BAB I PENDAHULUAN -...

25
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data spasial yang menyatakan bentuk topografi suatu wilayah, umumnya digunakan untuk manajemen penggunaan lahan, pembangunan infrastruktur, kebencanaan dan pertahanan. Pada bidang geodesi dan geomatika, DEM dapat digunakan untuk pembuatan peta topografi, pembuatan citra orto, pembuatan garis kontur, perhitungan volume tanah dan sistem informasi geografis tiga dimensi (3D). Data spasial ini dipilih sebagai pertimbangan untuk pengambilan keputusan karena DEM menyediakan informasi ketinggian sehingga dapat merepresentasikan bentuk permukaan bumi maupun topografi bumi 3D. Untuk memperoleh DEM, dapat dilakukan ekstraksi dari peta yang sudah ada, pengukuran terestris, fotogrametri, Light Detection and Ranging (LIDAR), ekstraksi dari citra satelit radar dan citra satelit optis. Citra satelit optis yang mendukung dalam pembuatan DEM adalah citra yang stereo dimana citra satu dengan citra lainnya memiliki wilayah yang saling tumpang tindih/overlap dengan sudut pandang yang berbeda. Hingga saat ini, ekstraksi dari citra satelit umum digunakan dalam pembuatan DEM yang membutuhkan waktu yang lebih singkat, data yang up to date, jangkauan area pemetaan yang luas dan biaya yang lebih efisien ketimbang menggunakan metode yang lain dalam pembuatan DEM. Citra satelit radar seperti Interferometric Syntethic Aperture Radar (IFSAR) dan Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) menyediakan DEM global dengan jangkauan area yang luas. DEM lebih akurat dari citra resolusi tinggi sangat dibutuhkan untuk perapatan produksi dari DEM global dan pemenuhan kebutuhan, salah satunya citra satelit WorldView-1. Citra satelit WorldView-1 memiliki resolusi spasial sebesar 0,5 m dan dapat merekam permukaan bumi secara stereo pada satu jalur orbit perekaman (along-track stereoscopy). Penelitian ini mencoba melakukan analisis akurasi DEM WorldView-1. Selain itu, penelitian ini bermaksud menghitung nilai akurasi DEM dengan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data spasial yang menyatakan bentuk

topografi suatu wilayah, umumnya digunakan untuk manajemen penggunaan lahan,

pembangunan infrastruktur, kebencanaan dan pertahanan. Pada bidang geodesi dan

geomatika, DEM dapat digunakan untuk pembuatan peta topografi, pembuatan citra

orto, pembuatan garis kontur, perhitungan volume tanah dan sistem informasi

geografis tiga dimensi (3D). Data spasial ini dipilih sebagai pertimbangan untuk

pengambilan keputusan karena DEM menyediakan informasi ketinggian sehingga

dapat merepresentasikan bentuk permukaan bumi maupun topografi bumi 3D.

Untuk memperoleh DEM, dapat dilakukan ekstraksi dari peta yang sudah ada,

pengukuran terestris, fotogrametri, Light Detection and Ranging (LIDAR), ekstraksi

dari citra satelit radar dan citra satelit optis. Citra satelit optis yang mendukung dalam

pembuatan DEM adalah citra yang stereo dimana citra satu dengan citra lainnya

memiliki wilayah yang saling tumpang tindih/overlap dengan sudut pandang yang

berbeda. Hingga saat ini, ekstraksi dari citra satelit umum digunakan dalam pembuatan

DEM yang membutuhkan waktu yang lebih singkat, data yang up to date, jangkauan

area pemetaan yang luas dan biaya yang lebih efisien ketimbang menggunakan metode

yang lain dalam pembuatan DEM.

Citra satelit radar seperti Interferometric Syntethic Aperture Radar (IFSAR) dan

Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) menyediakan DEM global dengan

jangkauan area yang luas. DEM lebih akurat dari citra resolusi tinggi sangat

dibutuhkan untuk perapatan produksi dari DEM global dan pemenuhan kebutuhan,

salah satunya citra satelit WorldView-1. Citra satelit WorldView-1 memiliki resolusi

spasial sebesar 0,5 m dan dapat merekam permukaan bumi secara stereo pada satu

jalur orbit perekaman (along-track stereoscopy).

Penelitian ini mencoba melakukan analisis akurasi DEM WorldView-1. Selain

itu, penelitian ini bermaksud menghitung nilai akurasi DEM dengan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

2

membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai yang

benar/teliti, yaitu peta rupa bumi yang telah diproduksi badan pemetaan negara. DEM

ini perlu diketahui sejauh mana keakuratannya dalam merepresentasikan permukaan

bumi agar penggunaan DEM sesuai dengan kebutuhan pengguna. Akurasi DEM citra

satelit yang telah diketahui dapat meningkatkan perkembangan teknologi di masa

mendatang untuk melahirkan inovasi-inovasi baru dalam meningkatkan keakuratan

DEM dalam menyajikan data spasial yang teliti, cepat dan ekonomis.

I.2. Rumusan Masalah

Ketersediaan data DEM lokal masih terbatas untuk memenuhi berbagai

kebutuhan. Teknologi citra satelit beresolusi tinggi dapat menjadi solusi dalam

memenuhi kebutuhan DEM. DEM dapat diperoleh salah satunya menggunakan

teknologi penginderaan jauh berupa citra stereo dari satelit WorldView-1 secara cepat,

up to date dan jangkauan area yang luas. Namun, DEM citra satelit WorldView-1 perlu

diuji akurasinya dalam memproduksi peta dengan skala terbesar yang dapat dicapai.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dihasilkan dari rumusan masalah yang terdapat di dalam

penelitian. Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana nilai akurasi DEM dari hasil proses stereo-matching citra satelit

WorldView-1?

2. Berapa skala peta terbaik yang dapat dibuat dari DEM citra satelit

WorldView-1?

I.4. Batasan Masalah

Batasan masalah digunakan untuk efektivitas waktu dan ruang lingkup

penelitian. Berikut ini adalah batasan-batasan masalah yang akan ditetapkan di dalam

penelitian ini, yaitu:

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

3

1. Peta yang digunakan sebagai data pembanding adalah peta Rupa Bumi

Indonesia (RBI) skala 1:5.000 sebanyak satu scene.

2. Cakupan wilayah DEM hasil ekstraksi sebesar 3.000 m x 3.000 m atau sama

dengan luas satu scene peta RBI skala 1:5.000.

3. Proses ekstraksi dilakukan secara otomatis menggunakan stereo-matching

dengan titik kontrol yang ditetapkan secara manual pada citra.

I.5. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis akurasi DEM hasil ekstraksi citra

satelit WorldView-1 dengan metode stereo-matching. Penyajian dilakukan dengan

cara membandingkan terhadap DEM hasil ekstraksi peta RBI skala 1:5.000 yang

dianggap benar/teliti.

I.6. Manfaat penelitian

Penelitian ini memberikan informasi akurasi DEM citra satelit WorldView-1.

DEM yang sudah diketahui nilai akurasinya ini bermanfaat dalam pembuatan peta

menurut kebutuhan ketelitian tertentu, misal pembuatan peta untuk mengatur rencana

tata ruang wilayah, penggunaan lahan, pembangunan infrastruktur, manajemen

lingkungan dan pembuatan peta untuk kebencanaan.

I.7. Tinjauan Pustaka

Satelit WorldView-1 telah melakukan banyak pemetaan akurasi tinggi

menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang dihasilkannya, dengan atau tanpa

menggunakan Ground Control Point (GCP). Kemampuan stereo dari sensor satelit

WorldView-1 juga memberikan pilihan untuk mengambil Digital Elevation Model

(DEM) beresolusi tinggi.

DEM dari citra satelit WorldView-1 menggunakan metode along-track

stereoscopy, yaitu menggunakan sensor yang diarahkan ke depan dan ke belakang

dalam satu orbit yang sama dengan posisi yang berdekatan. Data stereo yang direkam

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

4

sepanjang orbit memiliki keuntungan yang kuat dalam hal variasi radiometrik (Cheng,

2008). Satelit yang mampu memproduksi secara along-track stereoscopy ini yaitu

JERS-1 Optical Sensor (OPS), Modular Opto-Electronic Multi-Spectral Stereo

Scanner (MOMS) Jerman, ASTER, IKONOS, QuickBird, OrbitView, SPOT-5,

Formosat II, Cartosat, dan tambahan terbaru dari DigitalGlobe yaitu satelit

WorldView-1.

Tes yang dilakukan Cheng dan Chaapel (2008) di El Paso, Texas, memperoleh

data stereo dari perekaman sensor satelit yang dimiringkan sebesar 2,2° ke depan dan

-27,7° ke belakang. Daerah ini memiliki variasi ketinggian 1.100 m sampai 1.200 m

didominasi dengan kawasan pemukiman. Data citra terpecah menjadi dua bagian, citra

depan dan citra belakang. Kapasitas penyimpanan untuk citra setelah penggabungan

sebesar 3,0 Gigabytes (Gb). Gambar I.1 menunjukkan citra depan dan belakang

kawasan El Paso.

(a) (b)

Gambar I.1. Citra depan (a) dan citra belakang (b) (Cheng dan Chaapel, 2008)

Dalam penelitian di El Paso, ada dua kasus yang diuji. Kasus pertama, tidak ada

GCP dan mengumpulkan 18 tie point, Kasus kedua, satu GCP dan 17 tie point. Tabel

I.1 menunjukkan ringkasan dari akurasi model Rational Polynomial Coefficient

(RPC). Kesalahan Root Mean Square (RMS) dari tie point untuk kedua citra sebesar

1,0 m ketika hanya menggunakan satu GCP dari masing-masing citra.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

5

Tabel I.1. Hasil akurasi model RPC El Paso (Cheng dan Chaapel, 2008)

Citra Nomor

GCP

Nomor

tie point

Tie point RMS error Tie point max error

X Y X Y

Depan 0 18 0,4 2,4 0,2 3,0

1 17 0,5 0,5 0,6 0,9

Belakang 0 18 0,5 1,1 1,0 2,1

1 17 0,7 1,0 1,2 2,0

DEM dihasilkan secara otomatis pada jarak 1,0 m dari pasangan citra stereo.

Selanjutnya, hasil DEM dibandingkan dengan elevasi tie point. Gambar I.2

menunjukkan DEM yang diekstrak dari citra satelit WorldView-1 dan DEM Shuttle

Radar Topography Mission (SRTM) 90 m dengan daerah yang sama.

(a) (b)

Gambar I.2. DEM WorldView-1 (a) dan DEM SRTM (b) (Cheng dan Chaapel, 2008)

DEM diekstrak secara otomatis dengan resolusi sebesar 1,0 m. Selanjutnya,

DEM dibandingkan dengan beberapa titik cek (check point) yang berlokasi di tanah

yang memiliki nilai ketinggian/elevasi. Root Mean Square vertikal (RMSz) yang

dimiliki DEM dengan tanpa GCP berkisar antara 5,2 m sampai dengan 7,3 m. RMSz

yang dimiliki DEM dengan menggunakan GCP berkisar antara 0,9 m sampai dengan

2,3 m. Akurasi vertikal DEM dengan menggunakan GCP berkisar antara 1,48 m

sampai dengan 3,79 m, sehingga memenuhi kebutuhan peta skala 1:5.000 sampai

dengan 1:10.000 (BIG, 2014).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

6

Penelitian yang dilakukan oleh Amhar dan Ferdiansyah (2007) adalah

perbandingan DEM dari peta RBI, IFSAR dan SRTM untuk mengetahui akurasi DEM

peta RBI dan DEM SRTM terhadap DEM IFSAR. DEM global yang berasal dari

SRTM memiliki resolusi spasial sebesar 90 m dan akurasi ketinggian 16 m. Meskipun

memiliki spesifikasi di bawah IFSAR, teknologi SRTM sangat murah. DEM dari peta

RBI dianggap kadaluarsa atau tidak pada waktu yang terbaru.

Hipotesis pada penelitian ini adalah bila selisih akurasi DEM IFSAR-RBI dan

DEM IFSAR-SRTM dapat ditoleransi untuk skala 1:50.000 (yaitu 2/5 jarak kontur,

sedang jarak kontur adalah 25 m, jadi 10 m), maka cukup menggunakan data SRTM

(Amhar dan Ferdiansyah, 2007). DEM IFSAR dianggap sebagai referensi yang

memiliki akurasi yang paling tinggi di antara DEM RBI dan DEM SRTM.

Area penelitian Amhar dan Ferdiansyah berada di wilayah Sulawesi dengan

nomor lembar peta 2014-31 dan 2014-32. DEM yang dihasilkan dari IFSAR dan

SRTM merupakan Model Permukaan Digital (DSM). DEM RBI merupakan Model

Terain Digital (DTM). Peta RBI tersebut dibuat dari foto udara tahun 1987.

Titik uji dibuat sebanyak 130 titik yang ditentukan secara acak dan terdistribusi

baik. Setelah itu, data ketinggian pada DEM IFSAR-RBI dan DEM IFSAR-SRTM

dicari selisih absolutnya. Perbandingan nilai ketinggian antara DEM IFSAR-RBI

sebesar 35% titik yang memiliki selisih ketinggian 10 m. Perbandingan nilai

ketinggian DEM IFSAR-SRTM memiliki 62% titik atau sejumlah 80 titik yang

memiliki selisih ketinggian hingga 10 m. Perbandingan DEM SRTM-RBI

menunjukkan sebanyak 32% titik memiliki selisih ketinggian kurang dari 10 m. Amhar

dan Ferdiansyah (2007) menyatakan bahwa pada pemetaan skala 1:250.000 dengan

interval kontur 100 m dan akurasi vertikal 40 m, maka penggunaan data IFSAR atau

SRTM tidak akan menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan.

I.8. Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang

terkait dengan DEM citra satelit WorldView-1. Teori yang menjadi landasan dalam

penelitian ini meliputi citra satelit WorldView-1, geometri pencitraan stereo, registrasi

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

7

citra, paralaks untuk perhitungan tinggi, Model Elevasi Digital, statistika dan

hubungan akurasi terhadap skala peta.

I.8.1. Citra Satelit WorldView-1

Satelit WorldView-1 diluncurkan pada 18 September 2007. Satelit ini beroperasi

pada ketinggian 496 km dan waktu lintas ulang satelit ini rata-rata 1,7 hari sehingga

mampu mengumpulkan citra dengan total area rekaman rata-rata 1,3 juta km² per hari

(DigitalGlobe, 2013). Satelit ini juga dilengkapi dengan kemampuan akurasi pada

geolokasi, kecepatan dalam penargetan dan sangat efisien dalam koleksi track stereo.

Citra yang dihasilkan memiliki kapasitas yang tinggi dan sistem pencitraan

pankromatik dengan resolusi 0,5 m.

Gambar I.3. Citra satelit WorldView-1 (Cheng dan Chaapel, 2008)

Satelit WorldView-1 dapat merekam secara stereo untuk menghasilkan citra

stereo dengan luas area maksimal 51 x 112 km. Perekaman stereo tersebut

menghasilkan tiga pasangan citra stereo. Pada Gambar I.4, satelit WorldView-1

memiliki berbagai skenario perekaman satelit untuk menghasilkan citra sesuai

kebutuhan pengguna.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

8

Gambar I.4. Skenario perekaman satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013)

Gambar I.5. Scene stereo satelit WorldView-1 (Poli, Wolff dan Gruen, 2008)

Gambar I.5 menjelaskan scene stereo hasil perekaman sensor satelit WorldView-

1 secara along-track stereoscopy. Beberapa informasi yang terkait dengan

karakreristik berupa desain serta spesifikasi dan produk dari satelit WorldView-1

dapat dilihat pada Tabel I.2 dan Tabel I.3 di bawah ini.

Citra 1

Citra 2

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

9

Tabel I.2. Karakteristik satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013)

Karakteristik Keterangan

Peluncuran Tanggal: 18 September 2007

Pesawat peluncuran: Delta 7920 (9 strap-ons)

Stasiun peluncuran: Vandenberg Air Force Base,

California

Orbit Ketinggian: 496 km

Tipe: Sun synchronous, 10:30 am descending node

Periode: 95 menit

Band sensor Pankromatik

400 - 900 nm

Resolusi sensor 50 cm Ground Sample Distance (GSD) at nadir

55 cm GSD di 20º off-nadir

Lebar sapuan 17,7 km at nadir

Akurasi pointing Kurang dari 500 m pada citra awal dan akhir

Kemampuan penargetan 200 km selama 10 detik

Pengumpulan area

berdekatan dalam satu jalur

Mono: 111 x 112 km (6 strips)

Stereo: 51 x 112 km (3 pairs)

Frekuensi rotasi 1,7 hari pada 1,0 m GSD

5,4 hari pada 0,55 m GSD

Akurasi geolokasi Akurasi horizontal (CE90) kurang dari 4,0 m tanpa

menggunakan titik control pada citra

Kapasitas 1,3 juta km² per hari

Tabel I.3. Produk dari satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013)

Produk Akurasi Geolokasi

CE90/LE90 (m) RMSE (m) NMAS

Basic 5,0 2,3 -

Basic Stereo Pair 5,0/5,0 2,3 -

Standard 5,0 2,3 -

Ortho Ready Standard 5,0 2,3 -

Ortho Ready Stereo 5,0/5,0 3,3 -

Advanced Ortho Series Precision 4,2 2,0 1:5.000

Advanced Ortho Series Mapping 10,2 4,8 1:12.000

Advanced Ortho Series Display 25,4 11,8 1:50.000

Akurasi geolokasi adalah ketelitian posisi horizontal dan vertikal pada citra

sesuai posisi sebenarnya di lapangan/real world. Akurasi horizontal dinyatakan dalam

Circular Error 90% (CE90) sedangkan akurasi vertikal dinyatakan dalam Linear

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

10

Error 90% (LE90). CE90 dan LE90 menerangkan bahwa sebanyak 90% titik pada

citra memiliki kesalahan tidak lebih dari nilai akurasi. Gambar I.6 menjelaskan akurasi

horizontal (CE90) sebesar 4,0 m pada citra satelit WorldView-1. Paling sedikit

sebanyak 90% titik pada citra memiliki kesalahan horizontal kurang dari 4,0 m.

Gambar I.6. Akurasi geolokasi citra satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013)

I.8.2. Geometri Pencitraan Stereo

Citra stereo adalah sekumpulan citra dengan titik principal yang terlihat di kedua

sensor dengan sudut pandang yang berbeda sehingga menimbulkan sepasang titik yang

disebut pasangan konjugasi. Karena dua pengamatan berasal dari posisi yang berbeda,

citra stereo dapat direkonstruksi menjadi tampilan 3D. Citra stereo digunakan untuk

menggambarkan persepsi elevasi pada ekstraksi DEM.

Jacobsen (2003) menyatakan dalam ekstraksi DEM dengan citra optik,

memerlukan dua atau lebih gambar yang menunjukkan daerah yang sama dari arah

yang berbeda. Pusat proyeksi harus diketahui dalam sebuah sistem koordinat.

Citra stereo diperoleh dari beberapa cara perekaman sesuai geometri sapuan

satelit di tiap orbitnya, salah satunya stereo dari orbit satelit yang sama (along track).

Contoh satelit yang merekam secara along track adalah satelit WorldView-1 seperti

yang ditunjukkan pada Gambar I.7. Satelit yang mengorbit harus stabil dan bebas dari

efek atmoster. Sistem sensor satelit harus dapat diarahkan untuk menghasilkan citra-

citra dengan sudut pandang yang berbeda sehingga memaksimalkan area overlap yang

dituju.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

11

Gambar I.7. Perekaman stereo satelit WorldView-1 (Jacobsen, 2003)

Pasangan citra satelit stereo menghasilkan suatu citra yang digunakan dalam

rekonstruksi 3D. Citra epipolar adalah citra yang menggunakan geometri epipolar

dalam merekonstruksi obyek 3D dari citra 2D. Geometri epipolar merupakan teknik

penyesuaian geometri yang menghubungkan titik-titik 3D yang diamati dengan

proyeksi 2D, antara dua citra yang direkam dari dua posisi sensor kamera yang berbeda

(Rachmawati, Hidayat dan Wibirama, 2012).

I.8.3. Registrasi Citra

Registrasi citra/register merupakan metode koreksi geometrik yang ada pada

citra. Citra yang dihasilkan langsung dari satelit penginderaan jauh masih memiliki

kesalahan yang mempengaruhi geometrik citra. Sumber kesalahan geometrik citra

adalah kesalahan instrumen, distorsi panoramatik, perputaran bumi dan

ketidakstabilan peralatan termasuk di dalamnya variasi ketinggian dan perilaku

(Djurdjani dan Kartini, 2004). Informasi dari citra satelit agar dapat menghasilkan peta

dan penggabungan dengan data spasial lain perlu dikakukan registrasi citra.

Registrasi citra adalah melakukan penyamaan skala pada citra dengan

menggunakan titik-titik kontrol yang memiliki sistem koordinat (registrasi citra ke

peta) atau menggunakan citra lain yang telah dilakukan geometrik (registrasi citra ke

citra). Titik kontrol memiliki koordinat tanah yang didapatkan dari peta topografi atau

pengukuran langsung di lapangan menggunakan GPS/teodolit/alat survei lainnya.

Titik kontrol dipilih di lokasi terbuka atau yang berhimpit dengan tanah/ground dan

terlihat jelas di citra. Koordinat titik kontrol menggunakan sistem koordinat 2-D

Orbit Satelit

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

12

(planimetris/X, Y) atau 3D (X, Y, Z). Untuk kebutuhan ekstraksi DEM dari citra

satelit, memerlukan titik kontrol yang memiliki sistem koordinat planimetris(X, Y)

dan tinggi (Z).

Dua jenis titik kontrol citra yang digunakan dalam proses ekstraksi DEM adalah

Ground Control Point (GCP) dan tie point. GCP memiliki koordinat 3D dalam sistem

proyeksi tertentu, misalnya Polieder, Mercator atau Transverse Mercator. GCP

diletakkan di dalam citra sesuai lokasinya di lapangan. Registrasi citra menggunakan

GCP merupakan metode registrasi citra ke peta. Tie point merupakan titik ikat antara

citra satu dengan citra lainnya. Fungsi tie point adalah memperbaiki geometri citra

dengan distribusi yang lebih rapat dan teratur karena penempatan tie point pada citra

sangat fleksibel/hanya menentukan lokasi yang sama di antara kedua citra. Registrasi

citra menggunakan tie point merupakan metode registrasi citra ke citra.

Root Mean Square (RMS) adalah besar kesalahan sistematik pada proses

registrasi citra. Kesalahan RMS bersumber dari kesalahan pengukuran titik kontrol di

peta atau di lapangan dan kesalahan dari penempatan titik kontrol (GCP dan tie point)

pada citra. Kesalahan RMS pasti ada di dalam registrasi citra, namun besar kesalahan

tersebut harus lebih kecil dari toleransi yang ditentukan. Besar toleransi RMS mengacu

pada standar ketelitian planimetrik Badan Pertanahan Nasional (BPN) seperti yang

dijelaskan pada Rumus I.1 (BPN, 1997).

Toleransi RMS = 0,3 mm ∗ faktor skala ……...…………………….….….........(I.1)

I.8.4. Rational Polynomial Coefficient

Satelit WorldView-1 menggunakan sensor optis dalam melakukan pencitraan.

Sifat-sifat fisis sensor disimpan dalam suatu model yang dinamakan Rigorous Camera

Model (RCM). Gambar I.8 menjelaskan macam-macam dari sifat fisis sensor.

Penggunaan RCM banyak digantikan oleh Rational Polynomial Coefficient (RPC)

karena model RPC lebih sederhana namun masih mempertahankan informasi dari sifat

fisis sensor. Dial dan Grodecki (2004) menyatakan RPC adalah model matematis yang

digunakan untuk menghitung koordinat piksel (kolom dan baris) dari koordinat peta

suatu obyek (lintang, bujur, tinggi) terhadap variasi dari sistem sensor yang digunakan.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

13

Gambar I.8. Sifat fisis sensor optis (Dial dan Grodecki, 2004)

RPC berisi perbandingan antara dua persamaan polinomial kubik. Pada citra

stereo, satu citra memiliki dua persamaan polinomial. Masing-masing persamaan

polinomial tersebut digunakan untuk menghitung koordinat baris dan koordinat kolom

pada citra. Rumus I.2 merupakan persamaan normalisasi koordinat peta dengan

rentang nilai ±1,0 (Dial dan Grodecki, 2004). Koordinat peta perlu dinormalisasi

sebelum dihitung ke dalam fungsi rasio polinomial pada Rumus I.3 (PCI Geomatics,

2003).

Xn =φ−φ0

φs, Yn =

λ−λ0

λs, Zn =

h−h0

hs ………………………………………..(I.2)

Rown =P1(Xn,Yn,Zn)

Q2(Xn,Yn,Zn), Coln =

P2(Xn,Yn,Zn)

Q2(Xn,Yn,Zn) ………………………………………….(I.3)

dimana φ, λ, h : koordinat lintang, bujur dan tinggi di atas elipsoid

φ0, λ0, h0, S0, L0 : offset pada koordinat peta dan piksel

φs, λs, hs, Ss, Ls : faktor skala pada koordinat peta dan piksel

Xn, Yn,Zn : normalisasi koordinat peta

Rown, Coln : normalisasi koordinat piksel citra

P dan Q : koefisien polinomial

Perhitungan bundle adjustment digunakan untuk menghasilkan koordinat tanah

pada citra dari koordinat piksel. Komponen RPC dan titik kontrol (GCP) yang

diregistrasi pada citra digunakan dalam bundle adjustment. Hasil dari proses hitungan

bundle adjustment adalah titik-titik ikat (tie points) yang tersebar pada pasangan citra

stereo dan memiliki koordinat tanah (X, Y, Z).

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

14

Pada pengolahan citra satelit menjadi DEM, sistem tinggi (Z) yang digunakan

pada RPC sangat berpengaruh. Komponen elevasi pada RPC umumnya bereferensi

terhadap elipsoid World Geodetic System 1984 (WGS84), karena posisi satelit

dikontrol oleh GPS. Penambahan titik kontrol tinggi ortometrik yang mengacu pada

geoid lokal perlu dilakukan pada citra. Hal tersebut dilakukan untuk menghasilkan

DEM dengan elevasi yang lebih mendekati permukaan tanah sebenarnya. Gambar I.9

menunjukkan perapatan sistem tinggi elipsoid yang dirapatkan terhadap geoid agar

menghasilkan tinggi ortometrik terhadap permukaan bumi.

Gambar I.9. Tinggi ortometrik (Smith, 2015)

I.8.5. Teori DEM Dari Stereo Paralaks

Citra satelit yang digunakan dalam mendapatkan data DEM adalah citra dengan

pasangan stereo. Citra satelit stereo dapat mengkonstruksi obyek asli secara 3D. Dua

citra yang memiliki area yang saling tumpang tindih/overlap didapatkan dengan sudut

pandang yang berbeda. Di area yang tumpang tindih itulah digunakan untuk

mengkontruksi model stereo.

Perhitungan beda tinggi dari citra stereo menggunakan besar paralaks. Paralaks

dihasilkan dari perbandingan antara basis citra dengan tinggi terbang satelit. Sensor

satelit WorldView-1 memiliki sifat stereoskopik untuk menghasilkan citra yang

terletak berurutan pada jalur orbit (along track). Pada Gambar I.10, jalur orbit satelit

sejajar dengan sumbu y pada citra. Beda paralaks di kedua pasangan citra stereo

terletak pada sumbu y dan beda paralaks pada sumbu x adalah nol atau mendekati nol.

Model metematis yang menyatakan perhitungan beda tinggi menggunakan paralaks

dapat dilihat pada Rumus I.4 dan Rumus I.5 berikut ini (Trisakti, 2007).

∆H =X1−X2

tan α=

∆p

tan α ……………………………………………………………...(I.4)

∆H =H

B∆p …………………………….………………………………………....(I.5)

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

15

Gambar I.10. Geometri perhitungan beda tinggi menggunakan paralaks

(Trisakti, 2007)

Besaran ΔH merupakan beda tinggi, α merupakan sudut yang dibentuk sensor vertikal

dan miring, H merupakan tinggi orbit satelit, B merupakan basis citra dan Δp

merupakan beda paralaks X1 dan X2 pada tiap sensor.

Dalam kasus fotogrametri, parameter rasio basis (B/H) menentukan akurasi dari

pasangan foto stereo dalam menghasilkan DEM. Rasio basis (base ratio) adalah

perbandingan jarak antara pasangan stereo dibagi dengan ketinggian sensor yang

merekam. Sebagai contoh, ASTER memiliki rasio basis sebesar 0,6 sedangkan SPOT

HRS sebesar 0,85. ALOS PRISM dengan perekaman stereo forward-backward view

memiliki basis rasio sebesar 1,0 dan perekaman stereo off-nadir-nadir view sebesar

0,5. Nilai basis rasio yang kurang dari 0,5 membuat akurasi vertikal akan berkurang

seiring berkurangnya basis rasio. Hal tersebut terjadi juga pada nilai basis rasio yang

lebih dari 1,0 membuat akurasi vertikal akan berkurang seiring bertambahnya basis

rasio. Rasio basis yang baik untuk menghasilkan citra stereo yang akurat dalam

pembuatan DEM berada pada rentang nilai 0,5 sampai 1,0 (Hasegawa et al., 2000).

Satelit WorldView-1 merupakan salah satu satelit Very High Precision (VHR)

dengan sensor yang dapat digerakkan. Rasio basis kurang tepat digunakan sebagai

ukuran efektifitas dari pasangan stereo yang direkam menggunakan sensor ini. Pada

kasus ini, parameter yang berpengaruh adalah sudut convergence, asymmetry dan

Δh

H

Orbit satelit

datum

X2

X1

α

α

Δp

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

16

sudut BIE (Geoimage, 2010). Gambar I.11 menunjukkan hubungan geometris antara

ketiga sudut tersebut.

Gambar I.11. Geometri pencitraan stereo satelit WorldView-1

(http://www.computamaps.com/)

Sudut convergence adalah sudut yang dibentuk dari dua sinar perekaman sensor

saat perekaman pertama (L1) dan perekaman kedua (L2). Di tengah-tengah sudut

convergence terdapat arah pandang sentral (B). Sudut convergence, L1, L2 dan kedua

posisi sensor saat perekaman stereo membentuk suatu bidang yang disebut bidang

epipolar. Sudut asymmetry merupakan offset arah pandangan pusat (B) terhadap arah

zenit (Z). Jika besar sudut asymmetry sama dengan 0º maka paralaks yang muncul

pada pasangan citra stereo akan sama. Perspektif tehadap obyek akan sama namun

pada sisi pandang yang berbeda. Sudut BIE (Bisector Elevation) adalah sudut di antara

bidang horizon lokal titik R terhadap bidang epipolar. Sudut BIE merupakan besar

paralaks yang muncul pada arah vertikal setelah disejajarkan.

Ukuran ideal dari ketiga sudut yaitu sudut convergence, asymmetry dan sudut

BIE masing-masing sebesar 30º-60º, kurang dari 20º dan 60º-90º (Geoimage, 2010).

Ukuran ideal tersebut ditujukan untuk menampilkan ketinggian fitur tanah yang akurat

pada saat pembuatan DEM.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

17

I.8.6. Image Matching

Citra stereo dapat menghasilkan suatu DEM dengan cara pencocokan citra

(image matching) pada pasangan citra. Image matching secara otomatis secara umum

sering digunakan dalam beberapa software pengolahan citra satelit. Salah satu metode

image matching otomatis adalah mencari korelasi tingkat keabuan (gray scale) dari

piksel-piksel citra yang berpasangan. Selain itu, penggunaan kesamaan piksel-piksel

yang tergambar sebagai suatu fitur dan area dapat digunakan dalam image matching

otomatis seperti yang ditunjukkan Gambar I.12. Butler (1992) menyatakan beberapa

parameter yang digunakan dalam image matching antara lain persamaan garis lurus

yang diekstrak dari pasangan citra, atribut yang diukur (lokasi, orientasi, ukuran piksel,

kontras dan kelurusan).

Gambar I.12. Image Matching dalam pembuatan DEM (PCI Geomatics, 2003)

Model matematis korelasi silang (cross-correlation) merupakan salah satu

teknik perhitungan yang digunakan proses image matching pada pasangan citra stereo.

Rumus I.6 menjelaskan fungsi cross-correlation standar (ρ). Nilai ρ memiliki rentang

nilai ±1,0; dimana nilai yang mendekati +1,0 memiliki korelasi yang baik; nilai 0,0

berarti tidak ada korelasi dan nilai yang mendekati -1,0 memiliki anti-korelasi (Fisher

dan Oliver, 1995). Parameter xi dan yi merupakan piksel yang sesuai pada masing-

masing citra. Parameter i menunjukkan indeks piksel pada citra dan N adalah nilai

maksimumnya. Nilai rata-rata (x̅ dan y̅) digunakan untuk mengoreksi perbedaan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

18

ketinggian acuan (base level) pasangan citra. Simpangan baku (σx dan σy) digunakan

untuk mengoreksi efek dari multiplikatif, seperti perbedaan penyinaran dan kontras.

ρ =1

N∑

(xi−x̅)(yi−y̅)

σx∗σy

Ni=1 …………………………………………………….(I.6)

Lokasi dari image matching ditentukan dari window size. Window size

merupakan batasan ukuran matching dalam citra dengan satuan piksel sebagai batas

pencarian piksel-piksel yang saling berkolerasi. Besar window size membentuk suatu

persegi dengan panjang dan lebar yang sama, seperti 2x2, 3x3, 4x4, 5x5 dan 9x9.

Secara umum, besar window size berukuran angka yang ganjil untuk meletakkan piksel

yang dijadikan acuan matching berada di tengah-tengah window size. Pada Gambar

I.13, window size sebesar 5x5 yang artinya area matching sebesar 5 piksel searah

sumbu X citra (kolom) dan 5 piksel searah sumbu Y citra (baris).

Gambar I.13. Window size pada proses image matching

I.8.7. Model Elevasi Digital

Model Elevasi Digital (DEM) adalah data digital dari elevasi geografis dalam

koordinat 3D (X,Y,Z) yang menggambarkan permukaan bumi dengan interval grid

horizontal yang seragam pada tiap nilai elevasinya (Gould, 2012). DEM merupakan

suatu penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Terdapat dua tipe data

DEM yaitu Model Terain Digital (DTM) dan Model Permukaan Digital (DSM). DTM

mewakili permukaan tanah tanpa fitur di atas tanah sehingga hanya menjelaskan

bentuk topografi saja seperti yang ditunjukkan Gambar I.14. DSM memuat semua fitur

di atas tanah baik fitur alam maupun buatan manusia. Contoh fitur dari alam adalah

Baris (Y)

Kolom (X)

Piksel acuan

Piksel

pencarian

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

19

vegetasi dan fitur buatan manusia adalah bangunan. Gambar I.15 menunjukkan sketsa

perbedaan permukaan yang digunakan pada data DTM dan DSM.

(a) (b)

Gambar I.14. Visualisasi DTM (a) dan DSM (b) (DigitalGlobe, 2013)

Gambar I.15. Sketsa permukaan antara DTM dan DSM (http://en.sovzond.ru/)

File data raster DEM berisi nilai-nilai ketinggian dataran di atas area tertentu

pada interval grid yang ditentukan. Interval antara masing-masing titik grid

direferensikan ke sistem koordinat geografis yaitu lintang-bujur atau menggunakan

sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Semakin rapat posisi titik-

titik grid berada, semakin rinci informasi terain yang disajikan.

Djurdjani (1999) menyatakan bahwa sumber data DEM diperoleh dari

pengukuran menggunakan lima teknik pengukuran sebagai berikut:

1. Pengukuran terestris meliputi survei konvensional dan survei GNSS.

2. Digitasi kartografis dari peta topografi.

3. Fotogrametri menggunakan foto udara atau citra satelit.

4. Synthetic Aperture Radar (SAR) meliputi radargrametri, interferometri, dan

radarklinometri.

5. Airborne Laser Scanning (ALS) melalui sistem LIDAR.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

20

Pengukuran konvensional dapat menghasilkan DEM dengan akurasi hingga fraksi

milimeter. Teknik fotogrametri dapat menghasilkan DEM dengan akurasi hingga

fraksi sentimeter sampai meter tergantung dari resolusi spasial dari foto/citra.

Pemilihan metode tergantung pada kebutuhan DEM yang dihasilkan. Pengukuran

konvensional cenderung digunakan untuk menghasilkan DEM dengan akurasi yang

tinggi dan area yang sempit. Teknik fotogrametri cenderung digunakan untuk

menghasilkan DEM dengan akurasi yang lebih rendah dan area yang lebih luas.

Format penyimpanan DEM terbagi menjadi dua yaitu format acak dan format

teratur. Format acak digunakan pada pemodelan permukaan berbasis titik dan

pemodelan permukaan berbasis segitiga. Pada pemodelan permukaan berbasis titik,

permukaan DEM dibangun menggunakan titik-titik data individu. Titik data individu

digunakan untuk mewakili daerah kecil di sekitar titik seperti pada Gambar I.16 (a).

DEM akan diskontinyu pada permukaannya karena dibangun dengan ketinggian titik-

titik data individu pada daerah yang kecil. Pada pemodelan permukaan berbasis

segitiga, ketiga titik dibangun menjadi segitiga spasial dengan permukaan miring

mengikuti ketinggian tiap titik yang membangunnya. Permukaan DEM dibangun dari

segitiga-segitiga yang saling berdekatan. Contoh pemodelan permukaan berbasis

segitiga ditunjukkan pada Gambar I.16 (b) di bawah ini.

(a) (b) (c)

Gambar I.16. Pemodelan permukaan berbasis titik (a), segitiga (b) dan grid (c)

(Djurdjani, 1999)

Format penyimpanan teratur pada data DEM digunakan pada pemodelan

permukaan berbasis grid dan pemodelan permukaan berbasis kontur. Empat titik data

digunakan untuk membangun permukaan segi empat seperti yang ditunjukkan pada

Gambar I.16 (c). Bangun segi empat yang dihasilkan meliputi persegi, jajaran genjang,

persegi panjang, atau poligon. Bangun persegi lebih umum dan praktis digunakan pada

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

21

pemodelan permukaan berbasis grid. Pada pemodelan permukaan berbasis kontur,

pembentukan permukaan DEM menggunakan data garis-garis tiap kontur yang

mendefinisikan suatu ketinggian. Interpolasi titik P pada permukaan DEM dapat

dilakukan dari titik-titik pada garis kontur yang memotong grid yang dibentuk dari

titik P tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.17 di bawah ini.

Gambar I.17. Interpolasi pada pemodelan permukaan berbasis kontur

(Djurdjani, 1999)

I.8.8. Statistika

Rata-rata/mean adalah nilai yang mewakili pada data yang jumlahnya banyak.

Rata-rata dianggap dapat mewakili data yang jumlahnya banyak dikarenakan nilai

rata-rata pada umumnya lebih mendekati dengan nilai yang benar (true value). Rata-

rata dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan tiap nilai pengukuran pada suatu

kelompok data dan dibagi dengan banyaknya seluruh pengukuran pada kelompok data

tersebut. Rumus I.7 menjelaskan cara perhitungan nilai rata-rata (x̄ ) menggunakan

jumlah tiap nilai pengukuran (Ʃx) dan banyaknya pengukuran (n).

x̄ =Ʃx

n …………………………………………………………………………...(I.7)

Kurva distribusi normal seperti Gambar I.18, menunjukkan nilai rata-rata adalah

sangat dekat dengan nilai yang benar.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

22

Nilai pengukuran

Gambar I.18. Kurva distribusi normal

Simpangan baku/deviasi standar menunjukkan letak titik belok dari kurva

normal yang menunjukkan penyebaran data ukuran, yang berarti juga bahwa nilai yang

benar berada di antara titik belok (Widjajanti, 2011). Simpangan baku dihitung

berdasarkan selisih tiap nilai ukuran dalam suatu kelompok data terhadap nilai rata-

ratanya. Nilai simpangan baku menunjukkan besarnya rentang penyimpangan nilai

kelompok data terhadap rata-rata sehingga umumnya ditambahkan tanda plus-minus

(±) di depan nilai simpangan baku. Rumus I.8 dan Rumus I.9 menjelaskan cara

perhitungan simpangan baku (σ atau S) menggunakan nilai rata-rata (μ atau x̄ ), nilai

pengukuran ke-i (𝑥𝑖) dan banyaknya pengukuran (n).

σ = √Ʃ(μ−xi)2

n ………………………………………..………………………….(I.8)

S = √Ʃ(x̄ −xi)2

n−1 ………………………………………………………………….(I.9)

Simpangan baku (σ) pada Rumus I.8 dihasilkan dari data populasi dan

simpangan baku (S) pada Rumus I.9 dihasilkan dari data sampel. Populasi adalah

keseluruhan dari unsur-unsur yang dipelajari dan memuat seluruh nilai

pengukuran/pengamatan tentang suatu obyek yang bersifat tidak terbatas. Sampel

hanya memuat nilai pengukuran/pengamatan yang diseleksi dari suatu populasi. Pada

umumnya, data pengukuran merupakan data sampel dikarenakan pelaksanaan

pengukuran tidak dilakukan secara menyeluruh hingga tidak terbatas.

Frekuensi

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

23

I.8.9. Hubungan Akurasi Terhadap Skala Peta

Akurasi peta menerangkan kesalahan maksimum yang terdapat pada peta.

Akurasi peta dapat menghasilkan suatu parameter saat melakukan produksi peta

seberapa detail obyek-obyek yang ditampilkan dalam suatu peta. Skala peta sangat

mempengaruhi kedetailan suatu obyek. Peta yang memiliki skala besar secara mutlak

memiliki akurasi yang lebih baik ketimbang peta dengan skala yang lebih kecil. Pada

peta skala besar, obyek yang ditampilkan akan lebih detail sehingga kesalahan kecil di

peta akan sangat mempengaruhi posisi obyek tersebut.

Tabel I.4. Skala peta menurut nilai akurasi horizontal (Merchant, 1988)

Akurasi Horizontal (m) Skala Peta

0,0125 1:50

0,025 1:100

0,050 1:200

0,125 1:500

0,25 1:1.000

0,50 1:2.000

1,00 1:4.000

1,25 1:5.000

2,5 1:10.000

5,0 1:20.000

Skala peta dapat disesuaikan menurut akurasi yang diperoleh dalam pemetaan.

Tabel I.4 menjelaskan nilai akurasi horizontal dapat menghasilkan peta dengan skala

tertentu. Selain menggunakan akurasi horizontal, penentuan skala peta dapat

menggunakan nilai akurasi vertikal. Suatu DEM dapat memiliki akurasi vertikal dari

kesalahan nilai elevasi cloud point-nya. Elevasi pada suatu peta digambarkan dengan

garis kontur. Besar interval garis kontur dihitung dengan menggunakan nilai faktor

skala peta seperti Rumus I.10. Pada Tabel I.5, skala peta dapat ditentukan dari interval

kontur dan akurasi vertikal maupun sebaliknya. Rumus I.11, I.12 dan Rumus I.13

menjelaskan hubungan matematis antara interval kontur dan akurasi vertikal (BIG,

2014).

Interval kontur =1

2500m ∗ faktor skala peta ………………………………….(I.10)

Akurasi vertikal kelas I = 0,5 ∗ interval kontur ..…………………………….(I.11)

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

24

Akurasi vertikal kelas II = 1,5 ∗ akurasi vertikal kelas I ..…………………...(I.12)

Akurasi vertikal kelas III = 2,5 ∗ akurasi vertikal kelas I ..………………......(I.13)

Tabel I.5. Akurasi Peta RBI (BIG, 2014)

Kelas Skala Skala Peta Interval

Kontur (m)

Akurasi vertikal (LE90 dalam m)

Kelas I Kelas II Kelas III

Skala kecil

1:1.000.000 400,0 200,0 300,00 500,00

1:500.000 200,0 100,0 150,00 250,00

1:250.000 100,0 50,0 75,00 125,00

Skala

menengah

1:100.000 40,0 20,0 30,00 50,00

1:50.000 20,0 10,0 15,00 25,00

1:25.000 10,0 5,0 7,50 12,50

Skala besar

1:10.000 4,0 2,0 3,00 5,00

1:5.000 2,0 1,0 1,50 2,50

1:2.500 1,0 0,5 0,75 1,25

1:1.000 0,4 0,2 0,30 0,50

Pada Tabel I.5, akurasi vertikal dinyatakan dalam LE90. Besar Linear Error

90% (LE90) menunjukkan bahwa 90% perbedaan nilai ketinggian di peta dan nilai

yang sebenarnya tidak lebih besar dari parameter tersebut. Sebagai contoh, kesalahan

vertikal yang terdapat peta skala 1:5.000 kelas III sebesar 90% tidak lebih dari 2,5 m.

Nilai LE90 dapat dihitung menggunakan RMSEZ. Root Mean Square Error Z (RMSEZ)

adalah akar kuadrat dari rata-rata kuadrat selisih antara nilai elevasi data sampel dan

nilai elevasi data referensi. Rumus I.14 dan Rumus I.15 menjelaskan perhitungan

untuk mendapatkan nilai RMSEZ dan LE90 (FGDC, 1998).

RMSEZ = √Ʃ(Zdata−Zcek)2

n …………………………………………………...(I.14)

LE90 = 1,6499 ∗ RMSEZ ..………………………………………………….......(I.15)

Ground Sample Distance (GSD) dari sebuah citra menerangkan ukuran di

lapangan yang dimuat dalam satu piksel di citra. Informasi yang terkandung pada citra

akan lebih rinci jika menggunakan citra dengan ukuran GSD yang kecil dibandingkan

dengan ukuran GSD yang lebih besar. Secara umum, ukuran GSD berpengaruh

terhadap skala peta dari suatu citra satelit seperti yang disajikan pada Tabel I.6 di

bawah ini.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84998/potongan/S1-2015... · 2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai

25

Tabel I.6. Hubungan ukuran GSD dengan skala peta (ASPRS, 2014)

Ukuran GSD (cm) Skala Peta

0,625 1:50

1,25 1:100

2,5 1:200

5,0 1:400

7,5 1:600

15 1:1.200

30 1:2.400

60 1:4.800

100 1:12.000

200 1:24.000

500 1:60.000

I.9. Hipotesis

Citra satelit WorldView-1 Ortho Ready Stereo memiliki resolusi spasial sebesar

0,5 m yang akan menghasilkan DEM melalui teknik stereo-matching. Akurasi vertikal

terbaik sebesar 2,0 m atau setara 4,0 kali GSD citra satelit WorldView-1. Akurasi ini

memenuhi kebutuhan peta skala 1:5.000.