BAB I PENDAHULUAN -...

48
12 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sentilan Sentilun (kemudian disingkat SS) adalah salah satu program hiburan di Metro TV. 1 Saat ini program SS telah menjadi program hiburan utama di Metro TV, di samping program hiburan utama lainnya seperti Stand Up Comedy 2 yang belum lama ini populer 3 di Indonesia. Penulis melihat kehadiran SS sebagai salah satu program hiburan di Metro TV sepertinya sejalan dengan tujuan Metro TV, yakni memberikan hiburan alternatif untuk khalayak televisi di Indonesia yang melulu dicekoki tayangan hiburan arus utama (mainstream) seperti sinema elektronik (sinetron), infotainment, dan tayangan berita. Selain itu 1 PT Media Televisi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Metro TV merupakan anak perusahaan dari Media Group, sebuah kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh yang juga merupakan pemilik Surat Kabar Media Indonesia, Lampung Post, dan lain-lain. Metro TV memperoleh ijin penyiaran pada 25 Oktober 1999, dan pada tanggal 25 November 2000 mengudara untuk pertama kalinya dalam bentuk siaran uji coba di tujuh kota. Awalnya Metro TV hanya siaran 12 jam dalam sehari, namun sejak 1 April 2001 mereka mulai tayang selama 24 jam. Setelah mengawali kiprah sebagai televisi berita, pada perkembangannya, Metro TV menawarkan banyak inovasi dalam metode penyiarannya yang melawan pakem pertelevisian yang umum di Indonesia. Inovasi ini merupakan bentuk adopsi dari model penyiaran televisi di Amerika seperti CNN, atau BBC London di Inggris. 2 Stand up comedy merupakan bentuk dari seni komedi atau melawak yang disampaikan secara monolog kepada penonton, dengan bekal microphone. Biasanya dilakukan secara langsung (live) dan komedian (disebut comic) akan melakukan one man show. Dahulu stand up comedy diadopsi dari Amerika Serikat dan kembali populer di Indonesia sejak 2010. Umumnya materi yang disampaikan dalam stand up comedy di Indonesia berupa anekdot, sindiran, kritikan yang dituturkan dengan bahasa lisan maupun bahasa tubuh yang dikemas menjadi joke yang lucu sehingga membuat orang tertawa, dengan tema apapun yang populer dan dekat dengan khalayak. Selanjutnya baca di Affan (penyunting), 2012, Stand Up Comedy, Yogyakarta, terbitan Immortal Publisher. 3 Penulis mengamati bagaimana „menanjaknya‟ popularitas Stand Up Comedy melalui pemberitaan di media massa seperti televisi, radio, juga di media sosial seperti di Twitter dan Facebook. Seiring dengan meningkatnya popularitas stand up comedy, para comic-nya pun mulai sering bermunculan di layar televisi dan menjadi selebritis baru di Indonesia. Contohnya: Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, Ernest Prakasa, Cak Lontong, dll. Selain ditayangkan di Metro TV, stand up comedy juga rutin ditayangkan di Kompas TV dan dijadikan program kompetisi musiman: Stand Up Comedy Kompas TV Season‟ 1, 2, dan memasuki ke-3 pada 2013 memasuki season 3.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

12

BAB I

PENDAHULUAN

11 Latar Belakang Masalah

Sentilan Sentilun (kemudian disingkat SS) adalah salah satu program

hiburan di Metro TV1 Saat ini program SS telah menjadi program hiburan utama

di Metro TV di samping program hiburan utama lainnya seperti Stand Up

Comedy2 yang belum lama ini populer

3 di Indonesia Penulis melihat kehadiran

SS sebagai salah satu program hiburan di Metro TV sepertinya sejalan dengan

tujuan Metro TV yakni memberikan hiburan alternatif untuk khalayak televisi di

Indonesia yang melulu dicekoki tayangan hiburan arus utama (mainstream)

seperti sinema elektronik (sinetron) infotainment dan tayangan berita Selain itu

1 PT Media Televisi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Metro TV merupakan anak

perusahaan dari Media Group sebuah kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh

yang juga merupakan pemilik Surat Kabar Media Indonesia Lampung Post dan lain-lain Metro

TV memperoleh ijin penyiaran pada 25 Oktober 1999 dan pada tanggal 25 November 2000

mengudara untuk pertama kalinya dalam bentuk siaran uji coba di tujuh kota Awalnya Metro TV

hanya siaran 12 jam dalam sehari namun sejak 1 April 2001 mereka mulai tayang selama 24 jam

Setelah mengawali kiprah sebagai televisi berita pada perkembangannya Metro TV menawarkan

banyak inovasi dalam metode penyiarannya yang melawan pakem pertelevisian yang umum di

Indonesia Inovasi ini merupakan bentuk adopsi dari model penyiaran televisi di Amerika seperti

CNN atau BBC London di Inggris 2 Stand up comedy merupakan bentuk dari seni komedi atau melawak yang disampaikan secara

monolog kepada penonton dengan bekal microphone Biasanya dilakukan secara langsung (live)

dan komedian (disebut comic) akan melakukan one man show Dahulu stand up comedy diadopsi

dari Amerika Serikat dan kembali populer di Indonesia sejak 2010 Umumnya materi yang

disampaikan dalam stand up comedy di Indonesia berupa anekdot sindiran kritikan yang

dituturkan dengan bahasa lisan maupun bahasa tubuh yang dikemas menjadi joke yang lucu

sehingga membuat orang tertawa dengan tema apapun yang populer dan dekat dengan khalayak

Selanjutnya baca di Affan (penyunting) 2012 Stand Up Comedy Yogyakarta terbitan Immortal

Publisher 3 Penulis mengamati bagaimana bdquomenanjaknya‟ popularitas Stand Up Comedy melalui

pemberitaan di media massa seperti televisi radio juga di media sosial seperti di Twitter dan

Facebook Seiring dengan meningkatnya popularitas stand up comedy para comic-nya pun mulai

sering bermunculan di layar televisi dan menjadi selebritis baru di Indonesia Contohnya Pandji

Pragiwaksono Raditya Dika Ernest Prakasa Cak Lontong dll Selain ditayangkan di Metro TV

stand up comedy juga rutin ditayangkan di Kompas TV dan dijadikan program kompetisi musiman

bdquoStand Up Comedy Kompas TV Season‟ 1 2 dan memasuki ke-3 pada 2013 memasuki season 3

13

peran penting Metro TV dalam industri media dan budaya yang berpengaruh di

Indonesia mau tak mau tak dapat dihiraukan begitu saja

Metro TV adalah stasiun televisi berita swasta nasional pertama di

Indonesia yang termasuk paling rajin melancarkan kritik terhadap Pemerintah

Indonesia dengan beragam isu dan wacana yang dikemas dalam berita (news)

berbagai talk show serta program hiburan lainnya seperti SS Mengapa penulis

mengatakan demikan sebab bisa jadi Metro TV berusaha bdquoterlihat kritis‟ terhadap

kinerja negara-pemerintahan Republik Indonesia (RI) di bawah kepemimpinan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Hal ini mungkin sejalan dengan

slogannya ldquoKnowledge to Elevaterdquo yang mana bertujuan memberi informasi

pengetahuan edukasi serta menginspirasi khalayak televisi Indonesia ndash dengan

gaya dan karakternya Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk melihat

bagaimana pembacaan khalayak televisi Indonesia terhadap SS sebagai

representasi gaya kritis a lά Metro TV dengan melakukan penelitian atau kajian

terhadap khalayak yang menontonnya

Sampai dengan hari Senin terakhir bulan Desember 2013 SS telah

ditayangkan Metro TV di layar televisi Indonesia selama hampir tiga tahun

termasuk dua kali perubahan jam tayang dan enam kali tata panggung berbeda

Hingga episode terakhir SS yang ditayangkan di Metro TV tempat mereka

beraksi adalah studio televisi yang disulap menjadi mirip teras dan halaman depan

rumah Perubahan tersebut tidak terjadi kepada para pemeran utama program ini

Sejak saat pertama kali ditayangkan SS memiliki dua tokohkarakter

utama yaitu Sentilan dan Sentilun yang mana sesuai dengan nama programnya

14

Masing-masing diperankan Slamet Rahardjo dan Butet Kertaradjasa Mereka

menjadi aktor utama parodi politik a lά Metro TV yang selalu mengkritik sambil

menggelitik Menurut penulis keduanya merupakan bdquomagnet‟ tersendiri bagi

khalayak Indonesia apalagi mengingat bahwa mereka adalah seniman yang sudah

lama berkiprah dalam dunia film dan teater di Indonesia Begitu juga dengan sang

penulis naskah Agus Noor yang mana dikenal sebagai penulis cerita pendek

(cerpen) dan naskah cerita yang sudah diakui berkualitas di kalangan bdquopegiat pena

budaya‟ (baca sastrawan) se-Indonesia Kolaborasi mereka bertiga dengan Metro

TV-lah yang kemudian turut menentukan sukses atau tidaknya program SS

Apa yang dilakukan SS setiap pekan dengan episode-episode yang

berbeda ialah mengkritik atau menyindir negara-pemerintah Indonesia terutama

pada persoalan lambatnya mengupayakan pemberantasan korupsi dan penegakkan

hukum secara tegas yang mana sejalan dengan kebijakan Redaksi (editorial)

Metro TV Misalnya berkali-kali menyebut kasus-kasus Mafia Pajak Gayus

Tambunan yang tak pernah tuntas juga Bank Century Hambalang Wisma Atlet

Melinda Dee Nazzarudin dan lain-lain Lalu sebagai bahan kritik lainnya SS

juga menyebut masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang dihukum

mati tetapi tidak mendapat perhatian serius dari negara-pemerintah

Sindiran lainnya misalnya ketika 2011 lalu PT PLN (Perusahaan Listrik

Negara) diplesetkan dengan sebutan bdquoPerusahaan Lilin Negara‟ karena terlampau

sering mematikan listrik secara mendadak sehingga kehadiran listrik sering

dikalahkan oleh api dari lilin-lilin yang menyala seolah-olah lilin lebih terang

15

dari pada listrik Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan

sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS

Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi

korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program

ini Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis

temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012

ldquoagus_noor 2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya

seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang soal korupsirdquo

Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai bdquoRaja

Teater Monolog‟ sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para

penonton di studio bintang tamu pemeran Sentilan maupun para khalayak yang

menonton televisi Di program SS Butet yang berperan sebagai batur

sesungguhnya paling banyak memainkan peran usil dan jenaka Hal ini cukup

berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan majikan dari

Sentilun Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai

miskin yang berwibawa bijaksana sopan dan santun tetapi sesekali juga mampu

beraksi jail dan jenaka

Dalam berbagi peran Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk

tidak sembarangan nggeguyu layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur

walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu

4 Muhammad Sobary dalam buku Presiden Guyonan mengatakan bahwa Butet dididik dalam

lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang ldquoNggeguyurdquo alias menertawakan Nggeguyu merupakan

konsep campur aduk antara mengkritik sekedar membuat lelucon mengejek atau mencemooh

sekaligus diam-diam membalas dendam Hal ini serius dan sering mengandung bebanmuatan

politik Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa 2008 Presiden Guyonan terbitan Titian Galang

Printika Yogyakarta

16

seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu

Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi

mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)

Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran

Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka

Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5

SS

Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara

tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang

ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan

tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena

ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah

Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo

Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya

bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya

Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu

di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut

Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan

wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo

Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya

seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan

Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang

di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini

5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi

dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama

17

penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan

guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak

muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu

sedang hangat di media massa6

Di sisi lain penulis menilai SS telah

bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut

Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah

dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan

tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri

autopilot7

ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya

pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan

bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya

penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa

negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat

tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di

luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan

terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang

Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh

narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-

budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap

6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai

mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi

Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas

dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin

26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana

pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke

otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang

memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya

mengawasinya

18

negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini

sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai

ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang

hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah

jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau

menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau

bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi

positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif

Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang

ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9

Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV

lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena

khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan

gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan

bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi

8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang

rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah

buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia

cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari

kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada

khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah

sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati

sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah

selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya

akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu

dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana

digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan

pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang

memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi

Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di

hampir setiap episode SS

19

Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi

bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri

Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan

sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang

dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan

kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker

2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip

Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan

ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi

akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari

kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan

khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu

Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan

Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi

dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang

mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi

berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering

dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan

pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif

yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau

pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp

Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media

konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

13

peran penting Metro TV dalam industri media dan budaya yang berpengaruh di

Indonesia mau tak mau tak dapat dihiraukan begitu saja

Metro TV adalah stasiun televisi berita swasta nasional pertama di

Indonesia yang termasuk paling rajin melancarkan kritik terhadap Pemerintah

Indonesia dengan beragam isu dan wacana yang dikemas dalam berita (news)

berbagai talk show serta program hiburan lainnya seperti SS Mengapa penulis

mengatakan demikan sebab bisa jadi Metro TV berusaha bdquoterlihat kritis‟ terhadap

kinerja negara-pemerintahan Republik Indonesia (RI) di bawah kepemimpinan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Hal ini mungkin sejalan dengan

slogannya ldquoKnowledge to Elevaterdquo yang mana bertujuan memberi informasi

pengetahuan edukasi serta menginspirasi khalayak televisi Indonesia ndash dengan

gaya dan karakternya Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk melihat

bagaimana pembacaan khalayak televisi Indonesia terhadap SS sebagai

representasi gaya kritis a lά Metro TV dengan melakukan penelitian atau kajian

terhadap khalayak yang menontonnya

Sampai dengan hari Senin terakhir bulan Desember 2013 SS telah

ditayangkan Metro TV di layar televisi Indonesia selama hampir tiga tahun

termasuk dua kali perubahan jam tayang dan enam kali tata panggung berbeda

Hingga episode terakhir SS yang ditayangkan di Metro TV tempat mereka

beraksi adalah studio televisi yang disulap menjadi mirip teras dan halaman depan

rumah Perubahan tersebut tidak terjadi kepada para pemeran utama program ini

Sejak saat pertama kali ditayangkan SS memiliki dua tokohkarakter

utama yaitu Sentilan dan Sentilun yang mana sesuai dengan nama programnya

14

Masing-masing diperankan Slamet Rahardjo dan Butet Kertaradjasa Mereka

menjadi aktor utama parodi politik a lά Metro TV yang selalu mengkritik sambil

menggelitik Menurut penulis keduanya merupakan bdquomagnet‟ tersendiri bagi

khalayak Indonesia apalagi mengingat bahwa mereka adalah seniman yang sudah

lama berkiprah dalam dunia film dan teater di Indonesia Begitu juga dengan sang

penulis naskah Agus Noor yang mana dikenal sebagai penulis cerita pendek

(cerpen) dan naskah cerita yang sudah diakui berkualitas di kalangan bdquopegiat pena

budaya‟ (baca sastrawan) se-Indonesia Kolaborasi mereka bertiga dengan Metro

TV-lah yang kemudian turut menentukan sukses atau tidaknya program SS

Apa yang dilakukan SS setiap pekan dengan episode-episode yang

berbeda ialah mengkritik atau menyindir negara-pemerintah Indonesia terutama

pada persoalan lambatnya mengupayakan pemberantasan korupsi dan penegakkan

hukum secara tegas yang mana sejalan dengan kebijakan Redaksi (editorial)

Metro TV Misalnya berkali-kali menyebut kasus-kasus Mafia Pajak Gayus

Tambunan yang tak pernah tuntas juga Bank Century Hambalang Wisma Atlet

Melinda Dee Nazzarudin dan lain-lain Lalu sebagai bahan kritik lainnya SS

juga menyebut masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang dihukum

mati tetapi tidak mendapat perhatian serius dari negara-pemerintah

Sindiran lainnya misalnya ketika 2011 lalu PT PLN (Perusahaan Listrik

Negara) diplesetkan dengan sebutan bdquoPerusahaan Lilin Negara‟ karena terlampau

sering mematikan listrik secara mendadak sehingga kehadiran listrik sering

dikalahkan oleh api dari lilin-lilin yang menyala seolah-olah lilin lebih terang

15

dari pada listrik Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan

sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS

Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi

korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program

ini Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis

temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012

ldquoagus_noor 2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya

seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang soal korupsirdquo

Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai bdquoRaja

Teater Monolog‟ sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para

penonton di studio bintang tamu pemeran Sentilan maupun para khalayak yang

menonton televisi Di program SS Butet yang berperan sebagai batur

sesungguhnya paling banyak memainkan peran usil dan jenaka Hal ini cukup

berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan majikan dari

Sentilun Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai

miskin yang berwibawa bijaksana sopan dan santun tetapi sesekali juga mampu

beraksi jail dan jenaka

Dalam berbagi peran Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk

tidak sembarangan nggeguyu layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur

walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu

4 Muhammad Sobary dalam buku Presiden Guyonan mengatakan bahwa Butet dididik dalam

lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang ldquoNggeguyurdquo alias menertawakan Nggeguyu merupakan

konsep campur aduk antara mengkritik sekedar membuat lelucon mengejek atau mencemooh

sekaligus diam-diam membalas dendam Hal ini serius dan sering mengandung bebanmuatan

politik Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa 2008 Presiden Guyonan terbitan Titian Galang

Printika Yogyakarta

16

seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu

Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi

mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)

Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran

Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka

Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5

SS

Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara

tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang

ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan

tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena

ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah

Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo

Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya

bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya

Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu

di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut

Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan

wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo

Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya

seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan

Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang

di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini

5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi

dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama

17

penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan

guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak

muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu

sedang hangat di media massa6

Di sisi lain penulis menilai SS telah

bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut

Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah

dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan

tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri

autopilot7

ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya

pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan

bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya

penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa

negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat

tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di

luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan

terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang

Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh

narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-

budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap

6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai

mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi

Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas

dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin

26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana

pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke

otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang

memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya

mengawasinya

18

negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini

sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai

ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang

hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah

jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau

menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau

bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi

positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif

Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang

ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9

Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV

lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena

khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan

gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan

bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi

8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang

rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah

buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia

cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari

kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada

khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah

sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati

sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah

selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya

akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu

dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana

digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan

pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang

memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi

Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di

hampir setiap episode SS

19

Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi

bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri

Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan

sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang

dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan

kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker

2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip

Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan

ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi

akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari

kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan

khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu

Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan

Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi

dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang

mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi

berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering

dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan

pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif

yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau

pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp

Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media

konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

14

Masing-masing diperankan Slamet Rahardjo dan Butet Kertaradjasa Mereka

menjadi aktor utama parodi politik a lά Metro TV yang selalu mengkritik sambil

menggelitik Menurut penulis keduanya merupakan bdquomagnet‟ tersendiri bagi

khalayak Indonesia apalagi mengingat bahwa mereka adalah seniman yang sudah

lama berkiprah dalam dunia film dan teater di Indonesia Begitu juga dengan sang

penulis naskah Agus Noor yang mana dikenal sebagai penulis cerita pendek

(cerpen) dan naskah cerita yang sudah diakui berkualitas di kalangan bdquopegiat pena

budaya‟ (baca sastrawan) se-Indonesia Kolaborasi mereka bertiga dengan Metro

TV-lah yang kemudian turut menentukan sukses atau tidaknya program SS

Apa yang dilakukan SS setiap pekan dengan episode-episode yang

berbeda ialah mengkritik atau menyindir negara-pemerintah Indonesia terutama

pada persoalan lambatnya mengupayakan pemberantasan korupsi dan penegakkan

hukum secara tegas yang mana sejalan dengan kebijakan Redaksi (editorial)

Metro TV Misalnya berkali-kali menyebut kasus-kasus Mafia Pajak Gayus

Tambunan yang tak pernah tuntas juga Bank Century Hambalang Wisma Atlet

Melinda Dee Nazzarudin dan lain-lain Lalu sebagai bahan kritik lainnya SS

juga menyebut masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang dihukum

mati tetapi tidak mendapat perhatian serius dari negara-pemerintah

Sindiran lainnya misalnya ketika 2011 lalu PT PLN (Perusahaan Listrik

Negara) diplesetkan dengan sebutan bdquoPerusahaan Lilin Negara‟ karena terlampau

sering mematikan listrik secara mendadak sehingga kehadiran listrik sering

dikalahkan oleh api dari lilin-lilin yang menyala seolah-olah lilin lebih terang

15

dari pada listrik Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan

sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS

Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi

korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program

ini Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis

temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012

ldquoagus_noor 2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya

seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang soal korupsirdquo

Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai bdquoRaja

Teater Monolog‟ sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para

penonton di studio bintang tamu pemeran Sentilan maupun para khalayak yang

menonton televisi Di program SS Butet yang berperan sebagai batur

sesungguhnya paling banyak memainkan peran usil dan jenaka Hal ini cukup

berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan majikan dari

Sentilun Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai

miskin yang berwibawa bijaksana sopan dan santun tetapi sesekali juga mampu

beraksi jail dan jenaka

Dalam berbagi peran Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk

tidak sembarangan nggeguyu layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur

walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu

4 Muhammad Sobary dalam buku Presiden Guyonan mengatakan bahwa Butet dididik dalam

lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang ldquoNggeguyurdquo alias menertawakan Nggeguyu merupakan

konsep campur aduk antara mengkritik sekedar membuat lelucon mengejek atau mencemooh

sekaligus diam-diam membalas dendam Hal ini serius dan sering mengandung bebanmuatan

politik Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa 2008 Presiden Guyonan terbitan Titian Galang

Printika Yogyakarta

16

seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu

Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi

mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)

Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran

Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka

Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5

SS

Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara

tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang

ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan

tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena

ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah

Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo

Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya

bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya

Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu

di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut

Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan

wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo

Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya

seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan

Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang

di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini

5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi

dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama

17

penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan

guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak

muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu

sedang hangat di media massa6

Di sisi lain penulis menilai SS telah

bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut

Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah

dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan

tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri

autopilot7

ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya

pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan

bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya

penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa

negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat

tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di

luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan

terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang

Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh

narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-

budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap

6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai

mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi

Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas

dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin

26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana

pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke

otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang

memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya

mengawasinya

18

negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini

sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai

ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang

hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah

jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau

menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau

bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi

positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif

Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang

ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9

Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV

lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena

khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan

gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan

bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi

8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang

rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah

buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia

cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari

kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada

khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah

sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati

sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah

selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya

akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu

dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana

digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan

pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang

memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi

Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di

hampir setiap episode SS

19

Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi

bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri

Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan

sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang

dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan

kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker

2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip

Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan

ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi

akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari

kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan

khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu

Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan

Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi

dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang

mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi

berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering

dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan

pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif

yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau

pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp

Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media

konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

15

dari pada listrik Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan

sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS

Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi

korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program

ini Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis

temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012

ldquoagus_noor 2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya

seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang soal korupsirdquo

Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai bdquoRaja

Teater Monolog‟ sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para

penonton di studio bintang tamu pemeran Sentilan maupun para khalayak yang

menonton televisi Di program SS Butet yang berperan sebagai batur

sesungguhnya paling banyak memainkan peran usil dan jenaka Hal ini cukup

berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan majikan dari

Sentilun Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai

miskin yang berwibawa bijaksana sopan dan santun tetapi sesekali juga mampu

beraksi jail dan jenaka

Dalam berbagi peran Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk

tidak sembarangan nggeguyu layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur

walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu

4 Muhammad Sobary dalam buku Presiden Guyonan mengatakan bahwa Butet dididik dalam

lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang ldquoNggeguyurdquo alias menertawakan Nggeguyu merupakan

konsep campur aduk antara mengkritik sekedar membuat lelucon mengejek atau mencemooh

sekaligus diam-diam membalas dendam Hal ini serius dan sering mengandung bebanmuatan

politik Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa 2008 Presiden Guyonan terbitan Titian Galang

Printika Yogyakarta

16

seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu

Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi

mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)

Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran

Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka

Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5

SS

Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara

tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang

ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan

tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena

ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah

Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo

Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya

bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya

Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu

di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut

Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan

wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo

Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya

seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan

Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang

di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini

5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi

dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama

17

penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan

guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak

muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu

sedang hangat di media massa6

Di sisi lain penulis menilai SS telah

bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut

Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah

dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan

tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri

autopilot7

ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya

pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan

bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya

penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa

negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat

tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di

luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan

terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang

Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh

narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-

budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap

6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai

mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi

Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas

dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin

26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana

pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke

otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang

memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya

mengawasinya

18

negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini

sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai

ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang

hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah

jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau

menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau

bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi

positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif

Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang

ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9

Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV

lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena

khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan

gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan

bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi

8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang

rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah

buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia

cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari

kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada

khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah

sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati

sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah

selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya

akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu

dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana

digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan

pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang

memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi

Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di

hampir setiap episode SS

19

Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi

bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri

Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan

sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang

dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan

kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker

2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip

Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan

ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi

akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari

kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan

khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu

Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan

Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi

dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang

mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi

berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering

dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan

pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif

yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau

pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp

Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media

konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

16

seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu

Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi

mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)

Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran

Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka

Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5

SS

Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara

tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang

ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan

tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena

ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah

Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo

Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya

bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya

Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu

di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut

Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan

wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo

Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya

seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan

Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang

di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini

5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi

dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama

17

penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan

guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak

muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu

sedang hangat di media massa6

Di sisi lain penulis menilai SS telah

bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut

Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah

dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan

tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri

autopilot7

ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya

pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan

bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya

penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa

negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat

tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di

luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan

terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang

Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh

narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-

budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap

6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai

mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi

Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas

dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin

26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana

pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke

otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang

memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya

mengawasinya

18

negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini

sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai

ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang

hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah

jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau

menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau

bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi

positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif

Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang

ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9

Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV

lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena

khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan

gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan

bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi

8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang

rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah

buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia

cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari

kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada

khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah

sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati

sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah

selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya

akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu

dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana

digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan

pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang

memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi

Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di

hampir setiap episode SS

19

Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi

bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri

Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan

sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang

dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan

kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker

2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip

Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan

ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi

akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari

kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan

khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu

Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan

Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi

dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang

mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi

berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering

dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan

pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif

yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau

pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp

Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media

konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

17

penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan

guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak

muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu

sedang hangat di media massa6

Di sisi lain penulis menilai SS telah

bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut

Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah

dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan

tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri

autopilot7

ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya

pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan

bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya

penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa

negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat

tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di

luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan

terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang

Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh

narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-

budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap

6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai

mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi

Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas

dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin

26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana

pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke

otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang

memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya

mengawasinya

18

negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini

sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai

ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang

hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah

jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau

menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau

bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi

positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif

Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang

ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9

Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV

lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena

khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan

gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan

bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi

8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang

rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah

buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia

cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari

kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada

khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah

sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati

sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah

selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya

akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu

dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana

digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan

pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang

memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi

Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di

hampir setiap episode SS

19

Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi

bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri

Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan

sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang

dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan

kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker

2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip

Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan

ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi

akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari

kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan

khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu

Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan

Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi

dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang

mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi

berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering

dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan

pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif

yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau

pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp

Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media

konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

18

negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini

sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai

ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang

hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah

jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau

menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau

bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi

positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif

Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang

ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9

Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV

lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena

khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan

gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan

bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi

8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang

rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah

buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia

cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari

kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada

khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah

sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati

sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah

selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya

akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu

dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana

digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan

pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang

memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi

Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di

hampir setiap episode SS

19

Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi

bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri

Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan

sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang

dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan

kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker

2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip

Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan

ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi

akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari

kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan

khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu

Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan

Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi

dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang

mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi

berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering

dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan

pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif

yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau

pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp

Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media

konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

19

Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi

bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri

Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan

sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang

dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan

kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker

2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip

Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan

ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi

akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari

kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan

khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu

Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan

Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi

dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang

mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi

berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering

dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan

pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif

yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau

pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp

Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media

konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

20

mengawasandi (decoding)10

seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan

Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)

Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan

pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa

khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)

atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11

(Hall

1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan

melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-

pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi

khalayak terhadap SS

Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang

menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya

akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang

Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian

10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami

sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh

makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan

produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam

kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda

(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu

mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural

Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen

produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang

masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak

menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-

merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak

memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena

pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang

beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan

dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki

teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik

Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue

Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart

Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

21

menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12

Saat khalayak membincangkan

Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama

Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang

beragam13

Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)

dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat

pertama ndash adalah sebagai kesamaan

Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS

ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar

belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana

dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh

khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi

mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas

etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009

291)

12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-

bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan

bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa

Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas

merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan

sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok

dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan

dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat

gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan

sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi

secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap

orang

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

22

12 Rumusan Masalah

Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis

merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam

penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia

(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)

Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak

meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan

negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS

13 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana

encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum

untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca

sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui

bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran

kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan

persoalan negara dan korupsi

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan

menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV

sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya

memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program

hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis

ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

23

khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar

penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang

kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya

(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah

membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara

khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro

TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS

14 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience

studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan

penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-

buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan

pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan

penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada

tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas

Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David

Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience

Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis

dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang

khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor

dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)

yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

24

Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian

dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program

media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth

interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian

khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma

kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan

bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta

Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi

penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary

Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan

pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall

tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian

diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and

gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-

teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih

baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi

diinginkan untuk diterima khalayak

Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟

berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa

decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis

kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural

terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley

(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

25

sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding

dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer

bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok

pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang

oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial

sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal

yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh

sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk

menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa

berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka

bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka

Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak

ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok

sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan

secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)

Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat

bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana

proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi

sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga

membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi

informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan

Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak

melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

26

Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi

dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi

merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media

Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah

ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali

dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)

dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan

skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian

mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang

kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara

metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara

simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans

dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi

celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke

dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk

membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks

yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)

Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan

tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya

Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak

diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan

budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

27

tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi

dilihat sebagai resistensi

Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang

dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib

Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi

pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang

dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do

things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi

ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman

menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan

menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik

konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di

rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan

bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi

sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti

menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari

sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya

Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan

beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah

tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian

menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman

juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara

bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

28

(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background

noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang

bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman

2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang

yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang

tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk

menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian

Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang

bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila

menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley

dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis

catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait

bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah

etnografi khalayak

Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi

khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak

sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya

sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis

sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi

khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka

penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang

efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga

membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

29

catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya

sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini

adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa

generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah

gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri

Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek

sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di

komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari

1999 7)

Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan

identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of

Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007

287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial

Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis

merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan

fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)

dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi

Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok

orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)

mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas

Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah

bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

30

mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural

secara timbal balik (Barker 2009 291)

Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan

Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan

pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap

serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah

persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling

disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai

bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan

bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak

dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah

kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14

Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk

sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu

filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari

kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak

familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada

realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika

dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari

kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel

Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun

canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton

14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New

York hal 294

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

31

melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto

2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini

menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas

kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat

bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan

Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam

penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses

analisis dalam penelitian penulis

Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa

hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang

paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak

menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat

mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi

tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟

sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa

sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik

perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui

artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis

lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka

adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)

yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya

melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka

kajian dan analisanya juga berbeda

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

32

Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida

dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan

bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial

remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui

media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah

bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga

menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di

lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat

bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron

negeri sendiri (baca Indonesia)

Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program

televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus

menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton

lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru

di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan

perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)

dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan

geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia

tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di

Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku

kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya

sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

33

dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea

Selatan

Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada

kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)

yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya

menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk

bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak

terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan

kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan

bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat

menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut

Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang

dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya

terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya

yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara

itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap

khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak

15 Kerangka Pemikiran

Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang

berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas

keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif

EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

34

decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu

(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai

bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua

kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟

yang melampaui praktiknya itu sendiri

Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya

dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun

terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian

(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya

dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari

1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟

maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait

dengan penelitian ini

151 Khalayak Aktif (Active Audience)

Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar

menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang

dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program

televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton

lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca

buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya

itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih

aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

35

penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian

cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan

bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna

aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat

audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas

serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)

Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu

aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan

makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi

Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan

mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam

buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian

khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari

menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian

khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku

khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada

bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak

mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa

berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para

khalayak (Ross dan Nightingale 2003)

Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam

tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

36

dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas

dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks

distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton

Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga

di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas

dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir

ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan

berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama

(Barker 2009 286-7)

Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama

(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang

dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh

media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada

khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun

dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang

tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi

misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap

acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan

kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya

media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

37

Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau

inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat

dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan

media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang

sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak

mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman

subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah

interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang

memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari

1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai

subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan

metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan

historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda

152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)

Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart

Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan

dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak

Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset

komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi

dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak

menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender

messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

38

dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda

sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya

untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur

yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang

berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi

distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan

serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan

melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya

mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta

kondisi keberadaannya sendiri

Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur

penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk

diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan

semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat

bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan

diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa

memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau

digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang

bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan

didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur

mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional

kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah

ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

39

pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut

muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses

dekodingnya

Program sebagai

Diskursus bermakna

enkoding dekoding

struktur makna 1 struktur makna 2

kerangka kerangka

pengetahuan pengetahuan

------------------------ ---------------------

hubungan produksi hubungan produksi

------------------------ -----------------------

Infrastruktur teknis infrastruktur teknis

Bagan 1 encodingdecoding

Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur

makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya

bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin

tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat

bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung

pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi

bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini

pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di

antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

40

menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan

Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan

relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga

berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada

momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut

bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi

antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan

bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat

Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)

Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang

pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki

bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan

mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun

ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan

gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode

program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai

kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding

dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun

tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi

eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika

keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan

memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam

lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

41

ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun

yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara

otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini

benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat

beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding

Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi

yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi

melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara

dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah

kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian

komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan

akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh

karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda

yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan

Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-

hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak

mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu

mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah

dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian

dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang

barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil

oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai

dengan cara yang hegemonik

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

42

Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading

atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya

legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan

adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas

khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan

telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda

Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur

yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi

definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak

sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat

aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan

terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang

berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat

penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri

yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan

pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau

terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan

ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika

kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)

Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional

reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di

mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun

menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

43

sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara

sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh

diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara

keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali

menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan

alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap

ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan

cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah

hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam

diskursus digabungkan

Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan

(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat

dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah

diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan

khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi

tema utama di hampir setiap episodenya

Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep

ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep

encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan

untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media

untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau

preferred reading (Antoni 2004 192)

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

44

153 Identitas Keindonesiaan

Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan

dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama

dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural

dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu

Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan

kultural tertentu (Barker 2009 174)

Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens

(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens

identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri

sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya

keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab

sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana

bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi

identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa

lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah

sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas

adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks

biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)

Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas

karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri

sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu

yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

45

identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut

ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek

Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses

suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa

yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini

bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan

ke depan

Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di

dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan

menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja

sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu

sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep

kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf

Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas

adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya

dengan individu-individu lain secara sosial

Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana

seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural

karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah

pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek

identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber

daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan

situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

46

konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri

melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)

ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan

sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-

tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah

umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat

sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat

(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)

Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang

aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990

89 via Barker 2009 176)

Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat

antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan

soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)

dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah

melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu

dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor

kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi

yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa

menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)

Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas

umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama

dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak

stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

47

penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat

antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada

kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan

bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat

diartikulasikan bersama dengan berbagai cara

Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka

pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton

(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo

Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang

bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di

dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas

adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan

juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan

rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita

dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan

keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton

2011 243-4)

Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis

mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas

Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya

klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo

Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang

nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

48

arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik

keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin

lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an

(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya

jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis

(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam

komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh

berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)

Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi

nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-

bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para

nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-

kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu

kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak

terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui

generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis

nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya

Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah

melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)

Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari

kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara

sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)

kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

49

menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam

Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki

age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan

abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)

Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi

tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan

sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali

pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak

akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar

tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi

anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab

bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar

manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar

perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang

membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa

dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang

ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa

15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah

bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu

masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka

telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa

menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam

Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal

8

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

50

itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan

melebar-mendatar (Anderson 2008 10)

Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya

untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak

maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk

membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih

besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟

16 Metodologi Penelitian

Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan

metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif

menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi

oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting

dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada

produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara

memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)

Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive

yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah

komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi

media lain (Jensen 2003 139)

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

51

Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual

di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik

budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan

pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai

proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan

produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang

mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap

individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara

sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras

gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas

161 Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya

data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan

kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang

berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian

ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang

ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam

karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat

penelitian yang sangat penting

Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang

kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 41: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

52

berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait

program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik

atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks

Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu

episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat

tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan

membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012

Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan

video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada

selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni

menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa

khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki

resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi

162 Metode Pengumpulan Data

Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa

orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode

pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi

kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah

pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh

dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah

teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu

data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 42: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

53

maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan

dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung

penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan

dengan penelitan ini

Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk

memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga

interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan

memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya

adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang

diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian

Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses

wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena

itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian

kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi

alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi

khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat

dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis

naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan

sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka

bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk

menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 43: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

54

163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian

Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada

penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta

video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang

juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS

Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi

kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini

Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini

hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)

serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton

di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari

unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka

dihadirkan

Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek

dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti

bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman

seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah

bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan

kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial

dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain

Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena

penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya

akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 44: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

55

menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara

Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin

hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi

menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-

bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang

dilakukan dalam sebuah FGD

Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)

dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang

sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus

Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis

melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok

maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan

data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas

data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari

khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa

nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD

Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena

pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk

berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan

banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16

terkait bagaimana

16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri

peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya

banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak

Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 45: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

56

posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami

dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan

dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya

sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan

mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas

dan dana yang terbatas

Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan

Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan

informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya

dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini

akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya

sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus

berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan

lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan

dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana

pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak

yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi

penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar

diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan

Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan

informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda

satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan

lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya

serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal

ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni

tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam

bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 46: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

57

mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena

penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh

fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan

lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka

menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja

tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality

164 Metode Analisis Data

Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak

meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang

pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara

dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta

mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang

bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu

penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang

telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah

memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung

dari televisi atau media lain

Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai

dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah

dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif

Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan

secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 47: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

58

diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang

kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang

solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti

yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan

yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai

data rujukan untuk analisis data

Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang

didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan

tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi

bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam

posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan

khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka

membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan

mendalam

165 Skema Penulisan

Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima

bab yaitu

Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan

masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan

metodologi penelitian

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini

Page 48: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71508/potongan/S2-2014... · Teater Monolog‟, ... Butet yang berperan sebagai batur, ... Kendali

59

Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari

sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu

adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia

Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di

Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini

adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan

masalah pertama dalam penelitian ini

Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai

jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan

tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah

dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap

konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan

bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian

Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah

dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini