BAB I Pendahuluan A. Latar...

47
1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Studi ini ingin menunjukkan tentang fenomena tingginya perilaku tidak memilih (yang diistilahkan sebagai Golput) dalam pemilihan kepala daerah Sumatera Utara di Kota Medan pada tahun 2013 yang lalu. Beberapa tahun setelah melaksanakan pemilihan legislatif dan presiden secara langsung masyarakat kembali disuguhkan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) dimana pengalaman dari pemilihan sebelumnya dapat menjadi referensi masyarakat dalam menentukan pilihannya saat ini. Namun dari beberapa Pilkada langsung yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, besarnya angka golput terlihat semakin meningkat dan bagi sebagian kalangan memang cukup mengherankan serta menimbulkan kekhawatiran tentang pilkada langsung yang tingkat kedekatan antara calon kepala daerah dengan konstituennya justru menghasilkan angka golput yang semakin tinggi. Hal ini penting untuk ditelaah lebih dalam sehingga penulis ingin mencermati golput sebagai fenomena yang menarik untuk dikaji dengan beragam perspektifnya mengingat masih adanya pro dan kontra serta kekhawatiran dari beberapa pihak yang menganggap bahwa golput telah memberikan dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai perbuatan yang haram di dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini. Secara historis, fenomena tidak ikut memilih atau golput ternyata tidak monolitik karena setiap orang yang golput ternyata memiliki justifikasinya sendiri, dimana terdapat beragam argumentasi yang menyebabkan orang menjadi golput. Beberapa motivasi pokok diantaranya dapat dilihat sejak pemilu yang pertama kali diadakan di Indonesia pada tahun 1955. Dinamika

Transcript of BAB I Pendahuluan A. Latar...

Page 1: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Studi ini ingin menunjukkan tentang fenomena tingginya perilaku tidak memilih (yang

diistilahkan sebagai Golput) dalam pemilihan kepala daerah Sumatera Utara di Kota Medan pada

tahun 2013 yang lalu. Beberapa tahun setelah melaksanakan pemilihan legislatif dan presiden

secara langsung masyarakat kembali disuguhkan dengan pemilihan kepala daerah secara

langsung (Pilkada Langsung) dimana pengalaman dari pemilihan sebelumnya dapat menjadi

referensi masyarakat dalam menentukan pilihannya saat ini. Namun dari beberapa Pilkada

langsung yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, besarnya angka golput terlihat semakin

meningkat dan bagi sebagian kalangan memang cukup mengherankan serta menimbulkan

kekhawatiran tentang pilkada langsung yang tingkat kedekatan antara calon kepala daerah

dengan konstituennya justru menghasilkan angka golput yang semakin tinggi. Hal ini penting

untuk ditelaah lebih dalam sehingga penulis ingin mencermati golput sebagai fenomena yang

menarik untuk dikaji dengan beragam perspektifnya mengingat masih adanya pro dan kontra

serta kekhawatiran dari beberapa pihak yang menganggap bahwa golput telah memberikan

dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasik annya sebagai

perbuatan yang haram di dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini.

Secara historis, fenomena tidak ikut memilih atau golput ternyata tidak monolitik karena

setiap orang yang golput ternyata memiliki justifikasinya sendiri, dimana terdapat beragam

argumentasi yang menyebabkan orang menjadi golput. Beberapa motivasi pokok diantaranya

dapat dilihat sejak pemilu yang pertama kali diadakan di Indonesia pada tahun 1955. Dinamika

Page 2: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

2

politik saat itu cenderung mengarah pada terjadinya saling intimidasi antara kaum unitaris

dengan kaum federalis yang telah menyeret masyarakat pada suasana yang cukup dilematis,

sehingga timbullah pemikiran dan keputusan yang berpandangan bahwa lebih baik untuk tidak

memilih daripada harus menjadi korban intim idasi dari lawan politik partai yang dipilih. Hal

tersebut juga didukung adanya faktor dari ketidaktahuan sebagian masyarakat tentang pemilu

pada saat itu.1 Namun istilah Golput sepertinya baru pertama kali muncul sebagai sebuah

gerakan pada saat menjelang pemilu 1971. Istilah ini sengaja dicetuskan o leh Arief Budiman2

yang memproklamasikan Golput pada tanggal 3 juni 1971 di Balai Budaya Jakarta sebagai

bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI yang sepenuhnya memberikan

dukungan politis terhadap Golkar. Hal ini terjadi karena arogansi ya ng dilakukan oleh rezim orde

baru pada saat itu yang melakukan pemaksaan maupun ancaman pada seluruh jajaran aparatur

pemerintahan termasuk keluarganya untuk sepenuhnya memberikan pilihan dan dukungan pada

Golkar. Pada saat itu, Arief Budiman menghimbau dan mengajak masyarakat untuk Golput

dengan cara mendatangi TPS untuk melakukan pencoblosan suarat suara. Namun ketika

melakukan pencoblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik melainkan

pada bagian yang berwarna putih agar suara menjadi tidak sah. Menurut arbi Sanit,3 Golput lebih

merupakan gerakan kultural sebagai upaya untuk menegakkan suatu tradisi/kultur cara

bermasyarakat yang sehat.

Melihat dari konteks P ilkada langsung, penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji lebih

dalam ketika melihat fenomena yang terjadi di Kota Medan pada Pilkada Sumatera Utara 2013

yang lalu, hasil rekapitulasi dari KPUD Kota Medan menyatakan bahwa dari 2.121.551 pemilih

1 Wahid, Abdurrahman. 2009. Mengapa Kami Memilih Golput. Jakarta: Sagon. Hlm.98

2 Ibid. Hlm. 99

3 Arbi Sanit. 1992. Aneka Pandangan Fenomena Politik Golput, Yogyakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Page 3: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

3

terdaftar, hanya 36,62% saja yang memberikan hak pilihnya pada Pilkada Sumatera U tara Tahun

2013.

Tabel 1.1

Perolehan Suara Pasangan Calon Kandidat Kepala Daerah Sumatera Utara 2013 di

Kota Medan.

No. Nama Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Perolehan Suara

1. H. Gus Irawan Pasaribu,SE.Ak, MM – Ir.H.Soekirman 177.082

2. Drs. Efendi MS. Simbolon – Drs. H.Jum iran Abdi 193.241

3. Dr.H.Chairuman Harahap,SH,MH – H.Fadly Nurzal,S.Ag 45.905

4. Drs.H.Amri Tambunan – Dr.R.E.Nainggolan,MM 61.962

5. H.Gatot Pujo Nugroho,ST – Ir.H.Tengku Erry Nuradi,MSi 279.156

Jumlah Suara Sah 757.346

Jumlah Suara Tidak Sah 19.574

Jumlah Suara Sah + Tidak Sah 776.920 (36,62 %)

Jumlah Golput 1.344.631 (63,38 %)

Dari lima pasangan calon yang ikut dalam proses kontestasi politik, yang memperoleh

jumlah suara sah terbanyak adalah pasangan GanTeng (nomor urut lima) yaitu: H.Gatot Pujo

Nugroho,ST dan Ir.H.Tengku Erry Nuradi,M.Si dengan perolehan suara: 279.156 suara sah.

Namun khusus di Kota Medan yang menjadi pemenang di sisi yang lain adalah Golput yang

berjumlah 63,38% 4 sehingga menarik untuk dikaji lebih jauh. Di sinilah kita perlu melihat

4 Rekapitulasi KPU Kota Medan,

Page 4: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

4

bahwa pandangan masyarakat kota Medan terhadap partisipasi politik perlu dikaji lebih lanjut

karena sikap dan perilaku masyarakat pasti sangat erat hubungannya dan tidak bisa terlepas

dengan kepentingan dari masyarakat itu sendiri. (Lihat Tabel 1.1) .Pasangan Gatot Pujo Nugroho-

T. Erry Nuradi tampil sebagai pemenang dan dipastikan hanya dalam satu putaran meski hanya

mendapat 1.604.337 suara. Jumlah suara sebanyak ini apabila dibagi dengan warga yang

terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih tetap) sebanyak 10.310.872 orangsebenarnya pasangan ini

hanya meraih 15,56 persen atau tidak sampai 30 persen.Fenomena golput yang terjadi di Medan

dengan jumlah yang fantastis ini menjadi awal berpikir dari penulis bahwa ada sesuatu hal yang

belum bisa dijelaskan oleh peneliti-peneliti yang telah menulis tentang perilaku pemilih di Kota

Medan sebelum nya. Kebanyakan intisari dan kesimpulan dari tulisan tentang golput s elama ini

memiliki kecenderungananalisis dan penggolongan dari sisi yang negatif bagi orang yang golput

tersebut.

Penelitian ini mengambil posisi dengan asumsi awal bahwa belum tentu golput

merupakan kesalahan sepihak dari pelaku golputnya saja. Fenomena ini juga tentu menimbulkan

polemik berkaitan dengan legitimasi yang ada dalam sistem Pemilihan Kepala daerah secara

langsung di Indonesia tentang legitimasi seorang pemenang pilkada.5 Hal ini berdasar pada

legitimasi yang diatur dalam perundang-undangan mengenai pilkada langsung yang

pemenangnya ditentukan dengan memperoleh dukungan berupa suara terbanyak atau cukup

memperoleh 30 persen plus satu dari jumlah suara sah.6 Oleh sebab itu, pasangan calon kandidat

yang terpilih memang sah secara konstitusi namun sebenarnya memiliki kelemahan secara

legitimasi moral terhadap masyarakat dan konstituennya karena hanya dipilih berdasarkan suara

5 Joko. J.Prihatmoko 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi Sistem dan Problema Penerapan di

Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal.102 6 Tinjau Pasal 95 dalam PP No.6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian

Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah.

Page 5: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

5

terbanyak dari jumlah suara sah dimana dalam konteks Pemilihan Gubernur Sumatera Utara di

Medan tahun 2013 jum lah orang yang menggunakan hak suaranya hanya 36,62% saja.

Tabel 1.2

Perolehan Angka GolputPilkada di Beberapa Provinsi Indonesia 5 Tahun Terakhir

No. Pilkada Tahun

Pemilihan

Jumlah Partisipasi Jumlah Golput

1. Provinsi Kalimantan

Tengah

2010 1.295.709 (61,05%) 504.679 (38,95%)

2. Provinsi Jawa Timur 2008 17.014.266 (60,8%) 6.669.592 (39,2%)

3. Provinsi Banten 2011 6.210.550 (60,20%) 2.471.798 (39,8%)

4. Provinsi Jawa Tengah 2013 14.007.042 (54,75%) 6.336.785 (45,24%)

5. Provinsi Sumatera

Utara

2013 5.001.430 (48,5%) 5.309.442 (51,5%)

Dari Tabel tersebut, dapat dilihat bahwa angka perolehan Golput yang terjadi pada

Pilkada Sumatera Utara 2013 yang lalu merupakan perolehan angka Golput ter tinggi apabila

dibandingkan dengan Golput yang terjadi di beberapa Pilkada di daerah -daerah lainnya di

Indonesia disusul dengan Pilkada Provinsi Jawa Tengah di urutan kedua yang memperoleh angka

Golput yang tinggi .(Lihat Tabel 1.2)7

7 Sumber: Diolah dari data KPU Provinsi di Indonesia.

Page 6: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

6

Tabel 1.3

Perolehan Angka Golput Pilkada Sumatera Utara 2013 di Tiap Kecamatan Kota Medan

No. Kecamatan DPT Jumlah Partisipasi Jumlah Golput

1. Medan Amplas 122.366 42.021 (34,34%) 80.345 (65,66%)

2. Medan Kota 102.022 33.352 (32,69%) 68.670 (67,30%)

3. Medan Area 109.301 43.903 (40,16%) 65.398 (59,84%)

4. Medan Denai 156.234 52.707 (33,73%) 103.527 (66,27%)

5. Medan Tuntungan 78.281 29.110 (37,18%) 49.171 (62,82%)

6. Medan Polonia 50.663 18.797 (37,08%) 31.866 (62,92%)

7. Medan Maimun 51.911 17.822 (34,33%) 34.089 (65,67%)

8. Medan Johor 120.885 44.604 (36,89%) 76.281 (63,11%)

9. Medan Selayang 76.770 33.887 (44,14%) 42.883 (55,86%)

10. Medan Baru 45.507 14.486 (31,83%) 31.021 (68,17%)

11. Medan Sunggal 113.732 39.789 (34,98%) 73.943 (65,02%)

12. Medan Helvetia 143.258 52.374 (36,56%) 90.884 (63,44%)

13. Medan Petisah 76.354 26.448 (34,63%) 49.906 (65,37%)

14. Medan Barat 82.630 31.938 (38,65%) 50.692 (61,35%)

15. Medan Timur 108.137 45.477 (42,05%) 62.660 (57,95%)

16. Medan Perjuangan 110.326 40.216 (36,45%) 70.110 (63,55%)

17. Medan Tembung 138.537 47.656 (34,40%) 90.881 (65,60%)

18. Medan Deli 137.323 51.921 (37,81%) 85.402 (62,19%)

19. Medan Labuhan 96.293 38.102 (39,57%) 58.191 (60,43%)

Page 7: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

7

20. Medan Marelan 98.772 39.454 (39,94%) 59.318 (60,06%)

21. Medan Belawan 86.665 30.529 (35,22%) 56.136 (64,78%)

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa rekapitulasi perolehan Golput di Kota

Medan dalam tiap-tiap kecamatan ternyata sangat tinggi dan hampir merata secara keseluruhan.

Namun diantara keseluruhan Kecamatan yang terdapat di Kota Medan, Kecamatan Medan Baru

merupakan Kecamatan yang memperoleh angka Golput tertinggi yakni sebesar 68,17% . Hal

inilah yang kemudian menjadikan Kecamatan Medan Baru menjadi objek penelitian yang dipilih

sebagai representasi untuk menjelaskan dinamika politik di Kota Medan secara

keseluruhan.(Lihat Tabel 1.3)8

Dalam semangat penyelenggaraan Pilkada, seorang kepala daerah memang diharuskan

memiliki legitimasi yang kuat, karena dengan demikian kepala daerah terpilih itu memiliki

keabsahan dari segi moral dan etika dalam melaksanakan kebijakannya di hadapan rakyatnya.9

Logikanya seharusnya memang demikian karena mereka adalah representasi dari masyarakat

daerahnya yang harus berjuang mensejahterakan rakyat yang telah memberikan mandat kepada

meraka untuk memimpin. Namun ketika rakyat yang telah memberikan legitimasi kepada kepala

daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih ini mengalami akumulasi kekecewaan, maka

mereka diharapkan akan lebih peka dan responsif terhadap keinginan rakyat. Sebab apabila janji

yang diberikan kepada konstituen pada saat kampanye tidak dipenuhi, maka itu akan menjadi

hutang yang akan ditagihkan ketika pemilihan pada periode yang selanjutnya. Namun realita

yang terjadi saat ini adalah sangat sedikit Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih yang

memiliki legitimasi kuat karena sistem penetapan calon terpilih termasuk ringan. Hal ini dapat

8 Rekapitulasi KPU Kota Medan

9 Pamungkas, Sigit.2009. Perihal Pemilu. Jogjakarta: JIP-Fisipol-UGM, Hlm.5

Page 8: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

8

dilihat dengan peraturan yang menetapkan pasangan calon yang berkontestasi rata-rata di atas

dua pasangan kepala daerah, penentuan kemenangan pasangan kandidat diraih dengan cukup

memperoleh suara terbesar (first pass the post). Bukan suatu kebetulan jika kemudian pejabat

lama (incumbent) lebih banyak diuntungkan dengan memenangi kom petisi pilkada dibandingkan

penantang (challenger). Peraturan penetapan kemenangan pasangan calon kandidat ini dapat

dibaca pada Pasal 107 UU Nomor 12 Tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut;

Pasal 107 UU No.12 Tahun 2008:

(1) Pasangan calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara

lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan

calon terpilih.

(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuh i, pasangan

calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari

30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan

suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Logika legitimasi moral etika inilah yang ingin dihubungkan dengan kuantitas partisipasi

dalam pilkada yang ingin direbut oleh para kandidat untuk melegalkan posisinya baik dari aspek

hukum legal formal maupun dari e tika-moral sebagai pejabat publik yang telah menjadi

representasi dari masyarakat khususnya dalam konteks menjadi kepala daerah. Dengan demikian,

bagi mereka, meningkatnya angka golput umumnya dipandang mengurangi derajat legitimasi

pemerintahan yang terbentuk. Ini mengisyaratkan bahwa akal sehatnya telah terseret oleh

penalaran para kandidat, yang selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan suara sebanyak-

banyaknya. Mereka secara tidak sadar, telah terhegemoni para kontestan yang sebenarnya secara

Page 9: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

9

diam-diam telah mengusung faham angka golput sering dilihat berbanding terbalik dengan

derajat legitimasi. Semakin tinggi angka golput maka semakin rendah derajat legitimasi

pemerintahan. Sebaliknya, semakin rendah angka golput semakin tinggi pulalah tingkat

legitimasi pemerintahan dan institusi-institusi politik dalam demokrasi. Pada titik inilah

keterkaitan antara perolehan suara dengan basis legitimasi politik menjadi penting dan relevan

untuk ditelaah tepatnya dari sisi moral dan etika politik.

Sekali lagi secara konteks legal-formal, saat ini memang tidak ada kaitan dari berapapun

jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, maka hasil pemilu tetaplah legal. Namun,

apabila melihat golput yang terjadi di kota Medan dalam konteks pilkada Sumatera Utara 2013

lalu, Ada kalanya terjadi peristiwa seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles,10

tentang

partisipasi politik bahwa warganegara membutuhkan keutamaan moral dan keutamaan

intelektual dalam hidup bersama. Hal ini tentu juga dapat membantu manusia dan warga negara

untuk mencapai kebaikan bersama. Sehingga cara yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan itu

adalah warga negara yang harus diberi pendidikan dan pelatihan sebagai warga negara yang baik

sedini mungkin. Oleh karenanya, menjadi pertimbangan bahwa secara etis, golput dapat menjadi

pembelajaran politik yang bagus apabila diniatkan kepada para kontestan dan partai politik

bahwa mereka tidak sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat yang diwakilinya.

Tentu saja banyak yang berpandangan dengan ikut memberikan hak suara di TPS

(Tempat Pemungutan Suara) adalah syarat bagi seseorang untuk disebut pro demokrasi dan

mengagungkan bahwa demokrasi adalah sebuah tujuan. Namun hal ini tentu bisa menjadi

perdebatan karena tidak sepenuhnya benar juga mengingat demokrasi yang dijalankan didalam

10

Aristoteles, 2004. Politik (diterjemahkan dari Buku Politics, Oxford University Press), Yogyakarta, Bentang

Budaya. Hal. 3

Page 10: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

10

sistem pemerintahan itu merupakan sebuah proses. P roses demokrasi inilah yang sepertinya

dianut di Indonesia karena dianggap dapat memberikan kontribusi didalam kehidupan bernegara

khususnya Indonesia sehingga yang menjadi tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan

masyarakat yang sejahtera, berdaulat, adil dan makmur. Oleh sebab itu yang menjadi fokus

seharusnya adalah bagaimana mewujudkan tujuan tersebut sehingga semua pihak tentunya harus

siap menerima segala konsekuensi dari proses demokrasi yang dipilih untuk dianut, termasuk

Golput yang merupakan konsekuensi dari demokrasi tersebut.

Pengalaman empiris masyarakat te lah sedemikian rupa menjadi penyebab

terakumulasinya kekecewaan terhadap ingkarnya elit politik akan janjinya di masa lalu dan oleh

sebab itu saat ini memunculkan fenomena baru dengan semakin rasionalnya para pemilih yang

dalam kajian ini akan mendeskripsikan masyarakat kota Medan yang tidak menggunakan hak

pilihnya pada Pilkada Sumatera Utara 2013. Kajian ini penting dilakukan untuk mengimbangi

popularitas pandangan yang mendudukkan praktek golput cenderung negatif sebagai tindakan

pengecut, dan dianggap telah menciderai demokrasi. Banyak pihak yang percaya dan menyetujui

bahwa Golput juga dianggap merupakan sikap apatis terhadap pembangunan demokrasi dan oleh

sebab itu harus diberantas dan d ilawan secara bersama-sama. Tulisan ini mencoba

menyeimbangkan pandangan bahwa tidak semua orang yang tidak menggunakan hak pilihnya

secara sadar di dalam pemilu dapat digeneralisasi seperti itu.

Pilkada langsung juga biasa dipahami sebagai proses untuk me njunjung tinggi nilai-nilai

demokrasi dengan menjamin kehendak rakyat dapat diwujudkan dalam sebuah pola kekuasaan

tanpa menggunakan kekerasan. Dalam hal ini Golput adalah cerminan dari bentuk pemahaman

dalam berdemokrasi sebagai bentuk pengelolaan konflik melalui cara yang tidak menggunakan

Page 11: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

11

kekerasan dengan memperlihatkan bentuk protes dengan cara tidak menggunakan hak pilih

secara sadar. Di sisi lain, pemilu juga diharapkan dapat menghasilkan pemimpin pemerintahan

yang secara procedural legitimate. Salah satu pandangan seperti ini dikemukakan oleh Prof.

Wiwieq,11

yang menyatakan bahwa sangat sulit bagi masyarakat saat ini untuk menghindari

kesan bahwa elite politik hanya menjadikan rakyat sebagai komoditas politik dan alat untuk

memberikan legitimasi dalam perebutan kekuasaan. Fakta yang memperlihatkan tentang pemilu

presiden dan wakil presiden serta pilkada langsung cenderung menghasilkan pemimpin yang

tidak merakyat atau hanya sebatas menjadi penguasa-penguasa saja. Hal yang membingungkan

juga ketika penyelenggara negara memang berganti, tetapi paradigma kerakyatannya ternyata

tidak banyak berubah, rakyat hanya berperan sebagai objek demokrasi dan bukan menjadi subjek

dari demokrasi itu sendiri dan hal ini tentu saja bertentangan dengan roh perjuangan gerak an

reformasi yang demokratis.

Dari beberapa argumen tersebut, maka golput merupakan sebuah realitas politik yang

harus diakui dalam praktik demokrasi di Indonesia. Meski sejatinya golput adalah fenomena

alamiah, namun demikian keberadaannya kerap kali dianggap mengganggu sehingga perlu

dibatasi jumlahnya. Disinilah penulis ingin menunjukkan bahwa ada hal lain yang menyebabkan

orang beramai-ramai golput dan itu merupakan ekspresi mereka sehingga perlu dihargai sebagai

bagian dari proses demokrasi. Angka golput yang tinggi tersebut menyadarkan kita bahwa rakyat

adalah pemegang kedaulatan sehingga pemimpin dalam menjalankan pemerintahan haruslah

mendapat legitimasi dari yang dipimpin. Alasan penulis memilih kota Medan sebagai

representasi dari Pilkada Sumatera Utara selain dari angka golput yang fantastis juga menimbang

bahwa Medan merupakan Ibukota provinsi dan struktur masyarakat yang ada di Medan adalah

11

http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=88815#.UuGapr23Gt8, di unduh pada tanggal 23 Januari 2014;

10.35 WIB.

Page 12: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

12

heterogen sehingga kemajemukan tersebut dapat menjadi sebuah keniscayaan yang lebih adil dan

representatif dalam menganalisis fenomena Golput yang terjadi di Sumatera Utara. Penelitian ini

mengambil posisi dengan mengusung paham bahwa ketika orang memutuskan untuk tidak

memberikan hak pilihnya, maka sebenarnya sejalan dengan harapan perpektif dari proses

berdemokrasi, oleh sebab itu perlu pembuktian yang empiris untuk meyakinkan hal tersebut

terkait dengan perilaku tidak memilih yang semakin menguat.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini digerakkan oleh keingian untuk memahami tentang perilaku tidak memilih

(Golput) di Kota Medan. Maka pertanyaan yang diajukan adalah: Mengapa Golput bisa sangat

tinggi di Kota Medan pada Pilkada Sumatera Utara 2013 yang lalu?

Dan untuk menjawab rumusan masalah tersebut, dituturkan dalam prosesnya dengan

menjelaskan melalui pertanyaan turunan: “Bagaimana Golput dapat dijelaskan dan dipahami dari

perspektif perilaku memilih sebagai konsekuensi dari tidak terakomodasinya kepentingan

masyarakat di Kota Medan?”

C. Tujuan Penelitian

Kajian penelitian ini penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk mencari tahu secara

lebih mendalam tentang faktor-faktor yang menjadi alasan kuat bagi masyarakat di Kota Medan

ketika memilih Golput sebagai pilihan ekspresi politiknya, sehingga diharapkan dapat

memberikan gambaran tentang golput tersebut serta implikasinya terhadap kehidupan berbangsa

dan bernegara. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah kajian yang menarik karena

menganalisis permasalahan Golput dari perspektif pilihan yang tentu saja bukan pilihan yang

tanpa sadar namun menggunakan pertimbangan yang argumentatif.

Page 13: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

13

D. Literature Review

Berkaitan dengan kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya, telah banyak dilakukan

analisis dan pembedahan terhadap kasus Golput ini. Akan tetapi dalam kenyataannya persoalan

mengenai golput tentu tidak serta merta turut langsung selesai. Hal tersebut juga merupakan

salah satu ciri ilmu sosial yang sangat dinamis karena terus berkembang seiring dengan

perjalanan masa ke masa. Dari berbagai literature perilaku pemilih khususnya tentang teori-teori

perilaku pemilih yang dibangun berdasarkan realitas politik negara -negara barat, perilaku Golput

ini umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam

pemilu/pilkada karena tidak adanya motivasi.

Adapun penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan dalam penulisan tesis ini

adalah tesis yang ditulis oleh Muhammad Asfar12

pada tahun 1998 yang meneliti tentang

Perilaku Non Voting di bawah sistem politik hegemonik yang secara umum bertujuan untuk

menggambarkan latar belakang sosial ekonomi dan karakteristik psikologi nonvoters sekaligus

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mereka untuk golput. Penelitian ini

dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan kenaikan suara golput, terutama di wilayah

perkotaan. Di samping itu, secara teoritik, nonvoters di Indonesia menunjukkan karakteristik

menarik, seperti berpendidikan tinggi, berasal dari kelas mapan, dan sebagainya.

Beberapa permasalahan yang dikaji yaitu tentang bagaimana latar belakang sosial

ekonomi nonvoters seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan, aktivitas organisasi, dan

semacamnya dan faktor apa saja yang mempengaruhinya. Dan untuk menjawab pertanyaan itu,

peneliti mewawancarai enam nonvoter di Surabaya sebagai responden. Tiga orang aktivis partai

12

Muhammad Asfar, 1998. Perilaku Non Voting di Bawah Sistem Politik Hegemonik. (Tesis) Program Pascasarjana

Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Page 14: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

14

politik (PPP, Golkar, dan PDI) dan tiga orang lagi aktivis organisasi sosial dan kemahasiswaan.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa; pertama, para nonvoter mempunyai karakteristik sosial

ekonomi sebagai berikut: sebagian besar berpendidikan yang memadai, pekerjaannya juga

bervariasi. Kedua, faktor-faktor latar belakang sosial ekonomi, karakteristik kepribadian, dan

pengalaman sosial, persepsi dan evaluasi terhadap sistem politik. Selain itu, Pengalam an

terhadap pemilu orde baru dan kepercayaan politik dari nonvoter mempengaruhi atau

berhubungan dengan perilaku tidak memilih mereka. Ketiga, perilaku nonvoter sebagai bentuk

protes terhadap sistem politik hegemonik daripada sebagai manifestasi tidak adanya motivasi

untuk memilih.

Penelitian tentang nonvoter yang lain juga telah dilakukan oleh Robi Cahyadi

Kurniawan13

yang meneliti tentang Perilaku tidak memilih (Golput) dalam Pilgub Lampung

tahun 2008 dengan studi kasus di Kecamatan Kedaton dan Tanjung Karang Timur Kota Bandar

Lampung) dimana dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif yang

memberikan kesimpulan bahwa alasan bagi masyarakat etnis tionghoa di lampung tidak memilih

adalah masih adanya perilaku rasis yang membedakan keberadaan mereka dengan warga asli

atau pendatang lain. Perilaku partition (pemisahan) ini mereka rasakan dalam hal sulitnya

pengurusan surat izin atau kegiatan bisnis lain. Selalu ada biaya tambahan untuk kegiatan bisnis

yang mereka lakukan, setiap proyek yang dikerjakan dan setiap kegiatan ekonomi lain. Tindakan

ini mereka lakukan karena lebih beralasan untuk bertahan hidup dan mencoba untuk tidak

menyakiti pihak manapun. Kurangnya respon dari pemerintah, maraknya korupsi dan tindakan

rasisme yang masih ada hanya sebagai faktor pendukung lain dari putusan politik yang diambil.

13

Robi Cahyadi Kurniawan, 2009. Perilaku Tidak Memilih (GOLPUT) Dalam Pilgub lampung 2008 (Studi di

Kecamatan Kedaton dan Tanjung Karang Timur Kota Bandar Lampung). (Tesis) Program Pascasarjana Studi Ilmu

Politik Universitas Gadjah Mada.

Page 15: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

15

Hasil penelitian ini juga mengkaji tentang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang golput

sebagai tindakan yang merupakan sikap yang dilakukan sebagai fungsi protes. Fungsi protes ini

dilakukan sebagai upaya untuk meluapkan trauma politik yang terjadi akibat peristiwa atau

kegiatan dalam tata pemerintahan yang mereka alami pada era orde baru. Trauma politik yang

dimanifestasikan dengan tidak memilih yang terjadi pada PNS ini terjadi karena beberapa hal,

Pertama, secara sosiologis yang dipengaruhi oleh status pekerjaan mereka yang memb uat status

sosial pilihan politik mereka menjadi terbatas. Untuk menghindari perdebatan dalam lingkup

pekerjaan, mereka memilih untuk golput. Di lain pihak, ada juga yang berupaya untuk melebur

dengan partai penguasa lokal dan memihak pada salah satu calon tertentu, namun pilihan mereka

di balik bilik suara menjadi berbeda. Tindakan ini dilakukan untuk menjaga hubungan baik

dengan pihak lain terlebih dengan atasan di tempat kerja. Kedua, alasan psikologis; ikatan

emosional yang terjalin dengan banyak calon atau ikatan berdasarkan hubungan kekeluargaan

menjadikan tindakan untuk tidak memilih menjadi sebuah pilihan. Dalam pola hubungan

kekeluargaan di Lampung, keeratan hubungan kekeluargaan antara satu keluarga dengan

keluarga lain diikat oleh adat yang sangat kuat. Dari ketujuh pasangan calon gubernur dan wakil

gubernur pada pilgub 2008 yang lalu, sebagian besar direpresentasikan oleh etnis Lampung

sebagai warga pribumi.14

Berdasarkan literatur-literatur yang sudah dipaparkan diatas, ada kesamaan yang ingin

dicapai dalam penelitian ini yakni memetakan faktor-faktor yang menjadi alasan warga

Kecamatan Medan Baru akhirnyamemutuskan untuk golput.Kajian ini penting untuk dilakukan

melihat semakin tingginya perolehan Golput pada Pilkada yang dilakukan di Indonesia dalam

beberapa tahun terakhir sehingga penting untuk mencari tahu secara mendalam tentang penyebab

14

Ibid, Hlm. 98

Page 16: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

16

hal itu bisa terjadi dengan analisis yang tetap memiliki relasi tentang argumentasi alasan-alasan

golput tersebut.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan bertujuan untuk menjelaskan dan menghubungkan

konsep-konsep kunci penelitian dalam menemukan permasalahan penelitian, sehingga

diharapkan dapat memudahkan peneliti dalam menemukan data dan menarasikan hasil temuan

secara argumentatif. Menggunakan teori dalam penelitian juga berguna untuk membantu

menjelaskan fokus penelitian agar dapat memberikan jawaban yang tepat berdasarkan rumusan

masalah dan tujuan penelitian yang diajukan. Untuk mengkerangkai dan menganalisis penelitian

tentang perilaku Golput ini, maka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori

Perilaku Memilih, Rational Choice Theory (Teori Pilihan Rasional), pendekatan Sosiologis dan

pendekatan psikologis.

E.1. Perilaku Pemilih

Teori perilaku pemilih menurunkan pemahaman konsep bahwa ketika seseorang

memutuskan untuk tidak memilih, maka itu juga adalah sebuah pilihan. Oleh sebab itu, Teori ini

juga dapat dipakai dalam menaganalisis Golput itu sendiri yang tentunya sangat berkaitan

dengan sikap dan motivasi dalam menentukan pilihan. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa sikap

merupakan ungkapan perasaan dari seseorang tentang suatu objek apakah disukai atau tidak,

Sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan seseorang terhadap berbagai atribut dan manfaat

dari objek tersebut terhadap situasi yang sedang atau yang pernah dirasakan.

Page 17: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

17

Motivasi biasanyaakan muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat

yang diberi hak untuk memilih. Namun di sisi yang lain, kebutuhan sendiri muncul karena

masyarakat merasakan ketidaknyamanan antara yang seharusnya dirasakan dengan yang

sesungguhnya dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan yang harus dipenuhi

tersebutlahyang pada akhirnya akan mendorong seseoranguntuk melakukan tindakan memenuhi

kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang kemudian akan berorientasi pada kepentingan pribadi

maupun kolektif. Mereka melihat bahwa sebabnya adalah apa yang diperjuangkan kandidat atau

partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan perorangan maupun kelom pok secara

langsung, walaupun mungkin hal tersebut menyangkut kepentingan umum yang lebih luas.

Sebab para kandidat yang terpilih biasanya menggunakan logika -logikanya sendiri dalam

mengambil berbagai keputusan politik, dan dalam banyak hal dan situasi, mereka berada jauh di

luar jangkauan para pemilih. Dalam konteks pilkada, para pemilih yang mempunyai pemikiran,

pengalaman dan pemahaman tentang politik seperti itu akan merasakan keterasingan secara aktif

sehingga akan cenderung menarik diri dari percaturan politik langsung, karena tidak

berhubungan dengan kepentingannya dan menganggap pemerintah tidak mempunyai pengaruh

yang signifikan terhadap kehidupan seseorang.

Fenomena perilaku maupun sikap juga mengemukakan bahwa sikap seseorang terhadap

suatu objek akan mempengaruhi perilaku atau tindakannya terhadap lembaga tersebut dimana

dalam hal ini terhadap pemerintah, kandidat, dan partai politik yang mengusung para calon

kandidat. Model sikap multiatribut inilah yang menjelaskan bahwa sikap dan perilaku memilih

terhadap suatu objek sikap (kandidat dan partai politik) sangat ditentukan oleh sikap pemilih

terhadap berbagai indikator yang dievaluasi. Bentuk perilaku ini biasanya dipakai oleh para

pemilih sebagai ekspresi protes terhadap pihak pemerintah atau partai yang sedang berkuasa

Page 18: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

18

serta lembaga-lembaga demokrasi lainnya yang dianggap belum mampu untuk mengakomodasi

kepentingan dari masyarakat yang menjadi konstituennya. Meskipun demikian perilaku memilih

menjadi sebuah objek penelitian yang menarik bagi para ilmuwan sosial dan politik, termasuk

perilaku memilih di Indonesia.

Dalam kajian ini, sikap dan perilaku golput perlu dibaca sebagai isyarat kekecewaan dan

ketidakpuasan terhadap terinjak-injaknya aturan main demokrasi oleh para elit partai politik dan

terhadap tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat (Arbi

Sanit;1992).15

Fenomena yang memberi gambaran dengan meningkatnya golput belakangan ini

sepertinya telah menjadi tamparan bagi partai politik, para politisi dan demikian juga halnya

dengan lembaga penyelenggara pemilihan umum. Tapi bagi masyarakat yang tingkat

kedewasaan berpikirnya sudah tinggi, golput harus dilihat sebagai ekspresi politik. Artinya, pada

dasarnya orang yang memilih dengan yang tidak memilih dengan kesadaran adalah orang yang

sama di mata politik. Oleh sebab itu, Dalam menganalisis golput, penelitian ini mengkategorikan

golput dari perspektif seperti yang dikategorikan oleh Indra J. Piliang16

menjadi tiga (3) kategori,

yaitu: Golput Politis, Golput Pragmatis dan Golput Ideologis.

Golput politis dapat dijelaskan dengan memahami dan melihat sikap yang diambil oleh

mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud tujuan yang jelas menolak untuk

memberikan suara dalam pemilu atau pilkada. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan

hadir pada di TPS (Tempat Pemungutan Suara) karena alasan teknis seperti: ketiduran, masalah

administrasi yang belum terdaftar, secara otomatis dikeluarkan dari kelompok ini, dengan tujuan

bahwa mereka yang tidak memilih itu sebetulnya sedang ingin mendewasakan para eli t politik

15

Sanit. Op.cit. Hlm.7

16Diolah dari berbagai sumber. Lihat, Muhammad asfar, Aneka Pandangan Fenomena Politik

Golput,Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, Hlm.30-51

Page 19: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

19

yang ada. Keputusan ini diambil untuk memperlihatkan bahwa sebetulnya dia merasa tidak

memiliki wakil, sehingga elit politik diharapkan dapat lebih serius dalam mengelola negeri ini.

Oleh karenanya, harus ada yang melihat golput sebagai fenomena yang kritis dalam

berdemokrasi. Asumsinya adalah perilaku politik masyarakat yang memiliki kecenderungan

untuk Golput tidak bisa dilepaskan atau sangat dipengaruhi oleh kinerja pemerintahan yang

sedang berlangsung maupun yang sebelumnya serta tidak terakom odasinya kepentingan

masyarakat selama kurun waktu terakhir. Hal ini juga terjadi karena adanya dukungan faktor

pluralitas yang terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu kemajemukan suku, agama, ideologi,

aliran dan budaya politik dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku

memilih masyarakat terhadap pemilihan partai maupun calon kepala daerah tertentu.

Golput Pragmatis yang dimaksud dalam kajian ini dapat dipahami dan dilihat dengan

keputusan pengambilan sikap berupa ketidakhadiran dalam bilik suara karena disebabkan tidak

adanya nilai lebih dari proses pemilu atau pilkada yang terjadi. Bagi pelaku golput pragmatis ini,

aktivitas pemilu atau pilkada dengan menhadiri TPS (Tempat Pemungutan Suara) dinilai

menimbulkan kerugian besar bagi pemilih dari segi finansial, tenaga, waktu bahkan pikiran.

Anggapan jika tidak ada nilai lebih yang mereka terima dibandingkan dengan nilai kerugian

yang mereka keluarkan, maka keputusan untuk golput menjadi sebuah pilihan yang diambil.

Ketidakhadiran ke bilik suara ini juga kerap kali didukung dengan adanya penyebab urusan yang

lebih penting lainnya untuk diberi prioritas perhatian. Hal ini harus dipahami dalam konteks

tidak adanya nilai lebih yang didapatkan oleh pemilih.

Di sisi yang lain, Golput yang cenderung permanen adalah kategori Golput ideologis,

pelaku golput ideologis ini biasanya merupakan penganut paham ideologi sayap kiri maupun

sayap kanan, karena bagi mereka golput dianggap merupakan perwujudan keyakinan ideologis.

Page 20: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

20

Bagi penganut ideologi sayap kiri, golput dianggap sebagai simbol penolakan untuk

berpartisipasi dalam pemilu atau pilkada sebagai konsekuensi mereka atas penolakan terhadap

demokrasi liberal. Bagi pandangan mereka, pemilu dan demokrasi liberal adalah anak kandung

kapitalisme yang memproduksi kesenjangan, eksploitasi dan ketidakadilan. Sedangkan bagi

penganut ideologi sayap kanan, terdapat juga kalangan fundamentalisme agama terutama agama

Islam. Menurut pandangan mereka, demokrasi dan pemilu/pilkada bertentangan de ngan syariat

agama. Pemilu dinilai menyerahlan kedaulatan kepada rakyat sebagai manusia, padahal bagi

pandangan mereka hanya Tuhan lah yang berhak memilikinya.

E.2. Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)

Asumsi dari teori pilihan rasional ini berangkat dari ekonomi politik, dimana semua

orang itu punya tujuan dalam hidupnya sehingga semua aktor itu dikatakan rasional. S ifat dasar

dari makhluk rasional adalah kalkulasi untung-rugi yang menjadi dasar dari setiap tindakannya.

Namun tidaklah cukup ketika hanya mendefiniskan pilihan rasional sebatas aspek untung rugi

semata. Rasional juga berarti ketika seseorang secara independen bebas dari pengaruh luar dalam

menentukan keputusannya. Independen dalam hal ini berarti tidak adanya tekanan, pengaruh,

ataupun paksaan dari pihak lain apabila seseorang menentukan pilihannya. Dengan kata lain,

pilihan tersebut bebas dari konsekuensi dari yang ditim bulkan apabila seseorang memilih

melakukan tindakan tertentu. Cara berpikir itulah yang dipakai oleh mazhab ratio nal choice. Jadi

jikalau kita tahu tujuannya dan nilai-nilai yang diadopsi, maka itulah yang menjadi pilihannya

dan tentunya ada cara-cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Ada sekian banyak variasi yang tersedia dan masing-masing orang itu punya urutan

referensi, dimana hal ini merupakan pinjaman dari ilmu ekonomi sehingga kelemahan dan

Page 21: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

21

kekuatannya juga terdapat disitu. Golput dalam hal ini tentu dapat diasum sikan sebagai bagian

dari pendidikan politik untuk masyarakat seperti bagi kalangan muda, yang tentu saja tujuannya

bukan untuk menjadi pengikut dari salah satu aliran politik tertentu, tetapi untuk membuat orang

dapat berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi lingkungannya dengan tujuan untuk menjaga

tradisi berdemokrasi. Da lam situasi apapun juga, pendirian yang berbeda dari tiap individu harus

selalu dilindungi sehingga tidak ada lagi kekuasaan yang tanpa batas. Keniscayaan yang sudah

bisa diantisipasi yang membuat asumsinya adalah baik bagi seseorang akan berpengaruh baik

juga bagi orang lain. Asumsi yang lain adalah orang itu diasumsikan selfish (egoisme kolektif)

yang akhirnya dapat menghasilkan tertib sosial dimana diperlukan kepastian demi memudahkan

diri sendiri, sehingga orang mematuhi peraturan karena dinilai ada manfaatnya dan bukan karena

legalitas ataupun adanya paksaan. Ketika itu diter ima sebagai asumsi dasar, Golput juga bisa

diperhatikan dari proses pembentukan legitimasi sistem politik sebagai wujud protes terhadap

sistem politik yang tidak mengaktualisasikan pengembangan demokrasi yang signifikan karena

didasarkan pada banyak pertim bangan yang harus dieksplorasi karena masih ada banyak pula

pertimbangan-pertimbangan yang belum diartikulasikan secara terungkap.

Dalam konteks Pilkada, Ada nasehat yang mengatakan: “Pilihlah salah satu kandidat

yang paling berkualitas dari semuanya yang tidak berkualitas”. Sebagai contoh: Kalau ada lima

calon gubernur yang tidak berkualitas, masing-masing Si A dengan nilai 50, B 40, C 30, D 20

dan E 10, maka kita dianjurkan untuk menjatuhkan pilihan pada Si A yang punya nilai tertinggi,

yaitu 50. Hal ini tentulah merupakan sesat logika karena semuanya di bawah standar yang berarti

“tidak lulus” atau tidak sesuai harapan untuk menjadi pemimpin yang baik dan berkualitas.

Selain itu, ajakan untuk memilih secara spekulatif, berdasarkan “ilmu kira -kira seperti ini”, yang

tidak berdasarkan kualitas yang bisa dipertanggung jawabkan, maka bisa berarti berpotensi

Page 22: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

22

memilih calon yang koruptor dan merupakan cara memilih yang sesat logika. Oleh sebab itu

pilihan untuk golput merupakan keniscayaan logika yang jernih bagi orang yang memiliki

rasionalitas dalam melihat dan mengetahui kualitas kandidat yang ikut berkontestasi.

Asumsi yang dibangun dalam pendekatan rasional adalah ketika masyarakat memiliki

kecenderungan berubah dalam menentukan pilihan dari pemilihan satu ke pemilihan lain dalam

periode tertentu. Menurut pendekatan rasional, masyarakat memiliki rasionalitas yang tinggi dan

melakukan penilaian objektif terhadap partai politik atau orang yang akan dipilih dengan harapan

mereka memilih bukan karena faktor ketidaksengajaan tetapi untuk kepentingan umum.

Demokrasi memang idealnya dipandang harus memenuhi salah satu syarat utama yaitu rational

choice.17

Adapun teori Downs menurut Imawan adalah sebagai berikut:

- Masyarakat berprilaku rasional sesuai dengan kepentingan individu masing -masing

- Preferensi kebutuhan memilih dapat digambarkan pada skala kiri dan kanan

- Opini publik membentuk lonceng karena suara masyarakat berkumpul di tengah

(mengambil posisi aman)

- Partai politik mengontrol pemerintah dengan cara mengontrol pemilihan umum yang

berjalan.

Hal ini tentu berpengaruh terhadap keputusan memilih dari masyarakat terlebih pada lingkup

lokal yang harus didasarkan pada pilihan rasional sehingga setiap orang dalam melakukan

sesuatu pasti berawal dari melakukan sebuah pertim bangan untuk menentukan tindakannya.

Asumsi yang dibangun dalam pendekatan rasional choice adalah bahwa pemilih bukannya

wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan dalangnya. Pendekatan inilah yang

17

Riswanda Imawan, “Silabus Mata Kuliah SKPI Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM”, hal.3

Page 23: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

23

dipelopori oleh Anthoni Down (1957) yang melihat orientasi pemilih dalam menentukan

sikapnya dipengaruhi oleh dua hal penting, yakni orientasi isu dan kandidat (figur). Orientasi isu

berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan

persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Sedangkan orientasi kandidat mengacu pada

sikap seseorang terhadap pribadi kandidat (figur) tanpa mempedulikan label partainya dan

kemudian disinilah moment pemilih menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan rasional.

Kalau dilihat dari kacamata dan sudut pandang pejabat yang mau dipilih, maka mereka

akan berpandangan bahwa dengan banyaknya orang yang memilih selalu menjadi salah satu

tolak ukur yang sangat menentukan keberhasilan pemilu. Telaah dari rasionalitas kontestan ini

saat ini ternyata dengan mudah telah menyeret pemahaman seolah-olah pemilihan itu lebih

diagungkan sebagai kewajiban daripada hak. Disini jelas terlihat telah terjadi kekeliruan nalar

karena hak pilih seseorang adalah mutlak dari pribadi yang bersangkutan sehingga tidak bisa

diintervensi dan dihakimi oleh orang lain. Persoalan seseorang untuk menggunakan atau tidak

menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah sebuah pilihan dan hal tersebut dilindungi oleh

undang-undang dan hukum yang berlaku. Ketika kualitas pemilu didasari oleh banyaknya orang

yang menggunakan hak pilih, maka para kontestan sebenarnya telah merelakan dirinya untuk

mendapatkan partisipasi yang berkualitas rendahan, yakni partisipasi yang termobilisasi. Pemilih

yang karena alasan apapun, mengambil inisiatif untuk tidak menggunakan hak pilih, secara

konseptual sebenarnya memiliki kualitas partisipasi yang lebih tinggi, namun sayangnya justru

kualitas yang lebih tinggi ini terdiskriminasi oleh pemahaman bahwa kualitas pemilu

ditunjukkan oleh kuantitas orang yang menggunakan hak pilih. Sehubungan dengan adanya

pemelintiran logika „kualitatif‟ ke dalam logika „kuantitatif‟ ini, perlu kiranya kita mengkaji

pemilihan umum dari perspektif pemilih, tegasnya dari perspektifnya hak pemilih itu sendiri.

Page 24: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

24

Realita yang terjadi dewasa ini merupakan penerapan dari hal yang sama terjadi ketika

masyarakat menentukan pilihan seseorang terhadap suatu kandidat yang mendoron g

berkembangnya pendekatan yang menjelaskan bahwa pilihan masyarakat secara sederhana telah

didasari a tas faktor untung rugi. Lebih sederhananya, semakin condong efek yang diterima akan

manfaat (untung) dari memilih seorang kandidat, maka kecenderungan masyarakat untuk

memilihnya akan lebih besar. Sebaliknya, semakin condong efek yang diperoleh pada kerugian,

maka masyarakat akan cenderung untuk tidak memilih kandidat tersebut.

Fenomena tentang menggunakan rasionalitas juga cenderung seperti yang dikemukaka n

Anthony Downs dalam Roth, Dieter, 18

yang menyatakan bahwa pemilih yang rasional hanya

menuruti kepentingannya sendiri atau kalaupun tidak, pemilih tersebut akan senantiasa

mendahulukan kepentingannya sendiri diatas kepentingan orang lain yang disebut den gan self-

interest axiom. Manusia bertindak egois terutama dikarenakan mereka ingin mengoptimalkan

kesejahteraan material mereka yakni harta benda atau pemasukan mereka. Jika hal ini diterapkan

pada perilaku pemilih, maka pemilih yang rasional akan memilih partai maupun kandidat yang

paling menjanjikan keuntungan bagi dirinya atau bahkan tidak memilih karena menganggap

tidak ada calon maupun partai yang merepresentasikan dia. Pemilih tidak terlalu tertarik pada

konsep politis suatu partai, melainkan kepada keuntungan terbesar yang dapat ia peroleh apabila

partai ini menduduki pemerintahan dibandingkan partai lain. Untuk dapat memperkirakan atau

menghitung keuntungan ini, yang diistilahkan oleh Downs sebagai “utility maximation” , pemilih

harus memiliki informasi mengenai kegiatan partai di masa lalu dan apa yang mungkin

dilakukan partai dimasa mendatang. Dengan begitu, dapat diasumsikan bahwa para pemilih

dapat menilai bahwa isu-isu politik dan calon kandidat yang diajukan dengan pendekatan

18

Roth, Dieter, Prof.2008. Studi Pemilu Empiris, Mitra Alembana Grafika. Hlm. 65

Page 25: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

25

rasional karena pemilih yang rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapat

informasi yang cukup. Tindakan mereka ini bukanlah karena faktor kebiasaan atau kebetulan

semata, tetapi didasarkan atas pikiran dan pertimbangan yang l ogis.19

Berdasar pada konteks pemilu, hal penting yang menentukan di dalam sebuah pemilu

atau pilkada bukanlah adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai

yang kuat, melainkan hasil penilaian rasional dari warga yang pandai. Teori pilihan rasional yang

sangat identik dengan cost and benefictatau untung rugi adalah penjelasan yang mendasar dalam

melihat perilaku politik yang mencakup pilihan-pilihan politik dan berbagai hal yang

mempengaruhinya. Dalam buku An Economic Theory of Democracy (1957), perilaku pemilih

terhadap partai politik tertentu berdasarkan perhitungan seperti apa yang akan diperoleh oleh

orang tersebut dengan menjatuhkan pilihannya pada salah satu partai politik atau kandidat dalam

pilkada langsung sehingga faktor untung rugi seseorang sangat menentukan untuk memilih atau

tidak memilih pada saat Pilkada.

Di sisi yang lain, terdapat perbedaan makna apabila memilih dalam pemilu itu adalah

sebuah kewajiban. Bagi pemilih kritis dan rasional, golput merupakan sebuah p rotes dan refleksi

kekecewaan dari masyarakat kepada partai politik dan pemerintah. Selain itu, golput juga dapat

dilihat sebagai peningkatan kesadaran bahwa partisipasi politik bukan hanya berpatokan pada

penggunakan hak pilih dengan mencoblos maupun mencontreng di TPS pada hari yang

ditentukan. Pemahaman tentang partisipasi politik harus dikembangkan dengan melihat

kesadaran dan perhatian dari seseorang terhadap demokrasi yang modern dalam hal pemilu.

Seseorang yang tidak menggunakan hak pilihnya bisa jad i menuangkan perhatiannya terhadap

19

Nursal. Adman, 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hal. 66.

Page 26: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

26

proses demokrasi di dalam pemilu dengan melalui jalur yang lain seperti aktif dalam Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (ormas), ikut mencari tahu

latarbelakang dari partai politik dan para calon kandidat, atau menyampaikan pendapatnya

melalui media massa. Dengan kata lain, teori pilihan rasional lebih melihat kepada akal pikiran

pemilih yang rasional, Jadi siapapun nantinya yang akan mempengaruhi seorang pemilih, dia

tidak gampang terpengaruh sekalipun mendapatkan tawaran yang menjanjikan karena dia lebih

menggunakan logika dan rasionalitasnya dalam bertindak.

Berangkat dari premis, bahwa pemilu adalah hak warga negara, maka penggunaan hak itu

adalah ekspresi rasionalitas pemilih. Di hadapan para pemegang hak pilih ini terbentang berbagai

aktivitas warga negara mulai dari masa sebelum pemilihan seperti keterlibatan dalam kampanye,

keterlibatan dalam mengawal jalannya pemilu, menjadi petugas pemilihan dan volunteer

pemantau pemilu, masa ketika pemilihan yaitu partisipasi dalam pemilihan, perilaku memilih

hingga aktivitas yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilih yang di Indonesia popular

dengan istilah Golput.20

Asumsinya, pemilih terlibat atau tidak, tergantung dari rasionalisasi para

pemegang hak pilih. Pemilih yang punya akal sehat tentu saja tidak akan melakukan apapun

yang penalarannya tidak rasional. Lebih dari itu, pilihan untuk tidak terlibat bisa jadi justru

merupakan ekspresi dari akal sehat mereka, dan dengan begitu, tentunya bukanlah merupakan

persoalan sama sekali. Berdasar dari hal tersebut maka melihat fenomena Golput dengan

pendekatan pilihan rasional, maka bagi orang yang golput, bukankah seharusnya golput

merupakan sebuah pilihan politik? Golput berarti memilih untuk tidak mengg unakan hak

pilihnya. Hal ini didasarkan pada penilaian masyarakat yang ingin mencari aman dengan

mempertimbangkan faktor untung-rugi sebagai landasan bertindak. Tetapi yang jelas bahwa

20

Pamungkas, Sigit, 2009. Pemilu Perilaku Pemilih & Kepartaian , Yogyakarta: Institute for Democracy and

Welfarism (IDW ).

Page 27: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

27

penurunan angka partisipasi pemilih menunjukkan bahwa pemilih kita sema kin cerdas seperti

yang dikatakan oleh John Kenneth White 21

yaitu: Voters are not fools karena pemilih kita sudah

rasional dan tidak lagi mudah untuk dibohongi atau dimanipulasi seperti pemilu yang

dilaksanakan pada masa orde baru.

E.3. Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini biasa juga disebut sebagai mazhab Michigan dan pelopor utama mazhab

ini adalah August Campbell. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan

terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur karena tidak

jelasnya indikator dari kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya merupakan suatu

hal yang sulit diukur. Disamping itu secara materi, diungkapkan bahwa variabel -variabel

sosiologis seperti kelompok primer dan sekunder, memberi pengaruh pada perilaku memilih dan

pilihan politik. Variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku memilih dan pilihan

politik jika ada proses sosialisasi. Oleh sebab itu, dalam pendekatan ini, sosialisasilah yang

menentukan perilaku memilih dan orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang bukan

karakteristik sosiologis.22

Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” pemilih dalam menentukan

pilihannya termasuk untuk tidak memilih atau golput. Pada pendekatan psikologis penekanan

lebih kepada individu itu sendiri. Menurut persspektif psikologis ini, ada tiga faktor yang

berpengaruh terhadap perilaku pemilih yang dalam hal ini digunakan dalam menjelaskan

perilaku tidak memilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi i su atau tema dan

orientasi kandidat. Identifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang

21

John Kenneth White. 2006: What is Political Party? Dalam Hand Book of Party Politics, Richard S. Kartz (Ed,

dkk), London, Sage Publication. 22

Asfar Muhammad, Pemilu dan Perilaku Pemilih , Surabaya; Pustaka Eureka, 2006, hal. 141

Page 28: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

28

dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut sehingga pengenalan akan

partai politik pengusung menjadi salah sa tu faktor penting dalam menilai. Penjelasan yang bisa

dengan menggunakan perspektif psikologis ini diantaranya adalah stigma tentang politik itu

sendiri. Stigma politik yang saat ini beredar luas di pikiran masyarakat adalah bahwa politik itu

jahat, kotor, menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan, dan saling sikut antara kawan

maupun lawan menjadi hal yang memperkeruh pandangan dari masyarakat sehingga

kepercayaan masyarakat terhadap politik menjadi rendah dimana imbas dari hal tersebut adalah

rendahnya tingkat partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilih mereka dalam pilkada.

Stigma ini terbentuk tentunya karena banyaknya tabiat dan perilaku para politisi, elite partai

politik, yang masuk dalam kategori politik instan karena pada faktanya seba gian besar para

politisi dan elite partai itu baru akan mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti

pemilu, pilkada, dan kegiatan lainnya yang membutuhkan dukungan masyarakat untuk

melegitimasi kekuasaan mereka. Kondisi seperti inilah yang diasumsikan bisa menjadikan

kejenuhan masyarakat terhadap politik semakin memuncak.

Menurut Philip Converse dalam Affan Gaffar, identifikasi partai diartikan sebagai

keyakinan yang diperoleh dari orangtua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan

tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar selama masa

dewasa.23

Dalam hal ini, di kalangan partai politik dan politisi, fenomena politik pragmatis

merupakan tontonan yang disuguhkan secara berkesinambungan terhadap masyarak at yang

merupakan konstituennya. Hal yang bukan tanpa alasan karena masyarakat bisa melihat ketika

masyarakat sudah memberikan suaranya untuk melegitimasi kekuasaan para politisi, politisi

yang bersangkutan cenderung lebih mementingkan kemauan dari pemimpin partainya dimana

23

Afan Gaffar. Javaness Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Yogyakarta; Gajah

Mada University Press, 1992, hal. 10

Page 29: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

29

para pemimpin partai saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dari golongan -golongan

tertentu dibandingkan suara rakyat yang menjadi konstituennya. Kemudian, di sisi yang lain,

orientasi isu atau tema yang diangkat oleh partai politik tersebut kerapkali juga sangat

memprihatinkan. Kita sering melihat saat ini bahwa konflik para politisi yang dilakukan di

internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, konflik dengan politisi lain yang

berbeda partai, dan lainnya tentu mau tidak mau akan menimbulkan antipa ti dari masyarakat

terhadap partai politik maupun politisi. Faktor lemahnya orientasi kandidat tentang siapa saja

yang mewakili partai politik tertentu juga bisa menjadi alasan yang bisa jadi mempengaruhi

psikis mereka yang akhirnya golput karena harus diakui bahwa partai politik dan politisi

memainkan peran kritis dengan membangun suatu sistem disekeliling mereka sendiri yang

kemudian dibaca oleh masyarakat yang kecewa atas etika politik yang semakin hari semakin

memudar. Hal ini hendaknya dapat merangsang partai politik agar segera berbenah diri karena

partai politik juga harus melaksanakan tugas dan fungsinya yang seringkali diabaikan. Partai

politik harus dapat mengisi dan memenuhi kepuasan psikis dari masyarakat yang d iantaranya

merupakan konstituen terlepas dari seberapa banyak patronase atau imbalan serta hukuman lain

yang bisa mereka berikan.

Oleh sebab itu, untuk memahami perilaku golput secara lebih mendalam, dibutuhkan

penjelasan-penjelasan yang digali dari faktor-faktor psikologis, seperti ciri-ciri kepribadian,

predisposisi-predisposisi dasar, dan sikap-sikap pemilih golput. Dalam kajian ini adalah mereka

yang merupakan orang yang secara independen dan bebas dalam melakukan penilaian terhadap

isu-isu yang berkembang menjelang dan pada saat kampanye dan selanjutnya dengan motivasi

yang tinggi serta didukung oleh pengetahuan dan informasi yang luas lebih cenderung

Page 30: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

30

menjatuhkan pilihannya untuk golput karena menilai calon yang ada tidak mampu untuk

memenuhi harapan pemilih.

E.4. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Columbia. Cikal bakalnya berasal dari

Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerika Serikat yang mempunyai

latar belakang Eropa, khususnya di Universitas Columbia, menurut mazhab ini pendekatan

sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial ,

usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan -kegiatan dalam

kelompok formal dan informal dan lainnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

pembentukan pilihan-pilihan politik.24

Interaksi yang terjadi didalam kelompok-kelompok sosial seperti usia, jenis kelamin,

agama, pekerjaan dan sebagainya akan menjadi susunan bangunan pengetahuan yang akan

mempengaruhi preferensi politik seseorang hingga kemudian akan mempengaruhi bentuk -bentuk

pilihan politiknya termasuk dalam hal memutuskan pilihan untuk golput.Variabel logis yang bisa

mendukung alasan orang untuk golput dari perspektif sosiologis diantaranya adalah seperti

alasan tidak memiliki kesamaan suku, etnis, agama, dan latarbelakang kebudayaan dengan

kandidat atau ketidakpercayaan akan adanya perubahan. Asumsinya adalah karena s etiap orang

akan mengindentifikasi diri sebagai anggota dari kelompok sosial darimana dia berasal dan

dimana dia berada sehingga keluarga masih dianggap sebagai asosiasi pertama yang

dilembagakan secara ilmiah untuk memenuhi kebutuhan politis secara terstruktur . Hal itu akan

membuat seseorang cenderung menjatuhkan pilihannya berdasarkan orientasi berdasarkan

konteks kelompok sosialnya. Sehingga dalam konteks golput, hal inilah yang sepertinya tidak

24

Ibid, hal. 55-56

Page 31: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

31

dapat terpenuhi oleh para kandidat maupun partai politik yang mengusungnya. Pilihan yang

bersifat umum ini mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku secara menyeluruh

bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis

kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.

Salah satu strategi para bakal calon untuk menarik minat pemilih adalah dengan

menonjolkan etnisitasnya. Seperti fenomena yang terjadi di Sumatera Utara, dimana ada salah

seorang bakal calon yang dulunya tidak pernah menyematkan marga dibelakang namanya,

semenjak mencalonkan diri sebagai calon kandidat, dan memiliki hasrat yang kuat untuk

memimpin Sumatera Utara maka dia mulai memasang marganya dan menampilkannya di

berbagai media seperti televisi, poster, baliho dan sejenisnya. Hal tersebut memang tidak

melanggar regulasi apapun, akan tetapi itu menjadi sebuah bukti bahwa pertarungan untuk

menuju “Sumatera Utara 1 dan 2” membutuhkan senjata rahasia yaitu etnisitas. Salah satu

konsekuensi dari kenyataan adanya kemajemukan masyarakat atau diferensisasi sosial adalah

terjadinya primordialisme, yaitu: pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang

teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu seperti suku bangsa, ras, dan

agama. Primordialisme sebagai sebuah identitas golongan atau kelompok sosial yang merupakan

faktor penting dalam memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan dalam

menghadapi ancaman dari luar. Namun seiringan dengan hal tersebut, p rimordialisme juga dapat

membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial yang lain.

Seperti yang diungkapkan oleh Nursal dan Asfar sebelumnya, bahwa proses sosialisasi

yang panjang, akan membuat seseorang untuk membentuk ikatan yang kuat dengan kelom pok

sosial ataupun organisasi kemasyarakatan. Sehingga hal ini akan menjadi sesuatu yang sangat

berpengaruh terhadap pilihan-pilihan politiknya kelak sehingga pemilih yang berada didalam

Page 32: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

32

suatu kelompok sosial tertentu akan menerima proses internalisasi berdasarkan nilai-nilai yang

ada dalam kelompok sosial tersebut, perilakunya secara umum akan berkaitan dengan nilai dan

kebiasaan yang sangat mempengaruhi karena beberapa alasan, seperti isu politik saat ini maupun

dari pengalaman masa lalu.

Bonne dan Ranney25

membagi tiga tipe utama pengelompokan sosial :

1. Kelompok Kategorial

Kelompok kategorial terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau beberapa karakter

khas, tapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak menyadari i dentifikasi dan

tujuan kelompoknya. Pengelompokan kategorial terbentuk berdasarkan perbedaan jenis

kelamin, perbedaan usia, perbedaan pendidikan.

2. Kelompok Sekunder

Kelompok sekunder terdiri dari orang-orang yang memiliki ciri yang sama yang

menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya, dan bahkan sebagian membentuk

organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok sekunder mempunyai

pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial. Kelompok-kelom pok

kategorial dapat diklasifikasikan seperti : pekerjaan, status sosial ekonomi dan kelas

sosial, dan kelompok-kelompok etnis yang meliputi ras, agama dan daerah asal.

25

Bone dan Renney dalam Adman Nursal, 2004: Political Marketing, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hlm.56-58

Page 33: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

33

3. Kelompok Primer

Kelompok primer terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur melakukan

kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat

dan langsung terhadap perilaku politik seseorang. Yang termasuk dalam kelom pok

primer adalah, pasangan-pasangan suami isteri, orang tua dan anak-anak, kelom pok

bermain.

Pendekatan sosiologis ini melihat bahwa dalam kelompok-kelompok sosial, terdapat

kognisi sosial tertentu yang pada akhirnya bermuara pada perilaku dan pilihan tertentu yang

kemudian dalam kelompok-kelompok sosial ini akan berlangsung proses sosialisasi. Oleh sebab

itu, perilaku tidak memilih ini menjadi sebuah obyek penelitian yang menarik bagi peneliti

khususnya dalam konteks pilkada di Kota Medan. Hal ini dikarenakan pluralitas yang terdapat

dalam masyarakat Indonesia, yaitu kemajemukan suku, agama, ideologi, aliran dan budaya

politik dalam masyarakat yang dapat mepengaruhi sikap dan perilaku memilih masyarakat

terhadap pemilihan partai maupun calon kepala daerah tertentu.

Lebih menarik lagi jika dicermati, seperti yang dikemukakan Afan Gaffar bahwa ternyata

pola perilaku masyarakat pemilih di Indonesia cenderung tidak bersifat rasional dalam arti bahwa

para pemilih di Indonesia menentukan pilihannya terhadap partai tertentu bukan semata -mata

karena perhitungan rasional tentang manfaat yang akan mereka terima, namun cenderung

didasarkan oleh faktor-faktor yang bersifat tradisional dan ikatan-ikatan emosional yang

dibangun sebagai akibat internalisasi nilai yang mereka pilih dari suatu generasi ke generasi

sebelumnya.26

Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis yang relatif tinggi dan partai

26

Afan Gaffar, 1997, Menampung Partisipasi Politik Rakyat, dalam jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP

UGM, Yogyakarta, Hal. 11

Page 34: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

34

politik di Indonesia juga sangat erat dipengaruhi oleh etnisitas. Kesetiaan etnis di Indonesia

masih terlihat sangat signifikan dan sering sekali faktor etnis dapat menimbulkan

kesalahpahaman tentang politik di Indonesia sehingga hal tersebu t menunjukkan adanya

pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang. Identitas partai juga berkaitan dengan

kesetiaan dan ketidaksetiaan dari massa suatu partai. Semakin t inggi identitas partai maka

semakin tinggi pula tingkat loyalitas massa partai.27

Hal ini tentunya mengisyaratkan bahwa masyarakat yang golput karena alasan ideologi

terkadang ada yang menganggap lebih berpolitik dibandingkan orang -orang yang berprinsip

“mau tidak mau, ya pilih saja yang apa yang tersedia” yang berakibat pada kebobrokan para

penguasa dan lingkungan yang setiap hari selalu menghiasi pendengaran kita. Selain itu dalam

prosesnya, lingkungan sosial juga cenderung memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan

internalisasi nilai-nilai dan norma dalam masyarakat, serta dapat memberikan pengalaman hidup

didalam proses keberlangsungannya.28

Hal inilah yang semakin memperkuat dasar bahwa ketika

seseorang sudah mengalami kedekatan dengan kelom pok sosial tertentu, maka dia akan memberi

kontribusi dan berupaya untuk kelompoknya tersebut. Demikian juga sebaliknya, apabila yang

menjadi harapan dari kelompoknya dalam hal ini kesamaan etnis tidak bisa terpenuhi, golput

menjadi salah satu alternatif sehingga perlu untuk diakom odasi oleh pihak -pihak yang

berkepentingan.

27

Leo Suryadinata, 2003, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik , Jakarta; LP3S,hal.

182 28

Sudijono, 1995, Perilaku Politik , Semarang; Pustaka Pelajar, Hal. 15

Page 35: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

35

F. Kerangka Pikir

G. Definisi Konseptual

Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan, maka definisi konseptual yang dipakai

dalam penelitian ini adalah dari variabel golput sebagai kelompok warga negara yang tidak

menggunakan hak pilihnya yang diakibatkan beberapa hal, alasan, sebab, dan fak tor tertentu

sehingga surat suara menjadi tidak sah. Oleh sebab itu, diuraikan dalam beberapa defenisi

diantaranya menurut Indra J. Piliang, ada 3 kategori Golput yaitu sebagai berikut:29

1. Golput Pragmatis adalah memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena

faktor untung rugi (cost and benefict). Pilihan ini berkaitan dengan kalkulasi rasional,

tentang ada tidaknya pengaruh pemilu atau pilkada bagi pemilihnya.

29

Ibid; Muhammad Asfar.

T

P

S

Faktor

Pendidikan/

Wawasan

Pragmatis

Politis

Ideologis

Faktor

Ekonomi

Faktor Sosio

Kultural

SIKAP

Page 36: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

36

2. Golput Politis adalah sebuah pilihan karena adanya perubahan sistem dan pilihan

politik. Sering dipahami juga sebagai ungkapan kesetiaan terhadap partai politik dan

calon kepala daerah tertentu atau lazim disebut golput barisan sakit hati.

3. Golput Ideologis adalah konstituen yang m enolak untuk memilih karena

menganggap seluruh kandidat tidak memiliki kemampuan untuk diberi kepercayaan

untuk memimpin.

H. Definisi Operasional

Kategorisasi Golput dalam penelitian ini mengharapkan dapat mengkaji dan mengukur

faktor-faktor yang menjadi penyebab orang tidak datang ke TPS pada pilkada Sumatera Utara di

Kecamatan Medan Baru pada 2013 yang lalu. Beberapa diantaranya adalah faktor:

1. Pragmatis

Kerugian ekonomi yang harus dipertaruhkan ketika datang ke TPS, namun di sisi

yang lain tidak mendapat hasil yang sepadan dan diharapkan dari pengorbanan yang

diberikan atas pilihan tersebut. Dengan dilaksanakannya Pilkada langsung ini, masyarakat

beranggapan bahwa datang ke TPS pada hari pemilihan tidak akan membawa perubahan

apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan mereka. Menurut merek a perhelatan

semacam Pilkada ini hanyalah sebuah rutinitas politik saja tanpa memberi kontribusi

berupa suatu perubahan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat.

Visi dan Misi Kandidat yang jauh dari harapan, bahkan sering sekali merupakan

janji-janji berlebihan yang apabila dipikirkan akal sehat yang sederhana, janji itu tidak

mungkin bisa dipenuhi dalam waktu yang dimiliki setelah terpilih menjadi kepala daerah

(tidak masuk akal).Proses kampanye yang dilakukan pun tidak lepas dari sorotan para

Page 37: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

37

pemilih yang golput. Alasannya jelas sekali karena momentum kampanye berbenturan

dengan fakta buruknya pelayanan publik yang harus dihadapi oleh masyarakat setiap hari

yaitu mengenai krisis listrik yang berkepanjangan. Bagaimana mungkin para kandidat

mampu merealisasikan janji kampanyenya sementara permasalahan yang sedang terjadi

di depan mata saja tidak mampu segera diatasi. Dengan akal pikiran yang sehat tentu saja

langkah golput ini diambil sebagai sebuah tindakan protes dari masyarakat sebagai

bentuk kecerdasan pemikiran untuk memberikan pelajaran kepada para kandidat agar

tidak hanya pintar berbicara tanpa membnuktikan kemampuan dan prestasinya.

2. Politis

Loyalitas pemilih kepada suatu partai politik atau kandidat tertentu, namun tidak

dapat disalurkan sehingga tidak menggunakan hak pilihnya. Kekecewaan ini dialami oleh

para pendukung dari RE.Nainggolan yang pada akhirnya tidak jadi dicalonkan menjadi

calon gubernur sehingga untuk menghindari konflik mereka lebih memilih untu k

golput.Faktor agama dan etnisitas juga menjadi senjata rahasia dalam pertarungan politik.

Agama seharusnya dijauhkan dari perkara politik, karena agama dianggap merupakan

tuntunan yang bersifat sakral yang menjadi pegangan dan kepercayaan hidup manusia

agar selamat di dunia dan akhirat. Terang saja, tempat ibadah dibuat sebagai sarana dan

alat politik guna meraih kekuasaan dianggap merupakan sebuah penghinaan. Sehingga

dengan pilihan yang dihadapkan kepada masyarakat yang sangat dilematis ini, golput

dianggap merupakan pilihan yang terbaik guna terhindar dari konflik antar keluarga,

golongan dan kekerabatan karena harus menjaga perasaan kerabat yang memiliki pilihan

politik yang berbeda.

Page 38: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

38

Protes Persuasif atas tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan rakyat di

eksekutif maupun legislatif. Protes atas terjadinya praktik -praktik korupsi ditubuh

pemerintahan, serta kebohongan dan inkonsistensi yang kerap kali sering dilakukan oleh

pemerintah.Informasi yang diterima oleh masyarakat inilah yang menjadi sarana

munculnya keinginan untuk golput dikarenakan maraknya pemberitaan dari sisi yang

negatif bagi pejabat negara khususnya pejabat di daerah sumatera utara. Bagaimana

tidak, dalam 10 tahun terakhir, banyak pejabat kepala daerah di Kota Medan tidak

mampu menyelesaikan masa jabatannya selama 5 tahun karena tertangkap dan terbukti

melakukan tindakan korupsi.

3. Ideologis

Sikap yang diambil oleh pemilih berdasarkan perspektif ini menginterpretasikan

bentuk ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang dikembangkan oleh negara saat

ini, karena dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang sehat dan mendid ik, baik

pada tingkat elit maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Temuan tentang vulgarnya

serangan politik uang pada saat Pilkada 2013 yang lalu semakin menguatkan

pandangan bahwa kekuasaan itu dapat membutakan hati sehingga semua cara

dipergunakan untuk memperolehnya.Oleh sebab itu preferensi politik yang didasarkan

terhadap rasionalitas dan nalar yang baik tentunya memiliki pemahaman yang sejalan

untuk memenuhi prinsip-prinsip moral yang diyakininya. Pandangan warga di

kecamatan Medan baru memiliki anggapan bahwa kandidat yang mengandalkan daya

beli kekuatan uang tidaklah layak untuk dipilih karena kandidat tersebut akan memiliki

kecenderungan untuk korupsi selama ia menjabat nantinya.

Page 39: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

39

I. Metode Penelitian

I.1. Jenis Penelitian

Kajian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menjelaskan dan mengeksplorasi

bagaimana perilaku tidak memilih (golput) di Kecamatan Medan Baru. Penelitian ini

menggunakan pendekatan studi kasus yang bersifat Intrinsic case study yang bertujuan untuk

mengetahui secara lebih mendalam tentang perilaku tidak memilih masyarakat di kota Medan,

Sumatera Utara. Posisi peneliti terhadap data yang didapat dari eksplorasi narasum ber tersebut

adalah bersifat menginterpretasikan data, sehingga diharapkan dapat menjelaskan persoa lan

secara komprehensif argumen dan alasan dari para pemilih yang Golput tersebut. Di dalam

keperluan yang berkaitan dengan proses mendapatkan data tersebut, maka peneliti tidak bisa

terpisah dari informannya. Hal ini sesuai dengan metodologi kualitatif yang ditegaskan oleh Kirk

dan Miller dalam Moleong30

bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam bidang ilmu

sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia.

Beberapa alasan mengapa penulis menggunakan pendekatan studi kasus ad alah karena

fokus kajian yang diteliti merupakan kasus tunggal secara menyeluruh yang menjadi representasi

ketika memahami pilihan Golput itu bisa dikaji dari sudut pandang yang dinamis. Selain itu,

pemilihan studi kasus sebagai metode penelitian dinilai sangat cocok untuk mendapatkan data

serta mengeksplorasinya secara lebih mendalam. Pengujian terhadap teori dilakukan dengan cara

mendeskripsikan dengan jelas melalui proses eksplorasi mengenai bentuk kerjasama yang

terjalin antar multiaktor tersebut dan mencari tahu motivasi atau kepentingan di balik

berlangsungnya kerjasama yang telah dibangun. Selain itu, tujuan penelitian yang ingin

30

Moleong, Lexy.J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Page 40: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

40

menegaskan bekerjanya teori yang digunakan dapat digambarkan dengan jelas ketika peneliti

mampu melakukan eksplorasi pemahaman tentang pemilihan kepala daerah secara langsung di

Kota Medan khusususnya di Kecamatan Medan Baru.

I.2. Pengumpulan Data

I.2.1. Jenis Sumber Data

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam

penelitian ini adalah data pokok berbentuk catatan lapangan yang didapat melalui wawancara

dan pengamatan (observasi) selama berlangsungnya proses penelitian. Wawancara dilakukan

dengan sejumlah key informan atau informan kunci yakni kontak-kontak personal yang telah

dikenal oleh peneliti sebelum nya di lokasi penelitian yang dikembangkan pada informan-

informan lainnya.

Data sekunder digunakan untuk mendukung dan memperkuat pencatatan selama

berlangsungnya penelitian. Data ini merupakan dokumen resmi tertulis maupun milik pribadi.

Dokumen tertulis yang dicari dan digunakan berupa data demografis seperti jum lah penduduk,

komposisi penduduk berdasarkan kategori-kategori ekonomi-sosial-budaya, dan data lain yang

mendukung, data seperti peta w ilayah dan data kepemiluan dalam Pilkada Sumatera Utara Tahun

2013 di lokasi penelitian seperti Daftar Pemilih tetap, jumlah TPS, Jumlah pemilih yang Golput,

serta hasil penghitungan suara maupun data-data lain yang relevan.

Dalamproses pengumpulan data, peneliti melakukan pengamatan terlibat dengan cara

melakukan interaksi langsung dengan masyarakat kota Medan di Kecamatan Medan Baru yang

memiliki hak pilih namun mau mengakui bahwa dirinya Golput pada Pilkada 2013 lalu. Sumber

data dalam studi kasus sangat komprehensif termasuk di dalamnya dengan memanfaatkan

Page 41: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

41

sejumlah teknologi dalam mencari data seperti melalui sejarah, dokumen, sejarah lisan,

wawancara mendalam dan observasi partisipatif.

I.2.2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini mengkombinasikan sejumlah teknik pengumpulan data seiring dengan data

yang didapatkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipasi dan metode dokumenter

yakni pengum pulan data resmi maupun pribadi. Pengkombinasian teknik pengumpulan data ini

diperlukan untuk mendapatkan data menyeluruh terkait dengan tema penelitian sehingga dapat

meningkatkan kualitas penelitian secara substansial.

Wawancara Mendalam (Indept Interview) dilakukan dengan cara tanya jawab, sambil

bertatap muka antara peneliti dengan informan dengan atau tanpa menggunakan panduan

wawancara yang bersifat fleksibel dalam pelaksanaan di lapangan. Pertanyaan yang diberikan

juga masih memungkinkan untuk dikembangkan sejauh masih memiliki hubungan dan relevansi

dengan tema penulisan dalam kajian penelitian ini. Dalam mengembangkan wawancara dan

menentukan informan, peneliti menggunakan teknik snowball yang dimulai dari informan kunci

dan berdasarkan keterangan informan tersebut akan dikembangkan ke informan lain. Setelah

melakukan wawancara, peneliti melakukan pencatatan sebagai hasil rekapitulasi jawaban yang

dilakukan setiap selesai berdiskusi dengan informan sebagai upaya memenuhi tuntutan atas

metode yang digunakan yakni kualitatif eksploratif. Wawancara sangat penting dilakukan dalam

penelitian ini mengingat bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi

motivasi masyarakat untuk golput dan sejauh mana masyarakat kota medan mengetahui,

memberi diri dan terlibat dalam proses demokrasi. Oleh karena itu sangat diperlukan wawan cara

Page 42: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

42

mendalam dengan informan-informan yang berperan penting dalam proses demokrasi tapi tidak

menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada Sumatera Utara 2013 yang lalu.

Adapun informan yang diwawancarai untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah orang-

orang yang memiliki hak pilih pada Pilkada Sumatera Utara 2013 dan dengan penuh kesadaran

mau mengakui bahwa dirinya Golput. Dalam penelitian ini, terdapat sebanyak lima puluh dua

(52) orang informan,yakni warga Kecamatan Medan Baru yang diwawancarai untuk menjawab

rumusan masalah dan tujuan penelitian dengan mendeskripsikan faktor-faktor penyebab golput

dalam pilkada Sumatera Utara 2013 yang lalu. Para Informan dipilih dari beranekaragam

latarbelakang yang terdiri dari beragam pekerjaan, etnis, sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan.

1. Komposisi data informan berdasarkan latarbelakang etnis yakni; dua belas (12) orang

informan berasal dari etnis Batak, delapan (8) orang informan berasal dari etnis Karo,

delapan (8) orang informan berasal dari etnis Jawa, lima (5) orang informan be rasal dari

etnis Nias, Sembilan (9) orang informan berasal dari e tnis Melayu, dan sepuluh (10)

orang informan berasal dari etnis Tionghoa.

2. Komposisi data informan berdasarkan latarbelakang agama yakni ; tiga belas (13) orang

informan beragama Islam, tujuh belas (17) orang informan beragama Kristen, sebelas

(11) orang informan beragama Katolik, Sembilan (9) orang informan beragama Buddha,

dan dua (2) orang informan beragama Hindu.

3. Berdasarkan tingkat pendidikan, dari kom posisi data 52 orang informan warga

Kecamatan Medan Baru yakni; tiga (3) orang informan berpendidikan Magister (S2),

sepuluh (10) orang informan berpendidikan Sarjana (S1), lima (5) orang informan

berpendidikan Diploma, tujuh belas (17) orang informan berpendidikan SMA sederajat,

Page 43: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

43

dua belas (12) orang informan berpendidikan SMP sederajat, dan lima (5) orang informan

berpendidikan SD sederajat.

Untuk bisa bertemu dengan para informan tersebut, peneliti terlebih dahulu mengambil

data sekunder berupa DPT warga Kecamatan Medan Baru yang diakses mela lui pengambilan

data langsung ke Kantor KPUD Kota Medan. Setelah memiliki DPT tersebut, peneliti

menghubungi informan yang merupakan pemimpin salah satu pekumpulan marga dalam etnis

batak yang sudah dikenal dan diketahui oleh peneliti bahwa yang bersangkutan merupakan

pemilih golput pada Pilkada Sumatera Utara 2013. Berangkat dari hasil wawancara dan

keterangan yang diberikan oleh informan pertama tersebut, peneliti ditunjukkan dan dikenalkan

dengan informan-informan lainnya yang merupakan warga Kecamatan M edan Baru yang Golput

pada Pilkada Sumatera Utara 2013. Metode pemilihan informan ini merupakan pengaplikasian

dari teknik snowball dalam menentukan informan yang menjadi narasum ber.

Prosedur yang dilakukan peneliti untuk bisa melakukan wawancara dengan para informan

adalah dengan melakukan pendekatan personal yang baik melalui perkenalan diri peneliti serta

menjelaskan tujuan wawancara yang dilakukan adalah untuk kepentingan studi dengan tidak

memihak partai politik tertentu .Tujuan utama peneliti melakukan hal ini ialah untuk

mendapatkan informasi akurat yang berkaitan dengan tanggapan para informan mengenai

perilaku golput tersebut. Harapan dari peneliti terhadap informasi real dari para informan ini

tentunya sangat bergantung pada kenyamanan para informan tersebut dalam melakukan dialog

berupa diskusi dan wawancara mendalam . Informasi yang jujur dan diberikan secara akurat

tentunya menjadi data yang sangat diperlukan untuk mendukung tujuan dari penelitian ini.31

31

http://www.slideshare.net/Hennov/penelitian -kualitatif-14605311. diakses pada 3 Oktober 2014; 13.47 WIB

Page 44: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

44

Selain menggunakan metode wawancara secara mendalam, penelitian ini juga

menggunakan metode dokumenter untuk mendapatkan data-data sekunder yang memperkuat

data-data primer. Ada beberapa pertimbangan terkait dengan penggunaan metode ini. Pertama,

keunggulan metode ini adalah tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang

pada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang terjadi pada masa yang lalu. Kedua, sebagian besar

fakta dan data sosial tersimpan dalam bentuk bahan yang terdokumentasi. Proses pencarian data

dokumenter dilakukan oleh peneliti dengan cara mengakses sumber-sumber data dokumenter

yang bergantung pada jenis data dokumenter yang diperlukan yaitu dokumen resmi maupun

dokumen pribadi. Data resmi karena bersifat publik, seperti data demografi dan data yang terkait

dengan pelaksaan Pilkada Sumatera Utara diakses secara langsung oleh peneliti pada lembaga

otoritas yang berwenang. Sementara data pribadi yang bersifat personal, diakses langsung

kepada informan yang bersangkutan. (Lihat Tabel 1.4)

Tabel 1.4

Teknik Pengumpulan Data

Jenis Data Teknik Pengumpulan Data

Data Primer

Catatan Lapangan Hasil wawancara Wawancara mendalam

Data Sekunder

Dokumen Tertulis Data Demografi Teknik Dokumenter

Data Kepemiluan

Data Pribadi

Page 45: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

45

I.3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data yang merupakan operasionalisasi dari

metode thick description yang ditawarkan oleh Geertz. Analisis dalam metode ini merupakan

proses perkiraan terhadap makna, pemetaan pikiran dan melukiskannya. Dalam peneli tian ini,

peneliti melakukan analisis terhadap data dengan menggunakan empat proses tahapan analisis,

yaitu: Penyeleksian data (data reduction), pengorganisasian data (data display), verifikasi data

dan kesim pulan. 32

Langkah pertama adalah penyeleksian data untuk memilih data yang

berkaitan dengan tema dan tujuan penelitian. Data -data yang didapat dalam penelitian

dikelompokkan berdasarkan kategori yang telah disusun berdasarkan penggunakan teori yang

telah disediakan. Dalam tahapan ini, data yang menduk ung untuk menjawab tujuan penelitian lah

yang digunakan. Langkah kedua adalah eksplorasi data, yaitu usaha untuk menggali atau

memperjelas data yang sudah ada. Langkah ketiga adalah verifikasi data, yaitu usaha pembuktian

kebenaran data yang tersaji. Dalam proses ini, data yang satu diperbandingkan dengan data

sumber yang lain untuk mendapatkan data yang akurat mengenai tema penelitian. Langkah yang

ke empat adalah penyimpulan, yakni penggambaran makna dari data -data yang sudah

diverifikasi. Pada bagian ini, penafsiran dan analisis dari peneliti sangat dibutuhkan dengan

melakukan konfirmasi pada literature-literatur yang relevan sebagai penguat dan penjelas

penafsiran. Penafsiran data terlebih dahulu diawali dengan pemaknaan data, penjelasan pola

hubungan antar konsep dalam pengertian, sehingga penafsiran penulis bukanlah sebuah

kebenaran mutlak.

32

Carollyn Ellis. And Arthur P. Bochner, Authoetnography, Personal narrative, Reflexiv ity: Researcher as subject.

Dalam Fatih Gama Abisono Nasution, Tesis,2013. Hlm. 23.

Page 46: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

46

Penelitian ini juga akan menggunakan konsep Prospektif dan Retrospektif dalam

menganalisis faktor-faktor penting yang menjadi penyebab yang mempengaruhi perilaku pemilih

dalam masyarakat. Konsep Prospektif adalah analisis yang dilakukan berupa pengamatan

terhadap peristiwa yang belum dan yang akan terjadi (Follow Up Research)dan biasanya

dilakukan sebanyak satu kali a tau lebih. Sedangkan konsep Retrospektif adalah analisis berupa

pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi yang bertujuan untuk mencarifaktor-

faktor yang berhubungan atau memiliki korelasi dengan penyebab dalam penelitian.Oleh karena

itu, untuk menguji kebenaran dan validitas, data dianal isis serta diperkuat dengan metode teknik

tringulasi data, yang berarti mengadakan cross and check antara sum ber data maupun

narasumber satu dengan yang lain, hal ini dimaksudkan agar data dapat terinterpretasi secara

mendalam sehingga signifikansi kesimpulan analisis penelitian dapat diperoleh.

J. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini menggunakan format yang terdiri dari empat (4) bab, dengan sub

bab seperti berikut:

Bab 1 terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, literature review, kerangka

teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab pertama atau bab pendahuluan

dipaparkan argumen dasar penelitian yang hendak memberikan pemahaman bahwa telah

cenderung terjadi eksploitasi pandangan dalam melihat fenomena Golput sehingga perlu

penyeimbangan pandangan supaya bagaimana kemudian kedua kutub yang masing -masing

memiliki logika berseberangan dapat memiliki posisi yang seimbang dalam menganalisis

fenomena Golput, yakni kepentingan dari para calon kandidat maupun partai politik sehingga

dapat dipertemukan dalam upaya penjelasan lahirnya Golput itu sendiri. Intinya, bab ini

Page 47: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91962/potongan/S2-2015... · dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasikannya sebagai

47

menjelaskan apa yang mendasari peneliti melihat dan memposisikan diri bahwa Golput di Kota

Medan pada Pilkada Sumatera Utara 2013 adalah sebuah pilihan politik dari warga negara yang

memiliki hak konstitusi.

Bab 2 merupakan gambaran setting budaya melalui deskripsi Kotamadya Medan sebagai lokasi

penelitian dan juga tempat diadakannya sosialisasi dan kampanye calon kandidat serta

diadakannya pemungutan suara pada Pilkada Sumatera Utara 2013. Deskripsi yang dimaksud

adalah yang meliputi tentang struktur sosial masyarakat, keberagaman suku/etnis, tingkat

pendidikan, dan profesi masyarakat di lokasi penelitian.

Bab 3 menggambarkan dinamika politik dalam konteks pelaksanaan Pilkada Sumatera Utara

2013 di Kecamatan Medan baru. Melakukan pembahasan meliputi pelaksaaan Pilkada secara

langsung dan perolehan hasil suara di Kota Medan. Penjabaran mengenai proses Pilkada

Sumatera Utara di Kota Medan secara umum dengan menampilkan profil dan biodata dari para

calon kandidat dan partai-partai politik pengusung yang ikut serta dalam kontestasi Pilkada

Sumatera Utara 2013.

Bab 4menguraikan fenomena golput di Indonesia khusunya di Kecamatan Medan Baru dengan

memuat analisis untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian yakni mengkaji lebih dalam

tentang faktor-faktor serta alasan-alasan dari perspektif informan yang tidak menggunakan hak

pilihnya dengan menarasikannya menggunakan kerangka teori yang ditetapkan.

Bab 5 merupakan penutup berisi refleksi dan kesimpulan yang disampaikan oleh penulis yang

berkaitan dengan masalah yang diajukan dalam Tesis ini. Sebagai sebuah karya ilm iah, Tesis ini

pun diharapkan dapat memberi kontribusi berupa saran dan masukan yang memban gun bagi

bidang keilmuan dan proses demokrasi.