BAB I PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Air bermanfaat bagi kehidupan manusia antara lain untuk kebutuhan
konsumsi, kebutuhan irigasi, pertanian, industri, konsumsi rumah tangga, wisata,
transportasi sungai, dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan air bersih meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Kebutuhan akan air bersih salah
satunya dipenuhi dengan airtanah, oleh sebab itu airtanah sangat dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan akan air bersih. Kelangkaan airtanah di suatu tempat akan
menyadarkan manusia betapa berharganya air yang mungkin tidak dirasakan saat
air tersedia dalam jumlah yang melimpah. Kondisi peresapan air pada suatu lahan
berkaitan erat dengan keberadaan air, terutama airtanah. Permasalahan yang
sering muncul pada umumnya diindikasikan oleh kekeringan atau kesulitan
memperoleh air bersih terutama pada musim kemarau.
Daerah yang perlu dirawat kondisi hidrologinya salah satunya berupa
Daerah Aliran Sungai atau sering disingkat dengan DAS. DAS perlu dijaga karena
terdapat keterkaitan antara aspek-aspek dalam DAS baik bagian hulu, tengah
maupun hilir. Setiap bagian dari DAS memiliki fungsi dan peran masing-masing.
Daerah hulu berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan dan mempunyai fungsi
perlindungan dari keseluruhan DAS, daerah tengah merupakan daerah peralihan
dari hulu ke hilir sedangkan daerah hilir merupakan output sistem DAS dan
menjadi cermin dari fenomena yang terjadi di bagian hulu dan tengah.
Apabila masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub
DAS yang bersangkutan adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir yang
tinggi dan kekeringan maka dipandang perlu untuk dilakukan penilaian tentang
tingkat kekritisan peresapan daerah resapan terhadap air hujan. Paradigma yang
digunakan adalah semakin besar tingkat resapan (infiltrasi) maka semakin kecil
tingkat air larian, sehingga debit banjir dapat menurun dan sebaliknya aliran dasar
(base-flow) dapat naik, demikian pula cadangan airtanahnya (Dephut, 2009).
2
Untuk melestarikan simpanan airtanah, maka tingkat infiltrasi air hujan ke dalam
tanah merupakan faktor yang sangat penting.
Alih fungsi lahan dari lahan yang seharusnya menjadi kawasan lindung
yang dijadikan sebagai kawasan budidaya berupa lahan pertanian maupun
permukiman mempengaruhi peresapan air pada daerah resapan air. Bertambahnya
jumlah penduduk yang diikuti oleh meningkatnya kebutuhan hidup termasuk
papan, secara umum telah mengakibatkan perubahan kondisi peresapan air yang
pada akhirnya menurunkan kemampuan lahan dalam meresapkan air hujan
(infiltrasi) yang berguna sebagai sumber airtanah. Kondisi peresapan air adalah
kemampuan suatu lahan untuk meresapkan air hujan yang berguna sebagai
sumber air (Syahbani, 2001).
Menurut Sayogyo (1982), daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah
yang berfungsi lindung bagi daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke
dalam tanah sebagai suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan
sebagai daerah yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan
sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi
sumber air. Oleh karena itu, upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap
kawasan peresapan air penting bagi kelestarian ekosistem dan menjaga
kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia.
Pengelolaan terhadap kawasan peresapan air dikaitkan dengan suatu
wilayah yang memungkinkan berlangsungnya suatu sistem tata air mulai dari
masuknya air hujan, proses meresapnya air dan keluarnya aliran. Unit wilayah
yang dimaksud adalah daerah aliran sungai. Oleh karena itu, langsung maupun
tidak langsung pengelolaan kawasan peresapan air pada hakekatnya juga
pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia
dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia
di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara
berkelanjutan. (PP No. 37 Tahun 2012). Berdasarkan konsep tersebut diketahui
adanya keterkaitan antar wilayah, artinya dalam suatu DAS kondisi yang ada pada
suatu wilayah akan mempengaruhi kondisi di wilayah lain.
3
DAS Oyo terdiri dari beberapa Sub DAS seperti Oyo Hulu I dan II, Oyo
bagian hilir dan Tengah, Mujung, Urang, Pentung, G. Jompong, Widoro,
Juwet/Ngalang dan Prambutan memiliki kondisi fisik topografi, litologi serta
vegetasi yang sangat kompleks dan sebagian besar hujan yang turun terkumpul
menjadi aliran permukaan sehingga mengakibatkan banjir di pertemuan sungai
Opak-Oyo sampai ke hilirnya. Berdasarkan fungsinya, sebagian penggunaan lahan
yang dimiliki di sekitar Sungai Oyo disarankan menjadi kawasan fungsi lindung.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa ±60% lahan digunakan untuk pertanian
karena sekitar 76% penduduknya hidup dari sektor pertanian (BPDAS, 2003). Hal
ini menunjukkan adanya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan
budidaya yang mana perlu dikaji lebih dalam mengenai dampak yang akan
diakibatkan oleh perubahan fungsi lahan tersebut terhadap daerah resapannya.
Penelitian mengenai kekritisan daerah resapan pada Sub DAS memerlukan
data yang mampu memberikan informasi spasial yang up to date dengan cakupan
yang luas. Citra Landsat 8 merupakan citra resolusi menengah yang cukup up to
date sehingga diharapkan dapat sesuai untuk menyadap parameter penentu
kekrititisan daerah resapan.
Penelitian ini mengambil daerah yang diteliti berupa Sub DAS Oyo yang
memiliki karakteristik wilayah yang sangat kompleks. Perubahan penggunaan
lahan yang ada dapat mempengaruhi kondisi daerah resapan atau tingkat
kekritisan daerah resapannya. Apabila telah diketahui kondisinya maka hasilnya
dapat dijadikan acuan untuk pengelolaan DAS sehingga DAS dalam kondisi baik
dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta meminimalisir fluktuasi aliran
sungai yang bisa berakibat banjir maupun kekeringan.
1.2 Perumusan Masalah
Kondisi daerah resapan dalam suatu DAS sangat mempengaruhi
ketersediaan airtanah maupun kondisi peresapan dari DAS itu sendiri. Kondisi
daerah resapan dapat dinilai dari infiltrasi yang ada baik infiltrasi potensial
maupun infiltrasi aktualnya. Infiltrasi potensial dinilai dari kondisi fisik yang
mana Sub DAS Oyo memiliki kondisi fisik yang sangat kompleks dan sebagian
4
besar air hujan mengalir menjadi aliran permukaan sehingga sering
mengakibatkan banjir di pertemuan sungai Opak-Oyo sampai ke hilirnya.
Penggunaan lahan juga mempengaruhi tingkat infiltrasi di suatu DAS berupa
infiltrasi aktual. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dapat mengakibatkan kondisi
resapan yang kurang baik sehingga penilaian mengenai kondisi resapan di Sub
DAS Oyo perlu dilakukan.
Penelitian mengenai kekritisan daerah resapan pada Sub DAS memerlukan
data yang mampu memberikan informasi spasial yang up to date dengan cakupan
yang luas. Data penginderaan jauh berupa citra resolusi menengah Landsat 8
digunakan untuk menyadap informasi tersebut. Citra Landsat 8 ini digunakan
untuk perolehan parameter seperti penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi
untuk pembuatan model kondisi kekritisan daerah resapan di Sub DAS Oyo.
Pengolahan data dan pembuatan model kekritisan daerah resapan dilakukan
dengan bantuan sistem informasi geografi (SIG) sehingga lebih cepat dan efisien
serta membantu menyelesaikan masalah spasial kondisi peresapan Sub DAS Oyo.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
yang mendasari penelitian ini antara lain:
1. Bagaimanakah peran citra Landsat 8 dapat membantu menyadap parameter
penentu kekrititisan daerah resapan.
2. Bagaimanakah potensi peresapan air di Sub DAS Oyo.
3. Bagaimanakah hubungan pola sebaran keruangan antara infiltrasi Sub DAS
Oyo dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS tersebut.
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui kemampuan citra Landsat 8 dalam menyadap parameter
penentu kekritisan daerah resapan.
2. Memetakan kondisi daerah resapan dalam Sub DAS Oyo.
3. Melihat hubungan antara pola sebaran keruangan infiltrasi Sub DAS Oyo
dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS Oyo.
5
1.4 Manfaat
Diharapkan penelitian tentang pemetaan kondisi kekritisan daerah resapan
ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran bagaimana citra resolusi menengah Landsat 8 dapat
digunakan untuk memetakan kondisi daerah resapan suatu DAS.
2. Memberikan informasi mengenai kekritisan daerah resapan Sub DAS Oyo.
3. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait dalam rangka pengelolaan
DAS.
1.5 Telaah Pustaka
1.5.1 Penginderaan Jauh
Sabins (1996) dalam Kerle, et al. (2004) menjelaskan bahwa penginderaan
jauh adalah ilmu untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasi citra yang
telah direkam yang berasal dari interaksi antara gelombang elektromagnetik
dengan sutau objek. Penginderaan jauh dilakukan tanpa kontak langsung sehingga
diperlukan media supaya objek atau gejala tersebut dapat diamati dan “didekati”
oleh si penafsir. Media ini berupa citra (image atau gambar). Komponen yang ada
pada sistem penginderaan jauh diantaranya yaitu sumber tenaga (aktif dan pasif),
panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, interaksi panjang
gelombang dengan obyek, obyek itu sendiri, atmosfer dan sensor satelit.
Gambar 1.1 Sistem penginderaan jauh (Sutanto 1994)
(Sumber: http://geodesi-engineer.blogspot.com)
6
Setiap obyek di permukaan bumi akan memberikan reaksi yang berbeda-
beda terhadap sumber tenaga dalam salah satu komponen penginderaan jauh. Ada
obyek yang menyerap (absorption), memantulkan (reflection) dan meneruskan
(transmition) tenaga-tenaga tersebut. Sifat-sifat obyek/interaksi terhadap
gelombang elektromagnetik tersebutlah yang ditangkap oleh sensor satelit
penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Hasil dari
interaksi komponen-komponen tersebut berupa citra penginderaan jauh.
Citra dapat diperoleh melalui perekaman fotografis, yaitu pemotretan
dengan kamera, dan dapat juga diperoleh melalui perekaman non-fotografis,
misalnya dengan pemindai atau penyiam (scanner). Perekaman fotografis
menghasilkan foto udara, sedangkan perekaman lain menghasilkan citra non-foto.
Citra foto udara selalu berupa hard copy (barang tercetak) yang diproduksi dan
direproduksi dari master rekaman yang berupa film. Citra non-foto biasanya
terekam secara digital dalam format asli, dan memerlukan komputer untuk
presentasinya. Citra non foto juga dapat (dan perlu) dicetak menjadi hard copy,
untuk keperluan interpretasi secara visual.
Data penginderaan jauh diperoleh dari suatu satelit, pesawat udara balon
udara atau wahana lainnya. Data-data tersebut berasal rekaman sensor yang
memiliki karakteristik berbeda-beda pada masing-masing tingkat ketinggian yang
akhirnya menentukan perbedaan dari data penginderaan jauh yang di hasilkan
(Richards dan Jia, 2006).
Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai
bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat
berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi
elektromagnetik (Purwadhi, 2001).
Pemanfaatan teknik Penginderaan Jauh untuk hidrologi pada dasarnya akan
meringankan pekerjaan, biaya dan tenaga yang dikeluarkan apabila dilakukan
secara terestrial. Namun demikian perlu diperhatikan segala keterbatasan dari citra
satelit sendiri bila digunakan untuk menggali informasi parameter-parameter
hidrologi, baik dalam hal karakteristik citra (misalnya: skala, jenis citra) maupun
dalam hal keterbatasan metodologinya. Oleh karena itu pemanfaatan citra satelit
7
untuk studi hidrologi biasanya menggunakan pendekatan-pendekatan untuk
menjelaskan hubungan antara variabel-variabel lahan yang dapat dikaitkan dengan
proses-proses hidrologi.
1.5.2 Citra Landsat 8
Satelit Landsat 8 merupakan satelit penginderaan jauh milik NASA yang
telah diluncurkan pada hari Senin tanggal 11 Februari 2013. Satelit Landsat 8
dibawa oleh roket Atlas V ini telah diluncurkan dengan sukses dari Vandenberg
Air Force Base di California. Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat
yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 (Landsat 1).
Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite 1
diluncurkan 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978. Generasi
penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 22
Januari 1981. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 berakhir 31 Maret 1983;
Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982, dihentikan 1993. Landsat 5 diluncurkan 1
Maret 1984 masih berfungsi sampai dengan saat ini namun mengalami gangguan
berat sejak November 2011, akibat gangguan ini, pada tanggal 26 Desember 2012,
USGS mengumumkan bahwa Landsat 5 akan dinonaktifkan. Berbeda dengan 5
generasi pendahulunya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal
mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan April 15 Desember 1999,
masih berfungsi walau mengalami kerusakan sejak Mei 2003. Landsat 8 memiliki
kemampuan untuk merekam citra dengan resolusi spasial yang bervariasi, dari 15
meter sampai 100 meter, serta dilengkapi oleh 11 kanal. Dalam satu harinya satelit
ini akan mengumpulkan 400 scenes citra atau 150 kali lebih banyak dari Landsat
7. (Sumber: http://www.geomatika.its.ac.id)
Gambar 1.2 Landsat 8
(Sumber: http://landsat.usgs.gov/about_ldcm.php)
8
Tabel 1.1. Tabel Sensor Satelit pada Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) Spectral Band Wavelength Resolution Band 1 - Coastal/Aerosol 0.433 - 0.453 µm 30 m Band 2 – Blue 0.450 - 0.515 µm 30 m Band 3 – Green 0.525 - 0.600 µm 30 m Band 4 - Near Infrared 0.630 - 0.680 µm 30 m Band 5 - Near Infrared 0.845 - 0.885 µm 30 m Band 6 - Short Wavelength Infrared 1.560 - 1.660 µm 30 m Band 7 - Short Wavelength Infrared 2.100 - 2.300 µm 30 m Band 8 – Pankromatik 0.500 - 0.680 µm 15 m Band 9 – Cirrus 1.360 - 1.390 µm 30 m
Sumber: http://www.geomatika.its.ac.id
Tabel 1.2. Tabel Sensor Satelit pada Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) Thermal InfraRed Sensor
Spectral Band Wavelength Resolution Band 10 - Long Wavelength
Infrared 10.30 - 11.30 µm 100 m
Band 11 - Long Wavelength Infrared
Band 11 - 11.50 - 12.50 µm
100 m
Sumber: http://www.geomatika.its.ac.id
1.5.3 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis atau SIG secara sederhana dapat diartikan
sebagai sistem manual atau digital (dengan menggunakan komputer sebagai alat
pengolahan dan analisis) yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,
mengelola, dan menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan spasial atau
geografis (Projo Danoedoro: 1996). SIG memiliki rujukan spasial (keruangan)
yang dapat berujud lokasi (titik, garis, area), distribusi, serta terintegrasikan
dengan data atribut yang berkaitan dengan tiga unsur penting geografis tersebut
secara keruangan.
SIG muncul sebagai jawaban atas sejumlah keterbatasan peta yang
dihasilkan dengan teknik kartografi manual. Keterbatasan itu meliputi pembuatan,
penyimpanan, pemanfaatan, dan pembaruan/modifikasi peta sesuai dengan
perkembangan dan keperluan yang dikehendaki. Peta konvensional yang
dihasilkan dari proses kartografi manual bersifat statis, sukar untuk diolah
kembali, sukar untuk dipadukan (integrated) antara beberapa peta tematik,
terbatas kapasitas penanganannya, sukar untuk menyimpan dan memanipulasi
9
datanya, usaha untuk memperoleh informasi baru dari peta konvensional yang ada
juga sulit dilakukan apabila data yang akan dipadukan dalam jumlah besar.
Perencanaan pembangunan atau pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan spasial diperlukan analisis data yang bereferensi geografis. Analisis ini
harus didukung oleh sejumlah konsep-konsep ilmiah dan sejumlah data yang
handal. Data/informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
dipecahkan harus dipilih dan diolah melalui pemrosesan yang akurat. SIG
merupakan sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi
secara spasial atau koordinat-koordinat geografi. SIG memiliki kemampuan untuk
melakukan pengolahan data dan melakukan operasi-operasi tertentu dengan
menampilkan dan menganalisa data.
SIG menyediakan sejumlah komponen atau subsistem antara lain:
1. Masukan data (data input)
Subsistem masukan data adalah fasilitas dalam Sistem Informasi Geografi
yang digunakan untuk memasukan data dan merubah data dari bentuk data asli ke
dalam bentuk data yang dapat diterima dan dipakai dalam SIG. Pemasukan data
ke dalam SIG dilakukan dengan 3 cara, yakni:
a. Pelarikan (scanning)
Pelarikan atau penyiaman adalah proses pengubahan data grafis kontinyu
menjadi data diskrit yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar (pixel). Data
hasil penyiaman disimpan dalam bentuk raster. Data raster ini dapat diubah
menjadi data vektor melalui proses digitasi.
b. Digitasi
Digitasi adalah proses pengubahan data grafis analog menjadi data grafis
digital, dalam struktur vektor. Pada struktur vektor ini data disimpan dalam
bentuk titik (point), garis (lines) atau segmen, data poligon (area) secara
matematis-geometris (Lo, 1986). Contoh tipe data titik adalah kota,
lapangan terbang, pasar. Tipe data garis diantaranya adalah sungai, jalan,
kontur topografik. Tipe data poligon/area antara lain ditunjukkan oleh
bentuk-bentuk penggunaan lahan, klasifikasi tanah, daerah aliran sungai.
Tipe data ini bergantung pada skalanya.
10
c. Tabulasi
Basis data dalam SIG dikelompokkan menjadi dua, yakni basis data grafis
dan basis data non-grafis (atribut). Data grafis adalah peta itu sendiri,
sedangkan data atribut adalah semua informasi non-grafis, seperti derajat
kemiringan lereng, jenis tanah, dan lain-lain. Data atribut ini disimpan
dalam bentuk tabel, sehingga sering disebut basis data tabuler. Data tabel ini
kemudian dikaitkan dengan data grafis untuk keperluan analisis.
2. Pengelolaan data
Pengelolaan data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan,
penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari input data.
Beberapa langkah penting lainnya, seperti pengorganisasian data, perbaikan,
pengurangan, dan penambahan dilakukan pada subsistem ini.
3. Manipulasi dan Analisis data
Fungsi subsistem ini adalah untuk membedakan data yang akan diproses
dalam SIG. Untuk merubah format data, mendapatkan parameter dan proses
dalam pengelolaan dapat dilakukan pada subsistem ini. Beberapa fasilitas yang
biasa terdapat dalam paket SIG untuk manipulasi dan analisis, meliputi empat
unsur, yakni: fasilitas penyuntingan, interpolasi spasial, tumpang susun, modeling,
dan analisis data (Danoedoro, 1996).
Fasilitas yang terdapat pada Sistem Informasi Geografi antara lain:
a. Penyuntingan
Sebenarnya, sebagian fungsi penyuntingan telah dilakukan dalam subsistem
manajemen data (khususnya data spasial), tetapi ada yang belum dikerjakan
secara detail, yakni pemutakhiran (up dating) data. Sebagai contoh antara lain,
peta pola persebaran pemukiman untuk tahun terbaru tidak perlu digitasi ulang,
tetapi cukup diperbaharui dengan menambah data baru.
b. Interpolasi spasial
Interpolasi spasial merupakan jenis fasilitas SIG yang rumit, bahkan dapat
dikatakan bahwa langkah ini tidak dapat dilakukan secara manual. Setiap titik
pada koordinat tertentu dalam peta memuat sejumlah informasi koordinat dan
nilai-nilai tertentu suatu variabel yang dikehendaki. Misal, pemasukan data
11
berupa posisi koordinat dan kemiringan lereng, dapat diinterpolasi. Hasil dari
proses interpolasi tersebut adalah peta kontinyu dimana setiap titik pada peta
digital tersebut menyajikan informasi berupa nilai riil.
c. Tumpang susun (overlay)
Tumpang susun ini sebenarnya merupakan langkah di dalam SIG yang
dapat dilakukan secara manual, tetapi cara manual terbatas kemampuannya. Bila
peta yang akan ditumpangsusunkan lebih dari 4 lembar peta tematik, maka kan
terjadi kerumitan besar dan sukar dirunut kembali dalam menyajikan satuan-
satuan pemetaan baru (Danoedoro, 1996). Software SIG yang berbasis raster
dapat melakukan proses tumpang susun secara lebih cepat daripada software
SIG berbasis vektor. Proses tumpang susun lebih cepat pada SIG berbasis raster
karena proses ini dilakukan antar pixel dari masing-masing input data peta pada
koordinat yang sama, tidak harus merumuskan lagi topologi baru untuk satuan
pemetaan baru yang dihasilkan dari proses ini sebagaimana yang terjadi pada
SIG berbasis vektor.
d. Pembuatan Model dan Analisis data
Bila input data telah masuk dan tersusun dalam bentuk basis data, maka
proses pembuatan model (modeling) dan analisis data menjadi efisien, dapat
dilakukan kapan saja dan dapat dipadukan dengan input peta baru. Bagian inilah
terletak manfaat SIG yang besar, yakni ketika seluruh data telah tersedia dalam
bentuk digital.
4. Keluaran data (data output)
Subsistem ini berfungsi untuk menayangkan (displaying) informasi baru dan
hasil analisis data geografis secara kuantitatif maupun kualitatif. Wujud keluaran
ini berupa peta, tabel atau arsip elektronik (file). Keluaran data ini tidak hanya
ditayangkan pada monitor, tetapi selanjutnya perlu disajikan dalam bentuk
cetakan (hardcopy), dengan maksud agar dapat dibaca, dianalisis, dan diketahui
persebarannya secara visual (data peta).
Peta adalah bentuk sajian informasi spasial mengenai permukaan bumi yang
dipergunakan dalam pembuatan keputusan. Suatu peta harus dapat menampilkan
informasi secara jelas, mengandung ketelitian yang tinggi, walaupun tidak
12
dihindari harus bersifat selektif, dengan mengalami pengolahan, biasanya terlebih
dahulu ditambah dengan ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan
langsung oleh pengguna.
Manfaat Sistem Informasi Geografis (SIG) antara lain:
a. Memudahkan dalam melihat fenomena kebumian dengan perspektif lebih
baik.
b. Mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data
spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit,
foto udara, peta bahkan data statistik.
c. Mampu memproses data dengan cepat dan akurat dan menampilkannya.
d. Menyongsong pembangunan di masa mendatang yang semakin lama akan
semakin penting. Informasi yang dihasilkan SIG merupakan informasi
keruangan dan kewilayahan untuk inventarisasi data keruangan yang
berkaitan dengan sumber daya alam.
1.5.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan ruang di mana sumberdaya alam,
terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia
dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebagai wilayah, DAS juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air.
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan tertentu yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
di daratan (Pasal 1 ayat 11 UU Nomor 7 Tahun 2004). Dengan demikian, DAS
merupakan satuan wilayah alami yang memberikan manfaat produksi serta
memberikan pasokan air melalui sungai, tanah, dan atau mata air, untuk
memenuhi berbagai kepentingan hidup, baik untuk manusia, flora maupun fauna.
Untuk memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan perlu disusun sistem
perencanaan pengelolaan DAS bersifat dinamis karena dinamika proses yang
13
terjadi di dalam DAS, baik proses alam, politik, sosial ekonomi kelembagaan,
maupun teknologi yang terus berkembang.
Sub Daerah Aliran Sungai adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan
mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis
dalam Sub DAS-Sub DAS. DAS mempunyai suatu keterkaitan antara faktor
biotik, abiotik dan budaya serta interaksi yang saling berpengaruh dari DAS
bagian hulu, tengah dan hilir. Faktor biotik merupakan makhluk hidup yang
menempati ruang DAS, faktor abiotik merupakan permukaan lahan DAS tersebut
sedangkan budaya adalah sifat dan perilaku masyarakat dan perilaku masyarakat
terhadap kawasan DAS.
Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan
vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan
DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir,
erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada
musim kemarau (Dephut, 2008).
1.5.5 Infiltrasi
Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah. Infiltrasi
termasuk dalam gerak air dalam tanah dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan
gaya kapiler. Gaya kapiler mendorong air untuk bergerak ke segala arah
sementara gaya gravitasi mendorong air untuk bergerak mengalir dari tempat yang
tinggi menuju tempat yang rendah.
Laju infiltrasi (infiltration rate) adalah kecepatan infiltrasi nyata yang
berubah-ubah sesuai dengan variasi intensitas curah hujan dan kapasitas infiltrasi
adalah kecepatan infiltrasi maksimum yang tergantung dari sifat permukaan tanah.
Nilai laju infiltrasi (f) dapat kurang atau sama dengan kapasitas infiltrasi (fp).
Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah
dalam menyerap kelembaban tanah. Sedangkan jika intensitas hujan lebih kecil
dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan (Asdak,
2001).
14
Secara singkat, Seyhan (1990) dalam Asdak, 2001 menyebutkan faktor yang
mempengaruhi infiltrasi adalah :
a. Karakteristik hujan
Hal ini menyangkut intensitas hujan yang terjadi pada suatu tempat. Apabila
intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi tanah, maka infiltrasi
akan terus melaju sama dengan laju curah hujan.
b. Kondisi permukaan tanah
Kondisi tersebut terkait material permukaan ataupun topografinya. Pada
permukaan tanah yang memiliki material halus akan terjadi pencucian
partikel halus oleh air sehingga menyumbat pori permukaan tanah dan
menurunkan laju infiltrasi. Kemiringan tanah juga mempengaruhi karena
pada kondisi yang miring, air memiliki kemungkinan meresap lebih kecil
dibanding kondisi yang landai, bergelombang hingga datar. Selain itu
penggolongan tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi antara lain dengan
terasering atau pembajakan kontur dan yang menurunkan laju infiltrasi
adalah dengan pengolahan permukaan vegetasi. Hal tersebut dikarenakan
kenaikan atau penurunan cadangan permukaan.
c. Kondisi penutup permukaan
Penutup permukaan berupa vegetasi dapat menghambat aliran permukaan
dan melindungi tanah dari dampak tetesan hujan. Sedangkan dengan
mengubah penutup permukaan menjadi bangunan atau jalan akan
mengurangi kapasitas infiltrasi.
d. Transmibilitas tanah
Beberapa sifat tanah seperti struktur tanah, kemantapan struktural, faktor
biotik dan sifat penampang tanah merupakan faktor yang mempengaruhi
pori yang besar dan transmibilitas tanah. Infiltrasi berbanding terbalik
dengan kadar lengas tanah, hal ini terjadi dengan berbagai cara, diantaranya
adalah kandungan air yang meningkat mengisi ruang pori dan mengurangi
kapasitas tanah untuk infiltrasi air selanjutnya. Apabila hujan membasahi
permukaan suatu tanah yang kering maka gaya kapiler akan menarik air
dengan laju yang lebih tinggi dibanding laju oleh gaya gravitasi, dan
15
meningkatnya airtanah menyebabkan pengembangan koloid dan
mengurangi ruang pori.
e. Karakteristik air yang berinfiltrasi
Karakteristik air tesebut antara lain suhu air dan kualitas air. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pada bulan-bulan musim panas laju infiltrasi
lebih tinggi, namun hal ini tentu disebabkan juga oleh faktor lain, bukan
hanya karena faktor suhu air. Kualitas air berhubungan dengan kekeruhan,
pada air yang mengandung partikel debu halus saat infiltrasi akan
menyumbat ruang pori yang lebih halus dalam tanah sehingga akan
mengurangi laju infiltrasi.
1.5.6 Daerah resapan
Menurut Sayogyo (1982), daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah
yang berfungsi lindung bagi daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke
dalam tanah sebagai suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan
sebagai daerah yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan
sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi
sumber air. Oleh karena itu, upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap
kawasan peresapan air penting bagi kelestarian ekosistem dan menjaga
kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia.
Pada umumnya pengelolaan terhadap kawasan peresapan air dikaitkan
dengan suatu wilayah yang memungkinkan berlangsungnya suatu sistem tata air
mulai dari masuknya air hujan, proses meresapnya air dan keluarnya aliran. Unit
wilayah yang dimaksud adalah Daerah Aliran Sungai. Oleh karena itu, baik
langsung maupun tidak langsung pengelolaan kawasan peresapan air pada
hakekatnya juga pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Menurut Sautterland (1972), pengelolaan DAS adalah pengelolaan terhadap
seluruh sumberdaya alam dari suatu DAS untuk melindungi, memelihara dan
memperbaiki hasil air. Sedangkan menurut Brooks et al (1991), memberikan
definisi lebih detail yaitu proses mengarahkan dan mengorganisir lahan dan
penggunaan sumberdaya lainnya untuk memberikan barang-barang dan jasa yang
16
diinginkan tanpa menyalahi kondisi sumberdaya tanah dan air. Pengelolaan DAS
adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya
alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud
kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan
sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. (PP No. 37 Tahun 2012).
Berdasarkan konsep tersebut diketahui adanya keterkaitan antar wilayah, artinya
dalam suatu DAS kondisi yang ada pada suatu wilayah akan mempengaruhi
kondisi di wilayah lain.
1.6 Penelitian Sebelumnya
Dulbahri (1992) melakukan penelitian tentang pemanfaatan foto udara
inframerah berwarna untuk kajian agihan dan pemetaan airtanah di Daerah
Pengaliran Sungai Progo. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan unit
geohidrologi airtanah melalui teknik penginderaan jauh, mengevaluasi
kemampuan teknik penginderaan jauh untuk menentukan unit geohidrologi
termasuk mata air dan melakukan pemetaan potensi keberadaan dan agihan
sumberdaya airtanah di Daerah Pengaliran Sungai Progo. Metode yang digunakan
berupa interpretasi foto udara inframerah berwarna skala 1:30.000 dan cek
lapangan. Penelitian ini menghasilkan peta keberadaan dan agihan airtanah dan
deskripsi unit daerah airtanah.
Syahbani (2003) melakukan penelitian tentang penggunaan teknik
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk penilaian kondisi resapan
Sub DAS Garang, Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teknik
penginderaan jauh untuk memperoleh data karakteristik fisik DAS dan
memetakan kondisi resapan Sub DAS Garang. Metode yang digunakan berupa
interpretasi foto udara pankromatik skala 1:30.000 dan overlay parameter fisik
lahan. Penelitian ini menghasilkan peta kondisi resapan Sub DAS Garang skala
1:25.000. Karakteristik fisik yang digunakan berupa tekstur tanah, curah hujan,
kemiringan lereng dan penggunaan lahan yang diberi skor tertentu berdasarkan
pengaruhnya terhadap infiltrasi.
17
Sigit (2010) melakukan penelitian tentang kajian foto udara dan sistem
informasi geografis untuk pemetaan kondisi peresapan air Sub DAS Wedi
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketelitian
interpretasi foto udara dan mengetahui sebaran potensi peresapan air di daerah
penelitian serta menganalisis sebaran tersebut secara keruangan. Metode yang
digunakan berupa interpretasi foto udara pankromatik hitam putih tahun 1991
skala 1:50.000, survey terbatas untuk uji lapangan dan tumpangsusun peta
parameter. Penelitian ini merupakan penelitian yang sama dengan Syahbani
dimana dalam penelitian ini terdapat tambahan parameter berupa jenis batuan,
vegetasi, dan pengelolaan lahan. Penelitian ini menghasilkan peta kondisi
peresapan air skala 1:50.000.
Lestari (2011) melakukan penelitian tentang pemanfaatan citra ASTER dan
Sistem Informasi Geografis untuk pemetaan lokasi potensial dan distribusi spasial
daerah resapan (recharge area), kasus di antara Sungai Winongo dan Sungai
Gadjah Wong Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan
citra ASTER untuk menyadap parameter yang digunakan, memetakan daerah
potensial dan distribusi spasial daerah resapan air dan mengkaji kesesuaian antara
laju resapan tahunan dengan potensi daerah resapan airtanah. Metode yang
digunakan berupa interpretasi citra ASTER, skoring, dan perhitungan nilai laju
resapan dengan sistem informasi geografis. Penelitian ini menghasilkan informasi
potensi laju resapan tahunan di daerah penelitian, peta daerah potensial dan
distribusi spasial daerah resapan serta peta kesesuaian daerah resapan yang mana
kelas kesesuaian tidak sesuai paling luas yaitu seluas 48.26% dari total daerah
penelitian.
18
Tabel 1.3 Tabel perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian penulis Peneliti (tahun)
Daerah Tujuan Data yang digunakan
Metode Hasil
Dulbahri (1992)
Daerah Pengaliran Sungai Progo
- Menentukan unit geohidrologi airtanah melalui teknik penginderaan jauh
- Mengevaluasi kemampuan teknik penginderaan jauh untuk menentukan unit geohidrologi termasuk mata air
- Melakukan pemetaan potensi keberadaan dan agihan sumberdaya airtanah
Foto udara inframerah berwarna skala 1:30.000
Interpretasi foto udara dan cek lapangan
Peta keberadaan dan agihan airtanah dan deskripsi unit daerah airtanah
Twosan Syahbani (2003)
Sub DAS Garang, Semarang
- Menerapkan teknik penginderaan jauh untuk memperoleh data karakteristik fisik DAS
- Memetakan kondisi resapan Sub DAS Garang
Foto udara pankromatik skala 1:30.000
Interpretasi foto udara (penggunaan lahan) dan overlay parameter fisik lahan (tanah, curah hujan dan kemiringan lereng)
Peta kondisi resapan Sub DAS Garang skala 1:25.000
Agus Anggoro Sigit (2010)
Sub DAS Wedi, Klaten, Jawa Tengah
- Menguji ketelitian interpretasi foto udara - Mengetahui sebaran potensi peresapan air - Menganalisis sebaran tersebut secara
keruangan
Foto udara pankromatik hitam putih tahun 1991 skala 1:50.000
Interpretasi foto udara, survey terbatas dan tumpangsusun peta parameter (sama halnya dengan Syahbani, ditambah dengan konservasi lahan, kerapatan vegetasi dan jenis batuan)
Peta kondisi peresapan air skala 1:50.000
Rizki Puji Lestari (2011)
Kasus di antara Sungai Winongo dan Sungai Gadjah Wong, Yogyakarta
- Mengetahui kemampuan citra ASTER untuk menyadap parameter yang digunakan
- Memetakan daerah potensial dan distribusi spasial daerah resapan air
- Mengkaji kesesuaian antara laju resapan tahunan dengan potensi daerah resapan
Citra ASTER Interpretasi citra ASTER, skoring, dan perhitungan nilai laju resapan dengan sistem informasi geografis
Informasi potensi laju resapan tahunan di daerah penelitian, peta daerah potensial dan distribusi
19
airtanah spasial daerah resapan serta peta kesesuaian daerah resapan
Annisa Kusuma Pradana (2013)
Sub DAS Oyo - Mengetahui kemampuan citra Landsat 8 untuk menyadap parameter penentu kekritisan daerah resapan
- Memetakan kondisi daerah resapan - Melihat hubungan antara pola sebaran
keruangan antara infiltrasi dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS Oyo.
Landsat 8 tahun 2013, data sekunder
Interpretasi citra Landsat 8, cek lapangan, overlay parameter pendukung (parameter fisik dan aktual)
Peta kondisi peresapan Sub DAS Oyo skala 1:175.000
20
1.7 Kerangka Pemikiran
Kondisi peresapan suatu daerah ditentukan oleh proses peresapan air hujan
ke dalam tanah. Proses peresapan ini merupakan proses pembaruan cadangan air
tanah melalui proses infiltrasi bersumber dari air hujan. Tidak semua tempat di
permukaan bumi memiliki kondisi peresapan yang baik, begitu pula dengan
Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS dapat dikategorikan ke dalam DAS yang
memiliki kondisi baik maupun DAS dengan kondisi tidak baik. DAS dengan
kondisi yang baik akan menjalankan fungsi DAS sebagaimana mestinya. Akan
tetapi, kondisi DAS yang tidak baik akan menimbulkan berbagai permasalahan.
Kondisi DAS yang tidak baik dapat disebabkan adanya bencana maupun berkaitan
dengan daerah resapan yang tidak berfungsi dengan baik. Daerah resapan ini
berkaitan dengan infiltrasi yang mana dipengaruhi oleh faktor-faktor alam
maupun adanya aktivitas manusia. Proses infiltrasi berperan penting dalam
pengisian kembali lengas tanah dan airtanah. Tingkat kekritisan atau kondisi
daerah resapan ditentukan oleh faktor-faktor antara lain kemiringan lereng,
batuan, jenis tanah, vegetasi, curah hujan, penggunaan lahan dan konservasi.
Faktor-faktor ini memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap proses infiltrasi
yang ada.
Kemiringan lereng memiliki pengaruh terhadap peresapan air karena
semakin curam suatu lereng maka peresapan akan semakin kecil karena air akan
lebih berpotensi menjadi limpasan/aliran permukaan. Sedangkan semakin datar
topografinya maka infiltrasi yang terjadi akan semakin besar karena air hujan akan
lebih mudah meresap ke dalam tanah. Hal tersebut terjadi layaknya pengaruh
gravitasi dan sifat air yang mana air mengalir dari tempat yang tinggi menuju
tempat yang lebih rendah.
Batuan dan jenis tanah yang ada mempengaruhi tingkat infiltrasi karena
berhubungan dengan permeabilitas (kemampuan tanah meloloskan air dalam
keadaan jenuh) yang terjadi. Permeabilitas menentukan koefisien resapan yang
ada. Semakin besar permeabilitas maka infiltrasi akan semakin besar. Permukaan
tanah yang memiliki material halus akan terjadi pencucian partikel halus oleh air
sehingga menyumbat pori permukaan tanah dan menurunkan laju infiltrasi.
21
Sedangkan untuk permukaan tanah yang memiliki material yang kasar seperti
pasir yang mana ukuran porinya besar cenderung mudah meloloskan air sehingga
potensi infiltrasinya besar.
Curah hujan merupakan kontibutor utama sebagai masukan air tanah.
Infiltrasi akan lebih besar jika curah hujan semakin besar karena air yang masuk
lebih banyak. Apabila intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi tanah,
maka infiltrasi akan terus melaju sama dengan laju curah hujan.
Konservasi lahan dalam hal ini lebih ditekankan pada ada atau tidaknya
teras dan kondisi terasnya. Adanya teras akan mempengaruhi besarnya infiltrasi
karena teras sendiri berfungsi untuk menahan laju air hujan yang dapat pula
mengakibatkan erosi. Apabila terdapat teras, maka air hujan yang masuk
cenderung tertahan dan terinfiltrasi ke dalam tanah sedangkan jika tidak terdapat
teras maka air hujan cenderung menjadi air larian terutama di daerah yang
topografinya bergelombang hingga curam apabila tidak ada teras atau konservasi
lahannya maka air hujan sangat mudah menjadi limpasan.
Vegetasi berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk yaitu: perakaran
dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan run off dan
vegetasi mengurangi jumlah air perkolasi melalui transpirasi. Vegetasi dalam hal
ini cenderung memperbesar nilai infiltrasi. Vegetasi yang rapat akan mempercepat
proses infiltrasi dibandingkan vegetasi yang lebih jarang karena air akan diserap
oleh akar-akar tanaman.
Penggunaan lahan merupakan aspek di bawah pengaruh kegiatan manusia,
yang mempunyai implikasi yang berbeda pada infiltrasi. Jika aspek alami seperti
faktor-faktor yang telah disebutkan mencerminkan kondisi potensial, maka aspek
penggunaan lahan mencerminkan kondisi aktual. Penggunaan lahan yang ada
mempengaruhi besarnya infiltrasi. Penggunaan lahan yang lahannya tertutup
vegetasi cenderung memiliki infiltrasi yang lebih besar dan melindungi tanah dari
dampak tetesan hujan dibandingkan dengan penggunaan lahan sebagai
permukiman di mana air hujan akan lebih berpotensi menjadi limpasan. Dengan
menumpang-tindihkan faktor-faktor tersebut yang telah diubah menjadi nilai
tingkat infiltrasi baik aspek alami maupun aspek aktual, maka dapat dibuat peta
22
hasil overlaynya sehingga daerah mana yang rawan atau kritis kondisi resapannya
dan daerah mana yang tidak kritis kondisi resapannya dapat teridentifikasi.
Demikian pula dengan menggunakan matriksnya, maka faktor penyebabnya juga
dapat dievaluasi.
Gambar 1.2. Diagram alir kerangka pemikiran
1.8 Batasan Istilah
Daerah Aliran Sungai
Adalah suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau
atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas di daratan (Pasal 1 ayat 11 UU Nomor 7 Tahun 2004).
23
Sub Daerah Aliran Sungai
Adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui
anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis dalam Sub DAS-
Sub DAS.
Infiltrasi
Merupakan proses masuknya air ke dalam tanah. Infiltrasi termasuk dalam
gerak air dalam tanah dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler.
(Asdak, 2001).
Daerah resapan
Daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah yang berfungsi lindung bagi
daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah sebagai
suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan sebagai daerah
yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga
merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber
air. (Sayogyo, 1982)
Kondisi Peresapan Air
Adalah kondisi kemampuan suatu lahan untuk meresapkan air hujan
sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi
sumber air.