BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68702/potongan/S2...atau...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Studi tentang kerja dalang wayang potehi ini berawal dari pengalaman saya menonton pementasan wayang potehi di Pasar Imlek Semawis Semarang pada tahun 2009. Pada saat itu saya merasa tertarik dengan pementasan boneka- boneka berkepala kayu dan berbadan kain yang dimainkan dengan tangan. Bagi saya, pementasan itu terasa unik ketika boneka-boneka kecil dimainkan oleh tangan manusia yang tak terlihat wajahnya karena berada di balik panggung. Saya menjadi tertarik pula mengingat suara dalang yang memainkan wayang-wayang itu terdengar menggunakan tata bahasa Indonesia dengan ejaan lama dan dibarengi dengan bahasa Cina yang kala itu tidak saya ketahui menggunakan dialek apa. Maka pada malam hari itu pun saya menunggu hingga sang dalang mengakhiri pementasan dan keluar dari kotak panggung untuk menunjukkan keberadaan dirinya. Sesuai dengan tebakan yang saya tengarai dari lekak-lekuk suaranya, dalang lelaki tersebut ternyata adalah lelaki tua. Yang menjadi ketertarikan saya waktu itu adalah bagaimana lelaki setua itu mampu bertahan berjam-jam memainkan pementasan wayang dengan bahasa Cina yang terdengar sangat fasih dan indah. Hal tersebut kemudian mendorong saya untuk memiliki keinginan bahwa di masa yang akan datang, saya ingin menuliskan kisah hidup lelaki tua itu.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68702/potongan/S2...atau...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi tentang kerja dalang wayang potehi ini berawal dari pengalaman

saya menonton pementasan wayang potehi di Pasar Imlek Semawis Semarang

pada tahun 2009. Pada saat itu saya merasa tertarik dengan pementasan boneka -

boneka berkepala kayu dan berbadan kain yang dimainkan dengan tangan. Bagi

saya, pementasan itu terasa unik ketika boneka-boneka kecil dimainkan oleh

tangan manusia yang tak terlihat wajahnya karena berada di balik panggung. Saya

menjadi tertarik pula mengingat suara dalang yang memainkan wayang-wayang

itu terdengar menggunakan tata bahasa Indonesia dengan ejaan lama dan

dibarengi dengan bahasa Cina yang kala itu tidak saya ketahui menggunakan

dialek apa. Maka pada malam hari itu pun saya menunggu hingga sang dalang

mengakhiri pementasan dan keluar dari kotak panggung untuk menunjukkan

keberadaan dirinya.

Sesuai dengan tebakan yang saya tengarai dari lekak-lekuk suaranya,

dalang lelaki tersebut ternyata adalah lelaki tua. Yang menjadi ketertarikan saya

waktu itu adalah bagaimana lelaki setua itu mampu bertahan berjam-jam

memainkan pementasan wayang dengan bahasa Cina yang terdengar sangat fasih

dan indah. Hal tersebut kemudian mendorong saya untuk memiliki keinginan

bahwa di masa yang akan datang, saya ingin menuliskan kisah hidup lelaki tua itu.

2

Malam hari itu saya pun memberanikan diri berkenalan dengannya. Lelaki tua itu

memberikan kartu nama berwarna merah untuk saya. Di atas kertas warna merah

itu tertulis namanya: Teguh Tjandra Irawan. Dalam perjalanan kemudian, saya

mengetahui bahwa lelaki tua itu lebih akrab disapa dengan panggilan Thio Tiong

Gie.

Saya melihat pekerjaan dalang wayang potehi sebagai pekerjaan yang

tidak banyak digeluti oleh orang-orang Cina di Indonesia1 secara kebanyakan.

Selama ini mungkin kita melihat kebanyakan orang-orang Cina di Indonesia

memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Setidaknya citra semacam itu tercermin

pada malam hari ketika saya mengunjungi Pasar Imlek Semawis tahun 2009.

Berderet-deret para penjual makanan maupun pakaian dan pernak-pernik

memenuhi jalan di lokasi Pasar Imlek Semawis, sedangkan panggung wayang

potehi terletak di tengah-tengah deretan itu. Di dalam panggung wayang potehi

itu, yang bekerja adalah seorang lelaki tua yang nantinya juga akan saya ketahui

memainkan wayang potehi pada Pasar Imlek Semawis 2010, 2011 dan 2012.

Melihat seorang lelaki tua dengan kondisi tubuh yang tampak sudah tidak

lagi prima - terlihat dari cara ia berjalan yang sesekali tidak tegak - masih tetap

melakukan kerja pementasan dalang wayang potehi, muncul sejumlah pertanyaan

di benak saya. Bagaimana lelaki tua itu mengawali kerja pementasan dan

1Penggunaan kata ”Cina di Indonesia” dan Tionghoa akan digunakan secara bergantian

berdasarkan pemakaian sumber yang berbeda yang menggunakan istilah yang berbeda pula.

Penulis akan menggunakan istilah Cina di Indonesia untuk menunjukkan bahwa istilah tersebut

memiliki arti positif.

3

kemudian menghidupi pekerjaannya?Lebih jauh lagi: Apa makna kerja mendalang

bagi sang dalang wayang potehi itu?

B. Kajian Pustaka

Studi-studi tentang wayang potehi tidak banyak yang tertulis dalam bentuk

buku, namun demikian terdapat beberapa studi berupa makalah, skripsi, dan

laporan penelitian. Salah satu tulisan tentang wayang potehi adalah tulisan

Mastuti (2004) yang berjudul “Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akulturasi

Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia .”

Dalam tulisannya, Mastuti (2004) memberikan gambaran asalmuasal kata

Potehi dan gambaran cara memainkan wayang potehi. Selain itu ia memberikan

data tentang daftar lakon yang sering dimainkan dalam pertunjukan wayang

potehi. Ia menuliskan juga bahwa dalam pertunjukan wayang potehi terdapat

dalang inti dan asisten dalang.Dalang inti bertugas menyampaikan kisah atau

lakon wayang,sementara asisten dalang bertugas membantu dalang inti

menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita.

Studi lain juga dilakukan oleh R iyanti (2010). Ia melakukan studi tentang

“Pertunjukan Wayang Potehi di Pasar Imlek Semawis Semarang.” Dalam tulisan

yang disusunnya untuk Tugas Akhir Program Studi Diploma III Bahasa

Mandarin, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Riyanti menuliskan

bagaimana wayang potehi dimainkan dalam konteks acara Pasar Imlek Semawis

tahun 2010 di Semarang. Dalam tulisannya tersebut, Riyanti lebih bersifat

menggambarkan bagaimana jalannya pementasan (yang dalam bahasa R iyanti

4

digunakan istilah pertunjukan-pen) wayang potehi tersebut serta bagaimana peran

yang dimainkan oleh dalang ketika pementasan berlangsung.

Dalam tulisannya, dipaparkan oleh Riyanti bahwa pementasan wayang

potehi di Pasar Imlek Semawis untuk menyambut datangnya Tahun Baru Cina

atau Imlek 2561, dipentaskan di TITD Hoo Hok B io, Gang Pinggir. Pementasan

tersebut tidak memerlukan ritual khusus karena sebagai pertunjukan hiburan dan

bukan untuk ritual keagamaan. Lakon yang dimainkan adalah Shi Jin Kwi

menaklukkan Kerajaan See Liang Kok. Dituliskan oleh R iyanti bahwa ketika

pementasan berlangsung, dalang mengatakan “Laay…” untuk memberi kode

jalannya musik pelan, “Ban Po Tjiauw Gi… ” untuk musik yang agak cepat, serta

“Ji Ma Tjiauw Gi … ” untuk kode iringan musik yang cepat sekali. Dalam

pementasan yang dibawakan oleh sang dalang, bahasa yang digunakan adalah

bahasa Indonesia, yang kadang-kadang diselingi dengan dagelan Jawa, namun

tetap menggunakan suluk dengan bahasa Hokian.

Studi yang dilakukan Riyanti telah sedikit menyinggung bagaimana dalang

ketika bekerja mementaskan wayang. Akan tetapi gambaran yang dia berikan

tidak cukup untuk melihat bagaimana kerja dalang secara utuh dimulai sebelum

pementasan, ketika pementasan dan kerja-kerja dalang ketika berada di luar

pementasan wayang.

Di dalam tulisan yang lain, Natalia (2007) menuliskan tentang “Wayang

Potehi: Fungsi, Eksistensi, dan Tantangannya”. Dalam tulisan Tugas Akhir D -III

yang juga merupakan hasil observasi pada Pekan Budaya Tio nghoa Yogyakarta

5

2007 dan Klenteng Hong Tek Hian Surabaya tersebut, Natalia menjabarkan

beberapa fungsi dari wayang potehi yaitu wayang potehi sebagai sarana ritual,

sarana pendidikan, serta sarana hiburan dan kritik sosial.

Kajian lain tentang wayang potehi dilakukan oleh Trihatmojo (2010).

Dalam tulisannya yang berjudul “Symbolic meaning of Potehi Puppet Leather

Clothes,” ia mengkaji tentang makna-makna simbolis yang terdapat pada baju-

baju yang dikenakan oleh wayang potehi. Ia meneliti pada wayang poteh i yang

dimainkan di Klenteng Hong San Kiong di Gudo, Jombang-Jawa Timur. Ada

beberapa simbol yang dipaparkan dalam studinya yaitu simbol dari kelompok

keluarga kerajaan, simbol dari kelompok pembantu raja, dan yang ketiga adalah

simbol dari kelompok orang-orang biasa.

Terdapat kajian lain yang bersifat historis yang dilakukan oleh Handoko

(1995). Dalam tulisannya yang berjudul “Wayang Potehi Kediri (1970-1990),”

Handoko menuliskan tentang asal mula wayang potehi, hingga bagaimana wayang

potehi itu berada di Kediri yang lebih tepatnya dimainkan di Klenteng Tjoe Hwie

Kiong. Ada satu perkiraan masuknya wayang potehi ke Indonesia bersama dengan

kedatangan para imigran Cina mulai pertengahan abad XIX dari Fujian yang

membawa serta peralatan ibadat, karya sastra , dan kesenian. Wayang potehi

diperkirakan masuk ke Kediri setelah awal abad XX (hal tersebut dijadikan suatu

hipotesa oleh Handoko dengan merunut berdirinya Klenteng Tjoe Hwie Kiong

pada tahun 1895). Klenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri sudah tidak memiliki la gi

koleksi wayang potehi karena adanya musibah banjir besar sungai Brantas tahun

1955 yang menghanyutkan koleksi wayang. Sekarang ini jika ada acara pesta

6

peringatan HUT Dewi Thian Siang Sing Bo selalu mendatangkan dalang dan

wayang potehi dari luar kota seperti Surabaya, Tuban, maupun Tulungagung.

Dinyatakan lebih lanjut oleh Handoko bahwa kehadiran dan keberadaan wayang

potehi di Kediri tidak ada dalam catatan maupun memori warga C ina Kediri.

Setelah bencana banjir besar Sungai Brantas 1955 dan menyusul tragedi G 30

S/PKI tahun 1965 menjadikan pengurus klenteng tidak lagi memikirkan memiliki

koleksi wayang potehi.

Kajian historis yang lain terdapat dalam tulisan Nurhajarini (2010) dalam

tulisan berjudul “Dinamika Wayang Potehi di Klenteng Hong Tek Hian Su rabaya

1967-2008.” Dalam penelitian tersebut, Nurhajarini ingin mengungkap bagaimana

kesenian wayang potehi menghadapi tantangan zaman. Perjalanan potehi pernah

melalui hambatan pada masa pemerintah Orde Baru. Hambatan tersebut menjadi

salah satu faktor hilangnya regenerasi pemain potehi dari kalangan etnis

Tionghoa. Lebih lanjut Nurhajarini menyatakan bahwa kesenian tersebut berada

pada tangan-tangan terampil orang Jawa. Di samping para pemain yang berasal

dari etnis Jawa, unsur baru lainnya adalah bahasa yang digunakan dalam

pementasan, alat musik, dan lagu. Dalam pandangan Nurhajarini, melihat potehi

di Surabaya tidak hanya sebatas bertahannya kesenian tersebut, namun lebih luas

lagi yakni terbentuknya komprom i budaya.

Studi yang dilakukan oleh Nurhajarini bersifat sangat luas. Ia ingin

mengkaji seluruh bagian dari pementasan wayang potehi di Klenteng Hong Tek

Hian Surabaya. Keberadaan dalang sudah disinggung pula dalam studi tersebut.

Penggambaran kerja dalang ketika berpentas adalah salah satu bagian kec il dari

7

studinya yang luas tersebut. Pada bagian penggambaran tentang aktivitas

pementasan dalang, tulisan Nurhajarini lebih bersifat mendeskripsikan.

Sementara itu, tesis yang mengangkat tentang wayang potehi di Semarang

pernah ditulis oleh Tjaturrini (2006). Dalam tulisan yang berjudul “Wayang

Potehi: Suatu Kajian Tentang Kesenian Tradisional China di Semarang,”Tjaturrini

mencoba menjawab pertanyaan tentang apa fungsi wayang potehi bagi masyarakat

Tionghoa, serta bagaimana wayang potehi menjembatani hubu ngan masyarakat

Tionghoa dengan masyarakat lokal.

Tjaturrini (2006) memaparkan fungsi wayang potehi dalam kehidupan

masyarakat adalah sebagai suatu sistem proyeksi, alat pengesahan, alat

pendidikan, media perjuangan, serta wayang potehi sebagai pencetus ide, pesan

atau perasaan. Lebih lanjut, dalam simpulannya, Tjaturrini menyatakan bahwa

masyarakat Tionghoa dengan wayang potehinya mencoba menghapuskan

perbedaan-perbedaan yang ada di antara masyarakat Tionghoa dan pribumi. Hal

tersebut ditunjukkan oleh Tjaturrini dengan adanya perkumpulan wayang potehi

yang anggotanya terdiri dari e tnis Tionghoa dan pribum i yang dapat bekerjasama

dengan baik tanpa memerhatikan adanya perbedaan yang ada di antara mereka.

Keberadaan dalang dalam suatu pementasan wayang potehi merupakan

suatu hal yang sangat penting sebab tanpanya wayang potehi hanyalah akan

menjadi benda-benda mati yang tak bermakna. Hal demikian membuat

pengetahuan yang ada tentang cerita, fungsi dan teknik permainan wayang potehi

tidak akan cukup bila tidak dibarengi dengan melihat kehidupan dalangnya.

8

Dalang wayang potehi dalam melakukan pementasan juga sedang melakukan

suatu pekerjaan yang ia maknai. Pementasan wayang potehi sebagai suatu proses

kerja bagi Sang Dalang juga tak akan luput dari nilai-nilai yang ia pegang. Penting

untuk melihat keberadaan dalang wayang potehi sebagai sebuah kerja sehingga

kita dapat menempatkan proporsi yang seimbang dan tidak hanya berfokus kepada

wayang potehinya semata.

Salah satu tulisan tentang dalang terdapat dalam buku yang ditulis oleh

van Groenendael (1985) dalam bukunya yang berjudul The Dalang Behind The

Wayang: The Role of The Surakarta and The Yogyakarta Dalang in Indonesian -

Javanese Society. Konsentrasi dalam studi Groenendael adalah perkara transmisi

dalang (di Surakarta dan Yogyakarta) serta peran dalang pada masa pemerintahan

Orde Baru. Groenendael menyoroti arti penting pembukaan sekolah -sekolah

dalang yang pertama tahun 1920-an, yang merupakan titik tolak bagi terlepasnya

peranan tradisional dalang yang sosio-religius, dan berkembang kepada peranan

sebagai seniman kritis dalam masyarakat modern. Pada masa Orde Baru, dalang

mendapatkan tekanan moral oleh pemerintah agar mereka membantu

pembangunan masyarakat melalui pergelaran-pergelaran mereka. Dalam

pergelaran-pergelaran tersebut, di samping masalah pembatasan kelahiran juga

dibicarakan masalah-masalah kampanye anti korupsi, pemasyarakatan olah raga,

pemilu, dan masalah-masalah dalam pembangunan pertanian, seperti penggunaan

pupuk buatan, pelipatgandaan hasil padi, dan penanaman jenis padi unggul.

Studi yang dilakukan Groenendael menghasilkan tulisan yang sangat

menarik dengan deskripsi detil. Akan tetapi hal itu pulalah yang saya anggap

9

sebagai sebuah kekurangan dalam studinya yaitu ketiadaan analisis teoritis yang

digunakan untuk menelaah deskripsi yang menarik tersebut. Studinya belum

cukup membantu untuk memahami makna kerja mendalang bagi dalang wayang

kulit purwa yang ada di Surakarta dan Yogyakarta.

Sebuah tulisan tentang kisah hidup seorang dalang wayan g purwa terdapat

dalam buku Ki Manteb Dalang Setan yang ditulis oleh Abbas, Kommar A. dan

Seno Subro (1995). Buku tersebut menguraikan sejarah hidup Manteb

Soedharsono dari sejak ia dilahirkan hingga ia menjadi dalang kondang. Manteb

Soedharsono adalah lelaki yang memiliki ayah sebagai seorang dalang. Manteb

Soedharsno yang tamatan SMP tersebut menjalani pendidikan sebagai dalang

melalui proses nyantrik. Tidak ada kerangka teoritis yang menjadi skema dari

biografi tersebut, melainkan lebih menonjolkan pada paparan deskriptif sejarah

hidup sang dalang. Tulisan tersebut menarik dengan detil kisah hidup yang

dijalani oleh Manteb Soedarsono, namun kurang menegaskan makna kerja

mendalang bila dilihat dari perspektif antropologis.

Buku lain yang menulis tentang kehidupan seorang dalang juga menulis

tentang kisah hidup Manteb Soedharsono sang dalang wayang purwa. Tulisan

Wahyono (2008) yang berjudul Manteb Soedharsono (Profil Dalang Sukses:

Kajian Perspektif Edukatif) mencoba melihat kisah hidup Manteb Soedarsono dan

peran Manteb Soedarsono sebagai pendidik atau guru masyarakat. Peran Ki

Manteb sebagai guru masyarakat ditengarai oleh penulis dengan membedakan

beberapa kegiatan yang dijalaninya yaitu kegiatan menanamkan nilai -nilai e tis,

mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan teknik mendalang kepada sasaran

10

didik, serta memberi pencerahan hati orang yang sedang kegelapan. Tulisan

Wahyono (2008) ini telah mencoba memaparkan peran seorang dalang. Akan

tetapi, untuk kepentingan studi antropologi, tulisan ini belum mengungkap makna

kultural dari kerja mendalang secara lebih mendalam.

Salah sebuah tulisan tentang dalang wayang potehi terdapat dalam skripsi

karya Wijaya (2006) yang berjudul “Dalang Wayang Potehi Etnis Non -Tionghoa

di Surabaya2.” Melalui tulisannya tersebut, Wijaya ingin menjawab pertanyaan

tentang apa yang melatarbelakangi orang-orang non-Tionghoa menjadi dalang

wayang potehi dan bagaimana cara para dalang non-Tionghoa belajar menjadi

dalang wayang potehi, serta bagaimana pan dangan para dalang tersebut terhadap

wayang potehi. Orang-orang non-Tionghoa di sekitar Klenteng Kampung Dukuh-

Surabaya menjadi dalang wayang potehi karena mendapatkan pengaruh dari

tempat tinggal mereka yang berada di sekitar klenteng. Para dalang terseb ut

belajar secara langsung dari para dalang yang ada di klenteng tersebut sejak ketika

mereka masih kecil, dimulai dari disuruh untuk membelikan rokok, memainkan

alat musik, hingga memegang wayang. Para dalang tersebut beranggapan bahwa

wayang potehi di Surabaya masih banyak berorientasi pada kepentingan klenteng

dan mereka merasa prihatin dengan keberadaan wayang potehi.

Studi yang dilakukan oleh Wijaya sudah mencoba untuk melihat gambaran

dua dalang wayang potehi di Surabaya yang berasal dari orang non-Tionghoa.

2Sementara itu, tulisan yang lain tentang dalang wayang potehi terdapat dalam sebuah majalah

popular Gong berjudul “Thio Tiong Gie: Poros Dalang Wayang Potehi.” Dalam tulisan tersebut,

Hairus Salim (2005) menuliskan profil Thio Tiong Gie dan sekelumit kisah perja lanannya menjadi

dalang. Tulisan tersebut tidak disertai dengan analisa berdasarkan perspektif teoritis tertentu.

11

Meski demikian, upaya dia untuk mengungkap kehidupan dan kerja dalang

tersebut kurang mendeskripsikan life story dari dua dalang tersebut. Tulisan

tersebut belum mengungkapkan makna kerja mendalang bagi kedua dalang

tersebut secara mendalam. Upaya untuk mengungkapkan kehidupan kerja kedua

dalang tersebut tidak dibarengi dengan pengungkapan dimensi kerja dalang

tersebut.

C. Rumusan Masalah

Melihat beberapa kajian yang telah tertulis di atas, melalui tulisan ini saya

akan mengajukan beberapa rumusan m asalah penelitian:

1. Bagaimana kehidupan dalang wayang potehi di Semarang dan modal

apa saja yang dimiliki untuk melakukan pekerjaannya?

2. Bagaimana modal-modal tersebut dipergunakan dalam ranah praktik

kerja dalang wayang potehi di Semarang?

3. Apa makna kerja bagi dalang wayang potehi di Semarang?

D. Kerangka Teori

Saya membayangkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, seseorang

akan menggunakan modal yang ia miliki. Konsep tentang modal yang akan

dipakai dalam studi ini adalah konsep modal yang diutarakan oleh P ierre

Bourdieu. Dalam kata pengantarnya untuk buku berjudul (Habitus x Modal) +

Ranah = Praktik, Bagus Takwin (2009: XX) memaparkan bahwa modal

merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi

di dalam ranah. Dijelaskan lebih lanjut oleh Takwin bahwa setiap ranah menuntut

12

individu untuk memiliki modal-modal khusus agar hidup secara baik dan bertahan

di dalamnya. Dalam pembagian jenis modal, Jenkins (2004: 125) memaparkan

bahwa Bourdieu membedakan modal ke dalam empat kategori: m odal ekonomi,

modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang bermakna),

modal kultural (pengetahuan sah satu sama lain) dan modal simbolis (prestise dan

gengsi sosial).

Dijelaskan oleh Mahar (ed) (2009: 16) seperti yang ia kutip dari Bourdieu

(1986a) bahwa bagi Bourdieu definisi modal ini sangat luas dan mencakup hal-hal

material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut „yang tak

tersentuh‟, namun memiliki signifikansi secara kultural, m isalnya prestise, status,

dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang

didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola -pola konsumsi). Dijelaskan

lebih lanjut oleh Mahar seperti yang dikutip dari Bourdieu (1977: 178) bahwa

bagi Bourdieu, modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat di dalam

suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas „pada segala bentuk barang –

baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan – yang mempresentasikan dirinya

sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial

tertentu.

Modal juga dipandang Bourdieu sebagai basis dominasi (meskipun tidak

selalu diakui demikian oleh para partisipan). Beragam jenis modal dapat ditukar

dengan jenis-jenis modal lainnya – yang artinya modal bersifat „dapat ditukar‟.

Penukaran paling hebat yang telah dibuat adalah penukaran pada modal simbolik,

13

sebab dalam bentuk inilah bentuk-bentuk modal yang berbeda dipersepsi dan

dikenali sebagai sesuatu yang legitimit (Mahar, 2009: 16-17).

Masih terkait dengan modal, terdapat sebuah tulisan dari John Field yang

berjudul Modal Sosial (2005). Dalam tulisan tersebut dikatakan oleh Field bahwa

teori modal sosial tesis sentralnya dapat dirangkum dalam dua kata: pentingnya

hubungan. Dengan membangun hubungan satu sama lain, dan memeliharanya

agar terjalin terus, orang dapat bekerja sama untuk memperoleh hal-hal yang

sebelumnya tidak dapat mereka capai seorang diri, a tau jika seorang diri hanya

dapat dicapai dengan kesulitan besar. Manusia dapat berhubungan melalui suatu

seri jaringan dan mereka cenderung berbagi nilai-nilai umum bersama angota-

anggota lain dalam jaringan itu; sampai pada tingkat bahwa jaringan-jaringan itu

membentuk suatu sumber daya, yaitu dapat dilihat sebagai pembentukan sejenis

modal (Field, 2005: 1).

Dalam tulisan Field tersebut, ia juga menerangkan paparan definisi modal

sosial menurut Bourdieu. Menurut Bourdieu, modal sosial adalah sejumlah

sumber-sumber daya, aktual atau virtual (tersirat) yang berkembang pada seorang

individu atau sekelompok individu karena kemampuan untuk memiliki suatu

jaringan yang dapat bertahan lama dalam hubungan-hubungan yang lebih kurang

telah diinstitusikan berdasarkan pengetahuan dan pengenalan timbal balik

(Bourdieu dan Wacquant 1992: 139 dalam Field, 2005: 21).

Bourdieu memang tidak secara gamblang mendefinisikan pengertian

tentang modal di dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi, tulisan-tulisan dia

14

memberikan suatu im plikasi pengertian bahwa modal selalu dikaitkan dalam

penggunaannya untuk tujuan tertentu/oriented towards. Dalam pembacaan saya

atas salah satu bagian dari tulisannya berjudul symbolic capital dari buku The

Logic of Practice (1990), di sana terdapat pengertian bahwa modal digunakan

untuk sesuatu yang diarahkan pada maximizing of material and symbolic profit.

Konsep lain yang dapat digunakan untuk menjadi kerangka dalam melihat

gambaran kerja dalang wayang potehi di Semarang adalah konsep ranah. Hal

tersebut dapat digunakan untuk melihat bagaimana praktik kerja dalang wayang

potehi dilakukan dalam suatu ranah. Dalam hal ini, konsep ranah yang digunakan

masih menggunakan pemikiran Bourdieu. Dalam tulisan Mahar (2009: 10 -11),

diuraikan pandangan Bourdieu tentang ranah yang merupakan ranah kekuatan

yang secara spasial bersifat otonom dan juga merupakan sua tu ranah yang di

dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Seperti yang dikutip dari

Bourdieu (1983: 312), diuraikan oleh Mahar bahwa perjuangan ini dipandang

mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan.

Untuk melihat makna pementasan wayang p otehi bagi dalang, saya akan

melihatnya dengan menggunakan beberapa kerangka pemikiran. Salah satu

kerangka pemikiran yang saya pakai untuk mengkaitkan bagaimana Sang Dalang

memaknai pekerjaannya adalah pemikiran Sandra Wallman dalam buku Social

Anthropology of Work. Pemikiran Wallman yang akan digunakan di sini

khususnya terkait dengan salah satu dimensi kerja yaitu value of work.

15

Wallman (1979) mengatakan bahwa dalam memaknai suatu kerja, maka

kita tidak hanya melihat suatu aktivitas yang bernama kerja te rsebut dan

bagaimana nilai ekonomis kerja tersebut. Lebih lanjut dikatakan Wallman bahwa

kita juga perlu melihat bagaimana pekerjaan tersebut memiliki keberhargaannya

dalam konteks kehidupan sosial dan bagi kehidupan seseorang.

“So it is with the meaning of work. We need not only to ask what activities

are called “work” and how their economic value is computed in that

setting; we need also to know which forms of work are, in that setting,

thought to be socially worthy and personally fulfilling (Wallman, 1979:

2).”

Diutarakan oleh Wallman bahwa ketika seseorang memaknai dan memberi

nilai a tas pekerjaannya, hal itu tidak hanya bergantung pada bagaimana

lingkungan sekitar orang tersebut memberikan nilai pada pekerjaan itu, tapi juga

pada hal-hal la in yang terjadi pada saat itu. Hal-hal lain tersebut oleh Wallman

disebut sebagai other constraints dan other obligations. Lebih lanjut dinyatakan

oleh Wallman bahwa penilaian atas suatu kerja dengan demikian berubah -ubah

sesuai dengan konteks sejarah dan konteks sosial, dan juga dengan keadaan secara

personal. Dalam pandangan Wallman, beberapa penilaian atas suatu kerja juga

difokuskan pada performance atas pekerjaan itu daripada didasarkan pada suatu

produk barangnya. Wallman menyatakan bahwa suatu pekerjaan, meskipu n

berada dalam suatu konteks kebudayaan yang sama, tidak selalu dinilai dengan

suatu kriteria yang sama. Ada beberapa jenis pekerjaan yang secara ekonomis

tidak memiliki nilai yang tinggi namun diberi nilai yang tinggi secara personal

karena secara sosial pekerjaan tersebut menjadi sumber dari harga diri dan

identitas seseorang. Dalam pada itu, keberadaan pekerja -pekerja seni dan

16

pementasan ritual memiliki suatu posisi tawar dalam pertukarannya dengan suatu

penghargaan sosial (Wallman, 1979: 7-10).

Kerangka mengenai work and value akan saya pertebal dengan

menggunakan beberapa pokok pikiran dari tulisan Raymond Firth (1979). Salah

satu poin penting yang saya tekankan adalah bagaimana Firth mencoba melihat

ulang tentang value yang didasarkan atas refleksinya pada beberapa pemikiran

Karl Marx. Dalam pandangan Firth, beberapa pemikiran Marx tentang value atas

suatu kerja pada masyarakat kapitalis perlu ditinjau ulang dan dilihat

kesesuaiannya dalam studi antropologi.

Menurut Marx, ia membedakan beberapa jenis value yaitu exchange value,

use value, dan substance value. Exchange value adalah bagaimana nilai harga

suatu komoditas ketika dipertukarkan di pasar, use value adalah bagaimana nilai

guna suatu barang ketika dipakai oleh konsumen, sedangkan ukuran yang d ipakai

untuk mengukur substance value adalah keberhargaan waktu yang digunakan oleh

para pekerja untuk memproduksi suatu barang. Lebih lanjut, Marx menerapkan

Law of value yang diterapkan untuk mengembangkan komoditas produksi. Ada

tiga preposisi utama dalam Law of value yaitu waktu yang digunakan oleh

pekerja, para pekerja tidak menerima keseluruhan value dari apa yang ia produksi,

dan para kapitalis menyerap bagian yang substansial dari suatu value (Firth, 1979:

177-178).

Atas studinya pada masyarakat T ikopia, salah satu hal yang dipandang

ulang oleh Firth terkait dengan value adalah bahwa ketrampilan bekerja dalam

17

menghasilkan suatu barang juga turut menjadi ukuran dari suatu value atas suatu

barang ketika dipertukarkan. Pada masyarakat Tikopia juga terdapat hubungan

antara anggota suku dan kepala suku yang mana anggota suku kadang kala

memberi hadiah pada kepala suku atas immaterial service yang dilakukan oleh

kepala suku. Hadiah yang diberikan tersebut diberikan kepada kepala suku karena

masyarakat sudah mengalami kelebihan atas barang tersebut sehingga mereka

tidak mengalami kekurangan. Lebih lanjut Firth mengatakan bahwa keberadaan

nilai suatu barang tidak sesederhana pada use value dari barang tersebut semata,

tapi bagaimana perkiraan normatif atas suatu benda itu serta klaim -klaim

simbolis dilakukan atasnya. Firth menekankan pula bahwa dalam masyarakat

Tikopia terjadi suatu pertukaran secara individual yang melibatkan transaksi -

transaksi yang tidak sederhana meskipun tidak ada media uang yang

memengaruhi relasi pertukaran tersebut (Firth, 1979).

Dalam bayangan saya, ketrampilan mendalang seorang dalang wayang

potehi pada suatu pementasan juga akan menjadi suatu value tersendiri yang akan

memengaruhi relasi-relasi pertukaran yang dilakukan oleh dalang tersebut.

Pemikiran Firth memberikan skema bagi studi saya untuk melihat bagaimana

value dari suatu kerja pementasan wayang potehi memiliki maknanya dalam relasi

pertukarannya dengan hal-hal yang immaterial. Pekerjaan dalang dalam

pementasan wayang potehi tidak dapat dihitung dengan menggunakan

perhitungan kerja pada capitalistic world.

Masih berkaitan dengan kerja, gagasan Cato Wadel juga saya gunakan

untuk memberikan kerangka atas studi saya. Wadel (1979) ingin mengajak kita

18

untuk melihat bahwa ada banyak pekerjaan yang berada di luar market. Fokus

utama dalam kacamata para ekonom adalah meletakkan pekerjaan dalam konteks

ekonomi pasar. Menurut Wadel, hal tersebut membuat mereka menganggap

bahwa yang disebut dengan kerja adalah kerja -kerja yang terbayar dengan uang.

Lebih lanjut Wadel menyatakan bahwa fokus perhatian para ekonom adalah pay

for work dan the product of work , bukan pada activities of work .

Menurut Wadel, dalam melakukan pekerjaannya, orang tidak hanya akan

menghasilkan produk semata tetapi juga menghasilkan beberapa hal lain, yang

oleh Wadel disebut dengan social relations, technical and social skills, attitudes

and values3. Bahkan, dinyatakan oleh Wadel bahwa konsep kerja menurut

masyarakat juga berbeda dengan konsep kerja menurut para ekonom. Masyarakat

melihat komponen m oral yang kuat dalam suatu kerja. Dengan demikian

masyarakat melihat suatu nilai yang melampaui apa yan g dilihat oleh pasar

dengan melihat suatu pekerjaan yang memiliki keberhargaannya secara sosial.

Dalam terang penjelasan Wadel, saya bisa menggali lebih jauh bagaimana

nilai-nilai sosial dan kultural dalam pekerjaan seorang dalang wayang potehi.

Selanjutnya, studi Wadel juga akan memberikan ruang bagi saya untuk melihat

bagaimana seorang dalang memiliki relasi sosial, ekonomi, politik dan religius

yang terjadi dalam konteks pementasan wayang potehi.

3Bila hal ini dikaitkan dengan salah satu pendapat Bourdieu (Jenkins, 2004: 125) tentang modal

yang dipertaruhkan di arena, maka saya membaca bahwa di dalam bekerja orang tidak hanya

berurusan dengan modal ekonomi tetapi juga dengan tiga modal yang lain. Mo dal-modal tersebut

oleh Bourdieu disebut sebagai modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang

bermakna), modal kultural (pengetahuan sah satu sama lain) dan modal simbolis (prestise dan

gengsi sosial).

19

Kerangka lain yang saya gunakan untuk melihat bagaimana dalang

wayang potehi memaknai pementasannya adalah dengan melihat bagaimana peran

dalang dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu rujukan yang saya gunakan adalah

studi yang dilakukan oleh Groenendael (1987) dalam tulisan yang berjudul

Dalang di Balik Wayang. Salah satu bagian dari kajian Groenendael adalah

melihat peran tradisional dalang dalam masyarakat yaitu menjaga tatanan

kehidupan lewat pengetahuan gaib yang dimilikinya. Hal itu terwujud dalam

pementasan wayang di beberapa peristiwa. Selain peran tradis ional, Groenendael

juga mengkaji peran dalang sebagai guru masyarakat.

E. Metode Penelitian

E.1. Lokasi Penelitian

Salah satu pertimbangan yang dilakukan dalam melakukan penelitian

adalah pemilihan lokasi penelitian. Lokasi penelitian untuk studi ini adalah di

komunitas pecinan Semarang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada

pertimbangan bahwa di komunitas pecinan Semarang terdapat seorang dalang

senior yang masih fasih menggunakan bahasa Hokian dan menjadi sumber belajar

oleh berbagai macam kalangan serta masih melakukan pementasannya hingga

kini. Keberadaan dalang tersebut diperkuat dengan adanya pementasan yang

dilakukan secara rutin di komunitas pecinan Semarang. Keberadaan dalang di

Semarang tentunya suatu hal yang tidak kebetulan, dalam artian memil iki

sejarahnya tersendiri. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini berada dalam lokasi

20

yang digunakan untuk pementasan wayang potehi di komunitas pecinan

Semarang.

E.2. Unit Analisis

Untuk memahami makna pementasan wayang potehi bagi kehidupan

dalang, unit analisis dari penelitian ini adalah kehidupan dalang yang memiliki

hubungan dengan pekerjaannya. Peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, dan religius

yang terjadi selama pementasan, sebelum pementasan dan sesudah pementasan

dijadikan sebagai bagian dari unit analisis dari penelitian ini. Pekerjaan lain di

luar kerja pementasan juga menjadi unit analisis dari penelitian ini untuk melihat

praktik kerja dalang wayang potehi di luar pementasan wayang.

E.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengikuti

kegiatan pementasan wayang potehi dari kelompok wayang potehi yang ada di

Semarang maupun mengikuti rangkaian kerja dalang di luar pementasan. Kegiatan

pementasan yang diamati adalah pementasan wayang potehi pada acara Pasar

Imlek Semawis pada tahun 2013 dengan bandingan amatan pementasan pada

tahun 2012. Kerja dalang di luar pementasan yang dijadikan amatan adalah kerja

memimpin upacara keagamaan di Klenteng Siu Hok B io dan Klenteng Ling Hok

Bio. Data yang dikumpulkan berupa data deskriptif. Data deskriptif secara lisan

diperoleh melalui wawancara dan observasi. Adapun data tertulis diperoleh dari

literatur-literatur yang berkaitan dengan topik penelitian serta penelusuran lewat

media internet.

21

Pengumpulan data dengan teknik observasi partisipasi dilakukan untuk

melihat bagaimana praktik kerja yang dilakukan oleh dalang ketika melakukan

kerja pementasan maupun di luar pementasan. Pengumpulan data dengan teknik

wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh data guna menjawab

pertanyaan yang terkait dengan makna pementasan wayang potehi bagi kehidupan

dalang di Semarang. Pada proses wawancara tersebut, hal yang juga penting untuk

dilakukan adalah menyimak jawaban-jawaban yang diberikan oleh informan. Hal

demikian senada dengan yang dikatakan oleh Lono Simatupang (2013: 94) bahwa

wawancara bukan soal keterampilan dan kegiatan mengajukan pertanyaan; tetapi

lebih dari itu wawancara adalah soal keterampilan dan kegiatan mendengarkan

omongan orang dan meresponnya untuk menggali informasi selengkap-

lengkapnya.

Dalam penelitian ini juga dikumpulkan bahan-bahan life history dari

dalang wayang potehi. Pengumpulan bahan-bahan life history ini dilakukan untuk

menampilkan kisah hidup dalang sehingga tampil kisah-kisah inspiratif yang

dapat dikaitkan dengan keberadaan wayang potehi di Semarang. Menurut Pelto

dan Pelto (1978: 76) pengumpulan bahan-bahan life history sering dilakukan dan

ditampilkan oleh peneliti-peneliti antropologi dalam usaha untuk menghubungkan

suatu abstraksi dari deskripsi etnografis dengan suatu kehidupan dari individu-

individu yang ada.

Pengumpulan bahan-bahan life history dari dalang wayang potehi

dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi partisipasi dan

pengumpulan dokumen serta foto. Dikatakan oleh Davies (1999: 169) bahwa

22

dalam penyusunan life history, data yang diperoleh melalui wawancara adalah

data mengenai ingatan akan kehidupan informan. Oleh karenanya, akan ada

banyak variasi tentang apa yang diingat, mengapa hal-hal tertentu diingat, dan

bagaimana ingatan-ingatan tersebut ditampilkan. Melalui wawancara mendalam

dapat ditemukan kisah hidup dalang dan cerita tentang pekerjaan pementasannya.

Kehadiran dalam kehidupan sehari-hari dalang membantu untuk terlibat dan

mengamati secara langsung bagaimana dalang menjalani kehidupannya. Hal

demikian akan membantu pengumpulan detil data yang berguna dalam

penyusunan life history. Selain itu, pengumpulan bahan-bahan life history juga

dilakukan dengan menelusur keberadaan foto-foto, maupun dokumen-dokumen

yang dimiliki oleh dalang. Keberadaan foto maupun dokumen tersebut sangat

berguna untuk dijadikan media pengungkapan beberapa peristiwa penting dalam

kehidupan dalang di masa lalu. Beberapa bahan pendukung seperti foto dan

dokumen memampukan saya untuk membawa inf orman bercerita tentang kisah-

kisah hidupnya di masa lalu yang terdokumentasikan.

F. Sistematika Penulisan

Tulisan ini disajikan terdiri dari lima bab. Kelima bab yang ada akan

disusun secara sistematis. Pada bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan

uraian mengenai latar belakang pemilihan topik penelitian, kajian pustaka,

rumusan masalah, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Selanjutnya dalam bab kedua akan diuraikan mengenai gambaran

pekerjaan dan pementasan wayang potehi di kom unitas pecinan Semarang. Pada

23

bagian ini akan ditampilkan mengenai komunitas pecinan Semarang dan nuansa

kerja yang melingkupinya, serta pementasan dan kerja dalang wayang potehi di

Semarang. Pada sub topik komunitas pecinan Semarang dan nuansa kerja yang

melingkupinya akan dipaparkan mengenai pecinan Semarang tempo dulu, pecinan

Semarang masa kini, dan filosofi kerja orang Cina . Pada sub topik pementasan

dan kerja dalang wayang potehi di Semarang akan dipaparkan tentang deskripsi

mengenai pementasan dan kerja dalang wayang potehi di Semarang.

Pada bab ketiga akan dituliskan mengenai gambaran kehidupan Thio

Tiong Gie: dalang wayang potehi di Semarang. Uraian diawali dengan

penggambaran sejarah hidup Thio Tiong Gie yang dibagi dalam penggambaran

perjalanan kerja, perjalanan menjadi dalang dan prinsip-prinsip kerja Thio Tiong

Gie. Uraian dilanjutkan dengan pemaparan modal-modal kerja Thio Tiong Gie.

Pemaparan tersebut masih akan dibagi dalam pemaparan modal sosial dan

ekonomi, serta modal kultural dan simbolis yang dimiliki Thio Tiong Gie.

Pada bab empat akan disajikan tulisan mengenai Thio Tiong Gie dan

kerjanya. Pemaparan dibagi dalam beberapa sub topik. Yang pertama adalah Thio

Tiong Gie : praktik kerja dan pertukaran modal. Bagian ini akan dibagi dalam

uraian mengenai pertukaran modal kultural dan modal sosial, pertukaran modal

kultural dan modal sim bolis, serta pertukaran modal sosial dan ekonomi. Sub

topik kedua adalah mengenai makna kerja dalang wayang potehi di Semarang.

Pada bagian tersebut kita akan melihat makna ekonomis, makna psikologis, dan

makna religius dari kerja dalang wayang potehi di Semarang. Sub topik

24

selanjutnya adalah catatan tambahan mengenai dedikasi terhadap profesi dalang

wayang potehi.

Sebagai bagian akhir dari rangkaian tulisan ini adalah bab lima. Bagian ini

merupakan suatu simpulan atas seluruh rangkaian tulisan yang disajikan.

Simpulan tersebut merupakan suatu abstraksi atas kerja mendalang Thio Tiong

Gie dalam kaitannya dengan Antropologi Kerja.