BAB I Pendahuluan A. Latar...

39
1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang “Keinginanku sebenarnya bukanlah sekadar meminta ruangan kaum ibu dalam surat kabar Oetoesan Melajoe yang Bapak pimpin, tetapi... pernerbitan yang istimewa untuk kaum perempuan...saya akan usahakan penulis-penulis perempuan lainnya, supaya benar-benar surat kabar itu merupakan suara kaum perempuan.” 1 -Roehana Koeddoes- Kutipan kalimat dari percakapan Rohana Koeddoes dengan Soetan Maharaja 2 tersebut mengantarkan Rohana menjadi jurnalis dan pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Eksistensi Rohana sekaligus menjadi sejarah, tonggak awal kehadiran perempuan dalam praktik jurnalistik. Emansipasi perempuan yang diperjuangkan Rohana Koeddoes seakan mencapai titik terangnya sekarang. Kini, makin banyak jurnalis perempuan turun lapangan guna mencari berita Perkembangan tersebut tak lantas membuat posisi perempuan dalam dunia jurnalistik cemerlang. Dunia jurnalistik perempuan tahun ini digemparkan dengan peristiwa seorang jurnalis perempuan dari Paser TV, Normila Sariwahyuni, yang mengalami keguguran saat menjalankan tugas. Hal ini menjadi pukulan berat bagi kondisi jurnalis perempuan Indonesia saat ini. Tak hanya itu, seorang jurnalis perempuan yang ditemui peneliti mengemukakan berbagai masalah yang sering dihadapi dan kelelahannya menjadi jurnalis sehingga berencana resign setelah menikah. Tekanan deadline dan tidak adanya batasan waktu yang jelas bagi pola kerja wartawan membuat perempuan sedikit banyak dipandang kurang mampu dan kurang tepat melaksanakan pekerjaan tersebut. Dr. Daniel Dhakidae 1 Dikutip Tamar Djaya dalam Amelia Fauzia, 2004. Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia. 2 Soetan Maharaja saat itu menjabat sebagai Pemimpin Redaksi (Pimred) di surat kabar terkemuka dan berkontribusi dalam kebangkitan masyarakat Melayu, yaitu Oetoesan Melajoe.

Transcript of BAB I Pendahuluan A. Latar...

Page 1: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

1  

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang

“Keinginanku sebenarnya bukanlah sekadar meminta ruangan kaum ibu dalam surat kabar Oetoesan Melajoe yang Bapak pimpin, tetapi... pernerbitan yang istimewa untuk kaum perempuan...saya akan usahakan penulis-penulis perempuan lainnya, supaya benar-benar surat kabar itu merupakan suara kaum perempuan.”1 -Roehana Koeddoes-

Kutipan kalimat dari percakapan Rohana Koeddoes dengan Soetan

Maharaja2 tersebut mengantarkan Rohana menjadi jurnalis dan pendiri surat

kabar perempuan pertama di Indonesia. Eksistensi Rohana sekaligus menjadi

sejarah, tonggak awal kehadiran perempuan dalam praktik jurnalistik.

Emansipasi perempuan yang diperjuangkan Rohana Koeddoes seakan

mencapai titik terangnya sekarang. Kini, makin banyak jurnalis perempuan

turun lapangan guna mencari berita

Perkembangan tersebut tak lantas membuat posisi perempuan dalam

dunia jurnalistik cemerlang. Dunia jurnalistik perempuan tahun ini

digemparkan dengan peristiwa seorang jurnalis perempuan dari Paser TV,

Normila Sariwahyuni, yang mengalami keguguran saat menjalankan tugas. Hal

ini menjadi pukulan berat bagi kondisi jurnalis perempuan Indonesia saat ini.

Tak hanya itu, seorang jurnalis perempuan yang ditemui peneliti

mengemukakan berbagai masalah yang sering dihadapi dan kelelahannya

menjadi jurnalis sehingga berencana resign setelah menikah.

Tekanan deadline dan tidak adanya batasan waktu yang jelas bagi pola

kerja wartawan membuat perempuan sedikit banyak dipandang kurang mampu

dan kurang tepat melaksanakan pekerjaan tersebut. Dr. Daniel Dhakidae                                                             1 Dikutip Tamar Djaya dalam Amelia Fauzia, 2004. Tentang Perempuan  Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia. 2  Soetan Maharaja  saat  itu menjabat  sebagai  Pemimpin  Redaksi  (Pimred)  di  surat  kabar terkemuka  dan  berkontribusi  dalam  kebangkitan  masyarakat  Melayu,  yaitu  Oetoesan Melajoe. 

Page 2: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

2  

menyebutkan pers, terutama surat kabar harian sebagai sosok yang male

industry3. Stereotip tersebut diperkuat dengan salah satu fakta bahwa jumlah

jurnalis perempuan yang jauh rendah dibanding jurnalis laki-laki. Meski belum

menemukan angka yang pasti, banyak yang meyakini hal tersebut. Ashadi

Siregar menyebutkan hingga tahun 1999 jumlah jurnalis perempuan hanya

berkisar 5-15% dari keseluruhan jumlah jurnalis di Indonesia4. Angka tersebut

sebenarnya bertambah hingga pada 2012 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

melansir 347 dari 1521 jumlah total anggotanya adalah perempuan, artinya

hanya 18,6% dari jumlah total jurnalis di bawah naungan AJI5.

AJI juga mengemukakan beberapa bentuk diskriminasi yang dialami jurnalis

perempuan AJI6:

1. Jurnalis perempuan umumnya masih mengalami kekerasan berbasis gender. Meskipun media mulai memperbanyak jumlah jurnalis perempuan, hanya merupakan taktik untuk mendekati narasumber laki-laki.Jurnalis perempuan lebih banyak direkrut berdasarkan kecantikan atau tubuh dan wajah yang dianggap menarik oleh standar industri.Penilaian secara fisik untuk tubuh perempuan ini banyak terjadi pada industri Televisi. 2. Setelah berkarir dan berkeluarga, jurnalis perempuan kerap mengalami hambatan dalam berkarir. Selain harus bekerja, mereka memiliki kewajiban untuk mengasuh anak.Sistem kerja yang tidak mengenal waktu kerap menjadi hambatan bagi para jurnalis perempuan.Ini yang seringkali membuat penilaian dari perusahaan terhadap para jurnalis perempuan tidak lebih baik dari rekannya jurnalis laki-laki. 3. Beberapa jurnalis perempuan juga mengakui, upah yang mereka terima lebih kecil dibandingkan jurnalis laki-laki. Hal ini karena perusahaan media masih menganggap jurnalis perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis perempuan kadang tidak mendapatkan asuransi. 4. Menyusui yang menjadi hak pekerja jurnalis perempuan terkadang tidak terpenuhi. Mereka jarang yang dapat memberikan

                                                            3 Disampaikan oleh Dr. Daniel Dhakidae dalam sebuah kesempatan diskusi terbatas di LP3Y. Male industry merupakan suatu industi yang didominasi oleh kaum laki‐laki dari segi kuantitas (personalia) maupun kualitas (struktur organisasi dan manajemen kerja) 4  Siregar,  Ashadi.  1999.  Media  dan  Gender:  Perspektif  Gender  atas  Industri  Suratkabar Indonesia. Yogyakarta: LP3Y 5  Luviana.  2012.  Jejak  Jurnalis  Perempuan:  Pemetaan  Komdisi  Kerja  Jurnalis  Perempuan  di Indonesia. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen. 6Ibid. Hal: 18‐19 

Page 3: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

3  

ASIeksklusif selama enam bulan di media tempat mereka bekerja.Tidak ada ruang khusus untuk menyusui (nursery room).Mereka juga belum mendapatkan haknya untuk cuti haid dan cuti melahirkan selama tiga bulan. 5. Jurnalis perempuan mengalami pelecehan seksual pada saat melakukan peliputan.Bentuk pelecehan tersebut beberapakali dilakukan oleh narasumber laki-laki, yaitu dengan tindakan meraba atau merayu.Bahkan ada jurnalis yang perempuan yang mengaku mendapat ajakan kencan oleh narasumbernya.Kondisi tersebut menunjukkan telah terjadi ketimpangan dan diskriminasi perlakuan yang dilakukan media dan lingkungannya terhadap jurnalis perempuan. Padahal posisi jurnalis perempuan seharusnya sama dengan posisi jurnalis laki-laki, yaitu penghargaan atas kualitas kerjanya seperti mendapatkan gaji yang sama dengan jurnalis laki-laki, serta perhatian terhadap kualitas hidupnya seperti mendapatkan cuti haid, cuti melahirkan selama tiga bulan, dan masih banyak yang lainnya.

Masalah-masalah tersebut ternyata memberi efek berkepanjangan bagi

kondisi jurnalis perempuan. Komposisi jumlah antara laki-laki dan perempuan

kemudian dapat melahiran struktur organisasi dan pembagian kerja yang bias

gender. Komposisi jurnalis perempuan yang terdominasi dapat melahirkan

struktur dan sistem pembagian kerja jurnalisme serta pola pendelegasian tugas

redaksional yang cenderung maskulin. Dalam hal ini kaum laki-laki cenderung

lebih mendominasi di posisi-posisi strategis dalam organisasi kerja jurnalisme.

Matilda Butler juga menyebutkan bahwa berbagai keputusan dan kebijakan

yang diambil lebih sering sarat dengan kepentingan dominan, yakni kaum laki-

laki7. Sering kali pula model kerja sex-line dianut industri media. Di mana,

pekerja laki-laki dan perempuan ditempatkan pada bidang kerja yang dianggap

cocok berdasarkan konstruksi sosial yang selama ini menggejala pada profesi

jurnalisme Indonesia. Laki-laki, ditempatkan pada bidang liputan yang keras/

hard seperti bidang politik, ekonomi, hukum, kriminal dan olah raga.

Sedangkan jurnalis perempuan ditempatkan pada bidang yang lunak/ soft,

seperti bidang pendidikan, hiburan, pariwisata dan budaya.

Memang, jurnalistik sebagai salah satu jenis profesionalisme yang

menuntut tanggung jawab dan profesionalisme tinggi kadang dianggap kurang

tepat dimasuki oleh kaum perempuan. Konstruksi sosial masyarakat

                                                            7 Siregar, op. cit., hal: 46 

Page 4: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

4  

membentuk perempuan menjadi manusia yang lemah, emosional tidak tahan

menderita dan menerima deraan tantangan. Selain itu, sistem patriarki yang

masih menempel kuat memosisikan perempuan dalam peran kedua. Karir bagi

perempuan bukan menjadi prioritas dalam kehidupan. Prioritas terpenting bagi

seorang perempuan adalah domestik rumah tangga yang menuntut perempuan

berada pada garda depan dalam proses penyelesaiaannya.

Stereotip terhadap perempuan tersebut secara langsung maupun tak

langsung memengaruhi profesionalisme karir jurnalis perempuan. Ashadi

Siregar menyebutkan konsekuensi logis atas kondisi jurnalis yang disebutkan

diatas antaranya8: (1) Secara struktural, arus karir dan kedudukan serta peran

jurnalis perempuan menjadi marginal dalam struktur organisasi kerja

redaksional pers; (2) Kuantitas jurnalis perempuan dengan kapasitas jurnalistik

yang tinggi sedikit, sehingga makin memperkuat konstruksi sosial yang ada

tentang profesi jurnalisnya kaum laki-laki; (3) Menjadi pengaruh pada

rendahnya kesadaran kesetaraan gender dalam pers indonesia.

Dalam praktik jurnalistik, kerja optimal dan profesionalitas jurnalis

dituntut untuk menghasilkan karya yang baik dan mampu

dipertanggungjawabkan. Dengan kondisi jurnalis perempuan yang telah

disebutkan sebelumnya, mampukah jurnalis-jurnalis perempuan bertahan? Hal

ini yang menggelitik peneliti untuk mengetahui bagaimana kondisi

profesionalisme jurnalis perempuan.

B. Rumusan Masalah

Dari temuan peneliti terhadap kondisi jurnalis perempuan di Indonesia,

peneliti menentukan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana jurnalis

perempuan melakukan profesionalisme di tengah kendala sosial yang

dihadapi?

C. Tujuan Penelitian

                                                            8Ibid. hal: 32 

Page 5: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

5  

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memaparkan bagaimana praktik profesi jurnalis perempuan di lapangan

2. Mengetahui dan membuktikan kendala sosial yang dihadapi jurnalis

perempuan dalam menjalani profesinya

3. Agar mampu menjelaskan bagaimana jurnalis perempuan menanggapi

kendala social

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada kajian

praksis media melalui paradigma feminis. Paradigma ini menjelaskan

bagaimana posisi perempuan seharusnya. Sekaligus sebagai kritik

terhadap stereotip jurnalis perempuan

2. Dengan penelitian ini pula diharapkan institusi media mampu membuka

mata terkait kendala sosial yang dialami jurnalis perempuan

E. Kerangka Pemikiran

1. Perempuan dan Dunia Kerja

Ada beberapa konsepsi paternalistic yang berkembang di dalam

masyarakat Jawa bahwa perempuan adalah konco wingking (teman

belakang).Dalam kultur Jawa memang terdapat beberapa adat kebiasaan yang

bersifat samar-samar dan mengutamakan niatan paternal. Kebiasaan-kebiasaan

tersebut diantaranya:

1. Aturan pembagian harta perolehan bersama (gono gini) pada saat

perceraian, dalam hal ini suami mendapat 2 bagian sedang istri mendapat

1 bagian

2. Aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul

segendongan maka anak laki-laki masing-masing mendapat dua buah

sedang perempuan mendapat satu bagian

Page 6: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

6  

3. Ada juga yang dinamakan “pancer wali” tentang perwalian nominal atas

anak

Terjemahan bebas asal mula perempuan menjadi konco wingking

tertera pula dalam kitab suci, yaitu ketika perempuan diciptakan dari tulang

rusuk laki-laki. Berbagai agama, seperti Islam, Kriten dan Katholik misalnya,

kepercayaan tersebut masih sangat kuat. Dalam agama Islam pula, telah

dikenalkan budaya-budaya yang menghasilkan strata antara laki-laki dan

perempuan. Strata tersebut tertera di dalam salah satu terjemahan kitab

sucinya: “Dan Kami telah menjadikan kalian beberapa tingkatan” atau “Satu

diatas yang lain” atau “Laki-laki bertanggung jawab atas yang lain”.

Perempuan dalam agama Kristen sekali lagi dikorbankan di alta, bila dulu

menjadi korban untuk Yahweh dan praktik-praktik keagamaan patriarkat,

sekarang ia menjadi korban untuk memuja bunda Maria dan kesucian Kristus

yang keluar mengatasi derajat keinginan dan kebutuhan-kebutuhan fisik

manusia

Dalam tataran keluarga, perempuan memiliki peran sebagai pemangku

turunan. Peran tersebut dianggap sebagai tugas utama dan mulia.Masa depan

anak sering dihubungkan dengan pola asuh ibu, sehingga banyakk anggapan

karir utama seorang perempuan yang telah menikah adalah mengurus dan

mendidik anak. Oleh karena seorang ibu mempunyai tugas-tugas yang tidak

kalah pentingnya dengan tugas laki-laki. Lebih-lebih masyarakat mengenal

perempuan yang tidak jauh sebagai orang dengan tiga fungsi utama: macak

(bersolek, berdandan, berhias), manak(beranak), masak (memasak). Keadaan

tersebut makin mengakar sampai pada alam bawah sadar masyarakat kini.

Jauh sebelum dikenalnya agama serta sistem-sistem sosial yang dianut,

masyarakat primitif bahkan telah memetakan pola kerja berdasarkan jenis

kelamin. Pembagian kerja seperti: laki-laki berburu dan perempuan bercocok

tanam menjadi ciri khas yang tergambar dari bukti artefak peninggalan mereka.

Pola tersebut dikembangkan dari masa ke masa hingga akhirnya kini, pola

tersebut terbawa dengan konteks yang tak lagi sama.

Page 7: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

7  

Adalah aliran feminis, mendambakan terciptanya keadilan peran antara

laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Mary Wollstonecraft, salah satu

aktivis feminis mengemukakan persamaan peran tersebut meliputi pendidikan,

pekerjaan, perlakuan dan perlindungan hukum. Wacana perempuan karir juga

digemborkan oleh penggerak feminis eksistensialis, Simone de Beauvoir dan

Paul Sartre. Dalam pandangan feminis eksistensialis perempuan dengan alasan

yang tidak diketahui diopresi dan dihegemoni oleh laki-laki. Perempuan

dianggap Liyan (the Other) karena perempuan adalah bukan laki-laki. Laki-laki

adalah bebas, makhluk yang menentukan dirinya sendiri yang mendefinisi

makna eksistensinya. Perempuan adalah liyan objek yang tidak menentukan

makna eksistensinya sendiri. Jika perempuan ingin menjadi diri perempuan

harus mentransedensi definisi label, dan esensi yang membatasi eksistensinya.

Perempuan harus menjadikan dirinya sebagaimana yang diingikan. Untuk

membebaskan diri dari hegemoni dan menuju transendensi, Beauvoir

memberikan empat strategi yang dapat dilancarkan oleh perempuan9:

1. Perempuan dapat bekerja

2. Perempuan dapat menjadi seorang intelektual, anggota dari kelompok

yang akan membangun perubahan bagi perempuan

3. Perempuan dapat bekerja untuk mencapai trasnformasi sosialis

masyarakat

4. Menolak internalisasi ke-Liyan-an, yaitu dengan mengidentifikasi

dirinya melalui pandangan kelompok dominan dalam masyarakat.

R.A. Kartini menjadi pejuang emansipasi perempuan tanah air dikenal

menjadi pelopor konsep independent career untuk perempuan. Pemikirannya

mengenai independent career tersebut diaplikasikan dengan usahanya

membantu keuangan dan pemasaran. Perjuangan Kartini tidak terbatas pada

tuntutan pendidikan, namun juga kewiraswastaan yang dapat memberikan

                                                            9 Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. 

Page 8: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

8  

bekal kepada setiap orang untuk mengejar dan mencapai kemajuan dan

keberhasilan dengan jalan percaya dan berdiri sendiri.

Pada perkembangannya, peran perempuan dalam dunia kerja makin

menemui titik yang diinginkan. Montagu dalam UI Press menyebutkan bahwa

biologis perempuan lebih superior daripada pria. Rata-rata usia perempuan

lebih tinggi daripada rata-rata usia pria. Perempuan juga lebih tahan terhadap

stres karena sifat mereka yang lebih lentur. Perempuan juga memiliki lebih

bayak stamina dibanding pria sehingga lebih tahan terhadap penyakit. Secara

prestasi perempuan juga bisa ditandingkan dengan pria, bahkan tak jarang kita

menemukan prestasi perempuan yang lebih tinggi ketimbang pria

Di Indonesia, perempuan yang memasuki dunia kerja memiliki movasi

yang berbeda-beda. Seiring terbukanya kesempatan menempuh pendidikan

sederajat dengan laki-laki, membuat perempuan tidak merasa puas hanya

dalam peran sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga. Keadaan ekonomi

keluarganya sering kali menuntut perempuan bekerja di luar atau mencari

kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarganya

Ada beberapa kondisi yang memengaruhi kesempatan perempuan

dalam bekerja10.

1. Pertama karena muncul kesempatan kerja baru dengan pendapatan yang

lebih besar. Sedangkan perempuan mengambil pekerjaan berupah lebih

rendah di sektor domestik

2. Kedua, bagian dari sektor informal-industri rumah tangga telah

mengubah struktur ketenagakerjaan bahkan di negara industri

sekalipun, dengan implikasi nyata terhadap partisipasi perempuan

3. Ketiga, meningkatnya industri padat-keterampilan, terutama industri

yang semakin intensif menggunakan komputer.

Berdirinya Ikatan Pengurus Wanita Indonesia (IWAPI) di tahun 1975

membuktikan bahwa salah satu nilai di dalam masyarakat sedang berubah.

                                                            10 Jurnal Perempuan edisi 67. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan 

Page 9: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

9  

Pertama bangsa indonesia mampu menjadi pengusaha di negerinya sendiri;

kedua, perempuan Indonesia sekarang ingin menjalankan peranan uang aktif

dalam pembangunan ekonomi negaranya11.

Ada beberapa faktor yang memungkinkan perempuan-perempuan

Indonesia bergerak luwes di bidang usaha, yaitu:

1. Faktor sosial

2. Faktor psikologis

3. Faktor ekonomis

Keikutsertaan perempuan dalam ketenagakerjaan bahkan sudah masuk

ke salah satu target Millenium Development Goals12 (MDGs). Pada Agustus

2009, perempuan yang mengurus rumah tangga mencapai sekitar 31,8 juta,

sementara laki-laki hanya 1,5 juta orang. Kondisi pekerja perempuan saat ini

menurut Laporan Pecapaian Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia tahun

201013:

1. Angka Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah

dibandingkan dengan laki-laki. Yaitu 50% sedangkan TPAK laki-laki

sebesar. Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya perempuan yang

memilih untuk mengurus rumah tangga jika dibandingkan dengan laki-

laki, sehingga perempuan lebih banyak berada di luar angkatan kerja.

2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) perempuan menunjukkan

penurunan yang signifikan yaitu dari 14,71 persen pada tahun 2005

menjadi 8,47 persen pada tahun 2009, atau menurun lebih dari 6 persen,

3. Sejalan dengan itu, persentase perempuan dalam pekerjaan upahan di

sektor non-pertanian memperlihatkan kecenderungan meningkat yaitu

                                                            11Ibid. Hal: 32 12  Millenium  Development  Goals  adalah  delapan  tujuan  yang  dibuat  oleh  189  negara (Indonesia  termasuk  diantaranya)  yang  bergabung  untuk  memperbaiki  keadaan  dan kesejahteraan manusia.  Kesepakatan  dan  penandatangana  kontrak  negara‐negara  tersebut dilaksanakan  pada  United  Nations  Millenium  Summit  pada  tahun  2000.  Program  yang menjadi  target MDGs  terbagi menjadi delapan  salah  satunya Gender  Equality  and Women Empowerments.  13 Ringkasan Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunann Milenium di Indonesia, dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan da Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 

Page 10: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

10  

dari sebesar 29,02 persen pada tahun 2004 menjadi sebesar 33,45

persen pada tahun 2009 (Sakernas 2004-2009).

4. Selain itu data membuktikan tingkat upah pekerja perempuan

menunjukkan peningkatan yang signifikan, namun diskriminasi upah

antara perempuan dan laki-laki masih terjadi.Secara nasional, data

Sakernasmenunjukkan bahwa dalam periode 2004-2009, upah bulanan

rata-rata pekerja perempuanyang dikategorikan sebagai

buruh/karyawan/ pegawai, meningkat sekitar 62 persen yaitu

dariRp676.611 menjadi Rp1.098.364. Sementara itu, upah pekerja

bebas perempuan di sektor nonpertanianjuga meningkat sekitar 43

persen, dari Rp277.183 menjadi Rp396.115. Walaupunbesaran upah

nominal perempuan tersebut meningkat, namun masih terdapat

kesenjanganupah yang besar antara perempuan dan laki-laki.

Posisi perempuan dalam ketenagakerjaan Indonesia merupakan masalah

lama yang belum juga terselesaikan. di samping itu, Masyarakat juga meyakini

terdapat berbagai kelemahan bagi perempuan dalam berkarir. Faktor-faktor

yang memengaruhi keyakinan tersebut diantaranya:

1. Faktor ekstern perusahaan

a. Faktor fisik:

- Setangguh apapun perempuan dalam bekerja dalam kondisi tertentu

harus mengurangi kegiatannya, contoh ketika hamil atau melahirkan

- Fisik perempuan yang tidak memungkinkan dirinya untuk bekerja

keras dari pagi sampai jauh malam karena memang fisik perempuan

tak sekuat pria

b.Faktor sosial

- Kedudukan perempuan dalam keluarga sebagai istri dan ibu rumah

tangga yang harus didahulukan

- Kedudukan suami di masyarakat, suami yang mempunyai kedudukan

sosial di masyarakat, justru membuat bakat istrinya tidak berkembang

karena memiliki tanggug jawab sosial. Pandangan masyarakat sekitar

Page 11: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

11  

seorang wanita pengusaha tidak mungkin mengejar bisnisnya sampai

tengah malam karena menimbulkan reaksi dari masyarakat sekitar.

c. Faktor budaya/adat istiadat. Budaya patriakhi, dimana kedudukan suami

dalam keluarga diharuskan mencari nafkah untuk keluarga.

2. Faktor intern perusahaan. Proses decision making (pengambilan keputusan):

Koontz dalam bukunya Principle of Management menyebutan bahwa

proses pengambilan keputusan/ decision making adalah: pemilihan di

antara alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan perusahaan dengan

dilatarbelakangi fakta, policy dan rencana perusahaan. Sedangkan

perempuan sering kali menggunakan emosinya dalam mengambil

keputusan

2. Profesi dan Profesionalisme Jurnalistik

Jurnalistik atau journalisme berasal dari kata journal, artinya catatan

harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti

suratkabar. Journal berasal dari perkataan Latin diurnalis, artinya harian atau

tiap hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan

pekerjaan jurnalistik.

MacDougall menyebutkan bahwajurnalisme adalah kegiatan

menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkanperistiwa14. Harcup,

menyebutkan yang dulu dipandang sebagai jalan satu arah tetapi baru-baru ini

telah dipahami sebagai melibatkan audiens yang akan menyaring pesan melalui

pengalaman sendiri dan pemahaman. McNair: itu adalah penjelasan tentang

dunia nyata yang ada sebagai diambil oleh wartawan dan diproses sesuai

dengan requiements tertentu dari media jurnalistik melalui yang akan

disebarkan ke beberapa bagian masyarakat jurnalistik. Sedangkan McQuail,

menyebutnya sebagai tulisan dan produk audio visual berbayar yang

                                                            14 Kusumaningrat,Hikmat, dkk. 2005. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 

Page 12: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

12  

merefleksikan kondisi dan kejadian yang terjadi dalam kehidupan publik15.

Dalam Undang-Undang No. 11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers,

Bab 1, Pasal 1, ayat (4) – yang disebut wartawan itu adalah karyawan yang

melakukan pekerjaan kewartawanan secara kontinyu16. Sedangkan dalam

Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers, Bab 1, Pasal 1, Ayat 4: “Wartawan

adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dengan

demikian, siapapun yang melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan warta

atau berita bisa disebut wartawan; baik mereka yang bekerja pada surat kabar,

majalah, radio, televisi, film, maupun kantor berita”17.

Pada kesimpulanya bahwa jurnalisme adalah sebuah proses

menghimpun fakta yang direkonstruksi oleh jurnalis melalui logika pikirnya

dan disampaikan melalui berbagai media massa. Jurnalis sendiri adalah aktor

yang berperan dalam proses jurnalistik. Jurnalis merupakan juru cerita

mengenai kehidupan, berhadapan dengan unsur-unsur dasar yang penting bagi

masyarakat luas, memberikan informasi yang sangat mereka butuhkan dalam

kegiatan sehari-hari mereka.

Perdebatan mengenai status profesi dalam kewartawanan masih sering

ditemukan. Namun terdapat beberapa penguat bahwa jurnalis termasuk ke

dalam kategori profesi. Diantaranya:

1. Pada Undang-Undang No.40/1999 istilah profesi muncul pada Bab 1,

Pasal 1, ayat 10 dan Bab III, pasal 8

2. Pada Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia dijumpai dua kata

profesi. Pertama, pada Pembukaan alinea kedua; kedua, pada Bab1

Kepribadia dan Integritas, pasal 1

3. Pada penafsiran Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia terdapat

enam kata profesi. Tiga diantaranya pada Penafsiran Pembukaan, satu

kata pada Penafsiran Pasal 16, Penafsiran Bab 1 Kepribadian dan                                                             15 Materi Mata Kuliah Dasar‐dasar Jurnalisme. Franklin, dkk. 2005. Key Concept in Journalism 

Studies. London: Sage Publication page 122‐127. 16 Dalam Alex Sobur. 2001. Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung: Huaniora Utama Press. 17Ibid. Hal: 99‐100 

Page 13: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

13  

Inegritas Wartawan, ayat 3; kemudian pada pasal 12 ayat 1; dan pasat

17, ayat 1

4. Pada Penafsiran Kode Etik Jurnalistik, terdapat penjelasan mengeai

pengertian profesi, yaitu pasal 1 alinea terakhir

Dalam persepsi diri para jurnalis sendiri, istilah “profesional” memiliki

tiga arti: pertama, profesional adalah kebalikan dari amatir; kedua, sifat

pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus; ketiga, norma-norma yang

mengatur perilakunya di titik-beratkan pada kepentingan khalayak pembaca18.

Norma yang mengikat profesionalisme wartawan sendiri terbagi menjadi dua,

yaitu norma teknis, yang mengatur masalah teknis profesi jurnalistik. Norma

teknis dalam pemberiaan terdiri dari19:

1. Profesionalisme dalam pemberitaan

a. Penyebutan Nama dan identitas

b. Penyebutan nama dalam kejahatan susila

2. Perlindungan terhadap hak pribadi

a. Penghormatan hak atas privasi

b. Perlindungan khalayak terhadap pemberitaan yang menyesatkan

c. Penghindaran trial by the press

Sedangkan norma kedua adalah norma etis yang mengatur kewajiban jurnalis

kepada pembaca serta nilai-nilai yang tercermin dalam produk tulisannya.

Profesionalisme dan norma yang mengikat jurnalis merupakan alat

yang penting untuk menjaga jurnalis agar tetap berada dalam koridor

jurnalisme yang ideal. Bill Kovach menyebutkan sepuluh elemen jurnalisme

yang menjadi parameter profesionalisme laku jurnalis. Kesepuluh elemen

tersebut adalah20:

1. Kebenaran. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah kebenaran fungsional

yang membutuhkan proses dan prosedur dalam mencapainya. Kebenaran

                                                            18 Siregar. Loc.cit., Hal 115 19Ibid. Hal 117 20 Kovach, Bill, dkk. 2007. The Elements of Journalism: What Newspeople Shoul Know and the Public Should Expect. New York: Three Rivers Press. 

Page 14: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

14  

tersebut dibentuk lapisan demi lapisan. Kebenaran tidak bisa didapat

dengan serta-merta, dibutuhkan revisi dan perbaikan terus-menerus

sehingga mencapai sebuah kebenaran fungsional yang mendalam dan

komprehensif.

2. Kepada siapa jurnalis menempatkan loyalitasnya? Dewasa ini, perusahaan

media memprioritaskan kepentingan pasar ketimbang pembaca. Media

seakan kehilangan arah perjuangannya dan untuk siapa harus bergerak.

Kovach menggambarkan dalam bisnis media terdapat sebuah segi tiga

dengan sisi pertama adalah pembaca,pemirsa atau pendengar. Sisi kedua

adalah pemasang iklan sedangkan sisi ketiga adalah warga (citizen).

Konsumsi dan kepercayaan publik ini yang kemudian dimanfaatkan oleh

perusahaan pengiklan. Motif ini kemudian yang dikhawatirkan Kovach

mampu menggeser loyalitas perusahaan media khususnya jurnalis menjadi

peningkatan keuntungan perusahaan semata.

3. Disiplin verifikasi. Batas antara fiksi dan produk jurnalistik harus jelas.

Jurnalisme tidak bisa dicampuri dengan fiksi setitikpun dan disiplin

verifikasi hadir untuk memberi garis demarkasi yang jelas antara

keduanya. Namun tiap jurnalis memiliki standar verifikasi yang tak sama.

Karena tidak dikomunikasian dengan baik sering menimbulkan

ketidaktahuan pada banyak orang sedangkan verifikasi sendiri memiliki

kaitan erat dengan objektifitas berita. Kovach menawarkan metode dalam

melaksanakan verifikasi. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Kedua,

memeriksa akurasi. Ketiga, jangan berasumsi.

4. Independensi. Independensi berbeda dengan netralitas. Independensi tidak

hanya tidak memihak tapi juga tidak dipengaruhi oleh pihak di luar

narasumber, seperti pengiklan atau latar belakang jurnalis.

5. Memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.

Salah satu cara yang dilakukan untuk pemantauan ini adalah dengan

reportase investigasi. Konsekuensi investigasi sendiri adalah

kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap dalam perdebatan

Page 15: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

15  

isu yang diangkat. Ada istilah yang menggantikan investigative reporting

yaitu advocacy reporting. Hal ini dikarenakan kecenderungan media yang

melakukan investigasi akan menyalahkan satu pihak dan membenarkan

oposisinya.

6. Jurnalisme sebagai forum publik. Di negara demokrasi, kehadiran ruang

utuk menuangkan aspirasi sangat berarti. Seiring berjalannya waktu, forum

publik tersebut berubah. Dari mulai pintu ruang tamu yang dibuka hingga

kini dunia maya. Pada dasarnya manusia itu punya rasa ingin tahu. Ketika

media memberikan aksi berupa produk jurnalistik, maka khalayak akan

memberikan reaksi berupa komentar, pertanyaan kritik dan saran. Reaksi

ini yang kemudian akan dibaca oleh birokrat yang berkuasa. Namun

jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan

jurnalisme semu yang bertujuan untuk hiburan dan provokasi.

7. Jurnalisme harus memikat dan relevan. Untuk menulis berita yang

memikat, mendalam dan relevan tidaklah mudah dan sebentar. Oleh

karena itu jurnalis harus melatih kemampuan tersebut secara kontinyu.

Latihan tersebut juga akan membawa jurnalis menuju pabrik tulisan yang

cerdas sehingga mampu mencerdaskan kehidupan bangsanya pula.

8. Kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan

komprehensif. Dalam elemen yang satu ini Kovach menganalogikan

media-media sensasional (tidak proporsional) sebagai seseorang yang

ingin menarik perhatian pembaca dengan telanjang. Orang akan tertarik

dan melihat namun tidak mampu menjaga kesetiaan penontonnya. Berbeda

dengan orang yang ingin menarik perhatian orang lain dengan bermain

gitar. Meski di awal akan sedikit orang yang memerhatikan, seiring

kemampuan gitar yang makin tinggi, makin loyal pula penonton terhadap

orang tersebut.

9. Setiap wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Idealnya,

setiap pelaku media memiliki etika dan norma untuk dirinya sendiri

sehinggaterbentuktanggung jawab sosial. Namun kondisi tersebut akan

Page 16: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

16  

susah ditemui di dunia kerja. Di dunia kerja, ideologi masing-masing

pekerja akan direduksi oleh strata dan motivasi ekonomi.

10. Hak dan tanggung jawab warga. Makin berkembangnya teknologi

komunikasi makin tinggi pula partisipasi warga dalam praktik jurnalistik,

disebut citizen journalism atau jurnalisme warga. Kondisi ini ditolerir oleh

perusahaan media, justru memberikan ruang lebih untuk jurnalis warga

tersebut. Namun hak untuk berperan aktif dalam praktik jurnalistik ini

memunculkan tanggung jawab yang perlu diemban, yaitu mematuhi

kaidah jurnalistik sehingga tidak melanggar norma dan etika jurnalistik

yang berlaku.

Jurnalistik merupakan bagian dari aktivitas pers. Pers sendiri

merupakan kegiatan komunikasi yang menggunakan perantara media massa.

Pers berasal dari bahasa Belanda yaitu pers yang artinya menekan atau

mengepres. Dalam bahasa Inggris disebut dengan press dengan arti yang sama.

Arti ini merujuk pada kegiatan komunikasi yang menggunakan perantara

media cetak. Pada perkembangannya pers diartikan sebagai kegiatan jurnalistik

dengan perantara media cetak, elektronik dan internet. The Hutchin

Commision menyebutkan lima prasyarat bagi pers yang bebas dan bertanggung

jawab kepada publik21:

1. Media harus menyajikan berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya

lengkap dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna

2. Media harus berfungsi sebagai forum pertukara komentar dan kritik

3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili

kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat

4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai

masyarakat

5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang

tersembunyi pada suatu saat

                                                            21 Siregar. Op. cit., Hal: 21 

Page 17: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

17  

Prasyarat tersebut merupakan formulasi dari laporan “Commision on

the Freedom of The Press” tahun 1945 yang menjunjung teori Pers

Bertanggung jawab. Teori Pers ini sendiri memberikan ruang bagi segala pihak

serta jaminan atas hak golongan minoritas. Sehingga teori pers ini paling

banyak digunakan oleh pers di negara-negara yang menganut sistem demokrasi

dalam ketatanegaraannya. Fungsi pers sendiri diantaranya:

1. Fungsi informatif, yaitu memberikan informasi atau berita kepada

khalayak ramai dengan cara yag teratur

2. Fungsi kontrol, masuk ke balik panggung pemerintahan dan perusahaan

sehingga aktif dalam memngontrol praktik yang dianggap menyimpang.

3. Fungsi interpretatif dan direktif, tidak hanya memberikan informasi pers

juga diharapkan membimbing khalayak agar lebih terdidik.

4. Fungsi menghibur, pers memberi hiburan berupa kisah-kisah sampingan,

berupa features, yang mampu mengurangi beban pembaca.

5. Fungsi regeneratif, pers membantu menyampaikan warisan sosial kepada

generasi baru agar terjadi proses regenerasi dari angkatan lama ke

angkatan baru.

6. Fungsi pengawalan hak-hak warga negara, yaitu pengawalan hak pribadi

setiap golongan masyarakat.

7. Fungsi ekonomi, melayani sistem ekonomi melalui iklan.

8. Fungsi swadaya, pers harus mampu berdiri sendiri tanpa intervensi modal

yang dikhawatirkan mampu mereduksi kebebasannya.

Prasyarat serta fungsi pers diatas memberikan gambaran mengenai

pentingnya pers bagi kehidupan masyarakat luas. Oleh karena itu diperlukan

penanaman terhadap diri jurnalis (self perception) bahwa pekerjaan yang

diemban bukan pekerjaan yang sederhana. Untuk menanamkan self-perception

jurnalis dibutuhkan berbagai perlakuan yang mampu mengasah kepekaan

jurnalis. Kepekaan tersebut meliputi kepekaan saat berada di dalam lapangan

hingga kepekaan manusiawi demi mencapai kebenaran berita yang mampu

Page 18: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

18  

dipertanggungjawabkan. Adapun hal mendasar yang perlu dimiliki oleh

wartawan agar mampu menjadi juru cerita yang baik antara lain22:

1. Pengetahuan teknis dan praktis jurnalistik

2. Pemahaman substansi terhadap objek pemberitaan

3. Wawasan mengenai perilaku masyarakat pembacanya

4. Penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa lainnya

5. Etika profesi

Tak seperti profesi lain, profesionalisme jurnalis belum mendapatkan

parameter yang pasti. Diskursus mengenai perlunya ukuran jurnalis yang

bermutu sudah terjadi sejak akhir abad 19 antara Joseph Pulitzer dengan para

dosen Universitas Harvard. Pulitzer berpendapat bahwa wartawan perlu

mendapatkan pendidikan (sekolah) jurnalistik, sedangkan Dosen-dosen

Universitas Harvard menyatakan jurnalis tidak perlu sekolah khusus, mereka

harus belajar berbagai disiplin ilmu dan keahlian akan diasah ketika proses

magang23. Seorang Ilmuwan Jerman, Siegfried Weishenberg, mencoba maju

lebih konkrit dengan memperkenalkan empat macam kompetensi yang

diperlukan jurnalis agar bisa melakukan pekerjaannya dengan baik: (1)

Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi,

memahami komunikasi dasar dan sebagainya; (2) Kompetensi transfer,

misalnya penguasaan bahasa, presentasi informal, berbagai genre dalam

jurnalisme dan sebagainya; (3) Kompetesi teknis, misalnya, komputer, internet,

desain grafis dan sebagainya; (4) Kompetensi tingkat lanjut, misalnya,

pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan

sebagainya24. Oleh peneliti Jerman, Thomas Hanitzch, kompetensi-kompetensi

tersebut diadopsi dan diadaptasi dengan konteks jurnalisme di Indonesia

kemudian digambarkan dalam bagan berikut25:

                                                            22 Siregar. Op. cit., Hal: 2 

23 Harsono Andreas. 2010. A9ama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 24Ibid. 25 Tulisan Thomas Hanitzch.”Rethinking The  Journalism Education  in  Indonesia: Nine These”. Jurnal ISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 

Page 19: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

19  

Gambar 1.1 Bagan Competence in Jornalism

Dalam kuadran ini Thomas menambahkan faktor lain yang

memengaruhi profesioalisme jurnalis, yaitu Social Orientation. Orientation di

sini yang dirujuk bukan “control” melainkan “guiding”.

Dalam melaksanakan profesinya, seorang jurnalis tidak selalu

menemukan fakta yang dapat langsung dijadikan berita. Kemampuan untuk

menangkap fakta tersirat tersebut bisa dikatakan sebagai insting jurnalistik.

Competence in Journalism

Professioal Competece 

Skill: 

Investigation  Selection  Editing  Organization 

Professioal knowledge: 

Generalknowledge in communication and media science 

Specific knowledgeg in:  Media economy 

Media and politics 

Press law  Media effect 

Strategies in public relation 

Research in journalism  

Transfer competence

Communication 

Language  Rhetoric 

Presentation 

Oriented by topic  Oriented by audience 

Fomat genre in journalism 

News, features,... 

Technical competence 

General technical competence 

Computer, internet, ... 

Specific technical competence 

Computer assisted publishing, pefessional 

Expertise competence

Specific kowledge about the covered subject area 

Orientation kowledge 

Kowledge in social sciences 

Kowledge in sources  Knowledge in scientific methods 

English  Knowledge of the closer cultural/traditional enviroment 

Social Orientation

Journalism ad ethic 

Consciousness of function 

Ability to reflect 

Conciousness of otonomy

Page 20: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

20  

Untuk menumbuhkan insting jurnalistik terdapat empat faktor yag harus diasah

menurut Mitchell V. Charnley, yaitu pengalaman, rasa ingin tahu, daya khayal

dan pengetahuan26. Empat faktor yang telah diasah mengantarkan jurnalis

untuk menggali berita. Pengertian menggali di sini memiliki dua bentuk.

Pertama mencari aspek-aspek dalam kehidupan budaya atau sosial masyarakat

atau dalam kegiatan pemerintahan yang dapat diangkat menjadi berita yang

menarik perhatian khalayak. Menggali berita juga bisa dilakukan ketika sumber

berita enggan atau sulit memberikan informasi untuk sesuatu hal yang perlu

diberitakan.

Dalam menghimpun berita, terjadi pula persaingan antara satu media

dengan media lain. Persaingan tersebut mengharuskan wartawan membuat

strategi-strategi untuk mendapatkan berita yang lebih unggul dibanding media

saingannya. Strategi tersebut kadang tidak beretika atau bahkan tidak pantas

dalam praktik jurnalistik profesional. Fenomena tersebut harus mampu dibaca

oleh jurnalis agar mampu mempersiapkan diri dan lebih berhati-hati.

3. Perempuan dalam Dunia Jurnalisme

3.1 Representasi Perempuan dalam Berita

Reformasi selama ini diyakini sebagai titik awal kebebasan pers. Di

satu sisi memang, reformasi memberi informasi sebebas—bebasnya, namun

dalam diskusi yang dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Yogyakarta, dikatakan bahwa represivitas tersebut hanya berpindah ranah.

Bukan lagi berasal dari pemerintah, melainkan berasal dari institusi. Sehingga

kerap kali beberapa tulisan yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi dan

kepentingan institusi berhenti di tataran newsroom. Dalam perspektif ini, isu

perempuan menjadi salah satu diantaranya dan dianggap masih sangat bias.

Faktor-faktor yang menunjukkan hal tersebut adalah: kebebasan pers sarat

mengangkat tayangan dan pemberitaan yang penuh tindakan kekerasan,

menghakimi dan diskriminatf terhadap perempuan. Media lebih banyak

                                                            26 Siregar. Loc. Cit,. Hal: 78 

Page 21: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

21  

melakukan pernyataan moral dan sensasional dari pada membawa esensi untuk

mencari solusi persoalan. Tidak sedikit pesan moral menjadi membatasi

perempuan dalam banyak tayangan dan pemberitaan. Perempuan semakin

dicitrakan sebagai makhluk yang seharusnya kembali ke wilayah domestik dan

tunduk terhadap ketentuan kovensi laki-laki yang patriarkis.

Media di Indonesia pada umumnya sedikit memberi ruang untuk

tayangan yang berpihak pada hak asasi manusia, khususnya perempuan. Kerap

kali industri media mengutamakan kepentingan ekonomi sehigga menganggap

perempuan sebagai kebutuhan pasar yang perlu dipenuhi. Bahkan media

mainstream menjadi pihak yang berkuasa atas pencitraan masyarakat dan

perempuan dan tak segan meninggalkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai

salah satu mandat kebebasan pers

Penganut feminis eksistensialis mengemukakan bahwa perempuan

tidak memiliki subjektifitas atas dirinya sendiri. Eksistensi perempuan

dihadiran bukan pada dirinya melainkan untuk orang lain. Perempuan

dihadirkan bukan sebagai realitas atas dirinya, melainkan realitas yang dibuat

oleh orang lain, yaitu oleh pandangan patriakhi. Perempuan bukan lagi sebagai

fakta biologi, melainkan fakta sosial yang telah dibentuk, manusia yang telah

diciptakan melalui produsi mitos atas tubuh, dengan kata lain, perempuan telah

lama ditiadakan atas dirinya sendiri.

Perempuan bukanlah realitas yang ajeg, tetapi lebih merupakan suatu yang menjadi dan dengan demikian harus didefinisikann... Sebagaimana dipandang dalam perspektif yang saya ambil... bahwa tubuh bukanlah suatu benda, tubuh adalah suatu situasi, tubuh adalah cengkeraman kita terhadap dunia dan sketsa dari proyek-proyek kita. –Simone de Beauvoir27

Pun demikian dengan industri media, tubuh perempuan bukan sebuah

realita yang hadir atas perempuan itu sendiri, melainkan diciptakan sedemikian

rupa sehingga pertama-tama adalah harus dari perspektif orang lain.

Perempuan dilihat bukan atas dirinya sendiri, bukan juga karena pikiran dan

                                                            27 Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 200. Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. 

Page 22: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

22  

jiwa mereka melainkan bagaimana perempuan dapat memenuhi konstruksi

yang dibuat laki-laki. Oleh karena itu feminis eksistensialis melihat kehadiran

perempuan dalam media adalah fakta dehumanisasi perempuan, sebuah distorsi

yang telah disosialisasi dan menjadi bentuk nilai dan standar keberadaan

perempuan hanya menyuburkan budaya patriarki.

Dalam studi tentang media dan feminisme, Liesbet Van Zoonen

membuat bagan untuk menjelaskan bagaimana kebanyakan media bekerja

dalam tiga elemen yaitu mengenai stereotip, pronografi, dan ideologi, yang

efeknya telah menindas perempuan28:

Sender Process Message Process Effect

Stereotype Men Distortion Stereotype Sosialization Sexism

Pornography Patriarchy Distortion Pornography Imitation Oppresion

Ideology Capitalism Distortion Hegemony Familiarization Common

sense

Gambar 1.2Bagan kerja tiga elemen (stereotype, pornography, ideology) dalam media

Distorsi merupakan kunci konsep pendekatan feminis terhadap media.

Konsep ini menjelaskan bagaimana perempuan dihadirkan oleh tiga lini

distorsi yang dilakukan pihak lain, yakni stereotype, pornography dan

ideology. Pada baris stereotype, Liesbet menjelaskan tentang peran laki-laki

sebagai pengirim pesan yang dalam prosesnya melakukan distorsi dalam

menyampaikan pesan dengan ciri-ciri cenderung menekankan stereotip sosial

tentang perempuan, seperti peran-peran domestik perempuan dan melayani

laki-laki dalam iklan-iklan, komedi-komedi, sinetron. Pesan tersebut kemudian

tersosialisasi dan memberi efek penerima yang seksis. Kedua pada baris

pornography, yang dikirimkan oleh budaya patriarki dengan proses distorsi

                                                            28 Jurnal perempuan, Loc. Cit., Hal: 26‐27 

Page 23: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

23  

tentang tubuh perempuan yang bersifat imajinatif dan imitatif. Efek bagi

penerima pesan tersebut adalah penindasan. Pada baris terakhir Liesbet

menunjukkan ideologi media, yaitu kapitalisme. Proses distorsi perempuan

seperti penampilan dengan pesan hegemoni. Dari hegemoni tersebut kemudian

membiasakan perempuan menggunakan alat bantu, seperti merek lipstik atau

bedak tertentu untuk menjadikan perempuan cantik seperti yang diharapkan

media. Pada satu titik hegemoni tersebut membuat penerima menganggap

pesan yang diterimanya merupakan sebuah common sense.

Di dalam konsep ini perempuan dianggaap belum mampu

menghadirkan dirinya sesuai identitas yang sebenarnya. Termasuk ketika

perempuan menjadi bagian dari media, feminis eksistensialis menjelaskan- bila

kehadirannya diciptakan oleh patriarki, seperti fenomena jurnalis perempuan.

Kerap kali media disibukkan oleh perempuan yang handal dalam bidang

jurnalisme karena kerja kerasnya, tetapi tidak menjadi bagian dari standar

cantik yang dimiliki media, efeknya optimalisasi peran perempuan jurnalis

tidak mampu tersalurkan dengan bebas.

3.2 Perempuan dalam Produksi Berita

Dalam kurun waktu lima puluh tahun ke belakang, jumlah jurnalis

perempuan terus bertambah. Dari data yang didapatkan AJI, bahwa saat ini

jumlah jurnalis perempuan di Indonesia masih jauh dibandingkan jurnalis laki-

laki, yaitu hanya sekitar 1:3 atau 1:4 di Indonesia. Namun demikian tidak

ditemukan jumlah yang pasti jurnalis perempuan di Indonesia saat ini. Mesti

begitu, jumlah yang paling sering dikutip oleh media massa, jumlah total

jurnalis Indonesia mencapai 14.000 orang, sedangkan jumlah jurnalis

perempuan baru 10% dari jumlah total, yaitu 1.400 orang29. International

Federation of Journalist (IFJ) memberikan alasan tentang pentingnya

pendataan, hal ini dikarenakan dengan melihat jumlah kita bisa melihat

bagaimana represenasi para jurnalis perempuan sekaligus partisipasi mereka di

                                                            29 Luviana. Loc. Cit.,Hal:29 

Page 24: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

24  

media30. Namun ada alternatif lain yang dapat digunakan peneliti untuk

mengetahui representasi perempuan di media, (1) dengan membentuk struktur

khusus seperti Komite perempuan atau Dewan Kesetaraan (Equality Council)

untuk memberikan suara perempuan (2) memperkenalkan sistem kuota dalam

upayanya untuk memastikan adakah representasi yang setara antara jurnalis

perempuan dan laki-laki di media31. Azzam Karam dari International Institute

for Democracy and electoral Assistan (IDEA) pernah menulis: meningkatkan

partisipasi dan jumlah perempuan menjadi hal yang sangat penting untuk

melihat bagaimana perempuan dapat memengaruhi secara aktual terhadap

proses dan partisipasi mereka, sekaligus bagaimana para perempuan

mengidentifikasi dirinya dan berbuat sesuatu untuk lingkungannya.

Pada tahun 1972 sempat beredar brosur yang dibuat oleh organisasi

Federal Employment Agency di Jerman yang menyatakan bahwa para jurnalis

perempuan tidak “berdarah dingin” (berbakat) untuk pekerjaan jurnalistik.

Pada perkembangannya, kondisi jurnalis perempuan tidak mengalami

perubahan yang besar-besaran. Jurnalis perempuan belum dipercaya

menempati struktur organisasi yang strategis. Pada penelitian yang dilakukan

AJI, 94,18% responden berstatus sebagai reporter yang artinya lebih banyak

bekerja di lapangan mencari berita bukan menempati posisi pembuat kebijakan.

Dari penelitian yang dilakukan AJI diperoleh data jumlah jurnalis

perempuan yang menperoleh jabatan strategis dalam institusi media sebagai

berikut:

Tabel I. Posisi Jurnalis Perempuan dalam Struktur Organisasi

Kota Editor Kasi

Program

Pemred Produser Redaktur Reporter Total

Jakarta 1 2 2 86 91

                                                            30Ibid. Hal: 28 31Ibid. 

Page 25: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

25  

Makasar 1 9 10

Medan 1 17 18

Jayapura 1 1 7 9

Pontianak 9 9

Surabaya 1 1 24 26

Yogyakarta 26 26

Total 1 1 1 3 5 178 189

Sumber: Luviana (2012)

Beberapa masalah lain di luar kuantitas juga sering ditemui jurnalis

perempuan. Ashadi Siregar menyebutkan, terdapat empat masalah jurnalis

perempuan yang perlu dikritisi32:

1. Jumlah jurnalis perempuan yang bekerja di perusahaan media di Indonesia

ini memberikan pengaruh pada bargaining position dan peran strategis

perempuan dalam struktur organisasi

2. Kebanyakan jurnalis perempuan masih berada di level bawah dala struktur

hierarkhi kerja redaksional pers, yakni sebagai wartawan lapangan

3. Pembagian kerja redaksional yang seksis, di mana jurnalis perempuan

lebih banyak ditempatkan pada liputan-liputan yang stereotype perempuan

atau masalah-masalah yang dianggap lunak (soft)

4. Ada sejumlah jurnalis perempuan yang mendapat perlakuan berbeda,

seperti tunjangan serta kesempatan promosi

F. Kerangka Konsep

1. Praktik Jurnalistik Media Massa

Jurnalisme berkaitan dengan proses menjadikan objek realitas sebagai

informasi media. Jurnalis tak ubahnya mediator, informasi yang disampaikan

                                                            32 Siregar. Loc. Cit., Hal: 7 

Page 26: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

26  

bukan hanya komoditi tetapi juga semestinya memiliki makna sosial. Dalam

mencari realitas, jurnalis harus memiliki kepekaan sosial, yaitu kapasitas diri

untuk menerima tanda yang berasal dari kehidupan sosial, sehingga menyerap

fenomena yang terjadi di masyarakat.

Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan yang menantang, baik secara

politis, etis maupun fisik. Untuk menggelutinya, dibutuhkan pengetahuan dan

keterampilan yang luas. Jurnalis harus mampu membaca, menulis dan

menghitung. Mereka dituntut untuk memahami hukum karena hukum sering

memengaruhi surat kabar. Dibutuhkan pula keterampilan sosial untuk menjalin

kontak dan wawancara dengan banyak orang di berbagai tempat. Reporter pada

dasarnya harus memiliki rasa ingin tahu yang mendalam, tabah, imajinatif dan

berani, siap menentang stereotip, membongkar mitos dan kebohongan.

Dalam melaksanakan tugasnya jurnalis pasti berhadapan dengan alur

kerja redaksional. Terdapat sidang redaksi dan peran editor yang harus dijalani

jurnalis. Dalam wawancara dengan seorang jurnalis Kompas Jogja, Alosius

Wawan, penulis menyimpulkan pekerjaan jurnalis Kompas sebagai berikut:

jurnalis dengan leluasa memilih berita yang layak cetak sesuai dengan desk

masing-masing. Terkait berita yang disetor ke pusat, jurnalis daerah bisa

mengirim kondisi di Jogja terkait isu nasional yang diangkat Kompas dan

kemudian mengirimnya ke Kompas pusat. Setelah jurnalis tersebut turun

lapangan dari pagi hingga siang, pukul 15.00 atau 15.30 redaksi akan rapat

untuk menentukan berita yang akan dijadikan headline. Deadline berita juga

beragam, semakin mendekati headline, makin malam pula deadline. Untuk

berita biasa berkisar pada pukul 18.00-19.00. Lalu berita akan masuk ke editor

untuk kemudian disesuaikan dengan nilai berita dan gaya penulisan. Diatas

pukul 23.00 (setelah naik cetak) Redaktur Pelaksana (Redpel) didampingi

Pemimpin Redaksi (Pemred) melakukan pengecekan ulang sekaligus sebagai

pembaca pertama.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana profesi pers

yang berat dijalani oleh jurnalis perempuan. Dengan menggunakan metode

Page 27: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

27  

pengumpulan data observasi partisipan, peneliti akan melihat dinamika

keredaksian yang terkait dengan subjek penelitian, seperti dinamika internal

yang terjadi dalam diri informan, seperti melihat ekspresi muka, body language

dan cara informan mengekspresikan pendapat. Selain itu akan ada wawancara

informal dengan subjek penelitian seputar keredaksian menurut dari sudut

pandangnya.

2. Kendala Sosial yang Dihadapi Jurnalis Perempuan

Karir perempuan dalam dunia jurnalistik makin meningkat. Namun,

nasibnya sama dengan perempuan karir lain, dimana harus dibenturkan dengan

kondisi sosial masyarakat Indonesia. Dalam tatanan masyarakat masih melekat

status dan peran yang harus dimainkan, termasuk di dalamnya peran sosial

seorang perempuan. Dalam tiap peran tersebut terdapat harapan-harapan

tertentu, yang kadang-kadang antara suatu peran dan peran lainnya

berseberangan sehingga terjadi konflik peran. Secara garis besar peran sosial

wanita dapat dikelompokkan pada tiga peran utama, yaitu: (1)Sebagai Ibu

Rumah Tangga; (2)Sebagai Profesional/Eksekutif; (3)Sebagai Pengusaha.

Tiga peran yang menempel pada diri perempuan tersebut yang

memengaruhi kondisi jurnalis perempuan. Jurnalistik bukan pekerjaan yang

mudah, dibutuhkan konsentrasi, waktu dan tenaga ekstra untuk menjadi

jurnalis profesional. Kondisi ini berbenturan dengan harapan masyarakat

bahwa perempuan bertanggung jawab atas keluarga dan masa depan

keturunannya.

Kondisi tersebut berimbas pada tataran industri media, di mana

kemudian jurnalis perempuan tidak dipandang mumpuni dalam melaksanakan

tugas-tugas jurnalistik. Jurnalis perempuan kemudian mendapat porsi yang

lebih ringan dengan pertimbangan-pertimbangan harapan sosial yang

berkembang di masyarakat tersebut. Dalam jangka panjang,kondisi tersebut

menggiring perempuan menjadi layer kedua dalam profesi jurnalistik.

Page 28: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

28  

Penelitian ini membuktikan bagaimana peran dan harapan sosial yang

menempel dalam diri jurnalis perempuan bekerja. Faktor apa saja yang

akhirnya membuat jurnalis perempuan tersebut bertahan. Untuk melihat

dinamika tersebut, peneliti menggabungkan metode pengumpulan data

observasi partisipan dan wawancara.

3. Profesionalisme Jurnalis Perempuan

Berbagai kriteria mengenai jurnalis yang ideal telah dirumuskan oleh

berbagai ahli. Selain mematuhi kaidah penulisan berita serta memahami Kode

Etik Jurnalistik (KEJ), kriteria lain bagi jurnalis yang baik adalah memiliki

keberanian mengungkapkan fakta, memiliki keteguhan hati dan tangguh. Selain

menulis berita untuk masyarakat luas, seorang jurnalis juga menulis untuk

dirinya sendiri, untuk mempertahankan identitaasnya dengan tulisannya, oleh

karena itu pertahanan diri ini penting untuk menjaga identitasnya.

Jurnalis perempuan dilihat memiliki keunikan karena rutinitas kerja

media umumnya menuntut harus siap ditugaskan setiap waktu dan harus

memenuhi deadline. Tuntutan lain juga dirasakan jurnalis-jurnalis perempuan,

menurut riset yang dilakukan AJI, jurnalis perempuan menemukan tuntutan

lain lebih dari sekadar itu, dari mulai wajib dandan bagi jurnalis penyiaran dan

mengalami penempatan di desk dengan informan mayoritas laki-laki.Definisi

profesionalisme bagi jurnalis perempuan menjadi semakin kompleks.

Tuntutan-tuntutan tersebut seakan menjadi faktor pendukung profesionalitas

jurnalis. Akibatnya tekanan terhadap profesionalisme jurnalis perempuan

makin bertambah.

Penelitian ini membuktikan dan memperlihatkan bagaimana

profesionalisme jurnalis perempuan diyakini dan dilaksanakan. Kebenaran

mengenai tuntutan serta tekanan sosial yang dihadapi jurnalis perempuan

memengaruhi profesionalitasnya akan dibuktikan dan dianalisis lebih dalam.

Untuk mendapatkan data tersebut, peneliti menggunakan teknik pengumpulan

data observasi partisipan dan studi literatur. Studi literatur digunakan degan

Page 29: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

29  

menganalisis berita yang telah diproduksi, sehingga peneliti dapat melihat

konsistensi dan integritas informan.

Secara singkat konsep penelitian dapat digambarkan dalam bagan

berikut:

Page 30: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

30  

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Latar Belakang: Suku, agama, pendidikan, keluarga

Motivasi menjadi jurnalis

Posisi dalam struktur redaksional

Jurnalis  Input (Proses Peliputan Berita) Output (Berita)

Code of conduct: KEJ

Competence of Journalism

Professioal CompeteceSkill: 

Investigation  Selection  Editing  Organization Professioal knowledge: 

Generalknowledge in communication and media science 

Specific knowledge in:  Media economy 

Media and politics 

Press law  Media effect 

Strategies in public relation  Research in journalism  

Transfer competenceCommunication 

Language  Rhetoric Presentation 

Oriented by topic  Oriented by audience Fomat genre in journalism 

News, features,...

Technical competenceGeneral technical competence 

Computer, internet, ... Specific technical competence 

Computer assisted publishing, pefessional equipment 

Expertise competenceSpecific kowledge about the covered subject area Orientation kowledge 

Kowledge in social sciences  Kowledge in sources  Knowledge in scientific methods 

English  Knowledge of the closer cultural/traditional enviroment 

Social Orientation 

Negosiasi kultural 

Negosiasi struktural 

Kondisi keluarga 

Studi literatur: Konsistensi tulisan

Pemenuhan nilai berita

Page 31: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

31  

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan

paradigma feminis dan kemudian disebut dengan metodologi feminis. Metodologi

feminis dapat menghasilkan alat penelitian baru yang menawarkan

pengetahuan baru.

Metodologi perspektif feminis lahir di barat pada tahun 1970.

Metodologi ini pada tahu itu sagat sentral peranya dalam mengungkap

gagasan-gagasan mengenai ketertindasan dan pembebasan perempuan.

Metodologi ini lahir sebagai kritik dari ilmu pengetahuan umum yang

menganggap persoalan sosial merupakan netral gender. Pengetahuan umum

ketika itu juga menempatkan perempuan dalam posisi yang pasif, tidak terlihat

bahkan beberapa pihak melakukan mysogini (membenci perempuan). Peneliti

feminis, Sandra Harding dan Schulamit Reinharz menambahkan bahwa

penelitian feminis dengan sendirinya mendekonstruksi ilmu pengetahuan yang

selama ini sudah dibangun secara bertahun-tahun dibangun atas dasar

pengalaman hidup dari pengalaman laki-laki, diakui kebenarannya secara

epistemologis sebagai alat untuk membangun ilmu pengetahuan dan dianggap

sebagai metodologi yang universal33. Riset ini tidak hanya digunakan oleh ilmu

sosial namun kemudian digunakan oleh ilmu pengetahuan lain termasuk

komunikasi khususnya penelitian media.

Riset dengan paradigma feminis menggunakan analisis subjektif dalam

pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan tujuan dari riset perspektif feminis adalah

mendengarkan suara perempuan dan mengetahui apa kebutuhan perempuan.

Penelitian ini juga melibatkan epistemologi yaitu berupa pengalaman hidup

perempuan, pemikiran, refleksi, interpretasi perempuan dan juga ontologi yaitu

dengan bagaimana perempuann memandang realitas kehidupan. Dengan

                                                            33 Sandra E. Harding da Schulamit Reinharz dalam Rahmat Hidayat, Jurnal Perempuan, Edisi 48, 2006. 

Page 32: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

32  

menggunakan paradigma ini, penelitian akan menuliskan agenda perempuan

yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas perempuan dan perubahan sosial

bagi perempuan. Juga mengenai etika perempuan dan ketersediaan perempuan

untuk terlibat di dalamnya.

Sandra Harding dalam Jane C. Ollenburger menggambarkan tiga ciri

metodologi feminis atau pilihan feminis atas metode: (1) Pertama, metodologi

itu memanfaatkan sumber-sumber empiris dan teoritis baru yang

menggabungkan rangkaian penuh pengalaman-pengalaman wanita, termasuk

pengalaman wanita dari berbagai ras, kebudayaan, kelas dan sebagainya. (2)

Kedua masalah riset dipandang sebagai tak terpisahkan dari tujuan riset dan

analisis; periset tidak bisa melepaskan diri dari tujuan serta konsekuensi-

konsekuensi riset mereka. (3) Ketiga, periset dilihat dalam lingkungan yang

sama sebagaimana peserta riset. Dari ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan

bahwa metodologi feminis bukan suatu kesatuan yang terpisah dari

metodologi-metodologi yang lain, tapi lebih merupakan penerapan prinsip-

prinsip feminis pada kegiatan ilmiah.

Dalam penelitian ini, pendekatan etnografi feminis yang bertujuan

untuk: (1) mendokumentasikan hidup dan aktifitas perempuan, (2) memahami

pengalaman perempuan dari sudut pandang mereka sendiri, dan (3)

mengonseptualisasikan perilaku perempuan sebagai dasar penulisan karya

ilmiah.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah metode penelitian

etnografi feminis. Etnografi feminis merupakan metode penelitian etnografi

dengan tujuan dan pendekatan feminis. Pillow menyatakan bahwa metode yang

dipakai peneliti dipengaruhi oleh metodologi34 dan epistemologi35

                                                            34 Metodologi dalam buku ini diartikan sebagai lens of doing our research 35 Epistemologi dalam buku ini diartikan sebagai our knowledge base 

Page 33: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

33  

feminis36.Metode etnografi feminis dipilih karena kenyataannya definisi tentang

perempuan seringkali dibuat oleh laki-laki. Metode etnografi feminis berusaha

untuk memahami pengalaman perempuan dari sudut pandang perempuan sendiri,

tujuannya untuk mendapatkan keseimbangan sudut pandang yang selama ini lebih

banyak berperspektif laki-laki atau biasanya dilakukan oleh peneliti laki-laki.

Penelitian etnografi dalam ilmu komunikasi sendiri (ethnography of

communication) beranjak dari tradisi penelitian ilmiah yang berkembang dalam

kajian antropologi, sosiolinguistik dan folklore. Metode ini termasuk dalam

pendekatan kualitatif. Littlejohn mengemukakan etnografi dalam Ilmu

Komunikasi merupakan penerapan etnografis dalam pola-pola komunikasi

kelompok. Peneliti yang menggunakan metode ini berupaya untuk meneliti

bentuk-bentuk komunikasi yang dipergunakan oleh para anggota sebuah

komunitas budaya. Metode ini dapat dipergunaan untuk penelitian-penelitian

dalam tataran komunikasi kelompok/organisasi, atau untuk mendekati

kelompok atau organisasi secara kultural.

Tak seperti penelitian etnografi komunikasi (media) pada umumnya

yang melihat pengalaman dan perilaku konsumen dalam bermedia. Penelitian

ini menggunakan menggunakan subjek penelitian praktisi media, yaitu jurnalis

perempuan. Penelitian tentang praktisi media (jurnalis) dalam dunia akademis

sangat minim, padahal jurnalis memiliki peran penting bagi pergerakan pers.

3. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah jurnalis perempuan. Jurnalis

perempuan yang menjadi subjek penelitian ini disebut juga dengan informan

penelitian. Hasil peneliian yang dilaksanakan AJI menghasilkan temuan bahwa

jurnalis perempuan paling banyak bekerja di media cetak,selanjutnya televisi,

radio dan paling sedikit bekerja di media online.Dengan alasan tersebut,

peneliti memilih jurnalis perempuan yang bekerja di media cetak dan penyiaran

dengan kriteria lainnya:                                                             36 Hesse, Nagy Sharlene and Biber  (ed.). 2007. Handbook of Feminist Research: Theory and Praxis. California: Sage Publication Sandra.  

Page 34: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

34  

a. Perempuan

b. Memiliki latar belakang yang unik dan menarik

c. Memiliki kepedulian terhadap perkembangan media dan jurnalistik

d. Berbeda satu dengan yang lain

Dari kriteria-kriteria yang telah disebutkan, peneliti awalnya merujuk

pada lima informan, pertama Maria Hartinigsih, seorang jurnalis Kompas

sekaligus aktivis gender. Trijata (bukan nama asli), Kunti (bukan nama asli)

dan Kilisuci (bukan nama asli), serta seorang jurnalis perempuan dari TATV

Solo. Namun pada perjalanannya, peneliti tidak bisa meneliti Maria

Hartiningsih karena yang bersangkutan keberatan. Sedangkan jurnalis dari

TATV ketika sudah melakukan penelitian di minggu pertama, kontaknya tidak

bisa dihubungi dan belakangan peneliti ketahui ia sudah tidak bekerja untuk

TATV. Kendala-kendala teknis tersebut mengerucutkan informan penelitian

menjadi tiga orang, yaitu:

1. Trijata

Merupakan jurnalis di RRI Yogyakarta. Selain menjadi jurnalis RRI, Trijata

juga menjadi kontributor di Surat Kabar The Jakarta Post dan Voice of

America (VOA).Pemilihan Trijata sebagai informan bertujuan untuk

memberikan perspektif media penyiaran publik. Dengan melihat dinamika

dalam di media non-swasta, peneliti berharap mampu menemukan gejala yang

berbeda dengan dua informan sebelumnya.

2. Kunti

Sebagai juralis Olah Raga RRI Yogyakarta, Kunti harus mampu bertahan

dengan tuntutan lebih yang harus dipenuhinya. Dengan asumsi pendengarnya

adalah laki-laki, Kunti dituntut mampu beradaptasi dan menyampaikan berita

dengan standar yang melebihi jurnalis umum. Kunti juga membantu

Pemberitaan Umum utuk wilayah liputan Kabupaten Bantul. Saat ini Kunti

hamil enam bulan. Riwayat keguguran yang pernah dialaminya membuatnya

harus membuat strategi pengaturan waktu baru.

3. Kilisuci

Page 35: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

35  

Jurnalis perempuan ini pernah menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di portal

energitoday.com. tahun 2009-2010 ia menjadi wartawan untuk Harian Seputar

Indonesia. Kini, menulis di Tempo dan belakangan diminta menulis untuk

Tabloid Nova.

Pemilihan jurnalis dibuat dua cakupan, yaitu nasional dan daerah. Hal

ini sengaja dilakukan peneliti untuk melakukan komparasi terhadap temuan

penelitian. Komparasi tersebut untuk menemukan gejala perbedaan yang

timbul pada profesionalisme jurnalis nasional dan daerah. Dengan alasan

tersebut lokasi penelitian berada di dua tempat yang berbeda. Kilisuci

berdomisili di Jakarta sedangkan Trijata dan Kunti berdomisili di Yogyakarta.

Oleh karena itu lokasi penelitian akan dilaksanakan di dua kota tersebut. Lama

penelitian sendiri selama 2-3 bulan dengan pembagian waktu satu informan

mendapat bagian waktu satu bulan. Pemilihan tiga informan dilakukan peneliti

untuk lebih mudah dalam mengikuti aktivitas, sehingga peneliti dapat fokus

dan mendalam kegiatan informan ketika di lapangan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Reinharz dan Harding mejelaskan bsahwa dalam penelitian feminis,

khususnya etnografi, peneliti bisa menggabungkan dan menggunakan berbagai

metode, tergantung pada bagaimana penelitian dilakukan dan apa tujuannya37.

Meskipun peneliti menggunakan metode etnografi feminis, peneliti masih

menggunakan teknik pengumpulan data a la James P. Spradley. Hal ini peneliti

tempuh untuk mendistorsi kelemahan metode etnografi feminis dalam

menentukan teknik pengumpulan data. Alasan lain, bahwa keduanya tetap

berada dalam penelitian kualitatif sehingga menggunakan teknik triangulasi

untuk pengumpulan datanya. Sebagai sebuah penelitian kualitatif, metode yang

digunakan etnografer adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, dan

pencatatan dokumen. Etnografi baru yang dikembangkan oleh Spradley adalah

ethnographic interview. Metode ini menekankan pada cara untuk mengajak

                                                            37Ibid. Page: 157 

Page 36: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

36  

orang/obyek penelitian untuk berbicara mengenai apa yang mereka tahu

(Spradley, 1979:9). Dalam meotode ini, data primer akan didapat melalui

wawancara.

Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan

budaya dari tiga sumber: (1) dari yang dikatakan orang, (2) dari cara orang

bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang38. Maka, metode

pengumpulan data yang dipakai adalah:

Observasi partisipan. Karakter-karakter teknik observasi

partisipatifadalah39:

a. ada komitmen dari peneliti untuk mempelajari peristiwa hidup

sehari-hari

b. persepsi atas realita dikonstruksi melalui interaksi da komunikasi

yang dilakukan oleh partisipan

c. kinerja studi berada dalam lingkungan alami tanpa mengubah

apapun

d. persepsi atas realitas dialami dalam suatu cara yang interpretatif

e. bahan yang dikumpulkan merupakan bahan yang empirik yang

relatif tidak terstruktur

f. berkenaan dengan sejumlah kecil kasus

g. penulisan dan gaya analisis bersifat interpretif

h. mencakup definisi fenomena

Peneliti melakukan observasi partisipan terhadap tiga informan. Peneliti

mengikuti kegiatan informan/ jurnalis dalam melakukan profesinya. Tujuan

observasi partisipan adalah untuk mengetahui secara langsung dan ikut

merasakan apa yang dirasakan informan (jurnalis) dalam melaksanakan

profesionalisme di tengah kendala sosial yang dihadapi.

Wawancara.

                                                            38 Spradley, James P., 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. 39 MC  Ninik  Sri  Rejeki,”Metode  Etnografi  untuk  Penelitian  Komunikasi”  dalam  Jurnal  ISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Vol.5/No.2/ Juni‐Agustus 2003.  

Page 37: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

37  

Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan (speech

event) yang khusus40. Wawancara etnografis adaah sebagai serangkaian

percakapan persahabatan yang di dalamnya peneliti secara perlahan

memasukkan unsur baru guna membantu informan memberikan jawaban

sebagai informan41.

Dalam penelitian ini, digunakan teknik percakapan persahabatan untuk

mendapatkan data yang tanpa dibuat-buat oleh informan. Peneliti membuat

sistematika pertanyaan terlebih dahulu sebelum turun lapangan untuk

memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara dilakukan

bertahap dengan kurun waktu dua bulan.

Selain menggunakan teknik pengumpulan data primer berupa

wawancara, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data sekunder:

Studi literatur

Studi literatur yang diguakan peneliti bertujuan untuk memperdalam dan

mempertajam materi. Studi literatur yang digunakan mencakup struktur

redaksional di mana informan bekerja, berita-berita yang telah dihasilkan

informan, serta data-data pendukung lain yang berguna bagi penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan teknik

eksplanatoris, dimana peneliti akan menuliskan hasil pengamatan dan hasil

wawancara secara bersamaan. Limitasi penulisan dengan menggunakan bagan

pemikiran dan kerangka konsep.

Selain itu, penelitian masih menggunakan teknik analisis Spradley.

Analisis etnografi menurut Spradley merupakan penyelidikan berbagai bagian

sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh informan. Analisis yang akan

digunakan utuk membaca data yang telah didapat adalah analisis domain

(domain analysis). Data yang didapat, kemudian dibuat domain-domain

                                                            40Ibid. Hal: 79 41Ibid. Hal: 85 

Page 38: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

38  

tertentu, yakni dikelompokkan ke dalam kelompok yang besar, kecil, dan lebih

kecil. Domain yang didapat kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa

elemen dasar dalam analisis domain, yakni cover terms (nama kultural),

included terms (nama untuk kategori yang lebih kecil dan spesifik), dan

kemudian dicari sematic relationship yang menggabungkan beberapa kata

dalam included terms dan cover terms.

Langkah analisis dalam etnografi adalah maju dan bertahap. Analisis

dilakukan dalam tempo yang tidak sama namun berurutan. Lagkah-langkah

yang ditempuh peeliti atara lain:

1. Analisis hasil wawancara etnografi. Tahap ini berada di tengah proses

wawancara, yaitu setelah wawancara deskriptif. Analisis ini bertujuan

mengevaluasi data etnografi yang diperoleh selama wawancara

sebelumnya. Evaluasi kemudian dipakai untuk acuan wawancara tahap

berikutnya.

2. Membuat analisis wawancara sederhana. Merujuk pada wawancara

Spradley, hasil wawancara akan dikelompokkan sesuai dengan kelompok

bahasan, sehingga mempermudah pembacaan alur pikir penulisan.

3. Refleksi terhadap observasi partisipan. Dalam observasi, peneliti

memerhatikan konsistensi wawancara. Setiap hasil observasi yang

menarik dicatat dalam buku observasi.

4. Analisis komponen. Pada tahap ini,peneliti mencari hubungan (semantic

relationship) dan kaitan antara cover terms dan included terms. Pada tahap

ini,

5. Mengintepretasi data, meniliti informasi tambahan lain yang terkait, dan

menyajikan data

6. Sistematika Penulisan

Penulisan laporan penelitian bersifat deskriptif dan analitis. Deskriptif

untuk memberikan gambaran mengenai kondisi sebenarnya yang ditemui

peneliti di lapangan sedangkan analitis untuk merujukkan logika berpikir

Page 39: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64857/potongan/S1-2013... · bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis

39  

peneliti. Sistematika penulisan penelitian ini sendiri terbagi menjadi lima bab,

yaitu:

Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian,

instrument penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi tinjauan pustaka dari topik yang diangkat dalam penelitian ini

pada konteks yang lebih luas, yaitu kondisi jurnalis di Indonesia. Kemudian

difokuskan pada masalah-masalah yang dihadapi oleh jurnalis perempuan,

khususnya kendala sosial yang dihadapi jurnalis perempuan.

Bab III akan menjelaskan tentang subjek penelitian, yakni jurnalis

perempuan serta perbedaan yang mendasar antara jurnalis perempuan di daerah

dengan jurnalis nasional. Dalam bab ini, juga akan dideskripsikan dengan detil

dua jurnalis perempuan yang memasuki kriteria sebagai informan dalam

penelitian.

Bab IV, berisi tentang analisis data yang didapat untuk menjawab rumusan

masalah yang disebutkan sebelumnya. Bab ini akan menjabarkan

profesionalisme jurnalis perempuan dalam menghadapi kendala sosial

perempuan yang bekerja.

Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dari hasil analisis data dan

saran untuk penelitian dengan kajian serupa yang akan datang.