta
di antara 95° BT dan 141° BT. Kondisi tektonik Indonesia yang terletak pada
pertemuan lempeng besar dunia dan beberapa lempeng kecil atau microblocks
menyebabkan Indonesia berpotensi mengalami banyak kejadian gempa (Bird,
2003). Indonesia dikelilingi oleh empat lempeng utama yaitu, Lempeng
Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng
Pasifik. Penelitian lanjutan menggunakan informasi geodetis, geologis, dan
seismologi menunjukkan bahwa tektonik di Indonesia dapat di bagi ke dalam
beberapa lempeng kecil, yaitu Burna, Sunda, Laut Banda, Laut Maluku,
Timor, Kepala Burung, Maoke, dan Woodlark. Kondisi tektonik wilayah
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.1 sebagai berikut.
Gambar 1.1 Peta tektonik wilayah Indonesia dari data geodetik hingga tahun
2016, vektor kecepatan pada referensi sistem ITRF 2008. Sumber: Pusat
Studi Gempa Nasional (2017), Tektonik Indonesia
Dapat diketahui bahwa ternyata Indonesia berada dalam zona patahan dan
zona subduksi dari keempat lempeng tersebut. Zona Subduksi (zona penunjalam
lempeng) merupakan zona yang terdapat pada batas antar lempeng yang bersifat
2
konvergen. Penunjaman ini terjadi di batas antar lempeng samudra dan benua atau
di antara sesama lempeng samudra. Ada tiga zona subduksi yang letaknya
mengelilingi pulau-pulau di Indonesia, subduksi pertama adalah tumbukan antara
lempeng Eurasia dan lempeng Australia yang terjadi di lepas pantai barat Pulau
Sumatera, lepas pantai selatan Pulau Jawa, lepas pantai Selatan kepulauan Nusa
Tenggara, dan berbelok ke arah utara perairan Maluku sebelah selatan, subduksi
kedua adalah tumbukan antara lempeng Australia dan Pasifik yang terjadi di
sekitar Pulau Papua serta subduksi ketiga yang merupakan tumbukan antara ketiga
lempeng tersebut yang terjadi di sekitar Sulawesi. Selain itu, Indonesia juga
berada dalam zona patahan aktif yaitu di sekitar Pulau Sumatera dan di Sulawesi
bagian utara (Tim Pusat Gempa Studi Nasional, 2017).
Sebagai akibat dari proses tektonik, peristiwa gempa sering terjadi di
sebagian besar wilayah Indonesia sebagaimana terlihat pada gambar 1.2. Salah
satu sumber gempa yang telah jelas teridentifikasi adalah zona subduksi aktif di
bagian barat hingga bagian timur Indonesia. Selain itu, sisa energi dari proses
tumbukan antar lempeng tersebut akan mengakibatkan adanya sesar di daratan
atau lautan di beberapa pulau dan laut Indonesia. Wilayah sebaran gempabumi di
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.2 sebagai berikut.
Gambar 1.2 Peta Zonasi Gempa Indonesia
Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum, 2010
3
Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang rawan gempa,
khususnya akibat gempabumi 27 Mei 2006 yang terkonsentrasi di daerah Bantul,
Secara tektonik Yogyakarta merupakan kawasan dengan tingkat aktivitas
kegempaan yang cukup tinggi di Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena
Yogyakarta terletak sekitar 250 km di utara zona tumbukan lempeng di Samudera
Indonesia. Di samping sangat rawan gempabumi akibat aktivitas tumbukan
lempeng tektonik, daerah Yogyakarta juga sangat rawan gempabumi akibat
aktivitas patahan-patahan lokal di daratan seperti Patahan Opak dan Patahan
Dengkeng. Gempabumi 27 Mei 2006 silam mengakibatkan kerusakan yang cukup
parah, tidak hanya di Yogyakarta namun juga daerah di sekitar Yogyakarta seperti
Kecamatan Gantiwarno dan Kecamatan Wedi di Kabupaten Klaten. Selain itu
gempabumi di wilayah Yogyakarta juga menimbulkan kerusakan dan kerugian
yang cukup besar yang bisa dilihat pada Gambar 1.3 sebagai berikut.
Gambar 1.3 Distribusi Geografi darikerusakan dan kerugian Wilayah
D.I.Y dan Kabupaten Klaten
Sumber: BAPPEDA D.I.Y 2006
4
Keenam kabupaten yang paling terkena dampak gempa tersebut memiliki
populasi sekitar 4,5 juta. Kabupaten Bantul dan Klaten - dengan kepadatan
penduduk rata-rata lebih dari 1.600 - peringkat sepuluh kabupaten terpadat di
Indonesia. Kedangkalan pusat gempa berkontribusi pada kerusakan struktural
yang meluas. Gempa berkekuatan serupa dengan hiposentrum yang lebih dalam
akan mengakibatkan getaran di permukaan yang relatif kurang merusak. Jumlah
korban tewas dan korban luka-luka bisa dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut.
Tabel 1.1 Jumlah korban tewas dan korban luka-luka akibat gempa di Bantul
26 Mei Tahun 2006
Provinsi & Kabupaten Korban Tewas Korban Luka-luka
Yogyakarta 4.659 19.401
Bantul 4.121 12.026
Sleman 240 3.792
Kota Yogyakarta 195 318
Kulonprogo 22 2.179
Gunung Kidul 81 1.086
Jawa Tengah 1.057 18.526
Klaten 1.041 18.127
Magelang 10 24
Boyolali 4 300
Sukoharjo 1 67
Wonogiri - 4
Purworejo 1 4
Total 5.716 37.927
Sumber: Laporan Gabungan dari BAPPENAS, Pemerintah Provinsi dan
Daerah D.I.Yogyakarta, Pemerintah Provinsi dan Daerah Jawa Tengah, dan
mitra internasional, Juni 2006
Berdasarkan Laporan gabungan dari BAPPENA, Gempabumi 2006 tersebut
menewaskan lebih dari 5.700 orang, melukai 37.000 – 50.000 orang dan membuat
ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Gempabumi tersebut menjebak
banyak orang di rumah mereka, karena terjadi di pagi hari. Kecamatan
Gantiwarno dan Kecamatan Wedi di Kabupaten Klaten merupakan daerah yang
sedang berkembang dan giat dalam pembangunan. Dari tahun ke tahun penduduk
5
Klaten semakin bertambah. Jumlah penduduk dari tahun 2010 – 2016 Kecamatan
Gantiwarno dan Kecamatan Wedi bisa dilihat di gambar 1.4 berikut.
Gambar 1.4 Jumlah penduduk dari tahun 2010 – 2016 Kecamatan Gantiwarno dan
Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten
Sumber : Badan Pusat Statistik
Pertambahan penduduk ini akan mengakibatkan meningkatnya
pembangunan sarana pemukiman, sarana transportasi, pusat belanja dan sarana
umum lainnya. Pembangunan sarana-sarana di atas tidak akan lepas dari
perhitungan faktor risiko dari bencana gempabumi sehingga perlu dilakukan
kajian risiko gempabumi untuk mendukung program pembangunan di Kabupaten
Klaten. Salah satu unsur kajian risiko yang dapat dilakukan adalah dengan
mengkaji karakteristik percepatan getaran tanah maksimum atau PGA yang dapat
dihubungkan secara empiris dengan intensitas gempa yang terjadi. Dari peta
percepatan tanah maksimum maupun peta zona intensitas dapat diinterpretasi
secara kualitatif maupun kuantitatif tingkat bahaya gempabumi suatu daerah.
Namun sayangnya penelitian mengenenai pecepatan getaran tanah maksimum
6
atau PGA selalu di fokuskan pada daerah Bantul Yogyakarta, padahal terdapat
beberapa daerah yang terkena zona bahaya gempabui disekitar luar daerah
Istimewa Yogyakarta seperti Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Klaten
khususnya Kecamatan Gantiwarno dan Kecamatan Wedi. Melihat pentingnya
peran percepatan tanah maksimum, maka perlu dilakukan studi mengenai
percepatan getaran tanah maksimum di Kecamatan Gantiwarno dan Kecamatan
Wedi di Kabupaten Klaten.
Studi mengenai percepatan getaran tanah maksimum atau PGA bertujuan
untuk mengetahui tingkat bahaya gempabumi di suatu daerah. Semakin besar nilai
percepatan getaran tanahnya, maka emakin tinggi tingkat bahaya gempabumi di
suatu daerah. Studi mengenai percepatan getaran tanah maksimum ini akan
bermanfaat bila diterapkan dalam bidang pengembangan wilayah karena dalam
pengembangan wilayah perlu mempertimbangkan tingkat bahaya terhadap
gempabumi. Selain itu karakteristik PGA juga sangat bermanfaat dalam desain
pembuatan bangunan tahan gempa. Perkembangan pembuatan peta gempabumi di
Indonesia yang dibuat oleh Kementrian Pembantu Umum dan Perumahan Rakyat
dengan menggunakan pendekatan percepatan getaran tanah maksimum, dimulai
pada tahun 1983, 2010 dan 2017. Pada peta yang telah dibuat memiliki beberapa
kendala yang perlu disempurnakan terkat dengan keterbatasan data observasi,
misalnya lebih dari 30% jumlah sesar di Indonesia memiliki estimasi slip-rates
yang tidak akurat. Hal ini disebabkan sebagaian besar karakterisasi sesar
dilakukan dengan expert judgment berdasarkan data geologi, data sesimologi, dan
data geodetik yang tersedia.
Studi pemetaan zona rawan gempa, berdasarkan nilai percepatan gerakan
tanah maksimum (PGA) melalui perhitungan empiris kejadian gempa selama
kurun waktu tertentu, yang dikombinasikan dengan kondisi geomorfologi wilayah
merupakan salah satu penelitian geografi dengan pemanfaatan untuk kajian
bencana gempabumi dan dapat memberikan manfaat untuk pertimbangan
perencanaan wilayah ditinjau dari aspek kebencanaan, terutama gempabumi.
Beberapa dampak seperti kerugian dapat diminimalisir, antisipasi ancaman dan
beberapa persiapan dan mitigasi dapat dimaksimalkan.
7
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1. bagaimana sebaran nilai PGA terhadap gempabumi yang terdapat di
Kecamatan Gantiwarno dan Kecamatan Wedi?
2. bagaimana sebaran skala Modified Mercalli Intensity (MMI) berdasarkan
nilai PGA Kecamatan Gantiwarno dan Kecamatan Wedi? dan
3. bagaimana sebaran zona bahaya gempabumi dan kerusakan pada tiap
satuan bentuklahan yang terdapat di Kecamatan Gantiwarno dan
Kecamatan Wedi?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1. menganalisis sebaran nilai PGA terhadap gempabumi yang terdapat di
Kecamatan Gantiwarno dan Kecamatan Wedi,
2. mengetahui sebaran skala Modified Mercalli Intensity (MMI) berdasarkan
nilai PGA Kecamatan Gantiwarno dan Kecamatan Wedi, dan
3. menganalisis sebaran zona bahaya gempabumi dan kerusakan pada tiap
satuan bentuklahan yang terdapat di Kecamatan Gantiwarno dan
Kecamatan Wedi.
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka dapat kegunaan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2. dapat dimanfaatkan oleh pihak yang memerlukan zonasi risiko gempabumi
dengan metode PGA di Kabupaten Klaten, dan
3. sebagai referensi pembelajaran tentang PGA bagi dosen dan mahasiswa
Fakultas Geografi UMS.
8
1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
1.5.1 Telaah Pustaka
A. Gempabumi dan Macam Gempabumi
Gempabumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan
bumi. Gempabumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng
bumi). Kata gempabumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal
terjadinya kejadian gempabumi tersebut. Bumi kita walaupun padat, selalu
bergerak, dan gempabumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena
pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. Kebanyakan
gempabumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan
yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu
kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan
tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Gempabumi
terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
1. Gempabumi vulkanik ( GunungApi )
Gempabumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa
terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi
maka akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan
terjadinya gempabumi. Gempabumi tersebut hanya terasa di sekitar
gunungapi seperti pada gambar 1.5 berikut.
Gambar 1.5 Proses terjadinya gempabumi vulkanik
9
Beberapa gempabumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma
di dalam gunung berapi. Gempabumi seperti itu dapat menjadi gejala akan
terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa gempabumi (jarang namun) juga
terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam,
seperti Dam Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi terjadi karena injeksi
atau akstraksi cairan dari dalam bumi, contoh pada beberapa pembangkit
listrik tenaga panas Bumi dan di Rocky Mountain Arsenal. Terakhir, gempa
juga dapat terjadi dari peledakan bahan peledak.
2. Gempabumi Tektonik
Gempabumi tektonik disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu
pergeseran lempeng lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai
kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar.. Gempabumi
tektonik disebabkan oleh perlepasan tenaga yang terjadi karena pergeseran
lempengan plat tektonik seperti layaknya gelang karet ditarik dan dilepaskan
dengan tiba-tiba. Tenaga yang dihasilkan oleh tekanan antara batuan dikenal
sebagai kecacatan tektonik. Teori dari tectonic plate (lempeng tektonik)
menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan batuan, sebagian
besar area dari lapisan kerak itu akan hanyut dan mengapung di lapisan
seperti salju. Lapisan tersebut begerak perlahan, sehingga berpecah-pecah
dan bertabrakan satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
gempa tektonik. Kebanyakan gempabumi disebabkan dari pelepasan energi
yang dihasilkan oleh tekanan yang disebabkan oleh lempengan yang
bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai
pada keadaan di mana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh
pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempabumi akan terjadi. Gempabumi
biasanya terjadi di perbatasan lempengan-lempengan tersebut. Gempabumi
yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan kompresional
dan translasional. Gempabumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi
karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi fase
10
pada kedalaman lebih dari 600 km. Proses gempa vulkanik dapat dilihat
seperti gambar 1.6 berikut (Ilmusiana. 2015)
Gambar 1.6 Proses terjadinya gempabumi tektonik
B. Gelombang Gempabumi
Ada tiga gelombang gempa yaitu :
1. Gelombang longitudinal
Gelombang longitudinal yaitu gelombang gempa yang merambat dari
sumber gempa ke segala arah dengan kecepatan 7 - 14 km per detik.
Gelombang ini pertama dicatat dengan seismograf dan yang pertama kali
dirasakan orang di daerah gempa, sehingga dinamakan gelombang primer,
gambar dari gelombang primer bisa dilihat di gambar 1.7 berikut.
Gambar 1.7 Gelombang Primer
2. Gelombang Transversal
Gelombang Transversal yaitu gelombang yang sejalan dengan
gelombang primer dengan kecepatan 4 - 7 km per detik, dinamakan juga
gelombang sekunder yang bisa dilihat pada gambar 1.8 sebagai berikut.
11
Gambar 1.8 Gelombang Transversal
3. Gelombang panjang atau gelombang permukaan
Gelombang panjang atau gelombang permukaan, yaitu gelombang gempa
yang merambat di permukaan bumi dengan kecepatan sekitar 3,5 - 3,9 km
per detik. Gelombang inilah yang paling banyak menimbulkan kerusakan.
Gelombang permukaan terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Gelombang Love
Gelombang ini diberi nama sesuai dengan nama penemunya yaitu
A.E.H. Love seorang ahli matematika dari Inggris yang mengerjakan
model matematika untuk jenis gelombang ini di pada 1911. Gelombang
ini adalah yang tercepat dan menggerakkan tanah dari samping ke
samping, gelombang love dapat dilihat pada gambar 1.9 sebagai berikut.
Gambar 1.9 Gelombang Love
b. Gelombang Rayleigh
Keberadaan dari gelombang ini diperkirakan secara matematika oleh
W.S. Rayleigh pada 1885. Pada saat merambat, Gelombang R akan
menggulung media yang dilewatinya, dimana gerakan dari gelombang ini
mirip dengan gerakan gelombang air di laut. Karena gerakan yang
menggulung ini, maka lapisan tanah atau batuan akan naik dan turun, dan
akan ikut bergerak searah dengan gerakan gelombang. Kebanyakan
12
goncangan dari gempa berhubungan erat dengan Gelombang R ini.
Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh Gelombang R dapat lebih
besar dibandingkan gelombang-gelombang gempa lainnya, berikut
adalah gambar 1.10 dari gelombang R.
Gambar 1.10 Gelombang Rayleigh
Sumber : koboijonggol (2014)
C. Perhitungan Tingkat Bahaya Gempabumi
Ukuran gempabumi diekspresikan dalam beberapa cara. Ada
pengukuran instrumental atau kuantitatif. Pengukuran instrumental yaitu
pengukuran di lapangan menggunakan alat ukur seismisitas seperti
accelerograf, dan pengukuran non-instrumental salah satunya melalui
perhitungan dengan persamaan empiris, karena sangat penting untuk kejadian
pra-instrumen. Oleh karena itu, dalam kompilasi historis katalog gempabumi
sangat esensi untuk tujuan analisis bahaya.
Tingkat bahaya gempabumi dihitung untuk mengetahui besar-kecilnya
bahaya yang terjadi terhadap bangunan. Metode yang digunakan antara lain
dengan metode deterministik dan probabilitas. Kedua metode ini memiliki
keunggulan masing-masing. Probabilistik dilakukan dengan memprediksi
kejadian gempa dengan melakukan perhitungan pada gempa yang sudah
pernah terjadi. Metode ini dilakukan menggunakan rumus empiris dan
pengukuran langsung di lapangan dengan alat, baik pada percepatan getaran
tanah maksimum (PGA) maupun intensitas gempabumi (Sarif Hidayat. 2014).
Dari data-data percepatan getaran tanah maksimum, dapat dibuah sebuah
peta bahaya berdasarkan percepatan getaran tanah maksimum maupun
13
berdasarakan intensitas gempa yang mungkin ditimbulkan. Peta bahaya
gempa bumi berdasarkan percepatan getaran tanah maksimum bisa dibuat
berdasarkan tabel 1.2 berikut.
Tabel 1.2 Tabel tingkat bahaya gempabumi berdasarkan percepatan tanah
maksimum *dengan modifikasi penulis
No Tingkat Bahaya Nilai Percepatan Getaran Tanah
Maksimum (gal)
1 Bahaya sangat kecil < 25
2 Bahaya kecil 25 – 50
3 Bahaya sedang satu 50 – 75
4 Bahaya sedang dua 75 – 100
5 Bahaya sedang tiga 100 – 125
6 Bahaya besar satu 125 – 150
7 Bahaya besar dua 150 – 200
8 Bahaya besar tiga 200 – 300
9 Bahaya sangat besar satu 300 – 600
10 Bahaya sangat besar dua > 600
Sumber : Ferry Markus (2006)
14
D. Probabilistik and Deterministic Seismic Hazard Analysis (PSHA
DSHA))
Metode PSHA adalah metode analisis bahaya gempa probabilistik
dengan memperhitungkan dan menggabungkan ketidakpastian dari
magnitudo, lokasi, dan waktu kejadian gempa. Hasil analisis ini berupa
probabilitas parameter gempa pada tingkat selesainya periode tertentu. Reiter
(1990) mengusulkan tahapan analisis gempa probabilistik untuk Peak Ground
Accelereation (PGA) sebagai berikut (Gambar 1.11 dan Gambar 1.12)
1) Identifikasi sumber-sumber gempa yang mempengaruhi satu lokasi,
mengkarakterisasi sumber gempa tersebut, dan membuat model sumber
gempa;
2) Menghitung parameter seismik untuk setiap sumber gempa, diantaranya
seperti a – b parameter atau human antara magnitudo dan jumlah kejadian
berdasarkan data historis;
3) Menghitung probabilitas magitude (berdasarkan parameter dari poin
nomor 2);
4) Memperhitungkan distribusi probabilitas jarak (berdasarkan parameter dari
poin nomor 1, dibantu dengan data-data pengukuran dan pencitraan);
Gambar 1.11 Tahap 1-4 dari Analisis Risiko Gempa Probabilistik (PSHA) untuk
Peak Ground Acceleration (PGA) : Bentuk Kurva Sesimic Hazard dan
15
Aplikasinya pada Perkiraan Desain PGA untuk Periode Waktu T dan Probabilitas
Kejadian P (Digambar ulang dari Reiter, 1990)
5) Menghitung percepatan maksimum pada satu lokasi akibat kejadian gempa
yang mungkin terjadi pada setiap titik sumber gempa dengan berbagai
magnitudo yang mungkin terjadi. Langkah ini ditentukan dengan
menggunakan fungsi atenuasi dengan memasukan pula ketidakpastiannya.
6) Menentukan ketidakpastian kejadian gempa, besaran, dan prediksi
percepatan maksimum lokasi untuk menghasilkan probabilitas
terlampauinya percepatan dimaksud dalam jangka waktu tertentu
Gambar 1.12 Tahap 5 dan 6 proses Analisis Gempa Probabilistik (PSHA) untuk
Peak Ground Acceleration (PGA): Bentuk Kurva Seismic Hazard dan Aplikasinya
pada Perkiraan Desain PGA untuk periode Waktu T dan Probabilitas Kejadian P
(Reiter, 1990)
Menghitung ancaman gempa berdasarkan kumpulan hasil semua kejadian
gempa dan ground motion yang mungkin terjadi di masa yang akan datang
adalah merupakan konsep dasar PSHA. Namun, sumbangan hazard terbesar
pada site dari analisis kemungkinan besaran magnitudo (M) dan jarak (R) ke
sumber gempa tertentu tidak terlihat dalam PSHA. Pada kondisi seperti ini
PSHA menjadi kurang lengkap memberikan informasi tentang M dan R yang
dominan dan tunggal. Namun pada satu sisi, analisis PSHA menguntungkan
karena berbagai asumsi tentang sumber gempa potensial dan keberulangan
kejadian gempa diintegrasikan menjadi satu (TimPusGen. 2017).
Metode DSHA dilakukan dengan mempertimbangkan scenario yang
meliputi asumsi mengenai kejadian gempa dengan magnitude tertentu yang
akan terjadi pada lokasi yang telah ditetapkan. Metode ini pada umumnya
16
digunakan untuk menghitung percepattan gempa pada perencanaan bangunan
vital strategis dengan pertimbangan untuk menghitung percepatan gempa
pada perencanaan bangunan vital strategis dengan pertimbangan akan sangat
membahayakan jika terjadi kerusakan akibat goncangan gempa. Reiter (1990)
menjelaskan metode DSHA dalam empat tahapan proses seperti berikut ini :
1. Pengidentifikasi dan karakteristik semua sumber gempa di suatu lokasi
yang berpotensi menghasilkan ground motion yang signifikan.
Karakterisasi sumber gempa didalamnya termasuk pendefinisian setiap
geometri sumber dan potensi gempa,
2. Penentuan parameter jarak sumber gempa ke lokasi kajian site untuk setiap
zona sumber gempa. Pada metode DSHA ini ditentukan jarak terdekat
antara zona sumber gempa dan site lokasi kajian. Jarak yang dipergunakan
dapat berupa jarak episenter atau jarak hypocentre, bergantung pada
persamaan empiris yang dipergunakan,
3. Pemilihan gempa (controlling earthquake) yang diperkirakan akan
menghasilkan goncangan terbesar dengan cara membandingkan besar
goncangan yang dihasilkan gempa pada jarak dan lokasi tertentu.
Controlling earthquake umumnya digambarkan oleh besaran megnitudo
dan jarak dari site lokasi kajian, dan
4. Pendefinisian bahaya yang terjadi pada suatu lokasi dalam bentuk ground
motion yang terjadi akibat pemilihan gempa (controlling earthquake).
Karakteristik tersebut dideskripsikan oleh satu atau lebih parameter ground
motion yang didapat dari persamaan empiris yang digunakan. Karakteristik
bahaya gempabumi ditentukan dengan menggunakan percapatan puncak
(peak acceleration), kecepatan puncak (peak velocity), dan ordinat
spectrum respon (response spectrum ordinates).
Dalam metode DSHA, pendapat subjektif para ahli selalu diikutsertakan
dalam pengambilan keputusan untuk penentuan potensi bahaya gempabumi.
Hal ini terkadang mengakibatkan kesulitan untuk mencapai kesepakatan
mengenai potensi gempabumi yang terjadi. Metode DSHA umumnya
diaplikasikan untuk mengetahui percepatan gempabumi untuk konstruksi
17
yang sangat membahayakan jika terjadi kerusakan, seperti bangunan
pembangkit tenaga nuklir (PLTN) (Irsyam dkk, 1999), bendungan besar,
konstruksi yang dekat dengan sesar aktif, dan untuk keperluan emergency
response. Kelebihan metode ini adalah mudah digunakan untuk memprediksi
gerakan gempa pada scenario terburuk. Sementara itu, kelemahan metode ini
adalah tidak mempertimbangkan probabilitas terjadinya gempabumi dan
pengaruh berbagai ketidakpastian yang terkait dalam analisis.
E. Skala MMI (Modified Mercalli Intensity)
Skala Mercalli adalah satuan untuk mengukur kekuatan gempabumi.
Satuan ini diciptakan oleh seorang vulkanologis dari Italia yang bernama
Giuseppe Mercalli pada tahun 1902. Skala Mercalli terbagi menjadi 12
pecahan berdasarkan informasi dari orang-orang yang selamat dari gempa
tersebut dan juga dengan melihat serta membandingkan tingkat kerusakan
akibat gempabumi tersebut.
Persamaan menghitung Skala Intensitas Modified Mercalli (MMI)
berdasarkan nilai PGA adalah:
IMM = 3.66 log (PGA)-1.66 (Wald et al., 1999)
Oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika pengukuran
intensitas menggunakan skala MMI (Modified Mercalli Intensity). Tingkat
kerusakan intensitas gempa dapat dilihat pada tabel 1.3 sebagai berikut.
Tabel 1.3 Skala Intensitas Gempabumi Menurut BMKG berdasarkan nilai PGA.
Skala
SIG
BMKG
Warna Deskripsi
Sederhana Deskrispsi Rinci
Skala
MMI
PGA
(gal)
I Putih
TIDAK
DIRASAKAN
(Not Felt)
Tidak dirasakan
atau dirasakan
hanya oleh
beberapa orang
tetapi terekam oleh
alat.
I-II < 2.9
18
II Hijau DIRASAKAN
(Felt)
Dirasakan oleh
orang banyak tetapi
tidak menimbulkan
kerusakan. Benda-
benda ringan yang
digantung
bergoyang dan
jendela kaca
bergetar.
III-V 2.9-88
III Kuning
KERUSAKAN
RINGAN
(Slight
Damage)
Bagian non struktur
bangunan
mengalami
kerusakan ringan,
seperti retak pada
dinding, genteng
bergeser ke bawah
dan sebagian
berjatuhan.
VI 89-167
IV Jingga
KERUSAKAN
SEDANG
(Moderate
Damage)
Banyak Retakan
terjadi pada dinding
bangunan
sederhana, sebagian
roboh, kaca pecah.
Sebagian plester
dinding lepas.
Hampir sebagian
besar genteng
bergeser ke bawah
atau jatuh. Struktur
bangunan
mengalami
kerusakan ringan
sampai sedang.
VI-VIII 168-
564
V Merah
KERUSAKAN
BERAT
(Heavy
Damage)
Sebagian besar
dinding bangunan
permanen roboh.
Struktur bangunan
mengalami
kerusakan berat.
Rel kereta api
melengkung.
IX-XII > 564
Sumber : BMKG, 2013
19
F. Percepatan Tanah Maksimum (Peak Ground Acceleration)
Dalam analisa kegempaan, Peak Ground Acceleration adalah ukuran
bagaimana permukaan bumi bergetar (accelerated) di suatu daerah tertentu.
Acceleration pada istilah Peak Ground Acceleration, ini secara umum bisa
dirasakan sebagai perubahan dari kecepatan dalam suatu waktu. Nilai terbesar
dari beberapa perubahan kecepatan dalam satuan waktu, inilah yang dikenal
sebagai nilai Peak. Secara umum Peak Ground Acceleration ini dapat
diartikan sebagai akselerasi maksimum yang dirasakan suatu partikel/lapisan
ketika terjadi gerakan gempa.
Dengan mempelajari nilai Peak Ground Acceleration di suatu daerah,
dapat dibuat peta rawan gempa. Kemudian aplikasi lain dari pengukuran PGA
di suatu daerah, dapat digunakan untuk menghitung seberapa besar efek dari
gempa terhadap suatu bangunan di daerah tersebut. Sehingga insinyur sipil ini
dapat membuat gedung yang tahan gempa.
Gerakan tanah yang terjadi pada lapisan bawah tanah atau batuan padat,
karakteristiknya dijelaskan menggunakan parameter amplitudo yaitu
percepatan tanah maksimum, kecepatan tanah maksimum dan pergeseran
maksimum. Percepatan tanah maksimum merupakan parameter yang sering
digunakan. Perambatan gelombang seismic yang menjadi akibat dari
percepatan tanah. Penggunaan perhitungan secara empiris percepatan tanah,
merupakan salah satu alternatif untuk mengetahui tingkat bahaya gempabumi
pada suatu lokasi. Mengingat dalam 10 tahun terakhir banyak terjadi gempa-
gempa besar, sehingga dibutuhkan perhitungan nilai percepatan tanah
maksimum (PGA). Dalam penelitian untuk menentukan besarnya nilai
percepatan getaran tanah maksimum dilakukan dengan menggunakan
pendekatan empiris yaitu dengan atenuasi Mc. Guire (1963), dengan melihat
keterbatasan jaringan kegempaan di Indonesia yang tidak sebagus negara
maju seperti Jepang dan Amerika, maka hasil dari perhitungan empiris
mampu menggambarkan secara umum tingkat bahaya gempa pada suatu
wilayah.
20
Rumus Atenuasi Mc. Guirre R.K (1963) ditulis sebagai berikut :
Ket : α = 472,3*100,278M
* (R + 25)-1,301
α = Percepatan getaran tanah (gal)
M = Magnitude gelombang permukaan (SR)
R = Jarak hiposenter (km)
Dimana, R=
dengan = Jarak episenter (km)
h = Kedalaman sumber gempa (km)
G. Mikrotremor
Mikrotremor merupakan getaran tanah yang sangat kecil dan terus
menerus yang bersumber dari berbagai macam getaran seperti, lalu
lintas,angin, aktivitas manusia dan lain-lain. Lang mendefinisikan
mikrotremor sebagai noise periode pendek yang berasal dari sumber artifisial.
Gelombang ini bersumber dari segala arah yang saling beresonansisi.
Mikrotremor dapat juga diartikan sebagai getaran harmonik alami tanah yang
terjadi secara terus menerus, terjebak dilapisan sedimen permukaan,
terpantulkan oleh adanya bidang batas lapisan dengan frekuensi yang tetap,
disebabkan oleh getaran mikro di bawah permukaaan tanah dan kegiatan alam
lainnya.
Karakteristik mikrotremor mencerminkan karakteristik batuan di suatu
daerah. Penelitian mikrotremor juga banyak dilakukan pada studi penelitian
struktur tanah (soil investigation) untuk mengetahui keadaan bawah
permukaan tanah. Penelitian mikrotremordapat mengetahui karakteristik
lapisan tanah berdasarkan parameter periode dominannya dan faktor
penguatan gelombangnya (amplifikasi).
21
Dalam kajian teknik kegempaan, litologi yang lebih lunak
mempunyai bahaya yang lebih tinggi bila digoncang gelombang
gempabumi, karena mengalami penguatan (amplifikasi) gelombang yang
lebih besar dibandingkan dengan batuan yang lebih kompak. Sejak Omori
mengamati mikrotremor untuk pertama kalinya tahun 1908, banyak para ahli
seismologi dan insinyur teknik gempabumi menyelidiki mikrotremor baik
dari segi ilmiah maupun terapannya, sebab kegunaan mikrotremor banyak
sekali, diantaranya :
1. Mikrotremor berguna untuk mengklasifikasikan jenis tanah
berdasarkan periode dominan yang harganya spesifik untuk tiap
jenis tanah, sebab tanggapan bangunan terhadap getar gempabumisebagian
besar bergantung pada komposisi tanah di tempat bangunan berdiri.
2. Dari penyelidikan di Jepang telah ditetapkan bahwa mikrotremor
digunakan tidak hanya sebagai alat untuk mengantisipasi sifat
gerakan gempabumi tetapi juga untuk membuktikan koefisien gaya yang
telah ditetapkan dalam perencanaan bangunan tahan gempa.
3. Menjelaskan struktur bawah permukaan tanah di tempat
mikrotremor diamati. (akademia.edu. 2017)
H. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh didefnisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau
fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Sistem penginderaan jauh
terdiri dari lima komponen dasar, yaitu sumber tenaga, atmosfer, interaksi
antara tenaga dengan benda di muka bumi, sensor, dan sistem pengolahan
data dan berbagai penggunaannya.
Kemajuan teknologi penginderaan jauh dalam hal resolusi temporal,
resolusi spektral, dan resolusi spasial, menyebabkan citra satelit dapat
digunakan sebagai informasi dasar pada survey dan pemetaan penggunaan
22
lahan. Penginderaan jauh dapat diterapkan untuk menyediakan informasi
mengenai liputan lahan melalui interpretasi dari kenampakan objek-objek
pada citra.
Sutanto (1994) menyatakan bahwa berdasarkan jenis sensor yang dibawa,
satelit penginderaan jauh digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Satelit pasif, yaitu satelit yang membawa sensor pasif. Satelit ini
hanya menangkap gelombang yang dipancarkan oleh suatu objek dari
permukaan bumi. Contoh satelit pasif antara lain: Landsat, NOAA,
Ikonos, SPOT, dan Iain-lain.
2. Satelit aktif, yaitu satelit yang membawa sensor aktif. Sensor yang ada
pada satelit memancarkan gelombang mikro, gelombang mikro tersebut
diterima sekaligus dipantulkan kembali oleh objek di permukaan bumi.
Gelombang pantul ini yang kemudian diterima oleh sensor satelit.
Contoh satelit aktif antara lain: JERS, ERS, Radarsat, dan Iain-lain.
Citra Landsat 8 merupakan sensor citra penginderaan jauh yang sering
digunakan pada saat ini, citra ini mempunyai 7 saluran yang terdiri
dari spektrum tampak pada saluran 1, 2, dan 3, spektrum inframerah dekat
pada saluran 4, 5, dan 7 dan spektrum inframerah termal pada
saluran 6. Resolusi spasial pada saluran 1- 5 dan 7 mencapai 30 meter,
sedangkan untuk saluran 6 resolusi spasial mencapai 60 meter. Analisis
bentuklahan dilakukan dua tahap, yang pertama dilakukan dengan analisis
SIG dan yang kedua dengan intepretasi citra. Analisis dengan
menggunakan sistem informasi geografis diperlukan suatu data
kenampakan tiga dimensional yang memperlihatkan kondisi topografi
wilayah berdasarkan citra SRTM.
I. Geomorfologi
Lobeck (1939) mengartikan geomorfologi merupakan studi tentang
bentuk lahan. Selanjutnya Versteppen (1983), mengatakan bahwa
geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan pembentuk
23
maka bumi, baik di daratan maupun di dasar lautan dan menekankan pada
proses pembentukan dan perkembangan pada masa yang akan datang, serta
konteksnya denganlingkungan.
Aplikasi studi geomogorfologi menurut Verstappen (1983) dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Studi tentang kelingkungan (Enviromental Studies)
Berhubungan dengan bagian-bagian tertentu dari lingkungan dan ilmu
kebumian yang ada hubungannya dengan pemetaan tematik pengukuran
sumberdaya alam
2. Studi dampak kegiatan manusia pada lingkungan (Studies at the human
impact our environment)
Berhubungan dengan penyebaran dan kemungkinan dampak baik dan
buruk dengan kegiatan manusi, yang ada dasarnya lebih menekankan
pada dampak buruknya.
3. Studi atau dasar bahaya dan bencana alam (natural disaster)
Berhubungan dengan bahaya dan bencana lingkungan baik dari tenaga
endogen maupun tenaga eksogen
Klasifikasi sebaran bentuklahan merupakan suatu usaha menggolongkan
bentuklahan yang terdapat di permukaan bumi menjadi unit-unit yang
memiliki kesamaan dalam sifat dan perwatakannya atas dasar karakteristik
yang dimiliki oleh masing-masing golongan bentuk permukaan bumi
(Sunardi, 1985) Verstappen (1983) mengklasifikasikan bentuklahan menjadi
9 menurut prosesnya, antara lain :
1. Bentuklahan asal proses Struktural
2. Bentuklahan asal proses Vulkan
3. Bentuklahan asal proses Fluvial
4. Bentuklahan asal proses Marin
5. Bentuklahan asal proses Glasial
6. Bentuklahan asal proses Eolin
7. Bentuklahan asal proses Solusional
8. Bentuklahan asal proses Organik
9. Bentuklahan asal proses Denudasional.
24
Geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsikan secara genetic
bentuklahan dan proses-prosesnya yang mengakibatkan terbentuknya
bentuklahan tersebut serta mencari antar hubungan antara bentuklahan
dengan proses-proses dalam susunan keruangan
Proses geomorfologis meupakan semua perubahan baik fisik maupun
kimia yang mengakibatkan perubahan bentuk muka bumi. Perubahan yang
ditimbulkannya dipengaruhi oleh medium alam yang mampu mengikis dan
mengangkut material bumi disebut sebagai tenaga geomorfik. Menurut
Versteppen (1983) menyebutkan ada empat aspek utama dalam kajian
geomorfologi, yaitu:
1. Geomorfologi statis, yang berkaitan dengan bentuklahan aktual
2. Geomorfologi dinamis, yang berkaitan dengan proses-proses dan
perubahan jangka pendek yang terjadi dalam bentuklahan
3. Geomorfologi genetik, yang berkaitan dengan perkembangan relief
dalam jangka panjang
4. Geomorfologi kelingkungan yang berkaitan dengan hubungan
ekologi bentanglahan antara geomorfologi dan disipilin ilmu yang
berkaitan atau unsur-unsur (parameter) dari lahan.
Studi pada bentulahan yang ada sekarang, dengan mengesampingkan
bentuk hipotesis dari lahan jutaan tahun di masa lalu atau yang akan datang,
dan meningggalkan disamping proses kausatif di masa lalu sama baiknya
dengan proses operatif pada suatu saat merupakan tujuan dari geomorfologi
statis.
J. Geomorfologi pada zonasi bahaya gempabumi
Geomorforlogi menempatkan lahan termasuk didalamnya tanah dan
kondisi sub-tanah dan stabilitas lereng, memiliki dampak penting pada pola
distribusi bahaya gempabumi. Persoalan ini telah menerima perhatian banyak
negara, terutama setelah beberapa kejadian gempabumi (USGS 1964; Gupta
and Virdi, 1957; Mareus, 1964; Post, 1967, Nat Res. Council, 1968, 1969
25
dalam Verstappen, realistis berarti mitigasi bencana gempabumi dengan
menerapkan metode deduktif, Seorang geomorfologi bisa turut serta aktif
menjadi bagian tersebut.
Variasi penyebab dari kerusakan gempabumi harus dianalisis, sebab
utama dapat disusun dengan mengikuti:
1. Getaran
2. Perubahan Bentuk
3. Likuifaksi atau permukiman yang hampir disemua area datar
4. Kelerengan yang gagal dari berbagai macam area berelief,
5. Banjir
6. Kebakaran
Getaran dan perubahan bentuk secara langsung berhubungan dengan
pergerakan kerak bumi, keempat yang lain merupakan sebab yang dihasilkan
secara tidak langsung oleh gempabumi, akan tetapi sering bertanggung jawab
pada bagian utama kerusakan. Efek dari getaran bergantung untuk dapat
mempertimbangkan derajat pada suatu kondisi lahan. Pada permukaan tanah
yang lunak dan secara khusus berstekstur halus dan air jenuh, terdapat
material, seperti lempung rawa belakang, formasi tanah gambut , lacustrine
atau tumpukan pasir sungai, getaran dan sebagai akibat percepatan dari
gelombang goncangan menjadi lebih kuat dan hal tersebut telah ditemukan
pada banyak kejadian yang mana kerusakan terjadi pada medan itu 5 – 10 kali
telah besar dari pada yang berdekatan dengan area bebatuan keras.
1.5.2 Penelitian Sebelumnya
Salwan Suheri (2009) telah melakukan penelitian yang berjudul
Perhitungan Tingkat Bahaya Gempabumi di Jawa Tengah Secara
Probabilistik. Jenis penelitian ini berupa thesis dengan tujuan penelitian
yaitu menghitung tingkat bahaya gempabumi berdasarkan percepatan
pegerakan tanah maksimum di daerah Jawa Tengah. Metode yang dipakai
26
yaitu metode probabilistik. Hasil dari penelitian ini yaitu berupa peta
tingkat bahaya gempabumi dengan periode ulang 100th, 200 th, 500 th,
1000 th. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan penulis
yaitu, penelitian ini menghasilkan bahaya gempabumi yang akan datang
dengan rentangan waktu periode ulang, dibandingkan dengan penelitian
penulis yang akan menghasilkan bahaya gempabumi berdasarkan
gempabumi yang pernah terjadi sebelumnya. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu, menghasilkan zona
bahaya gempabumi dengan metode probabilistic seismic hazard analysis
(PSHA).
Daryono (2011) dalam penelitian disertasi telah melakukan
penelitan dengan judul Indeks Kerentanan Seismic Berdasarkan
Mikrotremor pada Setiap Satuan Bentuklahan di Zona Graben Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui
karakteristik indeks kerentanan sesimic pada setiap satuan bentuklahan
dan mengetahui persebaran spasial indeks kerentanan seismic berdasarkan
pendekatan satuan bentuklahan di zona graben bantul. Metode yang
dipakai dalam penelitian ini adalah survey lapangan, pendekatan spasial
dan pendekatan satuan bentuklahan. Hasil dari penelitian ini yaitu berupa
Karakteristik indeks kerentanan seismic, ground shear strain, dan rasio
kerusakan rumah berubah mengikuti satuan bentuklahan, Persebaran
spasial indeks kerentanan seismic berdasarkan satuan bentuklahan.
Perbedaan penilitian ini dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
dengan penulis yaitu, penelitian ini menggunakan metode DSHA atau
pengukuran secara langsung dilapangan, sehingga hasil yang didapat lebih
akurat, dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan penulis yang
menggunakan metode PSHA, dimana penelitian ini hanya mengutamakan
hasil nilai PGA yang di dapat, tetapi penelitian ini memiliki persamaan
dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu, menghasilkan zonasi
bahaya gempabumi pada setiap bentuklahan.
27
Rohima Wahyu Ningrum (2011) telah melakukan studi penelitian
untuk thesis dengan judul Analisis Probabilitas Seismic Hazard untuk
Daerah Kepulauan Maluku. Tujuan dari penelitian ini yaitu yang pertama
menentukan nilai percepatan tanah maksimum di batuan dasar. Tujuan
yang kedua menentukan distribusi nilai percepatan tanah maksimum
(PGA) di wilayah kepulauan Maluku yang dijadikan indikator tingkat
kerawanan gempa, tujuan yang terakhir digunakan sebagai usulan untuk
perencanaan struktur bangunan tahan gempa pada daerah Kepulauan
Maluku. Metode yang digunakan adalah Metode Probability dan Seismic
Hazard Analysis (PSHA). Hasil dari penelitian ini yaitu berupa Kepulauan
Maluku distribusi kejadian gempa Utama, peta Hazard PGA di batuan
dasar dengan periode ulang 500, 2500 tahun akibat sumber gempa Fault,
gempa subduksi, gempa shallow background, gempa benioff (deep
background). Perbedaan penilitian ini dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan dengan penulis yaitu, penelitian ini melakukan
perhitungan bahaya gempabumi yang akan datang dengan periode ulang,
tetapi tidak menggambarkan kejadian dan kerusakan di lokasi tersebut,
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan penulis yang
menghasilkan bahaya gempabumi beserta kerusakan bentuklahan akibat
dari gempabumi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan penulis yaitu, menghasilkan zona bahaya gempabumi dengan
metode probabilistic seismic hazard analysis (PSHA).
28
Tabel 1.4 Ringkasan Penelitian Sebelumnya.
Nama Peneliti
dan tahun
Judul Jenis Penelitian Tujuan Metode Hasil
Salwan Suheri,
2009
Perhitungan
Tingkat
Bahaya
Gempabumi
di Jawa
Tengah
Secara
Probabilistik
Thesis
Menghitung tingkat bahaya
gempabumi bersdasarkan
percepetan pegerakan tanah
maksimum di daerah jawa
tengah
Metode
Probabilistik
Peta tingkat bahaya
gempabumi dengan
periode ulang 100th,
200 th, 500 th, 1000 th
Daryono, 2011 Indeks
Kerentanan
Seismic
Berdasarkan
Mikrotremor
pada Setiap
Satuan
Bentuklahan
di Zona
Graben
Bantul,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Disertasi
1. Mengetahui
karakteristik indeks
kerentanan sesimic
pada setiap satuan
bentuklahan
2. Mengetahui persebaran
spasial indeks
kerentanan seismic
berdasarkan pendekatan
satuan bentuklahan di
zona graben bantul
Survey lapangan
Pendekatan
spasial
Pendekatan satuan
bentuklahan
Karakteristik indeks
kerentanan seismic,
ground shear strain, dan
rasio kerusakan rumah
berubah mengikuti
satuan bentuklahan,
Persebaran spasial
indeks kerentanan
seismic berdasarkan
satuan bentuklahan
29
Rohima
Wahyu
Ningrum,
2011
Analisis
Probabilitas
Seismic
Hazard
untuk
Daerah
Kepulauan
Maluku
Thesis
1. Menentukan
nilai percepatan
tanah maksimum di
batuan dasar
2. Menentukan
distribusi nilai
percepatan tanah
maksimum (PGA) di
wilayah kepulauan
Maluku yang
dijadikan indikator
tingkat kerawanan
gempa
3. Digunakan
sebagai usulan untuk
perencanaan struktur
bangunan tahan
gempa pada daerah
Kepulauan Maluku
Metode
Probability
Seismic Hazard
Analysis (PSHA)
Kepulauan Maluku,
distribusi kejadian
gempa Utama, peta
Hazard PGA di batuan
dasar dengan periode
ulang 500, 2500 tahun
akibat sumber gempa
Fault, gempa subduksi,
gempa shallow
background, gempa
benioff (deep
background), Peta
percepatan di batuan
dasar)
30
Thesis mu
masukan sisi
4.
31
1.6 Kerangka Penelitian
Penelitian ini mengacu dari konsep geomorfologi yang membentuk
permukaan bumi sehingga menghasilkan berbagai karakteristik bentuklahan.
Keberadaan aktivitas tektonik merupakan faktor yang selain membentuk
perkembangan bentuk lahan secara endogen juga turut menjadi “triggering
factor” atau faktor pemicu terjadinya gempabumi. Lokasi kejadian dan
karakteristik gempabumi yang diperhitungkan dapat diketahui tingkat bahaya
dalam bentuk nilai PGA. Kejadian dan karakteristik gempabumi pada suatu
wilayah berbeda-beda sesuai dengan karakter bentuklahan pada permukaan,
sehingga sebaran tingkat bahaya gempabumi berbeda-beda antar wilayah
khususnya pada tiap bentuklahan. Sebaran bahaya gempabumi sebagai
variabel dalam membuat informasi spasial bahaya gempabumi dapat selaras
dengan sebaran bentuklahan. Pemanfaatan skala MMI dapat mengetahui
karakteristik gempabumi melalui gambaran kejadian gempabumi dengan
tingkatan skala MMI, sehingga sebaran bahaya gempabumi akan tersusun
secara spasial. Kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada gambar 1.13
berikut.
32
Kerangka Pemikiran
Gambar 1.13 Kerangka Pemikiran Penulis
Aktivitas
Tektonik Geomorofologi
Gempabumi
Lokasi
Kejadian
Karakteristik
Gempabumi
Nilai PGA
Skala MMI
Karakteristik
Bentuklahan
Sebaran
Bentuklahan
Sebaran Spasial Bahaya
Gempabumi tiap Bentuk Lahan dan
Tingkat Gempabumi dengan Skala
MMI
33
1.7 Batasan Operasional
Bencana merupakan fenomena ekstrim yang terjadi pada bumi (litosfer,
hidrosfer, biosfer, atau atmosfer) yang berbeda secara substansial
dari kejadian-kejadian yang bisa terjadi, yang menyebabkan
kematian pada manusia, kerusakan dan kerugian pada gedung, sistem
komunikasi, lahan pertanian, hutan, dan lingkungan alam
(Alexander, 1993). Fenomena sosial akibat kolektif atas komponen
bahaya (hazard) yang berupa fenomena alam/buatan di suatu pihak,
dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain (KNLH,
2007).
Bencana alam adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh gejala alam, seperti gunung meletus, tanah longsor, banjir,
gelombang pasang (tsunami), angin ribut, kebakaran hutan,
kekeringan, gas beracun, dan banjir lahar, yang dapat mengakibatkan
korban dan penderitaan manusia, kerugian harta, kerusakan
lingkungan dan lain-lain (Depos RI, 1993).
Gempabumi adalah gejala alam yang disebabkan oleh pelepasan energy
regangan elastis batuan yang disebabkan adanya deformasi batuan
yang terjadi di litosfer (Bullen 1965, Bolt, 1988).
Geomorfologi adalah ilmu pengetahuan tentang bentuklahan sebagai
pembentuk permukaan bumi, baik di atas maupun dibawah
permukaan laut, dengan menekankan asal mula (genesis) dan
perkembangannya dimasa datang serta konteksnya dengan
lingkungan (Verstappen, 1983).
PGA adalah percepatan getaran tanah maksimum yang terjadi pada suatu titik
pada posisi tertentu dalam suatu kawasan yang dihitung dari akibat
semua gempabumi yang terjadi pada kurun waktu tertentu dengan
memperhatikan besar magnitude dan jarak hiposenternya, serta
periode dominan tanah di mana titik tersebut berada (Kirbani,
prasetya dan Widigdo, 2006).