BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf ·...

48
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan Pada bagian ini dijelaskan tentang, (a) hakikat naskah drama, (b) analisis struktural pada drama, (c) kajian strukturalisme genetik, (d) hakikat nilai pendidikan, (e) relevansi naskah drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo dalam pembelajaran apresiasi drama dan penelitian yang relevan adalah sebagai berikut: 1. Hakikat Naskah Drama Pada hakikat naskah drama akan dijelaskan tentang pengertian drama dan pengertian naskah drama sebagai berikut: a. Pengertian Drama Menurut Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 14) drama merupakan cerita yang dikembangkan dengan berlandaskan pada konflik kehidupan manusia dan dituangkan dalam bentuk dialog untuk dipentaskan dihadapan penonton. Drama dapat disikapi dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk karya sastra (text play) dan drama teater (pementasan). Naskah drama (text play) dapat diapresiasi melalui kegiatan-kegiatan membaca naskah drama. Sebaliknya, drama dalam bentuk teater dapat diapresiasi melaui kegiatan menonton atau menyaksikan drama. Selanjutnya Waluyo (2002: 2) berpendapat drama berasal dari bahasa Yunani draomai, yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Terdapat istilah yang sangat terkait dengan drama, yaitu teater. Teater juga berasal dari bahasa Yunani theatron, yang berarti tempat atau gedung pertunjukan. Kata “teater” mempunyai makna yang lebih luas karena dapat berarti drama, gedung pertunjukan, panggung, grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak. Istilah drama yang lain, yaitu sandiwara. Kata “sandiwara” berasal dari bahasa Jawa “sandi” yang berarti rahasia dan “warah” yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan secara rahasia karena dalam sandiwara mengandung pesan atau ajaran bagi penontonnya. Jika menyebut istilah drama, maka terdapat dua

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf ·...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

7

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang RelevanPada bagian ini dijelaskan tentang, (a) hakikat naskah drama, (b) analisis

struktural pada drama, (c) kajian strukturalisme genetik, (d) hakikat nilai

pendidikan, (e) relevansi naskah drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo

dalam pembelajaran apresiasi drama dan penelitian yang relevan adalah sebagai

berikut:

1. Hakikat Naskah DramaPada hakikat naskah drama akan dijelaskan tentang pengertian drama dan

pengertian naskah drama sebagai berikut:

a. Pengertian DramaMenurut Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 14) drama merupakan cerita yang

dikembangkan dengan berlandaskan pada konflik kehidupan manusia dan

dituangkan dalam bentuk dialog untuk dipentaskan dihadapan penonton. Drama

dapat disikapi dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk karya sastra (text play) dan

drama teater (pementasan). Naskah drama (text play) dapat diapresiasi melalui

kegiatan-kegiatan membaca naskah drama. Sebaliknya, drama dalam bentuk

teater dapat diapresiasi melaui kegiatan menonton atau menyaksikan drama.

Selanjutnya Waluyo (2002: 2) berpendapat drama berasal dari bahasa Yunani

draomai, yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Terdapat istilah

yang sangat terkait dengan drama, yaitu teater. Teater juga berasal dari bahasa

Yunani theatron, yang berarti tempat atau gedung pertunjukan. Kata “teater”

mempunyai makna yang lebih luas karena dapat berarti drama, gedung

pertunjukan, panggung, grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk

tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak. Istilah drama yang lain, yaitu

sandiwara. Kata “sandiwara” berasal dari bahasa Jawa “sandi” yang berarti

rahasia dan “warah” yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang

disampaikan secara rahasia karena dalam sandiwara mengandung pesan atau

ajaran bagi penontonnya. Jika menyebut istilah drama, maka terdapat dua

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

8

kemungkinan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Namun, dalam penelitian

ini drama naskahlah yang menjadi objek kajian, drama naskah merupakan dasar

dari drama pentas, naskah drama dapat dijadikan bahan studi sastra, dapat

dipentaskan, dan dapat dipagelarkan dalam media audio, berupa sandiwara radio

atau kaset. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan

dengan puisi dan prosa, drama naskah dapat diberi batasan sebagai salah satu

jenis karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik

batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan.

Senada dengan Wiyanto (2002: 2) bahwa kata teater berasal dari bahasa

Inggris theatre yang berarti gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya,

dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang

dipertunjukkan di depan orang banyak. Hubungan kata teater dan drama

bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang

mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau

karya sastra. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah teater

berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan drama berkaitan dengan

lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi

dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh

penonton. Drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan

untuk dipertunjukkan di atas pentas dengan naskah cerita pendek atau novel

berisi cerita lengkap dan langsung tentang peristiwa yang terjadi. Sebaliknya,

naskah drama tidak mengisahkan cerita secara langsung. Penuturan ceritanya

diganti dengan dialog para tokoh. Bahasa yang digunakan dalam drama juga

lebih cair daripada prosa dan puisi karena bahasa yang digunakan adalah bahasa

sehari-hari. Jadi, dapat diketahui bahwa naskah drama mengutamakan ucapan-

ucapan atau pembicaraan para tokoh sehingga dari pembicaraan tersebut

penonton dapat menangkap dan mengerti seluruh ceritanya. Drama bisa

diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi,

drama sering dikombinasikan dengan musik dan tarian. Drama adalah hidup

yang dilukiskan dengan sampai sekarang, paling tidak untuk orang Yunani,

masih dianggap sebagai seni campuran karena drama yang bersifat sastra juga

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

9

terdiri atas tontonan yang harus memanfaatkan keahlian aktor, sutradara,

penanggung jawab kostum, dan ahli listrik (Wellek dan Warren, 1995: 30). Jadi,

drama merupakan suatu bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan

memunculkan keasyikan bagi pemain dan penonton bertujuan menggambarkan

kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan

dialog.

Drama yang dikenal masyarakat memiliki variasi dalam jalan ceritanya.

Seperti yang dikemukakan Suroto (1989: 76 – 78), sebagai pertunjukan drama

dibedakan menjadi drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional

merupakan drama yang hidup dalam kehidupan masyarakat. Drama tersebut juga

memiliki unsur-unsur pembangun cerita seperti drama-drama yang lain. Drama

modern berbeda dengan drama tradisional. Jika drama tradisional berkembang

secara alamiah dan berkaitan dengan adat, maka drama modern merupakan

drama yang sengaja dibuat oleh pengarang dan sutradara, membedakan drama

jika dilihat dari penyajiannya, yaitu: (1) drama biasa; (2) opera; (3) operet; (4)

pantomim; dan (5) sendratari. Selain itu, ia juga membedakan drama

berdasarkan isi dan sifatnya, yakni: (1) drama absurd; (2) drama ajaran; (3)

drama duka; (4) drama dukaria; (5) drama lirik; (6) drama liturgi; (7) drama ria;

(8) drama puisi; serta (9) drama sejarah.

b. Pengertian Naskah DramaMenurut Waluyo (2002: 2) menambahkan bahwa naskah drama adalah

salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Berbeda

dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis

dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai

kemungkinan dipentaskan. Berdasarkan pengertian diatas naskah drama dapat

diartikan suatu karangan atau cerita. Dan berupa tindakan atau perbuatan yang

masih berbentuk teks atau tulisan yang belum diterbitkan (pentaskan) dan akan

diteliti dalam penelitian ini adalah naskah drama. Naskah drama (lakon) pada

umumnya disebut skenario, berupa susunan (komposisi) dari adegan-adegan

dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbatasan sesuai

dengan fitrahnya. Hal ini senada dengan Kosasih (2003: 268) drama yang

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

10

disebut juga sandiwara. Kata tersebut berasal dari bahasa Jawa, sandi yang

berarti tersembunyi, dan warah yang berarti ajaran. Dengan demikian, sandiwara

adalah ajaran yang tersembunyi dalam tingkah laku dan percakapan. Naskah

drama pada umumnya disebut skenario, berupa susunan atau komposisi dari

adegan-adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki

keterbatasan sesuai dengan fitrahnya.

Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 42–43), hal-hal yang harus

diperhatikan dalam menulis naskah drama, yakni: (a) tema harus sesuai dengan

tujuan pementasan; (b) konflik disusun dengan tajam menggunakan dialog yang

mantap; (c) watak yang diciptakan harus memungkinkan terjadinya pertentangan

antartokoh; (d) bahasa yang digunakan mudah dipahami dan komunikatif; serta

(e) layak untuk dipentaskan. Wujud naskah drama yang berupa dialog-dialog,

menuntut penggunaan ragam bahasa yang sesuai dengan konteks drama yang

diangkat. Ada beberapa naskah drama yang menggunakan ragam bahasa sehari-

hari, tetapi ada pula yang berbentuk puisi-puisi. Wujud naskah drama yang

berupa dialog-dialog, menuntut penggunaan ragam bahasa yang sesuai dengan

konteks drama yang diangkat. Ada beberapa naskah drama yang menggunakan

ragam bahasa sehari-hari, tetapi ada pula yang berbentuk puisi-puisi. Namun,

ragam bahasa yang digunakan tetap harus mengacu pada konvensi sastra.

Seperti yang diungkapkan oleh Endraswara (2011: 13-14) muatan positif

yang terdapat dalam drama, yaitu (a) drama agaknya merupakan sarana yang

paling efektif dan langsung untuk melukiskan dan menggarap konflik-konflik

sosial, dilema moral, dan problema personal tanpa menanggung konsekuensi-

konsekuensi khusus dari aksi-aksi kita, (b) aktor-aktor drama memaksa kita

untuk memusatkan perhatian kita pada protagonis lakon, untuk merasakan

emosi-emosinya, dan untuk menghayati konflik-konfliknya, justru untuk ikut

sama-sama merasakan penderitaan yang mengurangi pembinaan dan

ketidakadilan yang dialami pelaku-pelaku atau tokoh-tokoh drama, (c) melalui

tragedi, misalnya, dengan sedikit terluka di hati, dapat belajar bagaimana hidup

dengan penuh derita, dapat mengajarkan dan memberikan wawasan suatu

ketabahan dan dengan kemuliaan dapat menandinginya, (d) melalui komedi, kita

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

11

dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagai suatu pembukaan tabir rahasia

mengenai untuk apa manusia menentang atau melawan dan untuk apa pula

manusia mempertahankan atau membela sesuatu, (e) melodrama yang ditulis

dengan baik, fantasi, atau farce, dapat mengusir keengganan (skepticism),

memperluas imajinasi kita, dan untuk sebentar membawa diri keluar dari diri

kita sendiri, sehingga tak mengherankan jika drama telah pula dikenal berfungsi

terapis, (f) para psikiatris telah dikenal tahu menggunakan psikodrama sebagai

suatu sarana yang efektif yang dapat membuat pasien dapat mengingat kembali

pengalaman masa lalunya, (g) sosiodrama telah pula dikenal dapat menampilkan

suatu fungsi yang sama bagi kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat,

misalnya sebagai sarana yang membuat warga masyarakat itu menyimpulkan

identitas fiksional yang sedang mengalami konflik yang tanpa serupa terjadi

dalam keluarga dan kehidupan kelompok.

2. Struktur Naskah DramaKarya sastra merupakan sebuah struktur. Berstruktur yang dimaksud yaitu

tersusun dari unsur-unsur yang bersistem, yang di antara unsur-unsurnya

memiliki hubungan timbal balik dan saling menentukan. Pendapat dari Pradopo

(1993: 118). Ada beberapa ciri struktur karya sastra. Pertama, struktur

merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu unsur-unsur pembentuknya tidak dapat

berdiri sendiri-sendiri di luar struktur. Kedua, struktur berisi gagasan

transformasi yang bersifat dinamis. Ketiga, struktur tersebut mengatur diri

sendiri, dalam arti struktur tersebut tidak membutuhkan bantuan dari luar dirinya

untuk mensahkan prosedur transformasinya. Setiap unsur dalam struktur karya

sastra memiliki fungsi masing-masing.

Pendekatan didefinisikan sebagai cara menghampiri suatu objek.

Siswantoro (2010: 47) menyebutkan bahwa pendekatan adalah alat untuk

menangkap fenomena sebelum dilakukan kegiatan analisis atas sebuah karya,

sedangkan cara mengumpulkan dan menganalisis data disebut dengan metode.

Namun, secara lebih luas, pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami

hakikat ilmu tertentu. Jika dihubungkan dengan penelitian karya sastra di

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

12

Indonesia, dengan adanya pendekatan, peneliti diharuskan memiliki bekal dalam

mengkaji sastra. Bukan hanya kajian yang bersifat praktis, melainkan juga

teoretis. Pendekatan juga mengarahkan penelusuran sumber-sumber sekunder

sehingga peneliti dapat memprediksikan literatur yang harus dimiliki. Hal itu

disebabkan karya sastra di Indonesia tidak pernah terlepas dari kebudayaan dan

unsur-unsur lain di masyarakat. Nurgiyantoro (2007: 36) mengungkapkan

bahwa pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan

Strukturalisme Praha. Pendekatan struktural mendapat pengaruh langsung dari

perubahan studi linguistik. Studi linguistik tidak hanya menekankan pada sejarah

perkembangannya, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antarunsurnya. Kaum

srukturalisme menganggap karya sastra sebagai sebuah kesatuan yang dibangun

oleh unsur-unsurnya. Hubungan antar unsur yang satu dengan lainnya bersifat

timbal balik dan saling menentukan sehingga membentuk satu kesatuan yang

utuh. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,

mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi

yang bersangkutan. Strukturalis merupakan cara pandang mengenai tanggapan

dan deskripsi struktur-struktur. Struktur-struktur tersebut memiliki bagian yang

kompleks sehingga untuk memahami totalitas makna dari sebuah karya sastra

harus mengkaji hubungan antarstruktur secara keseluruhan. Oleh karena itu,

strukturalisme sering dianggap sebagai formalisme modern yang hanya mencari

arti dari sebuah teks. Menurut Endraswara (2003: 49) bahwa pada dasarnya

strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan

dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam hal ini karya sastra

dipandang sebagai suatu fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait

satu sama lain.

Selanjutnya Ratna (2011: 90) mengatakan tugas analisis struktur yaitu

membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di balik karya sastra.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada dasarnya analisis struktural

bertujuan memaparkan fungsi dan keterkaitan antarunsur dalam sebuah karya

sastra secermat mungkin untuk menghasilkan suatu keseluruhan dalam

memahami sebuah karya sastra. Hidayat (2010: 2) berpendapat bahwa drama

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

13

dalam pengertiannya membutuhkan persyaratan ketat untuk dapat dikatakan

sebagai drama. Secara prinsip, drama memiliki struktur pembangun seperti

penonton (audience), tempat (stage), naskah (dialogue), dan pemain (actor).

Adapun ketegori lain untuk dapat dikatakan drama adalah adanya gambaran

tentang kehidupan, dan di dalamnya terdapat alur dan konflik dalam dialog

meskipun ada juga drama bisu, tetapi tetap menghadirkan konflik, hal ini senada

dengan pendapat Waluyo (2011: 6 – 28) bahwa enam unsur dalam struktur

naskah drama, yakni: (a) alur; (b) penokohan; (c) dialog; (d) setting; (e) tema;

dan (f) amanat. Namun menurut Tarigan (1993: 74) menyebutkan unsur-unsur

drama, antara lain: (a) alur; (b) penokohan; (c) dialog; (d) aneka sarana

kesastraan dan kedramaan. Struktur intrinsik pembangun drama yang akan

dikaji, antara lain: tema, penokohan dan perwatakan, plot/alur, latar/setting,

dialog petunjuk teknis, serta amanat.

a. TemaWahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) mengungkapkan bahwa tema

adalah gagasan utama atau gagasan sentral pada sebuah cerita atau karya sastra.

Tema bisa dikatakan hampir sama dengan pondasi suatu bangunan. Apabila

suatu karya sastra tidak mempunyai tema, itu berarti karya sastra tersebut akan

mengambang karena tidak mempunyai dasar layaknya sebuah bangunan. Tema

berhubungan dengan premis dan nada dasar yang dikemukakan pengarangnya.

Premis dapat disebut sebagai landasan pokok yang menentukan arah tujuan

lakon dan merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon, sedangkan nada dasar

dapat disamakan dengan jiwa atau suasana yang mendasari sebuah lakon.

Interpretasi penonton terhadap nada dasar suatu naskah drama dapat bervariasi.

Oleh karena itu, naskah drama bersifat multi interpretable. Hal itu dapat

disebabkan oleh latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda dari penonton.

Drama yang besar adalah drama yang mengangkat tema abadi. Maksudnya, tema

tersebut bersifat interpersonal dan dapat diterima di segala kurun waktu.

Penentuan tema berdasar pada nurani pengarangnya. Banyak hal yang dapat

memengaruhi pengarang dalam menentukan tema dari karya-karyanya. Latar

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

14

belakang budaya, pendidikan, maupun pengetahuan dapat menjadi dasar

pembentukan tema. Pendapat dari Putra (2010

: 98) bahwa tema juga dapat diidentifikasi, dinyatakan secara jelas-tegas,

terselubung dalam cerita, dan diidentifikasi sebagai pesan utama dalam karya

sastra. Hal ini menunjukkan bahwa tema bisa ditemui secara tersirat dalam suatu

karya sastra maupun secara tersurat. Selanjutnya Wardani (2009: 38)

menyebutkan tema dibagi menjadi 5 jenis berdasarkan tingkatannya sebagai

berikut: (1) tema divine artinya menampilkan problem manusia tingkat tinggi

seperti masalah religiositas dan filosofis, (2) tema egoik yaitu menampilkan

problem kemanusiaan sebagai individu atau problem humanisme, (3) tema

sosial yaitu menampilkan problem hubungan antara manusia dalam

kemasyarakatan, (4) tema organik yaitu tema yang memperbincangkan aspek-

aspek jasmaniah manusia seperti perbincangkan aspek-aspek jasmaniah manusia

seperti kelahiran, balas dendam, seksualitas dan penghianatan, (5) tema fiksi

yaitu tema yang hanya menampilkan aktivitas fisik manusia. Tema tertinggi

adalah tema religius filosofis karena membawa para penikmat karya sastra atau

pembaca merenungkan hakikat kehidupan dan ketuhanan.

Stanton (2007: 36) juga mengemukakan bahwa tema merupakan aspek

cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang

menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Dalam hal ini berarti begitu

banyak cerita yang menggambarkan kejadian yang benar-benar dialami oleh

manusia, seperti patah hati karena putus cinta, kekecewaan, putus sekolah,

perceraian orang tua, dan sebagainya. Hal-hal yang seperti inilah yang disebut

dengan tema

Ada pula pendapat dari Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) yang

mendefinisikan tema sebagai gagasan pokok yang mendasari terbentuknya cerita

secara umum yang dapat terbangun dari subtema-subtema dalam sebuah cerita

sehingga tema juga didefinisikan sebagai gagasan dasar sebuah karya sastra dan

yang terkandung dalam teks sebagai struktur semantis serta yang menyangkut

persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan didalam suatu karya sastra.

Hal ini sesuai dengan pendapat Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 136-137) tema

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

15

merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga dapat berperan sebagai

pangkal tolak pengarang dalam menyampaikan pesan kepada pembaca lewat

naskah drama yang ditulisnya atau dipentaskan. Pemahaman terhadap tema

pementasan mutlak harus dilakukan karena tanpa memahami tema dalam suatu

pementasan drama, baik sutradara, aktor, maupun penikmat pertunjukan drama.

Tema sebuah pementasan bisa muncul lebih dari satu, tetapi pada hakikatnya

hanya ada satu tema umum (mayor) yang diusung dalam suatu pertunjukan

drama. Tema-tema lain yang muncul hanya menjadi pelengkap tema umum yaitu

tema minor. Tema suatu pementasan dapat dipahami melalui kegiatan (1)

interpretasi naskah sebelum kegiatan pementasan, (2) menghubungkan dialog-

dialog tematis yang tersebar pada dialog tokoh dan menyimpulkannya, (3)

penadaan terhadap konflik dan perkembangan plot, (4) pemahaman terhadap

setting pementasan (tempat, waktu, dan suasana). Waluyo (2002: 26-28)

menyebutkan beberapa aliran filsafat yang mendasari penciptaan naskah drama,

sebagai berikut.

a) Aliran Klasik

Naskah drama berwujud dialog yang panjang-panjang dan isi cerita yang

bertema duka. Lakonnya bersifat statis dan diselingi dengan monolog.

b) Aliran Romantik

Naskah drama beraliran romantik ini seringkali berupa cerita-cerita yang

tidak logis. Isi dramanya fantastis dan tokohnya bersifat sentimentil.

c) Aliran Realisme

Aliran ini menginspirasi terciptanya drama-drama realis yang isi ceritanya

mirip dengan kehidupan sehari-hari. Ada dua macam aliran realisme, yaitu

aliran realisme sosial dan aliran realisme psikologis. Realisme sosial

menggambarkan problem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kondisi

psikis pelaku. Sedangkan realisme psikologis menekankan pada unsur

kejiwaan secara apa adanya. Rasa senang, sedih, kecewa, bahagia, dilukiskan

dengan apa adanya.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

16

d) Aliran Ekspresionisme

Aliran ekspresionisme didasarkan pada perubahan sosial, pergantian adegan

dilakukan dengan cepat, serta fragmen cerita disajikan secara filmis dan

ekstrim.

e) Aliran Eksistensialisme

Naskah yang dilatarbelakangi aliran ini mendapat pengaruh yang besar dari

filsafat eksistensialisme negara-negara barat.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tema

adalah ide pokok sebuah karya sastra yang bisa ditemukan baik secara tersirat

maupun tersurat yang berupa pencerminan dari pengalaman yang dialami oleh

manusia. Jadi, intisari dari uraian tersebut ialah memandang tema sebagai makna

yang termuat secara implisit dalam sebuah karya sastra.

b. Penokohan dan PerwatakanMenurut Wiyanto (2007: 27) perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa

seorang tokoh dalam lakon drama. Seorang tokoh bisa mempunyai watak yang

sabar, ramah, dan suka menolong, atau sebaliknya, seorang tokoh bisa saja

mempunyai watak yang pemberang, pemarah, ataupun pendendam. Istilah

penokohan merujuk pada pelaku cerita, sedangkan perwatakan menunjuk pada

sifat tokoh-tokoh dalam suatu cerita. Tokoh-tokoh tersebut yang kemudian

membawakan tema dalam keseluruhan latar dan alur cerita. Untuk membuat

tokoh yang meyakinkan, pengarang harus mengerti dengan benar tabiat manusia,

serta kebiasaan bertindak dan berujar di masyarakat. Nurgiyantoro (2007: 166)

menjelaskan istilah penokohan mempunyai pengertian yang paling luas daripada

tokoh dan perwatakan karena dalam penokohan telah tercakup siapa tokoh

cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dalam pelukisannya

dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada

pembaca. Penokohan mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan.

Penokohan dan perwatakan adalah dua hal yang sangat penting dalam sebuah

drama. Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat

karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama, tokoh cerita ialah

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

17

orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh

pembaca ditafsirkan memiliki ciri khas dalam mengekspresikan wataknya dalam

tindakan-tindakannya. Penggambaran watak pelaku melaui tiga dimensi yaitu

(1) dimensi psikis, artinya watak secara batin atau kelakuan (misalnya, sombong,

pendendam, romantis, penipu atau culas), (2) dimensi fisik yaitu ciri fisik

misalnya usia, kecantikan, cacat tubuh, warna rambut, (3) dimensi sosiologis

artinya status kedudukan pekerjaan atau peran dalam masyarakat seperti kaya,

miskin, priyayi, rakyat jelata, konglomerat, pegawai bank, polisi atau

gelandangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Satoto (2012: 41-42) tokoh

memiliki watak dan kepribadian, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang

dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensional, yaitu dimensi fisiologis, dimensi

sosiologis, dan dimensi psikologis

Pengertian tokoh juga diambil dari pendapat Kosasih (2003: 270) yang

menyebutkan bahwa tokoh adalah orang-orang yang berperan dalam suatu

drama. Kosasih juga membedakan tokoh menjadi tiga golongan berdasarkan

perannya dalam jalan cerita.

a) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung jalannya cerita.

b) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita.

c) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun

untuk tokoh antagonis.

Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 36-40) mengemukakan berdasarkan ada

tidaknya tokoh dalam hubungannya dengan tema, tokoh dapat diklasifikasikan,

sebagai berikut.

a) Tokoh Utama, yaitu tokoh yang diposisikan sebagai pusat dalam

pengembangan cerita, sehingga ia dihadapkan pada permasalahan utama

menentukan gerak dan alur cerita. Tokoh utama merupakan tokoh yang

dimanfaatkan oleh pengarang untuk menyampaikan tema cerita

b) Tokoh pembantu, yaitu pembaca mengidentifikasi tokoh utama dalam cerita.

Cara menandai tokoh utama pada kutipan naskah dram tersebut mengamati

tokoh yang selalu hadir pada setiap tahapan plot dan mampu bertahan hingga

klimaks cerita

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

18

Klasifikasi tokoh juga dapat didasari dari sikap tokoh terhadap tema.

Berdasarkan sikap tokoh terhadap tema tokoh dibedakan menjadi tokoh

protagonis dan antagonis.

a) Tokoh protagonis adalah diwujudkan dalam bentuk cita-cita dan prinsip

hidup tokoh. Prisip tokoh akan menjadi obsesi yang ingin dipaparkan kepada

pembaca.

b) Tokoh antagonis adalah tokoh melawan cita-cita tokoh protagonis. Tokoh ini

mengemban misi tidak baik dan menentang tokoh protagonis dan

diproyeksikan dengan watak kurang baik (jahat) karena selalu menghalang-

halangi.

Berdasarkan perannya terhadap jalan cerita terdapat beberapa jenis tokoh,

yaitu tokoh protagonis (tokoh yang mendukung cerita), tokoh antagonis (tokoh

penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu, baik untuk tokoh

protagonis maupun untuk tokoh antagonis). Pembagian yang kedua berdasarkan

perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai berikut. (a)

tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (b) tokoh utama,

yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga sebagai medium

atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tritagonis; (c) tokoh pembantu,

yaitu tokoh tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata

rantai cerita. Waluyo (2002: 16) membagi beberapa jenis tokoh dengan kriteria

tertentu. Pertama, berdasarkan perannya terhadap jalan cerita terdapat beberapa

jenis tokoh, yaitu tokoh protagonis (tokoh yang mendukung cerita), tokoh

antagonis (tokoh penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu, baik

untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis). Pembagian yang kedua

berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai

berikut. (1) tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (2)

tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga

sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tritagonis; (3)

tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau

tambahan dalam mata rantai cerita.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

19

Harymawan (dalam Dewojati, 2010: 169) menyatakan bahwa karakter

mempunyai sifat multidimensional. Dimensi yang dimaksud meliputi dimensi

fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi psiologis. Wirajaya dan

Sudarmawarti (2008: 56–57) juga mengungkapkan tentang cara melukiskan

watak tokoh, yaitu dengan cara:

a) melukiskan bentuk fisik tokoh secara langsung,

b) melukiskan jalan pikiran tokoh,

c) melukiskan reaksi tokoh terhadap suatu peristiwa yang terjadi,

d) melukiskan keadaan di sekitar tokoh, dan

e) melukiskan anggapan tokoh tersebut terhadap tokoh lain.

Dari pendapat-pendapat tersebut, maka pengertian penokohan ialah

penggambaran tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita naskah drama.

Sedangkan perwatakan ialah penjelasan mengenai karakter tokoh-tokoh

tersebut. Yustinah dan Iskak (2008: 28) memiliki pandangan yang tak jauh

berbeda. Mereka menyebutkan bahwa tokoh dalam drama terdiri atas: (a)

protagonis, tokoh yang berperan utama sebagai tokoh idaman; (b) antagonis,

tokoh yang berperan menentang tokoh utama; dan (c) figuran/pemeran

pembantu, tokoh yang mendampingi tokoh utama dan dapat sebagai sumber

konflik dalam drama. Tarigan (1993: 76) membagi jenis tokoh dalam drama

menjadi empat, yakni: (a) the foil/tokoh pembantu; (b) the type character/tokoh

serba bisa; (c) the static character/tokoh statis; serta (d) the character who

develops in course of the play/tokoh berkembang. Sedangkan mengenai

perwatakan, tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita memiliki watak atau

karakter masing-masing. Watak para tokoh ini digambarkan dalam tiga dimensi,

yaitu keadaan fisik, psikis, dan sosial.

c. Plot atau AlurMenurut Suroto (1989: 89–90) plot merupakan suatu jalan cerita yang

berupa peristiwa-peristiwa yang disusun menurut hukum sebab akibat dari awal

sampai akhir cerita. Suroto menyampaikan urutan pola plot secara tradisional,

yaitu: (a) perkenalan; (b) pertikaian; (c) perumitan; (d) klimaks; dan (e) pelarian.

Hal ini senada dengan pendapat Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) bahwa

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

20

alur adalah rangkaian cerita yang merupakan jalinan konflik antartokoh yang

berlawanan. Alur drama terdiri atas: (a) perkenalan; (b) pertikaian; (c) klimaks;

(d) peleraian; dan (e) penyelesaian. Semi (1993: 163) berpendapat bahwa

kekhususan tersebut, yaitu (a) alur drama mestilah merupakan alur cerita yang

dapat dilakukan oleh manusia biasa di muka publik penonton, (b) alur drama

mesti jelas, bila tidak, akan sukar sekali diikuti oleh penonton, (c) alur drama

mestilah sederhana dan singkat, dalam arti terpusat pada suatu peristiwa tertentu.

Terdapat tiga unsur yang dipentingkan dalam pengembangan sebuah plot cerita,

yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Dalam berkreativitas, pengarang memiliki

kebebasan, namun juga mempunyai batasan-batasan. Batasan batasan inilah

yang biasa disebut dengan kaidah pemplotan. Seperti yang diungkapkan oleh

Wardani (2009:38) plot merupakan bagian penting dalam fiksi. Plot merupakan

rangkaian kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat unsur sebab akibat

sangat penting dalam plot. Plot dimulai dari eksposisi (perkenalan), dilanjutkan

dengan konflik, komplikasi, puncak pada klimaks cerita. Setelah berpuncak pada

klimaks, maka ada falling action, yaitu penurunannya kadar cerita dan diakhiri

dengan denouement (penyelesaian) yang disebut pula catastrophe. jenis plot ada

tiga yaitu:

a) Plot garis lurus atau progresif

Plot garis lurus adalah cerita berjalan seperti lazimnya orang bercerita yaitu

mulai dari awal hingga akhir cerita.

b) Plot sorot balik atau flashback

Plot sorot balik atau flashback cerita diawali dengan dari bagian akhir cerita

dan kemudian baru mulai dari awal cerita, dilanjutkan menjelang akhir

(bagian dari cerita yang dikisahkan di depan). Dalam plot sorot balik

diceritakan seperti orang melamun atau menceritakan kembali sesuatu yang

terjadi.

c) Plot gabungan

Plot gabungan merupakan plot dalam cerita di mana pengarang

menggabungkan antara plot lurus cerita yang di dalamnya terdapat plot sorot

balik.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

21

Yustinah dan Iskak (2008: 28) mengemukakan plot dalam sebuah drama

meliputi sebagai berikut: (a) pemaparan/eksposisi; (b) komplikasi; (c) klimaks;

(d) peleraian/antiklimaks; dan (e) penyelesaian. Waluyo (2002: 147-149)

berpendapat dalam menyampaikan plot sebagai kerangka dari awal hingga akhir

yang merupakan jalinan konflik antartokohnya. Ia membagi tahapan plot

menjadi tujuh, yaitu (1) eksposisi; (2) inciting moment (saat perkenalan); (3)

rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; dan (7)

denonement (penyelesaian).

Tahap situation, berarti tahap penyituasian menyebutnya sebagai

eksposisi, yang berarti paparan awal cerita. Tahap ini berisi pelukisan dan

pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan

cerita, pemberian informasi awal, pengenalan tokoh, watak, dan latar cerita. Di

tahap ini pembaca dapat mengetahui bentuk cerita tersebut termasuk novel,

cerpen, atau naskah drama. Tujuan dari adanya tahap ini adalah untuk

memberikan gambaran awal kepada pembaca sehingga pembaca tidak bingung

mengikuti cerita. Selain itu, juga menjadi landas tumpu cerita untuk memasuki

tahap selanjutnya.

Tahap generating circumstances, disebut juga inciting moment. Tahap ini

merupakan tahap pemunculan masalah atau peristiwa yang berpotensi

menimbulkan konflik. Pengarang mulai memunculkan peristiwa-peristiwa yang

mengandung masalah yang nantinya akan dikembangkan menjadi konflik.

Peristiwa-peristiwa tersebut dihadirkan berdasarkan kebutuhan konflik yang

akan ditimbulkan. Semakin banyak peristiwa atau masalah yang dihadirkan,

semakin rumit dan kompleks konflik yang akan timbul. Konflik-konflik yang

timbul tersebut akan semakin berkembang dan ruwet atau kompleks hingga

akhirnya mencapai puncak.

Tahap rising action atau disebut juga tahap peningkatan konflik. Pada

tahap ini, konflik yang mulai muncul pada tahap sebelumnya semakin

berkembang dan terus-menerus muncul. Konflik-konflik tersebut semakin tak

terkendali dan tak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa dalam cerita semakin

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

22

mencekam dan menegangkan, keadaan konflik yang semakin ruwet disebut

complication.

Tahap climax merupakan puncak penggawatan. Pada tahap ini semua

konflik mencapai puncaknya. Klimaks ini dilihat dari sudut tokoh utama yang

menjadi pelaku atau penderita konflik utama cerita. Apabila yang mengalami

puncak konflik adalah tokoh pembantu maka ini bukan disebut klimaks cerita.

Pada tahap klimaks, ketegangan cerita mencapai puncak. Puncak ketegangan

atau klimaks ini dapat saja terjadi lebih dari satu kali, namun klimaks utama

tetaplah satu. Jumlah klimaks tersebut tergantung dari cerita yang dihadirkan.

Tahap denoument (denonement) disebut juga tahap penyelesaian. Konflik

yang telah mencapai puncak tersebut menurun dan mengalami penyelesaian.

Termasuk dalam tahap ini adalah falling action atau penurunan ketegangan yang

dapat juga disebut antiklimaks. Ketegangan mengendor dan emosi yang telah

mencapai puncak berangsur-angsur turun untuk mencapai batas bawah.

Berdasarkan pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot

dalam drama terdiri atas: (1) klasifikasi atau eksposisi; (2) komplikasi atau

pertikaian awal; (3) klimaks atau titik puncak cerita; (4) penyelesaian atau falling

action; dan (5) keputusan atau denoument. Namun, secara urutan tidak menutup

kemungkinan untuk berubah yang akan berimbas pada jenis pengaluran. Bahwa

plot/alur adalah kerangka jalannya cerita dari tahap permulaan hingga

penyelesaian yang disusun dengan hubungan sebab akibat.

d. DialogDialog merupakan dominasi dari sebuah naskah drama. Suroto (1989: 94)

mengungkapkan bahwa dialog ialah ujaran yang diucapkan tokoh dalam cerita.

Dialog berperan penting dalam cerita karena dapat membantu pembaca maupun

penonton untuk mengetahui karakter tokoh dan tema cerita. Dialog juga dapat

membantu menggambarkan setting yang digunakan.

Tarigan (1993: 77) menyebutkan syarat dialog dalam lakon drama, yaitu

dialog harus dapat mempertinggi nilai gerak, baik, dan bernilai tinggi. Dialog

yang dilakukan para tokoh juga harus mendukung karakter tokoh dalam drama

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

23

sehingga penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat dalam dialog para

tokoh tersebut.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15)

menyatakan bahwa dialog merupakan percakapan yang dilakukan para pelaku

dalam drama. Menurut Semi (1993: 165–166) ujaran mestilah menarik dan

ekonomis dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari. Menurutnya, fungsi

dialog dalam drama antara lain: (a) merupakan wadah penyampaian informasi

kepada penonton; (b) menggambarkan watak dan perasaan tokoh; (c)

menunjukkan alur cerita; (d) menggambarkan tema atau gagasan pengarang; dan

(e) mengatur suasana dan tempo jalannya cerita. Putra (2012: 68) menjelaskan

bahwa melalui dialog, penonton dapat mengetahui isi cerita, mengetahui

hubungan antartokoh, dan memahami watak para tokoh. Oleh karena itu, dialog

juga harus ditunjang dengan penjiwaan emosional tokohnya. Selain itu,

kejelasan dari pelafalan dialog juga menjadi aspek penting karena akan

mendukung seberapa besar dialog dapat dicerna oleh penonton. Dialog yang

dilakukan para tokoh juga harus mendukung karakter tokoh dalam drama

sehingga penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat dalam dialog para

tokoh tersebut. Dialog merupakan hal yang sangat penting dalam pementasan

drama.

Berdasar pada uraian tersebut, dialog adalah percakapan antartokoh dalam

naskah drama yang memuat isi cerita. Dialog dalam naskah drama dapat

menggunakan bahasa sehari-hari maupun bahasa kiasan sesuai dengan keinginan

pengarang.

e. Petunjuk TeknisPetunjuk teknis disebut juga teks samping. Teks samping ini memberikan

petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar

masuknya aktor dan aktris, keras lemahnya dialog, warna suara, perasaan yang

mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping biasanya ditulis dengan huruf

yang berbeda dari teks dialog. Teks samping ini berfungsi sebagai petunjuk

kapan tokoh harus diam, berpindah tempat atau posisi, pembicaraan pribadi, dan

sebagainya. Selain itu, manfaat adanya teks samping yaitu untuk mempermudah

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

24

sutradara dalam menafsirkan naskah drama pendapat dari Waluyo (2002: 29).

Sebuah naskah drama juga memerlukan adanya petunjuk teknis, yang sering

pula disebut dengan teks samping. Petunjuk teknis ini berguna untuk

mempermudah pembaca ataupun sutradara dalam memahami naskah. Petunjuk

teknis yang semakin lengkap akan memudahkan sutradara dalam menafsirkan

naskah. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa petunjuk teknis merupakan

teks petunjuk bagi tokoh dalam drama untuk memainkan perannya, dapat berupa

posisi tubuh, ekspresi, maupun pekerjaan yang sedang dilakukan.

f. AmanatMenurut Suroto (1989: 135) pengertian amanat sebagai sikap penulis

terhadap persoalan yang terdapat dalam naskah drama yang ingin

disampaikannya kepada penikmat. Amanat dari sebuah naskah drama akan lebih

mudah dipahami jika naskah tersebut dipentaskan. Amanat biasanya bertujuan

untuk memberikan manfaat bagi para penikmat karya sastra tersebut. Hal ini

sebagaimana yang dikatakan Kosasih (2012: 137) bahwa amanat tersimpan rapi

dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan cerita. Antara amanat dan

tema memiliki hubungan yang erat. Nurgiyantoro (2007: 335-336)

mengungkapkan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin

bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung, namun adanya pesan moral yang

bersifat langsung dalam sebuah karya sebenarnya justru dapat membodohkan

pembaca. Amanat dalam sebuah drama tidak dapat diketahui secara langsung.

Pembaca atau penonton harus mencari sendiri amanat yang terdapat dalam

drama tersebut.

Wiyanto (2002: 23) mengemukakan amanat adalah pesan moral yang ingin

disampaikan penulis kepada pembaca naskah atau penonton drama. Amanat

merupakan pesan atau pelajaran yang dapat diambil dari cerita. Amanat dalam

sebuah drama akan lebih tersampaikan kepada penikmat karya sastra apabila

drama tersebut dipentaskan. Pesan yang terdapat dalam drama tersebut secara

praktis akan lebih mudah diterima oleh penikmat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa

amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca baik

secara tersurat maupun tersirat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

25

pesan dari pengarang yang tersirat dari jalannya cerita. Amanat tersebut

memberikan manfaat bagi penikmat karya sastra dalam kehidupan nyata.

g. Setting atau LatarSetting sering disebut juga dengan latar cerita. Menurut Pratiwi dan

Siswiyanti (2014: 85) setting adalah suatu tempat, waktu dan suasana saat

berlangsungnya suatu peristiwa dalam drama. Setting bersifat fisik dan

psikologis. Latar tempat dan waktu merupakan setting bersifat fisik karena

wujud yang pasti serta kasatmata. Sementara itu, setting yang bersifat psikologis

berupa suasana atmosfer psikologis yang menuansakan makna tertentu serta

mampu memengaruhi emosi atau kejiwaan pembaca. Latar memberikan

informasi mengenai situasi ruang dan tempat serta berfungsi sebagai proyeksi

keadaan batin para tokoh. Dalam mengkaji sebuah karya fiksi, latar pada

hakikatnya memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Penggambaran

setting seringkali juga berkaitan dengan alam pikiran penulis oleh karena itu,

imajinasi dari seorang penulis karya sastra sangat menentukan bagaimana atau

apa yang akan menjadi latar atau setting dari imajinasi yang dihasilkannya. Hal

ini seperti yang diungkapkan oleh Wardani (2009:42) setting atau latar

dinyatakan sebagai tempat, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya

sastra. Setting meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan rumah,

kesibukan sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun dan lingkungan. Fungsi dari

latar dapat melukiskan setting secara realistis, ada setting yang benar-benar

dialami oleh pengarang namun ada pula hasil dari imajinasi pengarang dan

digambarkan setelah menghayatinya melalui film, dokumen, buku, foto atau dari

internet.

Nurgiyantoro (2007: 216) menyebutkan setting sebagai landasan tumpu,

mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial

tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Setting atau latar adalah

penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa.

Mengenai pengertian latar, yaitu gambaran tempat, waktu, dan keadaan jalannya

cerita, pengertian yang serupa disampaikan oleh Kosasih (2003: 273), yaitu latar

merupakan keterangan mengenai tempat, ruang, dan waktu di dalam naskah

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

26

drama. Latar waktu biasanya berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa dalam karya fiksi. Latar waktu dalam fiksi bisa menjadi dominan dan

fungsional jika digarap secara teliti, apalagi jika latar waktu tersebut

berhubungan dengan sejarah. Penggarapan unsur sejarah menjadi sebuah karya

fiksi menyebabkan waktu yang diceritakan bersifat khas, tipikal, dan menjadi

sangat fungsional. Nurgiyantoro (2007: 230-231) menyatakan unsur latar

dibedakan menjadi tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. (1) latar

tempat adalah latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya sastra unsur ini digunakan sebagai tempat-

tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu dan lokasi tanpa penjelasan; (2)

latar waktu adalah berhubungan dengan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-

peristiwa penting yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan”

tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya

atau dikaitkan dengan peristiwa sejarah; (3) latar sosial adalah latar sosial

berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan

dalam karya fiksi, latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,

keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal lain yang

tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status

tokoh yang bersangkutan. Penggarapan latar waktu haruslah sesuai dengan

waktu nyata. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi di

dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi maka akan menyebabkan

cerita tak wajar, bahkan apabila cerita tersebut tidak masuk akal pembaca akan

merasa dibohongi. Inilah yang dalam fiksi disebut anakronisme, yaitu waktu

dalam fiksi tidak cocok dengan urutan waktu atau sejarah dalam dunia nyata.

Satoto (2012: 55) membagi setting ke dalam tiga aspek, yaitu aspek ruang, aspek

waktu, dan aspek suasana. Aspek suasana ini, misalnya suasana gembira,

berkabung, hiruk-pikuk, sepi mencekam, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di

atas, dapat dikatakan bahwa setting adalah suatu keadaan yang memberi

gambaran peristiwa dalam cerita, termasuk di dalamnya, yaitu tempat atau

ruang, waktu, dan sosial. Unsur-unsur dalam setting mempunyai keterkaitan satu

sama lain dalam mendukung keterjalinan cerita secara keseluruhan dalam drama.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

27

Dengan demikian, yang dimaksud dengan setting atau latar yaitu pelukisan

keadaan tempat, ruang, dan waktu terjadinya peristiwa dalam cerita di naskah

drama.

3. Kajian Strukturalisme GenetikPada bagian kajian strukturalisme genetik di bawah ini dijelaskan tentang

hakikat teori strukturalisme genetik adalah sebagai berikut:

a. Hakikat Teori Strukturalisme GenetikMenurut Endaswara (2003: 55) strukturalisme genetik adalah penelitian

sastra secara struktural yang tidak murni, maksud dari struktural yang tak murni

adalah penelitian ini tetap menggunakan kajian struktural otonom sebagai dasar

kemudian dilanjutkan dengan aspek-aspek di luar karya sastra yang meliputi

keadaan sosial yang turut membangun lahirnya karya sastra tersebut. Munculnya

strukturalisme genetik merupakan reaksi atas struktural otonom yang hanya

memandang otonomi karya sastra dan mengabaikan latar belakang sejarah serta

latar belakang yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Ratna (2006: 120)

strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian

terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik sekaligus

memberikan perhatian terhadap analisis instrinsik dan ekstrinsik. Secara

definitif, menjelaskan lebih lanjut bahwa strukturalisme genetik adalah analisis

struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra. Pencetus

teori ini percaya bahwa sebuah karya adalah struktur yang hidup, merupakan

produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan

destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal sebuah karya.

Senada dengan pendapat dari Iswanto (2003: 60) strukturalisme genetik disebut

dengan pendekatan obyektif, yakni pendekatan dalam penelitian sastra yang

memusatkan perhatian pada otonomi sastra sebagai karya fiksi, artinya

menyerahkan pemberian makna karya sastra pada eksistensi karya sastra itu

sendiri tanpa menghubungkan dengan unsur yang ada diluar strukturnya.

Strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis

strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur instrinsik. Ratna (2006: 121)

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

28

mengemukakan strukturalisme genetik ini merupakan gerakan penolakan

strukturalisme murni, yang hanya menganalisis unsur-unsur intrinsik saja tanpa

mengindahkan hal-hal di luar teks sastra itu sendiri. Gerakan ini juga menolak

peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas. Pendapat ini juga diperkuat

oleh Wardani (2009:47) strukturalisme genetik memandang karya sastra karena

memiliki kekzaini sechara sosiologis, dapat dianalisis berdasarkan struktur karya

sastra dan pandangan dunia pengarang serta berdasarkan srtuktur eksternalnya

contohnya sosial budaya, ekonomi atau politik yang menyebabkan hadirnya

karya sastra tersebut. Strukturalisme genetik mencari perpaduan antara struktur

teks dan struktur sosial karena pendekatan ini juga mempertimbangkan faktor

sosial jadi bila perubahan struktur sosial dalam masyarakat akan mempengaruhi

pula isi karya sastra. Pada prinsipnya strukturalisme genetik mamandang karya

sastra tidak hanya dari strukturanya yang statis saja melainkan memiliki

hubungan dengan makna struktur global atau sosial. Suyitno (2009:26)

berpendapat bahwa pendekatan genetic strukturalism merupakan pendekatan

yang paling kuat. Ini terbukti oleh suatu teori dan tidak ada pada pendekatan lain.

Pendekatan ini akan berusaha mengungkapkan pendangan dunia dari pengarang

yang mencerminkan pandangan duania kelompoknya. Pendapat dari Winarni

(2013:111) strukturalisme genetik adalah pendekatan di dalam penelitian sastra

yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistori

dan kasual. Pendekatan ini juga disebut pendekatan objektif karena penelitian

sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi,

artinya makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri

tanpa mengaitkan unsur yang ada diluar struktur signifikansinya. Genetik pada

karya sastra artinya asal-usul karya sastra yaitu faktor yang terkait dengan asal-

usul karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut

mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Keberadaan pengarang dalam

kehidupan masyarakat turut mempengaruhi karyanya.

Seperti yang diungkapkan oleh Faruk (2010: 12) bahwa karya sastra

merupakan sebuah karya yang terstruktur. Artinya, ia tidak berdiri sendiri,

melainkan banyak hal yang menyokongnya sehingga ia menjadi satu bangunan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

29

yang otonom. Akan tetapi, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan

antara teks sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan

mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Sebab, struktur itu

bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yang

terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan

dihayati oleh masyarakat asal teks sastra yang bersangkutan. Hal ini seperti yang

dikemukakan oleh Darmono (2001: 39) karya sastra disebut karya yang lengkap

jika memiliki makna totalitas yang memberikan lukisan yang lengkap dan padu

mengenai keseluruhan makna karya sastra tersebut. Endaswara (2011:60)

mengemukakan strukturalisme genetik merupakan embiro penelitian dari aspek

sosial kelas disebut sosiologi sastra, namun strukturalisme genetik tetap

mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar,

tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra. Jadi sekurang-kurangnya

penelitian strukturalisme genetik meliputi tiga hal: (1) aspek intrinsik karya

sastra, (2) latar belakang pencipta dan (3) latar belakang sosial budaya serta

sejarah masyarakat. Jadi strukturalisme genetik juga mengedepankan aspek

kesejarahan lahirnya karya sastra. Penelitian strukturalisme genetik, memandang

karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian

intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya

penelitian, akan menghubungkan berbagai unsur dengan realistas masyarakat.

Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek

sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting

dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya

sastra.

Strukturalisme genetik mencoba mengkaitkan antara teks sastra, penulis,

pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial. Ratna (2006:

122) mengatakan bahwa strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih

dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya.

Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna, di

mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih

luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

30

b. Unsur Strukturalisme GenetikGoldmann (1978: 156-171) berpendapat bahwa strukturalisme genetik

memiliki tiga unsur antara lain fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan

pandangan dunia sebagai berikut.

1) Fakta KemanusiaanMenurut Faruk (2010: 56) fakta kemanusiaan adalah segala hasil

aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha

dipahami oleh ilmu pengetahuan. Aktivitas atau perilaku manusia harus

menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu

berkumpul membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok

masyarakat, manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk beradabtasi dengan

lingkungan. Sejalan dengan Faruk, Ratna (2003:360) menyatakan dalam

masyarakat terkandung fakta-fakta yang tak terhitung jumlah dan

komposisinya. Fakta-fakta dalam pandangan sosiologi dengan sendirinya

dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat. Eksistensinya selalu

dipertimbangkan dalam antara hubungannya dengan fakta sosial yang lain,

menganggap bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam

proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus

saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan merupakan struktur

yang bermakna. Endraswara (2003: 55) mengemukakan semua aktivitas

manusia merupakan respons dari subjek kolektif atau individu dalam situasi

tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar

cocok dengan aspirasi, sehingga dalam hal ini manusia memiliki

kecenderungan untuk berperilaku alami karena harus menyesuaikan dengan

alam semesta dan lingkungannya. Oleh karenanya, fakta kemanusiaan dapat

bersifat individu atau sosial.

Hal ini sejalan dengan pandapat Damono (2001:43) bahwa untuk

menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial

maupun dalam kenyataannya yang konkret membutuhkan sutau metode yang

serentak bersifat sosiologis dan historis. Dengan fakta kemanusiaan dapat

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

31

diketahui bahwa sastra merupakan cermin dari pelbagai segi struktur sosial

maupun hubungan kekeluargaan.

2) Subjek KolektifSubjek kolektif merupakan bagian dari fakta kemanusiaan selain subjek

individual. Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai

subjek. Pengarang adalah subjek yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karenanya di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan. Karya

sastra diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian karya sastra lebih

merupakan duplikasi fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang.

Semua gagasan pengarang dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok

sosial. Oleh sebab itu pengkajian terhadap karya sastra tidak dapat dipisahkan

dengan pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh. Subjek kolektif

dari pendapat Iswanto (2001:60) bahwa penafsiran terhadap karya sastra yang

mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan sangat berbahaya,

karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-

cita, juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam

kultur sosial tertentu.

Menurut Faruk (2010: 56) subjek kolektif adalah kumpulan individu-

individu yang membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya. Transindividual

menampilkan pikiran-pikiran individu, tetapi dengan struktur mental

kelompok. Hal ini sejalan dengan Ratna (2011: 121) dikatakan bahwa subjek

transindividual adalah kumpulan individu-individu yang tidak berdiri sendiri-

sendiri, tetapi satu kesatuan dan satu kolektivitas. menspesifikasikannya

sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab baginya kelompok itulah

yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu

pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang

telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia. Subjek kolektif

merupakan subjek fakta sosial (historis), seperti revolusi sosial, politik,

ekonomi dan karya-karya kultural yang yang merupakan fakta historis.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

32

3) Konsep Pandangan DuniaMenurut Endraswara (2011:57) karya sastra sebagai struktur bermakna

itu akan mewakili pandangan dunia (Visium du monde) penulis, tidak sebagai

individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, dapat

dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang

menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui

pandangan dunia atau ideologi yang dieskpresikannya. Senada dengan

Endraswara, Faruk (2010: 57) menyatakan juga mengembangkan konsep

mengenai pandangan dunia yang dapat terwujud dalam karya sastra dan

filsafat. Menurutnya, struktur kategoris yang merupakan kompleks

menyeluruh gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang

menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota kelompok sosial

tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain disebut

pandangan dunia. Wardani (2009: 49) mengemukakan bahwa pandangan

dunia merupakan kesadaran kolektif atau kesadaran kelompok muncul

sebagai reaksi terhadap situasi ekonomi dan sosial tertentu yang

menimbulkan serangkaian aktivitas penciptaan karya sastra oleh pengarang,

pandangan dunia bersifat abstrak merupakan ekspresi teoretis kelompok

sosial tertentu atas kondisi sosial masyarakat. Pandangan dunia merupakan

kesadaran kelompok sosial yang sebagai perekat dan pengikat individu

secara bersama dalam kelompok dan memberi mereka identitas kolektif.

Pemahaman terhadap karya sastra adalah usaha memahami perpaduan unsur

intrinsik dan unsur ekstrinsik sehingga mampu membangun adanya

keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk atau

totalitas kemaknaan. Setiap karya sastra yang penting mempunyai struktur

kemaknaan Structure Significative, karena menurut Goldmann, struktur

kemaknaan itu merupakan struktur global yang bermakna dan mewakili

pandangan dunia (vision du monde, world vision). Seperti yang dikemukakan

oleh Winarni (2013:114) pandangan dunia ditampilkan pengarang lewat

problemic hero merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan

dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

33

merupakan suatu gagasan, aspirasi, perasaan yang mempersatukan suatu

kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia memperoleh bentuk konkret

di dalam karya sastra. Ratna (2011: 125) berpendapat bila pandangan dunia

bukan fakta, pandangan dunia memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan

ekspresi teoretis dan kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat

tertentu. Sesuai dengan pendapat Damono (2001: 44) pandangan dunia

merupakan permasalahan yang pokok dalam strukturalisme genetik.

Pandangan dunia ini diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu

pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya

dengan segala kerumitan dan keutuhannya.

Pada gilirannya pandangan dunia itulah yang menghubungkan karya

sastra dengan kehidupan masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan

sosial masyarakat turut mengkondisikan terciptanya karya sastra baik dari

segi isi atau segi bentuk dan strukturnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan

bahwa pandangan dunia itu sendiri oleh strukturalisme genetik dipandang

sebagai produk dari hubungan antara kelompok sosial yang memilikinya

dengan situasi sosial dan ekonomi pada saat tertentu Goldmann (dalam Faruk,

2010: 57). Oleh karena itu, sastra pada dasarnya juga merupakan kegiatan

kebudayaan atau peradaban dari setiap situasi, masa atau zaman saat sastra

itu dihasilkan. Dengan situasi inilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sastra

adalah pemapar unsur-unsur sosiokultural demi memberi pemahaman nilai-

nilai budaya dari setiap zaman atau perkembangan zaman itu sendiri.

Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural tidak bisa dipahami di luar

totalitas kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan itu;

seperti halnya kata tidak bisa dipahami di luar ujaran Damono (2001:43).

Jadi, pada dasarnya sastra juga mengandung nilai-nilai historis, sosiologis,

dan kultural.

Satoto (2012:176) menyatakan bahwa pandangan dunia ini disebut

sebagai suatu bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan

individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif.

Kesimpulan ini adalah pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris yang

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

34

langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi dan perasaan

yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat.

4. Hakikat Nilai PendidikanBerdasarkan pada hakikat nilai pendidikan di bawah ini dijelaskan tentang

pengertian nilai pendidikan dan nilai pendidikan dalam karya sastra dalah

sebagai berikut:

a. Pengertian Nilai PendidikanMenurut Sumantri (2007: 251) berpendapat bahwa nilai adalah sesuatu

yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia.

Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan

manusia, nilai tampak pada ciri individu dan masyarakat yang relatif stabil

karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya. Nilai bisa

dipertimbangkan sebagai hal yang lebih umum dalam karakter (tabiat)

ketimbang sikap, namun kurang umum jika dibandingkan dengan ideology.

Nilai-nilai dalam diri manusia bersifat kompleks, maka nilai-nilai itu bersifat

kait-mengait sehingga menjadi sistem nilai. Karya sastra yang baik adalah karya

sastra yang mempunyai bermacam-macam wawasan dan nilai pendidikan. Nilai

pendidikan tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan pembacanya, dengan

memahami rangkaian cerita baik secara eksplisit maupun implisit. Nilai dapat

diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan bermutu yang dapat menunjukkan

suatu kualitas sehingga dapat berguna bagi kehidupan manusia. Artinya, jika

nilai tersebut dihayati oleh seseorang, maka akan memengaruhi cara berpikir dan

cara bersikap orang tersebut dalam mencapai tujuan hidupnya, nilai dapat

diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Pendapat

dari Soelaeman (1998: 19) nilai dapat dikembangkan melalui pendidikan.

Pendidikan dialami seseorang sejak ia lahir hingga meninggal dunia. Pendidikan

dapat berupa pendidikan formal dan informal. Pendidikan bertujuan untuk

mencapai tujuan hidup manusia. Jadi, pendidikan merupakan suatu usaha

bersama dalam proses terpadu dan terorganisir untuk membantu manusia dalam

mengembangkan diri dan menyiapkan diri untuk mengambil peran dalam

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

35

kehidupan bermasyarakat. Melalui proses pendidikan pula manusia akan lebih

mudah menyadari dan memahami berbagai nilai serta menempatkannya sebagai

sesuatu yang penting dalam keseluruhan hidup mereka karena pendidikan

dialami oleh seseorang sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia.

Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani pedagogia yang berarti

pergaulan dengan anak-anak hal ini seperti yang dikemukakan oleh Mahfud

(2011: 32), dalam bahasa Romawi, pendidikan dikenal dengan istilah educate

yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam, sedangkan dalam

bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki

moral dan melatih intelektual. Suwarno (2006: 19) berpendapat bahwa tiga

pengertian pendidikan, yaitu: (a) pendidikan merupakan upaya nyata untuk

memfasilitasi individu lain, dalam mencapai kemandirian serta kematangan

mentalnya, sehingga dapat survive di dalam kompetisi kehidupannya; (b)

pendidikan adalah pengaruh bimbingan dan arahan dari orang dewasa kepada

orang lain, untuk menuju kearah kedewasaan, kemandirian serta kematangan

mentalnya; (c) pendidikan merupakan aktivitas untuk melayani orang lain dalam

mengeksplorasi segenap potensi dirinya sehingga terjadi proses perkembangan

kemanusiaannya agar mampu berkompetisi di dalam lingkup kehidupannya.

Hasbullah (2005: 5-6) berpendapat ada beberapa pengertian dasar pendidikan

yang perlu dipahami, yaitu: (a) pendidikan merupakan suatu proses terhadap

anak didik berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila;

(b) pendidikan merupakan perbuatan manusiawi, pendidikan lahir dari pergaulan

antarorang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu kesatuan hidup;

(c) pendidikan merupakan hubungan antarpribadi pendidik dan anak didik; (d)

tindakan atau perbuatan menddik menuntun anak didik mencapai tujuan-tujuan

tertentu, dan hal ini tampak pada perubahan-perubahan dalam diri anak didik.

Noor (2011: 63) menyatakan tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu

mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia

seutuhnya, yakni manusia yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi

pekerti luhur.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

36

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan merupakan

segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan seseorang melalui proses perubahan

pola pikir dan sikap untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Nilai

pendidikan pula merupakan segala sesuatu yang baik maupun buruk yang

berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan

sikap dan tata laku dalam upaya mendewasakan diri. Nilai-nilai pendidikan yang

tersirat dalam berbagai hal ini dapat mengembangkan masyarakat dalam

membentuk pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan

berbudaya.

b. Nilai Pendidikan dalam Karya SastraNilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal, di

antaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Sastra

sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian sebuah nilai

termasuk halnya nilai pendidikan. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa,

seorang dramawan tidak hanya mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita,

melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan

renungan tentang agama, filsafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang

masalah hidup dan kehidupan. Melalui sastra, pembaca dapat memperoleh

pengetahuan mengenai fenomena-fenomena kehidupan dari sudut pandang yang

berbeda. Karya sastra yang diciptakan pengarang merupakan sarana

penyampaian amanat kepada pembacanya. Melalui karyanya pengarang dapat

memengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk,

benar dan salah yang merupakan tata nilai kehidupan manusia. Setiap karya

sastra yang tercipta dengan kesungguhan akan mengandung relevansi yang kuat

terhadap kehidupan. Semi (1993: 20) mengemukakan bahwa nilai didik dalam

karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagian

masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi

pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolong

mengambil suatu keputusan apabila menghadapi masalah.

Dari aspek gubahan, sastra disusun dalam bentuk, yang apik dan menarik

sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat, dan

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

37

menikmatinya. Sementari dari aspek isi, karya sastra kental dengan kandungan

manfaat, dimana salah satunya terdapat nilai-nilai pendidikan moral yang

berguna untuk menanamkan pendidikan karakter. Karya sastra memiliki nilai-

nilai yang dapat bermanfaat bagi pembaca. Menurut Kosasih (2012: 3) bahwa

karya-karya sastra, baik itu yang berbentuk puisi, prosa, maupun drama, tidak

lepas dari nilai-nilai budaya, sosial, ataupun moral. Mardiatmaja (1986: 55)

membagi nilai menjadi empat, yaitu nilai kultural, nilai kesosialan, nilai

kesusilaan, dan nilai keagamaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan

(1993: 195-196) yang menyatakan bahwa nilai-nilai dalam suatu karya dapat

berupa: (1) nilai hedonik (bila nilai dapat memberikan kesenangan secara

langsung kepada kita; (2) nilai artistik (bila suatu karya dapat memanifestasikan

suatu seni atau keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya; (3) nilai

kultural (bila suatu karya mengandung suatu hubungan yang mendalam dengan

suatu masyarakat atau suatu peradaban, kebudayaan; (4) nilai etis, moral,

religius (bila dari suatu karya terpancar ajaran-ajaran yang ada sangkut-pautnya

dengan etika, moral, agama; (5) nilai praktis (bila suatu karya sastra mengandung

hal-hal praktis yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Karya

sastra dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.

Naskah drama merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak

mengandung nilai-nilai kehidupan yang berisi amanat atau nasihat. Dalam

naskah drama, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal

positif yang mampu mendidik manusia, sampai manusia dapat mencapai hidup

yang lebih baik. Adapun nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah

drama menurut pendapat tokoh-tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai

pendidikan dalam karya sastra (dalam hal ini drama) di antaranya berhubungan

dengan moral, agama (religius), budaya, dan sosial dapat diuraikan sebagai

berikut.

1) Nilai Pendidikan AgamaNurgiyantoro (2007: 326) menyatakan kehadiran unsur religi atau

keagamaan dalam karya sastra adalah setara dengan keberadaan sastra itu

sendiri, bahkan sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Hal ini

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

38

sependapat dengan Semi (1993: 22) bahwa agama merupakan dorongan

penciptaan sebuah karya sastra. Sebagai sumber ilham dan sekaligus sering

membuat sastra atau karya sastra bermuara kepada agama. Agama merupakan

kunci sejarah, kita baru dapat memahami jiwa suatu masyarakat bila kita

memahami agamanya. Nilai religius akan menanamkan sikap pada manusia

untuk tunduk dan taat kepada Tuhan atau dalam keseharian kita kenal dengan

takwa. Penanaman nilai religius yang tinggi mampu menumbuhkan sikap

sabar, tidak sombong, dan tidak angkuh kepada sesama. Manusia menjadi

saling mencintai dan menghormati sehingga mampu mewujudkan hidup yang

harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, maupun

makhluk lain. Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia

lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Suwondo

(1994: 63) berpendapat bahwa religius merupakan keterkaitan antara manusia

dengan Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan. Manusia

religius berarti memiliki keterikatan dengan Tuhan baik jasmani maupun

rohani secara sadar. Hal ini berbeda dengan Koentjaraningrat (1992: 267)

yang mengungkapkan bahwa karya sastra, khususnya drama seringkali

disamakan dengan upacara keagamaan. Namun, cerita yang dimainkan yaitu

cerita-cerita tentang dewa dari kitab-kitab maupun mitos-mitos. Drama-

drama tersebut dianggap dapat menimbulkan suasana keramat. Namun,

kepercayaan seperti itu hanya berkembang di daerah yang masih kental unsur

mistisnya.

Nilai-nilai religius yang terkandung dalam sebuah karya sastra

dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan

batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Dari beberapa

pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai religius merupakan

nilai kerohanian tertinggi dan mutlak yang bersumber kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Seorang pengarang tidak dapat terlepas dari nilai-nilai dan norma-

norma yang bersumber dari ajaran agama yang ada dalam kehidupan. Setiap

karya yang diciptakan akan memuat unsur religi yang tersurat maupun

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

39

tersirat. Nilai-nilai religi tersebut dapat dimanfaatkan oleh penikmat karya

sastra untuk mempertebal keimanan.

2) Nilai Pendidikan Moral dan KarakterMenurut Hasbullah (2005: 194) nilai moral merupakan kemampuan

seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Nilai moral yang

terkandung dalam karya sastra bertujuan mendidik manusia agar mengenal

nilai-nilai etika. Nilai moral merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa

yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu

tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan

bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Seperti

halnya dengan pendapat Zuriah (2007: 12) bahwa moral adalah sesuatu yang

restrictive, artinya bukan sekadar sesuatu yang deskriptif tentang sesuatu

yang baik, melainkan juga sesuatu yang mengarahkan kelakuan dan pikiran

seseorang untuk berbuat baik. Moral mengimplikasikan adanya disiplin.

Pelaksanaan moral yang tidak berdisiplin sama artinya dengan tidak

bermoral. Secara umum, moral merujuk pada karakter, akhlak, budi pekerti,

sikap, dan sebagainya. Nilai moral juga terkandung dalam karya sastra. Hal

ini seperti yang diungk19apkan Natasa Pantic dalam penelitiannya yang

berjudul Moral Education Through Literature. Ia mengatakan bahwa

pendidikan moral dapat dilakukan melalui karya sastra. Dalam penelitiannya

tersebut, ia juga mengungkapkan timbulnya perdebatan di era pasca-

strukturalis yang terjadi sampai abad ke-20 saat ini mengenai kelayakan sastra

sebagai sumber pengajaran moral. Nurgiyantoro (2007: 321) mengungkapkan

bahwa moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup

pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran,

dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam

cerita, menurut Kenny biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang

berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat

diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.

Karya sastra dapat dipahami sebagai alat didik yang baik bagi masyarakat.

Pengarang sebisa mungkin dapat menghadirkan nilai etika dalam karya

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

40

sastranya sampai menimbulkan efek yang positif bagi pembaca. Nilai etika

atau moral dalam karya sastra bertujuan mendidik manusia agar mengenal

nilai-nilai etika dan budi pekerti. Mujianto (1988: 133) menyatakan bahwa

sastra berangkat dari iktikad baik, tidak sunyi dari untaian hikmah di antara

seru derunya konflik atau peristiwa cerita. Keberadaan nilai moral/etika

dalam karya sastra adalah bentuk nasihat yang diberikan kepada

pengarangnya secara tidak langsung. Pengarang mencoba memberikan

bentuk tersendiri untuk membingkai segala sesuatu yang ingin disampaikan.

Penyampaiannya dapat berupa kritikan yang ada dalam dialog tokoh-tokoh,

kadang hanya sepintas lalu menyebutkan sepatah dua patah kata ditengah

narasi tetapi tidak jarang nilai pendidikan etika terselubung di seluruh

permukaan cerita. Dalam hal ini, pembaca harus memahami keseluruhan

cerita untuk dapat menemukan hikmah dalam karya sastra. Noor (2011: 25)

berpendapat bahwa sastra seharusnya menjadi alat untuk membantu

mengarahkan manusia pada tataran yang bermakna sehingga mampu saling

mengingatkan agar tidak masuk dalam jurang kebobrokan moral.

Karya sastra fiksi biasanya menyuguhkan pesan moral yang

berhubungan dengan sifat kemanusiaan, serta memperjuangkan hak dan

martabat manusia. Melalui sikap dan tingkah laku para tokoh, pembaca

diharapkan mampu mengambil hikmah dan pesan-pesan moral yang

diamanatkan. Pemahaman terhadap nilai moral yang berkandung dalam karya

sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika yang

baik dan buruk. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa nilai moral

merupakan nilai yang berhubungan dengan sopan santun dan tingkah laku

individu di dalam suatu kelompok tertentu yang mencerminkan etika dan budi

pekerti.

3) Nilai SosialNilai sosial berhubungan dengan masyarakat atau sistem sosial.

Menurut Kosasih (2012: 3) nilai-nilai sosial berkaitan dengan tata laku

hubungan antara sesama manusia (kemasyarakatan). Tata nilai sosial tertentu

akan mengungkapkan sesuatu hal yang bisa direnungkan. Dari karya sastra

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

41

dengan ekspresi pengungkapan nilai sosial pada akhirnya dapat dijadikan

cermin atau contoh bagi pembacanya. Nilai kesosialan merupakan nilai yang

berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Nilai sosial merupakan sikap-

sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan

dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting. Nilai sosial

mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk

mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran,

keindahan, dan nilai ketuhanan. Nilai sosial mencakup pengembangan

manusia dalam hidup bersama agar kasih sayang, kepercayaan, pengakuan,

perlindungan, maupun penghargaan dalam hidup terpenuhi. Salah satu tujuan

pendidikan sosial adalah membentuk manusia yang mempunyai kesadaran

sosial. Kesadaran terhadap nilai-nilai sosial akan membawa manusia pada

kesadarannya bahwa dalam hidup manusia tidak dapat lepas dari bantuan

manusia lain.

Karya sastra berkaitan erat dengan nilai sosial. Semi (1993: 55)

mengatakan bahwa kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam

masyarakat, termasuk di dalamnya adalah sistem kekerabatan, ekonomi,

politik, pendidikan, kepercayaan, dan hal-hal lain yang terdapat dalam

masyarakat. Karya sastra merupakan karya imajinatif yang bersumber dari

realitas sosial dalam masyarakat. Karya sastra juga merupakan hasil cipta,

rasa, dan karsa manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Membaca

karya sastra berarti membaca realitas sosial yang terjadi di dalamnya. Dengan

demikian, nilai sosial dalam sastra menjadikan pembaca sadar akan

pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu

satu dengan individu lain.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa nilai sosial

merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, dalam hubungannya

antarindividu dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut biasanya

dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan ditujukan untuk kepentingan

kemanusiaan. Karya sastra juga mengungkapkan nilai sosial. Banyak

membaca karya sastra dapat meningkatkan kepekaan perasaan pembaca

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

42

terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan serta pembaca lebih menghayati

kehidupan sosialnya sehingga menciptakan kecintaanya terhadap keadilan

dan kebenaran. Nilai sosial dalam naskah drama akan lebih dapat dirasakan

setelah naskah tersebut dipentaskan, walaupun dengan membacanya pembaca

telah dapat menangkap maknanya.

4) Nilai BudayaNilai-nilai budaya berkaitan dengan pemikiran, kebiasaan, dan hasil

karya cipta manusia, hal ini sesuai dengan pendapat Kosasih (2012: 3). Kata

budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk

jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang

berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris kebudayaan

disebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau

mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture

juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Nilai

budaya (cultural velue) merupakan nilai yang dapat memberikan atau

mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban,

atau kebudayaan. Sesuai dengan pendapat Sutardjo (2010: 12) dalam

kebudayaan terdapat gagasan-gagasan, cara berpikir, ide-ide, yang

menghasilkan norma-norma, adat-istiadat, hukum, dan kebiasaan yang

merupakan pedoman bagi tingkah laku dalam masyarakat. Masyarakat dalam

hidupnya memiliki peradaban sendiri-sendiri sesuai dengan lingkup daerah

yang mereka tinggali. Nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh

karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat

intersubjektif karena ditumbuhkembangkan secara individual, namun

dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat sehingga

menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan. Oleh

karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman

tertinggi bagi kelakuan manusia. Dari budaya tersebut masyarakat terikat

dengan aturan maupun tatanan yang telah dibuat oleh pendahulu-

pendahulunya. Sistem nilai budaya merupakan konsep yang hidup dalam

alam pikiran (sebagian) masyarakat. Sistem nilai budaya tidak hanya

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

43

berfungsi sebagai pedoman, tetapi sebagai pendorong tingkah laku manusia

dalam hidup.

5. Pengajaran Apresiasi Drama di SekolahSemakin memprihatikannya dunia pendidikan karena kemunduran mental

dan moral para generasi muda. Hal ini menjadi perhatian khalayak cendekiawan

dan para pemerhati dunia pendidikan. Wibowo (2013: 10) menyatakan

mengatasi degradasi moral anak bangsa, saat ini pemerintah dan rakyat

Indonesia tengah gencar mengimplementasikan pendidikan karakter di institusi

pendidikan, mulai dari tingkat dini (PAUD), sekolah dasar (SD/MI), sekolah

menengah (SMA/MA), hingga perguruan tinggi. Melalui pendidikan karakter

yang diimplementasikan dalam institusi pendidikan, diharapkan krisis degradasi

moral karakter atau moralitas anak bangsa ini bisa segera diatasi. Hal ini sesuai

dengan pendapat Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 27) apresiasi naskah drama

merupakan suatu kegiatan atau proses yang melibatkan tiga unsur inti, yaitu (1)

aspek kognitif, (2) aspek emotif, (3) aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan

dengan keterlibatan penalaran (logika) pembaca dalam memahami unsur-unsur

kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif

tersebut berhubungan dengan unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik naskah

drama. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam

upaya menghayati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam naskah drama.

Unsur emosi berperan penting dalam memahami unsur subjektif dalam naskah

drama. Unsur subjektif tersebut misalnya bahasa yang digunakan dalam dialog

antar tokoh yang mengandung makna konotatif dan multiinterpretatif.

Hidayatullah (2009: 59) menyatakan semua komponen pendidikan

terutama pendidik harus memiliki komitmen tinggi dalam melaksanakan

tugasnya. Tanpa komitmen yang kuat, suatu tujuan tidak akan tercapai secara

optimal, bahkan dapat menuai kegagalan. Semua pihak dan komponen bangsa

harus ikut terlibat menyingsingkan lengan baju membangun karakter bangsa

yang kuat dan khas. Semua potensi bangsa haruslah bersatu padu untuk

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

44

melakukan sebuah gerakan dan tindakan dalam upaya membangun karakter

bangsa.

Kesimpulan dari solusi yang diuraikan atas tidak serta merta secara instan

mengatasi masalah yang ada. Pada kenyataannya walaupun pengajaran sastra

telah diimplementasikan di sekolah tetapi degradasi moral justru terus

memburuk. Para ahli mengemukakan masalah utama pada kasus ini bukan pada

pembelajaran sastra yang telah ada dan diimplementasikan di sekolah,

melainkan proses pembelajaran sastra yang telah dilaksanakan tidak berjalan

dengan baik dan tidak dilaksanakan dengan baik oleh guru. Banyak faktor yang

mengikuti permasalahan tersebut antara lain karena kurangnya penguasaan

pengajaran sastra oleh guru, guru tidak kreatif, guru tidak mempunyai

pengalaman dalam pembelajaran sastra.

6. Kesesuaian Naskah Drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo

sebagai Alternatif Materi Pembelajaran Apresiasi Drama pada Siswa SMPKelas IX

Naskah Sandiwara Langite Wis Padhang digunakan sebagai alternatif bahan

pembelajaran bahasa Jawa khususnya ilmu sastra, agar peserta didik dapat

mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam naskah tersebut dan

diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini relevansi

atau hubungan adalah hubungan antara kemanfaatan penggunaan. Moedjiono dan

Dimyati (1992: 1) mengemukakan tujuh komponen dalam pembelajaran. Adapun

yang disebut sebagai komponen tersebut antara lain:

a. Guru, adalah pihak yang bertindak sebagai pengelola kegiatan belajar-mengajar,

sebagai mediator antara siswa dan materi, dan peranan lain yang memungkinkan

terjadinya suatu kegiatan belajar-mengajar yang efektif.

b. Siswa adalah pihak yang bertindak sebagai penerima, pencari, dan penyimpan

materi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

c. Tujuan, adalah pernyataan tentang perubahan tingkah laku yang diinginkan

terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Perubahan

tingkah laku ini mencakup perubahan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

45

d. Materi pelajaran, merupakan segala bentuk informasi yang diperlukan untuk

mencapai tujuan.

e. Metode, yakni cara yang digunakan untuk memberi kesempatan pada siswa

untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuan.

f. Media, yakni alat atau bahan yang digunakan untuk menyampaikan materi atau

informasi pada siswa.

g. Evaluasi, adalah suatu cara yang digunakan untuk menilai proses dan hasil

belajar siswa.

Menurut Zuchdi dan Budiasih (2001: 88–92) nilai-nilai yang terkandung

dalam pembelajaran sastra bagi anak antara lain:

1) Memahami dunia lewat sastra

Lewat karya sastra anak-anak dapat mempelajari dan memaknai dunia mereka.

Misalnya, dengan membaca karya sastra yang melukiskan seorang anak yang

sering menolong sehingga disayangi oleh gurunya dan juga teman-temannya.

Anak-anak akan mengerti bahwa mereka pun harus bersifat seperti tokoh cerita

tersebut. Karya sastra juga dapat membangkitkan keingintahuan anak-anak.

Setelah membaca, anak-anak sering ingin belajar lebih banyak, sehingga mereka

akan mencari bahan-bahan yang serupa. Mereka mungkin mencoba menulis

cerita berdasarkan cerita yang telah mereka baca.

2) Membentuk sikap positif

Di samping mempelajari dunia mereka, sangatlah penting bagi anak-anak

mengembangkan berbagai sikap-sikap positif. Mereka perlu mengembangkan

kesadaran akan harga diri dan melihat dirinya sebagai pribadi yang memiliki

kemampuan, berhak memperoleh perhatian dan kasih sayang.

Syafi’i (1993: 68–69) mengutarakan konsep-konsep dalam pembelajaran

apresiasi drama, sebagai berikut.

a) Pembelajaran drama bukan merupakan pembentukan penguasaan pengetahuan

mengenai drama, melainkan pembinaan peningkatan apresiasi drama.

b) Pembelajaran mengapresiasi dilakukan dengan memberikan kesempatan

sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk terlibat secara langsung dalam

kegiatan mengapresiasi dan mengaktualisasikan drama.

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

46

c) Guru hanya berperan sebagai motivator agar siswa dapat menemukan sendiri

manfaat dan keasyikan membaca teks drama.

d) Pembelajaran apresiasi drama harus terhindar dari proses yang bersifat mekanis,

melainkan harus menekankan pada pemerolehan pengalaman batin dalam diri

siswa yang dapat diperoleh dari kegiatan membaca teks drama dan menyaksikan

pertunjukkan drama sehingga proses tersebut dapat meningkatkan kualitas batin

siswa.

Dengan mengetahui manfaat penggunaan teks sastra dalam pembelajaran

sastra bagi anak, maka seorang guru harus secara sadar menggunakan teks sastra

dalam materi pembelajarannya. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa

pembelajaran apresiasi sastra merupakan sebuah usaha sadar yang dilakukan oleh

guru kepada siswa yang menggunakan teks sastra sebagai salah satu materi

pembelajarannya. Pembelajaran apresiasi sastra merupakan bagian dari

pembelajaran bahasa. Pada hakikatnya, pembelajaran sastra adalah membawa siswa

ke arah pengalaman sastra. Moedjiono dan Dimyati (1992: 8) menjelaskan ranah

tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar secara umum dapat diklasifikasikan

menjadi tiga, yaitu: (1) kawasan kemampuan kognitif yang mencakup:

pengetahuan, pemahaman, analisis, sintesis, dan evaluasi; (2) kawasan kemampuan

afektif yang terdiri dari: menerima, responding, menaruh penghargaan,

mengorganisasikan sistem nilai, dan mengadakan karakterisasi nilai; (3) kawasan

kemampuan psikomotorik yang mencakup: persepsi, kesiapan, respons terpimpin,

mekanisme (penggunaan kemampuan), dan respons yang kompleks (penggunaan

kemampuan berdasarkan pengalaman). Agar para remaja dapat mengambil

palajaran yang terkandung dari sebuah teks sastra dan tidak menutup kemungkinan

mereka dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya, hendaknya para remaja

khususnya remaja usia sekolah mendapat suatu pembelajaran mengenai apresiasi

sastra dari bangku sekolah. Akan tetapi, pembelajaran sastra pada saat ini telah

menjadi sebuah pembelajaran yang bermasalah. Masalah tersebut tidak lain pada

hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan masih bersifat teoretis dan verbalitas.

Masih banyak guru yang hanya memberikan para siswanya dengan berbagai macam

teori sastra semata. Akibatnya, pengajaran sastra menjadi suatu kegiatan belajar-

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

47

mengajar yang membosankan. Apalagi genre sastra drama dinilai memiliki

pemahaman yang sulit, sehingga minat siswa dalam mempelajarinya sangat rendah.

Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah bertujuan agar siswa menikmati dan

memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi

pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu

juga agar siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah

budaya dan intelektual manusia Indonesia. Termasuk juga agar siswa memperoleh

pengetahuan tentang sastra dengan berbagai teori dan nama pengarang, judul, dan

angkatan-angkatannya.

Guru sastra hendaknya mampu untuk memilih bahan ajar atau meteri yang

diminati oleh anak didiknya dan juga sesuai dengan usianya sehingga guru dapat

menyajikan sebuah teks sastra yang sesuai dengan perkembangan pemikiran anak

didik sehingga dalam proses pembelajaran anak didik tidak terlalu dipaksa untuk

berpikir jauh lebih dari jangkauan pemikirannya. Salah satu prinsip penting dalam

pengajaran sastra adalah pemilihan bahan ajar yang disesuaikan dengan

kemampuan siswanya pada suatu tahapan pengajaran sesuai dengan pendapat

(Rahmanto, 1988: 26–27). Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan seorang

guru dalam memilih bahan ajar yang tepat, yaitu: pertama, dari sudut bahasa; kedua,

dari segi kematangan jiwa (psikologi); ketiga, dari segi latar kebudayaan anak didik.

Pengajaran drama juga meliputi apresiasi terhadap naskah drama maupun

pementasan drama. Di tingkat sekolah menengah, guru harus mampu memilihkan

materi serta contoh-contoh yang sesuai. Misalnya, berkaitan dengan durasi drama

serta konten drama tersebut. Penyesuaian tersebut dilakukan agar dapat membantu

perkembangan psikologis siswa kearah yang lebih baik. Selama ini banyak guru

yang hanya mementingkan aspek kognitif sehingga terlalu banyak mengajarkan

teori daripada praktik, seperti apresiasi dan pementasan drama. Kesulitan dalam

pembelajaran drama yang ditulis oleh dramawan-dramawan popular biasanya sukar

dimengerti siswa tingkat sekolah menengah. Oleh karena itu dalam buku-buku

pegangan siswa, drama-drama hanya disajikan berupa cuplikan pendek. Hal ini

seperti yang diungkapan oleh Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 14-15) bahwa

pembelajaran apresiasi drama diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: (1)

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

48

gaya penyajian dalam naskah drama, dan (2) unsur inti dalam apresiasi naskah

drama. Mempelajari naskah drama dan pentas drama merupakan dua hal yang

berbeda. Dalam mempelajari naskah drama, struktur naskah lebih ditekankan,

sedangkan dalam pentas drama pemain harus benar-benar menguasai karakter

tokoh dan dapat berekspresi secara tepat. Melalui pementasan yang dilihat maupun

diperankan sendiri oleh siswa, dapat memberikan manfaat berupa pengembangan

kepribadian serta peningkatan pengetahuan mengenai keterampilan berbahasa.

Penelitian dengan objek naskah drama ini dilakukan agar dapat memberikan

kontribusi positif terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Naskah Langite Wis

Padhang merupakan salah satu naskah yang diduga sangat relevan terhadap siswa

SMP. Oleh karena itu, dengan pendekatan strukturalisme genetik dan nilai

pendidikan, diharapkan dapat mengupas secara utuh struktur serta nilai edukatif

yang terdapat di dalamnya. Isi cerita yang kental dengan nilai moral dianggap sesuai

dengan kurikulum pembelajaran bahasa Jawa di SMP.

7. Penelitian yang RelevanSuatu penelitian pada dasarnya beranjak dari awal tetapi pada umumnya telah

ada penelitian yang mendasari dari segi titik tolak untuk mengadakan penelitian

lebih lanjut. Hal ini dilakukan dengan maksud menghindari duplikasi, disamping

itu menunjukan bahwa topik yang telah diteliti oleh peneliti lain dalam konteks

yang sama. Penelitian yang relevan tentang analisis strukturalisme genetik dan nilai

pendidikan tentang analisis strukturalisme genetik dan nilai pendidikan pada novel

Tesis dari Giyanto pada tahun 2010, mahasiswa Pascasarsajana Jurusan Pendidikan

Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas

Maret (2010) dengan Judul, “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar,

Mantra Penjinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Sebuah Tinjauan Strukturalisme

Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil yang

menunjukan adanya analisis strukturalisme genetik yang meliputi pandangan dunia

pengarang , struktur teks novel, struktur budaya masyarakat dalam Novel Pasar,

Mantra Penjinak Ular, dan Wasripin dan Satinah. Hal ini sejalan dengan penelitian

ini karena sama-sama menggunakan metode strukturalisme genetik namun yang

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

49

membedakan adalah mengkaji novel dan naskah drama. Penelitian yang lain yaitu

Tesis dari Herlan Kurniawan pada tahun 2011 dari Program Studi Pendidikan

Bahasa Indonesia, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (2011) dengan judul

“Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan yang didasarkan pada

Budaya Jawa dalam Novel Senopati Pamungkas Karya Arswendo Atmowiloto”.

Dari penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukkan analisis strukturalisme

genetik antara lain struktur novel, pandangan pengarang terhadap terciptanya novel

ini, dan struktur sosial yang ada dalam novel tersebut dan dalam analisis nilai

pendidikan antara lain nilai budaya, nilai religius, nilai sosial dalam novel namun

yang membedakan dalam penelitian ini adalah kajiannya menggunakan novel dan

tidak adanya relevansinya terhadap pembelajaran di sekolah.

Kedua adalah Disertasi dari Sutardi pada tahun 2014 dari Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret

(2014) dengan judul “Kajian Strukturalisme Genetik, Gender dan Nilai Pendidikan

Trilogi Novel Gadis Tangsi Karya Suparta Brata”. Dari penelitian tersebut adanya

analisis strukturalisme genetik yang meliputi pandangan dunia, struktur teks,

struktur sosial, kesetaraan gender dan nilai pendidikan. Hal ini sejalan dengan

dengan penelitian ini karena menggunakan metode strukturalisme genetik serta

diperkuat dengan analisis nilai pendidikan namun yang membedakan dari penelitian

ini adalah kajiannya karena dalam Desertasi tersebut mengkaji novel dan dalam

penelitian ini mengkaji naskah drama.

Pada penelitian yang lain ada pada Tesis dari Suliyanto pada tahun 2009 dari

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia (2009) dengan judul “Cerita Rakyat di Kabupaten Wonogiri (Kajian

Struktural dan Nilai Pendidikan)”. Dari penelitian tersebut mendeskripsikan cerita

rakyat yang ada di kabupaten Wonogiri dan menganalisis struktur dari cerita rakyat

tersebut antara lain tema, alur, penokohan, setting, amanat dll. Serta menganalisis

nilai pendidikan terdapat nilai religius, nilai sosial, nilai pendidikan karakter dalam

cerita rakyat tersebut hal ini sejalan dengan penelitian yang saya lakukan karena

karena menganalisis struktural dalam cerita dan nilai pendidikan namun yang

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

50

membedakan dalam penelitian ini adalah obyek kajiannya yaitu tentang cerita

rakyat dan tidak menganalisis dengan strukturalisme genetik.

Selanjutnya adalah penelitian oleh Budi Waluyo dari Pascasarjana Jurusan

Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Sebelas Maret (2010) dengan judul “Strukturalisme Genetik Drama Panembahan

Reso Karya W.S Rendra”. Dari penelitian strukturalisme genetik tersebut diperoleh

pandangan dunia Rendra pada naskah drama Panembahan Reso, struktur dramatik

dan konflik naskah drama Panembahan Reso, latar belakang sosial budaya yang

melandasi drama Panembahan Reso, kemudian keterkaitan anatara drama

Panembahan Reso karya Rendra dengan drama Langite Wis Padhang karya Budi

Waluyo. Hal ini sejalan dengan penelitian karena sama-sama menggunakan metode

strukturalisme genetik namun objek kajiannya berbeda dan tidak ada nilai

pendidikannya.

Penelitian yang relevan selanjutnya dari skripsi dari Niken Yunindar

Kuncoroningrum dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (2012) dengan Judul “Naskah

Drama Kapai-Kapai Karya Arifin C. Noer (Tinjauan Struktural, Nilai Edukatif, dan

Relevansinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Drama di SMA)”. Dari penelitian

ini adanya nilai edukatif pada naskah drama Kapai-Kapai, nilai edukatif meliputi

nilai religius, nilai moral, nilai budaya dan nilai sosial keterkaitan penelitian ini

adalah sama-sama mengkaji nilai pendidikan yang terdapat pada naskah drama

serta adanya relevansinya terhadap pembelajaran di sekolah namun yang

membedakan dari penelitian ini adalah hanya menggunakan tinjauan struktural.

Penelitian yang lainnya dari jurnal internasional oleh Nugraheni Eko

Wardani, Herman J Waluyo dan Sutardi tahun 2013 dari Pascasarjana Universitas

Negeri Sebelas Maret, jurnal dari International Interdisciplinary Research Journal

Volume3 issue 5 halaman 482-498, dengan judul “The Study of Genetic

Structuralism, Gender, and Values of Education in Trilogy Novel Gadis Tangsi by

Suparto Brata”. Dari jurnal tersebut menganalisis trilogi novel Suparta Brata dari

penelitian pandangan dunia pengarang Suparto Brata merupakan humanisme sosial,

struktur teks untuk mencerminkan masalah berkurang dari pemahaman masyarakat

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

51

Jawa terhadap budaya Jawa, struktur sosial yang ada di trilogi Novel Gadis Tangsi

adalah struktur sosial dari masyarakat priyayi dari istana dan wong cilik (rakyat

biasa) yang tinggal di barak Belanda dan masyarakat pedesaan, kesetaraan gender

ditandai dengan tidak adanya keadilan gender, yaitu, marginalisasi, subordinasi,

stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang berlebihan antara pria dan wanita, dan

nilai-nilai pendidikan yang ditandai oleh bentuk, pada nilai-nilai pendidikan dalam

keutamaan pendidikan perempuan, etos kerja, pendidikan moral dan, karakter luhur

masyarakat Jawa. Sehingga terdapat persamaan yaitu strukturalisme genetik dan

nilai pendidikan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, hanya yang

membedakan adalah dalam jurnal internasional tersebut adalah mengkaji novel dan

penelitian yang dikaji oleh penulis adalah naskah drama. Jurnal yang meneliti

tentang novel dengan strukturalisme genetik adalah jurnal dari Yuliana Puspitasari,

Hat Pujiati, Irana Astutiningsih pada tahun 2012 dari English Departement Faculty

of Letters, Jember University dengan judul “Negotiating Modernity, Resisting

Tradition: Genetic Structuralism Analysis On Buchi Emecheta's The Bride Price”

jurnal ini menganalisis tentang sebuah novel yang ditulis oleh Buchi Emecheta dari

Nigeria pada tahun 1976. Novel ini berfokus pada persepsi oposisi biner antara yang

modern dan tradisional atau cara berpikir yang modern dan yang tradisional dari

suatu suku di dalam masyarakat. Dan digambarkan novel berjudul hearts the bride

harga. Pikiran yang modern karakter utama perempuan dan laki laki pada dibahas

penelitian inisial. Pertama, pemikiran-pemikiran yang modern dan tradisional,

kedua adalah struktur novel dan pandangan pengarang dan yang ketiga adalah

struktur sosial yang seperti apa yang muncul pada kelas sosial masyarakat Nigeria.

artikel ini dimulai dengan novel analisis dan menggunakan teori strukturalisme

genetik menganalisis pandangan pengarang dan struktur sosial masyarakat Nigeria.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis karena menggunakan

analisis strukturalisme genetik dengan teori Goldman Lucien. Jurnal internasional

yang lain adalah Sanusi Ibrahim dari Department of English College of Education

tahun 2012 dengan judul Structuralism as a Literary Theory: An Overviewvolume

1 nomer 1 halaman 124-131, pada jurnal ini berisi tentang teori-teori strukturalisme

dan cara menganalisis karya sastra dengan strukturalisme jurnal ini ada

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

52

persamaannya dengan penelitian saya yaitu cara menganalisis dengan teori

strukturalisme genetik yaitu dengan teori dari Ratna yang di dalamnya ada konsep

pandangan dunia, struktur sosial, subjek kolektif hal ini terdapat persamaan karena

dalam penelitian yang dilakukan juga mengacu pada teori-teori strukturalisme

genetik. Jurnal internasional yang memuat tentang nilai-nilai pendidikan dari

Laurie Brady dari University of Technology, Sydney dengan judul Teacher Values

and Relationship: Factors in Values Education pada tahun 2011. Jurnal volume 2

nomer 36 halaman 56-66 ini berisi tentang nilai-nilai pendidikan sebagai

pembentuk karakter siswa yaitu nilai sosial, nilai religius, nilai moral dan nilai

budaya. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam membentuk karakter siswa.

Contohnya adalah dengan nilai sosial siswa dapat mengerti akan pentingnya tolong

menolong terhadap sesama teman. Nilai religius yaitu siswa dapat lebih

mendekatkan diri dengan Tuhan-nya dan menjadikan siswa jauh dari perbuatan

yang tercela. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dalam

penelitian ini juga menganalisis nilai pendidikan dalam naskah drama. Selanjutnya

Jurnal internasional yang hubungannya dengan nilai pendidikan moral dengan

drama adalah karangan Marie Gervais dari University of Alberta, Canada dengan

judul “Exploring Moral Values with Young Adolescents Through Process Drama”

pada tahun 2006 volume 7 nomer 2 halaman 1-34 jurnal ini berisi nilai-nilai moral

dalam bermain drama pada anak SMP dengan bermain drama moral anak akan

tercipta yaitu rasa hormat, rasa kepedulian terhadap sesama manusia dan rasa tolong

menolong antar manusia hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan karena

penelitian ini menggunakan nilai moral dalam naskah drama dan mengkaji nilai

moral yang terdapat dalam naskah drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo.

Berdasarkan pada penelitian yang relevan di atas, perbedaan penelitian ini

dengan penelitian yang telah dikaji. Serta mengacu pada jurnal internasional yang

sebelumnya terlihat pada aspek yang dikaji dan yang ditekankan. Penelitian ini

mengkaji strukturalisme genetik dan nilai pendidikan dalam naskah drama Langite

Wis Padang karya Budi Waluyo dalam penelitian ini penulis menggunakan tinjauan

strukturalisme genetik melalui pendeskripsian unsur-unsur yang terkandung dalam

naskah drama serta menganalisis nilai pendidikan yang dapat diterapkan dalam

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

53

kehidupan masyarakat, serta relevansinya terhadap pembelajaran apresiasi drama

di SMP kelas IX. Selain itu, hal ini juga dapat memberikan inovasi baru kepada

guru saat memberikan materi tentang drama, sehingga siswa dapat mengerti dan

tertarik mempelajari sebuah karya sastra.

B. Kerangka BerpikirKarya sastra adalah suatu cara mengungkapkan gagasan, ide, dan pemikiran

dengan gambaran-gambaran pengalaman. Karya sastra merupakan hasil kegiatan

kreatif, imajinatif, dan artistik. Sebagai kegiatan yang imajinatif, sastra

menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialami pengarang kepada penikmat

karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra merupakan suatu sarana untuk

mengungkapkan nilai-nilai yang dianggap lebih tinggi serta menafsirkan makna dan

hakikat hidup. Telah diketahui bahwa kehidupan masyarakat sesuatu yang sangat

kompleks. Kekompleksan tersebut diakibatkan oleh hubungan antara manusia

dengan manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam sekitarnya,

dan manusia dengan Tuhan-nya. Hubungan-hubungan tersebut menimbulkan

konflik yang menyebabkan kepincangan dan penyelewengan dalam kehidupan.

Drama sebagai salah satu genre sastra adalah tiruan dari kehidupan manusia yang

ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan.

Karya sastra memberi kesenangan dan faedah bagi masyarakat, khususnya

bagi masyarakat penikmatnya. Nilai-nilai yang terdapat di dalamnya sangat

bermanfaat untuk diteladani. Pengarang menciptakan karya sastra agar dapat

memberikan manfaat kepada penikmatnya. Dalam penelitian ini, naskah drama

Langite Wis Padhang merupakan objek yang dipilih sebagai bahan kajian. Selain

menelaah strukturalisme genetik dan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah

drama tersebut, penelitian ini juga bertujuan untuk menunjukkan penggunaan

naskah drama sebagai bahan ajar dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Jawa.

Jika digambarkan, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini ialah sebagai

berikut.

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K4211059_bab2.pdf · ... grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan

54

Naskah Drama “Langite Wis Padhang Karya Budi Waluyo”

Analisis Struktural

1. Tema2. Penokohan3. Alur4. Setting5. Dialog6. Petunjuk

Teknis7. Amanat

Nilai-NilaiPendidikan

1. Nilai Moraldan Karakter

2. Nilai Religi3. Nilai Sosial4. Nilai Estetika

Simpulan

Relevansinya dengan PelajaranBahasa Jawa di SMP Kelas IX

Semester Genap

Strukturalisme Genetik1. fakta

kemanusiaan,2. subjek kolektif,3. pandangan dunia,

Gambar 1. Model Analisis Struktural, Strukturalisme Genetik dan Nilai

Pendidikan dalam Naskah Drama Langite Wis Padhang