Geografi (Pendekatan Spasial)

21
Karya Tulis Geografi Pendekatan keruangan / spasial Pedagang kaki lima

description

Pembahasan mengenai Pedagang Kaki Lima

Transcript of Geografi (Pendekatan Spasial)

Page 1: Geografi (Pendekatan Spasial)

Karya Tulis Geografi

Pendekatan keruangan / spasial

Pedagang kaki lima

Page 2: Geografi (Pendekatan Spasial)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah S.W.T karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis tentang pendekatan keruangan / spasial yang membahas salah satu aktifitas ekonomi manusia yang pelakunya pedagang kaki lima, karya tulis ini diperuntukkan memenuhi persyaratan tugas di semester awal ini dalam pelajaran geografi. Ucapan terimakasih turut saya ucapkan pada Ibu guru yang telah memberi kesempatan pada saya untuk meneliti permasalahan ini. Karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, mohon maaf apabila terdapat kekurangan. Semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Page 3: Geografi (Pendekatan Spasial)

BAB 1. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Banyak sekali fenomena-fenomena yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin dalam hitungan detik jutaan fenomena yang berbeda telah terjadi di seluruh dunia, dari mulai fenomena alam, hingga bermacam-macam fenomena sosial. Pendekatan-pendekatan dalam geografi digunakan untuk menganalisis berbagai gejala dan fenomena yang terjadi di permukaan bumi terdiri dari tiga pendekatan yaitu pendekatan keruangan, pendekatan ekologi dan pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan keruangan atau spasial yang berhubungan dengan aktifitas ekonomi manusia, salah satunya terjadi pada pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima merupakan salah satu fenomena yang kita temui dalam kehidupan kita, sudahlah tidak jarang lagi masyarakat melakoni pekerjaan ini. Fenomena pedagang kaki lima ini cukup mendominasi daerah di Indonesia, terutama Pulau Jawa. Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengkaji tentang keterkaitan pedagang kaki lima dalam aktifitas ekonomi manusia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :- Pedagang kaki lima dalam aktifitas ekonomi manusia- Alasan sebagian besar masyarakat mengambil profesi sebagai PKL

C. TUJUAN

1. Menanambah wawasan2. Lebih mengetahui bagaimana kondisi rakyat kecil3. Mengkaji tentang pedagang kaki lima

D. MANFAAT

Mengingat banyaknya fenomena pedagang kaki lima yang ditemukan di bumi pertiwi kita Indonesia, banyaknya kasus serta dampak yang ditimbulkan oleh keberadaanya yang berkaitan dengan kondisi sesungguhnya rakyat kecil Indonesia

Page 4: Geografi (Pendekatan Spasial)

yang kurang diperhatikan oleh pemerintah, pengkaji berharap karya tulis ini dapat memberikan pandangan dan pengetahuan tentang salah satu aktifitas dalam suatu pendekatan spasial.

Page 5: Geografi (Pendekatan Spasial)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

A. KAJIAN TEORI

Salah satu bidang aktifitas manusia yang mencakup keruangan atau spasial yaitu aktifitas ekonomi manusia. Manusia merupakan makhluk ekonomi yang memiliki berbagai kebutuhan serta memiliki rasa puas yang tak terbatas. Untuk memenuhi kebutuhanya sebagai makhluk hidup, manusia berusaha untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah untuk membeli berbagai kebutuhanya. Namun profesi yang dijalani oleh seseorang terkadang kurang baik dan melanggar beberapa aturan yang berlaku, contohnya adalah profesi sebagai pedagang kaki lima, sesuatu yang sudah tidak tabu lagi di mata masyarakat. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan.

Pemerintah kota berulang kali menertibkan mereka yang diduga menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Kenyataanya sewaktu krismon (krisis moneter) dua belas tahun lalu yang melumpuhkan seluruh aspek perekonomian Indonesia kecuali sektor mikro ini yang mampu mempertahankan, keberadaan PKL di ibukota dan kota-kota lainnya di negeri ini tetap masih belum mendapat tempat yang selayaknya. Banyak kejadian mereka malah dikejar dan diburu seperti kriminal. Namun pada dasarnya, masyarakat Indonesia mengambil profesi ini karena motif yang sama, yaitu permasalahan ekonomi pada golongan masyarakat kelas menengah hingga kebawah.

Menurut sejarah terbentuknya PKL, pada masa penjajahan kolonial peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk Para pedestrian atau pejalan kaki yang sekarang ini disebut dengan trotoar. Lebar ruas untuk sarana bagi para pejalan kaki atau trotoar ini adalah 5 kaki atau 5 feet. 1 kaki adalah sekitar sepertiga meter atau tepatnya 0,3048 m. Maka 5 feet atau 5 kaki adalah sekitar satu setengah meter. Selain itu juga pemerintahan pada waktu itu juga menghimbau agar sebelah luar dari trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari pemukiman penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air.Dengan adanya tempat atau ruang yang agak lebar itu kemudian para pedagang mulai banyak menempatkan gerobaknya untuk sekedar beristirahat sambil menunggu adanya para pembeli yang membeli dagangannya. Seiring perjalanan waktu banyak pedagang yang memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat untuk berjualan sehingga mengundang para pejalan kaki yang kebetulan lewat untuk membeli makanan, minuman sekaligus beristirahat. Berawal dari situ maka Pemerintahan Kolonial Belanda menyebut mereka sebagai Pedagang Lima Kaki buah pikiran dari pedagang yang berjualan di area pinggir perlintasan para pejalan kaki atau trotoar yang

Page 6: Geografi (Pendekatan Spasial)

mempunyai lebar Lima Kaki. Seiring perjalanan waktu para pedagang lima kaki ini tetap ada hingga sekarang, namun ironisnya para pedagang ini telah diangggap mengganggu para pengguna jalan karena para pedagan telah memakan ruas jalan dalam menggelar dagangannya. Namun bila kita menengok kembali pada masa penjajahan belanda dahulu, antara ruas jalan raya, trotoar dengan jarak dari pemukiman selalu memberikan ruang yang agak lebar sebagai taman maupun untuk resapan air. hal ini bisa kita lihat pada wilayah-wilayah yang masih bertahan dan terawat sejak pemerintahan kolonial hingga sekarang seperti di daerah Malang terutama di daerah Jalan Besar Ijen, dan lain sebagainya.

Hal ini sangat berbeda dengan sekarang, dimana antara trotoar dengan pemukiman tidak ada jarak sama sekali, pembuatan taman-taman yang ada di sisi pinggir jalan terkesan seadanya sehingga tidak mampu untuk meresap air apa bila hujan. Ini fakta bukan fenomena, ini kenyataan dan bukan rekaan. Lantas tidak sepenuhnya kesalahan itu teralamatkan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) yang notabone memang dirasakan sangat mengganggu para pengguna jalan. Sungguh ironis memang, disatu sisi mereka mencari nafkah, satu sisi mereka juga mengganggu kenyamanan para pengguna jalan. Dalam hal ini pemerintah harus lebih jeli dalam mengambil tindakan dan juga menegakkan peraturan. Lapangan pekerjaan yang sulit juga mendukung maraknya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang merupakan alih profesi akibat PHK dan lain sebagainya.

Page 7: Geografi (Pendekatan Spasial)

BAB 3. PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN

Semua fenomena yang ada di permukaan bumi, baik yang berupa gejala fisik (alam) maupun gejala manusia (sosial) merupakan ruang lingkup geografi. Karena ruang lingkupnya yang begitu luas, maka untuk menganalisis berbagai fenomena yang terjadi, perlu ada pendekatan. Jati diri atau identitas suatu ilmu menekankan pada sudut pandang. Sudut pandang yang berbeda dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda meskipun substansi yang dikaji sama. Sudut pandang ini disebut sebagai pendekatan. Dalam hal ini, pendekatan geografi berkaitan dengan objek yang dipelajari dalam geografi, yaitu objek material yaitu objek yang mempelajari fenomena geosfer dan objek formal, yaitu studi geografi yang merupakan pendekatan atau sudut pandang dalam menganalisis berbagai sudut material. Pendekatan - pendekatan tersebut terdapat tiga macam, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu pendekatan ekologi (metode analisis yang menekankan pada interaksi antara manusia atau kegiatanya dengan lingkunganya), pendekatan keruangan (metode analisis yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang yang berfungsi untuk mengakomodasi kegiata manusia) dan pendekatan kompleks wilayah yang merupakan integrasi dari pendekatan keruangan dan pendekatan ekologi.

Objek dalam pendekatan keruangan antara lain yaitu pola, struktur, proses, topik, regional, asosiasi dan aktifitas masyarakat. Aktifitas masyarakat pun beragam macamnya, terdapat aktifitas masyarakat dalam bidang sosial, budaya dan ekonomi. Yang kita kaji merupakan aktifitas sosial dalam bidang ekonomi yang berupa sektor ekonomi informal, yaitu pedagang kaki lima atau yang kerap kali disebut PKL.Konsep informalitas perkotaan muncul dari dikotomi antara sektor formal dan informal dibahas pada awal tahun 1970. Sektor informal merupakan fenomena umum di negara-negara berkembang. Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2008, 73.530.000 dari beberapa 102.050.000 (72 persen) orang bekerja di sektor informal. Sektor informal sering terpinggirkan di daerah perkotaan, meskipun sektor informal menyumbang hingga 70 persen dari lapangan kerja perkotaan. PKL sebagai salah satu sektor informal sesungguhnya juga merupakan bagian pelaku ekonomi perkotaan yang tak dapat dipisahkan. Namun, karena posisinya yang kurang tepat, kurangnya displin dan komitmen para pedagang serta berbagai dampak yang ditimbulkanya, PKL dipandang sebelah mata. Pada dasarnya masalah utama yang terjadi pada PKL adalah kurangnya ruang perkotaan untuk tempat mereka mengelola bisnis.

Page 8: Geografi (Pendekatan Spasial)

B. STUDI KASUS

Sejumlah pedagang kaki lima menawarkan aneka ragam barang yang dijualnya di depan Pusat Grosir Cirebon (PGC). PKL tersebut menjajakan beragam barang darimulai gorengan, hingga minuman dingin yang di taruh di dalam kotak pendingin. Beberapa pengunjung pun menyempatkan diri untuk membeli dagangan mereka yang harganya sangat ekonomis. Salah satu PKL yang sering dicari pengunjung untuk mengisi perut yaitu Hasyim (24 tahun) sang penjual gorengan, ia mengaku telah 6 tahun berprofesi menjual gorengan dengan gerobaknya yang didominasi warna biru. Ia membuat gorenganya sendiri dan dijual mulai pukul 9 pagi hingga 7 malam di depan PGC. Hasyim mengakui, penghasilanya sebagai PKL tidak tetap, selain itu tidak tenang. Ia sering kabur secepat-cepatnya ketika diadakan penertiban, ia sendiri menyadari bahwa profesi yang dilakukanya merupakan salah satu penyebab kemacetan, dan merusak keindahan kota, sebenarnya ia kecewa, namun ia pasrah karena tidak memiliki modal yang cukup untuk memulai usaha baru. “Saya kecewa kepada pemerintah, seharusnya lebih memerhatikan rakyat kecil, orang-orang seperti saya ini adalah rakyat kecil yang membutuhkan bantuan, bahkan segalanya dipersulit ketika ada penaikan harga sembako.” tutur Hasyim. Ia berharap suatu saat kelak ada seorang pemerintah yang memerhatikan keadaan rakyat, meringankan harga bahan makanan pokok untuk kebutuhan sehari-hari dan membuatkanya kios sederhana agar ia tidak mengganggu jalanya lalu lintas dan merusak keindahan kota.

Page 9: Geografi (Pendekatan Spasial)

C. PEREKONOMIAN CIREBONSampai tahun 2001 kontribusi perekonomian untuk Kota Cirebon adalah industri pengolahan (41,32%), kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (29,8%), sektor pengangkutan dan komunikasi (13,56%), sektor jasa-jasa (6,06%). Sedangkan sektor lain-lainnya (9,26%) meliputi sektor pertambangan, pertanian, bangunan, listrik, dan gas rata-rata 2-3%.

Salah satu wujud usaha di sektor informal adalah pedagang kaki lima, Kota Cirebon yang sering menjadi sasaran urbanisasi memiliki jumlah PKL yang cukup signifikan pada setiap tahunnya. Fenomena ini di satu sisi menggembirakan karena menunjukan dinamika ekonomi akar rumput, tapi di sisi lain jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan persoalan yang serius di sektor ketertiban dan tata ruang. Perusahaan rokok multinasional, British American Tobacco (BAT), merupakan salah satu produsen rokok yang pernah berdiri di Kota Cirebon. Namun pada tahun 2010, guna mengefisiensikan produksinya, merelokasi pabrik di Kota Cirebon ke Kota Malang. Kota Cirebon memiliki 12 kompleks ruko, 13 bangunan plaza dan mall serta 12 pasar tradisional.

D. DAMPAK POSITIF PKLPada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki harga yang

tidak tinggi, tersedia di banyak tempat, serta barang yang beragam, sehingga PKL banyak menjamur di sudut-sudut kota,karena memang sesungguhnya pembeli utama adalah kalangan menengah kebawah yang memiliki daya beli rendah. Dampak positif terlihat pula dari segi sosial dan ekonomi karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kota karena sektor informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis. Hal tersebut,menurut Sethurahman selaku koordinator penelitian sektor informal yang dilakukan ILO di delapan negara berkembang, karena kemampuan menciptakan surplus bagi investasi dan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan usaha-usaha

Page 10: Geografi (Pendekatan Spasial)

sektor informal bersifat subsisten dan modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar. Selain itu, sektor usaha informal merupakan bagian dari prekonomian perkotaan yang turut berpengaruh pada kemajuan di sektor ekonomi.

E. DAMPAK NEGATIF PKL

-Penggunaan ruang publik bukan untuk fungsi semestinya dapat membahayakanorang lain maupun PKL itu sendiri.b.

-Pencemaran yang dilakukan sering diabaikan oleh PKL.

-Sebagian besar PKL tidak mendapat perlindungan dari ancaman jiwa, kesehatanmaupun jaminan masa depan. Resiko semacam itu belum mendapat perhatiankarena perhatian masih tertuju pada pemenuhan kebutuhan pokok. -Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang membayar pajak resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak membayar pajak resmi(walaupun mereka sering membayar pajak tidak resmi), contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan berbagai pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal dengan menyebarkan operasinya melalui unit-unit PKL(Pikiran Rakyat , 3/11/04).

-Tidak adanya perlindungan hukum menyebabkan pekerja di ekonomi informal rentan eksploitasi, baik pelaku di PKL itu sendiri, rekanan usaha dari sektor formal maupun dari oknum tertentu baik dari pemegang kebijakan lokal yang resmi maupun preman.

F. PENANGGULANGAN MASALAH PKL

 Pendekatan yang digunakan untuk penangangan PKL pada makalah ini mengacu padaaspek fisik dan non fisik. Integrasi pendekatan ini dinamakan pendekatanpembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yangdilakukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikankebutuhan generasi yang akan datang. Pendekatan Pembangunan berkelanjutan antara lain yaitu :

a. Ketegasan dan Konsisten Pemerintah Daerah. Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau bebas PKL,sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus. Sebelum jumlah PKLyang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka aparat disertai denganmasyarakat dapat segera mengambil langkah-langkah pengawasan

Page 11: Geografi (Pendekatan Spasial)

dan penindakan.Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya penindakan yangdilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta dana yang jauh lebihbesar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan dengan efektif jika pihak penduduk disekitar lokasi juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumberdaya manusianya.Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih termasuk jalurutama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar daripada kecamatan yangterletak di pinggiran kota.Oleh karena itu, yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana mengkolaborasikanantara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itusendiri untuk situasi khusus. Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upayayang dikembangkan pemda terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadarmemberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itusendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik. Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemda untuk terus-menerusmendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Tujuannya, supaya dapat diperoleh data akurat dan up to date tentang keberadaan PKL.Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemda untuk mencegah arusurbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota.Salah satu bentuk ketegasan yang baik yaitu PKL di Bangkok. PKL di Bangkok tidak dipungut retribusi, namun mereka diwajibkan menjaga kebersihan lingkungan. Mereka yang melanggar, didenda antara Rp 50.000 dan Rp 200.000, untuk setiap kalipelanggaran. Seorang pedagang K-5 di kawasan Banglamphu di pusat kota Bangkok dapat di denda hanya karena menjatuhkan es batu di jalan. Dan petugas Pamong Praja(PP) dilengkapi dengan peralatan kamera untuk membuktikan kelakuan PKL. Petugas juga tidak mengenal kompromi. Uang denda diperuntukkan bagi petugas PP sebagaitambahan insentif.

b. Pendekatan vertikalGuna mengatasi persoalan PKL, upaya penataan yang dapat dilakukan dapat dilakukansecara vertikal. Secara vertikal antara lain menyangkut perbaikan dari segi perijinan,pembinaan, dan pemberian bantuan kepada para PKL. Perijinan bagi aktivitas Pedagangkaki lima dalam melakukan usahanya didasari atas pertimbangan agar memudahkandalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan jumlah; membantu dalam penarikanretribusi. Pemberian surat ijin usaha ini telah diterapkan di negara tetangga sepertiMalaysia, Singapura, Philipina.

c. Daya dukung lingkunganBetapa pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over urbanization) disuatu kota adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal migran. Akibatnya,sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik, maka kebijakan"pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak akan pernah mampumengurangi arus migrasi.Bagi PKL yang

Page 12: Geografi (Pendekatan Spasial)

berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program rombongisasi atautendanisasi.Meskipun program ini bukan jalan keluar yang terbaik bagi ketertiban kota, program ini paling realistis karena dapat mengompromikan kepentingan PKL agar tetap diperbolehkan berdagang di kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama keindahan kawasan itu tetap terjaga karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa.Keberadaan PKL dirasakan perlu dengan syarat tidak mengganggu ruang publik yaknifungsi bahu jalan untuk pejalan kaki dan fungsi jalan bagi kendaraan bermotor. Karenaitu perlu dihitung berapa daya dukung bahu jalan bagi PKL agar PKL tetap dapat berdagang dan masyarakat tidak diganggu hak publiknya.

d. Corporate Social Responsibility(CSR)CSR merupakan metode yang saat ini sangat berkembang untuk memintapertanggungjawaban sosial kepada perusahaan terhadap pencemaran lingkungan yangdilakukannya. Metode tersebut dapat digunakan untuk melihat permasalahan PKL yangjuga bagian dari permasalahan lingkungan. Misalnya :-Developer atau pengembang memberikan kesempatan kepada PKL untuk berjualan di kawasan pemukiman yang dibangunnya, dengan jam jualan yang dibatasi danjumlah pedagang yang juga dibatasi.-Penggunaan kantor-kantor swasta, pemerintah dan lembaga non profit lainnyauntuk PKL ketika kantor tersebut sudah tutup. Dengan catatan setelah berjualantempat harus bersih dan rapi seperti sedia kala dan menggunakan desain tenda yang temporer.-Setiap mal menyediakan lahan khusus untuk pedagang kaki lima.-Setiap pom bensin menyediakan tempat untuk alokasi sektor informal

e. Aspiratif Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai daritahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannyaadalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya seriusuntuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadisia-sia belaka.

f. Pemberdayaan Ekonomi

Arus uang illegal dari PKL ke preman, oknum PP, polisi atau tentara seharunyaditiadakan. Arus uang illegal tersebut dapat digantikan oleh tabungan pemberdayaanekonomi PKL. Tabungan tersebut bertujuan agar PKL dapat memiliki lahan sendiriuntuk berdagang kedepannya sehingga tidak terus menerus sampai tua dikejar-kejaraparat karena berdagang di tempat yang ilegal. Formulasinya adalah setiap PKL yangberdagang di lokasi tertentu di kutip uang Rp 10.000 setiap hari. Misalnya terdapat 5000 PKL di

Page 13: Geografi (Pendekatan Spasial)

lokasi tsb, maka setahun (asumsi 330 hari berdagang efektif) terdapat tabung PKL sebesar Rp 16,5 M. Akumulasi dari uang tersebut dapat digunakan untuk membeli asset daerah atau swasta yang strategis namun pemanfaatannya kurang.Pungutan tersebut hendaknya dilakukan oleh lembaga yang dipercaya PKL namunharus dikuatkan oleh peraturan dari Pemda agar lebih transparan, akuntabel dan adil.

g. Diversifikasi RetribusiPKL di beberapa daerah dapat menjadi sumber PAD, namun dengan model diversifikasiRetribusi. Jadi tidak bisa semua bayar retribusi yang sama, sehari misalnya Rp. 500,- Distasiun KA/Terminal harusnya beda dengan di pinggir pasar atau di tempat yang sepiharusnya beda dengan tempat PKL yang mengakibatkan kemacetan karena ramai. Itukan bisa diberlakukan sebagai disinsentif. Bisa diklasifikasi di tempat ini membayarRp.10.000/hari, di tempat lain Rp. 5.000/hari, Rp. 3.000/hari dan di sana, yang jauhatau sepi Rp. 500/hari.

h. Estetika PKLSebagai contoh konkret di jalan Malioboro Yogyakarta, Pemda melakukan kerjasamadengan salah satu perguruan tinggi swasta untuk membuat disain tenda bagi PKL yangpraktis mudah dilepas dan rapi tenda-tenda tersebut nantinya dibuat seragam agardalam berjualan tidak terlihat kumuh.Di Sleman Yogyakarta, dibangun taman PKL untuk mengangkat kehidupan PKL dengandesain pariwisata dan konsumen yang dibidik adalah anak muda. Oleh karena itu pihak pengelola atau Pemda juga mengundang sponsor untuk meramaikan taman tersebut baik dengan mengadakan hiburan atau sekadar untuk mempromosikan barangnya.Desain lokasi, tenda, dan bangunan PKL juga mencerminkan jiwa daerah tersebut sehingga terlihat indah.

i. Pembinaan Mental

Yang terakhir adalah bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang rendahdan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aromayang menyengat hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL.Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social valuesystem atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadapPKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.Pembinaan mental dapat dilakukan dengan mengadakan kajian keagamaan yangberkenaan dengan masalah muamalah atau himbauan yang dikemas dalam nuansareligius baik melalui media tatap langsung, selebaran, dsbnya

Page 14: Geografi (Pendekatan Spasial)
Page 15: Geografi (Pendekatan Spasial)

PERLINDUNGAN PKL

A. Hak-hak PKL ketika dilakukan pembongkaranFenomena pembongkaran para PKL ini sangat tidak manusiawi.Pemerintah selalu menggunakan kata penertiban dalam melakukan pembongkaran. Namun sangat disayangkan ternyata didalam melakukan penertiban sering kali terjadi hal-hal yang ternyata tidak mencerminkankata-kata tertib itu sendiri. Kalau kita menafsirkan kata penertiban itu adalahsuatu proses membuat sesuatu menjadi rapih dan tertib, tanpa menimbulkankekacauan atau masalah baru.Pemerintah dalam melakukan penertiban sering kali tidak memperhatikan, serta selalu saja merusak hak milik para pedagang kakilima atas barang-barang dagangannya.

B. Perlindungan Hukum*) Pasal 27 ayat (2) UUD 45 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”*) Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : “ Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk : menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima , serta lokasi lainnya, memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

Dengan adanya beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki lima , harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun didalam Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya, namun pemerintah harus mampu menjamin perlindungandan memenuhi hak-hak ekonomi pedagang kaki lima .

Page 16: Geografi (Pendekatan Spasial)

BAB 3. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pedagang kaki lima merupakan salah satu usaha sektor informal yang banyak ditemui pada daerah perkotaan di Indonesia. Pedagang kaki lima ini juga merupakan bagian dari jalanya sistem perekonomian di kota. Pada umumnya PKL terjadi karena motif ekonomi, dan kurangnya ruang perkotaan yang disediakan oleh pemerintah untuk menunjang kegiatan bisnis mereka. PKL seringkali dipandang sebelah mata, karena banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan, namun sebenarnya keadaan yang mendesak mereka untuk melakoni pekerjaanya. Keseimbangan dapat terjadi ketika kedua belah pihak (pemerintah dan PKL) saling berintrospeksi diri dan membangun koitmen bersama yang memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak dan meminimalisir dampak negatif yang terjadi.

B. SARAN

Sebaiknya diantara pemerintah dan PKL diadakan sebuah interaksi agar tidak saling beranggapan negatif. Karena sebenarnya pemerintah, rakyat dan semua aparatur negara memiliki tujuan yang sama yaitu menuju kepada kemakmuran bangsa. Semuanya saling mengerti bahwasanya pemerintah melakukan berbagai kebijakan adalah untuk kesejahteraan rakyat, begitu pula sebaliknya, kemakmuran, aktifitas rakyat serta segala gejalanya juga menentukan berhasil tidaknya suatu pemerintahan dalam memimpin. Jadi keduanya haruslah saling bertimbal balik, pemerintah haruslah membuat kebijakan yang sesuai dengan rakat dan sama sekali tidak memberatkan rakyat, terutama rakyat kecil, begitu pula dengan rakyat, haruslah menuruti peraturan yang berlaku jika sudah melakukan kesepakatan bersama.