1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiap orang membutuhkan biaya untuk melengkapi kebutuhan
hidupnya. Untuk itu mereka bekerja sebagai pegawai atau sebagai
buruh/pekerja. Pekerja atau buruh bisa dibilang sebagai stakeholders dari
suatu perusahaan yang menjadi salah satu indikator yang memastikan maju
mundurnya perusahaan. Oleh karena semakin bagus hubungan industrial
dalam suatu perusahaan karenanya akan semakin besar kemungkinan majunya
perusahaan yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya semakin tak
harmonisnya hubungan industrial dalam suatu perusahaan, kemungkinan
untuk majunya perusahaan akan semakin rendah. 1
Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tak sepadan dengan
jumlah lapangan kerja yang tersedia.2 Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak
dari pada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Kebanyakan tenaga kerja
yang tersedia merupakan yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan
sama sekali. Kebanyakan juga adalah tenaga kerja tidak terampil maka dari itu
posisi tawar mereka rendah.3
Hal tersebut memicu majikan untuk bertindak sewenang-wenang
kepada pekerja atau buruh. Buruh dianggap sebagai unsur ekstern yang
mempunyai kedudukan sama seperti pelanggan pemasok atau pelanggan
pembeli yang berguna untuk menyokong kelangsungan perusahaan yakni akan
menjadi komponen yang tidak dapat dipisahkan atau sebagai faktor konstitutif
yang mewujudkan tujuan perusahaan. 4
Majikan bisa menekan pekerja atau buruhnya untuk bekerja maksimal
kadang kala melebihi kesanggupan kerjanya. Contohnya majikan bisa
1 Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan, 2014, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
hal 89 2 Imam Soepomo, 2008, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta : Djambatan, hal.10 3 Ibid 4 Lalu Husni, 2008, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hal 11
2
menetapkan upah maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa
memperhatikan masa kerja dari pekerja itu.5 Dapat dilihat bahwa seringkali
pekerja yang masa kerjanya lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar
daripada upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan
tidak ingin meningkatkan atau menaikkan upah pekerja meskipun peningkatan
hasil produksi terjadi, mereka berdalih takut diprotes oleh perusahaan-
perusahaan lain yang sejenis.6
Selain itu para pekerja kadang kerap mendapatkan permasalahan
perihal PHK. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) senantiasa mejadi hal yang
sulit bagi pengusaha ataupun pekerja atau buruh. Fakta memperlihatkan
bahwa PHK seringkali menimbulkan ketidakpuasan bagi salah satu pihak
dikarenakan masing-masing pihak memiliki sudut pandang yang berbeda
dalam menyikapi terjadinya PHK.7 Pengusaha menganggap terjadinya PHK
merupakan hal yang wajar di dalam perusahaan. Bagi pekerja/buruh,
terjadinya PHK berpengaruh sungguh luas bagi kehidupanya tidak hanya bagi
dirinya pribadi namun juga keluarganya. PHK akan menyebabkan seorang
pekerja/buruh kehilangan mata pencahariannya. Dalam lingkup yang lebih
luas, keluarga yang bertumpu pada si pekerja/buruh sebagai tulang punggung
keluarga akan kesulitan memenuhi keperluan hidup sehari-hari termasuk
membiayai sekolah buah hati mereka.8
PHK bisa terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha ataupun dari
pekerja/buruh. Namun pada kenyataanya lebih sering terjadi pemutusan
hubungan kerja (PHK) atas inisiatif dari pihak pengusaha. Dengan tujuan
untuk meningkatan daya saing dan efisiensi agar bisa mewujudkan peluang
kerja seluas-luasnya.
PHK diatur dalam Pasal 150 hingga dengan Pasal 172 Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk alasan-alasan PHK.9
PHK oleh pengusaha kepada pekerja/buruh bisa disebabkan beragam alasan,
5 Ibid 6 Budi Santoso. 2013. Justifikasi Efisiensi Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja, Mimbar
Hukum Volume 25 No. 3, hal 40 7 Ibid 8 Ibid, hal 406 9 Abdul R. Bodiono, 2009 , Hukum Perburuhan, Jakarta: PT Indeks, hal 79
3
seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan status perusahaan, perusahaan
tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal dunia, pekerja pensiun atau karena
pekerja/buruh telah mengerjakan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam
pasal 158 ayat (1) Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.10
Dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bahwa pengusaha bisa melaksanakan pemutusan hubungan
kerja kepada pekerja/buruh disebabkan perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan
memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).11
Penggunaan Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 oleh
pengusaha sebagai dasar hukum untuk bisa dilakukan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan efisiensi tanpa tutupnya perusahaan telah menjadi polemik
dalam praktek aturan ketenagakerjaan. Pekerja dan atau serikat pekerja kerap
menolak pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi karena menurut
mereka tak ada pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur efisiensi
tanpa tutupnya perusahaan bisa dijadikan alasan dilaksanakannya pemutusan
hubungan kerja oleh pengusaha. Hal itu tidak adil karena efisiensi seringkali
dijadikan alasan oleh pengusaha untuk melaksanakan pemutusan hubungan
kerja secara sewenang-wenang, contohnya kepada pekerja yang dianggap
sudah tidak produktif atau yang dianggap “melawan dan membahayakan”
perusahaan.
Seperti dalam Putusan MA Nomor 229 K/Pdt.Sus-PHI/2015, Putusan
MA Nomor 787 K/Pdt.Sus-PHI/2015, dan Putusan MA 787 K/Pdt.Sus-
PHI/2016. Ketiga putusan tersebut oleh majelis hakim diputus sebagai PHK
dengan alasan efisiensi. Dalam Putusan MA Nomor 229 K/Pdt.Sus-PHI/2015
10 Ibid, hal 80 11 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
4
oleh majelis hakim diklasifikasikan sebagai PHK efisiensi karena} memang
benar perusahaan mengalami kerugian dibuktikan dari hasil audit Akuntan
Publik telah mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut. Putusan MA
Nomor 787 K/Pdt.Sus-PHI/2015 diputus sebagai PHK dengan alasan efisiensi
karena bukan adanya kesalahan/pelanggaran oleh pihak Penggugat/Pekerja
melainkan PHK sepihak karena disharmonisasi. Dan Putusan MA 787
K/Pdt.Sus-PHI/2016 karena perusahaan melakukan penutupan secara
permanen bagian Living Essentials Group (LEG) kepada semua pekerja pada
bagian LEG sehingga diklasifikasikan sebagai tindakan efisiensi namun
pemutusan hubungan kerja efisiensi tidak diatur dalam PKB.
Putusan majelis hakim tersebut tidak serta merta diterima oleh pihak
pengusaha ataupun pekerja karena pada putusan tingkat pertama pada
Pengadilan Hubungan Industrial masih diketemukan majelis hakim tidak
sesuai dalam penerapan hukumnya dalam memutus perkara PHK efisiensi,
yang mempengaruhi penerimaan hak yang semestinya diterima oleh pekerja.
Atau dari pihak pengusaha semestinya memenuhi hak pekerja yang lebih
banyak dari yang seharusnya diterima oleh karyawan. Berdasarkan hal
tersebut yang mengakibatkan pihak pekerja atau pihak pengusaha mengajukan
perkara pada tingkat kasasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim
Dalam Perkara Perselisihan PHK (Studi Terhadap Putusan PHK Efisiensi)”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara perselisihan PHK efisiensi?
2. Bagaimanakah model pertimbangan hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara perselisihan PHK efisiensi?
5
C. Keaslian Penelitian
Penelitian ini akan membahas mengenai tinjauan yuridis
Pertimbangan Hakim dalam perkara perselisihan PHK efisiensi dalam
putusan. Adapun penelitian yang membahas tema yang sama adalah
sebagai berikut:
1. Hizbul Maulana dengan judul tesis “Perlindungan Hukum Terhadap
Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Karena
Efisiensi” pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas
Airlangga Surabaya,2016. Penulisan tesis ini mengambil permasalahan
perihal Penyelesaian Terhadap Hubungan Industrial (PPHI) dan Kasus
Terhadap Hubungan Industrial antara PT. Manunggal Punduh Sakti
melawan Sustingsih dan Winarki dalam mengambil putusan PHK
karena efisiensi. Yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 berlaku, diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam
Putusan No. 37 K/PHI/2006.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 ini telah berlaku. Hasil dari
penelitian yang demikian mengungkapkan bahwa Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuan Daerah (P4D) dan Hakim kurang tepat karena
hanya merujuk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 164
(3) saja tanpa mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang PHI.
2. Vitriani Kirana dengan judul tesis Pelaksanaan Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja DiSebabkan Renovasi pada Program Pascasarjana
Ilmu Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013. Penulisan tesis ini
mengambil permasalahan mengenai dasar hukum dan perlindungan
hukum bagi pekerjanya karena PHK oleh manajemen Hotel
Papandayan dalam melakukan PHK karena renovasi. Hasil dari
penelitian yang demikian mengungkapkan bahwa alasan PHK kepada}
pekerja karena Hotel Papandayan Bandung berbintang 4 (empat) tutup
disebabkan akan melaksanakan renovasi sebagai langkah efisiensi
kurang tepat sebab “...perusahaan tutup...”, dalam ketentuan Pasal 164
ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dimaksudkan mengalami penutupan sehingga berhenti beroperasi suatu
6
perusahaan tersebut untuk waktu yang lama bahkan tidak beroperasi
lagi, padahal renovasi sifatnya hanya sementara bukan karena keadaan
keuangan perusahaan / dalam keadaan merugi dan memaksa.
Dari penelitian tersebut di atas belum kelihatan adanya penelitian
perihal “Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim Dalam Perkara
Perselisihan PHK (Studi Terhadap Putusan PHK Efisiensi)” yang
dilakukan oleh peneliti ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
membahas dan mengkaji secara khusus mengenai pertimbangan hukum
dari hakim dalam memeriksa dan memutus perselisihan PHK efisiensi
dalam Putusan MA Nomor 229 K/Pdt.Sus-PHI/2015, Putusan MA Nomor
787 K/Pdt.Sus-PHI/2015, dan Putusan MA 787 K/Pdt.Sus-PHI/2016
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa dan
memutus perselisihan PHK efisiensi.
2. Untuk mengetahui model pertimbangan hukum hakim dalam
memeriksa dan memutus perselisihan PHK efisiensi.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
1. Memberikan kontribusi serta manfaat bagi indivindu, masyarakat
maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam menambah
pengetahuan yang berhubungan dengan perselisihan PHK efisiensi.
2. Hasil studi ini dapat menjadi pengetahuan bagi akademik khususnya
maupun publik pada umumnya untuk lebih memahami tentang
pertimbangan hukum dari hakim dalam memeriksa dan memutus
perselisihan PHK efisiensi dan model ideal pertimbangan hukum dari
hakim.
7
F. Landasan Teori
A. Tinjauan Umum
1. Efisiensi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, efisiensi
diartikan sebagai ketentuan, sistem usaha dalam menjalankan
sesuatu dengan tidak membuang waktu, daya, dan biaya.12 Oxford
Dictionary mengartikan efisiensi sebagai (1) kualitas sesuatu
pekerjaan dengan baik tanpa membuang waktu dan uang, (2) cara
mengurangi pemborosan waktu dan uang atau cara menghemat
waktu dan uang, dan (3) Hubungan antara jumlah pengeluaran
dengan jumlah pendapatan.13
Menurut Dearden14 yang diterjemahkan oleh agus Maulana
efisiensi yaitu “kesanggupan suatu unit usaha untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, efisiensi senantiasa dihubungkan dengan
tujuan organisasi yang seharusnya dicapai oleh perusahaan.”
Efisiensi menurut Malayu S.P Hasibuan15 merupakan
“perbandingan terbaik antara input dan output antara keuntungan
dengan biaya antara proses dengan sumber yang dipakai seperti
halnya juga hasil maksimal yang dicapai dengan pemakaian
sumber yang terbatas
Sehingga dapat disimpulkan bahwa efisiensi adalah
kesanggupan perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya untuk
mendapatkan hasil tertentu dengan memakai input yang serendah-
rendahnya untuk menghasilkan suatu keluaran (output), dan juga
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar.”16
12 Pusat Bahasa Kementrian pendidikan dan Kebudayaan RI, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”,
http://bahasa.kemendiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses 1 November 2016 13 As Hornby, 2005, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Edisi ke-7, Oxford University Press,
London, hal 489 14 Agus Maulana, 2003, Struktur Pengendalian Manajemen, Jakarta: Binaputra Angkasa, hal
250 15 Malayu S.P. Hasibuan, 2012, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi aksara, hal 46 16 Satjipto Rahardjo, 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.
Yogyakarta: Genta Publishing, hal 58
8
Jadi efisiensi ialah suatu sistem yang dilaksanakan karena
alasan ekonomi perusahaan. Dalam kaitanya dengan pekerja
efisiensi dilaksanakan dengan sistem mengurangi jumlah pekerja.
2. PHK
PHK ialah “pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja dengan pengusaha.”17 PHK yaitu lepasnya relasi kerja
secara sah dari satu kesatuan atau organisasi di mana mereka
bekerja.18
Susilo Martoyo19 menggolongankan pengertian PHK sebagai
berikut:
1. Pengertian PHK bersifat positif jika pemberhentian yang
demikian dilakukan pada masa atau rentang pemberhentian dan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara wajar
2. Pengertian PHK bersifat negatif jika pelaksanaan dan proses
pemberhentian tersebut menyimpang dan ketentuan yang
demikian dilakukan secara tidak wajar, seperti pemecatan,
diberhentikan secara tidak hormat dan lain sebagainya
Menurut Siswanto Sastrohadiwiryo20 “Pemutusan
Hubungan Kerja menurut Peraturan merupakan suatu proses
pelepasan keterikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga
kerja yang bersangkutan ataupun atas kebijakan perusahan dimana
tenaga kerja tersebut dipandang sudah tidak cakap lagi dan kondisi
perusahaan yang tidak memungkinkan”.
Dari beragam definisi tersebut dapat ditarik simpulan
bahwa bukan hanya pengusaha yang bisa mengakhiri hubungan
kerja, namun juga karyawan. Sehingga pemutusan hubungan kerja
boleh dilakukan oleh tiap organisasi atau perusahaan asalkan sesuai
17 Edy Sutrisno, 2014, Manajemen Sumber Daya Manusia , Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hal 195 18 Ibid , 199 19 Susilo Martoyo, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : BPFE Publisher. hal
199 20 Siswanto Sastrohadiwiryo, 2005, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta: PT. Pustaka
Binaman Pressindo, hal 305
9
dengan ketentuan yang telah diatur UU Ketenagakerjaan,
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau PK.
Undang-undang No 3 tahun 2003 pasal 1 angka 25
menjelaskan pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan
pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh atau
pekerja dan pengusaha
Berdasarkan Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,
menjelaskan bahwa : “Dalam hal pekerja/buruh melakukan
pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, aturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha bisa
melakukan pemutusan hubungan kerja, terhadap pekerja/buruh
yang bersangkutan setelah diberi surat peringatan pertama, kedua,
dan ketiga secara berturut- turut dengan demikian pengusaha dalam
melakukan pemutusan hubungan kerja tidak bisa melakukan PHK
sekehendak hatinya”.21
Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam
undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Hubungan Industrial (PPHI).sDengan diberlakukan UU No. 2
Tahun 2004 tentang PPHI tersebut, undang-undang Nomor 12
tahun 1964 perihal pemutusan hubungan kerja di perusahaan
swastadan undang-undang nomor 22 tahun 1957 perihal
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak
berlaku lagi. Untuk pelaksanaan kedua undang-undang tersebut
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 2
Tahun 2004 tentang PPHI.22
21 Ibid 22 Asri Wijayanti, 2014, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Surabaya: Sinar Grafika, hal 7
10
3. Penyelesaian PHK
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
2004 tentang Penyelesian Hubungan Industrial menyatakan
“Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan Antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
sebab adanya perselisihan hak,perselisihan kepentingan,
perselisihan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja atau
serikat buruh dalam satu perusahaan”
Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan ketentuan
Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, ragam perselisihan
hubungan industrial meliputi:
a. Perselisihan hak adalah perselisihan yang muncul sebab tidak
dipenuhinya hak, karena pengaruh adanya perbedaan cara
kerja atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, perjanjian kerja, aturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang muncul
dalam hubungan kerja sebab tidak adanya kesesuaian pendapat
tentang pembuatan, dan atau perubahan syarat kerja yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau aturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan
yang muncul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilaksanakan oleh
salah satu pihak.
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena
tidak adanya persesuaian paham tentang keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan
11
Berdasarkan Undang Undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal
36 ayat (1) dan ayat (2) mengenai penyelesaian perselisihan
hubungan industrial tingkat perusahaan disebutkan:23
1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial seharusnya
dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
2. Untuk penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dalam ayat satu (1) tidak tercapai, maka
pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja menuntaskan
perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam undang-
undang.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pasal 24 hingga 56
dijelaskan mekanisme penyelesaian sengketa PHK yakni melalui
tahapan penyelesaian sebagai berikut:
1. Perundingan Bipartit
2. Perundingan Tripartit:
- Mediasi
- Konsiliasi
- Arbitrase
3. Pengadilan Hubungan Industrial
4. Kasasi (Mahkamah Agung)
Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan
membatasi bahwa pengusaha tidak bisa melaksanakan pemutusan
hubungan kerja tanpa memperoleh penetapan sebelumnya dari
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
pemutusan hubungan kerja yang dilaksanakan tanpa adanya
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
batal demi hukum
23 Sunyoto Danang, 2013, Hak dan Kewajiban bagi pekerja dan pengusaha, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia , hal 144
12
B. Kerangka Teori
Keadilan, dalam literatur sering kali diartikan sebagai suatu
sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang
mengerjakan perbuatan dan berkeinginan atas keadilan meskipun sikap
dan karakter yang membuat orang bertindak ketidakadilan adalah
ketidakadilan. Lazimnya dikatakan bahwa orang yang tidak adil yaitu
orang yang tidak tunduk kepada aturan (unlawful) dan orang yang
tidak fair (unfair), karenanya orang yang adil ialah orang yang patuh
terhadap peraturan (law-abiding) dan fair.
Teori keadilan Rawls24 memusatkan perhatian pada bagaimana
mendistribusikan hak dan kewajiban secara berimbang di dalam
masyarakat sehingga tiap orang berpeluang memperoleh manfaat
darinya dan secara riil, serta menanggung beban yang sama. Maka
untuk menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang
demikian, Rawls25 juga menekankan pentingnya kesepakatan yang fair
di antara seluruh masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang sanggup
menunjang kerja sama sosial.26
Rawls27merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai berikut: 1.
Tiap-tiap orang wajib mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang; 2.
Ketidaksamaan sosial ekonomi seharusnya diatur sedemikian rupa
sehingga (a) diharapkan memberi keuntungan bagi orang-orang yang
paling tidak beruntung, dan (b) seluruh posisi dan jabatan terbuka bagi
semua orang.
Menurut Rawls28 pembatasan terhadap hak dan kebebasan
hanya diperkenankan sejauh hal itu dilaksanakan demi melindungi dan
mengamankan proses kebebasan itu sendiri. Itu berarti, perlu diterima
suatu pengontrolan secara kelembagaan atas praktek-praktek
24 John Rawls,1973, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, hal 112 25 Ibid, hal 115 26 Ibid, hal 4-5 27Ibid, hal 202 28 Ibid, hal 205
13
kebebasan supaya pelaksanaan kebebasan tidak membahayakan
kebebasan yang memang menjadi hak tiap orang.
Prinsip keadilan yang kedua menuntut bahwa ketidaksamaan
dalam pencapaian nilai sosial dan ekonomi diperkenankan dibiarkan
apabila tetap membuka peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan
manfaat dalam hal yang sama29. Oleh karena itu, ketidaksamaan dalam
perolehan nilai sosial dan ekonomi tidak harus selalu dimengerti
sebagai ketidakadilan.30 Rawls31 beranggapan bahwa keadilan ialah
kebajikan utama dari hadirnya lembaga-lembaga sosial (social
institutions). Akan tetapi menurutnya, kebaikan bagi seluruh
masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu rasa
keadilan dari tiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,
terutamanya masyarakat lemah.32
Disebabkan posisinya yang lemah dari pengusaha, pembuat
kebijakan secara khusus memberi perhatian terhadap perlindungan
kepada pekerja dalam hal terjadinya PHK.33 Dalam hal ini pekerja
harus memperoleh jaminan profesi yang bermakna bahwa pekerja
semestinya dilindungi dari PHK secara sewenang-wenang, sehingga
PHK seharusnya didasarkan pada alasan yang adil.34
Aristoteles mengajukan contoh keadilan, yaitu keadilan
distributif dan keadilan korektif.35 Keadilan distributif identik dengan
keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan
korektif (remedial), berkonsentrasi pada perbaikan sesuatu yang salah.
Apabila suatu perjanjian dilanggar atau kekeliruan dilakukan maka
29 Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls. Jurnal Konstitusi, Volum 6 Nomor 1, hal
174 30 Ibid, hal 77 31 John Rawls, op.cit., hal 215 32 Ibid, hal 210 33 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Buku Kompas, 2010, hal 340 34 ILO, “Labour Market Indicators Questionaire”, dalam Ronald Dekker, 2010, Employement
Security a Conceptual Exploration, Reflec T, Tillburg University, Tillburg. Guy Davidov, A
Balanced Approach to Job Security, http://labourlawresearch.net 35 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia,
2004, hal 23.
14
keadilan korektif berusaha memberi kompensasi yang memadai bagi
pihak yang dirugikan.36
Mengikuti pandangan Aristoteles, Thomas Aquinas
mengemukan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif (iustitia
distributiva) dan keadilan komulatif (iustitia commutativa).37 Prinsip
persamaan mengandung: “hal yang sama mesti diperlakukan sama dan
yang tidak sama harus diperlakukan tidak sama pula”. Ajaran
mengenai keadilan dalam hal ini hanya bersangkutan dengan apa yang
menjadi hak seseorang yang lain dan dalam hubungan dengan
masyarakat
Pekerja layak memperoleh perlakuan yang adil dan pantas
dalam hubungan kerja, oleh karena itu kebijakan-kebijakan negara
dalam bidang perburuhan harus mengandung unsur perlindungan
kepada pekerja supaya mereka memperoleh perlakuan yang adil dan
layak oleh pengusaha, tak terkecuali dalam aspek PHK atas inisiatif
pengusaha. Aturan ini bertujuan untuk melindungi pekerja karena
posisi tawarnya yang tidak berimbang dengan pengusaha sehingga
akan tercipta keadilan sosial.38 Hak untuk bekerja yang
diinterpretasikan sebagai hak pekerja untuk nyaman dan aman dalam
bekerja wajib dilindungi melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat
untuk mencegah atau menunda PHK.39
Hukum sebagai pengemban nilai-nilai kemanusiaan, menurut
Radbruch menjadi ukuran bagi adil dan tidak adilnya tata hukum.
Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang bermartabat.40
Jadi bagi Radbruch, keadilan merupakan hal yang sentral dalam
hukum. Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch
menyatakan perlu diterapkan asas prioritas dari tiga poin dasar yang
36 Ibid, hal 24 37 Ibid, hal 25 38 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008, hal 11 39 Ibid, hal 12 40 Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.
2014, hal 74.
15
menjadi tujuan hukum. Hal ini dikarenakan dalam realitasnya, keadilan
hukum sering kali berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian
hukum dan begitu juga sebaliknya.
Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum demikian, pada saat
terjadi benturan, maka pasti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas
prioritas yang dipakai oleh Gustav Radbruch semestinya dilakukan
dengan urutan sebagai berikut: a. Keadilan Hukum; b. Kemanfaatan
Hukum ; c. Kepastian Hukum. Dengan urutan prioritas sebagaimana
dikemukakan di atas, maka sistem hukum terhindar dari konflik
internal.41
Teori Radbruch tak mengijinkan adanya pertentangan antara,
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, seperti yang terjadi selama ini.
Kepastian dan Kemanfaatan, bukan saja mesti diletakkan dalam
kerangka keadilan, namun juga sesungguhnya adalah suatu kesatuan
dengan keadilan itu sendiri. Kepastian hukum tidak lagi sekedar
kepastian legalitis, tapi kepastian yang berkeadilan. juga soal
kemanfaatan bukan lagi kemanfaatan tanpa patokan, melainkan
kemanfaatan yang berkeadilan yaitu yang memajukan nilai-nilai
kemanusiaan.42
Menurut Sudikno Mertokusumo43, kepastian hukum adalah
jaminan bahwa hukum dilaksanakan, bahwa yang berhak berdasarkan
hukum bisa mendapatkan haknya dan bahwa putusan bisa
dilaksanakan. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya
pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak
yang memiliki wewenang dan berwibawa, sehingga aturan hukum itu
mempunyai aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian
bahwa hukum berfungsi sebagai suatu aturan yang wajib ditaati.
Sehingga bisa mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan,
41 Ibid, hal 74 42 Ibid, 75 43 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum, Yogyakarta : Liberty hal 160
16
Rekomendasi /
Model
tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan
bisa dilaksanakan
Gustav Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu
putusan semestinya memuat idee des recht, yang mencakup 3 unsur
yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan
kemanfaatan (Zwechtmassigkeit)44. Ketiga faktor demikian semestinya
oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara
proporsional, sehingga ketika tiba pada gilirannya maka dapat
dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para
pencari keadilan
G. Kerangka Pemikiran
44 Nurul Qamar, Hukum Itu Ada Tapi Harus Ditemukan, Makasar:Pustaka Refleksi, 2010, hal 53
PHK
Efisiensi
UU
Ketenagakerjaan
No.13 Th 2003
Pengadilan
Hubungan Industrial
IndustrialllIndustrial
Pertimbangan
Hukum Hakim
Putusan
PHI
Di Luar Pengadilan
17
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam analisis penelitian ini menggunakan jenis penelitian
normatif45 yaitu meneliti berbagai aturan perundang-undangan yang
dipakai sebagai dasar ketentuan hukum untuk mengkaji perihal aturan
perundang-undangan mengenai perselisihan PHK karena efisiensi.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini lebih
bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas,
tentang beragam hal yang berhubungan dengan obyek yang diteliti,
yaitu pertimbangan hukum dari hakim dalam memeriksa dan memutus
perselisihan PHK karena efisiensi.
2. Metode Pendekatan
Karena penelitian yang dipakai adalah bersifat yuridis normatif,
karenanya pendekatan yang dipakai ialah pendekatan perundang-
undangan.46 Metode yang dipakai adalah dengan menganalisa aturan
perundang-undangan yang terkait dengan apa yang menjadi fokus
penelitian.
3. Sumber Data
Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yakni data
primer dan data sekunder. Sumber data penelitian ini berasal dari:
a. Data Sekunder
Merupakan data yang berasal dari bahan-bahan pustaka,
yang meliputi Putusan MA Nomor 229 K/Pdt.Sus-PHI/2015,
Putusan MA Nomor 787 K/Pdt.Sus-PHI/2015, dan Putusan MA
787 K/Pdt.Sus-PHI/2016. Peraturan perundang-undangan, buku
dan jurnal hukum, serta hasil karya ilmiah.
45 Peter Mahmud Marzuki, 2015, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenada Media, hal. 47 46 Johny Ibrahim, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia.hal.310
18
b. Metode pengumpulan data
Dalam penulisan tesis ini memakai teknik pengumpulan
data dengan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan).47
Yakni dengan mencari, mengiventarisasi dan mempelajari data-data
sekunder yang berkaitan dengan obyek yang dianalisa
c. Metode analisis data
Metode yang dipakai dalam penelitian ini ialah metode
normatif kualitatif, yaitu suatu pembahasan yang dilakukan dengan
cara menafsirkan dan mendiskusikan data-data yang telah diperoleh
dan diolah, berdasarkan norma-norma hukum, doktrin-doktrin
hukum, dan teori ilmu hukum yang ada.
Pembahasan pada tahap awal dikerjakan dengan cara
melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi obyek kajian.
Untuk tahap kedua dilakukan pembahasan yang berupa pengujian
terhadap taraf sinkronisasi, antara berbagai data sekunder yaitu
peraturan perundang-undangan yang sudah diiventarisir menjadi
obyek penelitian. Sebagaimana digambarkan dalam bagan dibawah
ini:
47 Soerjono Soekanto, op.cit.,hal 43
19
I. Sistematika Tesis
Sistematika penulisan tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis
Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Perselisihan PHK (Studi Terhadap
Putusan PHK Efisiensi)” tersusun menjadi empat bab, tiap-tiap bab terdiri
sub-sub atau bagian-bagian. Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam tinjauan Pustaka ini menguraikan tentang
Penyebab PHK dalam perundangan, hak Pekerja/Buruh
PENGUMPULAN DATA
ANALISIS DATA
MENAFSIRKAN MENDISKUSIKAN
INVENTARISASII PEMBAHASAN
KONKLUSI
1.Peraturan
Perundangan
2.Doktrin-
doktrin
3.Data
Sekunder
Lain
1.Peraturan
perundang-undangan
lain, sebagai premis
mayor
2. Data sekunder
yang lain serta data
primer yang terkait ,
sebagai premis minor
Peraturan
Perundang-
undangan
20
yang di PHK, jenis/ macam PHK, penyelesaian
perselisihan PHK, lembaga penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, pertimbangan hukum hakim
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Menguraikan hasil penelitian tentang Tinjauan
Yuridis Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Perselisihan
PHK (Studi Terhadap Putusan PHK Efisiensi)” yang
terdiri dari pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa
dan memutus perselisihan PHK efisiensi dan model
penyelesaian perselisihan PHK karena efisiensi yang ideal.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dan
saran.
DAFTAR PUSTAKA
Top Related