BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki bermacam budaya yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Pada sensus tahun 2000, tercatat lebih dari 1000 grup etnik dan sub-etnik, yang masing-masing grup mengklaim mempunyai bahasa dan budaya sendiri. 1 Tidak banyak negara seberuntung Indonesia di mana memiliki kekayaan sosio-kultural yang tidak ternilai. Keadaan yang demikian membuat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural. J.S. Furnival menyatakan masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. 2 Dalam masyarakat multikultural, kita akan menjumpai perbedaan budaya, seperti ras, suku, bahasa, adat istiadat, agama, dan perbedaan lainnya di masing-masing komunitas. Seperti yang diungkapkan Parekh (1997) dalam Azra 3 , just as society with several religions or languages is multi religious or multi lingual, a society containing several cultures is multicultural. Pada keadaan masyarakat yang multikultural akan dijumpai adanya multikulturalisme di dalamnya. Multikulturalisme merupakan pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. 4 Lebih tegasnya, multikulturalisme merupakan ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam 1 Thung Ju Lan. 2011. “Heterogenity, politics of ethnicity, and multiculturalism. What is a viable framework for Indonesia?”. dalam Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya : Multiculturalism. Faculty of Humanities University of Indonesia.Vol.(13).No.2.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.Hal.280. 2 Terarsip dalam http://www.scribd.com/doc/229626919/Masyarakat-Multikultural-pdf#scribd (diakses pada 23 Desember 2014) 3 Azyumardi Azra. 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia.Yogyakarta: Kanisius.Hal.13. 4 Choirul Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Hal.75.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki bermacam budaya yang terbentang dari Sabang

hingga Merauke. Pada sensus tahun 2000, tercatat lebih dari 1000 grup etnik

dan sub-etnik, yang masing-masing grup mengklaim mempunyai bahasa dan

budaya sendiri.1 Tidak banyak negara seberuntung Indonesia di mana

memiliki kekayaan sosio-kultural yang tidak ternilai. Keadaan yang demikian

membuat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural.

J.S. Furnival menyatakan masyarakat multikultural merupakan

masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara

kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang

berbeda-beda satu sama lainnya.2 Dalam masyarakat multikultural, kita akan

menjumpai perbedaan budaya, seperti ras, suku, bahasa, adat istiadat, agama,

dan perbedaan lainnya di masing-masing komunitas. Seperti yang

diungkapkan Parekh (1997) dalam Azra3, just as society with several religions

or languages is multi religious or multi lingual, a society containing several

cultures is multicultural.

Pada keadaan masyarakat yang multikultural akan dijumpai adanya

multikulturalisme di dalamnya. Multikulturalisme merupakan pengakuan

akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan

kebudayaannya masing-masing yang unik.4 Lebih tegasnya, multikulturalisme

merupakan ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam

1 Thung Ju Lan. 2011. “Heterogenity, politics of ethnicity, and multiculturalism. What is a viable

framework for Indonesia?”. dalam Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya : Multiculturalism.

Faculty of Humanities University of Indonesia.Vol.(13).No.2.Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.Hal.280. 2 Terarsip dalam http://www.scribd.com/doc/229626919/Masyarakat-Multikultural-pdf#scribd

(diakses pada 23 Desember 2014) 3 Azyumardi Azra. 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia.Yogyakarta:

Kanisius.Hal.13. 4 Choirul Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Hal.75.

2

kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.5 Dengan

demikian, multikulturalisme mengisyaratkan akan pengakuan terhadap realitas

keragaman kultural, yang mencakup keberagaman ras, suku, etnis, agama,

maupun kebergaman bentuk-bentuk kehidupan yang terus bermunculan di

setiap tahap kehidupan masyarakat.

Multikulturalisme merupakan cara yang tepat dalam menghadapi

masyarakat multikultural terutama bagi Indonesia.6 Keadaan Indonesia yang

multikultural, membuat Indonesia rentan adanya konflik. Terjadinya konflik

bisa disebabkan karena perbedaan latar belakang budaya. Ketidakmampuan

masyarakat menerima perbedaan yang ada di sekitarnya, menjadi alasan kuat

terjadinya konflik.

Beberapa konflik yang terjadi di Indonesia yang di latar belakangi oleh

perbedaan budaya antara lain konflik yang terjadi di Sampit, Kalimantan

Tengah tahun 2001 serta konflik di Poso, Sulawesi Tengah tahun 1998 dan

2000. Konflik Sampit merupakan konflik antar suku yaitu antara orang Dayak

asli dengan warga migran Madura. Agama pun sering menjadi alasan

terjadinya konflik, seperti yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah tahun 1998

dan 2000 antara agama Islam dan Kristen. Kedua konflik tersebut merupakan

contoh konflik besar yang terjadi Indonesia karena adanya perbedaan budaya.

Oleh karenanya, dalam mengatasi konflik karena adanya perbedaan budaya,

salah satu caranya adalah dengan memahami dan menyebarluaskan

multikulturalisme. Alasannya adalah dalam multikulturalisme, menghargai

dan mengakui budaya lain secara sederajat merupakan hal yang paling pokok.

Masyarakat perlu mengenal multikulturalisme, mengingat pentingnya

multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat yang multikultural.

Pengenalan akan multikulturalisme memerlukan media yang dapat membantu

menyampaikan pesan multikulturalisme pada masyarakat. Salah satunya yaitu

media massa. Sifat media massa yang mampu memberikan informasi secara

5 Pasurdi Suparlan. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Terarsip dalam

http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/viewFile/3448/2729 (Diakses pada 5 September 2014) 6 Ibid

3

luas, dapat mencakup seluruh lapisan masyarakat, menjadikan media massa

sarana yang ampuh untuk menyebarkan paham multikulturalisme.

Pasca Reformasi 1998, media massa di Indonesia mulai berani

menyuguhkan isu-isu mengenai multikulturalisme. Keberanian media massa

Indonesia mengemas isu multikulturalisme muncul ketika kebebasan pers

mulai merajalela di Indonesia. Saat Orde Baru, media massa dikekang oleh

pemerintah sehingga konten yang ada pun tidak terlepas dari propaganda

pemerintah. Isu-isu yang mengandung SARA (suku, agama, ras, dan antar

golongan) sangat tabu dibicarakan pada era Orde Baru dengan tujuan demi

menjaga stabilitas nasional. Konflik-konflik yang mulai muncul ke permukaan

saat tahun 1998, membuat media massa di Indonesia berbondong-bondong

menyoroti masalah multikulturalisme. Seberapa sering pun media massa

mengangkat multikulturalisme, pembicaraan mengenai multikulturalisme

tidak akan pernah selesai, karena keadaan Indonesia sendiri pun negara yang

memiliki beragam budaya.

Salah satu dari media massa yang menyoroti masalah

multikulturalisme adalah film. Berbeda dengan media massa lain (televisi,

koran, radio), film mampu menyuguhkan pesan atau informasi lewat plot

cerita naratif yang didukung oleh gambar visual menarik serta scoring musik

yang mampu membawa audiens seolah-olah berada pada dunia film tersebut.

Singkatnya, film memiliki keunggulan dalam menyampaikan pesan secara

audio visual.

Selain hal tersebut, film sesuai dengan fungsinya, bisa memberikan

hiburan, pendidikan, memberikan informasi, membujuk juga sebagai kontrol

sosial. Artinya, dalam sebuah film orang bisa mengungkapkan berbagai

pandangan terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang dari aturan yang

diakui oleh masyarakat. Film tidak bisa meninggalkan tanggung jawab

sosialnya sebagai sebuah media massa yang bertugas untuk menyampaikan

berbagai isu dalam masyarakat secara umum, sebab film adalah perpanjangan

tangan masyarakat.

4

Di Indonesia, isu yang sebenarnya cukup menarik diangkat ke dalam

sebuah film adalah mengenai multikulturalisme. Dalam ranah kajian media

dan budaya, media seringkali dilihat sebagai cerminan dari realitas di mana

apa yang tampak dalam media dianggap sebagai kehidupan sesungguhnya

(media equation).7 Indonesia yang pada hakekatnya memiliki keberagaman

budaya seharusnya memiliki banyak isu budaya yang bisa dijadikan ide

pembuatan film. Melalui cerita yang disuguhkan, orang/sineas dapat

menyisipkan pesan mulitikuturalisme pada masyarakat baik secara eksplisit

maupun implisit.

Film Tanda Tanya (2011) karya Hanung Bramantyo merupakan

sebuah film bertema multikulturalisme. Hal ini terlihat dari penokohan

karakter yang berbeda etnis, agama, dan budaya. Pada dasarnya film ini ingin

mengangkat ide tentang toleransi agama, tetapi justru film ini banyak

menerima pencekalan, salah satunya dari Front Pembela Islam (FPI). Film ini

dianggap melecehkan umat Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Veronica

Dian Anggraeni mengenai wacana toleransi pada film tersebut, mempertegas

mengapa film ini banyak menuai kotroversi. Dalam penelitiannya, Anggraeni

(2012) menemukan bahwa film Tanda Tanya tidak berhasil memberikan

makna toleransi yang baik, karena adanya sebuah dominasi Islam dan

pencitraan diri dari agama Islam yang dikemas sutradara dengan tema

toleransi.8 Penelitian lain yang mengulas film Tanda Tanya, juga menemukan

citra Islam berkaitan dengan kemiskinan, rasisme, kekerasan dan terorisme,

serta murtad.9

Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010) merupakan salah satu film yang

mengangkat multikulturalisme dalam ceritanya. Drama percintaan dua sejoli

7 Byron Reeves dan Clifforde Nass dalam Emory A. Griffin. 2003. A First Look at Communication

Theory. Fifth Edition. Boston: McGraw-Hill.Hal.403. 8 Veronica Dian Anggraeni.2012. Ketika Toleransi Sedang Dipertanyakan? (Analisis Wacana

Kritis pada Film Tanda Tanya “?”)Terarsip dalam

http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/2729/TI_362008008_Judul.pdf?sequence=

1 (diakses 23 Desember 2014 pukul 11.05) 9 Muhammad Iqbal. Konstruksi Citra Islam Dalam Film “?” (Tanda Tanya). Terarsip dalam

http://repository.uksw.edu/jspui/bitstream/123456789/3842/2/T1_362008093_BAB%20I.pdf

(diakses 23 Desember 2014 pukul 12.32)

5

yang berbeda agama, suku, dan kelas sosial, menjadi tema utama film ini.

Berbeda dengan Tanda Tanya (2011) yang menuai banyak protes, 3 Hati, 2

Dunia, 1 Cinta, diterima dengan baik oleh masyarakat. Sajian ringan yang

berbalut dengan komedi mengenai isu multikulturalisme menjadikan film ini

berhasil mencuri perhatian khalayak. 3 hati, 2 Dunia, 1 Cinta memperoleh 7

penghargaan pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2010, salah satunya

sebagai film terbaik. Hal positif dari film ini adalah adanya nilai-nilai

pendidikan multikultural10

yang terdapat dalam unsur-unsur film tersebut,

antara lain belajar hidup dalam perbedaan, rasa saling percaya, saling

memahami, saling menghargai, berfikir terbuka, apresiasi dan interdependensi,

dan resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.

Berbeda dengan 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, film Cin(T)a (2009)

merupakan film indie ini juga berkisah seputar cinta yang dibalut dengan isu

di tengah masyarakat Indonesia, yakni masalah suku, agama, ras, dan status

sosial. Film ini mampu menyuguhkan dialog-dialog yang berani oleh dua

tokoh utama mengenai isu multikulturalisme Dialog-dialog dalam film ini

terbilang cukup berani dalam menyampaikan hal-hal yang menjadi perbedaan,

yang sering kali agak canggung atau bahkan tabu bila diutarakan dalam

kehidupan sehari-hari. Salah satu penelitian mengenai film ini adalah

mengenai representasi pesan pluralisme verbal dan nonverbal.11

Hasil dari

penelitian tersebut salah satunya adalah pesan mengenai kerukunan umat

beragama yang ditandai dengan kebebasan beribadah sesuai dengan ajarannya

masing-masing.

Berbeda dengan film mainstream atau komersil, ada pula film pendek

Indonesia yang menyumbangkan gagasan mengenai multikulturalisme. Film

10 Miftahudin.2012. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Film Tiga Hati Dua Dunia Satu

Cinta Karya Ben Sohib Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam. Terarsip dalam

http://digilib.uin-suka.ac.id/10118/1/BAB%20I,%20IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

(diakses 23 Desember 2014 pukul 16.17) 11 Ratih Gema Utami.REPRESENTASI PESAN PLURALISME DALAM FILM CIN(T)A

(Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Pesan Pluralisme Verbal dan

Nonverbaldalam Film Cin(T)a). Terarsip dalam elib.unikom.ac.id/download.php?id=173132

(diakses 23 Desember 2014 pukul 18.05)

6

pendek mampu menghadirkan kejujuran pembuatnya dalam mengekspresikan

pemikirannya karena tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan

golongan. Ciri utama film pendek adalah durasinya yang kurang dari 50

menit.12

Dengan masa putar yang singkat, para pembuat film pendek dalam

menyiasati bahasa pada film untuk lebih jernih, menggunakan tanda-tanda

yang essential atau simbol-simbol yang secara tidak langsung bisa

menggambarkan suatu keadaan atau cerita.13

Salah satu film pendek yang berjudul Walang Weling Wulang (2010)

karya Yosep Anggi Noen lebih menekankan pada simbol daripada cerita. Film

ini bertutur tentang seorang anak yang bernama Suluh, yang suka menjahili

teman sekelasnya terutama anak perempuan, salah satunya Azizah. Suatu hari,

Suluh terpaksa meminta bantuan Azizah dalam menghafal salah satu surat di

Al Qur’an. Dalam perjalanan meminta bantuan Azizah, Suluh dibantu oleh

Damar temannya yang kristiani. Justru dalam perjalanan itulah, perbedaan

diantara mereka mampu mendekatkan mereka. Walaupun film ini cukup

mampu menghadirkan pesan multikulturalisme lewat simbol-simbol agama

yang kuat, namun dalam penceritaan mengalami kelemahan sehingga film ini

kurang “mendapat perhatian” dari khalayak.

Selain Walang Weling Wulang (2010), film pendek lain yang

mengangkat isu multikulturalisme adalah film yang berjudul Cheng Cheng Po

karya BW Purba Negara. Film pendek yang diproduksi tahun 2007, bercerita

tentang Markus, Tyara, Tohir dan Han yang bersahabat baik walaupun mereka

dari latar belakang etnis, agama, tradisi, dan budaya yang berbeda. Mereka

tulus berteman tanpa memandang perbedaan diantara mereka. Ketulusan

mereka ditandai dengan kesanggupan mereka untuk membantu salah satu

temannya, Han, yang sedang kesulitan.

Menurut Yosep Anggi Noen selaku produser,14

film Cheng Cheng Po

mencoba untuk mengangkat tema multikultur dengan menggunakan sudut

12

Gatot Prakosa. 1997. Film Pinggiran. Jakarta: FATMA PRESS.Hal.25. 13 Ibid.Hal.26. 14

Terarsip dalam http://purbanegara.wordpress.com/author/purbanegara/ (diakses pada 30 Juli

2014 pukul 15.40).

7

pandang anak-anak. Yosep Anggi Noen menambahkan pula, film Cheng

Cheng Po mencoba menyederhanakan persoalan perbedaan dari perspektif

anak-anak. Dengan melihat kepolosan anak-anak dalam film Cheng Cheng Po,

masyarakat dapat melihat bahwa mempermasalahkan perbedaan merupakan

hal yang bisa disebut cheng-cheng po (remeh temeh).

Cara bertutur yang sederhana serta cerita yang menarik mampu

membawa Cheng Cheng Po kepada khalayak melalui screening di Singapore

International Film dan Mumbai Asian Film Festival. Selain itu, Cheng Cheng

Po juga berhasil meraih Piala Citra untuk kategori Film Pendek Terbaik di

ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 serta Audiens Award dalam Festival

Film Pendek Konfiden 2007.

Cheng Cheng Po merupakan film fiksi pendek dengan tokoh sentral

anak-anak dan ditujukan untuk anak-anak. Film ini menghadirkan nilai-nilai

multikulturalisme, salah satunya yaitu tentang toleransi beragama. Pesan –

pesan yang dihadirkan pada Cheng Cheng Po, pada dasarnya dapat menyindir

orang dewasa dalam menyikapi sebuah perbedaan. Orang dewasa yang yang

biasanya menganggap masalah perbedaan merupakan hal yang kompleks,

sedangkan bagi anak-anak perbedaan adalah hal yang sederhana. Selain itu,

film pendek ini mengambil tema sentral tentang persahabatan anak-anak yang

berbeda etnis, agama, budaya. Hal ini menjadikan Cheng Cheng Po berbeda

dengan film lain yang mengalas isu multikulturalisme. Sebagian besar film

yang mengangkat isu multikulturalisme lebih berkutat pada masalah

percintaan orang dewasa yang berbalut perbedaan latar belakang budaya.

Pada penjelasan sebelumnya mengenai penelitian muatan

multikulturalisme pada film, muatan teks tertentu apabila tidak diimbangi

dengan pemahaman yang sesuai dengan ideologi negara akan memiliki potensi

untuk memecah belah persatuan bangsa. Hal ini kemudian perlu menjadi

perhatian bersama, ketika muncul muatan teks yang mengarah pada kebijakan-

kebijakan terhadap keragaman kebudayaan yang tidak sesuai dengan ideologi

negara serta menyudutkan pihak-pihak tertentu. Oleh karenanya, peneliti

memiliki minat untuk meneliti kajian multikulturalisme yang berkembang di

8

media, khususnya film pendek. Selain itu, penelitian mengenai

multikulturalisme lebih banyak mengulas pada film panjang dan penelitian

pada film pendek belum banyak dilakukan. Berangkat dari pemikiran tersebut,

peneliti ingin meneliti multikulturalisme dalam film pendek, khususnya film

Cheng Cheng Po melalui analisis semiotik. Dengan analisis semiotik, dapat

melihat representasi multikulturalisme melalui kode-kode yang ditampilkan

pada film.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana multikulturalisme direpresentasikan dalam film pendek

Cheng Cheng Po?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi

multikulturalisme dalam film pendek Cheng Cheng Po.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi kajian ilmu

komunikasi mengenai multikulturalisme dan film.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada media

massa mengenai pentingnya kesadaran budaya tentang multikulturalisme.

3. Manfaat Sosial

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kesadaran pada masyarakat

untuk berpikir kritis mengenai apa yang mereka lihat dalam film.

E. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah film pendek yang berjudul Cheng

Cheng Po. Cheng Cheng Po merupakan film pendek karya BW Purba Negara

yang diproduksi tahun 2007. Film berdurasi 18 menit ini, diproduksi oleh

9

Limaenam Films. Cheng Cheng Po berhasil meraih Piala Citra untuk kategori

Film Pendek Terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008 serta Audiens

Award dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007.

F. Kerangka Pemikiran

1. Film sebagai Representasi Sebuah Realitas

Film merupakan bagian dari media massa. Dibandingkan dengan

media massa lain, film memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh media

massa lain. Film mampu menghadirkan plot dan naratif gambar bergerak

hampir tak terbatas yang ditambah dengan score musik mampu menghidupkan

cerita film. Karenanya, film mampu diterima dan dinikmati oleh semua

kalangan sebagai media hiburan.

Kelebihan film yang mampu menjadi media hiburan di semua segmen

masyarakat memiliki potensi besar untuk mempengaruhi masyarakat. Pada

awalnya, hubungan antara film dan masyarakat hanya bersifat linier, di mana

film banyak mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan pesan

yang dibawanya. Dengan kata lain, film hanya sebagai refleksi masyarakatnya

saja karena film merupakan potret masyarakat di mana film itu dibuat.

Kekuatan utama sebuah film adalah mampu menciptakan ilusi realitas.

Sebagai audiens, kita dibawa masuk ke dunia baru dan mempercayai seolah-

olah realitas yang tercipta di dalamnya sungguh nyata. Oleh karena itu, film

menghadirkan kembali sebuah realitas dengan caranya sendiri. Bertolak dari

adanya realitas sejati yang terdapat di balik ilusi yang dibuatnya, film adalah

representasi dari realitas.

Turner mengatakan makna film sebagai representasi dari realitas

masyarakat berbeda dengan film sebagai refleksi realitas.15

Sebagai refleksi

realitas, film hanya memindah realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu.

Sedangkan, film sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan

15 Graeme Turner. 1999. Film as Social Practice. London: Routledge.Hal.41.

10

menghadirkan kembali realitas berdasakan kode-kode, konvensi-konvensi, dan

ideologi dari kebudayaannya.16

Sebagai media massa, film tidak terlepas dari posisinya sebagai produk

budaya di sekelilingnya. Sigfried Kracauer 1974)17

, film suatu bangsa

mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media

artistik lainnya. Ada dua alasan yang dikemukakan Kracauer untuk

mendukung pendapatnya. Pertama, film adalah karya bersama artinya dalam

proses pembuatannya sutradara juga mengakomodasi sumbangan berbagai

pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak, sehingga film tidak bisa

beranjak jauh dari masyarakat.

Film memiliki dua realitas yaitu realitas film dan realitas kehidupan

sehari-hari. Dalam perkembangannya, realitas kehidupan sehari-hari

ditentukan oleh realitas film, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Film

tidak hanya menciptakan penonton yang dilihat itu sendiri, namun juga

melihat apa yang akan dilihat oleh mata penonton. Film akan menampilkan

gambaran realistik yang tersaji dalam gambaran kamera.18

Film dalam merepresentasikan realitas akan selalu terpengaruh oleh

lingkup sosial, dan ideologi di mana film itu dibuat, dan akan berpengaruh

kembali pada kondisi masyarakatnya. Dalam waktu yang bersamaan film

mengukuhkan satu interaksi reflektif antara representasi sinematik dan

pengalaman kehidupan riil yang terjadi di luar layar.19

Interaksi di sini dengan

kata lain merupakan interaksi antara masyarakat dan film, yaitu masyarakat

dapat belajar dari film, film dapat merepresentasikan kehidupan

16 Budi Irawanto. 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia.

Yogyakarta: Media Pressindo.Hal.15. 17 Ali Imron.2003 Aktualisasi Film Sastra Sebagai Media Pendidikan Multikultural. Terarsip

dalam

http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/2076/2_AKTUALISASI%20FILM%

20SASTRA%20AKADEMIKA%20VOL%201%20NO%201%20APRIL%202003.pdf?sequence=

1 (Diakses 25 Desember 2014 pukul 09.10) 18 Budhi K Zaman. 1998. Masyarakat Sinematik: Laporan Penelitian, Yogyakarta: FISIPOL

UGM.Hal.52-53. 19 Ibid.Hal.38.

11

masyarakatnya. Dengan pemahaman tersebut, film dan masyarakat merupakan

satu kesatuan.

2. Multikulturalisme

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Dalam konteks

pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi

yang disebut multikulturalisme. Akar kata multikulturalisme adalah

kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme terbentuk dari kata multi

(banyak), culture (budaya), dan isme (aliran/paham). Hakekatnya,

multikulturalisme mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup

dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing. Artinya, setiap

individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup

bersama komunitasnya. Dalam masyarakat multikultural, keragaman budaya,

baik besar maupun kecil sama-sama diakui keberadaannya.

Menurut Suparlan, akar kata dari multikulturalisme adalah

kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman

bagi kehidupan manusia.20

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan

sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.

Suparlan mengatakan multikulturalisme akan menjadi acuan utama bagi

terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai

sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam

kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.21

Di mana

kebudayaan dalam hal itu merupakan keseluruhan kompleksyang ada di

dalamnya meliputi pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan setiap

kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang sebagai anggota

suatu masyarakat.22

20 Pasurdi Suparlan.2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Terarsip dalam

www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/.../10brt3psu69.pdf (diakses pada 3 Agustus 2014

pukul 11.14) 21

Ibid 22 Alo Lilweri.2003.Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.Yogyakarta:LkiS.Hal.11.

12

Sebagaimana diungkapkan Gutman (1993) dalam Kymlicka23

,

multikulturalisme memiliki tantangan mampu mengakomodasi perbedaan

kebangsaan dan etnis secara stabil serta dapat dipertahankan secara moral.

Dengan demikian multikulturalisme mengenal dua hal yaitu diversity yang

dipahami sebagai penerimaan dari perbedaan dan yang kedua adalah

bicultural, yaitu orang yang tumbuh dan berkembang dengan lebih dari satu

identitas kultural (misal bahasa sebagai penanda identitas). Manfaat dari

multikulturalisme adalah menerapkan sistem yang lebih adil dan memberi

kesempatan pada setiap orang untuk mengekspresikan diri dalam suatu

kelompok, lebih toleran dan adaptif terhadap isu-isu sosial.

Multikulturalisme sangat perlu diterapkan di Indonesia mengingat

keadaan Indonesia yang multikultural. Kecenderungan seragamisasi budaya

yang diterapkan pada masa Orde Baru lewat kebijakan-kebijakannya,

berakibat hancurnya kearifan lokal masyarakat. Padahal kearifan lokal dalam

suatu masyarakat dapat memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural

masyarakat bersangkutan. Kehancuran kearifan lokal pada akhirnya

mengakibatkan kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal serta

kesenjangan sosial. Maraknya konflik sosial yang bernuansa etnis dan agama

akhir-akhir ini, tidak lepas dari adanya kesenjangan sosial yang ada dalam

masyarakat.

Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang

beragam itu tampak dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda

tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang

kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus memelihara kesatuan atas dasar

pemeliharaan keragaman, bukan dengan menghapuskannya atau

mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan.

Hal ini adalah asumsi dasar yang juga melandasi paham multikulturalisme.

Bhineka Tunggal Ika dapat dikatakan konsep multikulturalismenya Indonesia.

Namun, dalam kenyataannya, perbedaan di Indonesia, justru kerap menjadi

23 Will Kymlicka.2002. Kewargaan Multikultural. Jakarta : LP3ES.Hal.38.

13

alasan terjadinya konflik sosial. Dengan demikian, masyarakat Indonesia

masih belum sepenuhnya memahami konsep multikulturalisme itu sendiri.

Di beberapa negara yang multikultural, telah diterapkan konsep

multikulturalisme dalam kebijakan politiknya, salah satunya di Kanada.

Kanada menerapkan Official Language Policy bagi penduduknya karena

bahasa dianggap sebagai penghalang dalam sebuah kelompok-kelompok sosial

yang secara kultur memisahkan kelompok-kelompok di Kanada. Penduduk

Kanada bebas memilih bahasa yang dikehendakinya yaitu bahasa Perancis dan

Inggris tanpa mengurangi hak-haknya menjadi warga negara Kanada.24

Berbeda dengan Kanada, penerapan konsep multikulturalisme di

Australia, pemerintah Australia mendirikan dan membiayai beberapa

organisasi/badan yang khusus menangani masalah multikulturalisme.

Contohnya, The Australian Institute of Multicultural Affairs, The Office of

Multicultural Affais, Bureau of Immigration, dan Multicultural and

Population Research.25

Organisasi-organisasi tersebut membantu pemerintah

Australia dalam menerapkan prinsip multikulturalisme. Salah satu kebijakan

yang lahir dari organisasi-organisasi tersebut adalah adanya cultural heritage,

di mana setiap etnik di Australia bebas menyelenggarakan keunikan

budayanya masing-masing lewat festival kebudayaan, hari libur dan perayaan,

juga menerima tradisi dan baju keagamaan di sekolah dan militer.26

Di Malaysia, kebijakan yang berkaitan dengan multikulturalisme

dilakukan dengan cara membuat pemukiman-pemukiman yang ditempati

secara khusus oleh suatu kelompok etnis tertentu, di mana kelompok-

kelompok tersebut diberikan kebebasan untuk menjalankan tradisi-tradisi

kebudayaan dan praktek keagamaan mereka masing-masing.27

Hal ini

ditunjukkan dengan adanya China Town, India Town, Muslim Town, dan

sebagainya.

24 Ju Lan, Op.Cit.Hal.285. 25 Ibid.Hal.288. 26 Ibid.Hal.289. 27 Ibid.Hal.284.

14

Apabila konsep multikulturalisme diterapkan pada kebijakan politik di

Indonesia, mungkin akan sulit. Hal ini dikarenakan, keadaan budaya politik

Indonesia yang bercabang dan memiliki struktur.28

Ketika konsep

multikulturalisme sulit diterapkan dalam kebijakan politik, ada baiknya

konsep multikulturalisme itu sendiri diterapkan oleh masing-masing individu

di tengah kehidupan bermasyarakat.

Konsep dasar multikulturalisme adalah mengakui dan menghagai

perbedaan budaya dalam kesederajatan. Secara konkret, Kent & Taylor (2002)

dalam Kriyantono29

mengatakan kesetaraan terwujud pada rasa empati

(walking in the same shoes) dan mutualitas (semangat kesejajaran &

berkolaborasi). Dengan adanya rasa empati dan mutualitas, adanya perbedaan

budaya di masyarakat dapat mendorong terjadinya persatuan dan mengurangi

konflik. Respek mutual mengisyaratkan keterlibatan, yaitu tindakan

mengambil peran atau posisi dalam aktivitas maupun permasalahan dari orang

atau kelompok lain. Keterlibatan mengarah pada kerjasama, yaitu interaksi

sosial antara individu maupun kelompok yang bersama-sama mewujudkan

kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam memahami konsep multikulturalisme, peran media massa

sangat dibutuhkan. Media massa sebagai pemberi informasi kepada

masyarakat dalam menyajikan konten-konten yang mengarah pada

multikulturalisme haruslah berimbang dan tidak menyudutkan salah satu

pihak. Dengan demikian, masyarakat yang menerima informasi bisa lebih

memahami makna multikulturalisme. Film sebagai bagian dari media massa,

pun diharapkan menyajikan konten yang berimbang mengenai

multikulturalisme, mengingat film dapat mencakup semua kalangan

masyarakat. Film sebagai medium penyampai pesan, dalam menyampaikan

pesan multikulturalisme melalui proses representasi. Proses representasi

multikulturalisme dalam film dapat dilihat melalui penggambaran identitas

28 Ibid.Hal.284 29 Rachmat Kriyantono. 2012. Mem-PR-kan Multikultural Melalui Penyiaran. Terarsip dalam

http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/RACHMAT-Kuliah-tamu-di-STAIN.pdf

(Diakses 5 September 2014 pukul 13.23)

15

tertentu suatu etnis, simbol budaya, suku, agama, dan kelas sosial, serta

budaya lainnya.

3. Multikulturalisme dalam Film

Multikulturalisme dalam film bisa dilihat dalam berbagai sudut

pandang. Sudut pandang tersebut berkaitan dengan unsur-unsur yang ada

dalam film seperti penokohan, ide cerita, setting, dialog, simbolisasi visual

dan lainnya. Dari unsur tersebut nantinya akan membentuk satu kesatuan

menjadi sebuah gambar visual yang bermuatan multikulturalisme.

Film bertema multikulturalisme merupakan film yang memiliki unsur

budaya suatu komunitas (kelompok) tertentu dalam penyajiannya. Unsur

budaya meliputi ras, suku, agama, tradisi, bahasa, dan sebagainya. Dalam

kaitannya dengan mulitkulturalisme, penyajian unsur budaya tidak hanya dari

satu komunitas saja, tetapi beberapa komunitas yang dirangkum melalui cerita

atau tema dalam film. Dengan kata lain, film bertema multikulturalisme

biasanya terdapat komunikasi antar budaya di dalamnya.

Multikulturalisme dalam film umumnya muncul pada karakterisasi

penokohan dalam film. Dari karakterisasi penokohan, banyak unsur budaya

yang ada di dalamnya. Misalnya saja, kemunculan tokoh utama dari suku Jawa

dan tokoh lain dari suku Batak. Dari situ, dapat dikembangkan lagi, tokoh

utama yang beragam Islam dan tokoh lain beragama Kristen. Kemudian, antar

tokoh saling berkomunikasi dalam ceritanya. Secara singkat,

multikulturalisme dalam film bisa dilihat dari hubungan antar tokoh dalam

film yang berbeda suku, agama, dan mungkin perbedaan lainnya yang

berkaitan dengan kebudayaan.

Selain dari penokohan, multikulturalisme juga bisa dilihat dari setting

dalam film. Multikulturalisme dalam setting di film, biasanya berupa

penggambaran aktivitas masyarakat komunitas tertentu yang hidup saling

berdampingan walaupun berbeda budaya. Misalnya, tokoh dalam film hidup

di lingkungan yang mempunyai beragam etnis, agama, kelas sosial di

lingkungannya. Dari masing-masing etnis tersebut dimunculkan aktivitas

16

sehari-hari yang menjadi ciri khas etnis tersebut. Misalnya etnis Cina yang

umumnya ditampilkan sebagai pedagang dalam aktivitas sehari-harinya.

Orang Katolik yang pergi ke gereja dan membuat tanda salib sebelum berdoa.

Multikulturalisme biasanya juga hadir dalam dialog antar tokoh.

Dialog antar tokoh dapat memuat pesan-pesan yang berkaitan dengan

multikulturalisme. Misalnya, pesan mengenai toleransi antar umat beragama,

perbedaan bukan menjadi halangan untuk bersatu, dan sebagainya. Selain itu,

karena kekuatan film pada audio visualnya, dalam merepresentasikan

multikulturalisme juga bisa hadir dari simbol-simbol keagamaan (patung

Yesus dan Maria bagi orang Kristen), tulisan arab bagi orang Muslim, musik-

musik tradisi khas daerah atau etnis tertentu, dan beberapa hal lainya yang

berkaitan dengan budaya.

Multikulturalisme dalam film ditandai dengan munculnya kelompok-

kelompok etnik dalam kontennya. Kelompok etnik yang dimaksud disini

adalah sekelompok manusia yang memiliki rasa persatuan akan budaya

tertentu yang diikuti dengan adanya kesamaan ras, keyakinan, bahasa, dan asal

usul bangsa tertentu. Kelompok etnik ini memiliki persamaan kebudayaan.

Persamaan kebudayaan dapat dilihat dari unsur-unsurnya, seperti yang

diungkapkan oleh C.Kluckhohn30

. Tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah

sistem kepercayaan (religi), sistem pengetahuan, sistem peralatan dan

perlengkapkan hidup manusia, sistem mata pencaharian dan sistem-sistem

ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian.

Representasi budaya tertentu dalam film akan diidentifikasi melalui etnis dan

unsur-unsur budaya yang membentuk kebudayaan tersebut.

G. Kerangka Konsep

1. Representasi

Kata representasi sering merujuk pada penggambaran media (terutama

media massa) atas sebuah realitas masyarakat, objek, peristiwa, hingga

30

Terarsip dalam http://www.scribd.com/doc/113614652/7-Unsur-Kebudayaan-Universal (diakses

14 September 2014 pukul 08.25)

17

identitas budaya.31

Secara sederhana dapat diartikan sebagai pikiran orang-

orang terhadap objek, peristiwa, dan simbol-simbol tertentu. Chris Barker

menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural

studies, representasi sendiri dimaknai sebagaimana dunia dikonstruksikan

secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan

tertentu.32

Menurut Fiske (2004) dalam Christandi33

representasi adalah

sesuatu yang merujuk pada proses menggambarkan realitas dalam komunikasi,

melalui kata-kata, bunyi, citra, gambar atau kombinasi lainnya. Masyarakat

dapat memperoleh gambaran tertentu tentang suatu objek dengan adanya

representasi tersebut. Tak hanya gambaran fisik yang tampak, tapi juga

gambaran lain yang terkait di sekitar objek.

Menurut Stuart Hall, representasi berarti menggunakan bahasa untuk

mengungkapkan sesuatu yang bermakna, atau untuk mewakili, dunia penuh

arti, untuk orang lain.34

Representasi merupakan bagian penting dari sebuah

proses pertukaran makna, di mana makna diproduksi dan dipertukarkan antara

anggota melalui budaya. Bahasa, tanda, dan gambar itu ada untuk

merepresentasikan sesuatu hal.

Hall menyatakan ada dua proses representasi.35

Pertama, representasi

mental (mental representation), yaitu segala konsep yang ada di kepala kita

masing-masing (peta konseptual) mengenai sebuah obyek, orang, kejadian

yang saling berhubungan sehingga konsep yang terbentuk masih abstrak.

Dengan kata lain, representasi mental tergantung dari sistem konseptual dan

imej dari pribadi individu dan setiap individu memiliki persepsi masing-

masing tentang segala hal dalam kehidupannya. Proses representasi yang

31 Terarsip dalam http://yearrypanji.wordpress.com/2009/01/03/film-dan-representasi-budaya/

(diakses 15 September 2014 pukul 20.15) 32 Terarsip dalam http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/17/another-representasi-budaya/

(diakses 15 September 2014 21.00) 33 DB Christandi.2013. Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika

Roland Barthes).Terarsip dalam

http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/3841/T1_362008082_BAB%20II.pdf?seq

uence=3 (diakses 15 September 2014 pukul 22.45) 34

Stuart Hall.1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practises. London-

Calofornia.New Delhi: Sage Publication.Hal.15. 35 Ibid.Hal.17.

18

kedua adalah bahasa. Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi

makna. Peta konseptual yang ada di kepala kita perlu diterjemahkan ke dalam

bahasa yang sama, sehingga manusia mampu mengkorelasikan konsep dan ide

melalui tulisan, ucapan, ataupun image visual. Semua bahasa tulis, lisan

maupun imaji visual oleh hal disebut sebagai tanda.36

Jadi, bahasa merupakan

salah satu elemen yang digunakan sebagai media representasi masyarakat.

Melalui bahasa, dapat dilihat kebudayaan dan tata krama suatu masyarakat.

Proses pemaknaan di dalam sebuah budaya, dilakukan melalui dua

sistem representasi tersebut. Sistem representasi memungkinkan untuk

pemberian makna untuk dunia melalui konstruksi pemikiran dan sistem

konsep dalam peta konsep seseorang. Sistem representasi ini memudahkan

sebuah makna untuk disebarkan dan diekspresikan ke khalayak luas, melalui

bahasa. Hubungan yang terjadi antara benda, konsep, dan tanda akan

memproduksi sebuah makna di dalam bahasa. Proses inilah yang dimaknai

sebagai sebuah proses representasi.

Hall memaparkan tiga pendekatan untuk menerangkan bagaimana

merepresentasikan makna melalui bahasa.37

Pertama, reflective approach

menerangkan bahwa makna dipahami untuk mengelabui objek, seseorang, ide-

ide ataupun kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata. Fungsi bahasa sebagai

cerminan untuk merefleksikan kejadian dan makna-makna sebenarnya. Kedua,

intentional approach yang melihat bahwa bahasa dan fenomenanya dipakai

untuk mengatakan maksud dan memiliki pemaknaan atas pribadinya. Ia tidak

merefleksikan, tetapi kata-kata diartikan sebagai pemilik atas apa yang ia

maksud. Ketiga, constructionist approach yang membaca khalayak dan

karakter sosial sebagai bahasa. Dalam pendekatan ini, bahasa dan pengguna

bahasa tidak bisa menetapkan makna dalam bahasa melalui dirinya sendiri,

tetapi harus dihadapkan dengan sesuatu yang lain yang disebut interpretasi.

Representasi dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan teks

media dan realitas. Teks media sebagai objek, tak lepas dari aspek-aspek yang

36 Ibid.Hal.18. 37 Ibid.Hal.24-25.

19

melekat pada teks tersebut. Aspek-aspek tersebut memberi pengaruh dan

dipengaruhi oleh keadaan sekitar di mana teks media itu berada. Melalui

proses representasi ini, aspek-aspek tersebut dapat terlihat.

2. Multikulturalisme dalam Film Indonesia

Film merupakan sebuah media komunikasi yang unik dalam

menyampaikan nilai sosial dan budaya, karena film menjadi cermin dari

sebuah masyarakat yang menciptakan mereka. Sebagai sebuah produk dari

kreativitas, film tidak dapat dipisahkan dari konteks masyarakat yang

memproduksi dan mengkonsumsi film tersebut.

Konten di dalam sebuah film merupakan hasil dari interpretasi sang

sutradara. Keinginan sang sutradara memberikan penggambaran suatu hal

yang ada, film sering disebut sebagai agen yang merepresentasikan suatu hal

melalui gambar, tulisan, dan tutur kata. Konten dari film, sering dimaknai

sebagai bentuk representasi realitas yang ada.

Kriyantono mengungkapkan bahwa media termasuk film sebagai

media massa hendaknya memiliki 3E dalam penyajiannya, yaitu education,

empowerment, dan enlightment.38

Education, hendaknya film memuat konten-

konten yang mengedukasi masyarakat ke arah yang lebih baik. Empowerment,

muatan film diharapkan mampu memberdayakan kelompok marjinal.

Enlightment, film mampu memberikan ide-ide positif pada masyarakat,

sebagai contoh ide mengenai multikulturalisme.

Pembahasan isu mengenai multikulturalisme pada media Indonesia

mulai bermunculan pasca Reformasi 1998, tak terkecuali pada film. Adanya

kebebasan bermedia, para pembuat film mulai berani mengambil tema-tema

yang dahulu tabu untuk dibicarakan pada era Orde Baru, yaitu mengenai

multikulturalisme sehingga film-film mengenai multikulturalisme mulai

banyak bermunculan. Meski demikian, dibandingkan dengan film tema-tema

mainstream seperti percintaan remaja, horror, komedi yang berbalut seks, dan

38 Rachmat Kriyantono. 2012. Mem-PR-kan Multikultural Melalui Penyiaran. Terarsip dalam

http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/RACHMAT-Kuliah-tamu-di-STAIN.pdf

(Diakses 5 September 2014 pukul 11.10)

20

lain-lain, jumlah produksi film bertema multikulturalisme masih sangat

sedikit.

Kenyataan Indonesia sebagai negara multikultural, belum bisa

dimanfaatkan secara baik oleh pembuat film. Multikulturalisme belum bisa

diterima secara baik oleh masyarakat Indonesia apabila dijadikan tema film.

Tetapi, ada pula film Indonesia mengenai multikulturalisme yang mampu

diterima oleh khalayak seperti film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta. Walaupun pada

dasarnya film ini merupakan film drama komedi percintaan yang berbalut

perbedaan multikultur dua tokoh utama. Film ini mampu meraih 7

penghargaan dalam Festival Film Indonesia 2010.

Film sebagai agen penyalur ide multikulturalisme sebaiknya dapat

mewakili seluruh lapisan masyarakat. Namun, seringkali, ketika sebuah film

dihadapkan pada konten multikulturalisme, muatannya lebih sering bias pada

kelompok budaya tertentu. Sebagai contoh, pengambilan tema seringkali

mengambil budaya mayoritas seperti Jakarta sentris. Dalam hal ini, para

pembuat film lebih menonjolkan budaya mayoritas ketimbang budaya

minoritas, yaitu budaya-budaya lain di berbagai pulau di Indonesia selain

pulau Jawa.

Para pembuat film, juga seringkali terjerumus dalam stereotipe yang

negatif ketika menggambarkan etnis tertentu. Seperti yang terjadi pada film

Tanda Tanya. Dalam film ini, orang Cina merupakan orang yang tidak

menghargai tradisi budaya lain dan hanya mementingkan uang ketika

berbisnis. Disini orang Cina juga diidentikan dengan peran pedagang.

Multikulturalisme dalam film Indonesia masih belum dapat diterima

sepenuhnya oleh masyarakat karena bagi sebagian kalangan isu

multikulturalisme merupakan isu yang sensitif. Belum adanya rasa toleransi

yang tinggi di masyarakat atas perbedaan, seringkali menimbulkan protes pada

saat pemutaran film bertema multikulturalisme. Seperti yang dialami oleh film

Cinta Tapi Beda (2012). Film ini mengangkat isu pernikahan beda agama. Di

Indonesia, isu pernikahan beda agama merupakan isu yang sensitif karena di

21

Indonesia sendiri belum ada hukum yang mensyahkan pernikahan beda

agama.

Dibandingkan dengan jumlah produksi film Indonesia lainnya yang

lebih banyak bertema mainstream (cinta, komedi, horror, dan lainnya), film

bertema multikulturalisme sangat sedikit jumlahnya di Indonesia, walaupun

Indonesia memiliki kekayan multikultural yang banyak. Ada beberapa sebab

mengapa film bertema multikulturlisme di Indonesia masih sedikit.

Pertama, isu mengenai multikulturalisme di Indonesia merupakan isu

yang sensitif. Kesensitifitasan tersebut dikarenakan kebijakan era Orde Baru

yang melarang perbincangan yang menyangkut SARA (suku, agama, ras, dan

antar golongan) sehingga sampai sekarang orang enggan membicarakan isu

tersebut. Kedua, tuntutan pasar penikmat film di Indonesia. Sejak era

bangkitnya perfilman Indonesia lewat Ada Apa Dengan Cinta?, mayoritas

penonton film saat ini adalah remaja. Remaja adalah penonton yang potensial

sehingga para produser film lebih memilih tema-tema film yang dekat dengan

kehidupan remaja dalam memproduksi film, misalnya tentang percintaan.

Ketiga, konsep multikulturalisme sendiri di Indonesia masih sangat asing bagi

masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya protes-protes apabila

ada film yang bermuatan multikulturalisme dibuat. Protes-protes tersebut

biasanya berakibat pemboikotan film oleh kalangan tertentu. Hal ini

menyebabkan sineas film “malas” untuk membuat film-film

multikulturalisme. Beberapa paparan di atas, pada akhirnya, menyebabkan

film Indonesia bertema multikulturalisme masih sangat sulit untuk

berkembang di Indonesia sehingga jumlahnya masih sangat sedikit.

.

3. Semiotika dan teks film

Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Dalam

kajian semiotik, Preminger menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat

dan kebudayaan merupakan tanda-tanda.39

Semiotik mempelajari sistem-

sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda

39 Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.Hal. 96.

22

tersebut mempunyai arti. Tanda merupakan bagian penting dalam kehidupan

manusia. Karena dengan adanya tanda, manusia bisa terhubung dengan

realitas yang ada di sekitarnya. Melalui tanda, manusia dapat berkomunikasi

dengan sesamanya.

Pusat kajian semiotik adalah pada tanda (sign). John Fiske menyatakan

ada tiga area penting dalam studi semiotik:40

1. Tanda itu sendiri (the sign its self). Hal ini meliputi studi tentang variasi

tanda yang berbeda, penyampaian makna, dan cara tanda berhubungan

dengan orang-orang yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem di mana tanda-tanda itu diorganisir (the codes or

system into which sign are organized). Studi ini meliputi cara variasi

kode-kode tersebut dibangun dalam rangka mempertemukannya dengan

kebutuhan masyarakat.

3. Budaya di mana kode-kode dan tanda-tanda tersebut dioperasikan (the

culture within which these codes and signs operate).

Peirce membagi tanda ke dalam tiga tipe yaitu ikon, indeks, dan

simbol.41

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya

berdasarkan kemiripan yang dapat diketahui oleh pemakainya, misalnya peta

atau lukisan yang merujuk pada objek tertentu. Indeks merupakan tanda yang

memiliki keterikatan fenomenal atau eksistensial diantara representamen dan

objeknya. Berbeda dengan ikon, indeks memiliki hubungan yang nyata. Ikon

berdasarkan kemiripan sedangkan indeks berdasarkan hubungan atau relasi.

Misalnya, kata rokok memiliki indeks asap. Hubungan indeksial antara rokok

dan asap terjadi karena terdapatnya hubungan ciri yang bersifat tetap antara

rokok dan asap. Simbol adalah tanda yang representamennya merujuk pada

objek tertentu. Simbol terbentuk melalui konvensi-konvensi atau kaidah-

kaidah, tanpa adanya kaitan langsung diantara representamen dan objeknya.

Kebanyakan unsur leksikal di dalam kosa kata suatu bahasa adalah simbol.

Misalnya kata sepeda dalam bahasa Indonesia, pit dalam bahasa Jawa, dan

40

Ibid.Hal.94. 41 Kris Budiman.2011. Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problem Ikonsitas.Yogyakarta:

Jalasutra.Hal.19.

23

bicycle dalam bahasa Inggris, adalah simbol karena relasi diantara kata

tersebut sebagai representamen dan sepeda asli yang menjadi objeknya tidak

bermotivassi, semata-mata hanya konvensional. Gerak gerik mata, gerakan

tangan atau jari jemari juga merupakan simbol.

Dalam prakteknya, eksistensi tanda membutuhkan kode untuk dapat

dipahami maknanya. Kode merupakan cara pengombinasian tanda yang

disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan

kepada yang lain. Kode ini terikat pada suatu sistem sosial dan budaya

tertentu. Tanda terangkai dalam kode-kode yang terkait dengan kesepakatan

sosial dan budaya yang berlaku diantara pengguna kode tersebut.

Dalam menganalisis kebudayaan pada kajian semiotika, maka

kebudayaan perlu dilihat sebagai teks, yaitu rangkaian tanda-tanda bermakna,

yang diatur berdasarkan kode atau aturan tertentu.42

Teks adalah suatu wujud

dari tindak penggunaan tanda dan simbol dalam kehidupan sosial, yaitu

berupa kombinasi seperangkat tanda, yang dikombinasikan dengan kode atau

cara tertentu, dalam rangka menghasilkan makna tertentu. Teks yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah teks visual yaitu film.

Sebagai salah satu teks visual serta produk budaya, film dapat

dipahami melalui serangkaian tanda dan simbol yang terikat oleh kode-kode

atau konvensi dari budaya di mana film itu dibuat. Dalam film, pemaknaan

tanda dipahami melalui unsur pokok film yaitu visual film, dalam hal ini

scene dan shot, karakterisasi, alur cerita, serta dialog.

Scene atau adegan menurut Metz terdiri dari satu shot atau lebih dan

sifatnya lebih kronologis, kontinyu, dan linier. Dalam scene sebuah film,

multikulturalisme biasanya akan ditampilkan tanda-tanda budaya tertentu

yang terwakili melalui shot.

Karakterisasi terkait dengan bentuk penampilan dan perilaku

kelompok etnis tertentu baik secara fisik maupun simbolis. Sedangkan, narasi

cerita, berkaitan dengan dialog antartokoh. Dialog antartokoh berkaitan

42

Yasraf Amir Piliang.2010.Semiotika dan Hipersemiotika:Kode, Gaya & Matinya

Makna.Bandung:Matahari.Hal.307.

24

dengan bahasa serta pilihan katanya, apakah dari dialog tersebut

mencerminkan multikulturalisme. Ini dapat dilihat apakah dialognya

mengandung unsur stereotipe atau tidak. Ketiga unsur tersebut dapat

menjadikan film sebagai sebuah teks yang dapat diteliti.

H. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan

menggunakan metode analisis semiotik. Semiotik merupakan studi tentang

tanda (sign) dan meliputi kegunaan tanda (sign) tersebut. Semiotik dapat

diartikan juga sebagai studi tentang tanda dan segala yang berhubungan

dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain,

pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.43

Tanda (sign) dalam pengertian ini merupakan tanda yang merupakan

basis dari seluruh komunikasi dan menandakan sesuatu selain dirinya

sendiri.44

Dalam kehidupan sosial, wujud penggunaan tanda bisa berupa teks.

Teks merupakan gabungan dari seperangkat tanda yang dikombinasikan

dengan kode tertentu untuk menghasilkan suatu makna. Teks dalam penelitian

ini adalah film.

Penggunaan metode semiotik dalam penelitian ini untuk mendalami

makna tertentu dalam film lewat tanda-tanda yang ada pada film. Selanjutnya

hasil dari penelitian ini akan dipaparkan secara deskriptif sehingga jenis

penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.

2. Operasionalisasi Penelitian

a. Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan

mengidentifikasi film Cheng Cheng Po yang akan diamati dengan menonton

film tersebut. Selanjutnya akan memilah scene yang merepresentasikan

43 Rachmat Kriyantono. 2007. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media.Hal.261. 44 Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.Hal.15.

25

multikulturalisme. Scene adalah kesatuan dramatik yang secara umum

mengambil setting, tempat, waktu dan tokoh yang sama. Sebuah scene terdiri

dari satu atau berapa shot yang saling berkesinambungan. Shot merupakan

bagian terkecil dari penyusunan film, yaitu dari kamera memulai merekam

hingga berhenti merekam. Biasanya terdapat gerak kamera, komposisi (type of

shot), dialog, dan suara dari peristiwa yang ingin disampaikan oleh sutradara.

Aspek-aspek yang diperhatikan saat pengumpulan data berupa

potongan-potongan shot dalam scene adalah hal-hal yang berkaitan dengan

multikulturalisme, yaitu :

shot yang menunjukkan interaksi antaretnis.

shot yang menunjukkan potret etnis tertentu.

shot yang menunjukkan keberagaman agama, etnis, dan tradisi

shot keinginan adanya perenungan kembali multikulturalisme.

dialog yang memotret etnis tertentu.

Dari aspek-aspek tersebut akan terkumpul data berupa gambar yang

didapat dengan melakukan screenshot pada film. Gambar-gambar tersebut

kemudian dipetakan berdasarkan elemen multikulturalisme yang ingin diteliti

untuk memudahkan dalam menganalisis. Pengumpulan data lain juga

dilakukan dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah

yang diteliti, yaitu mengenai representasi, film, dan multikulturalisme.

b. Tahapan Penelitian

Langkah awal yang ditempuh penelitian ini adalah akan dilakukan

pemilahan, pemetaan dan pengumpulan data. Data-data ini kemudian dibagi

kepada instrumen analisis untuk mempermudah dan memperjelas letak setiap

data dalam fungsinya. Data disini berupa scene yang ada dalam film yang

bermuatan multikulturalisme.

Selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap simbol-simbol

yang ada dalam scene tersebut. Peneliti akan membedah data instrumen

analisis yang sudah dipetakan sebelumnya. Proses ini untuk melihat isi yang

dibawa oleh data-data tersebut sebagai suatu bahasa. Data yang dihasilkan

disini adalah berupa data dalam level konotasi.

26

Dalam tahap terakhir penulis akan menganalisis data konotasi yang

didapatkan dengan menghubungkannya pada sebuah level lebih makro. Disini

akan terlihat bagaimana representasi simbol-simbol yang ada dipandang dalam

sebuah wacana yang luas seperti ideologi,atau paham tertentu.

Untuk mempermudah menjelaskan analisis yang akan dipergunakan

dalam penelitian ini, peneliti akan menyajikan unit analisis dan instrumen

penelitian di bawah ini :

1. Unit Analisis

Multikulturalisme

Tema sentral dalam penelitian ini adalah multikulturalisme.

Multikulturalisme merupakan suatu paham atas keberagaman budaya

dengan tidak menghapuskan perbedaan budaya melainkan memberi

ruang diantara perbedaan kebudayaan tersebut. Pada penelitian ini,

multikulturalisme hanya berfokus pada etnis, agama, dan tradisi. Pada

keberagaman budaya pada sisi etnis, terdapat sub kategori lain yaitu

ras dan kelas sosial. Hal ini dikarenakan kedua sub kategori tersebut

melekat pada etnis. Apabila kita membicarakan masalah etnis, kedua

hal tersebut akan muncul dengan sendirinya. Ras dalam pengertian

biologis merupakan sebuah populasi manusia yang diklasifikasikan

atas dasar karakteristik-karakteristik tertentu yang diwariskan

antargenerasi serta membedakannya dari kelompok-kelompok lain.

Pembeda tersebut salah satunya dengan ciri-ciri fisik tertentu, seperti

warna kulit, bentuk wajah, serta asal usul. Kemudian dari sisi

keberagaman tradisi, terdapat sub kategori kesenian dan falsafah

hidup. Kesenian di sini dapat berupa benda bergerak maupun tidak

bergerak. Sedangkan falsafah hidup bisa berupa berbagai cara suatu

kelompok tertentu dalam menjalani hidup dan sudah mendarah daging

di antara mereka. Keberagaman agama disini menyangkut semua aspek

yang berkaitan dengan agama, yaitu tanda-tanda yang melekat pada

agama tertentu.

27

2. Instrumen Penelitian

Teknik Visualisasi

a) Camera Shots

1. Extreme Close Up adalah pengambilan gambar sedekat

mungkin dengan obyek, misalnya hanya mengambil bagian

dari wajah.45

Jenis shot ini untuk menunjukkan kedekatan

hubungan dengan cerita atau pesan film.

2. Close Up adalah pengambilan gambar wajah keseluruhan

obyek. Hal ini menunjukkan keintiman atau bisa juga

menandakan bahwa obyek sebagai inti cerita.

3. Medium Close Up adalah pengambilan gambar dari kepala

hingga dada subyek.

4. Medium Shot adalah pengambilan gambar setengah badan, dari

kepala hingga pinggang. Shot ini menggambarkan personal

antar tokoh dan kompromi yang baik.

5. Long Shot adalah pengambilan gambar jarak jauh di mana ia

menekankan lingkungan atau latar pengambilan gambar. Shot

ini berarti menggambarkan konteks, skop dan jarak publik.

Dengan pengambilan gambar long shot, bisa menimbulkan

suatu suasana yang dapat memperlihatkan arah dan maksud

dari suatu gerakan.

6. Full Shot adalah pengambilan gambar seluruh badan obyek

yang menggambarkan hubungan sosial.

b) Pergerakan Kamera

1. Zoom in atau zoom out adalah pergerakan kamera ke dalam/luar

mendekati/menjauhi obyek. Shot ini menunjukkan kedalaman

pengamatan terhadap obyek.

2. Ped up atau down adalah pengambilan gambar ketika pedestal

dinaikkan dan sebaliknya. Pergerakan ped up, kamera

mengarah ke atas yang bermakna kelemahanan, pengecilan.

45 Arthur Asa Berger.1983. Media Analysis Technique. Beverly Hilss: Sage Publication.Hal.63.

28

Sedangkan ped down, kamera mengarah ke bawah yang

bermakna kekuasaan, kewenangan.

3. Panning adalah pergerakan kamera secara horizontal dan

vertikal tanpa mengubah posisi kamera.

4. Dollying atau Tracking adalah gerakan kamera mengikuti atau

menjauhi obyek. Mendekati obyek disebut dengan Dolly in

sedangkan menjauhi obyek disebut dengan Dolly back. Tujuan

Dolly in untuk meningkatkan titik atau pusat perhatian,rasa

ketegangan dan rasa ingin tahu. Sedangkan Dolly back

sebaliknya.

c) Camera Angle

1. High Angle adalah penempatan kamera lebih tinggi daripada

obyek. Efek dramatis yang timbul adalah berkurangnya

superioritas subyek sekaligus melemahkan kedudukannya.

2. Low Angle adalah pengambilan gambar subyek dari bawah

yang menampakkan subyek memiliki kekuatan dan

menonjolkan kekuasaannya.

3. Straight Angle adalah sudut pengambilan gambar yang normal,

biasanya ketinggian kamera setinggi dada dan sering digunakan

pada acara yang gambarnya tetap.

d) Teknik Editing

1. Cut adalah pergantian gambar secara mendadak dari gambar

satu ke gambar lainnya tanpa ada penumpukkan gambar yang

dapat memberikan perubahan gambar, memendekkan waktu,

membuat variasi sudut pandang dan membangun sebuah ide

atau image.

2. Dissolve adalah perpindahan adegan dari satu adegan ke

adegan lainnya secara perlahan-lahan sehingga pergantian

adegan tersebut halus dan tidak terasa karena ada tumpukan

gambar diantara kedua gambar tersebut.

29

3. Wipe adalah pergantian adegan secara perlahan-lahan dengan

mendorong satu adegan kemudian memunculkan adegan

lainnya, di mana proses pergantiannya terlihat sangat jelas.

Unsur Naratif film

Menurut Himawan dalam Triandini46

unsur naratif berhubungan

dengan aspek cerita atau tema film. Elemen-elemen yang terdapat dalam

unsur naratif ini terdiri dari tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, dialog,

dan lain-lain. Elemen tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan

satu sama lain untuk membentuk sebuah jalinan peristiwa yang memiliki

maksud dan tujuan. Dialog antar tokoh dalam film dapat memunculkan

karakterisasi tokoh lewat gaya bahasa dan pilihan katanya. Dalam

penelitian ini, akan dicermati kata-kata maupun kalimat yang berkaitan

dengan multikulturalisme, seperti etnis, agama, dan tradisi.

Berikut tabel unit analisis dan unit instrumen penelitian :

Tabel 1.1

Unit Analisis Penelitian

Unit Analisis Kategori Sub Kategori

Multikulturalisme Keberagaman budaya :

Etnis

Agama

Tradisi

- Ras

- Kelas Sosial

- Kesenian

- Falsafah hidup

46 Anintia Triandini. 2010. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM FILM “GRAN TORINO”

Studi Semiotik Komunikasi Antar Budaya Amerika dan Suku Hmong Dalam

Film “Gran Torino”.Terarsip dalam http://eprints.uns.ac.id/3367/1/175051301201110041.pdf

(diakses 24 Desember 2014)

30

Tabel 1.2

Unit Instrumen Penelitian

Unit Terteliti Unsur Sub Unsur

1. Teknik Visualisasi - Camera Shot Extreme Close Up

Close Up

Medium Close Up

Medium Shots

Long Shots

Full Shot

- Pergerakan kamera Zoom in atau zoom out

Ped up atau down

Panning

Dollying atau Tracking

- Angle High Angle

Low Angle

Straight Angle

- Teknik editing Cut

Dissolve

Wipe

2. Unsur naratif film Tokoh, Masalah, Konflik,

Lokasi, Waktu

Alur cerita

penyelesaian konflik

sekolah

halaman

-Dialog Gaya bahasa

Pilihan kata

c. Metode Analisis

Penelitian ini akan mengkaji simbol-simbol dalam film yang kemudian

akan diberlakukan sebagai bahasa. Penelitian simbol-simbol dalam proses

komunikasi sering kali dilakukan dengan menggunakan analisis semiotik.

31

Menurut Saussure, semotika merupakan ilmu yang mempelajari peran

tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, menginvestigasi sifat-sifat atau

hakikat tanda dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Semiotik dapat

diartikan pula studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya,

cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain, pengirimannya dan

penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.47

Metode analisis semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis semiotik Roland Barthes. Metode analisis semiotik Roland Barthes

menggunakan pengertian dasar tanda yang terdiri dari dua unsur, penanda dan

petanda atau signifier dan signified . Penanda atau signifier adalah bentuk

citra atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti

suara, tulisan atau benda. Sedangkan petanda atau signified adalah konsep

abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda.

Roland Barthes menggunakan sistem penandaan bertingkat dalam

menginterpretasi tanda. Sistem penandaan tingkat pertama adalah tingkat/level

denotasi. Pada level denotasi, hubungan antara penanda dan petanda dengan

realitas eksternal bermakna eksplisit atau bermakna sesungguhnya. Sistem

penandaan tingkat kedua adalah tingkat/level konotasi. Pada level konotasi,

hubungan antara penanda dan petanda bermakna implisit/latent. Pada level

konotasi, penanda dan petanda di level denotasi menjadi penanda yang

berkaitan dengan nilai-nilai budaya.

Pada tataran bahasa, yaitu sistem penandaan tingkat pertama, penanda

berhubungan dengan petanda sehingga menghasilkan tanda (sign). Tanda-

tanda pada tataran pertama ini akan menjadi penanda yang berhubungan

dengan petanda pada tataran kedua. Pada tataran kedua inilah terdapat mitos

(myth). Mitos dalam pemahaman semiotika Roland Barthes, adalah

pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap

sesuatu yang normal dan alami (natural).

47 Kriyantono.Op.Cit.Hal.261.

32

Tabel 1.3 Peta tanda Roland Barthes

Signifier

(Penanda)

Signified

(Petanda)

Denotatif Sign

(Tanda Denotatif)

Connotative Signifier

(Penanda Konotatif )

Connotative Signified

(Petanda Konotatif)

Connotative Sign

(Tanda Konotatif)

Representasi dapat dianalisis secara tepat apabila dijalankan melalui

praktik penandaan (signfying). Ini semua memerlukan analisis atas tanda-tanda

aktual yang wujudnya dapat berupa simbol, gambar (picture atau motion

picture), narasi, kata-kata (tertulis atau terucap), dan suara. Maka, pada

penelitian ini analisis akan diarahkan pada elemen dan relasi tanda-tanda yang

hadir secara nyata pada multikulturalisme film Cheng Cheng Po.