BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Waren,
1990 : 3). Sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau
pengajaran (Teew, 1984: 23). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dituliskan
pengertian sastra yaitu (1) Bahasa (kata-kata, gaya Bahasa) yang dipakai di kitab-
kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan, karya tulis, yang jika dibandingkan
dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan,
keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik, dan lirik; (3) kitab suci (Hindu),
(kitab) ilmu pengetahuan; (4) pustaka, kitab primbon (berisi) ramalan, hitungan, san
sebagainya; (5) tulisan, huruf.
Pengertian sastra dalam kamus Daum, kamus korea disebutkan bahwa sastra
yaitu seni mengekspresikan ide-ide dan perasaan melalui bahasa serta, karya yang
dihasilkan berupa puisi, novel, drama, esai dan lain sebagainya1. Berdasarkan
beberapa definisi diatas dapat dikatakan pula bahwa, sastra merupakan sebuah ilmu
pengetahuan dibidang karya seni yang berisi ide-ide dan memiliki keunggulan dalam
pengungkapannya dengan menggunakan rangkaian kata-kata dan dibukukan.
1
]
]
]
]
2
Salah satu contoh karya sastra bersifat fiktif adalah novel. Novel adalah
karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang
dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku
(KBBI, 2008 : 969). Novel menurut jenis genrenya dapat dibagi menjadi cerita
sejarah, cerita kepahlawanan, cerita fantasi, cerita seram, cerita drama dan lain
sebagainya sedangkan menurut isinya, novel dapat dibagi menjadi novel ilmiah,
novel sejarah, novel detektif dan masih banyak lagi. Novel berdasarkan jumlah
halamannya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu novel panjang, novel sedang dan novel
singkat. Novel tersingkat terdiri atas tiga puluh ribu kata atau seratus halaman.
Ukuran novel yang panjang memungkinkan pengarang untuk mengisahkan topik-
topik tertentu didalamnya; sejarah satu keluarga contohnya (Stanton, 2007 : 75-76).
Stanton, (2007 : 90) menambahkan bahwa novel memiliki ciri khas yang mampu
menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus lebih rumit.
Akhir-akhir ini banyak novel diangkat menjadi film. Perubahan suatu bentuk
karya sastra menjadi bentuk karya sastra yang berbeda ini dinamakan ekranisasi.
Eneste, (1991 : 60-61) menjelaskan yang dimaksud ekranisasi adalah pelayarputihan
dan merupakan sebuah proses perubahan pada alat yang dipakai, proses penggarapan,
proses penikmatan, serta waktu penikmatan. Film menurut KBBI (2008 : 392) adalah
(1) selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan
dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop);
(2) lakon atau gambar hidup.
3
Beberapa contoh karya sastra hasil ekranisasi dari bentuk novel ke bentuk film
diantaranya seperti, seri novel Harry Potter karya J. K. Rowling yang diangkat
menjadi seri film Harry Potter oleh Steven Kloves, novel The Lord of the Rings
karya J. R. R. Tolkien yang diangkat menjadi trilogi film yang berjudul The Lord of
the Rings oleh Peter Jackson, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang
diangkat menjadi film berjudul Laskar Pelangi oleh Riri Riza, novel 9 Summers 10
Autumns karya Iwan Setyawan diangkat menjadi film dengan judul yang sama oleh
Ifa Isfansyah, novel Dogani karya Gong Ji-Young diangkat menjadi film Dogani oleh
Hwang Dong-Hyuk dan sebagainya. Perubahan bentuk karya sastra novel menjadi
film ini bagi penikmat karya sastra dapat menjadi sebuah kepuasan atau kekecewaan.
Hal ini dikarenakan sebuah film merupakan imajinasi sutradara yang dituangkan
setelah membaca hasil imajinasi penulis di dalam novel.
Novel dan film walaupun keduanya dapat menyampaikan maksud dari cerita
dengan jalan yang berbeda, namun kedua bentuk karya sastra ini memiliki penikmat
sastra masing-masing. Kedua karya sastra tersebut memiliki penikmat sastra masing-
masing karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda.
Kelebihan novel dibandingkan film diantaranya; novel dapat mendeskripsikan suatu
cerita lebih detail dengan disertai konflik yang luas sehingga imajinasi pembaca satu
dengan pembaca yang lain berbeda; penulis dapat menuangkan imajinasinya secara
bebas kedalam novel yang nantinya dinikmati pembaca novel; isi permainan kata
yang dibuat oleh penulis dapat membuat para pembaca berimajinasi sesuai keinginan
4
mereka; pembaca secara bebas dapat membayangkan dan menjadikan siapapun dan
bagaimanapun sebagai tokoh di dalam novel.
Kelebihan film dibandingkan dengan novel diantaranya; visualisasi novel
yang ditampilkan pada layar membuat film menjadi lebih nyata dan hidup sehingga
pembaca novel tidak perlu lagi bermain imajinasi; audio yang mendukung seperti
mimik suara aktor, sound effect maupun OST film dapat membantu penonton film
ikut merasakan suasana adegan film yang sedang ditayangkan; durasi penayangan
film yang singkat membuat beberapa pembaca novel memilih langsung menonton
film dibandingkan membaca buku novel yang tebal untuk mengetahui isi cerita
didalamnya.
Hubungan antara novel dan film dapat diibaratkan sebagai fenomena
bongkahan es beku yang terapung di lautan antartika, dimana daratan es merupakan
film sedangkan bongkahan besar es beku yang berada dibawah permukaan air adalah
novel. Pengibaratan fenomena bongkahan es tersebut dianggap pantas, karena
menurut eneste (1991 : 9-10) novel adalah sebuah karya sastra yang berisikan
100.000 kata atau lebih sedangkan skenario film sebagai acuan pembuatan sebuah
film hanya terdiri dari 20.000 kata saja.
Berbeda dengan novel yang tidak memiliki batasan dalam menuliskan cerita,
film memiliki banyak keterbatasan untuk menayangkan cerita dalam novel.
Keterbatasan film dalam menuangkan isi cerita novel ke layar dikenal dengan sebutan
durasi. Seorang sutradara dituntut untuk menjabarkan isi cerita novel yang
berhalaman ratusan kedalam sebuah film dengan durasi maksimal selama dua jam
5
penayangan. Hal tersebut menyebabkan harus dilakukannya berbagai perubahan dan
penyesuaian antara novel dan film yang akan diekranisasikan.
Penelitian ini memiliki dua buah objek yaitu novel yang berjudul Sowon
(소원) dan film yang berjudul Hope (소원). Kedua karya sastra ini menceritakan
ulang tentang kejadian nyata yang terjadi di daerah Gyeonggi-do, Ansan. Kejadian
nyata yang melatarbelakangi cerita novel tersebut dikenal dengan sebutan Kasus Jo
Doosoon. Kasus Jo Doosoon adalah sebuah kasus pelecehan seksual dibawah umur
yang dialami oleh seorang anak berusia 8tahun bernama Nayeong (nama samaran)
dan tersangka diketahui bernama Jo Doosoon. Jo Doosoon pada tahun 2008 silam
telah didakwa bersalah dan dihukum penjara selama 12tahun terhitung sejak tahun
2008 (Sowon, 2013 : 8).
Novel Sowon (소원) ditulis oleh seorang pria kelahiran tahun 1983 bernama
So Jaewon pada tahun 2013. Pemuda berparas tampan ini berasal dari daerah
Jeonbuk-do, Iksan. So Jaewon mengawali karirnya sebagai seorang penulis novel di
tahun 2008. Novel pertama yang berhasil ia terbitkan berjudul Naneun
Taenpheureoyeotta (나는 텐프러였다). Ayah dengan satu orang putri ini sering
disebut sebagai 약자를 대변하는 소설가 yang berarti ‘Penulis yang mewakili yang
lemah’. Sebutan tesebut disematkan kepada penulis So Jaewon karena ia sering
menulis novel yang menceritakan tentang kejadian nyata termasuk pengalamannya
sendiri dalam novel pertamanya.
6
<희망의 날개를 찾아서>란 제목으로 처음 이 작품을 출간했을
때에는 지금보다도 훨씬 개인적인 부분이 많이 담겨 있었어요. 이번에
새로운 제목으로 다시 출간하면서 그런 부분을 덜어내고 문장도 좀 더
튼튼하게 다듬어서 나오게 되었죠.1
Saya lebih banyak menuliskan banyak bagian cerita berdasarkan
pendapat saya pribadi pada saat menerbitkan novel dengan menggunakan
judul <Hwimangeui Nalgaereul Chajaseo> dibandingkan dengan novel
Sowon (소원). Pada karya sastra yang diterbitkan selanjutnya selain
menggunakan judul yang baru, saya juga menggunakan kalimat yang dapat
memperkuat jalan cerita.1
Penulis So Jaewon tidak lama setelah menerbitkan novel berjudul Naneun
Taenpheureoyeotta (나는 텐프러였다) pada tahun 2008, ia kemudian menerbitkan
sebuah novel berjudul Hwimangeui Nalgaereul Chajasseo (희망의 날개를 찾아서).
Novel tesebut telah ia terbitkan pada tahun 2010 yang lalu. Novel Hwimangeui
Nalgaereul Chajasseo (희망의 날개를 찾아서) kemudian ia sempurnakan kembali
menjadi novel baru berjudul Sowon (소원). Penulis So Jaewon selain memberi judul
yang berbeda dengan karya novel sebelumnya, ia juga mengurangi isi pendapat
dirinya sendiri dan menambahkan pendapat dari oranglain. pengurangan ia lakukan
untuk memberi kesan cerita yang lebih kuat sehingga para pembaca seolah-olah ikut
menyelam kedalam cerita. Ha tersebut menjadi alasan penulis untuk memilih Sowon
(소원) dibandingkan novel sebelumnya, novel Hwimangeui Nalgaereul Chajasseo
(희망의 날개를 찾아서).
Novel Sowon (소원) termasuk kedalam novel sedang karena berjumlah
sebanyak 286. So Jaewon berhasil membuat novel yang bergenre keluarga setelah
1http://bookdb.co.kr/bdb/Interview.do?_method=InterviewDetail&sc.mreviewNo=5304
4
7
melakukan beberapa penelitian mengenai kasus Jo Doosoon. Ia berimajinasi dan
membayangkan dirinya dalam keadaan sama seperti yang dialami Nayeong dan
keluarganya. Salah satu contoh penelitian yang telah ia lakukan yaitu bagaimana cara
menampilkan karakter seorang perempuan seperti ibu kedalam novel karyanya. So
Jaewon selain membayangkan dirinya sebagai seorang ibu, ia juga telah melakukan
penelitian. Berdasarkan pengalamannya menjadi sukarelawan di sebuah organisasi
perlindungan anak, ia menyadari bahwa kehadiran seorang ibu begitu berarti dan
tidak tergantikan. Maka dari itu So Jaewon menampilkan karakter seorang ibu
sebagai seorang tokoh yang kuat dan tidak tergantikan.
Novel Sowon (소원) kemudian diangkat ke layar lebar oleh Lee Junik di
tahun 2013, tahun yang sama seperti tahun penerbitan novel. Hasil ekranisasi novel
karya So Jaewon berjudul Hope (소원). Film Hope (소원) karya sutradara Lee
Junik mulai ditayangkan di Korea Selatan pada tanggal 2 Oktober 2013. Pembuatan
film diawali dengan pengambilan adegan di daerah Changwon pada tanggal 13 April
tahun 2013 dan berakhir di bulan Juni tanggal 24 tahun 3013 di Busan. Film ini
berhasil menjadi Film of the Year dan mendapatkan beberapa penghargaan lainnya.
Salah satu bentuk penghargaan yang telah diterima yaitu pada tahun 2013 film karya
Lee Junik ini berhasil mendapatkan penghargaan dalam Blue Dragon Film Awards
ke-34. Penghargaan diraih untuk kategori Best Film, kategori Best Supporting Actress
dan kategori Best Screenplay. Di tahun yang sama, film ini juga berhasil mendapat
penghargaan dari Korean Association of Film Critics Awards ke-33 dengan kategori
8
Best Actress. Penghargaan selanjutnya yang berhasil diraih adalah penghargaan dari
kategori Best Actor dan Best Screenplay pada ajang penghargaan PaekSang Arts
Awards ke-50 di tahun 2014 silam (http://asianwiki.com/Hope_(Korean_Movie).
Penulis memiliki beberapa alasan untuk menggunakan film Hope (소원) dan
novel Sowon (소원) sebagai objek penelitian. Pertama, So Jaewon kembali berhasil
menciptakan novel yang memperoleh kepopuleran bahkan di ekranisasi kedalam
bentuk film. Kedua, diraihnya beberapa penghargaan seperti penghargaan sebagai
Film of he Years oleh film Hope (소원) sebagai bukti suksesnya pengalihan bentuk
karya sastra dari novel ke film. Alasan ketiga, So Jaewon berhasil mengangkat cerita
mengenai kasus yang pernah booming di tahun 2008 silam dan sukses mengajak para
pembaca untuk mengingat kembali kasus tersebut melalui karyanya. Alasan keempat
dan terpenting yaitu adalah adanya perbedaan bentuk karya sastra yang menyebabkan
diduga terdapat perbedaan dan perubahan diantara keduanya, salah satunya pebedaan
secara struktur.
Novel Sowon (소원) dan film Hope (소원) akan diteliti dengan cara
menggunakan kajian struktural. Hal-hal yang akan diteliti berupa bagian-bagian dari
fakta cerita yang terdapat dalam novel dan film. Fakta cerita yang dianalisis adalah
berupa alur, karakter, latar, tema, judul. Setelah data-data ditemukan, penelitian
selanjutnya akan menggunakan prinsip-prinsip kajian intertekstual. Kajian
intertekstual pertamakali diperkenalkan oleh Julia Kristeva pada tahun 1960 yang lalu.
9
Prinsip-prinsip dari kajian intertekstual tersebut adalah prinsip transformasi, prinsip
haplology, prinsip ekserp, prinsip modifikasi dan prinsip ekspansi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan,adapun rumusan masalah pada
penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimanakah bentuk hubungan fakta cerita berupa elemen karakter, elemen alur
dan elemen latar antara novel Sowon (소원) dan film Hope (소원) yang dapat
ditemukan dengan menggunakan kajian struktural?
b. Bagaimanakah bentuk hubungan ekspansi, transformasi, modifikasi, haplologi
dan ekserp antara novel Sowon (소원) dan film Hope (소원) dengan
menggunakan kajian intertekstual Julia Kristeva?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dua hal, yaitu:
a. Untuk mengetahui bentuk hubungan fakta cerita berupa elemen karakter, elemen
alur dan elemen latar antara antara novel Sowon (소원) dan film Hope (소원)
dengan menggunakan analisis struktural Robert Stanton.
b. Untuk mendapatkan hasil telaah bentuk hubungan prinsip transformasi, prinsip
haplology, prinsip ekserp, prinsip modifikasi dan prinsip ekspansi antara novel
10
Sowon (소원) dan film Hope (소원) dengan menggunakan kajian intertekstual
Julia Kristeva.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian terhadap suatu objek yang diteliti dilakukan dengan harapan adanya
manfaat dari penelitian tersebut. Secara garis besar, terdapat dua manfaat penelitian
yang dapat diambil dari hasil penelitian ilmiah ini yaitu manfaat teoretis dan manfaat
praktis. Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memperluas dan memperbanyak
penelitian karya sastra terutama sastra Korea dengan menggunakan dua buah bentuk
kaian penelitian. Dua bentuk kajian penelitian yang dimaksud yaitu kajian struktural
dan kajian intertekstual antara novel dan film. Karya sastra Korea yang menjadi objek
penelitian adalah novel Sowon (소원) dan film Hope (소원).
Penelitian ini akan membahas mengenai dua hal. Pembahasan pertama yaitu
meneliti bagaimana keterkaitan fakta cerita yang terjadi diantara novel Sowon (소원)
dan film Hope (소원) dengan menggunakan kajian struktural. Pembahasan kedua
yaitu untuk mengetahui apa saja bentuk hubungan prinsip transformasi, prinsip
haplology, prinsip ekserp, prinsip modifikasi dan prinsip ekspansi menggunakan
kajian intertekstual Julia Kristeva antara kedua karya sastra yang telah disebutkan.
Manfaat penelitian secara praktis yaitu menambah pengetahuan dan mengenalkan
kepada pembaca mengenai hasil karya ilmiah menggunakan kajian intertekstual
antara novel dan film.
11
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan peneliti, pembahasan penelitian menggunakan kajian
intertekstual sudah pernah dilakukan. Penelitian tersebut beberapa diantaranya
dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Peneliti
merujuk kepada beberapa buah hasil penelitian ilmiah, sebagai tinjauan pustaka.
Penelitian pertama dilakukan oleh Linaras (2010), dalam penelitiannya yang
berjudul “Novel Kembang Jepun Karya Remy Sylado dan Novel Perempuan
Kembang Jepun Karya Lan Fang Analisis Hubungan Intertekstual”, ia
mengemukakan bahwa pemahaman komprehensif mengenai kedua novel yang
menjadi objek penelitian memiliki alur cerita mirip. Penelitian ini dilakukan dengan
cara mengkaji hubungan intertekstual kedua novel objek penelitian.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono
(2013), dalam penelitian yang berjudul “Novel NIN’GEN’ SHIKKAKU dan Anime
NIN’GEN’ SHIKKAKU: sebuah Analisis Intertekstual”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan intertekstual antara novel dan animasi yang menjadi objek
penelitian. Penelitian ini lebih mengutamakan pembahasan bentuk-bentuk
transformasi yang terjadi dibandingkan hubungan intertekstual lain yang terdapat
dalam novel dan animasi.
Penelitian terakhir disusun oleh Irshadi (2013) dengan judul “Struktur Kumo
No Ito Karya Akutagawa Ryunosuke dan The Grand Inquisitor Karya Fyodor
Dostoevsky: Analisis Intertekstual”. Tujuan dalam penelitian ini adalah membahas
12
keterkaitan antara cerita Kumo No Ito Karya Akutagawa Ryunosuke dan The Grand
Inquisitor Karya Fyodor Dostoevsky yang meliputi fakta, sarana dan tema cerita.
Berdasarkan penelitian karya ilmiah yang telah dilakukan di atas, belum
terdapat karya ilmiah yang membahas tentang hubungan antara novel dan film
dengan menggunakan dua bentuk kajian penelitian sekaligus. Dua bentuk kajian
penelitian yang dimaksud yaitu kajian struktural dan kajian intertekstual. Oleh karena
itu dibuatlah penelitian ini yang dapat dijadikan contoh dan panduan dalam
pembuatan karya-karya ilmiah selanjutnya.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini memiliki dua buah obyek karya sastra yang berbeda bentuk.
Bentuk karya sastra yang menjadi obyek penelitian adalah novel karya novelis So
Jaewon yang berjudul Sowon (소원) dan objek penelitian kedua adalah film karya
sutradara Lee Junik berjudul Hope (소원). Penelitian dengan obyek novel dan film
tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Diperlukan kajian penelitian yang tepat
untuk menelaah kedua obyek terseb]ut agar dapat memberikan hasil yang bagus. Di
penelitian ini, penulis menggunakan dua buah bentuk kajian untuk meneliti kedua
obyek. Kedua kajian yang akan penulis gunakan adalah kajian struktural oleh Robert
Stanton dan kajian Intertekstual oleh Julia Kristeva.
13
1.6.1 Kajian Struktural Robert Stanton
Istilah ‘struktur’ pertama kali muncul pada konggres pertama tentang
linguistik yang diadakan di Den Haag pada tahun 1928 (Sangidu, 2004 : 15). Istilah
struktural atau trukturalisme sebenarnya merujuk catatan-catatan kuliah milik seorang
dosen bahasa Gothic dan bahasa Jerman Kuno di Paris. Catatan-catatan tersebut
kemudian dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi outline. Dosen tersebut
bernama Ferdinand de Saussure yang lahir di Jenewa pada tahun 1857 (Kaelan,
2009 : 181). Saussure kemudian mengusulkan teori bahasa yang disebut dengan
strukturalisme untuk menggantikan pendekatan historis dari pada pendahulunya
(Kaelan, 2009 : 282). Berkat penelitian dan karyanya, Saussure kemudian dikenal
sebagai bapak strukturalisme dan linguistik.
Metode analisis struktural karya sastra menurut Teew bertujuan untuk
membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam
mungkin keterkaitan semua unsur karya sastra yang secara bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh (Sangidu, 2004 : 4). Beberapa bentuk unsur yang
dimaksud adalah sastra prosa dan drama. Suharianto (Sangdu, 2004 : 4) menjelaskan
unsur-unsur karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan
padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa. Adapun unsur-unsur karya
sastra drama meliputi lakon atau cerita, pemain, tempat, dan penonton atau public.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak ahli-ahli bahsasa dan sastra yang
mulai bermunculan. Salah satu ahli bahasa dan sastra tersebut adalah Robert Stanton.
Robert Stanton adalah seorang ahli dibidang struktural khususnya dibidang fiksi.
14
Stanton bahkan pernah menerbitkan sebuah buku berjudul An Introduction to Fiction
untuk membahas mengenai fiksi berdasarkan pendapat dirinya sendiri dan pendapat
dari ahli-ahli bahasa dan sastra lainnya.
Stanton di dalam bukunya menuliskan bahwa terdapat sedikitnya tiga alasan
mengapa diperlukan seorang dosen atau buku pegangan untuk mengenalkan sebuah
fiksi serius kepada mahasiwa. Alasan pertama, buku pegangan memaparkan fiksi
serius kepada mahasiswa. Kedua, buku pegangan atau dosen dapat memberikan
petunjuk pada pembaca mengenai maksud dan teknik yang digunakan pengarang.
Alasan ketiga, dosen ataupun buku pegangan mampu meluruskan segala miskonsepsi
gagasan-gagasan yang keliru mengenai apa dan bagaimana fiksi serius itu yang
mengintervensi pemahaman dan kenikmatan yang diperoleh pembaca (Stanton,
2007 : 2).
Ketiga buah alasan tersebut dituliskan oleh Stanton, karena beberapa orang
masih menganggap bahwa karya fiksi serius dan fiksi popular adalah karya sastra
yang sama. Pada kenyataanya kedua karya ini merupakan sebuah karya yang sama
sekali berbeda antara satu dan lainnya. Persamaan keduanya hanya dari unsur, alur,
karakter dan latar (Stanton, 2007 : 3). Stanton (2007 : 21) menambahkan bahwa
setiap detail dalam sebuah cerita berpengaruh pada keseluruhan seperti halnya setiap
not pada komposisi milik Johann Sebastian Bach dan setiap gesture pada tari balet
Margot Fonteyn.
15
1.6.1.1 Fakta Cerita
Sebuah karya sastra didalamnya terdapat fakta-fakta cerita berupa elemen
karakter, elemen alur dan elemen latar yang termasuk dalam fakta-fakta cerita.
Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita.
Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau
‘tingkat faktual’ cerita. Struktuf faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut
pandang (Stanton, 2007 : 22).
a. Karakter
Tema ‘karakter’ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama,
karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada
orang yang bertanya; “Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?”. Konteks kedua,
karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan
prinsip moral dari individu-individu tersebut seperti yang tampak implisit pada
pertanyaan; “Menurutmu, bagaimanakah karakter dalam cerita itu?” (Stanton, 2007 :
33). Maksud dari paragraf tersebut adalah tema memiliki dua buah arti yang berbeda.
Pertama, karakter berarti pemain atau tokoh yang berada di dalam sebuah karya sastra.
Maksud kedua adalah karakter merupakan sifat atau watak yang dimiliki oleh pemain
atau tokoh yang berada di dalam sebuah karya sastra.
Definisi serupa oleh Echols dan Shadily (Minderop, 2005 : 2), karakter atau
dalam bahasa Inggris, character berarti watak, peran, huruf. Hornby (Minderop,
2005 : 2) mendefinisikan karakter bisa berarti orang, masyarakat, ras, sikap mental
16
dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi dan tanda
atau huruf.
Sebuah karya sastra akan menjadi hidup dengan adanya tokoh cerita yang
menjadi pusat cerita sebuah karya sastra. Tokoh cerita (character), sebagaimana
dikemukakan Abrams, adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam sesuatu karya
naratif, atau drama, yang boleh pembaca tafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam ucapan (Nurgiyantoro, 2013 : 247). Tokoh cerita dalam sebuah
karya sastra selain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh
pembantu, tokoh cerita juga memiliki karakter.
Karakter dari seorang tokoh dalam sebuah karya sastra dapat dicari melalui
beberapa teknik. Beberapa teknik yang dilakukan yaitu dengan teknik cakapan; teknik
tingkah laku; teknik reaksi tokoh dan teknik reaksi tokoh lain. Nurgiyantoro (2013 :
286-295) memberi penjelasan mengenai teknik-teknik tersebut. Teknik percakapan
adalah sebuah teknik yang digunakan untuk mencari karakter atau watak dari seorang
tokoh melalui percakapan-percakapan yang ada dalam sebuah karya sastra. Teknik
cakapan dimaksudkan untuk menunjukkan tingkah laku verbal yang berwujud kata-
kata dan atau dialog para tokoh. Teknik tingkah laku lebih mengarah pada tindakan
nonverbal untuk mencari watak dari seorang tokoh. Nonverbal yaitu tidak dalam
bentuk percakapan maupun bahasa namun lebih mengarah pada wujud tindakan yang
dilakukan tokoh. Teknik reaksi tokoh adalah teknik pencarian watak seorang tokoh
melalui reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata dan sikap-
17
tingkah-lau oranglain dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh
yang bersangkutan. Teknik reaksi tokoh lain merupakan penilaian kedirian tokoh
(utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya.
Karakterisasi menurut Minderop (2005 : v-vi) mengatakan bahwa
karakterisasi dalam telaah fiksi dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu metode
langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing) : dialog dan tingkah laku.
Metode langsung (telling) dibagi menjadi; (1) karakterisasi menggunakan nama
tokoh; (2) karakterisasi melalui penampilan tokoh; (3) karakterisasi melalui tuturan
pengarang. Metode metode tidak langsung (showing): dialog tingkah laku dapat
dibagi menjadi; (1) karakterisasi melalui dialog (apa yang dikatakan penutur dan
jatidiri penutur berupa tokoh protagonist dan tokoh bawahan; (2) lokasi dan situasi
percakapan; (3) jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur; (4) kualitas mental para
tokoh; (5) nada s)uara, tekanan, dialek dan kosa kata; (6) karakterisasi melalui
tindakan para tokoh (melalui tingkah laku, ekspresi wajah, motivikasi yang
melandasi).
b. Alur
Definisi alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita
(Stanton, 2007 : 26). Stanton melanjutkan bahwa alur biasanya terbatas pada
peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan
peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan
tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.
18
Definisi lain dijabarkan oleh Wallek (2013 : 261), struktur naratif sebuah
drama, dongeng, atau novel secara tradisional disebut ‘alur’ (plot), dan barangkali
istilah ini perlu dipertahankan. Wellek dan Warren (2013 : 262) mengatakan bahwa
alur (atau struktur naratif) itu sendiri terbentuk atas sejumlah struktur naratif yang
lebih kecil (episode, kejadian).
Stanton (2007 : 31-32) mengatakan bahwa dua elemen dasar yang
membangun alur adalah’konflik’ dan ‘klimaks’. Konflik utama selalu bersifat
fundamental, membenturkan ‘sifat-sifat’ dan ‘kekuatan-kekuatan’ tertentu seperti
kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman, atau individualitas
dengan kemauan beradaptasi. Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens
sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang
mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi
tersebut dapat terselesaikan (‘terselesaikan’ bukan ‘ditentukan’).
c. Latar
Definisi latar menurut Stanton (2007 : 35) adalah lingkungan yang melingkupi
sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung. Definisi latar menurut Warren dan Wallek (2013 : 268)
adalah lingkungan, dan lingkungan---terutama interior rumah---dapat dianggap
berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya.
Latar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu dan lataas
social budaya. Maksud dari latar tempat yaitu suatu wilayah dapat berupa lingkungan,
berupa lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik yang dimaksud
19
lingkungan tempat tingggal yang nyata dan dapat dirasakan oleh indra kita, contoh
rumah. Maksud dari lingkungan sosial budaya uang dijelaskan oleh Nurgiyantoro
(2013 : 322) bahwa latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Nurgiyantoro menambahkan (2013 : 325) menambahkan bahwa status
sosial tokoh merupakan salah satu yang perlu diperhitungkan dalam memilih latar
karena perbedaan status sosial menjadi fungsional dalam fisik. Stanton (2007 : 35)
memaparkan bahwa latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan
tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Nurgiyantoro (2013 : 318) menyebutkan
bahwa latar waktu berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-
peristiwayang diceritakan tersebut dalam sebuah karya fiksi.
1.6.1.2 Sarana
Sarana-sarana dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan
menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna (Stanton, 2007 : 46).
Salah satu bagian yang termasuk sarana sastra adalah judul.
Judul relevan terhadap karya yang diampu dan membentuk satu kesatuan
apabila judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu, sehingga
tidak jarang dijumpai bahwa judul memiliki beberapa makna ganda (Stanton,
2007 : 51-52).
1.6.1.3 Tema
20
Definisi tema menurut Stanton (2007 :36) merupakan aspek cerita yang
sejajar dengan ‘makna’ 6dalam pengalaman manusia: sesuatu yang menjadikan suatu
pengalaman begitu diingat. Selama menganalisis, hendaknya berpegang teguh pada
apa yang telah diniatkan sejak awal (menemukan tema yang ‘sesuai’ dengan cerita).
Kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh tema menurut Stanton (2007 : 44-46) :
a. Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail
menonjol dalam sebuah cerita.
b. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita
yang saling berkontradiksi.
c. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti
yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit).
d. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita
bersangkutan.
1.6.2 Kajian Intertekstual Julia Kristeva
Julia Kristeva adalah seorang tokoh semiotika sekaligus seorang tokoh
teoretisi feminis. Julia Kristeva lahir di Bulgaria pada tahun 1941 ini mencapai
reputasi yang istimewa sebagai seorang linguis dan ahli semiotic ketika ia bergabung
dengan kelompok Tel Quel di Paris pada akhir tahun 1960-an dan tahun 1965 ia
berangkat ke Paris untuk menuntut ilmu (Kaelan, 2009 : 221). Kaelan dalam bukunya
yang berjudul Filsafat Bahasa : Semiotika dan Hermeneutika menuliskan bahwa Julia
21
Kristeva aktif mengikuti seminar oleh Roland Barthes di Paris dan terlibat dalam
dunia pemikiran kesastraan.
Van Zoest (Kaelan, 2009 : 222) menyebutkan Kristeva sebagai pencetus
munculnya semiotika ekspansif. Aliran semiotika ekspansif yang dicetuskan oleh
Kristeva menurut Zoest adalah sasaran akhir untuk kelak mengambil alih kedudukan
filsafat dan aliran ini terkadang disebut sebagai ilmu total baru. Aliran ini disebut
sebagai ilmu total baru karena pengertian ‘tanda’ kehilangan tempatnya dan
digantikan oleh produksi arti (Kaelan, 2009 : 222).
Madan Sarup mengungkapkan model umum dari prinsip-prinsip praktik
penandaan Kristeva sebagai berasal dari pemikiran psikoanalisis-struktural jaques
Lacan yang mengintegrasikan analisis Freudian dan semiologi struktural (Kaelan,
2009 : 222). Kaelan menambahkan bahwa konsepsi Kristeva mengenai fungsi-fungsi
semiotic dan simbolik menurut Sarup beroperasi dalam dimensi psikologis, tekstual,
dan kehidupan sosial berdasarkan distingsi Sigmund Freud yang menyeruak di antara
penggerak-penggerak pra-Oedipal dan seksual Oedipal. Semiotika Kristeva menurut
Sarup adalah material kulit telanjang (raw material) dari signifikasi yang bersifat
badaniah dan hal libidinal yang mesti memanfaatkan, sekaligus menyediakan, saluran
kearah regulasi dan kohesi sosial. Sedangkan simbolik Kristeva, dalam pandangan
Sarup, adalah sebuah system yang terodepalisasikan dan diregulasi oleh proses-proses
sekunder di bawah Hukum Sang Ayah (Kaelan, 2009 : 222-223).
Lechte (Kaelan, 2009 : 223) melihat pergulatan Kristeva pada hubungan
antara bahasa dan pentingnya bahasa bagi pembentukan subjek pendorong Kristeva
22
untuk mulai mengembangkan teori semiotika pada tahun 1974 dalam tesis doktornya.
Kristeva dikatakan oleh Lechte bahwa ia membedakan semiotika konvesional dan
simbolis lingkungan representasi, imaji, dan semua bentuk bahasa yang sepenuhnya
terartikulasi. Keduanya berkorespondensi dengan genoteks dan fenoteks.
Pengertian genoteks adalah teks yang mempunyai kemungkinan tek terbatas,
yang menjadi substratum bagi teks-teks aktual. Pengertian fenoteks adalah teks aktual
yang bersumber dari genoteks.
Julia Kristeva mulai dikenal pada akhir tahun 1960-an sebagai seorang
penerjemah karya formalis Rusia, Mikhail Bakhtin. Sejak saat itu Kristeva menjadi
seorang teoretis bahasa dan sastra dengan konsepnya yang khas Kristeva, yaitu
“semanilis’ (Kaelan, 2009 : 228). Semanilis adalah sebuah ‘pendekatan terhadap
bahasa sebagai suatu proses penandaan (signifying process) yang heterogen dan
terletak pada subjek-sbujek yang berbicara (speaking subjects)”. Semanilis mengkaji
strategi-strategi bahasa yang khas di dalam situasi-situasi yang khas, ia merupakan
p]engkajian terhadap bahasa sebagai wacana yang spesifik, bukan sebagai system
(langue) yang berlaku umum.
Pendekatan atau metode yang diciptakan oleh Kristeva selanjutnya dikenal
sebagai metode intertekstual. Metode ini pertamakali diperkenalkan oleh Kristeva
pada tahun 1960-an. Sangidu (2004 : 23) mengartikan metode intertekstual, yaitu
metode yang melacak sambutan melalui teks lain yang menyambut teksnya.
Pengertian intertekstual menurut Harold Bloom yang dipetik Culler (Sangidu, 2004 :
23
25) adalah sebuah teks yang berasal dari hubungan antara “karya baru” dengan karya
pendahulunya. Hal tersebut berarti suatu karya sastra baru dapat mempunyai arti
apabila disejajarkan dengan karya sastra lain yang dapat diinterpretasikan sastra. Hal-
hal yang perlu disejajarkan dapat berupa matriks, model, dan varian-varian. Menurut
Roland Barthes yang di petik oleh Young (Sangidu, 2004 : 25), intertekstual adalah
sebuah teks yang berasal dari hubungan antara “karya baru” dengan karya
pendahulunya. . Hubungan tersebut berupa kata, frasa, kalimat atau masalah yang
terdapat dalam suatu karya.
Menurut Pradopo (1995 : 178), hubungan intertekstual atau hubungan
antarteks karya sastra penting untuk diteliti dalam studi sastra, baik dalam bidang
kritik maupun sejarah sastra. Prinsip intertekstual memandang setiap teks sastra perlu
dibaca dan dipahami dengan latar belakang teks-teks lain. Hal ini sama seperti yang
Julia Kristeva ungkapkan bahwa setiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan,
penyerapan, dan transformasi teks-teks lain. Terdapat prinsip-prinsip yang dapat
digunakan untuk melakukan penelitian intertekstual, prinsip-prinsip tersebut menurut
Napiah (1994 : xxiv-xxv) diantaranya:
(1) Transformasi adalah penjelmaan, pemindahan atau pertukaran suatu teks
ke teks lain yang penerapannya menggunakan dua cara yaitu, formal dan
abstrak.
(2) Haplologi adalah unsur intertekstual berupa pengguguran, pembuangan
atau penghilangan sehingga tidak seluruh isi teks ditampilkan.
24
(3) Ekserp adalah pengambilan intisari dari sebagian episode atau petikan dari
suatu aspek secara sama atau hampir sebagian sama dengan teks yang telah
ada sebelumnya.
(4) Modifikasi adalah penyesuaian atau perubahan suatu teks terhadap teks
yang telah ada sebelumnya.
(5) Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari teks sebelumnya.
1.7 Metode Penelitian
Penulis melakukan metode penelitian dengan cara pengumpulan data
kualitatif berupa studi kepustakaan. Metode tersebut penulis pilih karena merupakan
metode pemilihan teks yang paling dekat serta merupakan metode paling mudah
ditemukan. Pertama-tama penulis menentukan objek yang akan diteliti, setelah objek
penelitian ditentukan penulis kemudian mencari data primer dan data sekunder. Data
primer adalah buku teks novel Sowon (소원) karya So Jaewon dan film Hope (소원)
karya Lee Joon-Ik. Data sekunder yang digunakan adalah buku-buku sumber yang
berisi teori intertekstualisme serta informasi lainnya yang mendukung penelitian.
Salah satu contoh data sekunder yaitu buku teks berjudul Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perpektif Wacana
Naratif karya Nyoman Kutha Ratna.
Metode selanjutnya adalah membaca buku teks novel Sowon (소원) karya So
Jaewon dan menonton film Hope (소원) karya Lee Joon-Ik yang menjadi data primer
25
secara berulang-ulang. Setelah data primer dibaca dan ditonton secara berulang-ulang,
penulis kemudian berusaha menerjemahkannya kedalam Bahasa Indonesia dengan
tujuan untuk mempermudah proses pemahaman.
Data primer setelah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dan dipahami
alur ceritanya, tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data-data bahan
penganalisaan dan menganalisa data yang telah ditemukan dengan menggunakan dua
buah kajian penelitian. Kajian pertama yaitu kajian structural milik Robert Stanton
yang berfungsi untuk mengetahui perbedaan fakta cerita pada kedua data primer
penelitian. Kajian penelitian selanjutnya yaitu kajian intertekstual milik Julia Kristeva,
kajian ini digunakan untuk mengetahui hubungan lima prinsip kajian intertekstual
antara novel dan film yang menjadi data primer penelitian. Kelima prinsip kajian
intertekstual tersebut yaitu ekspansi, transformasi, modifikasi, haplologi dan ekserp.
Langkah terakhir adalah mengerjakan penelitian kemudian menyajikan data hasil
penelitian sesuai dengan sistematika penyajian.
1.8 Sistematika Penyajian
Suatu hasil penelitian baru dapat disimpulkan setelah terdapat langkah kerja
penelitian mengenai suatu objek yang ingin dianalisa. Hasil dari penelitian kemudian
disajikan dalam sistematika penyajian. Laporan sistematika penyajian dalam
penelitian ini terbagi menjadi empat bab. Pembagian pembahasan tiap bab tersebut
terdiri dari:
26
a. Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi (1) latar belakang, (2) rumusan
masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) tinjauan pustaka, (6)
landasan teori, (7) metode penelitian dan (8) sistematika penyajian.
b. Bab II merupakan pembahasan mengenai perubahan struktural meliputi fakta
cerita yang terdapat dalam novel Sowon (소원) dan film Hope (소원)
menggunakan kajian struktural Robert Stanton.
c. Bab III merupakan pembahasan mengenai bentuk-bentuk hubungan prinsip
transformasi, prinsip haplology, prinsip ekserp, prinsip modifikasi dan prinsip
ekspansi yang terdapat dalam novel Sowon (소원) dan film Hope (소원)
menggunakan kajian intertekstual Julia Kristeva.
d. Bab IV merupakan penutup, membahas tentang kesimpulan berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan.