BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46131/2/BAB I.pdf · dalam KUHP masih memuat...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pidana pertama kali diberlakukan di Indonesia dengan asas
konkordasi pada jaman Hindia Belanda. Pada saat itu kitab undang – undang
yang dipergunakan adalah Wetboek van Strafrecht Stalblad 1915 No 732.
Setelah itu sejak tanggal 8 Maret 1942, dimana ada peralihan kekuasaan dari
pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang di Indonesia, Wetboek van
Strafrecht Stalbad tidak lagi dipergunakan. Pada jaman Jepang kitab undang-
undang hukum pidana yang digunakan adalah Gunzei Keizi Rei. Gunzei Keizi
Rei hanya selama 3 tahun karena sejak tanggal 17 Agustus 1945 melalui
Perpres No 2 Tahun 1945, Indonesia memberlakukan hukum pidana gabungan
antara Wetboek van Strafrecht Stalblad dan Gunzei Keizi Rei, dalam Perpres
No 2 Tahun 1945 ini kemudian digantikan dengan UU No 1 Tahun 1946, yang
memberlakukan hukum pidana berdasarkan Wetboek van Stafrecht Stalblad
Belanda saja.1
Banyak alasan mengapa perlu adanya pembaharuan hukum pidana karena
pada perkembangannya KUHP dipandang tidak mampu menampung berbagai
masalah dan dimensi perkembangan bentuk – bentuk tindak pidana baru yang
hidup di zaman saat ini. Selain itu KUHP dianggap kurang sesuai dengan
1 Aditya Satya Lambang B, Magister Thesis, Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap
Presiden, Semarang, Unversitas Dipenegoro, 2008, hal 13.
2
perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi tuntutan atau kebutuhan
masyarakat baik nasional maupun internasional. Namun upaya untuk
melakukan pembaharuan hukum pidana pada saat ini masih terbatas dan
terkesan tambal sulam. Seperti diketahui bahwasaannya KUHP seringkali
dipreteli dimana banyak pasal yang ditambahkan dalam KUHP maupun yang
di cabut dari KUHP tanpa memperhatikan KUHP sebagai satu kesatuan sistem
hukum pidana yang utuh.2
Salah satu bentuk konkrit dari upaya pembaharuan hukum pidana adalah
pencabutan pasal 134, 136Bis dan pasal 137 yang diajukan oleh Eggy Sudjana,
perihal Eggi Sudjana dianggap telah menghina Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) karena ia mengklarifikasi kepada ketua KPK mengenai rumor
pemberian mobil mewah oleh salah satu pengusaha kepada beberapa anggota
lembaga kepresidenan dan kepada Presiden sendiri. Dalam perkara tersebut,
Eggi Sudjana telah mengajukan permohonan maaf dan permohonan maaf itu
pun sudah dikabulkan oleh Presiden, namun perkara tersebut tetap mengalami
kriminalisasi padahal Eggi Sudjana sendiri bukanlah pembuat rumor tersebut.
Yang ingin ia lakukan adalah mengklarifikasi rumor sebagai wujud dari kontrol
rakyat terhadap jalannya pemerintahan. Presiden pun menyatakan ia menerima
situasi yang ada karena hal itu merupakan dampak dari demokrasi di Indonesia.
Perkara Eggi Sudjana menunjukkan bahwa ketentuan penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden masih diterapkan secara kaku, tanpa memandang latar
2 Ibid
3
belakang suatu perbuatan dilakukan oleh pelaku. Sehingga Eggi Sudjana
mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal sebagai berikut :
pasal 134 yang berbunyi : “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden
dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam
tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500”; kemudian pencabutan
pada pasal 136Bis yang berbunyi : “Perkataan penghinaan dengan sengaja
dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal
315, jika iutu dilakukan kalau yang dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka
umum dengan beberapa perbuatan, maupun tidak di muka umum, tetapi
dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang lain, yang hadir
dengan tidak kemauannya dan yang merasa tersentuh hatinya, akan itu,
dengan perbuatan-perbuatan, atau dengan lisan atau dengan tulisan”; dan
pasal 137 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa menyiarkan,
mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya
menghina Presiden atau Wakil Presiden dengan niat supaya isinya yang
menghina itu diketahui oleh orang banyak atau diketahui oleh orang banyak,
dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 4.500”; (2) “Jika Si Tersalah melakukan kejahatan
itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi lalu
dua tahun sesudah tetap hukumannya yang dahulu sebab kejahatan yang
serupa itu juga, maka ia dapat dipecat dari jabatannya. (KUHP 35, 144, 208,
310 , 315, 483, 488)”;
Pasal-pasal tesebut tentang penghinaan terhadap Presiden , diabut oleh
Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006, dengan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dalam isi putusan MK,
menyatakan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden tersebut telah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia
terhadap pasal pasal :
1. Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala Warga Negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”, pasal 28 yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”,
2. Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.”
4
3. Pasal 28E Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
4. Pasal 28 J yang menyatakan bahwa :
(1) “ Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.3
Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal tersebut tidak relevan lagi jika
dalam KUHP masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan
didepan hukum, mengurangi kebebasan untuk menyampaikan pikiran dan
pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.4
Sebelum dicabut nya pasal tentang tindak pidana penghinaan terhadap
presiden dan wakil presiden yang bertentangan dengan UUD 1945, nyatanya
penerapan pasal tersebut telah memakan beberapa korban yaitu5 :
1. M Iqbal Siregar, Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI), harus mendekam di
penjara selama 5 bulan setelah dijerat melakukan orasi terkait penolakan
kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat sedang demonstrasi di Istana
Merdeka;
2. I Wayan Suardana seorang Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM
Indonesia (PBHI), Bali (2005): dalam sebuah Penyampaian Pendapat
tentang kenaikan harga BBM, dihukum 6 bulan penjara.
3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 013.022/PUU-IV/2006 mengenai pengujian KUHP
Pasal 134, 136 bis dan 137 tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
terhadap UUD 1945 Pasal 28 E ayat (2) dan (3).
4 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Jakarta, Sinanr Grafika, Cetakan
Pertama, 2010, Hal 1.
5 Ibid. hal,. 17
5
3. Bai Harkat Firdaus, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Jakarta (2004): Membakar foto Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla dalam sebuah Penyampaian Pendapat di Jakarta, dihukum 5 bulan
penjara.
4. Monang Johannes Tambunan pernah didakwa dengan pasal 134 KUHP di
era Susilo Bambang Yudhoyono. Monang, yang saat itu menjabat
Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dinyatakan
bersalah melakukan penghinaan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat menggelar aksi menolak kenaikan harga bahan bakar
minyak di depan Istana Negara Jakarta pada 26 Januari 2005. Setelah
Majelis hakim memvonis terdakwa karena melanggar pasal 134a dan 136
bis KUHP, ia dijatuhi hukuman enam bulan penjara oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.6
5. Fakhrur Rahman alias Paunk dari UIN Syarif Hidayatullah juga terkena
ganasnya Pasal 134 jo pasal 136 bis KUHP. Paunk dinyatakan menghina
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam orasinya di kawasan Salemba
22 Juni 2006. Oleh PN Jakarta Selatan, ia divonis tiga bulan 23 hari.7
6. Eggi Sudjana, Advokat (2006), beliau Mengklarifikasi informasi kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kemungkinan Soesilo
6 Tony Firman, Ancaman Kriminalisasi Kritik oleh Pasal Penghinaan Kepala Negara,
https://tirto.id, access 20 Januari 2019.
7 Ibid.
6
Bambang Yudhoyono menerima hadiah mobil mewah oleh seorang
pengusaha, sedang diadili, justru mereka diadili.8
Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP
telah memakan banyak korban, bahwa para korban yang divonis dengan pasal
penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut dapat dikatakan sebagai pasal
karet yang dijadikan sebagai alat aparat penegak hukum untuk membatasi hak
konstitusional warga negara dalam memberikan kritik yang membangun
kepada penguasa pada saat itu, sehingga pasal ini tidak memiliki batasan yang
tegas tentang perbuatan seperti apa yang termasuk sebagai menghina dan
mengkritik. sedangkan memberikan kritik atau penyampaian pendapat seperti
dalam kasus diatas dapat menjadi sebuah penghinaan, sehingga pasal tentang
penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden ini telah
bertentangan kebebasan berpendapat, sebagaimana hak untuk menyampaikan
pendapat telah dijamin dalam konstitusi.
Berdasarkan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 Negara Republik Indonesia
menyatakan bahwa “ kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentutan pasal tersebut
secara implisit terkandung makna bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan,
kepemilikan itu pula diikuti oleh rakyat merupakan sebagai pengawas
pemerintah. Jika hal ini terus dibiarkan tentunya akan mengakibatkan
pembatasan terhadap kebebasan berkeskpresi. Namun hal ini tidak dapat
8 Rappler Indonesia, Daftar Korban Pasal Penghinaan Presiden dari Zaman Megawati Hingga
Jokowi, dalam https://www.rappler.com, diakes 12 November 2018.
7
dimaknai secara parsial, hal ini didasarkan atas Indonesia sebagai Negara yang
berbentuk Republik, Konsitusi Indonesia mendudukan bahwa orang nomor
satu di Indonesia adalah Presiden sebagai kepala pemerintah dan juga sebagai
kepala Negara yang melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya sesuai
dengan konstitusi.9
Presiden Indonesia yang memegang kedudukan sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara secara politis dan sosial menurut masyarakat
internasional bahwa dirinya merupakan representatif dari seluruh bangsa
Indonesia. Secara yuridis menjadi sebuah keharusan baginya untuk diposisikan
sama dalam hukum, keberlakuan aturan dan penegakannya, namun secara
politis dan sosial tida dapat dikatakan sama. Kedudukan presiden tidak dapat
disejajarkan dengan masyarakat biasa karena kedudukan presiden jika dilihat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 memiliki peran yang strategis yaitu
seorang Presiden mempunyai hak prerogatif, hak yang dimiliki oleh seorang
kepala pemerintahan atau kepala negara tanpa ada intervensi dari pihak
manapun dalam menggunakan hak tersebut. Oleh karenanya, hak prerogatif itu
dikatakan sebagai hak privilege atau hak istimewa seorang kepala negara
dalam menjalankan tugas kenegaraannya. 10
Hak prerogatif Presiden Indonesia adalah hak yang tercantum dalam
Undang-undang Dasar 1945 sebagai kontitusi atau dasar negara Indonesia,
9 Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
10 Butje Tampi, Kontroversi Pencantuman Pasal Penghinaan Terhadap Martabat Presiden dan
Wakil Presiden Dalam KUHPidana Yang Akan Datang, 2006, Jurnal Ilmu Hukum. Vol 3 No. 9. Hal
20.
8
berdasarkan hak prerogatif yang dimiliki Presiden Indonesia adalah sebagai
berikut :
a. Pasal 10 UUD 1945: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;
b. Pasal 11 ayat (1) UUD 1945: Presiden menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain;
c. Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan bahaya;
d. Pasal 13 UUD 1945: Presiden mengangkat duta dan konsul;
e. Pasal 14 UUD 1945: Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA); Presiden
juga memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
f. Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-
lain tanda kehormatan yang diatur UU
g. Pasal 17 UUD 1945: Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara
yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Sehingga menjadi keharusan pula baginya untuk mendapat perlindungan lebih
secara yuridis dalam posisi dan kewenangannya sebagai representasi bangsa.
Maka menjadi tidak relevan justru, ketika ia harus dipersamakan secara umum
dengan mengeneralisasikannya sebagai salah satu warganegara Republik
Indonesia yang sama dengan warganegara Republik Indonesia yang lain. 11
Penghinaan terhadap Martabat Presiden haruslah dipandang sebagai
bentuk kebijakan yang melindungi Negara dari celaan sosial dan melindungi
dari serangan politik yang secara sosial akan mengganggu ketertiban dalam
masyarakat. Penghapusan terhadap pasal ini justru akan melahirkan
subsosialitas yang menurut Jan Remmelink akan menjadi kegelisahan dan
penyebab terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Menurut remmelink:
“perbuatan melawan hukum ikhwalnya berkenaan dengan ketidakadilan,
11 Oksep Adhayanto, Eksistensi Hak Prerogatif Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal FISIP
UMRAH. Vol.2. Nomor 2, 2011. Hal 163
9
dalam hal kesalahan, ikhwalnya adalah ketercelaan; dan berkenaan dengan
subsosialitas, ikhwalnya adalah risiko bahaya yang dimunculkan oleh
pelanggar hukum terhadap kehidupan kemasyarakat”12
Artinya, potensi resiko yang akan dimunculkan oleh pelanggar hukum
dalam kehidupan bermasyarakat haruslah dipandang sebagai salah satu obyek
yang perlu diatur oleh hukum untuk menciptakan tertib sosial dengan kehati-
hatian yang obyektif. Karena untuk mencegah timbulnya akibat atau resiko
yang tidak diharapkan bagi masyarakat hanya dapat dicapai oleh pembuat
undang-undang dengan cara melarang atau mengharuskan tindakan tertentu
yang berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan pandang-pandangan manusia
yang melakukannya harus pertanggungjawabkan. Pengaturan mengenai
perlindungan terhadap nama baik presiden seyogyanya dipandang sebagai
kehati-hatian obyektif yang menjadi norma dengan batasan yang dibuat
sedemikian rupa untuk tidak menimbulkan resiko tertentu.13
Wacana menghidupkan kembali Pasal Penghinaan Presiden dan wakil
Presiden dalam RUU KUHP mendapatkan banyak perdebatan beberapa ada
yang setuju dan adapun yang tidak setuju dengan menghidupkan kembali pasal
penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden,sehingga dengan hadirnya
kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam
rumusan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) perlu
dikaji kembali dalam perspektif kebebasan berpendapat, sehingga pasal
12 Jan Rammelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda
dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003, hal. 194.
13Ibid.
10
tersebut tidak menjadi pasal karet, dan memiliki batasan yang tegas untuk dapat
membedakan yang disebut sebagai menghina dengan yang disebut sebagai
kritikan yang membangun terhadap kinerja presiden dan wakil presiden dalam
pembangunan nasional sehingga mampu memberikan penjelasan tentang
bentuk seperti bagaimana dapat dikatakan penghinaan atau kritikan yang
membangun, berikut rumusan masalah yang diangkat oleh penulis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan pasal tindak pidana penghinaan terhadap martabat
presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP di tinjau dari kebebasan
berpendapat?
2. Bagaimana formulasi pengaturan pasal tindak pidana penghinaan terhadap
martabat presiden dan wakil presiden sebagai Ius Constituendum agar tidak
bertentangan dengan kebebasan berpendapat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap martabat
presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP ditinjau dari kebebasan
berpendapat.
2. Untuk mengetahui formulasi pengaturan pasal tindak pidana penghinaan
terhadap martabat presiden dan wakil presiden sebagai Ius Constituendum
agar tidak bertentangan dengan kebebasan berpendapat.
11
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi masyarakat agar masyarakat lebih berhati-hati dalam memberikan
kritik-kritik kepada presiden dan wakil presiden.
2. Bagi DPR, memberikan penyempurnaan terhadap pasal penghinaan
terhadap martabat presiden dan wakil presiden bagi DPR dalam menyusun
rumusan RUU KUHP
E. Kegunaan Penulisan
Penulisan mengenai “Pengaturan Tindak Pidana Penghinaan Terhadap
Martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU HP ditinjau dari perspektif
kebebasan berpendapat” ini, hasilnya diharapkan dapat memberi kegunaan
dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu :
1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu hukum khususnya
dalam penyusunan RUU KUHP dan sekaligus juga dalam
pengembangan ilmu hukum pidana.
2. Secara praktis.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi badan legislasi/ DPR
dalam penyusunan dan pembaharuan produk hukum baru dalam
rumusan RUU KUHP sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan
pembetuk undang-undang tersebut.
F. Metode Penulisan
12
1) Metode Pendekatan
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau
penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan
sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan.14 Berdasarkan
ruang lingkup serta identifikasi masalah sebagaimana telah
diuraikan,untuk mengkaji secara komprehensif dan holistik pokok
permasalahan,akan ditelusuruhi dengan menggunakan tipe penelitian
yuridis normatif (normatif legal research) yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan perundang-undangan, dan
didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok peermasalahan
yang akan dibahas.
Adapun metode pendekatan yang digunakan yaitu pendektan yang
filosofis atau ideologis, Pendekatan terhadap hukum yang normatif dan
pendekatan perbandingan hukum :
1. Pendekatan filosofi atau ideologis yaitu mengindenifikasikan dan
mengkonsepsikan hukum sebagai ide, cita-cita, nilai moral, asas,
keadilan. Penelitian terhadap hukum dengan menggunakan
pendekatan demikian ini merupakan penelitian hukum yang
filosofis.
2. pendekatan terhadap hukum yang normatif, yaitu
mengidentifikasikan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan,
14 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung Citra Aditya Bakti, 2004,
Hal 112.
13
undang-undang yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu
sebagai produk dari suatu kekuasaan negara tertentu yang berdaulat.
Penelitian terhadap hukum dengan menggunakan pendekatan
demikan ini merupakan penelitian hukum yang normatif atau
penelitian hukum yang doktrinal.
3. Ketiga, Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan
studi perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan
kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan negara
lain. Perbandingan hukum dapat dilakukan tanpa melihat sistem
hukum maupun tingkat ekonomi, melainkan hanya melihat
substansinya secara universal.15
2) Jenis Bahan Hukum
a) Bahan Hukum Primer :
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat, antara lain Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, KUHP, Keputusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pencabutan pasal penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden.
b) Bahan Hukum Sekunder :
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Jakarta.Penerbit Kencana, 2015,
Hal 172.
14
menganalisis dan memahami bahan hukum primer, antara lain
meliputi konsep rancangan undang-undang hukum pidana (RUU
KUHP), instrumen-instrumen hukum internasional, hasil
penelitian dan kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukum.
c) Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan
informasi terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum tersier ini sering dikenal sebagai bahan
acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, antara lain
meliputi kamus hukum dan ensiklopedia hukum.
3) Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap martabat presiden
dan wakil presiden ditinjau dari perspektif kebebasan berpendapat
sebagai Upaya Pembaharuan Hukum Pidana ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder dan studi
kepustakaan. Oleh karena itu, metode pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan.
4) Teknik Analisa Bahan Hukum
Mengingat bahwa penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif atau penelitian pustaka, maka analisi data yang akan
digunakan adalah deskriptif kualitatif. penelitian deskriptif kualitatif
ditujukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-
fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia,
15
yang lebeh memperhatikan mengenai karakteristik,kualitas keterkaitan
antar kegiatan
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini, penulis akan membagi
ke dalam lima bab sebagai berikut:
1. BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memuat hal yang melatarbelakangi pemilihan topik
dari penulisan skripsi dan sekaligus menjadi pengantar
umum dalam memahami penulisan secara keseluruhan
yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisikan kajian pustaka dan teori yang
berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti meliputi
: Pembaharuan Hukum Pidana, Politik Hukum Pidana ,
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Pengertian Tindak
Pidana, Tindak Pidana Umum, Tindak Pidana Khusus,
Presiden sebagai Kepala Negara, Wakil Presiden, Tinjauan
Kebebasan Berpendapat
3. BAB III : PEMBAHASAN
16
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, maka
dalam bab ini menguraikan tentang pembahasan mengenai
pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap martabat
presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ditinjau dari
perspektif kebebasan berpendapat dan formulasi
pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap martabat
presiden dan wakil presiden sebagai Ius constituendum agar
tidak bertentangan dengan kebebasan berpendapat.
4. BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran
yang berhubungan dengan permasalahan dari hasil
penelitian hukum.