I. PENDAHULUAN - dlhk.bantenprov.go.id filepemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah...
Transcript of I. PENDAHULUAN - dlhk.bantenprov.go.id filepemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah...
PPEENNGGEEMMBBAANNGGAANN TTEEKKNNOOLLOOGGII PPAARRTTIISSIIPPAATTIIFF
“Teknologi partisipatif adalah bagian dari proses penerapan inovasi teknologi ke lingkungan social”
I. PENDAHULUAN: a. Latar Belakang
Negara-negara yang sedang berkembang memerlukan begitu banyak
hal untuk mendukung perkembangan negara mereka. Negara-negara tersebut
saling meningkatkan berbagai kemampuan mereka dalam segala aspek
kehidupan masyarakat seperti pada aspek pertanian serta industri. Kemudian,
selain itu mereka juga mengadakan investasi dalam aspek kesehatan
masyarakat begitu pula dalam aspek pendidikan. Pengangkutan atau aspek
transportasi-pun juga diperlukan, dan juga cara-cara komunikasi yang baru.
Dan saat ini, segala aspek kehidupan tersebut telah mampu berkembang
dengan pesatnya, perkembangan tersebut beriringan pula dengan
perkembangan masyarakat dari masyarakat yang tradisional menjadi
masyarakat modern, kemudian secara otomatis perkembangan tersebut
menuntut masyarakat menuju kearah globalisasi.
Pengembangan riset dan teknologi (ristek) berkaitan dengan dinamika
politik (politics), kebijaksanaan pembangunan dari pemerintah (policy), dan
partisipasi masyarakat (Ranciere, 1999, Cordova,D., 2014).Dengan
pengertian, bahwa ristek berkait dengan politik sebagai ruang penentu pilihan
berbagai kebijakan yang menentukan jalan perubahan sosial berencana.
Sedangkan, kebijakan sendiri ditentukan oleh partisipasi masyarakat, karena
proses tersebut menjadi alat pembebasan dan penguatan ketahanan politik itu
sendiri.
Ristek dapat menjadi penentu perkembangan politik, kebijakan dan
partisipasi masyarakat, tetapi dapat juga sebaliknya. Dalam arti,
perkembangan politik yang diikuti oleh berbagai kebijakan dan partisipasi
masyarakat menjadi penentu pengembangan ristek. Dengan demikian,
sepandangan dengan Jansen dan Vellema (2011), bahwa teknologi sepatutnya
bukan hanya dimaknai sebagai penelitian dan pengembangan dalam
kerangka“teknologi keras”, tetapi juga termasuk hasil dari pengembangan
pemikiran-pemikiran politik, penelitian kebijakan, dan pengembangan
teknologi untuk penguatan partisipasi masyarakat.
Politik dan kebijakan pembangunan nasional pada masa depan
menunjukkan kembali mengutamakan perhatian kebijakan yang bersifat
kerakyatan. Salah satu indikasinya adalah penguatan masyarakat perkotaan
dan desa sebagai unit administrasi pemerintahan terdepan dan kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan berbasis masyarakat.
Perhatian tersebut jelas memberi arah dan ranah bagi kebijakan
pengembangan ristek.
Salah satu kegiatan pengembangan teknologi partisipatif melalui
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan bentuk
kebijakan dengan semakin bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat serta
aktivitas lainnya adalah bertambahnya pula sampah yang dihasilkan. Sampah
yang ditimbulkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat yang lebih dikenal
sebagai limbah domestik telah menjadi permasalahan lingkungan yang harus
ditangani oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri.Limbah domestik
tersebut, baik itu limbah cair maupun limbah padat menjadi permasalahan
lingkungan karena secara kuantitas maupun tingkat bahayanya mengganggu
kesehatan manusia, mencemari lingkungan, dan mengganggu kehidupan
makhluk hidup lainnya.
b. Masalah
Paradigma baru menghendaki bahwa paket teknologi yang dihasilkan
oleh lembaga penelitian merupakan respon lembaga tersebut terhadap
kebutuhan masyarakat terhadap teknologi tertentu. Dengan demikian paket
teknologi baru seharusnya merupakan teknologi hasil mengembangkan
teknologi partisipatif peranan pengetahuan asli tidak dapat diabaikan. Melihat
pentingnya peranan masyarakat dalam pelaksanaan penelitian/pengkajian, agar
paket teknologi yang dikembangkan oleh lembaga – lembaga penelitian dapat
direspon oleh masyarakat pengguna maka perlu adanya tahapan awal, yaitu
identifikasi teknologi yang dibutuhkan oleh calon pengguna teknologi. Tahap
ini dilanjutkan dengan perencanaan program, pelaksanaan dan monitoring
evaluasi. Tahapan ini harus secara konsisten diikuti agar teknologi yang
dihasilkan benar-benar teknologi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan
demikian proses adopsi masyarakat terhadap teknologi yang dihasilkan dapat
diharapkan berjalan dengan lancar dan cepat. Sebaliknya teknologi yang tidak
melibatkan masyarakat sebagai pelaku, cepat atau lambat akan ditinggalkan.
Banyak bukti menunjukkan beberapa teknologi yang disodorkan kepada
masyarakat hilang tidak berbekas, karena tidak mempertimbangkan/
memperhatikan faktor- faktor penting seperti; tingkat komunitas, sosial
budaya, ekonomi dan keuntungan relatif.
Salah satu contoh permasalahan yang bersumber dari bertambahnya
tingkat konsumsi masyarakat serta aktivitas lainnya maka terjadi timbulan
sampah yang dihasilkan. Sampah yang ditimbulkan dari aktivitas dan
konsumsi masyarakat yang lebih dikenal dengan limbah domestik telah
menjadi permasalahan lingkungan yang harus ditangani oleh pemerintah dan
masyarakat itu sendiri. Limbah domesti tersebut, baik limbah cair maupun
limbah padat menjadi permasalahan lingkungan karena secara kuantitas
maupun tingkat bahanya mengganggu kesehatan manusia, mencemari
lingkungan dan mengganggu kehidupan makhluk hidup lainnya.
c. Tujuan
1. Memahami konsep pengembangan teknologi
2. Memahami proses partisipasi masyarakat dalam pengembangan teknologi
3. Memahami metode – metode partisipatif masyarakat
4. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengembangan
teknologi
5. Mengetahui penerapan teknologi tepat guna
d. Metoda
Jenis Metoda yang digunakan adalah deskriptif dengan metode
kualitatif, dengan dasar penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data
dengan teknik observasi, yaitu pengumpulan data dengan melalui studi
kepustakaan, dokumen dan hasil-hasil penelitian serta melalui lembaga-
lembaga terkait dengan masalah yang diteliti dan mengadakan pengamatan
langsung objek yang diteliti dengan menggunakan teknik wawancara. Dari
hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
dalam program pengelolaan sampah ini belum berjalan secara maksimal. Hal
ini terlihat dari kurangnya keaktifan yang mereka tunjukkan baik itu pada
proses pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, pemanfaatan kegiatan,
hingga evaluasi kegiatan. Adapun untuk pemanfaatan kegiatan maka sudah
pasti masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan program ini seperti
sebagaimana seharusnya, dan pada tahap akhir yaitu evaluasi kegiatan
merupakan saat dimana pemerintah dan masyarakat saling bertukar pikiran
untuk menilai perkembangan program yang sedang dilaksanakan dan
membantu menemukan teknologi dan program-program lain yang dibutuhkan
masyarakat.
II. Tinjauan Teori
Kata teknologi secara harfiah berasal dari bahasa latin’’texere’’yang
berarti menyusun atau membangun. Sehingga istilah teknologi seharusnya
tidak terbatas pada penggunaan mesin, meskipun dalam arti sempit hal
tersebut sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Roger (1983)
teknologi adalah suatu rancangan (desain) untuk alat bantu tindakan yang
mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab akibat dalam mencapai
suatu hal yang diinginkan. Jacques Ellul (1967) mengartikan teknologi sebagai
keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi
dalam setiap kegiatan manusia.
Teknologi adalah suatu tubuh dari ilmu pengetahuan dan rekayasa
(Engineering) yang dapat diaplikasikan pada perancangan produk dan atau
proses atau pada penelitian untuk mendapatkan pengetahuan baru. Kemajuan
teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini,
karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuanm ilmu
pengetahuan. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif
bagi kehidupan manusia. Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara
baru dalam melakukan aktifitas manusia. Khusus dalam bidang teknologi
masyarakat sudah menikmati banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-
inovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini. Namun demikian,
walaupun pada awalnya diciptakanuntuk menghasilkan manfaat positif, di sisi
lain juga juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif.
Keikutsertaan rakyat dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijakan,
mulai dari perumusan, pelaksanaan sampai pada penilaian kebijakan. Di
banyak negara berkembang, peran serta masyarakat dalam proses kebijakan
pemerintah hanya bersifat pasif atau reaktif saja. Artinya, keikutsertaan
mereka hanya sebagai akibat dari kebijakan pemerintah. Namun, bersamaan
dengan perkembangan dan kemajuan, masyarakat menjadi lebih aktif, dalam
arti terdapat inisiatif untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sebagai
contoh, dapat dilihat pada setiap kali ada pengumuman kebijakan pemerintah,
baik di bidang ekonomi maupun politik, selalu ada tanggapan dari masyarakat.
Tanggapan itu tergantung pada persepsi dan kepentingan masing-masing.
Tanggapan ini biasanya berlanjut menjadi reaksi yang tidak sama dalam
rangka memanfaatkan dampak positif ataupun menghindarkan dan
memperkecil akibat negatif dari suatu kebijakan. Sikap masyarakat atas
kebijakan pemerintah ini dapat disebut sebagai partisipasi atau peran serta
Masyarakat dalam politik.
Masyarakat dan desa ke depan juga tidak semata-mata menghadapi
persoalan ekonomi dan sosial. Kondisi lingkungan dan sumberdaya mereka
atau sekitar tempat mereka tinggal telah berubah. Bahkan, akibat berbagai
perubahan dan pengerusakan sumberdaya alam seperti kerusakan hutan,
pencemaran, pertambangan tidak ramah lingkungan memunculkan dampak
negatif berupa bencana. Belum lagi, letak geografis Indonesia memang
termasuk kategori rawan bencana. Kondisi ini menjadi ancaman
kelangsungan hidup masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di pedesaan.
Dalam rentang 2009-2011 diketahui kerentanan desa menghadapi bencana
lebih tinggi dibanding kota. Bentuk bencana yang mengancam masyarakat
dan desa mulai dari banjir, tanah longsor, puting beliung, gempa bumi, hingga
gunung meletus (Bappenas, 2013). Saat ini bencana ini cenderung
menyulitkan kehidupan masyarakat terutama untuk terus menggeluti peluang-
peluang kerja dan usaha. Pada akhirnya, di beberapa daerah keadaan ini
cenderung merusak semangat dan tatanan masyarakat untuk terus
membangun.
Tantangan kebijakan pencapaian kedaulatan pangan yang menguatkan
masyarakat dan desa pada masa depan adalah bagaimanapengembangan dan
penerapan teknologi sejalan dengan percepatan pembangunan desa dan
sekaligus mencerdaskan dan mensejahterakan, sehingga masyarakatberdikari.
Aspek pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan desa juga perlu
dipertimbangkan bukan hanya melakukan konservasi, tetapi juga sebagai
peluang pengembangan riset dan teknologi serta penerapannya dalam
memperbaiki kerusakan ekologi sumberdaya alam untuk peningkatan taraf
hidup masyarakat.
Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan
efisien, dibutuhkan kredibilitas sumber daya manusia masyarakat itu sendiri,
dan kualitas aparatur pemerintahan. Di sini dibutuhkan adanya kebijakan-
kebijakan dari pemerintah daerah yang mampu merespon persoalan
masyarakat setempat. Pembangunan daerah merupakan tugas yang
terbebankan kepada seluruh masyarakat di daerah. Pembangunan daerah tidak
hanya dimonopoli oleh pemerintah kabupaten dan kota saja, melainkan juga
tugas dari masyarakat untuk mengarahkan, menentukan dan mengontrol
proses pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri.
Bowman dan Hampton (dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 51)
menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan
wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun
dapat melaksanakan kebijakan dan progam-programnya secara efisien melalui
sistem sentralisasi. Karena itu, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan
sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun
secara administratif, kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat
menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah
pemerintahan. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan,
desentralisasi pada akhirnya menjadi pilihan akibat ketidakmungkinan sebuah
negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola
manajemen pemerintah secara sentralistis.
Desentralisasi dalam hal ini juga diminati karena di dalamnya
terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat
dalam menjalankan sebuah pembangunan. Pada perkembangannya lebih jauh,
desentralisasi lalu menjadi semangat utama bagi negara-negara yang
menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya. Kesamaan orientasi
desentralisasi dan demokratisasi inilah yang membuat sebuah pemerintahan di
masa kini tidak bisa lagi memerintah secara sentralistiks. Terdapat kesadaran
baru di kalangan para penyelenggara pemerintahan bahwa masyarakat
merupakan pilar utama yang harus dilibatkan dalam berbagai proyek
pembangunan.
Isu demokrasi yang semakin menguat terutama di negara-negara
berkembang, yang oleh Hungtington diistilahkan sebagai kekuatan gelombang
ketiga (third wave) merupakan angin segar bagi semangat mengembangkan
desentralisasi secara teoritik. Demokrasi yang mempersyaratkan tumbuhnya
masyarakat sipil ditopang dengan sistem pemerintahan desentralistik yang
juga mempersyaratkan partisipasi masyrakat secara penuh. Masyarakat sipil
dan partisipasinya dalam pembangunan suatu negara merupakan bagian tak
terpisahkan.
Di sisi lain, aspek kepentingan politik segolongan masyarakat dan
pertentangannya dengan lainnya seringkali mengabaikan kepentingan umum
dari tujuan pembangunan itu sendiri. Hal tersebut di lapangan pada akhirnya
mengakibatkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik secara politis dalam
proses perencanaan pembangunan itu sendiri. (Ainur Rohman dkk, 2009: 55)
Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sebab dalam diri
mereka ada keinginan dan kegairahan untuk merubah masa depannya agar
lebih baik. Keinginan serta kegairahan tersebut harus dapat terwujud, sebab
usaha-usaha dari pembangunan itu langsung menyangkut kepentingan dan
kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ada dua faktor yang
mempengaruhi terhadap berhasil atau gagalnya partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (Ainur
Rohman dkk, 2009: 49) yaitu: pertama, hasil keterlibatan masyarakat itu
sendiri, masyarakat tidak akan berpartisipasi atau kemauan sendiri atau dengan
antusias yang tinggi dalam kegiatan perencanaan kalau mereka merasa bahwa
partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh
pada rencana akhir. Kedua, masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam
kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau yang tidak mempunyai
pengaruh langsung dapat mereka rasakan.
Dari berbagai pengalaman pembangunan daerah menunjukkan bahwa
tanpa partisipasi masyarakat, maka pemerintahan daerah kekurangan petunjuk
mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Investasi yang ditanamkan
di daerah juga tidak mengungkapkan prioritas kebutuhan masyarakat. Selain
itu sumber-sumber daya masyarakat yang potensial untuk memperbaiki
kualitas hidup masyarakat daerah tidak terungkap, dan standar-standar dalam
merancang pelayanan dan prasarana yang tidak tepat.
Berbagai kasus yang tersaji menunjukkan bahwa dengan dibukanya
kesempatan berpartisipasi, masyarakat menjadi lebih perhatian terhadap
permasalahan yang dihadapi di lingkungannya dan memiliki kepercayaan diri
bahwa mereka dapat berkontribusi untuk ikut mengatasinya. Proses dialog
stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka terhadap
masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat.
Berbagai praktik partnership menunjukkan bahwa kerja sama yang baik hanya
dapat berlangsung apabila komunikasi yang sehat antara pemerintah dan
masyarakat terbangun (Sumarto dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 48)
III. Topik Dan Pembahasan Analisis Masalah 1. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN
SAMPAH DI PROVINSI BANTEN
1.1. Kondisi Pengelolaan Persampahan di Provinsi Banten
a. Timbulan Sampah.
Jumlah penduduk Provinsi Banten sebesar 8,098 juta jiwa pada tahun
2000 bertambah menjadi 11,248 juta jiwa pada tahun 2012 dengan laju
pertumbuhan penduduk sekitar 2,16 % per tahun. Pertambahan penduduk di
Provinsi Banten penyebarannya tidak merata, tetapi terkonsentrasi di daerah
perkotaan. Hal ini dikarenakan kawasan perkotaan merupakan tempat yang
sangat menarik bagi masyarakat untuk mengembangkan kehidupan sosial
ekonomi.Selain itu, pembangunan ekonomi melalui jalur industrialisasi
berpengaruh langsung terhadap pembangunan perkotaan.
Akibat dari semakin bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat serta
aktivitas lainnya adalah bertambahnya pula sampah yang dihasilkan. Sampah
yang ditimbulkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat yang lebih dikenal
sebagai limbah domestik telah menjadi permasalahan lingkungan yang harus
ditangani oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri.Limbah domestik
tersebut, baik itu limbah cair maupun limbah padat menjadi permasalahan
lingkungan karena secara kuantitas maupun tingkat bahayanya mengganggu
kesehatan manusia, mencemari lingkungan, dan mengganggu kehidupan
makhluk hidup lainnya. Jumlah timbulan sampah di Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten pada tahun 2012 sebagaimana terlihat pada tabel berikut
Tabel 1
Tabel Jumlah Sampah Terangkut ke TPA Kabupaten/Kota Pada Tahun 2012 Sumber : Inventarisasi Pengelolaan Persampahan di Provinsi Banten, 2013
b. Pewadahan Sampah.
Tidak ada ketentuan tentang pewadahan sampah yang harus digunakan
oleh masyarakat, baik bentuk, ukuran maupun bahan wadah sampah.
Pengadaan dan pemeliharaan wadah sampah merupakan tanggung jawab
masing-masing penghasil sampah baik kelompok masyarakat dalam
pemukiman ataupun di pusat kegiatan yang lain. Pemerintah Daerah atau
Dinas Kebersihan hanya menyediakan dan memelihara wadah sampah yang
ada di jalan.
c. Pengumpulan Sampah.
Fasilitas pengumpulan yang digunakan di kota-kota di Provinsi Banten
dibedakan atas fasilitas yang diletakkan di suatu lokasi dan fasiltas yang
bergerak.Fasilitas yang diletakkan di suatu lokasi bisa berbentuk Bak, Tong,
Kabupaten/ Kota Jumlah Timbulan Sampah (m3/hari)
Jumlah Sampah Terangkut (m3/hari) Tingkat Pelayanan (%)
Kota Tangerang 4.319 3.201 74,1 Kota Tangerang Selatan
1.800 323 18
Kota Serang 1.500 575 38,3 Kota Cilegon 1.157 483 21,0 Kabupaten Tangerang 7.155 1.590 22,0 Kabupaten Serang 2.960 125 4,2 Kabupaten Lebak 2.960 72 2,43 Kabupaten Pandeglang 3.426 162 4,72
Dipo atau Kontainer.Sedangkan fasilitas pengumpulan yang bergerak bisa
berfungsi pula sebagai sarana pemindahan (transfer) dan juga sarana
pengangkutan (transport). Bentuk sarana pengumpulan yang digunakan oleh
dinas pengelola sampah di kota-kota di Provinsi Banten adalah Becak sampah,
Gerobak, mobil pick-up, dan truk. Tingkat pelayanan pengumpulan sampah
sampai dengan TPA masing-masing Kabupaten/Kota bervariasi.
d. Pemindahan dan Pengangkutan Sampah.
Fasilitas transfer dan transport yang digunakan oleh kota-kota di Provinsi
Banten bervariasi, yaitu TPS pasangan, TPS bin, TPS container, TPS beton,
Gerobag sampah, Truk sampah (dump truck,dan Amrol truck.
e. Sistem Kelembagaan.
Institusi yang bertanggung jawab atas pengelolaan persampahan di
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten bentuknya beragam sesuai dengan
kebijakan daerah masing-masing, seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan;
Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman; Dinas Tata Ruang,
Kebersihan dan Pertamanan yang kemudian dituangkan dalam bentuk
Peraturan Daerah. Adanya perbedaan bentuk institusi pengelola persampahan
ini juga berakibat pada berbedanya fungsi dann wewenang masing-masing
institusi tersebut.
f. Sistem Pembiayaan.
Sistem pembiayaan pengelolaan persampahan meliputi:
1) Sumber dana yang digunakan untuk pengelolaan persampahan kota,
2) Besarnya dana yang diterima serta besarnya beaya yang harus dikeluarkan
untuk pengelolaan persampahan dan
3) Cara pembayaran iuran/retribusi kebersihan.
Sumber dana pengelolaan persampahan kota berasal dari:
1) Pembayaran iuran layanan kebersihan,
2) Retribusi kebersihan,
3) Anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)
Cara pembayaran retribusi adalah:
1) membayar bersama dengan pembayaran iuran air PDAM,
2) membayar bersama dengan pembayaran iuran listrik
3) membayar langsung kepada petugas kebersihan
4) membayar melalui ketua RT/RW.
g. Peraturan Perundangan.
Setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten telah memiliki Peraturan
Daerah yang mengatur tentang pengelolaan kebersihan. Dalam perda ini diatur
tentang institusi pengelola persampahan, tarif retribusi dan pengelolaan
persampahan secara umum
h. Rencana Pengembangan.
Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Banten telah memiliki rencana
pengembangan pengelolaan persampahan menuju pengurangan reduksi
sampah dari sumbernya, usaha daur ulang sampah serta upaya sosialisi
pemilahan sampah.
1.2.PERAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH
Dalam berbagai aspek pembangunan, masyarakat selalu menjadi unsur
yang utama karena pembangunan ditujukan sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat seharusnya tidak hanya
menjadi objek tetapi harus menjadi subjek yang dilibatkan agar masyarakat
bisa menentukan nasibnya sendiri. Begitu pula dalam hal pengelolaan sampah.
Dalam pengelolaan sampah, peran masyarakat menjadi penting karena
beberapa faktor, antara lain : (1)masyarakat merupakan penghasil sampah
yang cukup besar karena makin berkembangnya komplek hunian baru
(permukiman) yang ada di Kabupaten/Kota sehingga sampah domestik rumah
tangga juga makin bertambah; (2)masyarakat seharusnya bisa mandiri dalam
pengelolaan sampah untuk mendukung terciptanya sistem pengelolaan sampah
yang berkelanjutan sehingga tidak selamanya menjadi beban Pemerintah
Kabupaten/Kota; (3) dengan keterbatasan lahan Kabupaten/Kota maka perlu
dipikirkanagar konsep ”zero” waste dapat diterapkan oleh masyarakat agar
masalah lahan untuk TPA mendapatkan solusinya.
Selama ini, sebagian besar masalah persampahan bagi masyarakat
Kabupaten/Kota masih dilayani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Di area
permukiman, petugas akan mengambil sampah dari tiap-tiap rumah secara
rutin dan menitipkannya di TPS yang ada di sekitar permukiman sampai Dinas
Kebersihan mengangkutnya ke TPA. Petugas sampah bisa saja dikelola oleh
pemerintah setempat (RT, RW, Kelurahan), Dinas Kebersihan atau bisa pula
dilakukan oleh sektor swasta.Bila dilihat dari tingginya prosentase masyarakat
yang masih dilayani dalam pengelolaan sampahnya, maka dapat disimpulkan
bahwa peran masyarakat dalam pengelolaan sampah masih sangat minim.
Belum lagi tidak sedikit masyarakat yang masih membuang sampah tidak pada
tempat yang seharusnya, tetapi malah membuang sampah ke sungai atau
tempat-tempat yang bukan merupakan TPS atau TPA ( misalnya di pinggir
jalan atau ruang terbuka hijau/taman). Selain mencemari lingkungan dan
berakibat buruk pada kesehatan, sampah memberi dampak banjir khususnya
pada saat musim penghujan, terutama bila sampah menyumbat saluran
drainase atau menyebabkan sungai yang meluap karena dipenuhi oleh sampah.
1.3.PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH
Salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat dalam
pengelolaan sampah adalah melalui program pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan sampah. Melalui program tersebut, masyarakat diharapkan sadar,
mampu dan mandiri dalam menjaga lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, 1994)
mengartikan kata berdaya berkemampuan atau kesanggupan atau berakal atau
memiliki muslihat untuk mengatasi sesuatu.Sehingga kata pemberdayaan
memiliki makna upaya untuk meningkatkan kemampuan, kesanggupan atau
akal untuk mengatasi sesuatu persoalan/masalah. Keberdayaan masyarakat
dalam pengelolaan sampah dicirikan dengan timbulnya kesadaran,
kemampuan, dan kemandirian dalam pengelolaan sampah. Jadi yang dimaksud
dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah dalam
penyusunan pedoman ini adalah suatu proses dalam memanfaatkan
kesempatan dan kapasitas masyarakat dalam mengambil keputusan atau
tindakan secara bersama-sama melalui partisipasi, alih pengetahuan, keahlian
dan dan ketrampilan untuk mengelola sampah, dalam rangka mendukung
program pengelolaan sampah yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah.
1.4.RENCANA AKSI MASYARAKAT (COMMUNITY ACTION PLAN)
Setelah mendapatkan data-data pada persiapan awal, sangat penting
mengadakan pertemuan agar masyarakat dapat berkumpul, melakukan diskusi
dan mengambil keputusan bersama sehubungan dengan rencana pengelolaan
sampah.Pertemuan awal ini dapat disebut sebagai Rencana Aksi Masyarakat
(Community Action Plan). Rencana Aksi Masyarakat adalah suatu tindakan
untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat dengan mengkhususkan pada
kegiatan yang akan dilakukan, siapa yang melakukan dan bagaimana
melakukannya, atau dengan kata lain menjelaskan apa yang diinginkan
kelompok masyarakat untuk dikerjakan dalam mencapai target pengelolaan
sampah yang diinginkan.
Adapun fungsi dari Rencana Aksi Masyarakat adalah :
1. Sebagai sarana untuk menjabarkan hasil pengamatan (survey) yang
dilakukan pada persiapan awal agar dapat membuka wawasan masyarakat
mengenai kondisi dan permasalahan di seputar pengelolaan sampah yang
ada di lingkungan tempat tinggalnya.
2. Sebagai sarana untuk melakukan diskusi kelompok agar masyarakat
berani mengemukakan pendapat tentang hambatan/permasalahan/uneg-
uneg di seputar hal pengelolaan sampah yang ada. Selain itu, masyarakat
dapat aktif mengeluarkan pendapat atau ide tentang solusi untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut.
3. Sebagai sarana bagi masyarakat untuk mengidentifikasi permasalahan
tentang sampah, menentukan prioritas, memobilisasi sumber daya,
memobilisasi kontribusi, bernegosiasi, menyusun perencanaan,
pelaksanaan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatannya.
4. Sebagai momen untuk membangun komitmen warga untuk mengawali
kegiatan pengelolaan sampah dalam mencapai tujuan pengelolaan sampah
yang diinginkan bersama.
5. Sebagai kesempatan yang baik untuk membentuk Forum Masyarakat yang
terdiri dari beberapa tokoh masyarakat, yang berfungsi sebagai kelompok
penggerak atau koordinator kegiatan di masyarakat sehubungan dengan
rencana pengelolaan sampah.
Gambar : Salah satu kegiatan Rencana Aksi Masyarakat dalam pengelolaan sampah
1.5.PEMBENTUKAN FORUM MASYARAKAT
Forum Masyarakat adalah suatu kelompok kecil yang terdiri dari beberapa
orang warga yang dianggap cukup memiliki kharisma/integritas dan
kompetensi untuk membimbing, mendampingi serta menuntun masyarakat
dalam kegiatan pengelolaan sampah. Forum Masyarakat ini nantinya akan
mengkoordinir pelaksanaan pemberdayaan masyarakat serta teknis
pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah, mulai dari implementasi sampai
pada tahap evaluasi dan pengawasan. Forum Masyarakat juga berfungsi
sebagai wadah untuk menampung aspirasi warga untuk kepentingan bersama
dan mencari solusi bila timbul permasalahan di seputar pengelolaan sampah.
1.6.KEGIATAN PENGELOLAAN SAMPAH YANG DAPAT DILAKUKAN MASYARAKAT
1.6.1. PEMILAHAN SAMPAH
Pemilahan sampah adalah hal pertama dan termudah yang dapat dilakukan
oleh tiap orang dan tiap rumah tangga. Meskipun begitu, masih sedikit
rumah tangga yang sudah memilah sampahnya karena beberapa alasan,
antara lain :
a. Malas dan tidak mau repot untuk membuat beberapa tempat
sampah terpilah
b. Tidak memiliki modal untuk menyediakan tempat sampah
terpilah
c. Tidak peduli dan merasa bahwa sampah adalah tanggung jawab
petugas sampah, sehingga membiarkan sampah masih
bercampur di satu tempat.
d. Tidak mengerti proses pengolahan sampah dan dampak dari
produksi sampah yang berlebihan bagi lingkungan.
Pada proses pemilahan, prinsipnya tempat sampah harus dibedakan
menjadi 3 tempat terpisah berdasarkan jenis sampahnya (gambar 2),
yaitu :
A. Sampah organik yaitu sampah basah dari sisa-sisa mahluk
hidup yang bisa diuraikan, contohnya : daun, kayu, buah,
sayuran, sisa makanan dari daging, dll.
B. Sampah non organik yaitu sampah kering yang tidak dapat
diuraikan, contohnya : jenis kertas tertentu, plastik, karton,
kaleng, metal/logam, bahan pecah belah (kaca). Untuk sampah
non organik, dapat pula dibedakan menjadi sampah kertas,
sampah botol plastik dan sampah botol kaleng.
C. Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), yaitu sampah
yang tidak dapat diuraikan dan membutuhkan perlakuan khusus
karena sampah ini mengandung zat kimia yang berbahaya bagi
kesehatan dan lingkungan. Contoh dari sampah B3 misalnya :
baterai, bohlam lampu, limbah kimia dari rumah sakit, limbah
pabrik, dll
Volume sampah organik merupakan penyumbang sampah
terbesar di beberapa perkotaan di Provinsi Banten.Sampah organik
tidak saja dapat diolah menjadi pupuk (biofertilizer), tetapi juga bisa
menjadi bioetanol dan biogas (sumber energi) serta biopestisida
mikroba yaitu untuk mengganti pestisida kimia yang berbahaya bagi
kesehatan dan lingkungan. Oleh karena itu, bila sampah organik ini
benar-benar diolah dengan baik, maka sampah organik tak akan bersisa
sebelum dibawa ke TPS sehingga pada akhirnya tidak membutuhkan
lahan lagi untuk Tempat Pembuangan Akhir.
Begitu pula halnya dengan sampah non organik yang dapat
diolah kembali di pabrik sehingga menjadi produk lain dalam bentuk
yang berbeda. Oleh karena itu jika kedua jenis sampah tersebut diolah
dengan benar, sampah tidak akan menjadi masalah bagi masyarakat
dan pemerintah kota. Untuk sampah B3 memang memerlukan
pengolahan khusus yang harus ditangani oleh instansi dari pemerintah
kota yang berwenang, tetapi volume dan intensitas pembuangan
sampah B3 tidak sebesar sampah organic dan non organik yang
dihasilkan masyarakat. Oleh karena itu alangkah baiknya bila usaha
pengolahan sampah di masyarakat dimulai dari sampah organik dan
sampah non organik yang ada di rumah tangga.
1.6.2. PEMBUATAN KOMPOS
1. Pengertian Pengomposan
Kompos adalah jenis pupuk alam yang dibuat dengan cara
membusukkan atau melapukan bahan-bahan organik sisa-sisa panen
(jerami, batang jagung, dan lain-lain) dan juga sampah dicampur
dengan pupuk kandang, pupuk fosfat dan sebagainya sesuai kebutuhan,
sehingga mengalami pematangan dan menjadi bahan yang mempunyai
perbandingan Karbon/Nitrogen yang rendah (Djoehana s, 1996).
Menurut Wied Harry (2006) kompos adalah pupuk alami yang terbuat
dari bahan bahan hijauan dan bahan organik lain yang sengaja
ditambahkan untuk mempergiat proses pembusukan, misalnya kotoran
ternak. Bahkan kadang, jika dipandang perlu ditambahkan pupuk
buatan pabrik, seperti urea misalnya.Perlu diperhatikan bahwa, tidak
semua sampah bisa dipakai sebagai bahan pupuk.Hanya sampah
berjenis organik (dapat diuraikan oleh mikroorganisme dengan mudah)
yang bisa dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan pupuk.Sementara
sampah berjenis anorganik tidak bisa dijadikan pupuk.
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami
penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat
kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar
kompos dapat terbentuk lebih cepat.
Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang,
pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan
aktivator pengomposan.
2. Teknologi pengomposan
Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian
di alam dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun
proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan
lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak
dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan. Baik pengomposan
dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi. Pada
prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada
proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Proses
penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan
dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan
saat ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi
permasalahan limbah organik, seperti untuk mengatasi masalah
sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah
pertanian dan perkebunan
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik
maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan.
Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain:
PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp,
BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan
SUPERFARM (Effective Microorganism) atau menggunakan cacing
guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki
keunggulan sendiri- sendiri.
a. T
e
k
n
o
l
o
g
i
pengomposan secara aerobik. Pengomposan secara aerobik
merupakan sistem pengolahan yang dilakukan dengan bertumpu pada
sirkulasi udara selain fermentasi (dekomposisi), teknologi ini paling
banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta
tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit. Dekomposisi
bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri
dengan bantuan udara. Bila tidak memiliki ruangan yang cukup luas,
maka dapat dibuat tong plastik ukuran 250 liter yang diberi lubang
udara sirkulasi dengan pemutar yang dapat mempermudah proses
pembalikan dan pengadukan. Tong dapat diletakan diluar dan dapat
digunakan hingga 5 (lima) keluarga kecil (rumah) untuk waktu kurang
lebih 3 (tiga) bulan.
b. Teknologi pengomposan secara anaerobik. tertutup yang
mengunakan media tertutup, baik dengan cara menutup sampah
organik dengan terpal atau dengan cara memasukan kedalam tong
komposter berlapis. Pola anaerob biasanya digunakan untuk
pembuatan pupuk cair atau starter kompos sendiri, pola ini tidak jauh
berbeda dengan pola aerob, hanya saja dibutuhkan tempat yang cukup
besar. Untuk pola anaerob, sampah organik disarankan dipotong lebih
kecil dan dicampur kapur sebagai pembatas pada saat pertama
melakukan komposting. Pada pola anaerob suhu yang dihasilkan
sekitar 55 – 65 derajat celcius, pola ini dapat mencampurkan semua
jenis sampah termasuk sampah yang mengandung protein hewani
seperti tulang ikan, ayam, kerbau dan lain-lain. Kadar air yang
dihasilkan 50% lebih dan komposnya lebih tinggi kadar N.
Kelemahan pola ini, proses komposting menghasilkan BOD, dan
kematangan kompos dalam jangka waktu hingga 6 bulan. Akan tetapi
sistem anaerob dengan sistem penyaringan (kompos cair) lebih praktis
dan kompos yang dihasilkan dapat digunakan sebagai starter (EM)
kompos atau dapat dijadikan kompos cair penyiram batang dan daun
tanaman dan dapat digunakan memfermentasi organic dalam
septictank sehingga kotoran tidak menumpuk dan penggunaan
septictank lebiha lama.
3. Tahapan Pembuatan Kompos
a. Pemilahan Sampah. Sampah yang dikumpulkan di TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) pada umumnya bercampur antara bahan-bahan
organik maupun non organik sehingga pemilahan perlu dilakukan
secara teliti untuk mendapatkan bahan organik yang dapat
dikomposkan seperti dauan-daunan, sisa makanan, sayuran dan
buah-buahan
b. Pencacahan. Sampah organik yang telah terkumpul dicacah dengan
ukuran 3-4 cm. Pencacahan dilakukan untuk mempercepat proses
pembusukan karena pencampuran dengan bahan baku yang lain
seperti kotoran ternak dan bioaktivator menjadi rata sehingga
mikroorganisme akan bekerja secara efektif dalam proses
fermentasi.
IV. KESIMPULAN Kegiatan Pengembangan Teknologi Partisipatif salah satunya dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan pemberdayaaan masyarakat yang merupakan suatu usaha awal untuk membangkitkan kesadaran masyarakat, membuka wawasan, mengubah cara berpikir masyarakat dan mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat. Dari Topik tentang permasalahan sampah di yakini bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat harus dikembalikan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk menyadari keberadaan lingkungannya, melihat permasalahan sampah yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya, dan akhirnya memutuskan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki permasalahan sampah yang ada. Pemerintah dan lembaga masyarakat yang ada dapat menjadi promoter atau pendamping agar masyarakat dapat dibantu dalam usaha mempersiapkan pemberdayaan ini, namun tidak menutup kemungkinan bahwa inisiatif kegiatan pemberdayaan masyarakat datang dari keinginan masyarakat sendiri yang menginginkan suatu perubahan yang positif dalam kehidupannya sehingga dapat menjadi masyarakat yang mandiri.
V. Daftar Pustaka
1. Ainur Rahman dkk. Politik, Partisipasi dan Demokrasi dalam Pembangunan. Malang,
Averroes Press, 2009
2. HAW. Widjaja. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2002
3. Anonim, Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
4. Anonim, Undang – Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
5. Suwerda, Bambang 2012, Bank Sampah, Kajian Teori dan Penerapan, Pustaka
Rihama, Yogyakarta
6. Margaretha, rita 2014, Materi Daur Ulang Sampah Plastik, JPSM, Merti
7. http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/17/partisipasi-masyarakat-hanyalah-
mimpi-373788.html
8. http://nissa2601.blogspot.com/2011/05/partisipasi-masyarakat-dalam-
pelaksaan.html