BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68702/potongan/S2...atau...
-
Upload
trankhuong -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68702/potongan/S2...atau...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi tentang kerja dalang wayang potehi ini berawal dari pengalaman
saya menonton pementasan wayang potehi di Pasar Imlek Semawis Semarang
pada tahun 2009. Pada saat itu saya merasa tertarik dengan pementasan boneka -
boneka berkepala kayu dan berbadan kain yang dimainkan dengan tangan. Bagi
saya, pementasan itu terasa unik ketika boneka-boneka kecil dimainkan oleh
tangan manusia yang tak terlihat wajahnya karena berada di balik panggung. Saya
menjadi tertarik pula mengingat suara dalang yang memainkan wayang-wayang
itu terdengar menggunakan tata bahasa Indonesia dengan ejaan lama dan
dibarengi dengan bahasa Cina yang kala itu tidak saya ketahui menggunakan
dialek apa. Maka pada malam hari itu pun saya menunggu hingga sang dalang
mengakhiri pementasan dan keluar dari kotak panggung untuk menunjukkan
keberadaan dirinya.
Sesuai dengan tebakan yang saya tengarai dari lekak-lekuk suaranya,
dalang lelaki tersebut ternyata adalah lelaki tua. Yang menjadi ketertarikan saya
waktu itu adalah bagaimana lelaki setua itu mampu bertahan berjam-jam
memainkan pementasan wayang dengan bahasa Cina yang terdengar sangat fasih
dan indah. Hal tersebut kemudian mendorong saya untuk memiliki keinginan
bahwa di masa yang akan datang, saya ingin menuliskan kisah hidup lelaki tua itu.
2
Malam hari itu saya pun memberanikan diri berkenalan dengannya. Lelaki tua itu
memberikan kartu nama berwarna merah untuk saya. Di atas kertas warna merah
itu tertulis namanya: Teguh Tjandra Irawan. Dalam perjalanan kemudian, saya
mengetahui bahwa lelaki tua itu lebih akrab disapa dengan panggilan Thio Tiong
Gie.
Saya melihat pekerjaan dalang wayang potehi sebagai pekerjaan yang
tidak banyak digeluti oleh orang-orang Cina di Indonesia1 secara kebanyakan.
Selama ini mungkin kita melihat kebanyakan orang-orang Cina di Indonesia
memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Setidaknya citra semacam itu tercermin
pada malam hari ketika saya mengunjungi Pasar Imlek Semawis tahun 2009.
Berderet-deret para penjual makanan maupun pakaian dan pernak-pernik
memenuhi jalan di lokasi Pasar Imlek Semawis, sedangkan panggung wayang
potehi terletak di tengah-tengah deretan itu. Di dalam panggung wayang potehi
itu, yang bekerja adalah seorang lelaki tua yang nantinya juga akan saya ketahui
memainkan wayang potehi pada Pasar Imlek Semawis 2010, 2011 dan 2012.
Melihat seorang lelaki tua dengan kondisi tubuh yang tampak sudah tidak
lagi prima - terlihat dari cara ia berjalan yang sesekali tidak tegak - masih tetap
melakukan kerja pementasan dalang wayang potehi, muncul sejumlah pertanyaan
di benak saya. Bagaimana lelaki tua itu mengawali kerja pementasan dan
1Penggunaan kata ”Cina di Indonesia” dan Tionghoa akan digunakan secara bergantian
berdasarkan pemakaian sumber yang berbeda yang menggunakan istilah yang berbeda pula.
Penulis akan menggunakan istilah Cina di Indonesia untuk menunjukkan bahwa istilah tersebut
memiliki arti positif.
3
kemudian menghidupi pekerjaannya?Lebih jauh lagi: Apa makna kerja mendalang
bagi sang dalang wayang potehi itu?
B. Kajian Pustaka
Studi-studi tentang wayang potehi tidak banyak yang tertulis dalam bentuk
buku, namun demikian terdapat beberapa studi berupa makalah, skripsi, dan
laporan penelitian. Salah satu tulisan tentang wayang potehi adalah tulisan
Mastuti (2004) yang berjudul “Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akulturasi
Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia .”
Dalam tulisannya, Mastuti (2004) memberikan gambaran asalmuasal kata
Potehi dan gambaran cara memainkan wayang potehi. Selain itu ia memberikan
data tentang daftar lakon yang sering dimainkan dalam pertunjukan wayang
potehi. Ia menuliskan juga bahwa dalam pertunjukan wayang potehi terdapat
dalang inti dan asisten dalang.Dalang inti bertugas menyampaikan kisah atau
lakon wayang,sementara asisten dalang bertugas membantu dalang inti
menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita.
Studi lain juga dilakukan oleh R iyanti (2010). Ia melakukan studi tentang
“Pertunjukan Wayang Potehi di Pasar Imlek Semawis Semarang.” Dalam tulisan
yang disusunnya untuk Tugas Akhir Program Studi Diploma III Bahasa
Mandarin, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Riyanti menuliskan
bagaimana wayang potehi dimainkan dalam konteks acara Pasar Imlek Semawis
tahun 2010 di Semarang. Dalam tulisannya tersebut, Riyanti lebih bersifat
menggambarkan bagaimana jalannya pementasan (yang dalam bahasa R iyanti
4
digunakan istilah pertunjukan-pen) wayang potehi tersebut serta bagaimana peran
yang dimainkan oleh dalang ketika pementasan berlangsung.
Dalam tulisannya, dipaparkan oleh Riyanti bahwa pementasan wayang
potehi di Pasar Imlek Semawis untuk menyambut datangnya Tahun Baru Cina
atau Imlek 2561, dipentaskan di TITD Hoo Hok B io, Gang Pinggir. Pementasan
tersebut tidak memerlukan ritual khusus karena sebagai pertunjukan hiburan dan
bukan untuk ritual keagamaan. Lakon yang dimainkan adalah Shi Jin Kwi
menaklukkan Kerajaan See Liang Kok. Dituliskan oleh R iyanti bahwa ketika
pementasan berlangsung, dalang mengatakan “Laay…” untuk memberi kode
jalannya musik pelan, “Ban Po Tjiauw Gi… ” untuk musik yang agak cepat, serta
“Ji Ma Tjiauw Gi … ” untuk kode iringan musik yang cepat sekali. Dalam
pementasan yang dibawakan oleh sang dalang, bahasa yang digunakan adalah
bahasa Indonesia, yang kadang-kadang diselingi dengan dagelan Jawa, namun
tetap menggunakan suluk dengan bahasa Hokian.
Studi yang dilakukan Riyanti telah sedikit menyinggung bagaimana dalang
ketika bekerja mementaskan wayang. Akan tetapi gambaran yang dia berikan
tidak cukup untuk melihat bagaimana kerja dalang secara utuh dimulai sebelum
pementasan, ketika pementasan dan kerja-kerja dalang ketika berada di luar
pementasan wayang.
Di dalam tulisan yang lain, Natalia (2007) menuliskan tentang “Wayang
Potehi: Fungsi, Eksistensi, dan Tantangannya”. Dalam tulisan Tugas Akhir D -III
yang juga merupakan hasil observasi pada Pekan Budaya Tio nghoa Yogyakarta
5
2007 dan Klenteng Hong Tek Hian Surabaya tersebut, Natalia menjabarkan
beberapa fungsi dari wayang potehi yaitu wayang potehi sebagai sarana ritual,
sarana pendidikan, serta sarana hiburan dan kritik sosial.
Kajian lain tentang wayang potehi dilakukan oleh Trihatmojo (2010).
Dalam tulisannya yang berjudul “Symbolic meaning of Potehi Puppet Leather
Clothes,” ia mengkaji tentang makna-makna simbolis yang terdapat pada baju-
baju yang dikenakan oleh wayang potehi. Ia meneliti pada wayang poteh i yang
dimainkan di Klenteng Hong San Kiong di Gudo, Jombang-Jawa Timur. Ada
beberapa simbol yang dipaparkan dalam studinya yaitu simbol dari kelompok
keluarga kerajaan, simbol dari kelompok pembantu raja, dan yang ketiga adalah
simbol dari kelompok orang-orang biasa.
Terdapat kajian lain yang bersifat historis yang dilakukan oleh Handoko
(1995). Dalam tulisannya yang berjudul “Wayang Potehi Kediri (1970-1990),”
Handoko menuliskan tentang asal mula wayang potehi, hingga bagaimana wayang
potehi itu berada di Kediri yang lebih tepatnya dimainkan di Klenteng Tjoe Hwie
Kiong. Ada satu perkiraan masuknya wayang potehi ke Indonesia bersama dengan
kedatangan para imigran Cina mulai pertengahan abad XIX dari Fujian yang
membawa serta peralatan ibadat, karya sastra , dan kesenian. Wayang potehi
diperkirakan masuk ke Kediri setelah awal abad XX (hal tersebut dijadikan suatu
hipotesa oleh Handoko dengan merunut berdirinya Klenteng Tjoe Hwie Kiong
pada tahun 1895). Klenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri sudah tidak memiliki la gi
koleksi wayang potehi karena adanya musibah banjir besar sungai Brantas tahun
1955 yang menghanyutkan koleksi wayang. Sekarang ini jika ada acara pesta
6
peringatan HUT Dewi Thian Siang Sing Bo selalu mendatangkan dalang dan
wayang potehi dari luar kota seperti Surabaya, Tuban, maupun Tulungagung.
Dinyatakan lebih lanjut oleh Handoko bahwa kehadiran dan keberadaan wayang
potehi di Kediri tidak ada dalam catatan maupun memori warga C ina Kediri.
Setelah bencana banjir besar Sungai Brantas 1955 dan menyusul tragedi G 30
S/PKI tahun 1965 menjadikan pengurus klenteng tidak lagi memikirkan memiliki
koleksi wayang potehi.
Kajian historis yang lain terdapat dalam tulisan Nurhajarini (2010) dalam
tulisan berjudul “Dinamika Wayang Potehi di Klenteng Hong Tek Hian Su rabaya
1967-2008.” Dalam penelitian tersebut, Nurhajarini ingin mengungkap bagaimana
kesenian wayang potehi menghadapi tantangan zaman. Perjalanan potehi pernah
melalui hambatan pada masa pemerintah Orde Baru. Hambatan tersebut menjadi
salah satu faktor hilangnya regenerasi pemain potehi dari kalangan etnis
Tionghoa. Lebih lanjut Nurhajarini menyatakan bahwa kesenian tersebut berada
pada tangan-tangan terampil orang Jawa. Di samping para pemain yang berasal
dari etnis Jawa, unsur baru lainnya adalah bahasa yang digunakan dalam
pementasan, alat musik, dan lagu. Dalam pandangan Nurhajarini, melihat potehi
di Surabaya tidak hanya sebatas bertahannya kesenian tersebut, namun lebih luas
lagi yakni terbentuknya komprom i budaya.
Studi yang dilakukan oleh Nurhajarini bersifat sangat luas. Ia ingin
mengkaji seluruh bagian dari pementasan wayang potehi di Klenteng Hong Tek
Hian Surabaya. Keberadaan dalang sudah disinggung pula dalam studi tersebut.
Penggambaran kerja dalang ketika berpentas adalah salah satu bagian kec il dari
7
studinya yang luas tersebut. Pada bagian penggambaran tentang aktivitas
pementasan dalang, tulisan Nurhajarini lebih bersifat mendeskripsikan.
Sementara itu, tesis yang mengangkat tentang wayang potehi di Semarang
pernah ditulis oleh Tjaturrini (2006). Dalam tulisan yang berjudul “Wayang
Potehi: Suatu Kajian Tentang Kesenian Tradisional China di Semarang,”Tjaturrini
mencoba menjawab pertanyaan tentang apa fungsi wayang potehi bagi masyarakat
Tionghoa, serta bagaimana wayang potehi menjembatani hubu ngan masyarakat
Tionghoa dengan masyarakat lokal.
Tjaturrini (2006) memaparkan fungsi wayang potehi dalam kehidupan
masyarakat adalah sebagai suatu sistem proyeksi, alat pengesahan, alat
pendidikan, media perjuangan, serta wayang potehi sebagai pencetus ide, pesan
atau perasaan. Lebih lanjut, dalam simpulannya, Tjaturrini menyatakan bahwa
masyarakat Tionghoa dengan wayang potehinya mencoba menghapuskan
perbedaan-perbedaan yang ada di antara masyarakat Tionghoa dan pribumi. Hal
tersebut ditunjukkan oleh Tjaturrini dengan adanya perkumpulan wayang potehi
yang anggotanya terdiri dari e tnis Tionghoa dan pribum i yang dapat bekerjasama
dengan baik tanpa memerhatikan adanya perbedaan yang ada di antara mereka.
Keberadaan dalang dalam suatu pementasan wayang potehi merupakan
suatu hal yang sangat penting sebab tanpanya wayang potehi hanyalah akan
menjadi benda-benda mati yang tak bermakna. Hal demikian membuat
pengetahuan yang ada tentang cerita, fungsi dan teknik permainan wayang potehi
tidak akan cukup bila tidak dibarengi dengan melihat kehidupan dalangnya.
8
Dalang wayang potehi dalam melakukan pementasan juga sedang melakukan
suatu pekerjaan yang ia maknai. Pementasan wayang potehi sebagai suatu proses
kerja bagi Sang Dalang juga tak akan luput dari nilai-nilai yang ia pegang. Penting
untuk melihat keberadaan dalang wayang potehi sebagai sebuah kerja sehingga
kita dapat menempatkan proporsi yang seimbang dan tidak hanya berfokus kepada
wayang potehinya semata.
Salah satu tulisan tentang dalang terdapat dalam buku yang ditulis oleh
van Groenendael (1985) dalam bukunya yang berjudul The Dalang Behind The
Wayang: The Role of The Surakarta and The Yogyakarta Dalang in Indonesian -
Javanese Society. Konsentrasi dalam studi Groenendael adalah perkara transmisi
dalang (di Surakarta dan Yogyakarta) serta peran dalang pada masa pemerintahan
Orde Baru. Groenendael menyoroti arti penting pembukaan sekolah -sekolah
dalang yang pertama tahun 1920-an, yang merupakan titik tolak bagi terlepasnya
peranan tradisional dalang yang sosio-religius, dan berkembang kepada peranan
sebagai seniman kritis dalam masyarakat modern. Pada masa Orde Baru, dalang
mendapatkan tekanan moral oleh pemerintah agar mereka membantu
pembangunan masyarakat melalui pergelaran-pergelaran mereka. Dalam
pergelaran-pergelaran tersebut, di samping masalah pembatasan kelahiran juga
dibicarakan masalah-masalah kampanye anti korupsi, pemasyarakatan olah raga,
pemilu, dan masalah-masalah dalam pembangunan pertanian, seperti penggunaan
pupuk buatan, pelipatgandaan hasil padi, dan penanaman jenis padi unggul.
Studi yang dilakukan Groenendael menghasilkan tulisan yang sangat
menarik dengan deskripsi detil. Akan tetapi hal itu pulalah yang saya anggap
9
sebagai sebuah kekurangan dalam studinya yaitu ketiadaan analisis teoritis yang
digunakan untuk menelaah deskripsi yang menarik tersebut. Studinya belum
cukup membantu untuk memahami makna kerja mendalang bagi dalang wayang
kulit purwa yang ada di Surakarta dan Yogyakarta.
Sebuah tulisan tentang kisah hidup seorang dalang wayan g purwa terdapat
dalam buku Ki Manteb Dalang Setan yang ditulis oleh Abbas, Kommar A. dan
Seno Subro (1995). Buku tersebut menguraikan sejarah hidup Manteb
Soedharsono dari sejak ia dilahirkan hingga ia menjadi dalang kondang. Manteb
Soedharsono adalah lelaki yang memiliki ayah sebagai seorang dalang. Manteb
Soedharsno yang tamatan SMP tersebut menjalani pendidikan sebagai dalang
melalui proses nyantrik. Tidak ada kerangka teoritis yang menjadi skema dari
biografi tersebut, melainkan lebih menonjolkan pada paparan deskriptif sejarah
hidup sang dalang. Tulisan tersebut menarik dengan detil kisah hidup yang
dijalani oleh Manteb Soedarsono, namun kurang menegaskan makna kerja
mendalang bila dilihat dari perspektif antropologis.
Buku lain yang menulis tentang kehidupan seorang dalang juga menulis
tentang kisah hidup Manteb Soedharsono sang dalang wayang purwa. Tulisan
Wahyono (2008) yang berjudul Manteb Soedharsono (Profil Dalang Sukses:
Kajian Perspektif Edukatif) mencoba melihat kisah hidup Manteb Soedarsono dan
peran Manteb Soedarsono sebagai pendidik atau guru masyarakat. Peran Ki
Manteb sebagai guru masyarakat ditengarai oleh penulis dengan membedakan
beberapa kegiatan yang dijalaninya yaitu kegiatan menanamkan nilai -nilai e tis,
mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan teknik mendalang kepada sasaran
10
didik, serta memberi pencerahan hati orang yang sedang kegelapan. Tulisan
Wahyono (2008) ini telah mencoba memaparkan peran seorang dalang. Akan
tetapi, untuk kepentingan studi antropologi, tulisan ini belum mengungkap makna
kultural dari kerja mendalang secara lebih mendalam.
Salah sebuah tulisan tentang dalang wayang potehi terdapat dalam skripsi
karya Wijaya (2006) yang berjudul “Dalang Wayang Potehi Etnis Non -Tionghoa
di Surabaya2.” Melalui tulisannya tersebut, Wijaya ingin menjawab pertanyaan
tentang apa yang melatarbelakangi orang-orang non-Tionghoa menjadi dalang
wayang potehi dan bagaimana cara para dalang non-Tionghoa belajar menjadi
dalang wayang potehi, serta bagaimana pan dangan para dalang tersebut terhadap
wayang potehi. Orang-orang non-Tionghoa di sekitar Klenteng Kampung Dukuh-
Surabaya menjadi dalang wayang potehi karena mendapatkan pengaruh dari
tempat tinggal mereka yang berada di sekitar klenteng. Para dalang terseb ut
belajar secara langsung dari para dalang yang ada di klenteng tersebut sejak ketika
mereka masih kecil, dimulai dari disuruh untuk membelikan rokok, memainkan
alat musik, hingga memegang wayang. Para dalang tersebut beranggapan bahwa
wayang potehi di Surabaya masih banyak berorientasi pada kepentingan klenteng
dan mereka merasa prihatin dengan keberadaan wayang potehi.
Studi yang dilakukan oleh Wijaya sudah mencoba untuk melihat gambaran
dua dalang wayang potehi di Surabaya yang berasal dari orang non-Tionghoa.
2Sementara itu, tulisan yang lain tentang dalang wayang potehi terdapat dalam sebuah majalah
popular Gong berjudul “Thio Tiong Gie: Poros Dalang Wayang Potehi.” Dalam tulisan tersebut,
Hairus Salim (2005) menuliskan profil Thio Tiong Gie dan sekelumit kisah perja lanannya menjadi
dalang. Tulisan tersebut tidak disertai dengan analisa berdasarkan perspektif teoritis tertentu.
11
Meski demikian, upaya dia untuk mengungkap kehidupan dan kerja dalang
tersebut kurang mendeskripsikan life story dari dua dalang tersebut. Tulisan
tersebut belum mengungkapkan makna kerja mendalang bagi kedua dalang
tersebut secara mendalam. Upaya untuk mengungkapkan kehidupan kerja kedua
dalang tersebut tidak dibarengi dengan pengungkapan dimensi kerja dalang
tersebut.
C. Rumusan Masalah
Melihat beberapa kajian yang telah tertulis di atas, melalui tulisan ini saya
akan mengajukan beberapa rumusan m asalah penelitian:
1. Bagaimana kehidupan dalang wayang potehi di Semarang dan modal
apa saja yang dimiliki untuk melakukan pekerjaannya?
2. Bagaimana modal-modal tersebut dipergunakan dalam ranah praktik
kerja dalang wayang potehi di Semarang?
3. Apa makna kerja bagi dalang wayang potehi di Semarang?
D. Kerangka Teori
Saya membayangkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, seseorang
akan menggunakan modal yang ia miliki. Konsep tentang modal yang akan
dipakai dalam studi ini adalah konsep modal yang diutarakan oleh P ierre
Bourdieu. Dalam kata pengantarnya untuk buku berjudul (Habitus x Modal) +
Ranah = Praktik, Bagus Takwin (2009: XX) memaparkan bahwa modal
merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi
di dalam ranah. Dijelaskan lebih lanjut oleh Takwin bahwa setiap ranah menuntut
12
individu untuk memiliki modal-modal khusus agar hidup secara baik dan bertahan
di dalamnya. Dalam pembagian jenis modal, Jenkins (2004: 125) memaparkan
bahwa Bourdieu membedakan modal ke dalam empat kategori: m odal ekonomi,
modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang bermakna),
modal kultural (pengetahuan sah satu sama lain) dan modal simbolis (prestise dan
gengsi sosial).
Dijelaskan oleh Mahar (ed) (2009: 16) seperti yang ia kutip dari Bourdieu
(1986a) bahwa bagi Bourdieu definisi modal ini sangat luas dan mencakup hal-hal
material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut „yang tak
tersentuh‟, namun memiliki signifikansi secara kultural, m isalnya prestise, status,
dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang
didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola -pola konsumsi). Dijelaskan
lebih lanjut oleh Mahar seperti yang dikutip dari Bourdieu (1977: 178) bahwa
bagi Bourdieu, modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat di dalam
suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas „pada segala bentuk barang –
baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan – yang mempresentasikan dirinya
sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial
tertentu.
Modal juga dipandang Bourdieu sebagai basis dominasi (meskipun tidak
selalu diakui demikian oleh para partisipan). Beragam jenis modal dapat ditukar
dengan jenis-jenis modal lainnya – yang artinya modal bersifat „dapat ditukar‟.
Penukaran paling hebat yang telah dibuat adalah penukaran pada modal simbolik,
13
sebab dalam bentuk inilah bentuk-bentuk modal yang berbeda dipersepsi dan
dikenali sebagai sesuatu yang legitimit (Mahar, 2009: 16-17).
Masih terkait dengan modal, terdapat sebuah tulisan dari John Field yang
berjudul Modal Sosial (2005). Dalam tulisan tersebut dikatakan oleh Field bahwa
teori modal sosial tesis sentralnya dapat dirangkum dalam dua kata: pentingnya
hubungan. Dengan membangun hubungan satu sama lain, dan memeliharanya
agar terjalin terus, orang dapat bekerja sama untuk memperoleh hal-hal yang
sebelumnya tidak dapat mereka capai seorang diri, a tau jika seorang diri hanya
dapat dicapai dengan kesulitan besar. Manusia dapat berhubungan melalui suatu
seri jaringan dan mereka cenderung berbagi nilai-nilai umum bersama angota-
anggota lain dalam jaringan itu; sampai pada tingkat bahwa jaringan-jaringan itu
membentuk suatu sumber daya, yaitu dapat dilihat sebagai pembentukan sejenis
modal (Field, 2005: 1).
Dalam tulisan Field tersebut, ia juga menerangkan paparan definisi modal
sosial menurut Bourdieu. Menurut Bourdieu, modal sosial adalah sejumlah
sumber-sumber daya, aktual atau virtual (tersirat) yang berkembang pada seorang
individu atau sekelompok individu karena kemampuan untuk memiliki suatu
jaringan yang dapat bertahan lama dalam hubungan-hubungan yang lebih kurang
telah diinstitusikan berdasarkan pengetahuan dan pengenalan timbal balik
(Bourdieu dan Wacquant 1992: 139 dalam Field, 2005: 21).
Bourdieu memang tidak secara gamblang mendefinisikan pengertian
tentang modal di dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi, tulisan-tulisan dia
14
memberikan suatu im plikasi pengertian bahwa modal selalu dikaitkan dalam
penggunaannya untuk tujuan tertentu/oriented towards. Dalam pembacaan saya
atas salah satu bagian dari tulisannya berjudul symbolic capital dari buku The
Logic of Practice (1990), di sana terdapat pengertian bahwa modal digunakan
untuk sesuatu yang diarahkan pada maximizing of material and symbolic profit.
Konsep lain yang dapat digunakan untuk menjadi kerangka dalam melihat
gambaran kerja dalang wayang potehi di Semarang adalah konsep ranah. Hal
tersebut dapat digunakan untuk melihat bagaimana praktik kerja dalang wayang
potehi dilakukan dalam suatu ranah. Dalam hal ini, konsep ranah yang digunakan
masih menggunakan pemikiran Bourdieu. Dalam tulisan Mahar (2009: 10 -11),
diuraikan pandangan Bourdieu tentang ranah yang merupakan ranah kekuatan
yang secara spasial bersifat otonom dan juga merupakan sua tu ranah yang di
dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Seperti yang dikutip dari
Bourdieu (1983: 312), diuraikan oleh Mahar bahwa perjuangan ini dipandang
mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan.
Untuk melihat makna pementasan wayang p otehi bagi dalang, saya akan
melihatnya dengan menggunakan beberapa kerangka pemikiran. Salah satu
kerangka pemikiran yang saya pakai untuk mengkaitkan bagaimana Sang Dalang
memaknai pekerjaannya adalah pemikiran Sandra Wallman dalam buku Social
Anthropology of Work. Pemikiran Wallman yang akan digunakan di sini
khususnya terkait dengan salah satu dimensi kerja yaitu value of work.
15
Wallman (1979) mengatakan bahwa dalam memaknai suatu kerja, maka
kita tidak hanya melihat suatu aktivitas yang bernama kerja te rsebut dan
bagaimana nilai ekonomis kerja tersebut. Lebih lanjut dikatakan Wallman bahwa
kita juga perlu melihat bagaimana pekerjaan tersebut memiliki keberhargaannya
dalam konteks kehidupan sosial dan bagi kehidupan seseorang.
“So it is with the meaning of work. We need not only to ask what activities
are called “work” and how their economic value is computed in that
setting; we need also to know which forms of work are, in that setting,
thought to be socially worthy and personally fulfilling (Wallman, 1979:
2).”
Diutarakan oleh Wallman bahwa ketika seseorang memaknai dan memberi
nilai a tas pekerjaannya, hal itu tidak hanya bergantung pada bagaimana
lingkungan sekitar orang tersebut memberikan nilai pada pekerjaan itu, tapi juga
pada hal-hal la in yang terjadi pada saat itu. Hal-hal lain tersebut oleh Wallman
disebut sebagai other constraints dan other obligations. Lebih lanjut dinyatakan
oleh Wallman bahwa penilaian atas suatu kerja dengan demikian berubah -ubah
sesuai dengan konteks sejarah dan konteks sosial, dan juga dengan keadaan secara
personal. Dalam pandangan Wallman, beberapa penilaian atas suatu kerja juga
difokuskan pada performance atas pekerjaan itu daripada didasarkan pada suatu
produk barangnya. Wallman menyatakan bahwa suatu pekerjaan, meskipu n
berada dalam suatu konteks kebudayaan yang sama, tidak selalu dinilai dengan
suatu kriteria yang sama. Ada beberapa jenis pekerjaan yang secara ekonomis
tidak memiliki nilai yang tinggi namun diberi nilai yang tinggi secara personal
karena secara sosial pekerjaan tersebut menjadi sumber dari harga diri dan
identitas seseorang. Dalam pada itu, keberadaan pekerja -pekerja seni dan
16
pementasan ritual memiliki suatu posisi tawar dalam pertukarannya dengan suatu
penghargaan sosial (Wallman, 1979: 7-10).
Kerangka mengenai work and value akan saya pertebal dengan
menggunakan beberapa pokok pikiran dari tulisan Raymond Firth (1979). Salah
satu poin penting yang saya tekankan adalah bagaimana Firth mencoba melihat
ulang tentang value yang didasarkan atas refleksinya pada beberapa pemikiran
Karl Marx. Dalam pandangan Firth, beberapa pemikiran Marx tentang value atas
suatu kerja pada masyarakat kapitalis perlu ditinjau ulang dan dilihat
kesesuaiannya dalam studi antropologi.
Menurut Marx, ia membedakan beberapa jenis value yaitu exchange value,
use value, dan substance value. Exchange value adalah bagaimana nilai harga
suatu komoditas ketika dipertukarkan di pasar, use value adalah bagaimana nilai
guna suatu barang ketika dipakai oleh konsumen, sedangkan ukuran yang d ipakai
untuk mengukur substance value adalah keberhargaan waktu yang digunakan oleh
para pekerja untuk memproduksi suatu barang. Lebih lanjut, Marx menerapkan
Law of value yang diterapkan untuk mengembangkan komoditas produksi. Ada
tiga preposisi utama dalam Law of value yaitu waktu yang digunakan oleh
pekerja, para pekerja tidak menerima keseluruhan value dari apa yang ia produksi,
dan para kapitalis menyerap bagian yang substansial dari suatu value (Firth, 1979:
177-178).
Atas studinya pada masyarakat T ikopia, salah satu hal yang dipandang
ulang oleh Firth terkait dengan value adalah bahwa ketrampilan bekerja dalam
17
menghasilkan suatu barang juga turut menjadi ukuran dari suatu value atas suatu
barang ketika dipertukarkan. Pada masyarakat Tikopia juga terdapat hubungan
antara anggota suku dan kepala suku yang mana anggota suku kadang kala
memberi hadiah pada kepala suku atas immaterial service yang dilakukan oleh
kepala suku. Hadiah yang diberikan tersebut diberikan kepada kepala suku karena
masyarakat sudah mengalami kelebihan atas barang tersebut sehingga mereka
tidak mengalami kekurangan. Lebih lanjut Firth mengatakan bahwa keberadaan
nilai suatu barang tidak sesederhana pada use value dari barang tersebut semata,
tapi bagaimana perkiraan normatif atas suatu benda itu serta klaim -klaim
simbolis dilakukan atasnya. Firth menekankan pula bahwa dalam masyarakat
Tikopia terjadi suatu pertukaran secara individual yang melibatkan transaksi -
transaksi yang tidak sederhana meskipun tidak ada media uang yang
memengaruhi relasi pertukaran tersebut (Firth, 1979).
Dalam bayangan saya, ketrampilan mendalang seorang dalang wayang
potehi pada suatu pementasan juga akan menjadi suatu value tersendiri yang akan
memengaruhi relasi-relasi pertukaran yang dilakukan oleh dalang tersebut.
Pemikiran Firth memberikan skema bagi studi saya untuk melihat bagaimana
value dari suatu kerja pementasan wayang potehi memiliki maknanya dalam relasi
pertukarannya dengan hal-hal yang immaterial. Pekerjaan dalang dalam
pementasan wayang potehi tidak dapat dihitung dengan menggunakan
perhitungan kerja pada capitalistic world.
Masih berkaitan dengan kerja, gagasan Cato Wadel juga saya gunakan
untuk memberikan kerangka atas studi saya. Wadel (1979) ingin mengajak kita
18
untuk melihat bahwa ada banyak pekerjaan yang berada di luar market. Fokus
utama dalam kacamata para ekonom adalah meletakkan pekerjaan dalam konteks
ekonomi pasar. Menurut Wadel, hal tersebut membuat mereka menganggap
bahwa yang disebut dengan kerja adalah kerja -kerja yang terbayar dengan uang.
Lebih lanjut Wadel menyatakan bahwa fokus perhatian para ekonom adalah pay
for work dan the product of work , bukan pada activities of work .
Menurut Wadel, dalam melakukan pekerjaannya, orang tidak hanya akan
menghasilkan produk semata tetapi juga menghasilkan beberapa hal lain, yang
oleh Wadel disebut dengan social relations, technical and social skills, attitudes
and values3. Bahkan, dinyatakan oleh Wadel bahwa konsep kerja menurut
masyarakat juga berbeda dengan konsep kerja menurut para ekonom. Masyarakat
melihat komponen m oral yang kuat dalam suatu kerja. Dengan demikian
masyarakat melihat suatu nilai yang melampaui apa yan g dilihat oleh pasar
dengan melihat suatu pekerjaan yang memiliki keberhargaannya secara sosial.
Dalam terang penjelasan Wadel, saya bisa menggali lebih jauh bagaimana
nilai-nilai sosial dan kultural dalam pekerjaan seorang dalang wayang potehi.
Selanjutnya, studi Wadel juga akan memberikan ruang bagi saya untuk melihat
bagaimana seorang dalang memiliki relasi sosial, ekonomi, politik dan religius
yang terjadi dalam konteks pementasan wayang potehi.
3Bila hal ini dikaitkan dengan salah satu pendapat Bourdieu (Jenkins, 2004: 125) tentang modal
yang dipertaruhkan di arena, maka saya membaca bahwa di dalam bekerja orang tidak hanya
berurusan dengan modal ekonomi tetapi juga dengan tiga modal yang lain. Mo dal-modal tersebut
oleh Bourdieu disebut sebagai modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang
bermakna), modal kultural (pengetahuan sah satu sama lain) dan modal simbolis (prestise dan
gengsi sosial).
19
Kerangka lain yang saya gunakan untuk melihat bagaimana dalang
wayang potehi memaknai pementasannya adalah dengan melihat bagaimana peran
dalang dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu rujukan yang saya gunakan adalah
studi yang dilakukan oleh Groenendael (1987) dalam tulisan yang berjudul
Dalang di Balik Wayang. Salah satu bagian dari kajian Groenendael adalah
melihat peran tradisional dalang dalam masyarakat yaitu menjaga tatanan
kehidupan lewat pengetahuan gaib yang dimilikinya. Hal itu terwujud dalam
pementasan wayang di beberapa peristiwa. Selain peran tradis ional, Groenendael
juga mengkaji peran dalang sebagai guru masyarakat.
E. Metode Penelitian
E.1. Lokasi Penelitian
Salah satu pertimbangan yang dilakukan dalam melakukan penelitian
adalah pemilihan lokasi penelitian. Lokasi penelitian untuk studi ini adalah di
komunitas pecinan Semarang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa di komunitas pecinan Semarang terdapat seorang dalang
senior yang masih fasih menggunakan bahasa Hokian dan menjadi sumber belajar
oleh berbagai macam kalangan serta masih melakukan pementasannya hingga
kini. Keberadaan dalang tersebut diperkuat dengan adanya pementasan yang
dilakukan secara rutin di komunitas pecinan Semarang. Keberadaan dalang di
Semarang tentunya suatu hal yang tidak kebetulan, dalam artian memil iki
sejarahnya tersendiri. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini berada dalam lokasi
20
yang digunakan untuk pementasan wayang potehi di komunitas pecinan
Semarang.
E.2. Unit Analisis
Untuk memahami makna pementasan wayang potehi bagi kehidupan
dalang, unit analisis dari penelitian ini adalah kehidupan dalang yang memiliki
hubungan dengan pekerjaannya. Peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, dan religius
yang terjadi selama pementasan, sebelum pementasan dan sesudah pementasan
dijadikan sebagai bagian dari unit analisis dari penelitian ini. Pekerjaan lain di
luar kerja pementasan juga menjadi unit analisis dari penelitian ini untuk melihat
praktik kerja dalang wayang potehi di luar pementasan wayang.
E.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengikuti
kegiatan pementasan wayang potehi dari kelompok wayang potehi yang ada di
Semarang maupun mengikuti rangkaian kerja dalang di luar pementasan. Kegiatan
pementasan yang diamati adalah pementasan wayang potehi pada acara Pasar
Imlek Semawis pada tahun 2013 dengan bandingan amatan pementasan pada
tahun 2012. Kerja dalang di luar pementasan yang dijadikan amatan adalah kerja
memimpin upacara keagamaan di Klenteng Siu Hok B io dan Klenteng Ling Hok
Bio. Data yang dikumpulkan berupa data deskriptif. Data deskriptif secara lisan
diperoleh melalui wawancara dan observasi. Adapun data tertulis diperoleh dari
literatur-literatur yang berkaitan dengan topik penelitian serta penelusuran lewat
media internet.
21
Pengumpulan data dengan teknik observasi partisipasi dilakukan untuk
melihat bagaimana praktik kerja yang dilakukan oleh dalang ketika melakukan
kerja pementasan maupun di luar pementasan. Pengumpulan data dengan teknik
wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh data guna menjawab
pertanyaan yang terkait dengan makna pementasan wayang potehi bagi kehidupan
dalang di Semarang. Pada proses wawancara tersebut, hal yang juga penting untuk
dilakukan adalah menyimak jawaban-jawaban yang diberikan oleh informan. Hal
demikian senada dengan yang dikatakan oleh Lono Simatupang (2013: 94) bahwa
wawancara bukan soal keterampilan dan kegiatan mengajukan pertanyaan; tetapi
lebih dari itu wawancara adalah soal keterampilan dan kegiatan mendengarkan
omongan orang dan meresponnya untuk menggali informasi selengkap-
lengkapnya.
Dalam penelitian ini juga dikumpulkan bahan-bahan life history dari
dalang wayang potehi. Pengumpulan bahan-bahan life history ini dilakukan untuk
menampilkan kisah hidup dalang sehingga tampil kisah-kisah inspiratif yang
dapat dikaitkan dengan keberadaan wayang potehi di Semarang. Menurut Pelto
dan Pelto (1978: 76) pengumpulan bahan-bahan life history sering dilakukan dan
ditampilkan oleh peneliti-peneliti antropologi dalam usaha untuk menghubungkan
suatu abstraksi dari deskripsi etnografis dengan suatu kehidupan dari individu-
individu yang ada.
Pengumpulan bahan-bahan life history dari dalang wayang potehi
dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi partisipasi dan
pengumpulan dokumen serta foto. Dikatakan oleh Davies (1999: 169) bahwa
22
dalam penyusunan life history, data yang diperoleh melalui wawancara adalah
data mengenai ingatan akan kehidupan informan. Oleh karenanya, akan ada
banyak variasi tentang apa yang diingat, mengapa hal-hal tertentu diingat, dan
bagaimana ingatan-ingatan tersebut ditampilkan. Melalui wawancara mendalam
dapat ditemukan kisah hidup dalang dan cerita tentang pekerjaan pementasannya.
Kehadiran dalam kehidupan sehari-hari dalang membantu untuk terlibat dan
mengamati secara langsung bagaimana dalang menjalani kehidupannya. Hal
demikian akan membantu pengumpulan detil data yang berguna dalam
penyusunan life history. Selain itu, pengumpulan bahan-bahan life history juga
dilakukan dengan menelusur keberadaan foto-foto, maupun dokumen-dokumen
yang dimiliki oleh dalang. Keberadaan foto maupun dokumen tersebut sangat
berguna untuk dijadikan media pengungkapan beberapa peristiwa penting dalam
kehidupan dalang di masa lalu. Beberapa bahan pendukung seperti foto dan
dokumen memampukan saya untuk membawa inf orman bercerita tentang kisah-
kisah hidupnya di masa lalu yang terdokumentasikan.
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini disajikan terdiri dari lima bab. Kelima bab yang ada akan
disusun secara sistematis. Pada bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan
uraian mengenai latar belakang pemilihan topik penelitian, kajian pustaka,
rumusan masalah, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Selanjutnya dalam bab kedua akan diuraikan mengenai gambaran
pekerjaan dan pementasan wayang potehi di kom unitas pecinan Semarang. Pada
23
bagian ini akan ditampilkan mengenai komunitas pecinan Semarang dan nuansa
kerja yang melingkupinya, serta pementasan dan kerja dalang wayang potehi di
Semarang. Pada sub topik komunitas pecinan Semarang dan nuansa kerja yang
melingkupinya akan dipaparkan mengenai pecinan Semarang tempo dulu, pecinan
Semarang masa kini, dan filosofi kerja orang Cina . Pada sub topik pementasan
dan kerja dalang wayang potehi di Semarang akan dipaparkan tentang deskripsi
mengenai pementasan dan kerja dalang wayang potehi di Semarang.
Pada bab ketiga akan dituliskan mengenai gambaran kehidupan Thio
Tiong Gie: dalang wayang potehi di Semarang. Uraian diawali dengan
penggambaran sejarah hidup Thio Tiong Gie yang dibagi dalam penggambaran
perjalanan kerja, perjalanan menjadi dalang dan prinsip-prinsip kerja Thio Tiong
Gie. Uraian dilanjutkan dengan pemaparan modal-modal kerja Thio Tiong Gie.
Pemaparan tersebut masih akan dibagi dalam pemaparan modal sosial dan
ekonomi, serta modal kultural dan simbolis yang dimiliki Thio Tiong Gie.
Pada bab empat akan disajikan tulisan mengenai Thio Tiong Gie dan
kerjanya. Pemaparan dibagi dalam beberapa sub topik. Yang pertama adalah Thio
Tiong Gie : praktik kerja dan pertukaran modal. Bagian ini akan dibagi dalam
uraian mengenai pertukaran modal kultural dan modal sosial, pertukaran modal
kultural dan modal sim bolis, serta pertukaran modal sosial dan ekonomi. Sub
topik kedua adalah mengenai makna kerja dalang wayang potehi di Semarang.
Pada bagian tersebut kita akan melihat makna ekonomis, makna psikologis, dan
makna religius dari kerja dalang wayang potehi di Semarang. Sub topik
24
selanjutnya adalah catatan tambahan mengenai dedikasi terhadap profesi dalang
wayang potehi.
Sebagai bagian akhir dari rangkaian tulisan ini adalah bab lima. Bagian ini
merupakan suatu simpulan atas seluruh rangkaian tulisan yang disajikan.
Simpulan tersebut merupakan suatu abstraksi atas kerja mendalang Thio Tiong
Gie dalam kaitannya dengan Antropologi Kerja.