BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/110110/2008/110113080049_c_2666.pdf ·...

28
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia bisnis dan perekonomian selalu saja diikuti oleh perkembangan pemberian fasilitas kredit yang selalu memerlukan jaminan. Pelaksanaan jaminan ini merupakan bentuk pemberian kemananan dalam pelaksanaan kredit tersebut. Dengan kata lain, yang memberikan pinjaman (debitur) dalam hal ini Perum Pegadaian 1 (PT Persero Pegadaian) akan terjamin dengan adanya jaminan yang diberikan oleh peminjam (kreditur). Untuk itu jelas sekali dapat kita lihat bahwa lembaga jaminan dapat bersifat antara lain menunjang perkembangan ekonomi, perkreditan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas modal. Dalam pelaksanaannya, penyedia dana yang ada di Indonesia masih didominasi oleh perbankan sebagai lembaga intermediary yang langsung mempertemukan pemilik dana dengan pengguna. 2 Dalam hal ini penulis menekankan pada pelaksanaan lembaga pembiayaan yang dilakukan oleh PT Persero Pegadaian. 1 Status Perum Pegadaian berubah menjadi PT Persero Pegadaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Persero. 2 Lastuti Abubakar, “Pranata Gadai Sebagai Alternatif Pembiayaan Berbasis Kekuatan Sendiri (Gagasan Pembentukan UU Pergadaian)”, Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 1, Februari, 2012, hlm. 4.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/110110/2008/110113080049_c_2666.pdf ·...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia bisnis dan perekonomian selalu saja diikuti

oleh perkembangan pemberian fasilitas kredit yang selalu memerlukan

jaminan. Pelaksanaan jaminan ini merupakan bentuk pemberian

kemananan dalam pelaksanaan kredit tersebut. Dengan kata lain, yang

memberikan pinjaman (debitur) dalam hal ini Perum Pegadaian1 (PT

Persero Pegadaian) akan terjamin dengan adanya jaminan yang diberikan

oleh peminjam (kreditur). Untuk itu jelas sekali dapat kita lihat bahwa

lembaga jaminan dapat bersifat antara lain menunjang perkembangan

ekonomi, perkreditan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan

fasilitas modal.

Dalam pelaksanaannya, penyedia dana yang ada di Indonesia

masih didominasi oleh perbankan sebagai lembaga intermediary yang

langsung mempertemukan pemilik dana dengan pengguna.2 Dalam hal ini

penulis menekankan pada pelaksanaan lembaga pembiayaan yang

dilakukan oleh PT Persero Pegadaian.

1 Status Perum Pegadaian berubah menjadi PT Persero Pegadaian berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Persero.

2 Lastuti Abubakar, “Pranata Gadai Sebagai Alternatif Pembiayaan Berbasis

Kekuatan Sendiri (Gagasan Pembentukan UU Pergadaian)”, Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 1, Februari, 2012, hlm. 4.

2

Perkembangan yang terjadi pada PT Persero Pegadaian saat ini

adalah bentuk pelayanan yang tidak hanya melayani gadai konvensional

saja melainkan juga pelayanan gadai dengan sistem syari’ah.3

Keberadaan dua sistem pergadaian tersebut bukan tanpa masalah

bahkan telah menjadi permasalahan yuridis. Hal ini kemudian dapat dilihat

dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syari’ah.4

Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang telah lama beredar dan

dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu, jika memerlukan

pinjaman uang kebanyakan masyarakat mendatangi rentenir dengan

memberikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan, serta

membayar bunga yang sangat tinggi (melampaui batas kewajaran).

Sehingga tujuan mereka yang semula untuk mengatasi masalah

keuangan yang sedang dihadapi akhirnya justru menimbulkan masalah

yang baru, sebab disamping harus membayar uang pokok pinjaman,

mereka juga harus membayar bunga uang pinjaman tersebut.5

Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya

beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada

3 Lastuti Abubakar, Loc.cit., menyebutkan pelayanan gadai di luar sistem

konvensional terdapat gadai syariah (rahn), layanan jual beli logam mulia (mulia dan galeri 24), layanan fidusia (Kreasi, Krasida dan Krista), serta layanan jasa lainnya berupa jasa titipan, jasa taksiran, Kresna, Kucica,16 Langen Palikrama, Investa, Kremada, Kagum, dan G Lab (jasa pengujian logam mulia).

4 Lastuti Abubakar, loc.cit

5 Esther Million, Tugas dan Fungsi Pegadaian Sebagai Lembaga Pembiayaan

Dalam Pemberian Kredit Dengan Sistem Gadai, Tesis, PPS USU, Medan, 2004, hlm. 1.

3

suatu persoalan riba yang dilarang oleh hukum syara’.6 riba terjadi

apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi

tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada

waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan

penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan “bunga gadai”,

yang pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Sebab apabila

pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2

kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan

15 hari.

Penjelasan tersebut jelas merugikan pihak nasabah, karena ia

harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya.

Padahal sering sekali orang yang menggadaikan barang itu untuk

kebutuhan konsumtif. Namun, apabila dilihat dari segi komersiil pihak

Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak

tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual.7 Karena itu

aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik

pemungutan bunga karena dilarang syara’, dan pihak yang terbebani

merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah

mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk

membayar bunganya.

Pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki

potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, serta juga menciptakan

6 A.A. Basyir, Hukum Islam tentang Riba; Utang-Piutang Gadai, Al-Maarif,

Bandung, 1983, hlm. 55. 7 Ibid., hlm. 4.

4

adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian

yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian

itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba’.8 Mengenai riba’ itu,

para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman

dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang

dikatakan riba’ (bunga), di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur berikut:9

1. Apabila dalam akad gadai tersebut di tentukan bahwa ar-rahin atau

penggadai harus memberikan tambahan kepada al-murtahin atau

penerima gadai ketika membayar utangnya;

2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat

tersebut dilaksanakan;

3. Apabila ar-rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada

waktu yang telah ditentukan, kemudian al-murtahin menjual al-

marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga almarhun

kepada al-rahin. Padahal utang ar-rahin lebih kecil nilainya dari al-

marhun.

Islam menyikapi pegadaian terkait dengan fungsi utama pegadaian

adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya

pegadaian melakukan hal-hal yang dilarang syari’ah. Dalam praktek

pegadaian konvensional yang dikenal saat ini. Fungsi tersebut dilakukan

8 Muhmmad Akram Khan, Economic Teaching of Prophet Muhammad: A Select

Anthology of Hadith Literature on Economics, Alih Bahasa Team Bank Muamalat, Jakarta: 1996, hlm. 180.

9 Muhammad dan Solikhul Hadi, Pegadaian Syariah, Salemba Diniyah, Jakarta,

2003, hlm. 64. Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 304.

5

berdasarkan sitem bunga. Pegadaian konvensional tidak serta merta

identic denga riba, namun kebanyakan praktek pegadaian konvensional

dapat digolongkan dengan transaksi ribawi. Pegadaian konvensional

dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip

syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan

praktek pegadaian berdasarkan syariah.10

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1

Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/ Fa’idah) berpendapat:11

1. Bunga (Interest/ fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam

transaksi pinjaman uang (Al-Qardh) yang diperhitungkan dari pokok

pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok

tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di

muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase;

2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena

penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya,

dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah;

3. Praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba

yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah.

Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah

satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya;

10

Remy S., Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2005, hlm. 18.

11 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/

Fa’idah).

6

4. Praktik Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di

lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian, Koperasi,

dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu;

5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan

syari’ah dan mudah di jangkau, tidak diperbolehkan melakukan

transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga;

6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/ jaringan lembaga keuangan

syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga

keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.

Gadai syari’ah tidak menganut sistem bunga, namun menggunakan

biaya jasa (ijarah) sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan

pengenaan biaya jasa itu, dapat menutupi biaya yang dikeluarkan dalam

operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba’

(bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka

gadai syari’ah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsip-

prinsip syari’ah, seperti melalui akad qardhul hasan dan akad ijarah.

Menurut pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan

gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersiil (untuk

mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial

juga12 Imbalan jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal

dengan „bunga gadai, sangat memberatkan dan merugikan pihak

penggadai.

12

Muhammad Akram Khan, Op.cit., hlm 179-184.

7

Prinsip Syari’ah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan,

kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin).

Dalam hal praktik gadai syari’ah (Rahn), prinsip utang piutang yang

terdapat di dalam gadai konvensional dapat dikategorikan sebagai praktik

riba.13 Untuk itu perlu disampaikan juga perbedaan yang mendasar antara

gadai syari’ah dengan gadai konvensional, yaitu tidak diperkenankannya

bunga dalam gadai syari’ah sebagaimana diterapkan dalam gadai

konvensional.14

Pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga

yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda, lain halnya dengan biaya di

Pegadaian Syari’ah yang tidak berbentuk bunga, tetapi berupa biaya

penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran dan biaya

administrasi untuk penerbitan sertifikat gadai sebagai bukti saat

penebusan objek gadai. Biaya gadai syari’ah lebih kecil dan hanya sekali

saja.15 Praktik gadai konvensional yang dianggap melanggar syariat Islam,

maka sebagian masyarakat menilai hal ini tidak lazim dilaksanakan oleh

umat Islam di Indonesia, yang sebagian telah diberitakan oleh media

massa, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan, prasangka buruk,

kerisauan, dan keresahan dikalangan masyarakat.

Praktik gadai syari’ah dengan objek gadai emas dianggap telah

lazim sebagai barang berharga yang disimpan dan dijadikan objek gadai

13

Riba diartikan dengan tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa ada ganti rugi yang dibenarkan syariah kepada penambahan tersebut. Lihat Lastuti Abubakar, op.cit., hlm. 6.

14 Ibid.

15 Ibid.

8

(Rahn) sebagai jaminan utang untuk mendapatkan pinjaman uang. Hal ini

dilakukan melalui mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah,

untuk itu Dewan Syari’ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa

tentang hal itu untuk dijadikan pedoman pada pelaksanaan gadai syari’ah

dengan objek gadai emas.16 Hal ini dapat ditelusuri pada PT Persero

Pegadaian di Kabupaten Purwakarta yang melaksanakan mekanisme

gadai syari’ah dengan objek gadai emas yang sesuai dengan prinsip-

prinsip syari’ah.

Penelitian terkait tinjauan hukum terhadap gadai emas syari’ah oleh

PT Persero Pegadaian menurut hukum islam dikaitkan dengan Fatwa

Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor : 26/DSN-

MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas belum pernah dilakukan. Namun,

peneliti mengenai implementasi dua sistem gadai emas yang berlaku di

perum pegadaian pernah ditulis oleh :

1. Erwin Nugrahanto, NPM 110110070020, Skripsi Fakultas

Hukum Unpad Tahun 2012, tentang “Kajian Hukum Mengenai

Implementasi dua Sistem Gadai Emas yang berlaku di Perum

Pegadaian Indonesia Menurut KUHPerdata, Fatwa Dewan

Syariah No.25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn ; dan

No.26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas

2. Tia Rifahniari, NPM A1005220, Skripsi Fakultas Hukum Unpad

Tahun 2009, Tentang “Tinjauan Yuridis tentang Gadai syari’ah

16

Lihat Fatwa Dewan Syariah No: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.

9

dengan obyek Gadai Emas dalam pembiayaan syari’ah

berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syari’ah

Pemaparan dan pengaturan-pengaturan serta fenomena yang

terjadi terhadap pelaksanaan gadai syari’ah dengan objek gadai emas

tersebut, maka hal tersebut mendorong penulis untuk menjadikan usulan

penelitian yang berjudul:

“TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENERAPAN GADAI EMAS

OLEH PT PERSERO PEGADAIAN MENURUT HUKUM ISLAM

DIKAITKAN DENGAN FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA NOMOR: 26/DSN-MUI/III/2002

TENTANG RAHN EMAS”.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana Praktik Penerapan Gadai Emas Syari’ah oleh PT

Persero Pegadaian Menurut Hukum Islam dikaitkan dengan

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas?

2. Bagaimana Implikasi Yuridis Gadai Syari’ah terhadap

Perkembangan Ekonomi Syari’ah di Indonesia?

10

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan hukum ini

adalah :

1. Mencari kepastian mengenai Praktik Penerapan Gadai Emas

Syari’ah oleh PT Persero Pegadaian Menurut Hukum Islam

dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama

Indonesia Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.

2. Mendapatkan gambaran implikasi yuridis gadai syari’ah terhadap

perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan

bahan masukan bagi penulis dan pihak-pihak lain yang

berkepentingan yang merasakan manfaat penelitian ini, baik

secara:

1. Teoretis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan

pemahaman dan wawasan keilmuan dibidang hukum perdata dan

Hukum Islam pada umunya dan khususnya dibidang hukum Gadai

Emas (Rahn Emas) menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

dalam sistem hukum positif di Indonesia.

11

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan:

a. Dapat digunakan bagi pihak yang berkepentingan khususnya

masyarakat, praktisi hukum dan badan legislatif untuk mengkaji:

1) Praktik dan kedudukan terhadap gadai emas syariah dalam

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional majelis Ulama Indonesia

Nomor : 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.

2) Implikasi yuridis gadai syari’ah terhadap perkembangannya

di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam ilmu hukum terdapat berbagai definisi hukum yang

diungkapan oleh para ahli hukum. Salah satunya diungkapkan oleh

Mochtar Kusumaatmadja, yaitu hukum merupakan keseluruhan kaidah

dan asas yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat,

termasuk lembaga (institution) dan proses (processes) yang dapat

mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.17

Dalam konsep hukum sebagai sarana pembangunan, sebagaimana

tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen

keempat tercantum tujuan pembangunan nasional, yaitu untuk

mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Tujuan pembangungan

17

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm 12.

12

nasional juga diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945

amandemen keempat yang mengatakan:

1. Perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama

berdasar atas kekeluargaan;

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat;

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan

dari kesatuan ekonomi nasional;

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksaan pasal ini diatur

dalam undang-undang.

Pasal tersebut mencantumkan demokrasi ekonomi sebagai prinsip

dasar pembangunan nasional dengan mengutamakan kemakmuran dan

kesejahteraan bagi rakyat.18 Hal inilah yang mendasarkan pembangunan

nasional di Indonesia dan menjadikan dasar setiap produk hukum yang

berhubungan dengan perekonomian yang terutama di bidang

perdagangan dan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.

18

Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menrut Pancasila dan UUD 1945, Angkasa, Bandung, 1985, hlm. 49.

13

Hal senada juga dituangkan dalam visi Pembangunan Jangka

Panjang Nasional 2005-2025 (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional 2010-2014 (RPJMN), yaitu mewujudkan

perekonomian yang maju, mandiri, dan mampu secara nyata memperluas

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran yang merata

yang mendasar pada prinsip-prinsip ekonomi yang menjungjung tinggi

persaingan sehat dan keadilan, serta berperan aktif dalam perekonomian

global dan regional yang bertumpu pada kemampuan potensi bangsa

sendiri dan didukung oleh aktivitas sektor riil yang berdaya saing, berdaya

tahan, dan berkeadilan19

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang

dipersamakan dengan itu berupa:

1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

2. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam

bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

3. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan

istishna’;

4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

5. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi

multijasa.

Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syari’ah

dan/ atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/

19

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.

14

atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah

jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi

hasil.

Pegadaian sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia, yang

bertugas menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang

pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum

gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Hadirnya lembaga

tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat

dalam praktik-praktik lintah darat, ijon dan/atau pelepas uang lainnya.

Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam

prakteknya belum dapat terlepas dari berbagai persoalan. Maka

diharapkan pegadaian yang selama ini sudah berlaku di tengah-tengah

masyarakat dapat berjalan sesuai tujuan pokoknya, serta benar-benar

akan dapat berfungsi sebagai lembaga keuangan non-Bank yang dapat

memberikan Kemaslahatan sesuai yang diharapkan masyarakat.

Perkembangan yang terjadi pada PT Persero Pegadaian saat ini

adalah bentuk pelayanan yang tidak hanya melayani gadai konvensional

saja melainkan juga pelayanan gadai dengan sistem syari’ah.

Keberadaan dua sistem pergadaian tersebut bukan tanpa masalah

bahkan telah menjadi permasalahan yuridis. Hal ini kemudian dapat dilihat

dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syari’ah.20

20

Lastuti Abubakar, loc.cit.

15

Perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat

dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan

berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor

pegadaian sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan

memperkukuh perekonomian nasional.

Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan

menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna

memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus

kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga

gadai.21 Ini berarti bahwa gadai merupakan suatu hak jaminan kebendaan

atas kebendaan bergerak tertentu milik debitur atau seseorang lain atas

nama debitur untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu,

yang memberikan hak didahulukan pelunasan piutangnya kepada

pemegang hak gadai (Kreditur Preferen) atas kreditur lainnya (Kreditur

Konkruen), setelah terlebih dahulu didahulukan dari biaya untuk lelang

dan biaya menyelamatkan barang-barang gadai yang diambil dari hasil

penjualan melalui pelelangan umum atas barang-barang yang

digadaikan.22

Jangka waktu pinjaman gadai adalah selama 4 bulan atau 120 hari.

Jangka waktu pinjaman dihitung sejak tanggal pemberian uang pinjaman

sampai batas akhir tanggal pelunasan atau jatuh tempo, dimana hari

21

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 246.

22 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika, Jakarta, 2008,

hlm. 105.

16

besar dan hari minggu turut dihitung, jangka waktu dapat diperpanjang

dengan jalan.23 Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut Rahn.

Rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai

tanggungan hutang. Pengertian Rahn dalam bahasa Arab adalah Ats-

Tsubut wa addawam yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti pada kalimat

maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah

SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38:

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah

diperbuatnya”.

Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang

tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan

makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata Ar-Rahn

berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat

hutang. Pengertian gadai (Rahn) dalam Hukum Islam (Syara’) adalah

menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan

syara’ sebagai jaminan hutang, yang memungkinkan untuk mengambil

seluruh atau sebagian hutang dari barang tersebut.24 Gadai menurut

Hukum Islam (Syari’ah) atau dalam penelitian ini lebih lanjut disebut

dengan Gadai Syari’ah (Rahn) adalah menahan salah satu harta milik

nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas hutang/ pinjaman

23

Ibid. 24

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 2.

17

(marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis.

Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin)

memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau

sebagian piutangnya.25

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gadai syari’ah

merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda

berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/ atau harta benda lainnya sebagai

jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga gadai

syari’ah berdasarkan hukum gadai syari’ah. Fungsi akad perjanjian dalam

pengertian gadai (Rahn) antara pihak peminjam dengan pihak yang

meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang

dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, Rahn

pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan hutang piutang yang murni

berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh mu’amalah akad ini merupakan

akad tabarru atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.

Dasar hukum yang menjadi landasan Gadai Syari’ah adalah ayat-

ayat Al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW, ijma’ ulama, dan fatwa MUI.

Didalam sistem hukum positif di indonesia hanya fatwa MUI yang dapat

dijadikan aturan pelaksanaan dalam melakukan praktik gadai, tentunya

Fatwa MUI tersebut berdasarkan Al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW,

ijma’ ulama.

25

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hlm. 128.

18

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia

(DSNMUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syari’ah, di

antaranya dikemukakan sebagai berikut

1. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:

25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;

2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:

26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas.

Syariah Islam sebagai suatu syariat yang dibawa oleh Rasul

terakhir memiliki sifat yang komprehensif dan universal. komprehensif

berarti merangkum seluruh aspek kehidupan manusia baik ritual (ibadah)

maupun sosial (Muamalah). Konsep lembaga keuangan pada tatanan

perekonomian masyarakat madani harus mengacu pada tatanan

perekonomian pada masa Rasululloh membangun masyarakat Madinah

yang dalam seluruh aspek kehidupan berlandaskan syari’ah Islam.26

Gadai dalam Hukum Islam diistilahkan dengan Rahn dan Al-Babs.

Secara etimologis Al-Rahn berarti tetap dan lama, sedangkan Al-Babs

berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat

dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.27 Sedangkan

menurut Sayyid Sabiq, Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai

nilai harta menurut syara’ sebagai jaminan hutang sehingga orang yang

bersangkutan boleh mengambil hutang atau Ar-Rahin (Penggadai) dapat

26

Muhamad Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, Suatu Pengantar tentang Ilmu Hukum Islam dalam berbagai Mazhab, Kalam Mulia, Jakarta, 1993, hlm. 30-42

27 Rahmah Syafi’I, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 159.

19

mengambil sebagian manfaat barang tersebut.28 Pengertian gadai

Syari’ah berbeda dengan gadai dalam pengertian hukum positif (Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata) dan berbeda pula dengan gadai

menurut pengertian Hukum Adat.29

Menurut terminologi, syariah adalah peraturan-peraturan yang

mengatur hubungan manusia dengan pecipta-Nya lalu hubungan antar

sesama manusia yang mengacu pada Alquran dan sunah. Di negara

seperti Iran atau Saudi Arabia, prinsip syari’ah adalah dasar kehidupan

bernegara yang digunakan dalam politik dan juga ekonomi.30 Pegadaian

syari’ah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya

menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharabah (bagi

hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP)

mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi,

membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode

Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian

menggunakan metode Fee Based Income (FBI).

Minat masyarakat akan pembiayaan gadai syariah yang semakin

besar, maka pegadaian syariah yang merupakan salah satu lembaga yang

menyediakan produk tersebut harus tetap dikawal dengan baik agar tidak

ada yang melakukan penyimpangan terhadap sistem yang telah ada

28

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, Al-Maarif, Bandung, 1997, hlm. 139. 29

Chairuman Pasaribu, dkk, Hukum Pejanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta 1996, hlm. 140.

30 http://brighterLife.co.id, Mengenal Prinsip Syariah di Indonesia,

http://brighterlife.co.id/2012/05/24/mengenal-prinsip-syariah-di-indonesia.htm diakses 08/01/2013.

20

karena dapat merusak citra pegadaian syariah di mata masyarakat. Oleh

karena itu, diperlukan pengawasan terhadap penerapan dan pelaksanaan

produk pembiayaan dalam hal ini difokuskan mengenai sistem akuntansi

pembiayaan gadai syari’ah agar masyarakat yang telah menggunakan

produk tersebut semakin yakin dengan prinsip syari’ah yang telah

dijelaskan dan untuk masyarakat yang belum memanfaatkan produk

pembiayaan menjadi yakin dan tertarik dengan produk tersebut.

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia

No.26/DSN-MUI/III/2002 dengan akad pendamping ijarah (PSAK 107)

tahun 2008 sebagai panduan dalam pengakuan dan pengukuran,

penyajian, dan pengungkapan yang berhubungan dengan pembiayaan

gadai syariah. PSAK ini berlaku sejak April 2008. Penerapan Fatwa

Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 26/DSN-

MUI/III/2002 dengan akad pendamping ijarah (PSAK 107) tahun 2008

untuk pembiayaan dengan gadai syari’ah akan memberikan kontribusi

terhadap pencapaian target pertumbuhan pendanaan syariah karena

peraturan tersebut merupakan formulasi yang dibuat oleh para pakar

ekonomi syari’ah

Dalam negara-negara yang menganut sistem ekonomi syari’ah,

konsep-konsep seperti zakat mewakili konsep tentang hidup adil dan

merata bagi setiap orang. Kemudian gharar dan masyir, yang melarang

semua praktik perjudian. Lalu takaful, sebuah konsep tentang rasa

solidaritas antara masyarakat untuk tolong menolong jika ada kerabatnya

21

yang mengalami musibah. Lalu, bagaimana dengan penerapan prinsip

syari’ah di Indonesia.

Dalam Al-Quran Surat Al baqarah 283 dan juga dalam hadits

dijelaskan bahwa gadai merupakan salah satu bentuk dari mu’amalah,

dimana sikap menolong dan amanah sangat ditonjolkan. Maka pada

dasarnya, hakikat dan fungsi gadai dalam islam adalah semata-mata

untuk memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan

dengan bentuk marhum sebagai jaminan.31

Masyarakat kini telah lazim menjadikan emas sebagai barang

berharga yang disimpan dan menjadikannya objek Rahn sebagai jaminan

utang untuk mendapatkan pinjaman uang, Dewan Syari’ah Nasional

memandang perlu membuat suatu aturan mengenai praktik gadai emas.

Untuk itu dikeluarkanlah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama

Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas.

Kasus sengketa antara seniman Butet Kartaredjasa dengan PT

Bank Rakyat Indonesia Syari’ah (BRI Syari’ah) menjalani babak baru.

Keduanya saat ini menjalani proses mediasi yang ditangani oleh Bank

Indonesia. Mediasi tersebut dilakukan pada Kamis, 3 Oktober 2012, di

Gedung Bank Indonesia. Tak hanya Butet, mediasi itu juga dihadiri tujuh

nasabah lain yaitu Robert Sugiharto, Sell Kusuma Dewani, Elsje Hartini,

Tan Leo Hardianto, Indah Sulistiyo Wati dan Mohammad Widodo. Para

nasabah BRI Syariah itu didampingi pengacara Djoko Prabowo Saebani.

31

Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional, UIP, Jakarta, 2006, hlm.41.

22

Para nasabah yang berasal dari Semarang dan Yogyakarta

tersebut datang untuk memberikan konfirmasi terkait kasus tersebut. Butet

berpendapat, klaim BRI bahwa nasabah tidak membayar ijarah (biaya

sewa) tidak berdasar karena dana standby untuk membayar ijarah itu

sudah ada di bank. Butet juga menjelaskan pihaknya telah mengajukan

somasi kepada BRI Syari’ah. Alasannya, pihaknya tidak mengizinkan BRI

Syari’ah untuk menjual emas yang menjadi obyek jaminan yang disimpan

di Bank BRI Syari’ah. Butet dan nasabah lain menolak penjualan obyek

jaminan secara langsung oleh Bank BRI Syari’ah. Dalam perjanjian gadai

syari’ah yang ditandatangani nasabah, jatuh temponya dalam waktu

empat bulan.

Pengacara Butet, Djoko Prabowo, menjelaskan, dalam pertemuan

dengan Deputi Direktur Perbankan Syari’ah, Nawawi, para nasabah itu

meminta beberapa hal diantaranya jika emas para nasabah belum dijual,

maka dapat dijual dengan harga saat ini, sehingga bank dan nasabah

sama-sama diuntungkan. Mereka juga meminta pemulihan nama baik

akibat masuk dalam BI Checking sehingga mereka sulit mengajukan

kredit. Gadai emas, yang belakangan ini marak, adalah merupakan produk

pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif

memperoleh uang tunai dengan cepat.

Dalam kasus Butet yang menjadi nasabah gadai emas BRI Syari’ah

di Yogyakarta pada Agustus 2011. Dengan modal 10 persen dari

keseluruhan harga emas, BRI Syari’ah memberikan pembiayaan sebesar

23

90 persen. Butet mencicil sejumlah uang yang dipersyaratkan. Total emas

yang digadaikan seberat 4,89 kilogram dengan nilai lebih dari Rp2,5 miliar.

Ketika jatuh tempo pada Desember 2011, nasabah diberikan opsi: saat

harga emas turun, nasabah menanggung penurunan harga dari harga

emas semula. Dalam hal ini Butet menolak opsi tersebut. BRI Syari’ah

juga memberikan opsi memperpanjang masa jatuh tempo sebanyak dua

kali, namun kerugian penurunan harga tetap harus ditanggung Butet. BRI

juga meminta emas yang dimiliki Butet dijual BRI Syari’ah akhirnya

menjual kepemilikan emas Butet dengan alasan hal itu sudah tercantum

dalam perjanjian.

Selama ini BRI Syari’ah sudah menjalankan bisnis gadai emas

dengan benar dan sesuai ketentuan BI. Namun, jika terjadi kerugian

dalam bisnis tersebut, hal itu sudah sewajarnya menjadi tangung jawab

nasabah gadai emas. Dalam kesempatan itu, Hadi juga memberikan

klarifikasi bahwa pihaknya telah memberikan penjelasan kepada Butet,

sebelum menjual emas miliknya pada Agustus lalu. Dalam penjualan

tersebut, BRI Syari’ah mengaku sudah menjalankan mekanisme penjualan

emas yang benar. Tak hanya itu, BRI Syari’ah menegaskan pihaknya

sama sekali tidak mengambil keuntungan dari selisih harga emas yang

berlaku pada waktu itu.

Pembiayaan dengan cara yang dijelaskan di atas memiliki resiko

besar. Dengan alasan model utama pembiayaan itu adalah spekulasi

karena ketika terjadi gejolak di pasar, maka akan menimbulkan resiko

24

tambahan. Dalam investasi itu dikenal dengan margin landing, yaitu

nasabah meminjam uang untuk digunakan investasi. Selisih antara modal

dan pinjaman inilah yang kerap menjadi masalah. Dalam hal ini

seharusnya. Sebelum memulai gadai emas, semua nasabah mengerti apa

resikonya. penjual juga harus menjelaskan kerugiannya jika harga emas

turun. Meskipun demikian, perencana keuangan ini mengakui konsep

gadai emas ini secara sistematis memang menguntungkan. Namun,

dengan catatan, biaya penitipan emas harus lebih rendah dari imbalan

hasil harga emas. Agar masyarakat mengubah konsep dan pola pikir

untuk cepat mendapatkan keuntungan, maka harus merasakan

prosesnya. Untuk mencapai hal itu, diperlukan tingkat edukasi dan

pemahaman yang cukup.

Menjelaskan hal tersebut, Ligwina menyarankan agar masyarakat

mengubah konsep dan pola pikir untuk cepat mendapatkan keuntungan,

namun harus merasakan prosesnya. Untuk mencapai hal itu, diperlukan

tingkat edukasi dan pemahaman yang cukup.32

F. Metode Penelitian

Metode penelitian sangat penting dalam rangka memperoleh hasil

penelitian yang akurat, untuk itu penelitian dilakukan berdasarkan metode-

metode sebagai berikut:

32

http://fokus.news.viva.co.id/news/read/357085-butet-kartaredjasa-versus-bri-syariah--siapa-salah- diakses 10-01-2013.

25

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam upaya mencapai tujuan penelitian ini, metode penelitian

yang digunakan bersifat deskriptif analitis33. Metode ini

menggambarkan dan menganalisis data sekunder yang

didukung oleh data primer mengenai berbagai masalah yang

berkaitan dengan praktik pegadaian yang menggunakan obyek

gadai emas.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis

normatif34 yaitu penelitian dengan cara mengkaji, menganalisis

tentang Gadai Emas Syari’ah Hukum Islam dan Fatwa Dewan

Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 26/DSN-

MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.

3. Tahap Penelitian

Tahapan yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini, antara lain:

Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan

data skunder yang terdiri dari berupa tulisan-tulisan para ahli di

bidang hukum, jurnal dan majalah hukum yang didapatkan

melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan pergadaian;

dan

33

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, UI Press, Jakarta, 2007, hlm.10.

34 Ibid., hlm. 51.

26

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian, yaitu :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang

Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian

Menjadi Perusahaan Persero;

3) Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah;

4) Sumber Hukum Islam: Al-Qur’an dan Hadist.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan

bahan hukum primer, seperti halnya hasil penelitian hukum

dan ekonomi, buku teks, jurnal, artikel dari kalangan hukum

dan sumber data lainnya.

c. Bahan hukum Tersier, yaitu berupa kamus hukum, kamus

ekonomi, ensiklopedia, artikel pada surat kabar, majalah,

dan internet.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini

adalah:

a. Studi kepustakaan dengan maksud untuk memperoleh data

sekunder yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder, dan

tersier.

27

b. Mempelajari Peraturan Perundang-undangan Negara

Republik Indonesia serta peraturan pelaksanaannya.

5. Analisis Data

Setelah bahan data primer, sekunder maupun tersier dari

penulisan skripsi ini terkumpul, maka selanjutnya dilakukanlah

analisis secara kualitatif. Dilakukannya analisis data secara yuridis

kualitatif memungkinkan peneliti berdasarkan bahan-bahan

kepustakaan tersebut untuk melihat secara jelas pengaruhnya

terhadap kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, berupa

penjelasan-penjelasan yang tidak dirumuskan melalui perhitungan

secara matematis.

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian yang menggunakan

analisis data secara yuridis kualitatif tidak terlepas dari beberapa

unsur:35

a. Adanya sinkronisasi secara vertikal maupun horizontal dari

perundang-undangan, hal ini bertujuan untuk menghindari

ketidaksesuaian antara satu peraturan perundang-undangan

dengan yang lainnya, serta untuk mengetahui peraturan

perundang-undangan menurut hierarkinya;

b. Menelaah sistematika perundang-undangan, hal ini

bertujuan untuk mencari suatu kepastian dalam suatu

peraturan perundang-undangan;

35

Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 252.

28

c. Dalam mengambil suatu putusan, seorang hakim wajib

menggali dan mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

6. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian

ini, maka penelitian dilakukan di Perpustakaan meliputi:

a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jl.

Dipati Ukur No. 35, Bandung.

b. Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran Bandung

(CISRAL), Jl. Dipati Ukur No. 46, Bandung.

c. Perpustakaan Universitas Islam Bandung.

d. Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati

Bandung Jl AH Hasution No. 105.

Instansi meliputi:

a. PT Persero Pegadaian Kabupaten Purwakarta Jl Kapten

Halim No 37;

b. PT Persero Pegadaian Syari’ah Kabupaten Purwakarta Jl

Veteran No 91;

c. Majelis Ulama Indonesia, Jalan L.R.E. Martadinata No. 115,

Bandung;

d. Dewan Syari’ah Nasional. (MUI) di Jl. Dempo no. 19 Jakarta.