BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.ums.ac.id/57794/4/BAB I.pdf · tutup, perusahaan pailit,...

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tiap orang membutuhkan biaya untuk melengkapi kebutuhan hidupnya. Untuk itu mereka bekerja sebagai pegawai atau sebagai buruh/pekerja. Pekerja atau buruh bisa dibilang sebagai stakeholders dari suatu perusahaan yang menjadi salah satu indikator yang memastikan maju mundurnya perusahaan. Oleh karena semakin bagus hubungan industrial dalam suatu perusahaan karenanya akan semakin besar kemungkinan majunya perusahaan yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya semakin tak harmonisnya hubungan industrial dalam suatu perusahaan, kemungkinan untuk majunya perusahaan akan semakin rendah. 1 Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tak sepadan dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. 2 Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Kebanyakan tenaga kerja yang tersedia merupakan yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Kebanyakan juga adalah tenaga kerja tidak terampil maka dari itu posisi tawar mereka rendah. 3 Hal tersebut memicu majikan untuk bertindak sewenang-wenang kepada pekerja atau buruh. Buruh dianggap sebagai unsur ekstern yang mempunyai kedudukan sama seperti pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli yang berguna untuk menyokong kelangsungan perusahaan yakni akan menjadi komponen yang tidak dapat dipisahkan atau sebagai faktor konstitutif yang mewujudkan tujuan perusahaan. 4 Majikan bisa menekan pekerja atau buruhnya untuk bekerja maksimal kadang kala melebihi kesanggupan kerjanya. Contohnya majikan bisa 1 Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan, 2014, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal 89 2 Imam Soepomo, 2008, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta : Djambatan, hal.10 3 Ibid 4 Lalu Husni, 2008, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 11

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.ums.ac.id/57794/4/BAB I.pdf · tutup, perusahaan pailit,...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tiap orang membutuhkan biaya untuk melengkapi kebutuhan

hidupnya. Untuk itu mereka bekerja sebagai pegawai atau sebagai

buruh/pekerja. Pekerja atau buruh bisa dibilang sebagai stakeholders dari

suatu perusahaan yang menjadi salah satu indikator yang memastikan maju

mundurnya perusahaan. Oleh karena semakin bagus hubungan industrial

dalam suatu perusahaan karenanya akan semakin besar kemungkinan majunya

perusahaan yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya semakin tak

harmonisnya hubungan industrial dalam suatu perusahaan, kemungkinan

untuk majunya perusahaan akan semakin rendah. 1

Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tak sepadan dengan

jumlah lapangan kerja yang tersedia.2 Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak

dari pada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Kebanyakan tenaga kerja

yang tersedia merupakan yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan

sama sekali. Kebanyakan juga adalah tenaga kerja tidak terampil maka dari itu

posisi tawar mereka rendah.3

Hal tersebut memicu majikan untuk bertindak sewenang-wenang

kepada pekerja atau buruh. Buruh dianggap sebagai unsur ekstern yang

mempunyai kedudukan sama seperti pelanggan pemasok atau pelanggan

pembeli yang berguna untuk menyokong kelangsungan perusahaan yakni akan

menjadi komponen yang tidak dapat dipisahkan atau sebagai faktor konstitutif

yang mewujudkan tujuan perusahaan. 4

Majikan bisa menekan pekerja atau buruhnya untuk bekerja maksimal

kadang kala melebihi kesanggupan kerjanya. Contohnya majikan bisa

1 Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan, 2014, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

hal 89 2 Imam Soepomo, 2008, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta : Djambatan, hal.10 3 Ibid 4 Lalu Husni, 2008, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, hal 11

2

menetapkan upah maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa

memperhatikan masa kerja dari pekerja itu.5 Dapat dilihat bahwa seringkali

pekerja yang masa kerjanya lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar

daripada upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan

tidak ingin meningkatkan atau menaikkan upah pekerja meskipun peningkatan

hasil produksi terjadi, mereka berdalih takut diprotes oleh perusahaan-

perusahaan lain yang sejenis.6

Selain itu para pekerja kadang kerap mendapatkan permasalahan

perihal PHK. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) senantiasa mejadi hal yang

sulit bagi pengusaha ataupun pekerja atau buruh. Fakta memperlihatkan

bahwa PHK seringkali menimbulkan ketidakpuasan bagi salah satu pihak

dikarenakan masing-masing pihak memiliki sudut pandang yang berbeda

dalam menyikapi terjadinya PHK.7 Pengusaha menganggap terjadinya PHK

merupakan hal yang wajar di dalam perusahaan. Bagi pekerja/buruh,

terjadinya PHK berpengaruh sungguh luas bagi kehidupanya tidak hanya bagi

dirinya pribadi namun juga keluarganya. PHK akan menyebabkan seorang

pekerja/buruh kehilangan mata pencahariannya. Dalam lingkup yang lebih

luas, keluarga yang bertumpu pada si pekerja/buruh sebagai tulang punggung

keluarga akan kesulitan memenuhi keperluan hidup sehari-hari termasuk

membiayai sekolah buah hati mereka.8

PHK bisa terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha ataupun dari

pekerja/buruh. Namun pada kenyataanya lebih sering terjadi pemutusan

hubungan kerja (PHK) atas inisiatif dari pihak pengusaha. Dengan tujuan

untuk meningkatan daya saing dan efisiensi agar bisa mewujudkan peluang

kerja seluas-luasnya.

PHK diatur dalam Pasal 150 hingga dengan Pasal 172 Undang-Undang

No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk alasan-alasan PHK.9

PHK oleh pengusaha kepada pekerja/buruh bisa disebabkan beragam alasan,

5 Ibid 6 Budi Santoso. 2013. Justifikasi Efisiensi Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja, Mimbar

Hukum Volume 25 No. 3, hal 40 7 Ibid 8 Ibid, hal 406 9 Abdul R. Bodiono, 2009 , Hukum Perburuhan, Jakarta: PT Indeks, hal 79

3

seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan status perusahaan, perusahaan

tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal dunia, pekerja pensiun atau karena

pekerja/buruh telah mengerjakan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam

pasal 158 ayat (1) Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.10

Dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan bahwa pengusaha bisa melaksanakan pemutusan hubungan

kerja kepada pekerja/buruh disebabkan perusahaan tutup bukan karena

mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan

memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan

ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)

kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan

Pasal 156 ayat (4).11

Penggunaan Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 oleh

pengusaha sebagai dasar hukum untuk bisa dilakukan pemutusan hubungan

kerja dengan alasan efisiensi tanpa tutupnya perusahaan telah menjadi polemik

dalam praktek aturan ketenagakerjaan. Pekerja dan atau serikat pekerja kerap

menolak pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi karena menurut

mereka tak ada pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur efisiensi

tanpa tutupnya perusahaan bisa dijadikan alasan dilaksanakannya pemutusan

hubungan kerja oleh pengusaha. Hal itu tidak adil karena efisiensi seringkali

dijadikan alasan oleh pengusaha untuk melaksanakan pemutusan hubungan

kerja secara sewenang-wenang, contohnya kepada pekerja yang dianggap

sudah tidak produktif atau yang dianggap “melawan dan membahayakan”

perusahaan.

Seperti dalam Putusan MA Nomor 229 K/Pdt.Sus-PHI/2015, Putusan

MA Nomor 787 K/Pdt.Sus-PHI/2015, dan Putusan MA 787 K/Pdt.Sus-

PHI/2016. Ketiga putusan tersebut oleh majelis hakim diputus sebagai PHK

dengan alasan efisiensi. Dalam Putusan MA Nomor 229 K/Pdt.Sus-PHI/2015

10 Ibid, hal 80 11 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

4

oleh majelis hakim diklasifikasikan sebagai PHK efisiensi karena} memang

benar perusahaan mengalami kerugian dibuktikan dari hasil audit Akuntan

Publik telah mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut. Putusan MA

Nomor 787 K/Pdt.Sus-PHI/2015 diputus sebagai PHK dengan alasan efisiensi

karena bukan adanya kesalahan/pelanggaran oleh pihak Penggugat/Pekerja

melainkan PHK sepihak karena disharmonisasi. Dan Putusan MA 787

K/Pdt.Sus-PHI/2016 karena perusahaan melakukan penutupan secara

permanen bagian Living Essentials Group (LEG) kepada semua pekerja pada

bagian LEG sehingga diklasifikasikan sebagai tindakan efisiensi namun

pemutusan hubungan kerja efisiensi tidak diatur dalam PKB.

Putusan majelis hakim tersebut tidak serta merta diterima oleh pihak

pengusaha ataupun pekerja karena pada putusan tingkat pertama pada

Pengadilan Hubungan Industrial masih diketemukan majelis hakim tidak

sesuai dalam penerapan hukumnya dalam memutus perkara PHK efisiensi,

yang mempengaruhi penerimaan hak yang semestinya diterima oleh pekerja.

Atau dari pihak pengusaha semestinya memenuhi hak pekerja yang lebih

banyak dari yang seharusnya diterima oleh karyawan. Berdasarkan hal

tersebut yang mengakibatkan pihak pekerja atau pihak pengusaha mengajukan

perkara pada tingkat kasasi.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim

Dalam Perkara Perselisihan PHK (Studi Terhadap Putusan PHK Efisiensi)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus

perkara perselisihan PHK efisiensi?

2. Bagaimanakah model pertimbangan hakim dalam memeriksa dan

memutus perkara perselisihan PHK efisiensi?

5

C. Keaslian Penelitian

Penelitian ini akan membahas mengenai tinjauan yuridis

Pertimbangan Hakim dalam perkara perselisihan PHK efisiensi dalam

putusan. Adapun penelitian yang membahas tema yang sama adalah

sebagai berikut:

1. Hizbul Maulana dengan judul tesis “Perlindungan Hukum Terhadap

Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Karena

Efisiensi” pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas

Airlangga Surabaya,2016. Penulisan tesis ini mengambil permasalahan

perihal Penyelesaian Terhadap Hubungan Industrial (PPHI) dan Kasus

Terhadap Hubungan Industrial antara PT. Manunggal Punduh Sakti

melawan Sustingsih dan Winarki dalam mengambil putusan PHK

karena efisiensi. Yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2004 berlaku, diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam

Putusan No. 37 K/PHI/2006.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 ini telah berlaku. Hasil dari

penelitian yang demikian mengungkapkan bahwa Panitia Penyelesaian

Perselisihan Perburuan Daerah (P4D) dan Hakim kurang tepat karena

hanya merujuk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 164

(3) saja tanpa mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004 tentang PHI.

2. Vitriani Kirana dengan judul tesis Pelaksanaan Perselisihan Pemutusan

Hubungan Kerja DiSebabkan Renovasi pada Program Pascasarjana

Ilmu Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013. Penulisan tesis ini

mengambil permasalahan mengenai dasar hukum dan perlindungan

hukum bagi pekerjanya karena PHK oleh manajemen Hotel

Papandayan dalam melakukan PHK karena renovasi. Hasil dari

penelitian yang demikian mengungkapkan bahwa alasan PHK kepada}

pekerja karena Hotel Papandayan Bandung berbintang 4 (empat) tutup

disebabkan akan melaksanakan renovasi sebagai langkah efisiensi

kurang tepat sebab “...perusahaan tutup...”, dalam ketentuan Pasal 164

ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

dimaksudkan mengalami penutupan sehingga berhenti beroperasi suatu

6

perusahaan tersebut untuk waktu yang lama bahkan tidak beroperasi

lagi, padahal renovasi sifatnya hanya sementara bukan karena keadaan

keuangan perusahaan / dalam keadaan merugi dan memaksa.

Dari penelitian tersebut di atas belum kelihatan adanya penelitian

perihal “Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim Dalam Perkara

Perselisihan PHK (Studi Terhadap Putusan PHK Efisiensi)” yang

dilakukan oleh peneliti ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang

membahas dan mengkaji secara khusus mengenai pertimbangan hukum

dari hakim dalam memeriksa dan memutus perselisihan PHK efisiensi

dalam Putusan MA Nomor 229 K/Pdt.Sus-PHI/2015, Putusan MA Nomor

787 K/Pdt.Sus-PHI/2015, dan Putusan MA 787 K/Pdt.Sus-PHI/2016

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa dan

memutus perselisihan PHK efisiensi.

2. Untuk mengetahui model pertimbangan hukum hakim dalam

memeriksa dan memutus perselisihan PHK efisiensi.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Memberikan kontribusi serta manfaat bagi indivindu, masyarakat

maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam menambah

pengetahuan yang berhubungan dengan perselisihan PHK efisiensi.

2. Hasil studi ini dapat menjadi pengetahuan bagi akademik khususnya

maupun publik pada umumnya untuk lebih memahami tentang

pertimbangan hukum dari hakim dalam memeriksa dan memutus

perselisihan PHK efisiensi dan model ideal pertimbangan hukum dari

hakim.

7

F. Landasan Teori

A. Tinjauan Umum

1. Efisiensi

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, efisiensi

diartikan sebagai ketentuan, sistem usaha dalam menjalankan

sesuatu dengan tidak membuang waktu, daya, dan biaya.12 Oxford

Dictionary mengartikan efisiensi sebagai (1) kualitas sesuatu

pekerjaan dengan baik tanpa membuang waktu dan uang, (2) cara

mengurangi pemborosan waktu dan uang atau cara menghemat

waktu dan uang, dan (3) Hubungan antara jumlah pengeluaran

dengan jumlah pendapatan.13

Menurut Dearden14 yang diterjemahkan oleh agus Maulana

efisiensi yaitu “kesanggupan suatu unit usaha untuk mencapai

tujuan yang diinginkan, efisiensi senantiasa dihubungkan dengan

tujuan organisasi yang seharusnya dicapai oleh perusahaan.”

Efisiensi menurut Malayu S.P Hasibuan15 merupakan

“perbandingan terbaik antara input dan output antara keuntungan

dengan biaya antara proses dengan sumber yang dipakai seperti

halnya juga hasil maksimal yang dicapai dengan pemakaian

sumber yang terbatas

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efisiensi adalah

kesanggupan perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya untuk

mendapatkan hasil tertentu dengan memakai input yang serendah-

rendahnya untuk menghasilkan suatu keluaran (output), dan juga

untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar.”16

12 Pusat Bahasa Kementrian pendidikan dan Kebudayaan RI, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”,

http://bahasa.kemendiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses 1 November 2016 13 As Hornby, 2005, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Edisi ke-7, Oxford University Press,

London, hal 489 14 Agus Maulana, 2003, Struktur Pengendalian Manajemen, Jakarta: Binaputra Angkasa, hal

250 15 Malayu S.P. Hasibuan, 2012, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi aksara, hal 46 16 Satjipto Rahardjo, 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.

Yogyakarta: Genta Publishing, hal 58

8

Jadi efisiensi ialah suatu sistem yang dilaksanakan karena

alasan ekonomi perusahaan. Dalam kaitanya dengan pekerja

efisiensi dilaksanakan dengan sistem mengurangi jumlah pekerja.

2. PHK

PHK ialah “pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja dengan pengusaha.”17 PHK yaitu lepasnya relasi kerja

secara sah dari satu kesatuan atau organisasi di mana mereka

bekerja.18

Susilo Martoyo19 menggolongankan pengertian PHK sebagai

berikut:

1. Pengertian PHK bersifat positif jika pemberhentian yang

demikian dilakukan pada masa atau rentang pemberhentian dan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara wajar

2. Pengertian PHK bersifat negatif jika pelaksanaan dan proses

pemberhentian tersebut menyimpang dan ketentuan yang

demikian dilakukan secara tidak wajar, seperti pemecatan,

diberhentikan secara tidak hormat dan lain sebagainya

Menurut Siswanto Sastrohadiwiryo20 “Pemutusan

Hubungan Kerja menurut Peraturan merupakan suatu proses

pelepasan keterikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga

kerja yang bersangkutan ataupun atas kebijakan perusahan dimana

tenaga kerja tersebut dipandang sudah tidak cakap lagi dan kondisi

perusahaan yang tidak memungkinkan”.

Dari beragam definisi tersebut dapat ditarik simpulan

bahwa bukan hanya pengusaha yang bisa mengakhiri hubungan

kerja, namun juga karyawan. Sehingga pemutusan hubungan kerja

boleh dilakukan oleh tiap organisasi atau perusahaan asalkan sesuai

17 Edy Sutrisno, 2014, Manajemen Sumber Daya Manusia , Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, hal 195 18 Ibid , 199 19 Susilo Martoyo, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : BPFE Publisher. hal

199 20 Siswanto Sastrohadiwiryo, 2005, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta: PT. Pustaka

Binaman Pressindo, hal 305

9

dengan ketentuan yang telah diatur UU Ketenagakerjaan,

Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau PK.

Undang-undang No 3 tahun 2003 pasal 1 angka 25

menjelaskan pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan

pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh atau

pekerja dan pengusaha

Berdasarkan Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,

menjelaskan bahwa : “Dalam hal pekerja/buruh melakukan

pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, aturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha bisa

melakukan pemutusan hubungan kerja, terhadap pekerja/buruh

yang bersangkutan setelah diberi surat peringatan pertama, kedua,

dan ketiga secara berturut- turut dengan demikian pengusaha dalam

melakukan pemutusan hubungan kerja tidak bisa melakukan PHK

sekehendak hatinya”.21

Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam

undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian

Hubungan Industrial (PPHI).sDengan diberlakukan UU No. 2

Tahun 2004 tentang PPHI tersebut, undang-undang Nomor 12

tahun 1964 perihal pemutusan hubungan kerja di perusahaan

swastadan undang-undang nomor 22 tahun 1957 perihal

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak

berlaku lagi. Untuk pelaksanaan kedua undang-undang tersebut

masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 2

Tahun 2004 tentang PPHI.22

21 Ibid 22 Asri Wijayanti, 2014, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Surabaya: Sinar Grafika, hal 7

10

3. Penyelesaian PHK

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun

2004 tentang Penyelesian Hubungan Industrial menyatakan

“Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan Antara pengusaha atau gabungan

pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

sebab adanya perselisihan hak,perselisihan kepentingan,

perselisihan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja atau

serikat buruh dalam satu perusahaan”

Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan ketentuan

Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, ragam perselisihan

hubungan industrial meliputi:

a. Perselisihan hak adalah perselisihan yang muncul sebab tidak

dipenuhinya hak, karena pengaruh adanya perbedaan cara

kerja atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-

undangan, perjanjian kerja, aturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama.

b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang muncul

dalam hubungan kerja sebab tidak adanya kesesuaian pendapat

tentang pembuatan, dan atau perubahan syarat kerja yang

ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau aturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama.

c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan

yang muncul karena tidak adanya kesesuaian pendapat

mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilaksanakan oleh

salah satu pihak.

d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah

perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat

pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena

tidak adanya persesuaian paham tentang keanggotaan,

pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan

11

Berdasarkan Undang Undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal

36 ayat (1) dan ayat (2) mengenai penyelesaian perselisihan

hubungan industrial tingkat perusahaan disebutkan:23

1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial seharusnya

dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

2. Untuk penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat

sebagaimana dalam ayat satu (1) tidak tercapai, maka

pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja menuntaskan

perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam undang-

undang.

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pasal 24 hingga 56

dijelaskan mekanisme penyelesaian sengketa PHK yakni melalui

tahapan penyelesaian sebagai berikut:

1. Perundingan Bipartit

2. Perundingan Tripartit:

- Mediasi

- Konsiliasi

- Arbitrase

3. Pengadilan Hubungan Industrial

4. Kasasi (Mahkamah Agung)

Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan

membatasi bahwa pengusaha tidak bisa melaksanakan pemutusan

hubungan kerja tanpa memperoleh penetapan sebelumnya dari

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,

pemutusan hubungan kerja yang dilaksanakan tanpa adanya

penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

batal demi hukum

23 Sunyoto Danang, 2013, Hak dan Kewajiban bagi pekerja dan pengusaha, Yogyakarta: Pustaka

Yustisia , hal 144

12

B. Kerangka Teori

Keadilan, dalam literatur sering kali diartikan sebagai suatu

sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang

mengerjakan perbuatan dan berkeinginan atas keadilan meskipun sikap

dan karakter yang membuat orang bertindak ketidakadilan adalah

ketidakadilan. Lazimnya dikatakan bahwa orang yang tidak adil yaitu

orang yang tidak tunduk kepada aturan (unlawful) dan orang yang

tidak fair (unfair), karenanya orang yang adil ialah orang yang patuh

terhadap peraturan (law-abiding) dan fair.

Teori keadilan Rawls24 memusatkan perhatian pada bagaimana

mendistribusikan hak dan kewajiban secara berimbang di dalam

masyarakat sehingga tiap orang berpeluang memperoleh manfaat

darinya dan secara riil, serta menanggung beban yang sama. Maka

untuk menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang

demikian, Rawls25 juga menekankan pentingnya kesepakatan yang fair

di antara seluruh masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang sanggup

menunjang kerja sama sosial.26

Rawls27merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai berikut: 1.

Tiap-tiap orang wajib mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar

yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang; 2.

Ketidaksamaan sosial ekonomi seharusnya diatur sedemikian rupa

sehingga (a) diharapkan memberi keuntungan bagi orang-orang yang

paling tidak beruntung, dan (b) seluruh posisi dan jabatan terbuka bagi

semua orang.

Menurut Rawls28 pembatasan terhadap hak dan kebebasan

hanya diperkenankan sejauh hal itu dilaksanakan demi melindungi dan

mengamankan proses kebebasan itu sendiri. Itu berarti, perlu diterima

suatu pengontrolan secara kelembagaan atas praktek-praktek

24 John Rawls,1973, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, hal 112 25 Ibid, hal 115 26 Ibid, hal 4-5 27Ibid, hal 202 28 Ibid, hal 205

13

kebebasan supaya pelaksanaan kebebasan tidak membahayakan

kebebasan yang memang menjadi hak tiap orang.

Prinsip keadilan yang kedua menuntut bahwa ketidaksamaan

dalam pencapaian nilai sosial dan ekonomi diperkenankan dibiarkan

apabila tetap membuka peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan

manfaat dalam hal yang sama29. Oleh karena itu, ketidaksamaan dalam

perolehan nilai sosial dan ekonomi tidak harus selalu dimengerti

sebagai ketidakadilan.30 Rawls31 beranggapan bahwa keadilan ialah

kebajikan utama dari hadirnya lembaga-lembaga sosial (social

institutions). Akan tetapi menurutnya, kebaikan bagi seluruh

masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu rasa

keadilan dari tiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,

terutamanya masyarakat lemah.32

Disebabkan posisinya yang lemah dari pengusaha, pembuat

kebijakan secara khusus memberi perhatian terhadap perlindungan

kepada pekerja dalam hal terjadinya PHK.33 Dalam hal ini pekerja

harus memperoleh jaminan profesi yang bermakna bahwa pekerja

semestinya dilindungi dari PHK secara sewenang-wenang, sehingga

PHK seharusnya didasarkan pada alasan yang adil.34

Aristoteles mengajukan contoh keadilan, yaitu keadilan

distributif dan keadilan korektif.35 Keadilan distributif identik dengan

keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan

korektif (remedial), berkonsentrasi pada perbaikan sesuatu yang salah.

Apabila suatu perjanjian dilanggar atau kekeliruan dilakukan maka

29 Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls. Jurnal Konstitusi, Volum 6 Nomor 1, hal

174 30 Ibid, hal 77 31 John Rawls, op.cit., hal 215 32 Ibid, hal 210 33 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Buku Kompas, 2010, hal 340 34 ILO, “Labour Market Indicators Questionaire”, dalam Ronald Dekker, 2010, Employement

Security a Conceptual Exploration, Reflec T, Tillburg University, Tillburg. Guy Davidov, A

Balanced Approach to Job Security, http://labourlawresearch.net 35 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia,

2004, hal 23.

14

keadilan korektif berusaha memberi kompensasi yang memadai bagi

pihak yang dirugikan.36

Mengikuti pandangan Aristoteles, Thomas Aquinas

mengemukan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif (iustitia

distributiva) dan keadilan komulatif (iustitia commutativa).37 Prinsip

persamaan mengandung: “hal yang sama mesti diperlakukan sama dan

yang tidak sama harus diperlakukan tidak sama pula”. Ajaran

mengenai keadilan dalam hal ini hanya bersangkutan dengan apa yang

menjadi hak seseorang yang lain dan dalam hubungan dengan

masyarakat

Pekerja layak memperoleh perlakuan yang adil dan pantas

dalam hubungan kerja, oleh karena itu kebijakan-kebijakan negara

dalam bidang perburuhan harus mengandung unsur perlindungan

kepada pekerja supaya mereka memperoleh perlakuan yang adil dan

layak oleh pengusaha, tak terkecuali dalam aspek PHK atas inisiatif

pengusaha. Aturan ini bertujuan untuk melindungi pekerja karena

posisi tawarnya yang tidak berimbang dengan pengusaha sehingga

akan tercipta keadilan sosial.38 Hak untuk bekerja yang

diinterpretasikan sebagai hak pekerja untuk nyaman dan aman dalam

bekerja wajib dilindungi melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat

untuk mencegah atau menunda PHK.39

Hukum sebagai pengemban nilai-nilai kemanusiaan, menurut

Radbruch menjadi ukuran bagi adil dan tidak adilnya tata hukum.

Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang bermartabat.40

Jadi bagi Radbruch, keadilan merupakan hal yang sentral dalam

hukum. Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch

menyatakan perlu diterapkan asas prioritas dari tiga poin dasar yang

36 Ibid, hal 24 37 Ibid, hal 25 38 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2008, hal 11 39 Ibid, hal 12 40 Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.

2014, hal 74.

15

menjadi tujuan hukum. Hal ini dikarenakan dalam realitasnya, keadilan

hukum sering kali berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian

hukum dan begitu juga sebaliknya.

Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum demikian, pada saat

terjadi benturan, maka pasti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas

prioritas yang dipakai oleh Gustav Radbruch semestinya dilakukan

dengan urutan sebagai berikut: a. Keadilan Hukum; b. Kemanfaatan

Hukum ; c. Kepastian Hukum. Dengan urutan prioritas sebagaimana

dikemukakan di atas, maka sistem hukum terhindar dari konflik

internal.41

Teori Radbruch tak mengijinkan adanya pertentangan antara,

keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, seperti yang terjadi selama ini.

Kepastian dan Kemanfaatan, bukan saja mesti diletakkan dalam

kerangka keadilan, namun juga sesungguhnya adalah suatu kesatuan

dengan keadilan itu sendiri. Kepastian hukum tidak lagi sekedar

kepastian legalitis, tapi kepastian yang berkeadilan. juga soal

kemanfaatan bukan lagi kemanfaatan tanpa patokan, melainkan

kemanfaatan yang berkeadilan yaitu yang memajukan nilai-nilai

kemanusiaan.42

Menurut Sudikno Mertokusumo43, kepastian hukum adalah

jaminan bahwa hukum dilaksanakan, bahwa yang berhak berdasarkan

hukum bisa mendapatkan haknya dan bahwa putusan bisa

dilaksanakan. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya

pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak

yang memiliki wewenang dan berwibawa, sehingga aturan hukum itu

mempunyai aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian

bahwa hukum berfungsi sebagai suatu aturan yang wajib ditaati.

Sehingga bisa mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan,

41 Ibid, hal 74 42 Ibid, 75 43 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum, Yogyakarta : Liberty hal 160

16

Rekomendasi /

Model

tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan

bisa dilaksanakan

Gustav Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu

putusan semestinya memuat idee des recht, yang mencakup 3 unsur

yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan

kemanfaatan (Zwechtmassigkeit)44. Ketiga faktor demikian semestinya

oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara

proporsional, sehingga ketika tiba pada gilirannya maka dapat

dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para

pencari keadilan

G. Kerangka Pemikiran

44 Nurul Qamar, Hukum Itu Ada Tapi Harus Ditemukan, Makasar:Pustaka Refleksi, 2010, hal 53

PHK

Efisiensi

UU

Ketenagakerjaan

No.13 Th 2003

Pengadilan

Hubungan Industrial

IndustrialllIndustrial

Pertimbangan

Hukum Hakim

Putusan

PHI

Di Luar Pengadilan

17

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam analisis penelitian ini menggunakan jenis penelitian

normatif45 yaitu meneliti berbagai aturan perundang-undangan yang

dipakai sebagai dasar ketentuan hukum untuk mengkaji perihal aturan

perundang-undangan mengenai perselisihan PHK karena efisiensi.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini lebih

bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas,

tentang beragam hal yang berhubungan dengan obyek yang diteliti,

yaitu pertimbangan hukum dari hakim dalam memeriksa dan memutus

perselisihan PHK karena efisiensi.

2. Metode Pendekatan

Karena penelitian yang dipakai adalah bersifat yuridis normatif,

karenanya pendekatan yang dipakai ialah pendekatan perundang-

undangan.46 Metode yang dipakai adalah dengan menganalisa aturan

perundang-undangan yang terkait dengan apa yang menjadi fokus

penelitian.

3. Sumber Data

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yakni data

primer dan data sekunder. Sumber data penelitian ini berasal dari:

a. Data Sekunder

Merupakan data yang berasal dari bahan-bahan pustaka,

yang meliputi Putusan MA Nomor 229 K/Pdt.Sus-PHI/2015,

Putusan MA Nomor 787 K/Pdt.Sus-PHI/2015, dan Putusan MA

787 K/Pdt.Sus-PHI/2016. Peraturan perundang-undangan, buku

dan jurnal hukum, serta hasil karya ilmiah.

45 Peter Mahmud Marzuki, 2015, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenada Media, hal. 47 46 Johny Ibrahim, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia.hal.310

18

b. Metode pengumpulan data

Dalam penulisan tesis ini memakai teknik pengumpulan

data dengan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan).47

Yakni dengan mencari, mengiventarisasi dan mempelajari data-data

sekunder yang berkaitan dengan obyek yang dianalisa

c. Metode analisis data

Metode yang dipakai dalam penelitian ini ialah metode

normatif kualitatif, yaitu suatu pembahasan yang dilakukan dengan

cara menafsirkan dan mendiskusikan data-data yang telah diperoleh

dan diolah, berdasarkan norma-norma hukum, doktrin-doktrin

hukum, dan teori ilmu hukum yang ada.

Pembahasan pada tahap awal dikerjakan dengan cara

melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi obyek kajian.

Untuk tahap kedua dilakukan pembahasan yang berupa pengujian

terhadap taraf sinkronisasi, antara berbagai data sekunder yaitu

peraturan perundang-undangan yang sudah diiventarisir menjadi

obyek penelitian. Sebagaimana digambarkan dalam bagan dibawah

ini:

47 Soerjono Soekanto, op.cit.,hal 43

19

I. Sistematika Tesis

Sistematika penulisan tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis

Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Perselisihan PHK (Studi Terhadap

Putusan PHK Efisiensi)” tersusun menjadi empat bab, tiap-tiap bab terdiri

sub-sub atau bagian-bagian. Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

landasan teori, metode penelitian, dan sistematika

penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam tinjauan Pustaka ini menguraikan tentang

Penyebab PHK dalam perundangan, hak Pekerja/Buruh

PENGUMPULAN DATA

ANALISIS DATA

MENAFSIRKAN MENDISKUSIKAN

INVENTARISASII PEMBAHASAN

KONKLUSI

1.Peraturan

Perundangan

2.Doktrin-

doktrin

3.Data

Sekunder

Lain

1.Peraturan

perundang-undangan

lain, sebagai premis

mayor

2. Data sekunder

yang lain serta data

primer yang terkait ,

sebagai premis minor

Peraturan

Perundang-

undangan

20

yang di PHK, jenis/ macam PHK, penyelesaian

perselisihan PHK, lembaga penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, pertimbangan hukum hakim

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Menguraikan hasil penelitian tentang Tinjauan

Yuridis Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Perselisihan

PHK (Studi Terhadap Putusan PHK Efisiensi)” yang

terdiri dari pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa

dan memutus perselisihan PHK efisiensi dan model

penyelesaian perselisihan PHK karena efisiensi yang ideal.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dan

saran.

DAFTAR PUSTAKA