BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...

29
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki hak memperoleh suaka atau perlindungan dari negara lain jika mengalami ketakutan akan penyiksaan yang terjadi di negara asalnya, misalnya, karena konflik atau perang maupun karena pemerintah yang tidak toleran. Hak yang dikenal dengan The Right to Asylum ini diakui PBB dan telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Banyak pencari suaka berasal dari wilayah-wilayah konflik dan relatif miskin di Timur Tengah, Asia Selatan, dan kini Myanmar yang mencari perlindungan di negara lain seperti Australia. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Australia merupakan Negara Pihak UN Convention Relating to the Status of Refugees 1951 (Konvensi Pengungsi 1951) yang berarti menjadi negara pemberi suaka dan status pengungsi. Kedua, status Australia sebagai negara maju menjadi pertimbangan pencari suaka untuk mengajukan klaim disana. Namun, securitization of migration semakin menyulitkan para pencari suaka yang ingin mencapai negara tujuan mereka. Sebagai konsekuensinya mereka menggunakan jasa jaringan penyelundup manusia karena pengetahuan mereka, misalnya, tentang rute-rute menuju negara-negara tertentu (Mountz 2010: 5). Indonesia tidak meratifikasi konvensi tersebut tetapi memiliki peran signifikan dalam konteks penyelundupan pencari suaka ke Australia. Posisi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Setiap individu memiliki hak memperoleh suaka atau perlindungan dari

negara lain jika mengalami ketakutan akan penyiksaan yang terjadi di negara

asalnya, misalnya, karena konflik atau perang maupun karena pemerintah yang

tidak toleran. Hak yang dikenal dengan The Right to Asylum ini diakui PBB dan

telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Banyak pencari suaka berasal dari

wilayah-wilayah konflik dan relatif miskin di Timur Tengah, Asia Selatan, dan

kini Myanmar yang mencari perlindungan di negara lain seperti Australia. Hal ini

disebabkan oleh dua hal.

Pertama, Australia merupakan Negara Pihak UN Convention Relating to

the Status of Refugees 1951 (Konvensi Pengungsi 1951) yang berarti menjadi

negara pemberi suaka dan status pengungsi. Kedua, status Australia sebagai

negara maju menjadi pertimbangan pencari suaka untuk mengajukan klaim

disana. Namun, securitization of migration semakin menyulitkan para pencari

suaka yang ingin mencapai negara tujuan mereka. Sebagai konsekuensinya

mereka menggunakan jasa jaringan penyelundup manusia karena pengetahuan

mereka, misalnya, tentang rute-rute menuju negara-negara tertentu (Mountz 2010:

5).

Indonesia tidak meratifikasi konvensi tersebut tetapi memiliki peran

signifikan dalam konteks penyelundupan pencari suaka ke Australia. Posisi

2

geografis Indonesia yang berada diantara kawasan asal pencari suaka dan

Australia menjadikannya sebagai negara transit. Posisi tersebut juga

menjadikannya sebagai tempat beroperasi sindikat penyelundup pencari suaka

baik yang belum atau telah diproses UNHCR tetapi telah bertahun-tahun

menunggu hasilnya untuk diselundupkan ke Australia.

Australia kewalahan dalam mengatasi persoalan pencari suaka yang

diselundupkan melalui kapal (Pemerintah dan media massa Australia

menyebutnya sebagai boat people) dan membuat perjanjian dengan Indonesia

pada tahun 2000. Australia menyediakan bantuan finansial dan teknis untuk

menghentikan kapal-kapal yang menuju teritorinya dan membawanya ke rumah

detensi di Indonesia. Namun, rupanya cara ini tidak juga mampu mengatasi

penyelundupan pencari suaka ke Australia.

Antara tanggal 26 dan 28 Februari 2002 Pemerintah Australia dan

Indonesia menggelar konferensi regional tingkat menteri di Bali dengan agenda

membicarakan peningkatan skala dan kompleksitas irregular migration di

kawasan Asia Pasifik yang kemudian dikenal dengan “Bali Process on People

Smuggling, Trafficking in Persons, and Related Transnational Crime”1.

Pertemuan awal ini dipimpin Menteri Luar Negeri Australia dan Indonesia serta

dihadiri delegasi dari 38 negara, Dirjen IOM, dan perwakilan dari UNHCR.

Berikutnya ada 15 negara serta serangkaian organisasi-organisasi internasional

dan regional yang berpartisipasi sebagai pengamat.

1 Ini berarti Bali Process tidak hanya fokus pada satu isu, yaitu, penyelundupan manusia. Namun,

isu penyelundupan manusia telah menjadi definisi utama Bali Process sejak awal terbentuk hingga

saat ini

3

Hal ini menunjukkan adanya kesadaran negara bahwa persoalan

penyelundupan pencari suaka tidak bisa ditangani secara unilateral maupun

bilateral. Mereka menyadari bahwa solusi atas permasalahan ini ada di level

regional melalui RCP karena keterbatasan kebijakan-kebijakan pada level

nasional dan fakta bahwa pergerakan manusia berkaitan dengan kejahatan trans-

nasional termasuk penyelundupan pencari suaka sehingga membutuhkan

kerjasama multilateral untuk menanganinya.

Tetapi, setelah lebih dari sepuluh tahun sejak pertemuan tingkat menteri

pertama pada 2002 hingga pertemuan terakhir, pertemuan kelima pada April

2013, tidak ada tanda-tanda keberhasilan Bali Process dalam menyelesaikan

persoalan penyelundupan pencari suaka ke Australia. Justru yang terjadi adalah

adanya peningkatan di beberapa tahun terakhir ini. UNODC mengutip data dari

Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia (DIAC) bahwa sejak

periode 2001 sampai 2013 telah terjadi peningkatan jumlah orang yang mencari

suaka (protection visa) ke Australia dalam pola irregular migration melalui

perjalanan laut.

Tidak hanya dari sisi peningkatan tersebut, tetapi aspek-aspek

perlindungan yang disepakati dalam Regional Cooperation Framework (RCF) dan

Jakarta Declaration juga tidak mampu dilaksanakan. Dari rentang waktu tersebut

telah banyak pencari suaka yang menempuh perjalanan penuh resiko untuk

mencapai Australia. Misalnya, pada 27 September 2013 sebuah kapal yang

membawa pencari suaka menuju Australia tenggelam di perairan selatan

Indonesia dan mengakibatkan sedikitnya 21 orang meninggal (Reuters 2013).

4

3 Desember 2013 tiga orang meninggal ketika sebuah kapal yang

mengangkut 32 pencari suaka, termasuk dari Rohingya, tenggelam di sekitar Jawa

Barat (The New Zealand Herald 2013). Sebelumnya, pada Juli 2013 sebuah kapal

yang berisi 189 pencari suaka juga tenggelam setelah berangkat dari Cianjur, Jawa

Barat (Huffington Post 2013). Fakta-fakta yang ada ini menunjukkan bahwa

bahkan setelah sepuluh tahun sejak pertama kali dibentuk Bali Process gagal

dalam menyelesaikan misinya untuk mengurangi penyelundupan pencari suaka ke

Australia serta menyediakan perlindungan bagi mereka yang diselundupkan

melalui laut.

I.2. Rumusan Masalah

Mengapa Bali Process gagal dalam menyelesaikan permasalahan

penyelundupan pencari suaka melalui laut ke Australia?

I.3. Jangkauan Penelitian

Dari tahun 2002 ketika Bali Process pertama kali dibentuk hingga Februari

2014 yang ditandai dengan dikembalikannya pencari suaka oleh Australia ke

perairan Indonesia pada 25 Februari 2014.

I.4. Tujuan Penelitian

1. Meneliti persoalan penyelundupan pencari suaka yang menggunakan kapal

melalui Indonesia menuju Australia

5

2. Meneliti struktur, tujuan, dan kebijakan dalam kerangka Bali Process sejak

pertama kali dibentuk

3. Meneliti keseriusan Co-Chairs dan anggota lainnya dalam membentuk

rejim Bali Process melalui pernyataan-pernyataan resmi dan

kebijakan/keputusan di lapangan

4. Meneliti tantangan yang muncul dalam Bali Process dalam menangani

penyelundupan pencari suaka ke Australia

I.5. Tinjauan Pustaka

UNHCR mendefinisikan pencari suaka sebagai orang yang menganggap

dirinya pengungsi, tetapi klaim tersebut belum dievaluasi oleh sistem pemberi

suaka nasional (UNHCR n.d.a). Aspinall dan Watters (2010: v) menyebutkan

bahwa istilah pencari suaka diberikan kepada mereka yang mendaftar untuk

mendapat suaka dan sedang menunggu keputusan dari pendaftaran tersebut serta

mereka yang pendaftarannya telah ditolak. Sedangkan istilah pengungsi berarti:

"[T]hose who have a well-founded fear of persecution for reasons of race,

religion, nationality, membership of a particular social group or political

opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to

such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or

who, not having a nationality and being outside the country of his former

habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such

fear, is unwilling to return to it.” (The Refugee Convention 1951 Bagian

A Pasal 2)

Maka, perbedaan antara definisi pencari suaka dan pengungsi sudah jelas, yaitu,

pemberian status pengungsi harus berdasarkan ukuran obyektif sehingga terbukti

bahwa pencari suaka berhak memperoleh status tersebut dari pihak maupun

Negara lain. Pencari suaka seringkali jatuh pada situasi dimana mereka dianggap

6

imigran ilegal. Pengertian ini secara konseptual masih menjadi perdebatan

terutama bila digunakan untuk mengidentifikasi pencari suaka. Menurut Koser

(2005: 4) penggunaan istilah ilegal banyak menuai kritik. Pertama, ia

dikonotasikan dengan kriminalitas.

Sebagian besar pencari suaka dan pengungsi yang bergerak dalam pola

irregular (pergerakan yang terjadi di luar norma aturan dari Negara pengirim,

transit, maupun penerima seperti masuk dan tinggal tanpa ijin atau dokumen

yang dibutuhkan di bawah regulasi imigrasi) bukanlah kriminal.2 UN Special

Rapporteur on the Rights of Non-Citizens (2006: 28) menyebutkan bahwa:

“States should ensure that individuals caught in an illegal situation, such

as asylum-seekers who are in a country unlawfully and whose claims are

not considered valid by the authorities, are not treated as criminals”.

Kedua, memberi label ilegal pada seseorang bisa dianggap menolak aspek

kemanusiaannya. Sangat mudah dilupakan bahwa pencari suaka juga adalah

manusia yang memiliki hak-hak fundamental apapun status mereka (CDMG

2004: 29). Ketiga, Koser juga menyadari kekhawatiran utama dari UNHCR

ketika memberi label ilegal pada pencari suaka adalah kemungkinan bahwa ini

akan membahayakan klaim suaka yang mereka cari.

Namun, negara melalui para pembuat kebijakan mengembangkan

terminologi mixed flows untuk mengidentifikasi migran yang difasilitasi oleh

penyelundup manusia, yang tidak seluruhnya diakui sebagai pencari suaka.

Beberapa dari mereka disebut sebagai economic migrants; mereka bermigrasi

terutama karena alasan-alasan ekonomi, sedangkan beberapa lainnya, yang

2 Ini berkaitan dengan alasan-alasan kemanusiaan ketika para pencari suaka berada dalam situasi

berbahaya di negara asalnya dan kehilangan atau tidak sempat membawa dokumen-dokumen yang

dibutuhkan

7

diberikan akses terhadap fasilitas penentuan status pengungsi disebut sebagai

pengungsi seperti yang disebutkan dalam Konvensi 1951 (Mountz 2010:

4).Banyak perdebatan meliputi keberadaan pencari suaka dan bagaimana

seharusnya negara meresponnya. Price (2009: 2) mengajukan premis bahwa

„[S]tates should open their borders to all who seek to enter‟.

Hal ini terutama bila menyangkut situasi yang membahayakan keamanan

individu lain. Tetapi, premis ini mendapat tantangan. Misalnya, kehadiran

immigration restrictions. Mengapa negara harus membuka perbatasan atau

menurunkan standar dan kontrol imigrasi jika menutup perbatasan akan

meningkatkan kepentingan nasionalnya? Respon ini berhubungan dengan tujuan

negara adalah untuk menjaga kepentingan dan keamanan nasionalnya dalam

pengertian yang lebih realis. Lebih detail lagi bahwa negara menganggap

kewajiban untuk membantu orang lain terbatas pada mereka yang sudah menjadi

anggota masyarakat di dalam teritorinya atau warga negaranya di negara lain.

Dalam konteks ini identitas nasional bersifat sangat signifikan (2009). Menurut

Price, respon tersebut bisa dijawab dengan memasukkan unsur-unsur

tanggungjawab dan perhatian terhadap masalah-masalah kemanusiaan.

Pertama, batas negara merupakan pemisah antara the haves dan the have-

nots dengan konsekuensi mereka yang lahir di dalam suatu batas negara harus

menerima kondisinya. Keadilan diperlukan bahwa kesempatan hidup seseorang

seharusnya tidak bergantung pada arbitrary facts semacam itu sehingga

kebebasan untuk bergerak melintasi batas-batas negara harus dianggap sebagai

hak dasar setiap individu. Kedua, negara lain dan komunitas internasional,

8

termasuk organisasi-organisasi non-pemerintah, memiliki tanggungjawab moral

untuk membantu siapapun yang ingin menghindari penyiksaan serius.

Tanggungjawab moral tersebut setidaknya bisa diartikan dalam bentuk bantuan

dengan resiko minimal.

Ketiga, negara-negara itu bertanggungjawab atas aliran pencari suaka

yang mencari perlindungan karena mereka menawarkan dukungan diplomatik

dan politik kepada rezim berkuasa yang menyiksa rakyatnya atau memaksakan

SAP (Structural Adjustment Programs) yang terbukti tidak bisa memberikan

stabilitas domestik bagi ekonomi berkembang atau miskin melalui IMF maupun

Bank Dunia. Bisa pula dikatakan bahwa ketika sebuah negara secara langsung

bertanggungjawab dalam membuat kondisi negara lain tidak layak ditinggali,

misalnya melalui invasi atau dukungan terhadapnya, maka negara tersebut

semakin memiliki tanggungjawab lebih besar terhadap pencari suaka yang

berasal dari negara itu (2009: 3-4). Bagi Negara Pihak yang menandatangani

Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, mereka dianggap bersedia untuk

melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut termasuk memberikan status

pengungsi kepada para pencari suaka yang telah melalui proses evaluasi.

Tetapi, bukan berarti Non-Negara Pihak bisa lepas tangan terhadap

permasalahan pencari suaka ini. Prinsip non-refoulement, diterjemahkan sebagai

prinsip yang melarang pengembalian (dengan cara apapun) orang-orang ke

negara asal mereka dimana mereka menghadapi penyiksaan, telah menjadi

bagian dari hukum kebiasaan internasional dan mengikat bagi seluruh negara.

Sebagai akibatnya adalah tidak ada pemerintah yang diperbolehkan untuk

9

mengusir orang-orang tersebut (UNHCR n.d.b). Dalam kaitannya dengan kontrol

perbatasan dan imigrasi ada dua diskurus utama yang terjadi sehubungan dengan

hak pencari suaka untuk bermigrasi. Pertama, sejak tahun 1990an terjadi

peningkatan penyelundupan manusia di Amerika Utara, Australia, dan Eropa

yang kemudian memulai securitization of migration bersamaan dengan

criminalization of smuggling (Huysmans 2006).

Apa yang dimaksud dengan securitization of migration ini adalah bahwa

migrasi dikaitkan dengan isu keamanan negara dan pemerintah melakukan segala

upaya yang berorientasi kontrol dan pengetatan perbatasan serta standar imigrasi.

Kedua, negara semakin intensif dalam pengetatan perbatasan baik di dalam

maupun di luar teritorinya. Ini mempersulit pencari suaka untuk menjangkau

negara penerima pengungsi (UNHCR 2000c). Banyak orang yang mencari suaka

atau status pengungsi menjadi korban pengamanan perbatasan dan tidak pernah

mencapai teritori berdaulat untuk memperoleh klaim (Mountz 2010: xvii).

Akibatnya, mereka memilih menggunakan jasa penyelundup manusia

untuk mencapai negara tujuan (Koser 2000: 91-111; Kyle dan Kowslowski 2001;

Nadig 2002: 1-25). Konsekuensinya adalah penyelundupan migran, termasuk

pencari suaka, adalah tindakan kriminal dan layak mendapat hukuman seberat-

beratnya. Kedua mainstream ini sebenarnya memiliki benang merah yang sama,

yakni, negara semakin terbebani dengan kehadiran pencari suaka sehingga

kebijakan imigrasi dan kontrol perbatasan diperketat. Menurut Mountz (2010:

xiv-xv) negara penerima pengungsi menciptakan the long tunnel thesis, yaitu,

sebuah kondisi dimana pencari suaka yang mendaftarkan klaim harus melalui

10

proses panjang dan memakan waktu bertahun-tahun untuk memperoleh kepastian

status.

Bahkan, negara memodifikasi geografinya dengan pengetatan perbatasan

di luar teritorinya maupun dengan mengarahkan para pencari suaka ke negara

lain. Ini berpengaruh terhadap keputusan pencari suaka untuk menggunakan jasa

penyelundup manusia. Situasi ini melahirkan dilema antara aspek kemanusiaan

dan kedaulatan negara. Adapun anggapan oleh negara bahwa sejak akhir tahun

1980an „[T]here has been significant abuse of the asylum system by those who

are economic migrants but claim to be persecuted‟ (Anie dan Nicholas et al

2005: 17). Negara menyebutnya sebagai migration/asylum nexus yang merujuk

pada hubungan antara pencari suaka dan meningkatnya jumlah orang yang

menggunakan jalur suaka meski tujuan mereka tidak sesuai dengan kriteria yang

disebutkan dalam Konvensi Pengungsi 1951 (Colleen dan Channac 2006: 373).

Para akademisi yang fokus pada isu pencari suaka dan pengungsi

meyakini persepsi tersebut sebagai bukti culture of mistrust yang mendalam

terhadap pencari suaka (Finch 2005). Pemberitaan di media massa mengenai

terorisme juga memberi efek bahwa pencari suaka yang menggunakan jasa

penyelundup manusia merupakan ancaman terhadap keamanan negara dan

menerima mereka dalam teritori negara adalah keputusan yang salah. Hasilnya

adalah diskursus seputar pencari suaka bukan fokus pada elemen kemanusiaan

seperti hak asasi mereka untuk memperoleh perlindungan, melainkan mengenai

kedaulatan dan keamanan negara melalui kontrol perbatasan dan imigrasi, serta

kriminalisasi penyelundupan manusia.

11

Securitization of migration juga melahirkan kesadaran bahwa persoalan

penyelundupan pencari suaka tidak bisa ditangani secara unilateral karena

sifatnya yang lintas batas negara dan melibatkan orang-orang dengan berbagai

kewarganegaraan. Maka negara beralih pada mekanisme RCP dengan

mengikutsertakan berbagai negara untuk menyamakan persepsi bahwa

penyelundupan pencari suaka adalah masalah bersama dan harus segera

ditangani. Banyak inisiatif mengenai kebijakan imigrasi pada tingkat global

maupun regional kemudian mendukung mekanisme berbagi informasi,

konsultasi, dan koordinasi di semua level pembuatan kebijakan baik secara

domestik maupun antar negara (2006: 372).

Meningkatnya jumlah pencari suaka yang diselundupkan tidak hanya

membuat negara khawatir, tetapi juga UNHCR sebagai agensi PBB yang

memiliki mandat terhadap perlindungan pengungsi sehingga perlu ada sharing

responsibility. Jadi, secara umum RCP dipengaruhi oleh dua faktor (2006).

Faktor pertama karena hubungan internasional secara umum dan perubahan pola

mobilitas manusia di dalamnya. Faktor kedua bersifat internal yang dialami

masing-masing negara serta institusi seperti UNHCR dan IOM. Pada

perkembangannya, penyelundupan pencari suaka juga melibatkan UNODC

sebagai lembaga PBB yang memiliki mandat dalam penyelundupan manusia.

RCP, dalam konteks hubungan internasional, berpotensi untuk membawa

sebanyak mungkin stakeholders untuk berada dalam persepsi yang sama

mengenai penyelundupan pencari suaka, yakni, ini adalah masalah bersama yang

membuat masing-masing pihak menjadi korban sementara jaringan penyelundup

12

manusia memperoleh keuntungan. Ia berpotensi untuk tidak hanya

mempersepsikan penyelundupan pencari suaka sebagai ancaman atas keamanan

dan kedaulatan negara, tetapi juga bahwa aktivitas tersebut mengancam pencari

suaka itu sendiri dan aspek-aspek kemanusiaannya. Pada umumnya masing-

masing RCP memiliki tahap perkembangannya sendiri dan sangat bergantung

pada konteks regionalnya.

Baru sedikit penelitian mengenai RCP tetapi ada beberapa karakter yang

membuatnya berbeda dari institusi regional maupun internasional (Klekowski

von Koppenfels 2001: 9). Pertama, RCP merupakan arena multilateral dan secara

esensial berisi negara yang bersifat informal. Ia adalah sebuah proses, bukan

institusi, yang berarti bahwa bekerja untuk tujuan akhir adalah sebuah aspek

penting, meski ada beberapa proses yang kemudian menjadi institusi. Aspek

informal tidak hanya terbatas pada struktur dari proses tersebut, melainkan juga

pada kerahasiaan dari negosiasi dan diskusi yang terjadi di dalamnya. Misalnya,

partisipasi antar pemerintah yang terbatas dan eksklusif adalah cara untuk

melindungi kerahasiaan tersebut.

Karakter kedua adalah keterbukaan dan keputusan yang tidak mengikat

karena konsultatif dengan pemerintah-pemerintah berpatisipasi dalam proses

secara sukarela dan mendukung rekomendasi-rekomendasi yang bersifat tidak

mengikat. Dengan tidak adanya komitmen formal, pendekatan yang dilakukan

pemerintah-pemerintah yang berpartisipasi di dalamnya relatif bebas sebab tidak

ada paksaan untuk menerima keputusan politik yang sama dan mengikat.

Klekowski von Koppefels (2001) menyebutkan bahwa inilah yang dimaksud

13

dengan keterbukaan, lahir dari sifat RCP yang rahasia. Karena ia juga bukan

institusi yang dimaksudkan untuk menciptakan standar, persetujuan atau

peraturan legal yang mengikat, ia juga tidak memiliki tanggungjawab untuk

menilai dan mengevaluasi apakah pemerintah yang bersangkutan menghormati

komitmen dari RCP atau tidak.

Ketiga, merupakan aspek efisiensi. RCP berfungsi dengan struktur

administratif yang relatif kecil dan sekretariatnya biasanya menempel pada

sebuah organisasi internasional. Ini adalah aspek penting bagi RCP untuk

menjamin efisiensi. Pertukaran informasi antar negara yang berpartisipasi

menjadi efisien dan tepat waktu karena tidak ada filter atau penghubung

administratif yang menghalangi. Douglas dan Schloenhardt (2012: 5-6) membagi

tiga alasan terbentuknya Bali Process ini. Pertama, pertemuan awal pada Februari

2002 menandakan sebuah pengakuan formal tentang memburuknya

permasalahan irregular migration, terutama penyelundupan pencari suaka

dengan kapal, di wilayah Asia Pasifik.

Pernyataan resmi dari para Menteri yang hadir adalah:

“Illegal movements were growing in scale and complexity, including in

the Asia Pacific region, creating significant political, economic, social

and security challenges.” (Australia dan Indonesia sebagai Co-Chairs

2002)

Kompleksitas tersebut juga dikaitkan dengan potensi terorisme melalui

penyelundupan manusia. Kedua, pertemuan tersebut mengekspresikan

perlawanan kolektif terhadap penyelundupan pencari suaka. Ketiga, adanya

komitmen sukarela atas nama seluruh negara untuk bekerjasama sebagai sebuah

14

wilayah untuk melawan penyelundupan pencari suaka dalam kerangka kewajiban

internasional dan penghargaan terhadap kondisi nasional masing-masing negara.

Douglas dan Schloenhardt juga mengakui bahwa terlalu sedikit literatur

yang membahas RCP serta belum ada evaluasi mengenai Bali Process. Bali

Process juga tidak memiliki kehadiran fisik (sekretariat) serta tidak memiliki

agenda atau jadwal jelas sehingga sulit untuk diidentifikasi kemajuan maupun

pencapaiannya. Evaluasi kelebihan dan kekurangannya hanya terbatas pada

koordinasi forum, bukti dan hasil, agenda kebijakan, serta akuntabilitas (2012:

10). Keduanya juga menemukan fakta bahwa dana Australia untuk penanganan

penyelundupan pencari suaka paling besar diberikan kepada Bali Process

dibandingkan kepada ONODC, IOM, dan organisasi regional serta internasional

lain yang fokus pada persoalan serupa (2012: 11). Ini menandakan bahwa

Australia sebagai Co-Chairs dan anggota Steering Group menganggap penting

peran Bali Process.

Dengan keanggotaan lebih dari 43 negara, menurut Hansen (2010: 34),

Bali Process adalah notable exception dari aturan umum RCPs untuk memiliki

sedikit anggota agar efektif. Steering Group yang terdiri dari Australia,

Indonesia, Selandia Baru, Thailand, UNHCR, dan IOM, dimaksudkan sebagai

pemimpin yang mewakili anggota-anggota lainnya supaya Bali Process lebih

efektif. Namun, Bali Process dianggap kurang dalam information sharing

padahal ini adalah salah satu aspek penting Bali Process. Kurangnya pembagian

informasi teknis maupun intelijen mengenai irregular migration adalah

hambatan utama untuk mengatasi penyelundupan pencari suaka. Adapun

15

Regional Immigration Liaison Officer Network (RILON) yang dikembangkan

Bali Process Working Group sejak 2009 namun hanya menargetkan irregular

migration jalur udara (2012: 12) tanpa menyertakan jalur maritim.

Mengukur hasil dan pencapaiannya dalam skala absolut merupakan hal

yang mustahil karena Bali Process adalah forum diskusi informal dan tidak

mengikat. Ini juga serupa dengan tujuan RCP lain yang fokus pada migrasi, salah

satunya, untuk membangun jaringan antar negara yang berpartisipasi agar mudah

menjalin kepercayaan dan berbagi pemahaman mengenai prioritas-prioritas

irregular migration. Dengan kata lain persamaan persepsi mengenai

penyelundupan pencari suaka secara gradual diterjemahkan ke dalam sebuah

proses peleburan dan harmonisasi praktek dan kebijakan (Channac dan Thouez

2006: 385-386). Tetapi, terlihat bahwa Bali Process dilingkupi oleh kerahasiaan

dan kekhawatiran mengenai kedaulatan negara meskipun Bali Process juga

menandai negara-negara kawasan Asia Pasifik semakin terbuka dalam

mendiskusikan penyelundupan pencari suaka dibanding sebelum keberadaan Bali

Process (2012: 13).

Koser (2008: 18) mencatat bahwa Bali Process telah mengembangkan

guidelines mengenai topik-topik berkaitan dengan kerjasama penegakan hukum

antar lembaga di wilayah Asia Pasifik selama 2002-2011. Sayangnya, guidelines

tersebut tidak tercatat dan diterbitkan dalam satu dokumen. Meski demikian,

Douglas dan Schloenhardt menganggapnya sebagai salah satu pencapaian Bali

Process selain pengembangan dan diseminasi kampanye informasi anti

penyelundupan pencari suaka di Bangladesh, Sri Lanka, Indonesia, dan Pakistan.

16

Douglas dan Schloenhardt juga menggarisbawahi bahwa pembentukan Regional

Cooperation Framework (RCF) pada Konferensi Bali Process IV tahun 2011

adalah pencapaian penting.3

Tujuan RCF itu sebagai payung bagi negara peserta untuk mengejar

tujuan-tujuan yang sama melalui perencanaan praktis di level bilateral maupun

subregional (2012: 15). Jika sebelumnya diskusi hanya berpusat pada masalah

keamanan negara, RCF mulai memasukkan unsur kemanusiaan, misalnya, di

salah satu poin:

“Where appropriate and possible, asylum seekers should have access to

consistent assessment processes, whether through a set of harmonised

arrangements or through the possible establishment of regional

assessment arrangements, which might include a centre or centres, taking

into account any existing sub-regional arrangements” (The Bali Process

n.d.)

Kritik juga menyebutkan ketika Bali Process memasukkan unsur

kemanusiaan dan memperhatikan akar penyebab irregular migration, tidak berarti

ada pergeseran pandangan yang fundamental dari Bali Process (2012: 18). Kritik

lain adalah Bali Process hanya dimotori terutama oleh kepentingan donor utama,

yaitu, Australia, dan juga anggota lain dalam Steering Group. Meskipun dari luar

ia terlihat sebagai forum konsultatif dimana negara anggota memiliki hak

berpendapat yang sama, tetapi jelas bahwa Australia memiliki kekuatan utama

dalam forum yang terefleksikan di hampir seluruh laporan. Contoh nyata adalah

dalam negosiasi RCF ketika Australia meminta adanya regional refugee

processing centre karena kepentingan domestik Australia.

3 Poin-poin dalam RCF tercantum dalam lampiran

17

Begitu juga ketika Australia secara unilateral pada 2010 menyebutkan

akan membangun offshore detention di Timor Timur yang ditolak pemerintah di

Dili dan Australia meminta dukungan Bali Process untuk rencana ini pada 2011

(2012: 19). Ini berhubungan dengan akuntabilitas Bali Process sebagai sebuah

RCP ketika satu negara berpengaruh lebih kuat dan mendominasi lainnya.

Begitupun ketika semua persoalan harus dibawa melalui Steering Group, ini

menimbulkan kekhawatiran tentang transparansinya karena berbagai proses

dijalankan dalam lingkungan tertutup (Human Rights Law Centre and Anti-

Slavery Australia 2011: 24). Kurangnya antusias Negara untuk berpartisipasi

dalam diskusi terbuka mengenai penyebab dasar, kondisi-kondisi, serta

karakteristik dari migrasi internasional juga menjadi catatan.

Douglas dan Schloenhardt (2012: 23-24) memprediksi bahwa Bali Process

tidak akan berevolusi menciptakan kerangka kerja lebih komprehensif dan

mengikat dalam lingkungan yang lebih terkoordinasi dan berkelanjutan. Ia akan

bergerak menuju informal socialisation networks atau informal plurilateralism

yang berarti:

“[A]n opaque process in which a shared interest among a limited number

of governments brings these together for consultation, the moulding of

ideas about a shared contentious issue that is constructed as a problem”

(Oelgemoller 2011: 113-114).

I.6. Kerangka Pemikiran

Menurut Krasner (1983: 2) rejim adalah:

"[S]ets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-

making procedures around which actors' expectations converge in a given

area of international relations".

18

Prinsip (principles) diterjemahkan sebagai keyakinan akan sebuah fakta, sebab

akibat, dan moralitas dalam tindakan. Norma (norms) adalah standar dalam

bertingkah laku bisa ditentukan melalui hak dan kewajiban. Aturan (rules)

merupakan metode spesifik yang menjadi guidance untuk bertindak. Sementara

prosedur pembuatan keputusan (decison-making procedures) adalah praktek-

praktek yang digunakan dalam membuat dan mengimplementasikan keputusan

kolektif (1983: 2). Perbedaan fundamental harus dibuat antara prinsip dan norma

di satu sisi, aturan dan prosedur di sisi lain.

Prinsip dan norma membentuk karakter dasar rejim. Aturan dan prosedur

pembuatan keputusan bisa konsisten dengan prinsip dan norma yang ada. Krasner

menggarisbawahi bahwa „[C]hanges in rules and decision-making procedures are

changes within regimes, provided that principles and norms are unaltered‟ (1983:

3). Berbeda dengan perubahan yang terjadi terhadap prinsip dan norma dimana

„[C]hanges in principles and norms are changes of the regime itself‟. Ketika

prinsip dan norma yang ada ditinggalkan, kemungkinannya adalah sebuah

perubahan menuju rejim baru atau justru hancurnya rejim dari area isu yang

sebelumnya ditetapkan (1983: 4).

Sebuah rejim yang terdiri dari beberapa aktor (negara, IGO, maupun

NGO) hadir ketika interaksi antar pihak berdasarkan dependent decision making.

Ketika masing-masing aktor bebas menentukan pilihan tanpa menimbulkan

konflik maka mereka telah mencapai equilibrium dan semua pihak puas dengan

itu, rejim tidak perlukan. Namun, jika sistem internasional bersifat anarkis dan

memungkinkan negara untuk bebas membuat keputusan, maka rejim bukan lahir

19

karena pilihan-pilihan negara terbatas, melainkan karena mereka menghindari

independent decision making. Rejim internasional terbentuk ketika tindakan-

tindakan negara berdasarkan pembuatan kebijakan yang saling berhubungan

(Stein 2011: 301). Tujuan terbentuknya rejim adalah untuk memfasilitasi adanya

persetujuan.

Jervis berpendapat konsep rejim „[I]mplies not only norms and

expectations that facilitate cooperation, but a form of cooperation that is more

than following of short-run self-interest‟ (1983). Namun, Krasner (1983: 3)

menyadari kemungkinan negara untuk mengejar kepentingan jangka pendek

ketika rejim telah terbentuk dan ini akan mengganggu efektifas rejim tersebut.

Negara memilih rejim karena perilaku berbasis kepentingan individualistis dan

independen dapat membuahkan hasil yang tidak diinginkan atau tidak optimal.

Stein menerjemahkan situasi-situasi seperti itu dengan dilemmas of common

interests dan dilemmas of common aversions (2011: 304). Common interest

adalah situasi ketika masing-masing pihak berada pada kondisi equilibrium,

menginginkan tujuan dan hasil yang sama, namun tidak bisa meraihnya secara

unilateral.

Agar mampu mencapai optimalitas tujuan semua aktor diharuskan

menghindari penggunaan strategi dominan. Sebagai tambahan, mereka tidak boleh

serakah dalam berusaha memperoleh tujuan yang diinginkan (2011: 306).

Akademisi Ilmu Hubungan Internasional berpendapat bahwa sifat alamiah negara

dan interaksinya dengan negara lain adalah prisoners' dilema. Masing-masing

pihak memiliki strategi dominan untuk meninggalkan common action dan ini

20

berakibat fatal bagi semuanya. Meski berada dalam situasi yang dikondisikan

seperti mutual cooperation, tetapi hasil tersebut bukan equilibrium karena setiap

aktor bisa ingkar dari kerjasama (2011: 307). Untuk itulah komitmen agar selalu

bekerjasama antara satu sama lain menjadi penting dalam rejim yang efektif.

Sebaliknya, common aversion merupakan kondisi saat para aktor memiliki

kepentingan yang sama untuk menghindari suatu hasil tertentu. Kondisi ini lahir

saat mereka menyetujui bahwa setidaknya ada satu hasil yang ingin mereka

hindari. Kerjasama dibutuhkan jika para aktor berharap bisa menghindari hasil

tersebut. Maka, dilema ini bisa menggiring pembentukan rejim dengan

menyediakan insentif bagi negara untuk meninggalkan independent decision-

making. Common aversion relatif mudah untuk dilakukan karena para pihak tidak

terpecah dalam hal kepentingan; mereka tidak peduli pada hasil yang lain.

Prosedur apapun yang mampu mempersatukan ekspektasi membuat kerjasama

lebih memungkinkan. Contohnya adalah menyetir di jalur kiri menjadi sebuah

mekanisme koordinasi sederhana yang memudahkan pergerakan kendaraan dari

arah berlawanan tanpa harus saling bertabrakan (2011: 309).

Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa masing-masing aktor punya

hasil berbeda yang ingin dihindari. Alternatif yang bisa dipakai adalah seluruh

aktor mengadopsi aturan kontekstual dimana konteksnya menetapkan apakah

aktor A mendapat keinginannya: di suatu saat iya, di saat lain tidak. Ini adalah

fairness doctrine yang menjamin seluruh aktor meraih apa yang paling mereka

inginkan tapi hanya dalam waktu tertentu (2011: 311). Dalam sebuah kerjasama

yang pertama kali diperlukan adalah agenda-setting dan issue definition dimana

21

keduanya menjadi prinsip dasar yang mendefinisikan rejim. Agenda-setting

dimaknai sebagai pengembangan common ground antar negara bahwa mereka

siap untuk mendiskusikan sebuah isu tertentu.

Issue definition berarti menyamakan pemahaman mengenai isu tersebut

yang berarti harus ada kesamaan konsep yang digunakan. Dalam tahap ini rasa

saling percaya sangat esensial bagi keberlangsungan kerjasama. Setelah penentuan

agenda-setting dan menuju proses negosiasi sebuah persetujuan, maka masing-

masing pihak menyiapkan pernyataan mengenai apa yang mereka inginkan,

khawatirkan, serta masukan untuk meraih hasil persetujuan. Interaksi yang terus

berulang merupakan kunci dalam proses ini. Masing-masing pihak harus bertemu

dan berbagi informasi serta pendapat, mungkin juga melakukan perjanjian dengan

satu sama lain secara bilateral. Interaksi yang intensif mampu meningkatkan

kepercayaan terhadap masing-masing aktor (Hansen 2010: 15-20).

Dalam pembentukan norma, concensus building dan position convergence

terhadap isu tersebut menjadi krusial. Norma bisa merupakan sesuatu yang tertulis

maupun tidak tertulis tetapi seluruh pihak harus menyetujui norma yang

diberlakukan. Rejim mampu efektif jika seluruh pihak mencapai konsensus

dengan komunikasi dan koordinasi menjadi standar alami dalam memutuskan

keputusan kolektif. Ini didukung dengan bersinerginya posisi semua aktor

terhadap isu yang telah diagendakan (2010: 15). Rejim juga memiliki aturan yang

harus berasal dari kesepakatan bersama. Aturan bisa menjadi sesuatu yang sangat

teknis untuk mengatur bagaimana masing-masing aktor bertindak di dalam rejim.

22

Begitu pun dengan prosedur pembuatan kebijakan untuk hasil kolektif yang harus

diformulasikan bersama.

Keduanya bisa dirumuskan setelah prinsip dan norma dalam rejim tersebut

telah dengan jelas ditentukan arahnya. Maka, pada dasarnya selain keharusan

untuk meninggalkan independent decision-making dan kesamaan kepentingan,

rasa saling percaya dan komunikasi adalah dua aspek paling fundamental dalam

pembentukan dan keberlangsungan rejim. Bali Process merupakan rejim dengan

tema besar tentang irregular migration dan kejahatan yang menyertainya, yakni,

permasalahan penyelundupan manusia, perdagangan manusia, dan kejahatan

transnasional lain. Berkaitan dengan penyelundupan pencari suaka, pembentukan

Bali Process dilatarbelakangi oleh kesamaan pendapat masing-masing negara

anggota bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan persoalan penyelundupan

pencari suaka secara unilateral.

Australia adalah negara pertama yang memunculkan ide dan konsep ini

karena posisinya sebagai negara penandatangan UN Refugee Convention 1951

menjadikannya tujuan pencari suaka, termasuk yang diselundupkan (2012: 5).

Para anggota menyepakati prinsip Bali Process yang terangkum dalam RCF,

diantaranya:

"Irregular movement facilitated by people smuggling syndicates should be

eliminated and States should promote and support opportunities for

orderly migration."

serta;

"Where appropriate and possible, asylum seekers should have access to

consistent assessment processes, whether through a set of harmonised

arrangements or through the possible establishment of regional

assessment arrangements, which might include a centre or centres, taking

23

into account any existing sub-regional arrangements." (The Bali Process

n.d.)

Kesamaan posisi bahwa penyelundupan pencari suaka merupakan sebuah

kejahatan dan negara menjadi korbannya, serta kesamaan tujuan untuk

menyelesaikannya melalui kerjasama (common interest) merupakan definisi

utama rejim ini. Norma yang berlaku bagi para anggota, meski sifatnya sebagai

RCP, adalah mereka harus mengembangkan perencanaan praktis di bawah

kerangka Bali Process. Sebagai contoh, anggota Bali Process sepakat bahwa

pertukaran informasi, capacity building, burden sharing, penyelesaian akar

permasalahan, pengumpulan sumber-sumber teknis, serta koordinasi untuk

proyek-proyek logistik, administratif, dan operasional yang difasilitasi oleh RSO

dan berkantor di Bangkok (Regional Support Office 2011).

Aspek kemanusiaan bahwa pencari suaka, apapun jalan yang

ditempuhnya, berhak untuk memperoleh akses terhadap pemrosesan status juga

menjadi norma Bali Process. Poin pertama yang menjadi norma Bali Process

adalah bahwa dalam menjalankan kesepakatan praktis, harus memperhatikan

harkat martabat korban penyelundupan (RSO Information Sheet Overview 2013).

Sementara sifatnya yang berupa RCP, Bali Process tidak bisa melahirkan aturan

teknis dan praktis yang mengikat berkaitan dengan bagaimana anggota harus

bertindak. Norma yang berlaku adalah keanggotaannya berbasis kesukarelaan dan

menghargai kedaulatan masing-masing negara sehingga ia tidak memiliki aturan

teknis dan praktis yang mengikat.

Prinsip-prinsip yang terangkum dalam RCF disepakati di dalam kerangka

Bali Process bisa diterjemahkan negara ke praktek domestik maupun hubungan

24

internasional secara berbeda. Sedangkan prosedur pembuatan kebijakan dalam

rejim ini harus melalui Steering Group. Setiap kontribusi dan proposal dari

anggota harus diserahkan kepada Steering Group. Operasionalisasi harian dari

Bali Process diawasi oleh manajer RSO dari pemerintah Australia dan Indonesia

yang akan melapor pada Steering Group, Ad-Hoc Group, dan seluruh anggota

Bali Process saat Senior Officials Meeting dan Regional Ministerial Conference.

Seluruh aktivitas RSO dievaluasi setelah 18 bulan sampai 24 bulan beroperasi

(RSO 2011).

Seperti yang ditegaskan sebelumnya bahwa dependent decision-making,

common interest, rasa saling percaya, dan interaksi yang intensif adalah kunci

keberhasilan rejim. Aspek-aspek ini seringkali hilang dalam Bali Process. Tidak

adanya pertemuan tingkat tinggi Regional Ministerial Conference maupun Senior

Officials Meeting sejak tahun 2004 hingga 2008 ditambah dengan jadwal yang

tidak pasti membuat kurangnya rasa saling percaya. Bali Process tidak

memperoleh prioritas dari pembuat keputusan ketika baru berusia dua tahun

dimana selama itu tidak banyak terjadi interaksi antar anggota. Ketika jumlah

penyelundupan pencari suaka ke Australia meningkat, negara itu berinisiatif

menghidupkan kembali Bali Process.

Ketiadaan Senior Officials Meeting dan Regional Ministerial Conference

yang panjang membuat antusiasme negara lain juga berkurang. Dampaknya adalah

Steering Group menjadi aktor paling berkepentingan sekaligus motor penggerak di

masa antusiasme itu surut. Dalam Steering Group sendiri terjadi perbedaan

pendapat yang mencolok dan justru berakibat buruk pada efektifitas Bali Process.

25

Pemerintah Australia, misalnya, sejak pemerintahan John Howard banyak

bertumpu pada Indonesia dan Negara kecil seperti Nauru dan Papua Nugini

melalui Pacific Solution. Perjanjian bilateral dengan Indonesia mengenai pencari

suaka dianggap mampu mengurangi penyelundupan pencari suaka karena

Indonesia menghentikan perahu-perahu mereka sebelum mencapai Australia.

Ketika hubungan bilateral keduanya goncang seperti yang baru-baru ini

terjadi, ini mempengaruhi pola komunikasi Co-Chairs sebab ada level of distrust

antara keduanya yang tinggi. Meski norma Bali Process adalah keanggotaan

sukarela dan menghargai kedaulatan negara, tetapi tindakan unilateral Negara

penggerak seperti Australia berdampak sistemik terhadap rejim ini. Norma

koordinasi dan kerjasama yang semestinya menjadi pendorong rejim ditinggalkan

Australia ketika Perdana Menteri Tony Abbott meresmikan kebijakan Operation

Sovereign Borders. Kebijakan ini, meski menjadi kedaulatan Australia, sebenarnya

mencederai prinsip dan norma Bali Process.

Pertama, kebijakan itu sangat unilateral tanpa berkoordinasi dengan

Indonesia sebagai negara yang juga terkena dampaknya. Tidak adanya konsultasi,

minimal dengan Co-Chairs dan Steering Group, mengancam keberlangsungan

rejim ini. Setidaknya Indonesia, UNHCR, dan IOM mengecam keras Operation

Sovereign Borders dan meminta penyelesaian penyelundupan pencari suaka

melalui Bali Process. Kedua, Operation Sovereign Borders memuat push-back

policy yang berlawanan dengan prinsip dan norma bahwa pencari suaka yang

diselundupkan sekalipun berhak memperoleh akses terhadap fasilitas pemrosesan

26

status. Push-back policy pada prakteknya adalah mengembalikan kapal pencari

suaka ke perairan sebelumnya, yakni, Indonesia.

Krasner menuliskan bahwa:

"If the principles, norms, rules, and decision-making procedures of a

regime become less coherent, or if actual practice is increasingly

inconsistent with principles, norms, rules and procedures, then a regime

has weakened" (1983: 5).

Dengan ini sebenarnya Australia membelot dari tanggungjawabnya sebagai bagian

Konvensi Pengungsi 1951 dan komitmen terhadap aspek kemanusiaan. Tindakan-

tindakan unilateral anggota yang bertolak belakang dengan prinsip dan norma dari

Bali Process berkontribusi besar kepada kegagalan rejim ini untuk menyelesaikan

persoalan penyelundupan pencari suaka.

I.7. Hipotesis

Kegagalan Bali Process dalam menyelesaikan persoalan penyelundupan

pencari suaka disebabkan oleh perubahan prinsip dan norma Bali Process dimana

perubahan itu dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, ketiadaan pertemuan

Regional Ministerial Conference dan Senior Officials Meeting sejak 2004 hingga

2008. Kedua, relasi politik Australia dan Indonesia sejak isu penyadapan oleh

Australia. Ketiga, unilateralisme Australia dalam mengatasi penyelundupan

pencari suaka melalui Operation Sovereign Borders. Faktor pertama melemahkan

rejim Bali Process secara keseluruhan. Kedua faktor terakhir saling berkaitan dan

paling berdampak secara spesifik pada keharmonisan Co-Chairs dan Steering

27

Group sebagai penggerak Bali Process yang kemudian berkorelasi terhadap

efektifitas Bali Process dalam menyelesaikan penyelundupan pencari suaka.

I.8. Metodologi Penelitian

I.8.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat eksplanatif untuk menjelaskan mengapa Bali Process

gagal dalam menyelesaikan persoalan penyelundupan pencari suaka ke

Australia. Penelitian eksplanatif bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua

atau lebih gejala atau variabel.

I.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik kualitatif dengan penekanan pada wawancara dan studi literatur maupun

dokumen (Silalahi 2006: 28). Wawancara utamanya dilakukan selama proses Studi

Independen yang memakan waktu kira-kira satu bulan, sejak 24 Februari hingga

24 Maret 2014, di Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK)

Kementerian Luar Negeri. Kegiatan wawancara dilaksanakan dengan perwakilan

BPPK dan Direktorat Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kementerian

Luar Negeri. Sedangkan studi literatur dilaksanakan sepanjang proses penulisan

thesis. Dari proses Studi Independen juga berhasil dikumpulkan beberapa

dokumen penting berkaitan dengan Bali Process.

I.8.3. Teknik Pengolahan Data

Data-data yang telah dikumpulkan baik dari wawancara, dokumen, media,

dan literatur lain yang berkaitan dianalisa melalui teknik kualitatif dengan

28

menyusunnya secara sistematis. Adapun tahapan-tahapan dalam pengolahan data

secara kualitatif. Pertama, tahap reduksi dimana tahap ini peneliti mengumpulkan

berbagai data yang bisa menjawab rumusan masalah. Kedua, tahap penyajian data

dengan mengorganisir data-data yang telah direduksi dan kemudian disusun dalam

pola hubungan. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan penelitian

berdasarkan temuan-temuan penelitian, verifikasi data, untuk membuktikan

hipotesis penelitian (2006: 28).

I.8.4. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terbagi menjadi empat bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, jangkauan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka untuk

mengetahui penelitian-penelitian mengenai topik terkait yang ada sebelumnya dan

memudahkan penempatan penelitian ini dalam konteks diskursus seputar topik

yang berhubungan, kerangka pemikiran dengan konsep-konsep untuk menjawab

pertanyaan penelitian dan menggiring ke formulasi hipotesis, hipotesis, serta

metodologi penelitian.

Bab II membahas mengapa terjadi ketiadaan pertemuan tingkat tinggi,

Regional Ministerial Conference dan Senior Official Meetings, dalam Bali Process

selama tahun 2004 hingga 2008 dan pengaruhnya terhadap kerjasama Bali Process

Bab III berisi penjelasan mengenai unilateralisme Australia yang

ditunjukkan dalam Operation Sovereign Borders, hubungan bilateral Indonesia

29

dan Australia setelah Operation Sovereign Borders dan isu penyadapan, serta

tanggapan Indonesia yang berefek pada Bali Process

Bab IV adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan penelitian.