BAB I Pendahuluan A. Latar...
Transcript of BAB I Pendahuluan A. Latar...
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Studi ini ingin menunjukkan tentang fenomena tingginya perilaku tidak memilih (yang
diistilahkan sebagai Golput) dalam pemilihan kepala daerah Sumatera Utara di Kota Medan pada
tahun 2013 yang lalu. Beberapa tahun setelah melaksanakan pemilihan legislatif dan presiden
secara langsung masyarakat kembali disuguhkan dengan pemilihan kepala daerah secara
langsung (Pilkada Langsung) dimana pengalaman dari pemilihan sebelumnya dapat menjadi
referensi masyarakat dalam menentukan pilihannya saat ini. Namun dari beberapa Pilkada
langsung yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, besarnya angka golput terlihat semakin
meningkat dan bagi sebagian kalangan memang cukup mengherankan serta menimbulkan
kekhawatiran tentang pilkada langsung yang tingkat kedekatan antara calon kepala daerah
dengan konstituennya justru menghasilkan angka golput yang semakin tinggi. Hal ini penting
untuk ditelaah lebih dalam sehingga penulis ingin mencermati golput sebagai fenomena yang
menarik untuk dikaji dengan beragam perspektifnya mengingat masih adanya pro dan kontra
serta kekhawatiran dari beberapa pihak yang menganggap bahwa golput telah memberikan
dampak yang negatif di dalam kehidupan berdemokrasi atau mengindikasik annya sebagai
perbuatan yang haram di dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini.
Secara historis, fenomena tidak ikut memilih atau golput ternyata tidak monolitik karena
setiap orang yang golput ternyata memiliki justifikasinya sendiri, dimana terdapat beragam
argumentasi yang menyebabkan orang menjadi golput. Beberapa motivasi pokok diantaranya
dapat dilihat sejak pemilu yang pertama kali diadakan di Indonesia pada tahun 1955. Dinamika
2
politik saat itu cenderung mengarah pada terjadinya saling intimidasi antara kaum unitaris
dengan kaum federalis yang telah menyeret masyarakat pada suasana yang cukup dilematis,
sehingga timbullah pemikiran dan keputusan yang berpandangan bahwa lebih baik untuk tidak
memilih daripada harus menjadi korban intim idasi dari lawan politik partai yang dipilih. Hal
tersebut juga didukung adanya faktor dari ketidaktahuan sebagian masyarakat tentang pemilu
pada saat itu.1 Namun istilah Golput sepertinya baru pertama kali muncul sebagai sebuah
gerakan pada saat menjelang pemilu 1971. Istilah ini sengaja dicetuskan o leh Arief Budiman2
yang memproklamasikan Golput pada tanggal 3 juni 1971 di Balai Budaya Jakarta sebagai
bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI yang sepenuhnya memberikan
dukungan politis terhadap Golkar. Hal ini terjadi karena arogansi ya ng dilakukan oleh rezim orde
baru pada saat itu yang melakukan pemaksaan maupun ancaman pada seluruh jajaran aparatur
pemerintahan termasuk keluarganya untuk sepenuhnya memberikan pilihan dan dukungan pada
Golkar. Pada saat itu, Arief Budiman menghimbau dan mengajak masyarakat untuk Golput
dengan cara mendatangi TPS untuk melakukan pencoblosan suarat suara. Namun ketika
melakukan pencoblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik melainkan
pada bagian yang berwarna putih agar suara menjadi tidak sah. Menurut arbi Sanit,3 Golput lebih
merupakan gerakan kultural sebagai upaya untuk menegakkan suatu tradisi/kultur cara
bermasyarakat yang sehat.
Melihat dari konteks P ilkada langsung, penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji lebih
dalam ketika melihat fenomena yang terjadi di Kota Medan pada Pilkada Sumatera Utara 2013
yang lalu, hasil rekapitulasi dari KPUD Kota Medan menyatakan bahwa dari 2.121.551 pemilih
1 Wahid, Abdurrahman. 2009. Mengapa Kami Memilih Golput. Jakarta: Sagon. Hlm.98
2 Ibid. Hlm. 99
3 Arbi Sanit. 1992. Aneka Pandangan Fenomena Politik Golput, Yogyakarta, Pustaka Sinar Harapan.
3
terdaftar, hanya 36,62% saja yang memberikan hak pilihnya pada Pilkada Sumatera U tara Tahun
2013.
Tabel 1.1
Perolehan Suara Pasangan Calon Kandidat Kepala Daerah Sumatera Utara 2013 di
Kota Medan.
No. Nama Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Perolehan Suara
1. H. Gus Irawan Pasaribu,SE.Ak, MM – Ir.H.Soekirman 177.082
2. Drs. Efendi MS. Simbolon – Drs. H.Jum iran Abdi 193.241
3. Dr.H.Chairuman Harahap,SH,MH – H.Fadly Nurzal,S.Ag 45.905
4. Drs.H.Amri Tambunan – Dr.R.E.Nainggolan,MM 61.962
5. H.Gatot Pujo Nugroho,ST – Ir.H.Tengku Erry Nuradi,MSi 279.156
Jumlah Suara Sah 757.346
Jumlah Suara Tidak Sah 19.574
Jumlah Suara Sah + Tidak Sah 776.920 (36,62 %)
Jumlah Golput 1.344.631 (63,38 %)
Dari lima pasangan calon yang ikut dalam proses kontestasi politik, yang memperoleh
jumlah suara sah terbanyak adalah pasangan GanTeng (nomor urut lima) yaitu: H.Gatot Pujo
Nugroho,ST dan Ir.H.Tengku Erry Nuradi,M.Si dengan perolehan suara: 279.156 suara sah.
Namun khusus di Kota Medan yang menjadi pemenang di sisi yang lain adalah Golput yang
berjumlah 63,38% 4 sehingga menarik untuk dikaji lebih jauh. Di sinilah kita perlu melihat
4 Rekapitulasi KPU Kota Medan,
4
bahwa pandangan masyarakat kota Medan terhadap partisipasi politik perlu dikaji lebih lanjut
karena sikap dan perilaku masyarakat pasti sangat erat hubungannya dan tidak bisa terlepas
dengan kepentingan dari masyarakat itu sendiri. (Lihat Tabel 1.1) .Pasangan Gatot Pujo Nugroho-
T. Erry Nuradi tampil sebagai pemenang dan dipastikan hanya dalam satu putaran meski hanya
mendapat 1.604.337 suara. Jumlah suara sebanyak ini apabila dibagi dengan warga yang
terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih tetap) sebanyak 10.310.872 orangsebenarnya pasangan ini
hanya meraih 15,56 persen atau tidak sampai 30 persen.Fenomena golput yang terjadi di Medan
dengan jumlah yang fantastis ini menjadi awal berpikir dari penulis bahwa ada sesuatu hal yang
belum bisa dijelaskan oleh peneliti-peneliti yang telah menulis tentang perilaku pemilih di Kota
Medan sebelum nya. Kebanyakan intisari dan kesimpulan dari tulisan tentang golput s elama ini
memiliki kecenderungananalisis dan penggolongan dari sisi yang negatif bagi orang yang golput
tersebut.
Penelitian ini mengambil posisi dengan asumsi awal bahwa belum tentu golput
merupakan kesalahan sepihak dari pelaku golputnya saja. Fenomena ini juga tentu menimbulkan
polemik berkaitan dengan legitimasi yang ada dalam sistem Pemilihan Kepala daerah secara
langsung di Indonesia tentang legitimasi seorang pemenang pilkada.5 Hal ini berdasar pada
legitimasi yang diatur dalam perundang-undangan mengenai pilkada langsung yang
pemenangnya ditentukan dengan memperoleh dukungan berupa suara terbanyak atau cukup
memperoleh 30 persen plus satu dari jumlah suara sah.6 Oleh sebab itu, pasangan calon kandidat
yang terpilih memang sah secara konstitusi namun sebenarnya memiliki kelemahan secara
legitimasi moral terhadap masyarakat dan konstituennya karena hanya dipilih berdasarkan suara
5 Joko. J.Prihatmoko 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi Sistem dan Problema Penerapan di
Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal.102 6 Tinjau Pasal 95 dalam PP No.6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah.
5
terbanyak dari jumlah suara sah dimana dalam konteks Pemilihan Gubernur Sumatera Utara di
Medan tahun 2013 jum lah orang yang menggunakan hak suaranya hanya 36,62% saja.
Tabel 1.2
Perolehan Angka GolputPilkada di Beberapa Provinsi Indonesia 5 Tahun Terakhir
No. Pilkada Tahun
Pemilihan
Jumlah Partisipasi Jumlah Golput
1. Provinsi Kalimantan
Tengah
2010 1.295.709 (61,05%) 504.679 (38,95%)
2. Provinsi Jawa Timur 2008 17.014.266 (60,8%) 6.669.592 (39,2%)
3. Provinsi Banten 2011 6.210.550 (60,20%) 2.471.798 (39,8%)
4. Provinsi Jawa Tengah 2013 14.007.042 (54,75%) 6.336.785 (45,24%)
5. Provinsi Sumatera
Utara
2013 5.001.430 (48,5%) 5.309.442 (51,5%)
Dari Tabel tersebut, dapat dilihat bahwa angka perolehan Golput yang terjadi pada
Pilkada Sumatera Utara 2013 yang lalu merupakan perolehan angka Golput ter tinggi apabila
dibandingkan dengan Golput yang terjadi di beberapa Pilkada di daerah -daerah lainnya di
Indonesia disusul dengan Pilkada Provinsi Jawa Tengah di urutan kedua yang memperoleh angka
Golput yang tinggi .(Lihat Tabel 1.2)7
7 Sumber: Diolah dari data KPU Provinsi di Indonesia.
6
Tabel 1.3
Perolehan Angka Golput Pilkada Sumatera Utara 2013 di Tiap Kecamatan Kota Medan
No. Kecamatan DPT Jumlah Partisipasi Jumlah Golput
1. Medan Amplas 122.366 42.021 (34,34%) 80.345 (65,66%)
2. Medan Kota 102.022 33.352 (32,69%) 68.670 (67,30%)
3. Medan Area 109.301 43.903 (40,16%) 65.398 (59,84%)
4. Medan Denai 156.234 52.707 (33,73%) 103.527 (66,27%)
5. Medan Tuntungan 78.281 29.110 (37,18%) 49.171 (62,82%)
6. Medan Polonia 50.663 18.797 (37,08%) 31.866 (62,92%)
7. Medan Maimun 51.911 17.822 (34,33%) 34.089 (65,67%)
8. Medan Johor 120.885 44.604 (36,89%) 76.281 (63,11%)
9. Medan Selayang 76.770 33.887 (44,14%) 42.883 (55,86%)
10. Medan Baru 45.507 14.486 (31,83%) 31.021 (68,17%)
11. Medan Sunggal 113.732 39.789 (34,98%) 73.943 (65,02%)
12. Medan Helvetia 143.258 52.374 (36,56%) 90.884 (63,44%)
13. Medan Petisah 76.354 26.448 (34,63%) 49.906 (65,37%)
14. Medan Barat 82.630 31.938 (38,65%) 50.692 (61,35%)
15. Medan Timur 108.137 45.477 (42,05%) 62.660 (57,95%)
16. Medan Perjuangan 110.326 40.216 (36,45%) 70.110 (63,55%)
17. Medan Tembung 138.537 47.656 (34,40%) 90.881 (65,60%)
18. Medan Deli 137.323 51.921 (37,81%) 85.402 (62,19%)
19. Medan Labuhan 96.293 38.102 (39,57%) 58.191 (60,43%)
7
20. Medan Marelan 98.772 39.454 (39,94%) 59.318 (60,06%)
21. Medan Belawan 86.665 30.529 (35,22%) 56.136 (64,78%)
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa rekapitulasi perolehan Golput di Kota
Medan dalam tiap-tiap kecamatan ternyata sangat tinggi dan hampir merata secara keseluruhan.
Namun diantara keseluruhan Kecamatan yang terdapat di Kota Medan, Kecamatan Medan Baru
merupakan Kecamatan yang memperoleh angka Golput tertinggi yakni sebesar 68,17% . Hal
inilah yang kemudian menjadikan Kecamatan Medan Baru menjadi objek penelitian yang dipilih
sebagai representasi untuk menjelaskan dinamika politik di Kota Medan secara
keseluruhan.(Lihat Tabel 1.3)8
Dalam semangat penyelenggaraan Pilkada, seorang kepala daerah memang diharuskan
memiliki legitimasi yang kuat, karena dengan demikian kepala daerah terpilih itu memiliki
keabsahan dari segi moral dan etika dalam melaksanakan kebijakannya di hadapan rakyatnya.9
Logikanya seharusnya memang demikian karena mereka adalah representasi dari masyarakat
daerahnya yang harus berjuang mensejahterakan rakyat yang telah memberikan mandat kepada
meraka untuk memimpin. Namun ketika rakyat yang telah memberikan legitimasi kepada kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih ini mengalami akumulasi kekecewaan, maka
mereka diharapkan akan lebih peka dan responsif terhadap keinginan rakyat. Sebab apabila janji
yang diberikan kepada konstituen pada saat kampanye tidak dipenuhi, maka itu akan menjadi
hutang yang akan ditagihkan ketika pemilihan pada periode yang selanjutnya. Namun realita
yang terjadi saat ini adalah sangat sedikit Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih yang
memiliki legitimasi kuat karena sistem penetapan calon terpilih termasuk ringan. Hal ini dapat
8 Rekapitulasi KPU Kota Medan
9 Pamungkas, Sigit.2009. Perihal Pemilu. Jogjakarta: JIP-Fisipol-UGM, Hlm.5
8
dilihat dengan peraturan yang menetapkan pasangan calon yang berkontestasi rata-rata di atas
dua pasangan kepala daerah, penentuan kemenangan pasangan kandidat diraih dengan cukup
memperoleh suara terbesar (first pass the post). Bukan suatu kebetulan jika kemudian pejabat
lama (incumbent) lebih banyak diuntungkan dengan memenangi kom petisi pilkada dibandingkan
penantang (challenger). Peraturan penetapan kemenangan pasangan calon kandidat ini dapat
dibaca pada Pasal 107 UU Nomor 12 Tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut;
Pasal 107 UU No.12 Tahun 2008:
(1) Pasangan calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara
lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan
calon terpilih.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuh i, pasangan
calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari
30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan
suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Logika legitimasi moral etika inilah yang ingin dihubungkan dengan kuantitas partisipasi
dalam pilkada yang ingin direbut oleh para kandidat untuk melegalkan posisinya baik dari aspek
hukum legal formal maupun dari e tika-moral sebagai pejabat publik yang telah menjadi
representasi dari masyarakat khususnya dalam konteks menjadi kepala daerah. Dengan demikian,
bagi mereka, meningkatnya angka golput umumnya dipandang mengurangi derajat legitimasi
pemerintahan yang terbentuk. Ini mengisyaratkan bahwa akal sehatnya telah terseret oleh
penalaran para kandidat, yang selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan suara sebanyak-
banyaknya. Mereka secara tidak sadar, telah terhegemoni para kontestan yang sebenarnya secara
9
diam-diam telah mengusung faham angka golput sering dilihat berbanding terbalik dengan
derajat legitimasi. Semakin tinggi angka golput maka semakin rendah derajat legitimasi
pemerintahan. Sebaliknya, semakin rendah angka golput semakin tinggi pulalah tingkat
legitimasi pemerintahan dan institusi-institusi politik dalam demokrasi. Pada titik inilah
keterkaitan antara perolehan suara dengan basis legitimasi politik menjadi penting dan relevan
untuk ditelaah tepatnya dari sisi moral dan etika politik.
Sekali lagi secara konteks legal-formal, saat ini memang tidak ada kaitan dari berapapun
jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, maka hasil pemilu tetaplah legal. Namun,
apabila melihat golput yang terjadi di kota Medan dalam konteks pilkada Sumatera Utara 2013
lalu, Ada kalanya terjadi peristiwa seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles,10
tentang
partisipasi politik bahwa warganegara membutuhkan keutamaan moral dan keutamaan
intelektual dalam hidup bersama. Hal ini tentu juga dapat membantu manusia dan warga negara
untuk mencapai kebaikan bersama. Sehingga cara yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan itu
adalah warga negara yang harus diberi pendidikan dan pelatihan sebagai warga negara yang baik
sedini mungkin. Oleh karenanya, menjadi pertimbangan bahwa secara etis, golput dapat menjadi
pembelajaran politik yang bagus apabila diniatkan kepada para kontestan dan partai politik
bahwa mereka tidak sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat yang diwakilinya.
Tentu saja banyak yang berpandangan dengan ikut memberikan hak suara di TPS
(Tempat Pemungutan Suara) adalah syarat bagi seseorang untuk disebut pro demokrasi dan
mengagungkan bahwa demokrasi adalah sebuah tujuan. Namun hal ini tentu bisa menjadi
perdebatan karena tidak sepenuhnya benar juga mengingat demokrasi yang dijalankan didalam
10
Aristoteles, 2004. Politik (diterjemahkan dari Buku Politics, Oxford University Press), Yogyakarta, Bentang
Budaya. Hal. 3
10
sistem pemerintahan itu merupakan sebuah proses. P roses demokrasi inilah yang sepertinya
dianut di Indonesia karena dianggap dapat memberikan kontribusi didalam kehidupan bernegara
khususnya Indonesia sehingga yang menjadi tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan
masyarakat yang sejahtera, berdaulat, adil dan makmur. Oleh sebab itu yang menjadi fokus
seharusnya adalah bagaimana mewujudkan tujuan tersebut sehingga semua pihak tentunya harus
siap menerima segala konsekuensi dari proses demokrasi yang dipilih untuk dianut, termasuk
Golput yang merupakan konsekuensi dari demokrasi tersebut.
Pengalaman empiris masyarakat te lah sedemikian rupa menjadi penyebab
terakumulasinya kekecewaan terhadap ingkarnya elit politik akan janjinya di masa lalu dan oleh
sebab itu saat ini memunculkan fenomena baru dengan semakin rasionalnya para pemilih yang
dalam kajian ini akan mendeskripsikan masyarakat kota Medan yang tidak menggunakan hak
pilihnya pada Pilkada Sumatera Utara 2013. Kajian ini penting dilakukan untuk mengimbangi
popularitas pandangan yang mendudukkan praktek golput cenderung negatif sebagai tindakan
pengecut, dan dianggap telah menciderai demokrasi. Banyak pihak yang percaya dan menyetujui
bahwa Golput juga dianggap merupakan sikap apatis terhadap pembangunan demokrasi dan oleh
sebab itu harus diberantas dan d ilawan secara bersama-sama. Tulisan ini mencoba
menyeimbangkan pandangan bahwa tidak semua orang yang tidak menggunakan hak pilihnya
secara sadar di dalam pemilu dapat digeneralisasi seperti itu.
Pilkada langsung juga biasa dipahami sebagai proses untuk me njunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi dengan menjamin kehendak rakyat dapat diwujudkan dalam sebuah pola kekuasaan
tanpa menggunakan kekerasan. Dalam hal ini Golput adalah cerminan dari bentuk pemahaman
dalam berdemokrasi sebagai bentuk pengelolaan konflik melalui cara yang tidak menggunakan
11
kekerasan dengan memperlihatkan bentuk protes dengan cara tidak menggunakan hak pilih
secara sadar. Di sisi lain, pemilu juga diharapkan dapat menghasilkan pemimpin pemerintahan
yang secara procedural legitimate. Salah satu pandangan seperti ini dikemukakan oleh Prof.
Wiwieq,11
yang menyatakan bahwa sangat sulit bagi masyarakat saat ini untuk menghindari
kesan bahwa elite politik hanya menjadikan rakyat sebagai komoditas politik dan alat untuk
memberikan legitimasi dalam perebutan kekuasaan. Fakta yang memperlihatkan tentang pemilu
presiden dan wakil presiden serta pilkada langsung cenderung menghasilkan pemimpin yang
tidak merakyat atau hanya sebatas menjadi penguasa-penguasa saja. Hal yang membingungkan
juga ketika penyelenggara negara memang berganti, tetapi paradigma kerakyatannya ternyata
tidak banyak berubah, rakyat hanya berperan sebagai objek demokrasi dan bukan menjadi subjek
dari demokrasi itu sendiri dan hal ini tentu saja bertentangan dengan roh perjuangan gerak an
reformasi yang demokratis.
Dari beberapa argumen tersebut, maka golput merupakan sebuah realitas politik yang
harus diakui dalam praktik demokrasi di Indonesia. Meski sejatinya golput adalah fenomena
alamiah, namun demikian keberadaannya kerap kali dianggap mengganggu sehingga perlu
dibatasi jumlahnya. Disinilah penulis ingin menunjukkan bahwa ada hal lain yang menyebabkan
orang beramai-ramai golput dan itu merupakan ekspresi mereka sehingga perlu dihargai sebagai
bagian dari proses demokrasi. Angka golput yang tinggi tersebut menyadarkan kita bahwa rakyat
adalah pemegang kedaulatan sehingga pemimpin dalam menjalankan pemerintahan haruslah
mendapat legitimasi dari yang dipimpin. Alasan penulis memilih kota Medan sebagai
representasi dari Pilkada Sumatera Utara selain dari angka golput yang fantastis juga menimbang
bahwa Medan merupakan Ibukota provinsi dan struktur masyarakat yang ada di Medan adalah
11
http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=88815#.UuGapr23Gt8, di unduh pada tanggal 23 Januari 2014;
10.35 WIB.
12
heterogen sehingga kemajemukan tersebut dapat menjadi sebuah keniscayaan yang lebih adil dan
representatif dalam menganalisis fenomena Golput yang terjadi di Sumatera Utara. Penelitian ini
mengambil posisi dengan mengusung paham bahwa ketika orang memutuskan untuk tidak
memberikan hak pilihnya, maka sebenarnya sejalan dengan harapan perpektif dari proses
berdemokrasi, oleh sebab itu perlu pembuktian yang empiris untuk meyakinkan hal tersebut
terkait dengan perilaku tidak memilih yang semakin menguat.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini digerakkan oleh keingian untuk memahami tentang perilaku tidak memilih
(Golput) di Kota Medan. Maka pertanyaan yang diajukan adalah: Mengapa Golput bisa sangat
tinggi di Kota Medan pada Pilkada Sumatera Utara 2013 yang lalu?
Dan untuk menjawab rumusan masalah tersebut, dituturkan dalam prosesnya dengan
menjelaskan melalui pertanyaan turunan: “Bagaimana Golput dapat dijelaskan dan dipahami dari
perspektif perilaku memilih sebagai konsekuensi dari tidak terakomodasinya kepentingan
masyarakat di Kota Medan?”
C. Tujuan Penelitian
Kajian penelitian ini penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk mencari tahu secara
lebih mendalam tentang faktor-faktor yang menjadi alasan kuat bagi masyarakat di Kota Medan
ketika memilih Golput sebagai pilihan ekspresi politiknya, sehingga diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang golput tersebut serta implikasinya terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah kajian yang menarik karena
menganalisis permasalahan Golput dari perspektif pilihan yang tentu saja bukan pilihan yang
tanpa sadar namun menggunakan pertimbangan yang argumentatif.
13
D. Literature Review
Berkaitan dengan kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya, telah banyak dilakukan
analisis dan pembedahan terhadap kasus Golput ini. Akan tetapi dalam kenyataannya persoalan
mengenai golput tentu tidak serta merta turut langsung selesai. Hal tersebut juga merupakan
salah satu ciri ilmu sosial yang sangat dinamis karena terus berkembang seiring dengan
perjalanan masa ke masa. Dari berbagai literature perilaku pemilih khususnya tentang teori-teori
perilaku pemilih yang dibangun berdasarkan realitas politik negara -negara barat, perilaku Golput
ini umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam
pemilu/pilkada karena tidak adanya motivasi.
Adapun penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan dalam penulisan tesis ini
adalah tesis yang ditulis oleh Muhammad Asfar12
pada tahun 1998 yang meneliti tentang
Perilaku Non Voting di bawah sistem politik hegemonik yang secara umum bertujuan untuk
menggambarkan latar belakang sosial ekonomi dan karakteristik psikologi nonvoters sekaligus
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mereka untuk golput. Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan kenaikan suara golput, terutama di wilayah
perkotaan. Di samping itu, secara teoritik, nonvoters di Indonesia menunjukkan karakteristik
menarik, seperti berpendidikan tinggi, berasal dari kelas mapan, dan sebagainya.
Beberapa permasalahan yang dikaji yaitu tentang bagaimana latar belakang sosial
ekonomi nonvoters seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan, aktivitas organisasi, dan
semacamnya dan faktor apa saja yang mempengaruhinya. Dan untuk menjawab pertanyaan itu,
peneliti mewawancarai enam nonvoter di Surabaya sebagai responden. Tiga orang aktivis partai
12
Muhammad Asfar, 1998. Perilaku Non Voting di Bawah Sistem Politik Hegemonik. (Tesis) Program Pascasarjana
Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
14
politik (PPP, Golkar, dan PDI) dan tiga orang lagi aktivis organisasi sosial dan kemahasiswaan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa; pertama, para nonvoter mempunyai karakteristik sosial
ekonomi sebagai berikut: sebagian besar berpendidikan yang memadai, pekerjaannya juga
bervariasi. Kedua, faktor-faktor latar belakang sosial ekonomi, karakteristik kepribadian, dan
pengalaman sosial, persepsi dan evaluasi terhadap sistem politik. Selain itu, Pengalam an
terhadap pemilu orde baru dan kepercayaan politik dari nonvoter mempengaruhi atau
berhubungan dengan perilaku tidak memilih mereka. Ketiga, perilaku nonvoter sebagai bentuk
protes terhadap sistem politik hegemonik daripada sebagai manifestasi tidak adanya motivasi
untuk memilih.
Penelitian tentang nonvoter yang lain juga telah dilakukan oleh Robi Cahyadi
Kurniawan13
yang meneliti tentang Perilaku tidak memilih (Golput) dalam Pilgub Lampung
tahun 2008 dengan studi kasus di Kecamatan Kedaton dan Tanjung Karang Timur Kota Bandar
Lampung) dimana dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif yang
memberikan kesimpulan bahwa alasan bagi masyarakat etnis tionghoa di lampung tidak memilih
adalah masih adanya perilaku rasis yang membedakan keberadaan mereka dengan warga asli
atau pendatang lain. Perilaku partition (pemisahan) ini mereka rasakan dalam hal sulitnya
pengurusan surat izin atau kegiatan bisnis lain. Selalu ada biaya tambahan untuk kegiatan bisnis
yang mereka lakukan, setiap proyek yang dikerjakan dan setiap kegiatan ekonomi lain. Tindakan
ini mereka lakukan karena lebih beralasan untuk bertahan hidup dan mencoba untuk tidak
menyakiti pihak manapun. Kurangnya respon dari pemerintah, maraknya korupsi dan tindakan
rasisme yang masih ada hanya sebagai faktor pendukung lain dari putusan politik yang diambil.
13
Robi Cahyadi Kurniawan, 2009. Perilaku Tidak Memilih (GOLPUT) Dalam Pilgub lampung 2008 (Studi di
Kecamatan Kedaton dan Tanjung Karang Timur Kota Bandar Lampung). (Tesis) Program Pascasarjana Studi Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada.
15
Hasil penelitian ini juga mengkaji tentang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang golput
sebagai tindakan yang merupakan sikap yang dilakukan sebagai fungsi protes. Fungsi protes ini
dilakukan sebagai upaya untuk meluapkan trauma politik yang terjadi akibat peristiwa atau
kegiatan dalam tata pemerintahan yang mereka alami pada era orde baru. Trauma politik yang
dimanifestasikan dengan tidak memilih yang terjadi pada PNS ini terjadi karena beberapa hal,
Pertama, secara sosiologis yang dipengaruhi oleh status pekerjaan mereka yang memb uat status
sosial pilihan politik mereka menjadi terbatas. Untuk menghindari perdebatan dalam lingkup
pekerjaan, mereka memilih untuk golput. Di lain pihak, ada juga yang berupaya untuk melebur
dengan partai penguasa lokal dan memihak pada salah satu calon tertentu, namun pilihan mereka
di balik bilik suara menjadi berbeda. Tindakan ini dilakukan untuk menjaga hubungan baik
dengan pihak lain terlebih dengan atasan di tempat kerja. Kedua, alasan psikologis; ikatan
emosional yang terjalin dengan banyak calon atau ikatan berdasarkan hubungan kekeluargaan
menjadikan tindakan untuk tidak memilih menjadi sebuah pilihan. Dalam pola hubungan
kekeluargaan di Lampung, keeratan hubungan kekeluargaan antara satu keluarga dengan
keluarga lain diikat oleh adat yang sangat kuat. Dari ketujuh pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur pada pilgub 2008 yang lalu, sebagian besar direpresentasikan oleh etnis Lampung
sebagai warga pribumi.14
Berdasarkan literatur-literatur yang sudah dipaparkan diatas, ada kesamaan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini yakni memetakan faktor-faktor yang menjadi alasan warga
Kecamatan Medan Baru akhirnyamemutuskan untuk golput.Kajian ini penting untuk dilakukan
melihat semakin tingginya perolehan Golput pada Pilkada yang dilakukan di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir sehingga penting untuk mencari tahu secara mendalam tentang penyebab
14
Ibid, Hlm. 98
16
hal itu bisa terjadi dengan analisis yang tetap memiliki relasi tentang argumentasi alasan-alasan
golput tersebut.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori yang digunakan bertujuan untuk menjelaskan dan menghubungkan
konsep-konsep kunci penelitian dalam menemukan permasalahan penelitian, sehingga
diharapkan dapat memudahkan peneliti dalam menemukan data dan menarasikan hasil temuan
secara argumentatif. Menggunakan teori dalam penelitian juga berguna untuk membantu
menjelaskan fokus penelitian agar dapat memberikan jawaban yang tepat berdasarkan rumusan
masalah dan tujuan penelitian yang diajukan. Untuk mengkerangkai dan menganalisis penelitian
tentang perilaku Golput ini, maka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori
Perilaku Memilih, Rational Choice Theory (Teori Pilihan Rasional), pendekatan Sosiologis dan
pendekatan psikologis.
E.1. Perilaku Pemilih
Teori perilaku pemilih menurunkan pemahaman konsep bahwa ketika seseorang
memutuskan untuk tidak memilih, maka itu juga adalah sebuah pilihan. Oleh sebab itu, Teori ini
juga dapat dipakai dalam menaganalisis Golput itu sendiri yang tentunya sangat berkaitan
dengan sikap dan motivasi dalam menentukan pilihan. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa sikap
merupakan ungkapan perasaan dari seseorang tentang suatu objek apakah disukai atau tidak,
Sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan seseorang terhadap berbagai atribut dan manfaat
dari objek tersebut terhadap situasi yang sedang atau yang pernah dirasakan.
17
Motivasi biasanyaakan muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat
yang diberi hak untuk memilih. Namun di sisi yang lain, kebutuhan sendiri muncul karena
masyarakat merasakan ketidaknyamanan antara yang seharusnya dirasakan dengan yang
sesungguhnya dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan yang harus dipenuhi
tersebutlahyang pada akhirnya akan mendorong seseoranguntuk melakukan tindakan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang kemudian akan berorientasi pada kepentingan pribadi
maupun kolektif. Mereka melihat bahwa sebabnya adalah apa yang diperjuangkan kandidat atau
partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan perorangan maupun kelom pok secara
langsung, walaupun mungkin hal tersebut menyangkut kepentingan umum yang lebih luas.
Sebab para kandidat yang terpilih biasanya menggunakan logika -logikanya sendiri dalam
mengambil berbagai keputusan politik, dan dalam banyak hal dan situasi, mereka berada jauh di
luar jangkauan para pemilih. Dalam konteks pilkada, para pemilih yang mempunyai pemikiran,
pengalaman dan pemahaman tentang politik seperti itu akan merasakan keterasingan secara aktif
sehingga akan cenderung menarik diri dari percaturan politik langsung, karena tidak
berhubungan dengan kepentingannya dan menganggap pemerintah tidak mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap kehidupan seseorang.
Fenomena perilaku maupun sikap juga mengemukakan bahwa sikap seseorang terhadap
suatu objek akan mempengaruhi perilaku atau tindakannya terhadap lembaga tersebut dimana
dalam hal ini terhadap pemerintah, kandidat, dan partai politik yang mengusung para calon
kandidat. Model sikap multiatribut inilah yang menjelaskan bahwa sikap dan perilaku memilih
terhadap suatu objek sikap (kandidat dan partai politik) sangat ditentukan oleh sikap pemilih
terhadap berbagai indikator yang dievaluasi. Bentuk perilaku ini biasanya dipakai oleh para
pemilih sebagai ekspresi protes terhadap pihak pemerintah atau partai yang sedang berkuasa
18
serta lembaga-lembaga demokrasi lainnya yang dianggap belum mampu untuk mengakomodasi
kepentingan dari masyarakat yang menjadi konstituennya. Meskipun demikian perilaku memilih
menjadi sebuah objek penelitian yang menarik bagi para ilmuwan sosial dan politik, termasuk
perilaku memilih di Indonesia.
Dalam kajian ini, sikap dan perilaku golput perlu dibaca sebagai isyarat kekecewaan dan
ketidakpuasan terhadap terinjak-injaknya aturan main demokrasi oleh para elit partai politik dan
terhadap tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat (Arbi
Sanit;1992).15
Fenomena yang memberi gambaran dengan meningkatnya golput belakangan ini
sepertinya telah menjadi tamparan bagi partai politik, para politisi dan demikian juga halnya
dengan lembaga penyelenggara pemilihan umum. Tapi bagi masyarakat yang tingkat
kedewasaan berpikirnya sudah tinggi, golput harus dilihat sebagai ekspresi politik. Artinya, pada
dasarnya orang yang memilih dengan yang tidak memilih dengan kesadaran adalah orang yang
sama di mata politik. Oleh sebab itu, Dalam menganalisis golput, penelitian ini mengkategorikan
golput dari perspektif seperti yang dikategorikan oleh Indra J. Piliang16
menjadi tiga (3) kategori,
yaitu: Golput Politis, Golput Pragmatis dan Golput Ideologis.
Golput politis dapat dijelaskan dengan memahami dan melihat sikap yang diambil oleh
mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud tujuan yang jelas menolak untuk
memberikan suara dalam pemilu atau pilkada. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan
hadir pada di TPS (Tempat Pemungutan Suara) karena alasan teknis seperti: ketiduran, masalah
administrasi yang belum terdaftar, secara otomatis dikeluarkan dari kelompok ini, dengan tujuan
bahwa mereka yang tidak memilih itu sebetulnya sedang ingin mendewasakan para eli t politik
15
Sanit. Op.cit. Hlm.7
16Diolah dari berbagai sumber. Lihat, Muhammad asfar, Aneka Pandangan Fenomena Politik
Golput,Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, Hlm.30-51
19
yang ada. Keputusan ini diambil untuk memperlihatkan bahwa sebetulnya dia merasa tidak
memiliki wakil, sehingga elit politik diharapkan dapat lebih serius dalam mengelola negeri ini.
Oleh karenanya, harus ada yang melihat golput sebagai fenomena yang kritis dalam
berdemokrasi. Asumsinya adalah perilaku politik masyarakat yang memiliki kecenderungan
untuk Golput tidak bisa dilepaskan atau sangat dipengaruhi oleh kinerja pemerintahan yang
sedang berlangsung maupun yang sebelumnya serta tidak terakom odasinya kepentingan
masyarakat selama kurun waktu terakhir. Hal ini juga terjadi karena adanya dukungan faktor
pluralitas yang terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu kemajemukan suku, agama, ideologi,
aliran dan budaya politik dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
memilih masyarakat terhadap pemilihan partai maupun calon kepala daerah tertentu.
Golput Pragmatis yang dimaksud dalam kajian ini dapat dipahami dan dilihat dengan
keputusan pengambilan sikap berupa ketidakhadiran dalam bilik suara karena disebabkan tidak
adanya nilai lebih dari proses pemilu atau pilkada yang terjadi. Bagi pelaku golput pragmatis ini,
aktivitas pemilu atau pilkada dengan menhadiri TPS (Tempat Pemungutan Suara) dinilai
menimbulkan kerugian besar bagi pemilih dari segi finansial, tenaga, waktu bahkan pikiran.
Anggapan jika tidak ada nilai lebih yang mereka terima dibandingkan dengan nilai kerugian
yang mereka keluarkan, maka keputusan untuk golput menjadi sebuah pilihan yang diambil.
Ketidakhadiran ke bilik suara ini juga kerap kali didukung dengan adanya penyebab urusan yang
lebih penting lainnya untuk diberi prioritas perhatian. Hal ini harus dipahami dalam konteks
tidak adanya nilai lebih yang didapatkan oleh pemilih.
Di sisi yang lain, Golput yang cenderung permanen adalah kategori Golput ideologis,
pelaku golput ideologis ini biasanya merupakan penganut paham ideologi sayap kiri maupun
sayap kanan, karena bagi mereka golput dianggap merupakan perwujudan keyakinan ideologis.
20
Bagi penganut ideologi sayap kiri, golput dianggap sebagai simbol penolakan untuk
berpartisipasi dalam pemilu atau pilkada sebagai konsekuensi mereka atas penolakan terhadap
demokrasi liberal. Bagi pandangan mereka, pemilu dan demokrasi liberal adalah anak kandung
kapitalisme yang memproduksi kesenjangan, eksploitasi dan ketidakadilan. Sedangkan bagi
penganut ideologi sayap kanan, terdapat juga kalangan fundamentalisme agama terutama agama
Islam. Menurut pandangan mereka, demokrasi dan pemilu/pilkada bertentangan de ngan syariat
agama. Pemilu dinilai menyerahlan kedaulatan kepada rakyat sebagai manusia, padahal bagi
pandangan mereka hanya Tuhan lah yang berhak memilikinya.
E.2. Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Asumsi dari teori pilihan rasional ini berangkat dari ekonomi politik, dimana semua
orang itu punya tujuan dalam hidupnya sehingga semua aktor itu dikatakan rasional. S ifat dasar
dari makhluk rasional adalah kalkulasi untung-rugi yang menjadi dasar dari setiap tindakannya.
Namun tidaklah cukup ketika hanya mendefiniskan pilihan rasional sebatas aspek untung rugi
semata. Rasional juga berarti ketika seseorang secara independen bebas dari pengaruh luar dalam
menentukan keputusannya. Independen dalam hal ini berarti tidak adanya tekanan, pengaruh,
ataupun paksaan dari pihak lain apabila seseorang menentukan pilihannya. Dengan kata lain,
pilihan tersebut bebas dari konsekuensi dari yang ditim bulkan apabila seseorang memilih
melakukan tindakan tertentu. Cara berpikir itulah yang dipakai oleh mazhab ratio nal choice. Jadi
jikalau kita tahu tujuannya dan nilai-nilai yang diadopsi, maka itulah yang menjadi pilihannya
dan tentunya ada cara-cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Ada sekian banyak variasi yang tersedia dan masing-masing orang itu punya urutan
referensi, dimana hal ini merupakan pinjaman dari ilmu ekonomi sehingga kelemahan dan
21
kekuatannya juga terdapat disitu. Golput dalam hal ini tentu dapat diasum sikan sebagai bagian
dari pendidikan politik untuk masyarakat seperti bagi kalangan muda, yang tentu saja tujuannya
bukan untuk menjadi pengikut dari salah satu aliran politik tertentu, tetapi untuk membuat orang
dapat berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi lingkungannya dengan tujuan untuk menjaga
tradisi berdemokrasi. Da lam situasi apapun juga, pendirian yang berbeda dari tiap individu harus
selalu dilindungi sehingga tidak ada lagi kekuasaan yang tanpa batas. Keniscayaan yang sudah
bisa diantisipasi yang membuat asumsinya adalah baik bagi seseorang akan berpengaruh baik
juga bagi orang lain. Asumsi yang lain adalah orang itu diasumsikan selfish (egoisme kolektif)
yang akhirnya dapat menghasilkan tertib sosial dimana diperlukan kepastian demi memudahkan
diri sendiri, sehingga orang mematuhi peraturan karena dinilai ada manfaatnya dan bukan karena
legalitas ataupun adanya paksaan. Ketika itu diter ima sebagai asumsi dasar, Golput juga bisa
diperhatikan dari proses pembentukan legitimasi sistem politik sebagai wujud protes terhadap
sistem politik yang tidak mengaktualisasikan pengembangan demokrasi yang signifikan karena
didasarkan pada banyak pertim bangan yang harus dieksplorasi karena masih ada banyak pula
pertimbangan-pertimbangan yang belum diartikulasikan secara terungkap.
Dalam konteks Pilkada, Ada nasehat yang mengatakan: “Pilihlah salah satu kandidat
yang paling berkualitas dari semuanya yang tidak berkualitas”. Sebagai contoh: Kalau ada lima
calon gubernur yang tidak berkualitas, masing-masing Si A dengan nilai 50, B 40, C 30, D 20
dan E 10, maka kita dianjurkan untuk menjatuhkan pilihan pada Si A yang punya nilai tertinggi,
yaitu 50. Hal ini tentulah merupakan sesat logika karena semuanya di bawah standar yang berarti
“tidak lulus” atau tidak sesuai harapan untuk menjadi pemimpin yang baik dan berkualitas.
Selain itu, ajakan untuk memilih secara spekulatif, berdasarkan “ilmu kira -kira seperti ini”, yang
tidak berdasarkan kualitas yang bisa dipertanggung jawabkan, maka bisa berarti berpotensi
22
memilih calon yang koruptor dan merupakan cara memilih yang sesat logika. Oleh sebab itu
pilihan untuk golput merupakan keniscayaan logika yang jernih bagi orang yang memiliki
rasionalitas dalam melihat dan mengetahui kualitas kandidat yang ikut berkontestasi.
Asumsi yang dibangun dalam pendekatan rasional adalah ketika masyarakat memiliki
kecenderungan berubah dalam menentukan pilihan dari pemilihan satu ke pemilihan lain dalam
periode tertentu. Menurut pendekatan rasional, masyarakat memiliki rasionalitas yang tinggi dan
melakukan penilaian objektif terhadap partai politik atau orang yang akan dipilih dengan harapan
mereka memilih bukan karena faktor ketidaksengajaan tetapi untuk kepentingan umum.
Demokrasi memang idealnya dipandang harus memenuhi salah satu syarat utama yaitu rational
choice.17
Adapun teori Downs menurut Imawan adalah sebagai berikut:
- Masyarakat berprilaku rasional sesuai dengan kepentingan individu masing -masing
- Preferensi kebutuhan memilih dapat digambarkan pada skala kiri dan kanan
- Opini publik membentuk lonceng karena suara masyarakat berkumpul di tengah
(mengambil posisi aman)
- Partai politik mengontrol pemerintah dengan cara mengontrol pemilihan umum yang
berjalan.
Hal ini tentu berpengaruh terhadap keputusan memilih dari masyarakat terlebih pada lingkup
lokal yang harus didasarkan pada pilihan rasional sehingga setiap orang dalam melakukan
sesuatu pasti berawal dari melakukan sebuah pertim bangan untuk menentukan tindakannya.
Asumsi yang dibangun dalam pendekatan rasional choice adalah bahwa pemilih bukannya
wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan dalangnya. Pendekatan inilah yang
17
Riswanda Imawan, “Silabus Mata Kuliah SKPI Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM”, hal.3
23
dipelopori oleh Anthoni Down (1957) yang melihat orientasi pemilih dalam menentukan
sikapnya dipengaruhi oleh dua hal penting, yakni orientasi isu dan kandidat (figur). Orientasi isu
berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Sedangkan orientasi kandidat mengacu pada
sikap seseorang terhadap pribadi kandidat (figur) tanpa mempedulikan label partainya dan
kemudian disinilah moment pemilih menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan rasional.
Kalau dilihat dari kacamata dan sudut pandang pejabat yang mau dipilih, maka mereka
akan berpandangan bahwa dengan banyaknya orang yang memilih selalu menjadi salah satu
tolak ukur yang sangat menentukan keberhasilan pemilu. Telaah dari rasionalitas kontestan ini
saat ini ternyata dengan mudah telah menyeret pemahaman seolah-olah pemilihan itu lebih
diagungkan sebagai kewajiban daripada hak. Disini jelas terlihat telah terjadi kekeliruan nalar
karena hak pilih seseorang adalah mutlak dari pribadi yang bersangkutan sehingga tidak bisa
diintervensi dan dihakimi oleh orang lain. Persoalan seseorang untuk menggunakan atau tidak
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah sebuah pilihan dan hal tersebut dilindungi oleh
undang-undang dan hukum yang berlaku. Ketika kualitas pemilu didasari oleh banyaknya orang
yang menggunakan hak pilih, maka para kontestan sebenarnya telah merelakan dirinya untuk
mendapatkan partisipasi yang berkualitas rendahan, yakni partisipasi yang termobilisasi. Pemilih
yang karena alasan apapun, mengambil inisiatif untuk tidak menggunakan hak pilih, secara
konseptual sebenarnya memiliki kualitas partisipasi yang lebih tinggi, namun sayangnya justru
kualitas yang lebih tinggi ini terdiskriminasi oleh pemahaman bahwa kualitas pemilu
ditunjukkan oleh kuantitas orang yang menggunakan hak pilih. Sehubungan dengan adanya
pemelintiran logika „kualitatif‟ ke dalam logika „kuantitatif‟ ini, perlu kiranya kita mengkaji
pemilihan umum dari perspektif pemilih, tegasnya dari perspektifnya hak pemilih itu sendiri.
24
Realita yang terjadi dewasa ini merupakan penerapan dari hal yang sama terjadi ketika
masyarakat menentukan pilihan seseorang terhadap suatu kandidat yang mendoron g
berkembangnya pendekatan yang menjelaskan bahwa pilihan masyarakat secara sederhana telah
didasari a tas faktor untung rugi. Lebih sederhananya, semakin condong efek yang diterima akan
manfaat (untung) dari memilih seorang kandidat, maka kecenderungan masyarakat untuk
memilihnya akan lebih besar. Sebaliknya, semakin condong efek yang diperoleh pada kerugian,
maka masyarakat akan cenderung untuk tidak memilih kandidat tersebut.
Fenomena tentang menggunakan rasionalitas juga cenderung seperti yang dikemukaka n
Anthony Downs dalam Roth, Dieter, 18
yang menyatakan bahwa pemilih yang rasional hanya
menuruti kepentingannya sendiri atau kalaupun tidak, pemilih tersebut akan senantiasa
mendahulukan kepentingannya sendiri diatas kepentingan orang lain yang disebut den gan self-
interest axiom. Manusia bertindak egois terutama dikarenakan mereka ingin mengoptimalkan
kesejahteraan material mereka yakni harta benda atau pemasukan mereka. Jika hal ini diterapkan
pada perilaku pemilih, maka pemilih yang rasional akan memilih partai maupun kandidat yang
paling menjanjikan keuntungan bagi dirinya atau bahkan tidak memilih karena menganggap
tidak ada calon maupun partai yang merepresentasikan dia. Pemilih tidak terlalu tertarik pada
konsep politis suatu partai, melainkan kepada keuntungan terbesar yang dapat ia peroleh apabila
partai ini menduduki pemerintahan dibandingkan partai lain. Untuk dapat memperkirakan atau
menghitung keuntungan ini, yang diistilahkan oleh Downs sebagai “utility maximation” , pemilih
harus memiliki informasi mengenai kegiatan partai di masa lalu dan apa yang mungkin
dilakukan partai dimasa mendatang. Dengan begitu, dapat diasumsikan bahwa para pemilih
dapat menilai bahwa isu-isu politik dan calon kandidat yang diajukan dengan pendekatan
18
Roth, Dieter, Prof.2008. Studi Pemilu Empiris, Mitra Alembana Grafika. Hlm. 65
25
rasional karena pemilih yang rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapat
informasi yang cukup. Tindakan mereka ini bukanlah karena faktor kebiasaan atau kebetulan
semata, tetapi didasarkan atas pikiran dan pertimbangan yang l ogis.19
Berdasar pada konteks pemilu, hal penting yang menentukan di dalam sebuah pemilu
atau pilkada bukanlah adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai
yang kuat, melainkan hasil penilaian rasional dari warga yang pandai. Teori pilihan rasional yang
sangat identik dengan cost and benefictatau untung rugi adalah penjelasan yang mendasar dalam
melihat perilaku politik yang mencakup pilihan-pilihan politik dan berbagai hal yang
mempengaruhinya. Dalam buku An Economic Theory of Democracy (1957), perilaku pemilih
terhadap partai politik tertentu berdasarkan perhitungan seperti apa yang akan diperoleh oleh
orang tersebut dengan menjatuhkan pilihannya pada salah satu partai politik atau kandidat dalam
pilkada langsung sehingga faktor untung rugi seseorang sangat menentukan untuk memilih atau
tidak memilih pada saat Pilkada.
Di sisi yang lain, terdapat perbedaan makna apabila memilih dalam pemilu itu adalah
sebuah kewajiban. Bagi pemilih kritis dan rasional, golput merupakan sebuah p rotes dan refleksi
kekecewaan dari masyarakat kepada partai politik dan pemerintah. Selain itu, golput juga dapat
dilihat sebagai peningkatan kesadaran bahwa partisipasi politik bukan hanya berpatokan pada
penggunakan hak pilih dengan mencoblos maupun mencontreng di TPS pada hari yang
ditentukan. Pemahaman tentang partisipasi politik harus dikembangkan dengan melihat
kesadaran dan perhatian dari seseorang terhadap demokrasi yang modern dalam hal pemilu.
Seseorang yang tidak menggunakan hak pilihnya bisa jad i menuangkan perhatiannya terhadap
19
Nursal. Adman, 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hal. 66.
26
proses demokrasi di dalam pemilu dengan melalui jalur yang lain seperti aktif dalam Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (ormas), ikut mencari tahu
latarbelakang dari partai politik dan para calon kandidat, atau menyampaikan pendapatnya
melalui media massa. Dengan kata lain, teori pilihan rasional lebih melihat kepada akal pikiran
pemilih yang rasional, Jadi siapapun nantinya yang akan mempengaruhi seorang pemilih, dia
tidak gampang terpengaruh sekalipun mendapatkan tawaran yang menjanjikan karena dia lebih
menggunakan logika dan rasionalitasnya dalam bertindak.
Berangkat dari premis, bahwa pemilu adalah hak warga negara, maka penggunaan hak itu
adalah ekspresi rasionalitas pemilih. Di hadapan para pemegang hak pilih ini terbentang berbagai
aktivitas warga negara mulai dari masa sebelum pemilihan seperti keterlibatan dalam kampanye,
keterlibatan dalam mengawal jalannya pemilu, menjadi petugas pemilihan dan volunteer
pemantau pemilu, masa ketika pemilihan yaitu partisipasi dalam pemilihan, perilaku memilih
hingga aktivitas yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilih yang di Indonesia popular
dengan istilah Golput.20
Asumsinya, pemilih terlibat atau tidak, tergantung dari rasionalisasi para
pemegang hak pilih. Pemilih yang punya akal sehat tentu saja tidak akan melakukan apapun
yang penalarannya tidak rasional. Lebih dari itu, pilihan untuk tidak terlibat bisa jadi justru
merupakan ekspresi dari akal sehat mereka, dan dengan begitu, tentunya bukanlah merupakan
persoalan sama sekali. Berdasar dari hal tersebut maka melihat fenomena Golput dengan
pendekatan pilihan rasional, maka bagi orang yang golput, bukankah seharusnya golput
merupakan sebuah pilihan politik? Golput berarti memilih untuk tidak mengg unakan hak
pilihnya. Hal ini didasarkan pada penilaian masyarakat yang ingin mencari aman dengan
mempertimbangkan faktor untung-rugi sebagai landasan bertindak. Tetapi yang jelas bahwa
20
Pamungkas, Sigit, 2009. Pemilu Perilaku Pemilih & Kepartaian , Yogyakarta: Institute for Democracy and
Welfarism (IDW ).
27
penurunan angka partisipasi pemilih menunjukkan bahwa pemilih kita sema kin cerdas seperti
yang dikatakan oleh John Kenneth White 21
yaitu: Voters are not fools karena pemilih kita sudah
rasional dan tidak lagi mudah untuk dibohongi atau dimanipulasi seperti pemilu yang
dilaksanakan pada masa orde baru.
E.3. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini biasa juga disebut sebagai mazhab Michigan dan pelopor utama mazhab
ini adalah August Campbell. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan
terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur karena tidak
jelasnya indikator dari kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya merupakan suatu
hal yang sulit diukur. Disamping itu secara materi, diungkapkan bahwa variabel -variabel
sosiologis seperti kelompok primer dan sekunder, memberi pengaruh pada perilaku memilih dan
pilihan politik. Variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku memilih dan pilihan
politik jika ada proses sosialisasi. Oleh sebab itu, dalam pendekatan ini, sosialisasilah yang
menentukan perilaku memilih dan orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang bukan
karakteristik sosiologis.22
Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” pemilih dalam menentukan
pilihannya termasuk untuk tidak memilih atau golput. Pada pendekatan psikologis penekanan
lebih kepada individu itu sendiri. Menurut persspektif psikologis ini, ada tiga faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku pemilih yang dalam hal ini digunakan dalam menjelaskan
perilaku tidak memilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi i su atau tema dan
orientasi kandidat. Identifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang
21
John Kenneth White. 2006: What is Political Party? Dalam Hand Book of Party Politics, Richard S. Kartz (Ed,
dkk), London, Sage Publication. 22
Asfar Muhammad, Pemilu dan Perilaku Pemilih , Surabaya; Pustaka Eureka, 2006, hal. 141
28
dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut sehingga pengenalan akan
partai politik pengusung menjadi salah sa tu faktor penting dalam menilai. Penjelasan yang bisa
dengan menggunakan perspektif psikologis ini diantaranya adalah stigma tentang politik itu
sendiri. Stigma politik yang saat ini beredar luas di pikiran masyarakat adalah bahwa politik itu
jahat, kotor, menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan, dan saling sikut antara kawan
maupun lawan menjadi hal yang memperkeruh pandangan dari masyarakat sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap politik menjadi rendah dimana imbas dari hal tersebut adalah
rendahnya tingkat partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilih mereka dalam pilkada.
Stigma ini terbentuk tentunya karena banyaknya tabiat dan perilaku para politisi, elite partai
politik, yang masuk dalam kategori politik instan karena pada faktanya seba gian besar para
politisi dan elite partai itu baru akan mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti
pemilu, pilkada, dan kegiatan lainnya yang membutuhkan dukungan masyarakat untuk
melegitimasi kekuasaan mereka. Kondisi seperti inilah yang diasumsikan bisa menjadikan
kejenuhan masyarakat terhadap politik semakin memuncak.
Menurut Philip Converse dalam Affan Gaffar, identifikasi partai diartikan sebagai
keyakinan yang diperoleh dari orangtua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan
tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar selama masa
dewasa.23
Dalam hal ini, di kalangan partai politik dan politisi, fenomena politik pragmatis
merupakan tontonan yang disuguhkan secara berkesinambungan terhadap masyarak at yang
merupakan konstituennya. Hal yang bukan tanpa alasan karena masyarakat bisa melihat ketika
masyarakat sudah memberikan suaranya untuk melegitimasi kekuasaan para politisi, politisi
yang bersangkutan cenderung lebih mementingkan kemauan dari pemimpin partainya dimana
23
Afan Gaffar. Javaness Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Yogyakarta; Gajah
Mada University Press, 1992, hal. 10
29
para pemimpin partai saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dari golongan -golongan
tertentu dibandingkan suara rakyat yang menjadi konstituennya. Kemudian, di sisi yang lain,
orientasi isu atau tema yang diangkat oleh partai politik tersebut kerapkali juga sangat
memprihatinkan. Kita sering melihat saat ini bahwa konflik para politisi yang dilakukan di
internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, konflik dengan politisi lain yang
berbeda partai, dan lainnya tentu mau tidak mau akan menimbulkan antipa ti dari masyarakat
terhadap partai politik maupun politisi. Faktor lemahnya orientasi kandidat tentang siapa saja
yang mewakili partai politik tertentu juga bisa menjadi alasan yang bisa jadi mempengaruhi
psikis mereka yang akhirnya golput karena harus diakui bahwa partai politik dan politisi
memainkan peran kritis dengan membangun suatu sistem disekeliling mereka sendiri yang
kemudian dibaca oleh masyarakat yang kecewa atas etika politik yang semakin hari semakin
memudar. Hal ini hendaknya dapat merangsang partai politik agar segera berbenah diri karena
partai politik juga harus melaksanakan tugas dan fungsinya yang seringkali diabaikan. Partai
politik harus dapat mengisi dan memenuhi kepuasan psikis dari masyarakat yang d iantaranya
merupakan konstituen terlepas dari seberapa banyak patronase atau imbalan serta hukuman lain
yang bisa mereka berikan.
Oleh sebab itu, untuk memahami perilaku golput secara lebih mendalam, dibutuhkan
penjelasan-penjelasan yang digali dari faktor-faktor psikologis, seperti ciri-ciri kepribadian,
predisposisi-predisposisi dasar, dan sikap-sikap pemilih golput. Dalam kajian ini adalah mereka
yang merupakan orang yang secara independen dan bebas dalam melakukan penilaian terhadap
isu-isu yang berkembang menjelang dan pada saat kampanye dan selanjutnya dengan motivasi
yang tinggi serta didukung oleh pengetahuan dan informasi yang luas lebih cenderung
30
menjatuhkan pilihannya untuk golput karena menilai calon yang ada tidak mampu untuk
memenuhi harapan pemilih.
E.4. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Columbia. Cikal bakalnya berasal dari
Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerika Serikat yang mempunyai
latar belakang Eropa, khususnya di Universitas Columbia, menurut mazhab ini pendekatan
sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial ,
usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan -kegiatan dalam
kelompok formal dan informal dan lainnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan pilihan-pilihan politik.24
Interaksi yang terjadi didalam kelompok-kelompok sosial seperti usia, jenis kelamin,
agama, pekerjaan dan sebagainya akan menjadi susunan bangunan pengetahuan yang akan
mempengaruhi preferensi politik seseorang hingga kemudian akan mempengaruhi bentuk -bentuk
pilihan politiknya termasuk dalam hal memutuskan pilihan untuk golput.Variabel logis yang bisa
mendukung alasan orang untuk golput dari perspektif sosiologis diantaranya adalah seperti
alasan tidak memiliki kesamaan suku, etnis, agama, dan latarbelakang kebudayaan dengan
kandidat atau ketidakpercayaan akan adanya perubahan. Asumsinya adalah karena s etiap orang
akan mengindentifikasi diri sebagai anggota dari kelompok sosial darimana dia berasal dan
dimana dia berada sehingga keluarga masih dianggap sebagai asosiasi pertama yang
dilembagakan secara ilmiah untuk memenuhi kebutuhan politis secara terstruktur . Hal itu akan
membuat seseorang cenderung menjatuhkan pilihannya berdasarkan orientasi berdasarkan
konteks kelompok sosialnya. Sehingga dalam konteks golput, hal inilah yang sepertinya tidak
24
Ibid, hal. 55-56
31
dapat terpenuhi oleh para kandidat maupun partai politik yang mengusungnya. Pilihan yang
bersifat umum ini mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku secara menyeluruh
bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
Salah satu strategi para bakal calon untuk menarik minat pemilih adalah dengan
menonjolkan etnisitasnya. Seperti fenomena yang terjadi di Sumatera Utara, dimana ada salah
seorang bakal calon yang dulunya tidak pernah menyematkan marga dibelakang namanya,
semenjak mencalonkan diri sebagai calon kandidat, dan memiliki hasrat yang kuat untuk
memimpin Sumatera Utara maka dia mulai memasang marganya dan menampilkannya di
berbagai media seperti televisi, poster, baliho dan sejenisnya. Hal tersebut memang tidak
melanggar regulasi apapun, akan tetapi itu menjadi sebuah bukti bahwa pertarungan untuk
menuju “Sumatera Utara 1 dan 2” membutuhkan senjata rahasia yaitu etnisitas. Salah satu
konsekuensi dari kenyataan adanya kemajemukan masyarakat atau diferensisasi sosial adalah
terjadinya primordialisme, yaitu: pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang
teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu seperti suku bangsa, ras, dan
agama. Primordialisme sebagai sebuah identitas golongan atau kelompok sosial yang merupakan
faktor penting dalam memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan dalam
menghadapi ancaman dari luar. Namun seiringan dengan hal tersebut, p rimordialisme juga dapat
membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial yang lain.
Seperti yang diungkapkan oleh Nursal dan Asfar sebelumnya, bahwa proses sosialisasi
yang panjang, akan membuat seseorang untuk membentuk ikatan yang kuat dengan kelom pok
sosial ataupun organisasi kemasyarakatan. Sehingga hal ini akan menjadi sesuatu yang sangat
berpengaruh terhadap pilihan-pilihan politiknya kelak sehingga pemilih yang berada didalam
32
suatu kelompok sosial tertentu akan menerima proses internalisasi berdasarkan nilai-nilai yang
ada dalam kelompok sosial tersebut, perilakunya secara umum akan berkaitan dengan nilai dan
kebiasaan yang sangat mempengaruhi karena beberapa alasan, seperti isu politik saat ini maupun
dari pengalaman masa lalu.
Bonne dan Ranney25
membagi tiga tipe utama pengelompokan sosial :
1. Kelompok Kategorial
Kelompok kategorial terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau beberapa karakter
khas, tapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak menyadari i dentifikasi dan
tujuan kelompoknya. Pengelompokan kategorial terbentuk berdasarkan perbedaan jenis
kelamin, perbedaan usia, perbedaan pendidikan.
2. Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder terdiri dari orang-orang yang memiliki ciri yang sama yang
menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya, dan bahkan sebagian membentuk
organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok sekunder mempunyai
pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial. Kelompok-kelom pok
kategorial dapat diklasifikasikan seperti : pekerjaan, status sosial ekonomi dan kelas
sosial, dan kelompok-kelompok etnis yang meliputi ras, agama dan daerah asal.
25
Bone dan Renney dalam Adman Nursal, 2004: Political Marketing, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hlm.56-58
33
3. Kelompok Primer
Kelompok primer terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur melakukan
kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat
dan langsung terhadap perilaku politik seseorang. Yang termasuk dalam kelom pok
primer adalah, pasangan-pasangan suami isteri, orang tua dan anak-anak, kelom pok
bermain.
Pendekatan sosiologis ini melihat bahwa dalam kelompok-kelompok sosial, terdapat
kognisi sosial tertentu yang pada akhirnya bermuara pada perilaku dan pilihan tertentu yang
kemudian dalam kelompok-kelompok sosial ini akan berlangsung proses sosialisasi. Oleh sebab
itu, perilaku tidak memilih ini menjadi sebuah obyek penelitian yang menarik bagi peneliti
khususnya dalam konteks pilkada di Kota Medan. Hal ini dikarenakan pluralitas yang terdapat
dalam masyarakat Indonesia, yaitu kemajemukan suku, agama, ideologi, aliran dan budaya
politik dalam masyarakat yang dapat mepengaruhi sikap dan perilaku memilih masyarakat
terhadap pemilihan partai maupun calon kepala daerah tertentu.
Lebih menarik lagi jika dicermati, seperti yang dikemukakan Afan Gaffar bahwa ternyata
pola perilaku masyarakat pemilih di Indonesia cenderung tidak bersifat rasional dalam arti bahwa
para pemilih di Indonesia menentukan pilihannya terhadap partai tertentu bukan semata -mata
karena perhitungan rasional tentang manfaat yang akan mereka terima, namun cenderung
didasarkan oleh faktor-faktor yang bersifat tradisional dan ikatan-ikatan emosional yang
dibangun sebagai akibat internalisasi nilai yang mereka pilih dari suatu generasi ke generasi
sebelumnya.26
Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis yang relatif tinggi dan partai
26
Afan Gaffar, 1997, Menampung Partisipasi Politik Rakyat, dalam jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP
UGM, Yogyakarta, Hal. 11
34
politik di Indonesia juga sangat erat dipengaruhi oleh etnisitas. Kesetiaan etnis di Indonesia
masih terlihat sangat signifikan dan sering sekali faktor etnis dapat menimbulkan
kesalahpahaman tentang politik di Indonesia sehingga hal tersebu t menunjukkan adanya
pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang. Identitas partai juga berkaitan dengan
kesetiaan dan ketidaksetiaan dari massa suatu partai. Semakin t inggi identitas partai maka
semakin tinggi pula tingkat loyalitas massa partai.27
Hal ini tentunya mengisyaratkan bahwa masyarakat yang golput karena alasan ideologi
terkadang ada yang menganggap lebih berpolitik dibandingkan orang -orang yang berprinsip
“mau tidak mau, ya pilih saja yang apa yang tersedia” yang berakibat pada kebobrokan para
penguasa dan lingkungan yang setiap hari selalu menghiasi pendengaran kita. Selain itu dalam
prosesnya, lingkungan sosial juga cenderung memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan
internalisasi nilai-nilai dan norma dalam masyarakat, serta dapat memberikan pengalaman hidup
didalam proses keberlangsungannya.28
Hal inilah yang semakin memperkuat dasar bahwa ketika
seseorang sudah mengalami kedekatan dengan kelom pok sosial tertentu, maka dia akan memberi
kontribusi dan berupaya untuk kelompoknya tersebut. Demikian juga sebaliknya, apabila yang
menjadi harapan dari kelompoknya dalam hal ini kesamaan etnis tidak bisa terpenuhi, golput
menjadi salah satu alternatif sehingga perlu untuk diakom odasi oleh pihak -pihak yang
berkepentingan.
27
Leo Suryadinata, 2003, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik , Jakarta; LP3S,hal.
182 28
Sudijono, 1995, Perilaku Politik , Semarang; Pustaka Pelajar, Hal. 15
35
F. Kerangka Pikir
G. Definisi Konseptual
Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan, maka definisi konseptual yang dipakai
dalam penelitian ini adalah dari variabel golput sebagai kelompok warga negara yang tidak
menggunakan hak pilihnya yang diakibatkan beberapa hal, alasan, sebab, dan fak tor tertentu
sehingga surat suara menjadi tidak sah. Oleh sebab itu, diuraikan dalam beberapa defenisi
diantaranya menurut Indra J. Piliang, ada 3 kategori Golput yaitu sebagai berikut:29
1. Golput Pragmatis adalah memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena
faktor untung rugi (cost and benefict). Pilihan ini berkaitan dengan kalkulasi rasional,
tentang ada tidaknya pengaruh pemilu atau pilkada bagi pemilihnya.
29
Ibid; Muhammad Asfar.
T
P
S
Faktor
Pendidikan/
Wawasan
Pragmatis
Politis
Ideologis
Faktor
Ekonomi
Faktor Sosio
Kultural
SIKAP
36
2. Golput Politis adalah sebuah pilihan karena adanya perubahan sistem dan pilihan
politik. Sering dipahami juga sebagai ungkapan kesetiaan terhadap partai politik dan
calon kepala daerah tertentu atau lazim disebut golput barisan sakit hati.
3. Golput Ideologis adalah konstituen yang m enolak untuk memilih karena
menganggap seluruh kandidat tidak memiliki kemampuan untuk diberi kepercayaan
untuk memimpin.
H. Definisi Operasional
Kategorisasi Golput dalam penelitian ini mengharapkan dapat mengkaji dan mengukur
faktor-faktor yang menjadi penyebab orang tidak datang ke TPS pada pilkada Sumatera Utara di
Kecamatan Medan Baru pada 2013 yang lalu. Beberapa diantaranya adalah faktor:
1. Pragmatis
Kerugian ekonomi yang harus dipertaruhkan ketika datang ke TPS, namun di sisi
yang lain tidak mendapat hasil yang sepadan dan diharapkan dari pengorbanan yang
diberikan atas pilihan tersebut. Dengan dilaksanakannya Pilkada langsung ini, masyarakat
beranggapan bahwa datang ke TPS pada hari pemilihan tidak akan membawa perubahan
apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan mereka. Menurut merek a perhelatan
semacam Pilkada ini hanyalah sebuah rutinitas politik saja tanpa memberi kontribusi
berupa suatu perubahan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat.
Visi dan Misi Kandidat yang jauh dari harapan, bahkan sering sekali merupakan
janji-janji berlebihan yang apabila dipikirkan akal sehat yang sederhana, janji itu tidak
mungkin bisa dipenuhi dalam waktu yang dimiliki setelah terpilih menjadi kepala daerah
(tidak masuk akal).Proses kampanye yang dilakukan pun tidak lepas dari sorotan para
37
pemilih yang golput. Alasannya jelas sekali karena momentum kampanye berbenturan
dengan fakta buruknya pelayanan publik yang harus dihadapi oleh masyarakat setiap hari
yaitu mengenai krisis listrik yang berkepanjangan. Bagaimana mungkin para kandidat
mampu merealisasikan janji kampanyenya sementara permasalahan yang sedang terjadi
di depan mata saja tidak mampu segera diatasi. Dengan akal pikiran yang sehat tentu saja
langkah golput ini diambil sebagai sebuah tindakan protes dari masyarakat sebagai
bentuk kecerdasan pemikiran untuk memberikan pelajaran kepada para kandidat agar
tidak hanya pintar berbicara tanpa membnuktikan kemampuan dan prestasinya.
2. Politis
Loyalitas pemilih kepada suatu partai politik atau kandidat tertentu, namun tidak
dapat disalurkan sehingga tidak menggunakan hak pilihnya. Kekecewaan ini dialami oleh
para pendukung dari RE.Nainggolan yang pada akhirnya tidak jadi dicalonkan menjadi
calon gubernur sehingga untuk menghindari konflik mereka lebih memilih untu k
golput.Faktor agama dan etnisitas juga menjadi senjata rahasia dalam pertarungan politik.
Agama seharusnya dijauhkan dari perkara politik, karena agama dianggap merupakan
tuntunan yang bersifat sakral yang menjadi pegangan dan kepercayaan hidup manusia
agar selamat di dunia dan akhirat. Terang saja, tempat ibadah dibuat sebagai sarana dan
alat politik guna meraih kekuasaan dianggap merupakan sebuah penghinaan. Sehingga
dengan pilihan yang dihadapkan kepada masyarakat yang sangat dilematis ini, golput
dianggap merupakan pilihan yang terbaik guna terhindar dari konflik antar keluarga,
golongan dan kekerabatan karena harus menjaga perasaan kerabat yang memiliki pilihan
politik yang berbeda.
38
Protes Persuasif atas tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan rakyat di
eksekutif maupun legislatif. Protes atas terjadinya praktik -praktik korupsi ditubuh
pemerintahan, serta kebohongan dan inkonsistensi yang kerap kali sering dilakukan oleh
pemerintah.Informasi yang diterima oleh masyarakat inilah yang menjadi sarana
munculnya keinginan untuk golput dikarenakan maraknya pemberitaan dari sisi yang
negatif bagi pejabat negara khususnya pejabat di daerah sumatera utara. Bagaimana
tidak, dalam 10 tahun terakhir, banyak pejabat kepala daerah di Kota Medan tidak
mampu menyelesaikan masa jabatannya selama 5 tahun karena tertangkap dan terbukti
melakukan tindakan korupsi.
3. Ideologis
Sikap yang diambil oleh pemilih berdasarkan perspektif ini menginterpretasikan
bentuk ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang dikembangkan oleh negara saat
ini, karena dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang sehat dan mendid ik, baik
pada tingkat elit maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Temuan tentang vulgarnya
serangan politik uang pada saat Pilkada 2013 yang lalu semakin menguatkan
pandangan bahwa kekuasaan itu dapat membutakan hati sehingga semua cara
dipergunakan untuk memperolehnya.Oleh sebab itu preferensi politik yang didasarkan
terhadap rasionalitas dan nalar yang baik tentunya memiliki pemahaman yang sejalan
untuk memenuhi prinsip-prinsip moral yang diyakininya. Pandangan warga di
kecamatan Medan baru memiliki anggapan bahwa kandidat yang mengandalkan daya
beli kekuatan uang tidaklah layak untuk dipilih karena kandidat tersebut akan memiliki
kecenderungan untuk korupsi selama ia menjabat nantinya.
39
I. Metode Penelitian
I.1. Jenis Penelitian
Kajian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menjelaskan dan mengeksplorasi
bagaimana perilaku tidak memilih (golput) di Kecamatan Medan Baru. Penelitian ini
menggunakan pendekatan studi kasus yang bersifat Intrinsic case study yang bertujuan untuk
mengetahui secara lebih mendalam tentang perilaku tidak memilih masyarakat di kota Medan,
Sumatera Utara. Posisi peneliti terhadap data yang didapat dari eksplorasi narasum ber tersebut
adalah bersifat menginterpretasikan data, sehingga diharapkan dapat menjelaskan persoa lan
secara komprehensif argumen dan alasan dari para pemilih yang Golput tersebut. Di dalam
keperluan yang berkaitan dengan proses mendapatkan data tersebut, maka peneliti tidak bisa
terpisah dari informannya. Hal ini sesuai dengan metodologi kualitatif yang ditegaskan oleh Kirk
dan Miller dalam Moleong30
bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam bidang ilmu
sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia.
Beberapa alasan mengapa penulis menggunakan pendekatan studi kasus ad alah karena
fokus kajian yang diteliti merupakan kasus tunggal secara menyeluruh yang menjadi representasi
ketika memahami pilihan Golput itu bisa dikaji dari sudut pandang yang dinamis. Selain itu,
pemilihan studi kasus sebagai metode penelitian dinilai sangat cocok untuk mendapatkan data
serta mengeksplorasinya secara lebih mendalam. Pengujian terhadap teori dilakukan dengan cara
mendeskripsikan dengan jelas melalui proses eksplorasi mengenai bentuk kerjasama yang
terjalin antar multiaktor tersebut dan mencari tahu motivasi atau kepentingan di balik
berlangsungnya kerjasama yang telah dibangun. Selain itu, tujuan penelitian yang ingin
30
Moleong, Lexy.J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
40
menegaskan bekerjanya teori yang digunakan dapat digambarkan dengan jelas ketika peneliti
mampu melakukan eksplorasi pemahaman tentang pemilihan kepala daerah secara langsung di
Kota Medan khusususnya di Kecamatan Medan Baru.
I.2. Pengumpulan Data
I.2.1. Jenis Sumber Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam
penelitian ini adalah data pokok berbentuk catatan lapangan yang didapat melalui wawancara
dan pengamatan (observasi) selama berlangsungnya proses penelitian. Wawancara dilakukan
dengan sejumlah key informan atau informan kunci yakni kontak-kontak personal yang telah
dikenal oleh peneliti sebelum nya di lokasi penelitian yang dikembangkan pada informan-
informan lainnya.
Data sekunder digunakan untuk mendukung dan memperkuat pencatatan selama
berlangsungnya penelitian. Data ini merupakan dokumen resmi tertulis maupun milik pribadi.
Dokumen tertulis yang dicari dan digunakan berupa data demografis seperti jum lah penduduk,
komposisi penduduk berdasarkan kategori-kategori ekonomi-sosial-budaya, dan data lain yang
mendukung, data seperti peta w ilayah dan data kepemiluan dalam Pilkada Sumatera Utara Tahun
2013 di lokasi penelitian seperti Daftar Pemilih tetap, jumlah TPS, Jumlah pemilih yang Golput,
serta hasil penghitungan suara maupun data-data lain yang relevan.
Dalamproses pengumpulan data, peneliti melakukan pengamatan terlibat dengan cara
melakukan interaksi langsung dengan masyarakat kota Medan di Kecamatan Medan Baru yang
memiliki hak pilih namun mau mengakui bahwa dirinya Golput pada Pilkada 2013 lalu. Sumber
data dalam studi kasus sangat komprehensif termasuk di dalamnya dengan memanfaatkan
41
sejumlah teknologi dalam mencari data seperti melalui sejarah, dokumen, sejarah lisan,
wawancara mendalam dan observasi partisipatif.
I.2.2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini mengkombinasikan sejumlah teknik pengumpulan data seiring dengan data
yang didapatkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipasi dan metode dokumenter
yakni pengum pulan data resmi maupun pribadi. Pengkombinasian teknik pengumpulan data ini
diperlukan untuk mendapatkan data menyeluruh terkait dengan tema penelitian sehingga dapat
meningkatkan kualitas penelitian secara substansial.
Wawancara Mendalam (Indept Interview) dilakukan dengan cara tanya jawab, sambil
bertatap muka antara peneliti dengan informan dengan atau tanpa menggunakan panduan
wawancara yang bersifat fleksibel dalam pelaksanaan di lapangan. Pertanyaan yang diberikan
juga masih memungkinkan untuk dikembangkan sejauh masih memiliki hubungan dan relevansi
dengan tema penulisan dalam kajian penelitian ini. Dalam mengembangkan wawancara dan
menentukan informan, peneliti menggunakan teknik snowball yang dimulai dari informan kunci
dan berdasarkan keterangan informan tersebut akan dikembangkan ke informan lain. Setelah
melakukan wawancara, peneliti melakukan pencatatan sebagai hasil rekapitulasi jawaban yang
dilakukan setiap selesai berdiskusi dengan informan sebagai upaya memenuhi tuntutan atas
metode yang digunakan yakni kualitatif eksploratif. Wawancara sangat penting dilakukan dalam
penelitian ini mengingat bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi
motivasi masyarakat untuk golput dan sejauh mana masyarakat kota medan mengetahui,
memberi diri dan terlibat dalam proses demokrasi. Oleh karena itu sangat diperlukan wawan cara
42
mendalam dengan informan-informan yang berperan penting dalam proses demokrasi tapi tidak
menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada Sumatera Utara 2013 yang lalu.
Adapun informan yang diwawancarai untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah orang-
orang yang memiliki hak pilih pada Pilkada Sumatera Utara 2013 dan dengan penuh kesadaran
mau mengakui bahwa dirinya Golput. Dalam penelitian ini, terdapat sebanyak lima puluh dua
(52) orang informan,yakni warga Kecamatan Medan Baru yang diwawancarai untuk menjawab
rumusan masalah dan tujuan penelitian dengan mendeskripsikan faktor-faktor penyebab golput
dalam pilkada Sumatera Utara 2013 yang lalu. Para Informan dipilih dari beranekaragam
latarbelakang yang terdiri dari beragam pekerjaan, etnis, sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan.
1. Komposisi data informan berdasarkan latarbelakang etnis yakni; dua belas (12) orang
informan berasal dari etnis Batak, delapan (8) orang informan berasal dari etnis Karo,
delapan (8) orang informan berasal dari etnis Jawa, lima (5) orang informan be rasal dari
etnis Nias, Sembilan (9) orang informan berasal dari e tnis Melayu, dan sepuluh (10)
orang informan berasal dari etnis Tionghoa.
2. Komposisi data informan berdasarkan latarbelakang agama yakni ; tiga belas (13) orang
informan beragama Islam, tujuh belas (17) orang informan beragama Kristen, sebelas
(11) orang informan beragama Katolik, Sembilan (9) orang informan beragama Buddha,
dan dua (2) orang informan beragama Hindu.
3. Berdasarkan tingkat pendidikan, dari kom posisi data 52 orang informan warga
Kecamatan Medan Baru yakni; tiga (3) orang informan berpendidikan Magister (S2),
sepuluh (10) orang informan berpendidikan Sarjana (S1), lima (5) orang informan
berpendidikan Diploma, tujuh belas (17) orang informan berpendidikan SMA sederajat,
43
dua belas (12) orang informan berpendidikan SMP sederajat, dan lima (5) orang informan
berpendidikan SD sederajat.
Untuk bisa bertemu dengan para informan tersebut, peneliti terlebih dahulu mengambil
data sekunder berupa DPT warga Kecamatan Medan Baru yang diakses mela lui pengambilan
data langsung ke Kantor KPUD Kota Medan. Setelah memiliki DPT tersebut, peneliti
menghubungi informan yang merupakan pemimpin salah satu pekumpulan marga dalam etnis
batak yang sudah dikenal dan diketahui oleh peneliti bahwa yang bersangkutan merupakan
pemilih golput pada Pilkada Sumatera Utara 2013. Berangkat dari hasil wawancara dan
keterangan yang diberikan oleh informan pertama tersebut, peneliti ditunjukkan dan dikenalkan
dengan informan-informan lainnya yang merupakan warga Kecamatan M edan Baru yang Golput
pada Pilkada Sumatera Utara 2013. Metode pemilihan informan ini merupakan pengaplikasian
dari teknik snowball dalam menentukan informan yang menjadi narasum ber.
Prosedur yang dilakukan peneliti untuk bisa melakukan wawancara dengan para informan
adalah dengan melakukan pendekatan personal yang baik melalui perkenalan diri peneliti serta
menjelaskan tujuan wawancara yang dilakukan adalah untuk kepentingan studi dengan tidak
memihak partai politik tertentu .Tujuan utama peneliti melakukan hal ini ialah untuk
mendapatkan informasi akurat yang berkaitan dengan tanggapan para informan mengenai
perilaku golput tersebut. Harapan dari peneliti terhadap informasi real dari para informan ini
tentunya sangat bergantung pada kenyamanan para informan tersebut dalam melakukan dialog
berupa diskusi dan wawancara mendalam . Informasi yang jujur dan diberikan secara akurat
tentunya menjadi data yang sangat diperlukan untuk mendukung tujuan dari penelitian ini.31
31
http://www.slideshare.net/Hennov/penelitian -kualitatif-14605311. diakses pada 3 Oktober 2014; 13.47 WIB
44
Selain menggunakan metode wawancara secara mendalam, penelitian ini juga
menggunakan metode dokumenter untuk mendapatkan data-data sekunder yang memperkuat
data-data primer. Ada beberapa pertimbangan terkait dengan penggunaan metode ini. Pertama,
keunggulan metode ini adalah tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang
pada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang terjadi pada masa yang lalu. Kedua, sebagian besar
fakta dan data sosial tersimpan dalam bentuk bahan yang terdokumentasi. Proses pencarian data
dokumenter dilakukan oleh peneliti dengan cara mengakses sumber-sumber data dokumenter
yang bergantung pada jenis data dokumenter yang diperlukan yaitu dokumen resmi maupun
dokumen pribadi. Data resmi karena bersifat publik, seperti data demografi dan data yang terkait
dengan pelaksaan Pilkada Sumatera Utara diakses secara langsung oleh peneliti pada lembaga
otoritas yang berwenang. Sementara data pribadi yang bersifat personal, diakses langsung
kepada informan yang bersangkutan. (Lihat Tabel 1.4)
Tabel 1.4
Teknik Pengumpulan Data
Jenis Data Teknik Pengumpulan Data
Data Primer
Catatan Lapangan Hasil wawancara Wawancara mendalam
Data Sekunder
Dokumen Tertulis Data Demografi Teknik Dokumenter
Data Kepemiluan
Data Pribadi
45
I.3. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data yang merupakan operasionalisasi dari
metode thick description yang ditawarkan oleh Geertz. Analisis dalam metode ini merupakan
proses perkiraan terhadap makna, pemetaan pikiran dan melukiskannya. Dalam peneli tian ini,
peneliti melakukan analisis terhadap data dengan menggunakan empat proses tahapan analisis,
yaitu: Penyeleksian data (data reduction), pengorganisasian data (data display), verifikasi data
dan kesim pulan. 32
Langkah pertama adalah penyeleksian data untuk memilih data yang
berkaitan dengan tema dan tujuan penelitian. Data -data yang didapat dalam penelitian
dikelompokkan berdasarkan kategori yang telah disusun berdasarkan penggunakan teori yang
telah disediakan. Dalam tahapan ini, data yang menduk ung untuk menjawab tujuan penelitian lah
yang digunakan. Langkah kedua adalah eksplorasi data, yaitu usaha untuk menggali atau
memperjelas data yang sudah ada. Langkah ketiga adalah verifikasi data, yaitu usaha pembuktian
kebenaran data yang tersaji. Dalam proses ini, data yang satu diperbandingkan dengan data
sumber yang lain untuk mendapatkan data yang akurat mengenai tema penelitian. Langkah yang
ke empat adalah penyimpulan, yakni penggambaran makna dari data -data yang sudah
diverifikasi. Pada bagian ini, penafsiran dan analisis dari peneliti sangat dibutuhkan dengan
melakukan konfirmasi pada literature-literatur yang relevan sebagai penguat dan penjelas
penafsiran. Penafsiran data terlebih dahulu diawali dengan pemaknaan data, penjelasan pola
hubungan antar konsep dalam pengertian, sehingga penafsiran penulis bukanlah sebuah
kebenaran mutlak.
32
Carollyn Ellis. And Arthur P. Bochner, Authoetnography, Personal narrative, Reflexiv ity: Researcher as subject.
Dalam Fatih Gama Abisono Nasution, Tesis,2013. Hlm. 23.
46
Penelitian ini juga akan menggunakan konsep Prospektif dan Retrospektif dalam
menganalisis faktor-faktor penting yang menjadi penyebab yang mempengaruhi perilaku pemilih
dalam masyarakat. Konsep Prospektif adalah analisis yang dilakukan berupa pengamatan
terhadap peristiwa yang belum dan yang akan terjadi (Follow Up Research)dan biasanya
dilakukan sebanyak satu kali a tau lebih. Sedangkan konsep Retrospektif adalah analisis berupa
pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi yang bertujuan untuk mencarifaktor-
faktor yang berhubungan atau memiliki korelasi dengan penyebab dalam penelitian.Oleh karena
itu, untuk menguji kebenaran dan validitas, data dianal isis serta diperkuat dengan metode teknik
tringulasi data, yang berarti mengadakan cross and check antara sum ber data maupun
narasumber satu dengan yang lain, hal ini dimaksudkan agar data dapat terinterpretasi secara
mendalam sehingga signifikansi kesimpulan analisis penelitian dapat diperoleh.
J. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini menggunakan format yang terdiri dari empat (4) bab, dengan sub
bab seperti berikut:
Bab 1 terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, literature review, kerangka
teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab pertama atau bab pendahuluan
dipaparkan argumen dasar penelitian yang hendak memberikan pemahaman bahwa telah
cenderung terjadi eksploitasi pandangan dalam melihat fenomena Golput sehingga perlu
penyeimbangan pandangan supaya bagaimana kemudian kedua kutub yang masing -masing
memiliki logika berseberangan dapat memiliki posisi yang seimbang dalam menganalisis
fenomena Golput, yakni kepentingan dari para calon kandidat maupun partai politik sehingga
dapat dipertemukan dalam upaya penjelasan lahirnya Golput itu sendiri. Intinya, bab ini
47
menjelaskan apa yang mendasari peneliti melihat dan memposisikan diri bahwa Golput di Kota
Medan pada Pilkada Sumatera Utara 2013 adalah sebuah pilihan politik dari warga negara yang
memiliki hak konstitusi.
Bab 2 merupakan gambaran setting budaya melalui deskripsi Kotamadya Medan sebagai lokasi
penelitian dan juga tempat diadakannya sosialisasi dan kampanye calon kandidat serta
diadakannya pemungutan suara pada Pilkada Sumatera Utara 2013. Deskripsi yang dimaksud
adalah yang meliputi tentang struktur sosial masyarakat, keberagaman suku/etnis, tingkat
pendidikan, dan profesi masyarakat di lokasi penelitian.
Bab 3 menggambarkan dinamika politik dalam konteks pelaksanaan Pilkada Sumatera Utara
2013 di Kecamatan Medan baru. Melakukan pembahasan meliputi pelaksaaan Pilkada secara
langsung dan perolehan hasil suara di Kota Medan. Penjabaran mengenai proses Pilkada
Sumatera Utara di Kota Medan secara umum dengan menampilkan profil dan biodata dari para
calon kandidat dan partai-partai politik pengusung yang ikut serta dalam kontestasi Pilkada
Sumatera Utara 2013.
Bab 4menguraikan fenomena golput di Indonesia khusunya di Kecamatan Medan Baru dengan
memuat analisis untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian yakni mengkaji lebih dalam
tentang faktor-faktor serta alasan-alasan dari perspektif informan yang tidak menggunakan hak
pilihnya dengan menarasikannya menggunakan kerangka teori yang ditetapkan.
Bab 5 merupakan penutup berisi refleksi dan kesimpulan yang disampaikan oleh penulis yang
berkaitan dengan masalah yang diajukan dalam Tesis ini. Sebagai sebuah karya ilm iah, Tesis ini
pun diharapkan dapat memberi kontribusi berupa saran dan masukan yang memban gun bagi
bidang keilmuan dan proses demokrasi.