BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/110110/2008/110113080049_c_2666.pdf ·...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/110110/2008/110113080049_c_2666.pdf ·...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia bisnis dan perekonomian selalu saja diikuti
oleh perkembangan pemberian fasilitas kredit yang selalu memerlukan
jaminan. Pelaksanaan jaminan ini merupakan bentuk pemberian
kemananan dalam pelaksanaan kredit tersebut. Dengan kata lain, yang
memberikan pinjaman (debitur) dalam hal ini Perum Pegadaian1 (PT
Persero Pegadaian) akan terjamin dengan adanya jaminan yang diberikan
oleh peminjam (kreditur). Untuk itu jelas sekali dapat kita lihat bahwa
lembaga jaminan dapat bersifat antara lain menunjang perkembangan
ekonomi, perkreditan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan
fasilitas modal.
Dalam pelaksanaannya, penyedia dana yang ada di Indonesia
masih didominasi oleh perbankan sebagai lembaga intermediary yang
langsung mempertemukan pemilik dana dengan pengguna.2 Dalam hal ini
penulis menekankan pada pelaksanaan lembaga pembiayaan yang
dilakukan oleh PT Persero Pegadaian.
1 Status Perum Pegadaian berubah menjadi PT Persero Pegadaian berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Persero.
2 Lastuti Abubakar, “Pranata Gadai Sebagai Alternatif Pembiayaan Berbasis
Kekuatan Sendiri (Gagasan Pembentukan UU Pergadaian)”, Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 1, Februari, 2012, hlm. 4.
2
Perkembangan yang terjadi pada PT Persero Pegadaian saat ini
adalah bentuk pelayanan yang tidak hanya melayani gadai konvensional
saja melainkan juga pelayanan gadai dengan sistem syari’ah.3
Keberadaan dua sistem pergadaian tersebut bukan tanpa masalah
bahkan telah menjadi permasalahan yuridis. Hal ini kemudian dapat dilihat
dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah.4
Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang telah lama beredar dan
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu, jika memerlukan
pinjaman uang kebanyakan masyarakat mendatangi rentenir dengan
memberikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan, serta
membayar bunga yang sangat tinggi (melampaui batas kewajaran).
Sehingga tujuan mereka yang semula untuk mengatasi masalah
keuangan yang sedang dihadapi akhirnya justru menimbulkan masalah
yang baru, sebab disamping harus membayar uang pokok pinjaman,
mereka juga harus membayar bunga uang pinjaman tersebut.5
Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya
beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada
3 Lastuti Abubakar, Loc.cit., menyebutkan pelayanan gadai di luar sistem
konvensional terdapat gadai syariah (rahn), layanan jual beli logam mulia (mulia dan galeri 24), layanan fidusia (Kreasi, Krasida dan Krista), serta layanan jasa lainnya berupa jasa titipan, jasa taksiran, Kresna, Kucica,16 Langen Palikrama, Investa, Kremada, Kagum, dan G Lab (jasa pengujian logam mulia).
4 Lastuti Abubakar, loc.cit
5 Esther Million, Tugas dan Fungsi Pegadaian Sebagai Lembaga Pembiayaan
Dalam Pemberian Kredit Dengan Sistem Gadai, Tesis, PPS USU, Medan, 2004, hlm. 1.
3
suatu persoalan riba yang dilarang oleh hukum syara’.6 riba terjadi
apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi
tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada
waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan
penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan “bunga gadai”,
yang pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Sebab apabila
pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2
kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan
15 hari.
Penjelasan tersebut jelas merugikan pihak nasabah, karena ia
harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya.
Padahal sering sekali orang yang menggadaikan barang itu untuk
kebutuhan konsumtif. Namun, apabila dilihat dari segi komersiil pihak
Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak
tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual.7 Karena itu
aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik
pemungutan bunga karena dilarang syara’, dan pihak yang terbebani
merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah
mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk
membayar bunganya.
Pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki
potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, serta juga menciptakan
6 A.A. Basyir, Hukum Islam tentang Riba; Utang-Piutang Gadai, Al-Maarif,
Bandung, 1983, hlm. 55. 7 Ibid., hlm. 4.
4
adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian
yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian
itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba’.8 Mengenai riba’ itu,
para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman
dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang
dikatakan riba’ (bunga), di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur berikut:9
1. Apabila dalam akad gadai tersebut di tentukan bahwa ar-rahin atau
penggadai harus memberikan tambahan kepada al-murtahin atau
penerima gadai ketika membayar utangnya;
2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat
tersebut dilaksanakan;
3. Apabila ar-rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada
waktu yang telah ditentukan, kemudian al-murtahin menjual al-
marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga almarhun
kepada al-rahin. Padahal utang ar-rahin lebih kecil nilainya dari al-
marhun.
Islam menyikapi pegadaian terkait dengan fungsi utama pegadaian
adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya
pegadaian melakukan hal-hal yang dilarang syari’ah. Dalam praktek
pegadaian konvensional yang dikenal saat ini. Fungsi tersebut dilakukan
8 Muhmmad Akram Khan, Economic Teaching of Prophet Muhammad: A Select
Anthology of Hadith Literature on Economics, Alih Bahasa Team Bank Muamalat, Jakarta: 1996, hlm. 180.
9 Muhammad dan Solikhul Hadi, Pegadaian Syariah, Salemba Diniyah, Jakarta,
2003, hlm. 64. Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 304.
5
berdasarkan sitem bunga. Pegadaian konvensional tidak serta merta
identic denga riba, namun kebanyakan praktek pegadaian konvensional
dapat digolongkan dengan transaksi ribawi. Pegadaian konvensional
dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip
syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan
praktek pegadaian berdasarkan syariah.10
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1
Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/ Fa’idah) berpendapat:11
1. Bunga (Interest/ fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman uang (Al-Qardh) yang diperhitungkan dari pokok
pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok
tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di
muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase;
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena
penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya,
dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah;
3. Praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah.
Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah
satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya;
10
Remy S., Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2005, hlm. 18.
11 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/
Fa’idah).
6
4. Praktik Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di
lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian, Koperasi,
dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu;
5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan
syari’ah dan mudah di jangkau, tidak diperbolehkan melakukan
transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga;
6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/ jaringan lembaga keuangan
syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga
keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.
Gadai syari’ah tidak menganut sistem bunga, namun menggunakan
biaya jasa (ijarah) sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan
pengenaan biaya jasa itu, dapat menutupi biaya yang dikeluarkan dalam
operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba’
(bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka
gadai syari’ah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsip-
prinsip syari’ah, seperti melalui akad qardhul hasan dan akad ijarah.
Menurut pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan
gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersiil (untuk
mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial
juga12 Imbalan jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal
dengan „bunga gadai, sangat memberatkan dan merugikan pihak
penggadai.
12
Muhammad Akram Khan, Op.cit., hlm 179-184.
7
Prinsip Syari’ah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan,
kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin).
Dalam hal praktik gadai syari’ah (Rahn), prinsip utang piutang yang
terdapat di dalam gadai konvensional dapat dikategorikan sebagai praktik
riba.13 Untuk itu perlu disampaikan juga perbedaan yang mendasar antara
gadai syari’ah dengan gadai konvensional, yaitu tidak diperkenankannya
bunga dalam gadai syari’ah sebagaimana diterapkan dalam gadai
konvensional.14
Pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga
yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda, lain halnya dengan biaya di
Pegadaian Syari’ah yang tidak berbentuk bunga, tetapi berupa biaya
penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran dan biaya
administrasi untuk penerbitan sertifikat gadai sebagai bukti saat
penebusan objek gadai. Biaya gadai syari’ah lebih kecil dan hanya sekali
saja.15 Praktik gadai konvensional yang dianggap melanggar syariat Islam,
maka sebagian masyarakat menilai hal ini tidak lazim dilaksanakan oleh
umat Islam di Indonesia, yang sebagian telah diberitakan oleh media
massa, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan, prasangka buruk,
kerisauan, dan keresahan dikalangan masyarakat.
Praktik gadai syari’ah dengan objek gadai emas dianggap telah
lazim sebagai barang berharga yang disimpan dan dijadikan objek gadai
13
Riba diartikan dengan tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa ada ganti rugi yang dibenarkan syariah kepada penambahan tersebut. Lihat Lastuti Abubakar, op.cit., hlm. 6.
14 Ibid.
15 Ibid.
8
(Rahn) sebagai jaminan utang untuk mendapatkan pinjaman uang. Hal ini
dilakukan melalui mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah,
untuk itu Dewan Syari’ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa
tentang hal itu untuk dijadikan pedoman pada pelaksanaan gadai syari’ah
dengan objek gadai emas.16 Hal ini dapat ditelusuri pada PT Persero
Pegadaian di Kabupaten Purwakarta yang melaksanakan mekanisme
gadai syari’ah dengan objek gadai emas yang sesuai dengan prinsip-
prinsip syari’ah.
Penelitian terkait tinjauan hukum terhadap gadai emas syari’ah oleh
PT Persero Pegadaian menurut hukum islam dikaitkan dengan Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor : 26/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas belum pernah dilakukan. Namun,
peneliti mengenai implementasi dua sistem gadai emas yang berlaku di
perum pegadaian pernah ditulis oleh :
1. Erwin Nugrahanto, NPM 110110070020, Skripsi Fakultas
Hukum Unpad Tahun 2012, tentang “Kajian Hukum Mengenai
Implementasi dua Sistem Gadai Emas yang berlaku di Perum
Pegadaian Indonesia Menurut KUHPerdata, Fatwa Dewan
Syariah No.25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn ; dan
No.26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas
2. Tia Rifahniari, NPM A1005220, Skripsi Fakultas Hukum Unpad
Tahun 2009, Tentang “Tinjauan Yuridis tentang Gadai syari’ah
16
Lihat Fatwa Dewan Syariah No: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
9
dengan obyek Gadai Emas dalam pembiayaan syari’ah
berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syari’ah
Pemaparan dan pengaturan-pengaturan serta fenomena yang
terjadi terhadap pelaksanaan gadai syari’ah dengan objek gadai emas
tersebut, maka hal tersebut mendorong penulis untuk menjadikan usulan
penelitian yang berjudul:
“TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENERAPAN GADAI EMAS
OLEH PT PERSERO PEGADAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
DIKAITKAN DENGAN FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA NOMOR: 26/DSN-MUI/III/2002
TENTANG RAHN EMAS”.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana Praktik Penerapan Gadai Emas Syari’ah oleh PT
Persero Pegadaian Menurut Hukum Islam dikaitkan dengan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas?
2. Bagaimana Implikasi Yuridis Gadai Syari’ah terhadap
Perkembangan Ekonomi Syari’ah di Indonesia?
10
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan hukum ini
adalah :
1. Mencari kepastian mengenai Praktik Penerapan Gadai Emas
Syari’ah oleh PT Persero Pegadaian Menurut Hukum Islam
dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
2. Mendapatkan gambaran implikasi yuridis gadai syari’ah terhadap
perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan
bahan masukan bagi penulis dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan yang merasakan manfaat penelitian ini, baik
secara:
1. Teoretis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan
pemahaman dan wawasan keilmuan dibidang hukum perdata dan
Hukum Islam pada umunya dan khususnya dibidang hukum Gadai
Emas (Rahn Emas) menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dalam sistem hukum positif di Indonesia.
11
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan:
a. Dapat digunakan bagi pihak yang berkepentingan khususnya
masyarakat, praktisi hukum dan badan legislatif untuk mengkaji:
1) Praktik dan kedudukan terhadap gadai emas syariah dalam
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional majelis Ulama Indonesia
Nomor : 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
2) Implikasi yuridis gadai syari’ah terhadap perkembangannya
di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam ilmu hukum terdapat berbagai definisi hukum yang
diungkapan oleh para ahli hukum. Salah satunya diungkapkan oleh
Mochtar Kusumaatmadja, yaitu hukum merupakan keseluruhan kaidah
dan asas yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat,
termasuk lembaga (institution) dan proses (processes) yang dapat
mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.17
Dalam konsep hukum sebagai sarana pembangunan, sebagaimana
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen
keempat tercantum tujuan pembangunan nasional, yaitu untuk
mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Tujuan pembangungan
17
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm 12.
12
nasional juga diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
amandemen keempat yang mengatakan:
1. Perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas kekeluargaan;
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat;
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dari kesatuan ekonomi nasional;
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.
Pasal tersebut mencantumkan demokrasi ekonomi sebagai prinsip
dasar pembangunan nasional dengan mengutamakan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat.18 Hal inilah yang mendasarkan pembangunan
nasional di Indonesia dan menjadikan dasar setiap produk hukum yang
berhubungan dengan perekonomian yang terutama di bidang
perdagangan dan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.
18
Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menrut Pancasila dan UUD 1945, Angkasa, Bandung, 1985, hlm. 49.
13
Hal senada juga dituangkan dalam visi Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005-2025 (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010-2014 (RPJMN), yaitu mewujudkan
perekonomian yang maju, mandiri, dan mampu secara nyata memperluas
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran yang merata
yang mendasar pada prinsip-prinsip ekonomi yang menjungjung tinggi
persaingan sehat dan keadilan, serta berperan aktif dalam perekonomian
global dan regional yang bertumpu pada kemampuan potensi bangsa
sendiri dan didukung oleh aktivitas sektor riil yang berdaya saing, berdaya
tahan, dan berkeadilan19
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
3. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;
4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
5. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa.
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syari’ah
dan/ atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/
19
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.
14
atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi
hasil.
Pegadaian sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia, yang
bertugas menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang
pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum
gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Hadirnya lembaga
tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat
dalam praktik-praktik lintah darat, ijon dan/atau pelepas uang lainnya.
Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam
prakteknya belum dapat terlepas dari berbagai persoalan. Maka
diharapkan pegadaian yang selama ini sudah berlaku di tengah-tengah
masyarakat dapat berjalan sesuai tujuan pokoknya, serta benar-benar
akan dapat berfungsi sebagai lembaga keuangan non-Bank yang dapat
memberikan Kemaslahatan sesuai yang diharapkan masyarakat.
Perkembangan yang terjadi pada PT Persero Pegadaian saat ini
adalah bentuk pelayanan yang tidak hanya melayani gadai konvensional
saja melainkan juga pelayanan gadai dengan sistem syari’ah.
Keberadaan dua sistem pergadaian tersebut bukan tanpa masalah
bahkan telah menjadi permasalahan yuridis. Hal ini kemudian dapat dilihat
dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syari’ah.20
20
Lastuti Abubakar, loc.cit.
15
Perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat
dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan
berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor
pegadaian sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan
memperkukuh perekonomian nasional.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan
menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna
memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus
kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga
gadai.21 Ini berarti bahwa gadai merupakan suatu hak jaminan kebendaan
atas kebendaan bergerak tertentu milik debitur atau seseorang lain atas
nama debitur untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu,
yang memberikan hak didahulukan pelunasan piutangnya kepada
pemegang hak gadai (Kreditur Preferen) atas kreditur lainnya (Kreditur
Konkruen), setelah terlebih dahulu didahulukan dari biaya untuk lelang
dan biaya menyelamatkan barang-barang gadai yang diambil dari hasil
penjualan melalui pelelangan umum atas barang-barang yang
digadaikan.22
Jangka waktu pinjaman gadai adalah selama 4 bulan atau 120 hari.
Jangka waktu pinjaman dihitung sejak tanggal pemberian uang pinjaman
sampai batas akhir tanggal pelunasan atau jatuh tempo, dimana hari
21
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 246.
22 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
hlm. 105.
16
besar dan hari minggu turut dihitung, jangka waktu dapat diperpanjang
dengan jalan.23 Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut Rahn.
Rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai
tanggungan hutang. Pengertian Rahn dalam bahasa Arab adalah Ats-
Tsubut wa addawam yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti pada kalimat
maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah
SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38:
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya”.
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang
tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan
makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata Ar-Rahn
berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat
hutang. Pengertian gadai (Rahn) dalam Hukum Islam (Syara’) adalah
menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan
syara’ sebagai jaminan hutang, yang memungkinkan untuk mengambil
seluruh atau sebagian hutang dari barang tersebut.24 Gadai menurut
Hukum Islam (Syari’ah) atau dalam penelitian ini lebih lanjut disebut
dengan Gadai Syari’ah (Rahn) adalah menahan salah satu harta milik
nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas hutang/ pinjaman
23
Ibid. 24
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 2.
17
(marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis.
Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin)
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.25
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gadai syari’ah
merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda
berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/ atau harta benda lainnya sebagai
jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga gadai
syari’ah berdasarkan hukum gadai syari’ah. Fungsi akad perjanjian dalam
pengertian gadai (Rahn) antara pihak peminjam dengan pihak yang
meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang
dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, Rahn
pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan hutang piutang yang murni
berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh mu’amalah akad ini merupakan
akad tabarru atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.
Dasar hukum yang menjadi landasan Gadai Syari’ah adalah ayat-
ayat Al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW, ijma’ ulama, dan fatwa MUI.
Didalam sistem hukum positif di indonesia hanya fatwa MUI yang dapat
dijadikan aturan pelaksanaan dalam melakukan praktik gadai, tentunya
Fatwa MUI tersebut berdasarkan Al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW,
ijma’ ulama.
25
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hlm. 128.
18
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSNMUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syari’ah, di
antaranya dikemukakan sebagai berikut
1. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas.
Syariah Islam sebagai suatu syariat yang dibawa oleh Rasul
terakhir memiliki sifat yang komprehensif dan universal. komprehensif
berarti merangkum seluruh aspek kehidupan manusia baik ritual (ibadah)
maupun sosial (Muamalah). Konsep lembaga keuangan pada tatanan
perekonomian masyarakat madani harus mengacu pada tatanan
perekonomian pada masa Rasululloh membangun masyarakat Madinah
yang dalam seluruh aspek kehidupan berlandaskan syari’ah Islam.26
Gadai dalam Hukum Islam diistilahkan dengan Rahn dan Al-Babs.
Secara etimologis Al-Rahn berarti tetap dan lama, sedangkan Al-Babs
berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat
dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.27 Sedangkan
menurut Sayyid Sabiq, Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut syara’ sebagai jaminan hutang sehingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil hutang atau Ar-Rahin (Penggadai) dapat
26
Muhamad Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, Suatu Pengantar tentang Ilmu Hukum Islam dalam berbagai Mazhab, Kalam Mulia, Jakarta, 1993, hlm. 30-42
27 Rahmah Syafi’I, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 159.
19
mengambil sebagian manfaat barang tersebut.28 Pengertian gadai
Syari’ah berbeda dengan gadai dalam pengertian hukum positif (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata) dan berbeda pula dengan gadai
menurut pengertian Hukum Adat.29
Menurut terminologi, syariah adalah peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan pecipta-Nya lalu hubungan antar
sesama manusia yang mengacu pada Alquran dan sunah. Di negara
seperti Iran atau Saudi Arabia, prinsip syari’ah adalah dasar kehidupan
bernegara yang digunakan dalam politik dan juga ekonomi.30 Pegadaian
syari’ah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya
menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharabah (bagi
hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP)
mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi,
membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode
Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian
menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Minat masyarakat akan pembiayaan gadai syariah yang semakin
besar, maka pegadaian syariah yang merupakan salah satu lembaga yang
menyediakan produk tersebut harus tetap dikawal dengan baik agar tidak
ada yang melakukan penyimpangan terhadap sistem yang telah ada
28
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, Al-Maarif, Bandung, 1997, hlm. 139. 29
Chairuman Pasaribu, dkk, Hukum Pejanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta 1996, hlm. 140.
30 http://brighterLife.co.id, Mengenal Prinsip Syariah di Indonesia,
http://brighterlife.co.id/2012/05/24/mengenal-prinsip-syariah-di-indonesia.htm diakses 08/01/2013.
20
karena dapat merusak citra pegadaian syariah di mata masyarakat. Oleh
karena itu, diperlukan pengawasan terhadap penerapan dan pelaksanaan
produk pembiayaan dalam hal ini difokuskan mengenai sistem akuntansi
pembiayaan gadai syari’ah agar masyarakat yang telah menggunakan
produk tersebut semakin yakin dengan prinsip syari’ah yang telah
dijelaskan dan untuk masyarakat yang belum memanfaatkan produk
pembiayaan menjadi yakin dan tertarik dengan produk tersebut.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No.26/DSN-MUI/III/2002 dengan akad pendamping ijarah (PSAK 107)
tahun 2008 sebagai panduan dalam pengakuan dan pengukuran,
penyajian, dan pengungkapan yang berhubungan dengan pembiayaan
gadai syariah. PSAK ini berlaku sejak April 2008. Penerapan Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 26/DSN-
MUI/III/2002 dengan akad pendamping ijarah (PSAK 107) tahun 2008
untuk pembiayaan dengan gadai syari’ah akan memberikan kontribusi
terhadap pencapaian target pertumbuhan pendanaan syariah karena
peraturan tersebut merupakan formulasi yang dibuat oleh para pakar
ekonomi syari’ah
Dalam negara-negara yang menganut sistem ekonomi syari’ah,
konsep-konsep seperti zakat mewakili konsep tentang hidup adil dan
merata bagi setiap orang. Kemudian gharar dan masyir, yang melarang
semua praktik perjudian. Lalu takaful, sebuah konsep tentang rasa
solidaritas antara masyarakat untuk tolong menolong jika ada kerabatnya
21
yang mengalami musibah. Lalu, bagaimana dengan penerapan prinsip
syari’ah di Indonesia.
Dalam Al-Quran Surat Al baqarah 283 dan juga dalam hadits
dijelaskan bahwa gadai merupakan salah satu bentuk dari mu’amalah,
dimana sikap menolong dan amanah sangat ditonjolkan. Maka pada
dasarnya, hakikat dan fungsi gadai dalam islam adalah semata-mata
untuk memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan
dengan bentuk marhum sebagai jaminan.31
Masyarakat kini telah lazim menjadikan emas sebagai barang
berharga yang disimpan dan menjadikannya objek Rahn sebagai jaminan
utang untuk mendapatkan pinjaman uang, Dewan Syari’ah Nasional
memandang perlu membuat suatu aturan mengenai praktik gadai emas.
Untuk itu dikeluarkanlah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas.
Kasus sengketa antara seniman Butet Kartaredjasa dengan PT
Bank Rakyat Indonesia Syari’ah (BRI Syari’ah) menjalani babak baru.
Keduanya saat ini menjalani proses mediasi yang ditangani oleh Bank
Indonesia. Mediasi tersebut dilakukan pada Kamis, 3 Oktober 2012, di
Gedung Bank Indonesia. Tak hanya Butet, mediasi itu juga dihadiri tujuh
nasabah lain yaitu Robert Sugiharto, Sell Kusuma Dewani, Elsje Hartini,
Tan Leo Hardianto, Indah Sulistiyo Wati dan Mohammad Widodo. Para
nasabah BRI Syariah itu didampingi pengacara Djoko Prabowo Saebani.
31
Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional, UIP, Jakarta, 2006, hlm.41.
22
Para nasabah yang berasal dari Semarang dan Yogyakarta
tersebut datang untuk memberikan konfirmasi terkait kasus tersebut. Butet
berpendapat, klaim BRI bahwa nasabah tidak membayar ijarah (biaya
sewa) tidak berdasar karena dana standby untuk membayar ijarah itu
sudah ada di bank. Butet juga menjelaskan pihaknya telah mengajukan
somasi kepada BRI Syari’ah. Alasannya, pihaknya tidak mengizinkan BRI
Syari’ah untuk menjual emas yang menjadi obyek jaminan yang disimpan
di Bank BRI Syari’ah. Butet dan nasabah lain menolak penjualan obyek
jaminan secara langsung oleh Bank BRI Syari’ah. Dalam perjanjian gadai
syari’ah yang ditandatangani nasabah, jatuh temponya dalam waktu
empat bulan.
Pengacara Butet, Djoko Prabowo, menjelaskan, dalam pertemuan
dengan Deputi Direktur Perbankan Syari’ah, Nawawi, para nasabah itu
meminta beberapa hal diantaranya jika emas para nasabah belum dijual,
maka dapat dijual dengan harga saat ini, sehingga bank dan nasabah
sama-sama diuntungkan. Mereka juga meminta pemulihan nama baik
akibat masuk dalam BI Checking sehingga mereka sulit mengajukan
kredit. Gadai emas, yang belakangan ini marak, adalah merupakan produk
pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif
memperoleh uang tunai dengan cepat.
Dalam kasus Butet yang menjadi nasabah gadai emas BRI Syari’ah
di Yogyakarta pada Agustus 2011. Dengan modal 10 persen dari
keseluruhan harga emas, BRI Syari’ah memberikan pembiayaan sebesar
23
90 persen. Butet mencicil sejumlah uang yang dipersyaratkan. Total emas
yang digadaikan seberat 4,89 kilogram dengan nilai lebih dari Rp2,5 miliar.
Ketika jatuh tempo pada Desember 2011, nasabah diberikan opsi: saat
harga emas turun, nasabah menanggung penurunan harga dari harga
emas semula. Dalam hal ini Butet menolak opsi tersebut. BRI Syari’ah
juga memberikan opsi memperpanjang masa jatuh tempo sebanyak dua
kali, namun kerugian penurunan harga tetap harus ditanggung Butet. BRI
juga meminta emas yang dimiliki Butet dijual BRI Syari’ah akhirnya
menjual kepemilikan emas Butet dengan alasan hal itu sudah tercantum
dalam perjanjian.
Selama ini BRI Syari’ah sudah menjalankan bisnis gadai emas
dengan benar dan sesuai ketentuan BI. Namun, jika terjadi kerugian
dalam bisnis tersebut, hal itu sudah sewajarnya menjadi tangung jawab
nasabah gadai emas. Dalam kesempatan itu, Hadi juga memberikan
klarifikasi bahwa pihaknya telah memberikan penjelasan kepada Butet,
sebelum menjual emas miliknya pada Agustus lalu. Dalam penjualan
tersebut, BRI Syari’ah mengaku sudah menjalankan mekanisme penjualan
emas yang benar. Tak hanya itu, BRI Syari’ah menegaskan pihaknya
sama sekali tidak mengambil keuntungan dari selisih harga emas yang
berlaku pada waktu itu.
Pembiayaan dengan cara yang dijelaskan di atas memiliki resiko
besar. Dengan alasan model utama pembiayaan itu adalah spekulasi
karena ketika terjadi gejolak di pasar, maka akan menimbulkan resiko
24
tambahan. Dalam investasi itu dikenal dengan margin landing, yaitu
nasabah meminjam uang untuk digunakan investasi. Selisih antara modal
dan pinjaman inilah yang kerap menjadi masalah. Dalam hal ini
seharusnya. Sebelum memulai gadai emas, semua nasabah mengerti apa
resikonya. penjual juga harus menjelaskan kerugiannya jika harga emas
turun. Meskipun demikian, perencana keuangan ini mengakui konsep
gadai emas ini secara sistematis memang menguntungkan. Namun,
dengan catatan, biaya penitipan emas harus lebih rendah dari imbalan
hasil harga emas. Agar masyarakat mengubah konsep dan pola pikir
untuk cepat mendapatkan keuntungan, maka harus merasakan
prosesnya. Untuk mencapai hal itu, diperlukan tingkat edukasi dan
pemahaman yang cukup.
Menjelaskan hal tersebut, Ligwina menyarankan agar masyarakat
mengubah konsep dan pola pikir untuk cepat mendapatkan keuntungan,
namun harus merasakan prosesnya. Untuk mencapai hal itu, diperlukan
tingkat edukasi dan pemahaman yang cukup.32
F. Metode Penelitian
Metode penelitian sangat penting dalam rangka memperoleh hasil
penelitian yang akurat, untuk itu penelitian dilakukan berdasarkan metode-
metode sebagai berikut:
32
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/357085-butet-kartaredjasa-versus-bri-syariah--siapa-salah- diakses 10-01-2013.
25
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam upaya mencapai tujuan penelitian ini, metode penelitian
yang digunakan bersifat deskriptif analitis33. Metode ini
menggambarkan dan menganalisis data sekunder yang
didukung oleh data primer mengenai berbagai masalah yang
berkaitan dengan praktik pegadaian yang menggunakan obyek
gadai emas.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis
normatif34 yaitu penelitian dengan cara mengkaji, menganalisis
tentang Gadai Emas Syari’ah Hukum Islam dan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 26/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
3. Tahap Penelitian
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini, antara lain:
Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan
data skunder yang terdiri dari berupa tulisan-tulisan para ahli di
bidang hukum, jurnal dan majalah hukum yang didapatkan
melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan pergadaian;
dan
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, UI Press, Jakarta, 2007, hlm.10.
34 Ibid., hlm. 51.
26
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian, yaitu :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang
Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian
Menjadi Perusahaan Persero;
3) Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah;
4) Sumber Hukum Islam: Al-Qur’an dan Hadist.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan
bahan hukum primer, seperti halnya hasil penelitian hukum
dan ekonomi, buku teks, jurnal, artikel dari kalangan hukum
dan sumber data lainnya.
c. Bahan hukum Tersier, yaitu berupa kamus hukum, kamus
ekonomi, ensiklopedia, artikel pada surat kabar, majalah,
dan internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah:
a. Studi kepustakaan dengan maksud untuk memperoleh data
sekunder yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier.
27
b. Mempelajari Peraturan Perundang-undangan Negara
Republik Indonesia serta peraturan pelaksanaannya.
5. Analisis Data
Setelah bahan data primer, sekunder maupun tersier dari
penulisan skripsi ini terkumpul, maka selanjutnya dilakukanlah
analisis secara kualitatif. Dilakukannya analisis data secara yuridis
kualitatif memungkinkan peneliti berdasarkan bahan-bahan
kepustakaan tersebut untuk melihat secara jelas pengaruhnya
terhadap kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, berupa
penjelasan-penjelasan yang tidak dirumuskan melalui perhitungan
secara matematis.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian yang menggunakan
analisis data secara yuridis kualitatif tidak terlepas dari beberapa
unsur:35
a. Adanya sinkronisasi secara vertikal maupun horizontal dari
perundang-undangan, hal ini bertujuan untuk menghindari
ketidaksesuaian antara satu peraturan perundang-undangan
dengan yang lainnya, serta untuk mengetahui peraturan
perundang-undangan menurut hierarkinya;
b. Menelaah sistematika perundang-undangan, hal ini
bertujuan untuk mencari suatu kepastian dalam suatu
peraturan perundang-undangan;
35
Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 252.
28
c. Dalam mengambil suatu putusan, seorang hakim wajib
menggali dan mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
6. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian
ini, maka penelitian dilakukan di Perpustakaan meliputi:
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jl.
Dipati Ukur No. 35, Bandung.
b. Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran Bandung
(CISRAL), Jl. Dipati Ukur No. 46, Bandung.
c. Perpustakaan Universitas Islam Bandung.
d. Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung Jl AH Hasution No. 105.
Instansi meliputi:
a. PT Persero Pegadaian Kabupaten Purwakarta Jl Kapten
Halim No 37;
b. PT Persero Pegadaian Syari’ah Kabupaten Purwakarta Jl
Veteran No 91;
c. Majelis Ulama Indonesia, Jalan L.R.E. Martadinata No. 115,
Bandung;
d. Dewan Syari’ah Nasional. (MUI) di Jl. Dempo no. 19 Jakarta.