BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman dan peningkatan taraf hidup membuat kebutuhan
manusia ikut berkembang. Pada awalnya manusia sudah merasa cukup dengan
memenuhi kebutuhan makan, sandang dan papan sehari-hari, sekarang
berkembang dengan kebutuhan barang-barang sekunder dan tersier. Barang-
barang yang dibutuhkan pun tersedia tidak hanya satu macam dalam setiap
jenisnya, bahkan ada barang yang mempunyai ratusan produk sejenis.
Keadaan ini membuat konsumen dihadapkan kepada situasi yang
mengharuskannya berpikir dalam membuat keputusan mengenai produk-produk
yang akan dibeli atau digunakan. Beberapa dari keputusan ini sangat penting dan
membutuhkan usaha yang keras (Solomon, 2004). Banyak hal yang dapat
mempengaruhi perilaku konsumen ketika mengambil keputusan sebelum membeli
suatu produk. Umumnya konsumen mengambil keputusan tanpa berhenti berpikir
bagaimana keputusan tersebut dipilih dan hal-hal apa saja yang mempengaruhi
proses pengambilan keputusan mereka. Dalam hal ini, sebuah keputusan diambil
atas dasar adanya dua atau lebih alternatif pilihan atau dengan kata lain untuk
memutuskan suatu pilihan seseorang harus memiliki pilihan, sebagai contoh
memilih antara produk X dan produk Y (Schiffman & Kanuk, 2004).
Hal ini memaksa setiap orang, sadar atau tidak, untuk memilih produk
sesuai dengan yang dibutuhkannya. Namun dalam membuat keputusan memilih,
2
kebanyakan konsumen tidak mampu mengevaluasi keseluruhan alternatif produk.
Kecenderungan sebagian besar konsumen membagi proses mereka dalam memilih
menjadi dua. Pertama mengklasifikasikan produk-produk yang ada, dan kemudian
mengidentifikasi beberapa diantaranya yang memiliki nilai tambah atau
penawaran yang lebih menarik. Tahapan selanjutnya, konsumen akan
membandingkan antar produk-produk yang dinilai lebih unggul dan kemudian
menentukan pilihan.
Di sisi lain, peradaban manusia yang terus berkembang juga berdampak
pada kerusakan lingkungan. Usaha pemenuhan kebutuhan manusia seringkali
harus mengorbankan alam sekitar dan timbulnya berbagai masalah akibat dari
proses pembangunan, berupa risiko gangguan dan kerusakan lingkungan. Keadaan
ini semakin diperparah oleh pelaku usaha yang menggunakan sumber daya alam
tanpa memperhitungkan risiko kerusakan.
Permasalahan lingkungan yang paling sering dibahas masyarakat dunia
adalah pemanasan global. Pemanasan global ditandai dengan meningkatnya
temperatur rata-rata atmosfer, darat dan lautan di bumi. Efeknya bukan sekadar
suhu yang semakin memanas, tetapi secara lebih jauh memberikan dampak negatif
pada cuaca, pertanian, kesehatan dan bidang-bidang lainnya.
Bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran terhadap permasalahan
lingkungan, muncul juga gerakan-gerakan sosial untuk mencegah agar dampak
yang ditimbulkannya tidak semakin parah. Perhatian ini ditunjukkan dalam
diskusi-diskusi ilmiah membahas lingkungan, kebijakan politik atau juga aksi
langsung di tengah masyarakat. Pada tahun 2007 Perserikatan Bangsa-Bangsa
3
menyelenggarakan United Nations Climate Change Conference di Bali yang
menjadi pendahuluan dari Copenhagen Summit pada Desember 2009 dan
menghasilkan Copenhagen Accord sebagai perjanjian modern penanganan
masalah perubahan iklim dunia.
Sejak tahun 2007, secara rutin dilakukan kampanye bertajuk Earth Hour,
yaitu mengajak seluruh masyarakat dunia melakukan pemadaman lampu selama
satu jam untuk mengurangi efek pemanasan global. Harapannya agar di luar
waktu tersebut, orang-orang secara sadar mematikan peralatan listrik yang tidak
perlu atau tidak sedang digunakan.
Di Indonesia sendiri saat ini sedang digalakkan beberapa kampanye
penyelamatan lingkungan, salah satunya Save Aru yang digalang musisi Glenn
Fredly untuk menyelamatkan ekosistem Kepulauan Aru di Maluku. Ada juga aksi
menolak reklamasi Tanjung Benoa Bali karena berpotensi merusak lingkungan
meskipun tujuan reklamasi diklaim sebagai usaha penyelamatan kawasan pantai
tersebut.
Usaha penyelamatan lingkungan lama-lama di arahkan menjadi sebuah
gaya hidup. Kampanye untuk mengurangi penggunaan kantong plastik saat
berbelanja, atau semakin berkembangnya komunitas bike to work dapat dijadikan
sebagai contoh. Begitu juga dengan munculnya produk-produk yang bersifat
ramah lingkungan sebagai pilihan baru bagi konsumen dalam memenuhi
kebutuhannya tidak terlepas dari permasalahan lingkungan sedang terjadi. Produk
ramah lingkungan di Indonesia, merupakan salah satu contoh dari program
ekolabel yang juga sedang berlangsung di seluruh dunia (Suminto, 2012).
4
Konsumen yang membeli barang-barang dengan tema ramah lingkungan
dikenal sebagai Green Consumer. Istilah green atau hijau pada awalnya
digunakan untuk menggantikan istilah pro-environmental. Dengan demikian
green consumer merupakan konsumen yang dalam membeli suatu produk
dipengaruhi oleh intensi terhadap masalah lingkungan (Shrum dkk, 1995).
Kosmetik merupakan salah satu jenis industri yang turut ambil bagian
dalam menciptakan produk-produk ramah lingkungan. Kosmetik sendiri
merupakan kebutuhan utama manusia yang sudah bisa disejajarkan dengan
kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.
Baik kosmetik ramah lingkungan, maupun green cosmetics dan ecolabel
cosmetics, belum mempunyai definisi yang sudah disepakati secara bersama dan
belum ditetapkan kriterianya dengan pasti. Kosmetik ramah lingkungan secara
umum dapat diartikan sebagai kosmetik yang terbuat dari bahan baku alami dan
dibuat dengan proses yang tidak merusak alam. Semua bahan dan prosesnya telah
melewati proses standardisasi berdasarkan aturan yang berlaku (Heino, 2012).
Label ramah lingkungan berdasarkan lembaga yang memberikan
pengakuan, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Mandatory Labels
Mandatory label adalah label ramah lingkungan yang diberikan oleh
pemerintah atau lembaga resmi yang ditunjuk. Baik lembaga maupun
sertifikasi labelnya dilindungi oleh hukum. Contohnya adalah Badan
Standardisasi Nasional (BSN) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
5
2. Voluntary Labels.
Voluntary label adalah label ramah lingkungan yang diberikan oleh selain
pemerintah atau lembaga yang resmi ditunjuk. International Standar
Organization (ISO) membagi lagi menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Label tipe I yaitu label ramah lingkungan yang disertifikasi oleh pihak
ketiga dan digunakan di dalam satu negara ataupun wilayah. Pihak
ketiga maksudnya adalah lembaga yang bukan bagian dari pemerintah
berwenang. Pihak ketiga ini contohnya adalah International Organic
and Natural Cosmetics Corporation (IONCC) yang berbasis di Jerman.
b. Label tipe II adalah label ramah lingkungan yang tidak mempunyai
sertifikasi resmi, tetapi berdasarkan pengakuan sendiri dan kadang-
kadang dilihat sebagai bagian dari pengiklanan.
c. Label tipe III yaitu label yang memuat informasi seputar simbol
pengelolaan lingkungan, misalnya informasi jenis plastik kemasan yang
digunakan.
(Horne, 2009)
Ketiga jenis dari label ramah lingkungan ini dapat diterima, karena belum
adanya kesepakatan dan standar baku untuk kosmetik ramah lingkungan (Korink,
2012). Di Indonesia sendiri baru terdapat kosmetik ramah lingkungan label tipe II,
karena BSN dan LEI sebagai lembaga resmi pemerintah untuk produk ramah
lingkungan belum mengeluarkan aturan tentang kosmetik ramah lingkungan, dan
juga tidak ada pihak ketiga yang menangani label ramah lingkungan untuk
kosmetik.
6
Tindakan yang dilakukan masyarakat tersebut dikenal sebagai perilaku
peduli lingkungan, yang terbentuk dari sikap peduli lingkungan. Ajzen (2005)
mengatakan bahwa sikap dan perilaku membutuhkan pengukuran dalam level
yang bisa diperbandingkan secara spesifik. Berdasarkan teori perilaku terencana
yang dikembangkannya bersama Fishbein di tahun 1980, faktor yang bisa
menghubungkan antara sikap dan perilaku ini dikenal dengan nama intensi.
Intensi merupakan prediktor sukses sebuah perilaku dan terbentuk dari tiga aspek,
yaitu aspek sikap, aspek norma subyektif dan aspek kontrol perilaku.
Permasalahan yang timbul berkaitan dengan munculnya produk-produk
ramah lingkungan dan perilaku peduli lingkungan konsumen adalah ketika
menghubungkan sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku peduli lingkungan
dengan keputusan konsumen untuk membeli produk ramah lingkungan. Shrum
dkk (1995), menjelaskan bahwa meskipun gerakan peduli lingkungan sudah
berlangsung cukup lama, akan tetapi green marketing atau pemasaran produk-
produk ramah lingkungan oleh pihak produsen terhadap konsumen masih
dipandang sebagai salah satu fenomena baru. Selanjutnya konsep pemasaran
produk ramah lingkungan tersebut tidaklah mudah untuk diterapkan kepada para
konsumen, karena dalam hal ini konsumen harus diperlakukan secara hati-hati,
terperinci dan dihargai, sebab konsumen cenderung untuk berhati-hati dan penuh
pemikiran ketika menentukan keputusan membeli.
Pada akhirnya keputusan untuk membeli produk ramah lingkungan
sebagai bentuk dari kepedulian lingkungan dari seorang konsumen juga akan
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dimiliki konsumen seperti daya beli,
7
tingkatan pendidikan dan kaitannya dalam penyerapan informasi, kepraktisan atau
fungsi dari suatu produk dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut serta melihat perkembangan isu lingkungan
secara global, banyaknya informasi dan ajakan yang diberikan kepada konsumen
untuk ikut mendukung pencegahan kerusakan lingkungan, salah satunya melalui
pengurangan produk yang bersifat tidak ramah lingkungan dengan menggantinya
dengan produk-produk yang ramah lingkungan, maka penelitian ini ditulis dengan
mengambil tema “Pengaruh Sikap, Norma Subyektif dan Kontrol Perilaku Peduli
Lingkungan Terhadap Pengambilan Keputusan Konsumen dalam Pemilihan
Kosmetik Ramah Lingkungan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah dipaparkan, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku peduli lingkungan
mempunyai pengaruh terhadap pengambilan keputusan konsumen dalam
memilih kosmetik ramah lingkungan?
2. Di antara sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku peduli lingkungan,
manakah yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pengambilan
keputusan konsumen dalam memilih kosmetik ramah lingkungan?
C. Batasan Masalah
Agar penelitian yang akan dilakukan lebih terfokus maka peneliti
menggunakan batasan-batasan masalah sebagai berikut:
8
1. Penelitian dikhususkan kepada pengaruh sikap, norma subyektif dan
kontrol perilaku peduli lingkungan terhadap pengambilan keputusan
konsumen dalam memilih kosmetik ramah lingkungan.
2. Kriteria inklusi penelitian adalah mahasiswi tingkat strata satu (S-1)
Universitas Gadjah Mada yang pernah atau sedang menggunakan
kosmetik yang dianggap ramah lingkungan
3. Kosmetik ramah lingkungan yang digunakan adalah kosmetik yang dibuat
dari bahan alami dan dibuat dengan proses yang tidak merusak
lingkungan. Label ramah lingkungan yang digunakan termasuk tipe II,
yaitu berasal dari pengakuan produsen sendiri.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan
1. Menguji dan mengetahui hubungan antara sikap, norma subyektif dan
kontrol perilaku peduli lingkungan dengan pengambilan keputusan
konsumen dalam memilih kosmetik ramah lingkungan.
2. Menguji dan mengetahui aspek yang mempunyai pengaruh paling besar
terhadap pengambilan keputusan konsumen dalam memilih kosmetik
ramah lingkungan.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara teoritis dalam memberikan
informasi bagi bidang psikologi konsumen, mengenai perilaku konsumen ditinjau
dari variabel pengambilan keputusan konsumen, serta bidang psikologi sosial
9
yang terkait dengan permasalahan lingkungan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, informasi mengenai
perilaku konsumen yang terkait dengan isu-isu lingkungan seperti pemanasan
global. Sehingga dapat digunakan dan bermanfaat bagi organisasi-organisasi
lingkungan, maupun para produsen yang menawarkan produk-produk kosmetik
ramah lingkungan dalam usaha meningkatkan kesadaran dan menarik minat
membeli konsumen.
F. Tinjauan Pustaka
1. Teori Perilaku Terencana
Teori perilaku terencana didasarkan pada asumsi bahwa manusia biasanya
bertindak dengan sesuatu yang sudah dipikirkan secara bijaksana. Manusia
mengumpulkan informasi yang baik langsung ataupun tidak akan berdampak
terhadap tingkah lakunya. Berdasarkan pada asumsi ini, teori perilaku terencana
mengemukakan bahwa niat seseorang untuk berbuat merupakan faktor paling
penting dalam mewujudkan sebuah tingkah laku.
Menurut teori perilaku terencana (Ajzen, 2005), niat dan tingkah laku
merupakan fungsi dari tiga faktor dasar, yaitu sikap pribadi, pengaruh dari
lingkungan sosial dan caranya dalam mengontrol sebuah masalah. Faktor pribadi
dikenal dengan istilah sikap terhadap perilaku, yaitu pandangan dan evaluasi dari
diri sendiri akan baik atau buruk dan positif atau negatifnya suatu tindakan atau
perilaku. Faktor kedua adalah persepsi seseorang terhadap tekanan sosial untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, persepsi yang diambil dengan
10
penuh pertimbangan. Faktor kedua ini disebut norma subyektif karena merupakan
hal yang berkaitan dengan norma dan hasil dari saran orang lain. Faktor ketiga
adalah keyakinan diri sendiri atau kemampuan untuk mengontrol apakah akan
menampilkan suatu perilaku atau tidak dan disebut keyakinan kontrol perilaku.
Mengacu pada teori tindakan beralasan, determinan utama dari intensi dan
perilaku secara beralasan mengikuti, sikap, norma subyektif dan kepercayaan
yang mengontrol. Variabel-variabel yang mungkin berelasi atau mempengaruhi
kepercayaan yang dipegang seseorang meliputi: umur, jenis kelamin, ras, status
sosial ekonomi, pendidikan, kebangsaan, agama, kepribadian, mood, emosi, sikap-
sikap dan nilai-nilai umum, kecerdasan, keanggotaan kelompok, pengalaman
masa lalu, informasi yang diterima, dukungan sosial, dll. Individu berkembang di
lingkungan sosial yang berbeda-beda dapat memperoleh informasi yang berbeda-
beda mengenai bermacam isu dan informasi yang menyediakan basis untuk
kepercayaan mereka mengenai konsekuensi sebuah perilaku, mengenai harapan
normatif dari orang lain, dan mengenai penghalang yang dapat mencegah mereka
melaksanakan sebuah perilaku (Ajzen, 2005).
2. Sikap Terhadap Perilaku
Sikap terhadap perilaku menunjukkan tingkatan dimana seseorang
mempunyai evaluasi yang baik atau kurang baik tentang suatu perilaku tertentu.
Sikap terhadap perilaku terbentuk dari:
a) Keyakinan terhadap perilaku (behavioral belief), merupakan
komponen yang berisikan aspek pengetahuan tentang hal-hal yang
terkait dengan peduli lingkungan.
11
b) Evaluasi atas akibat atau konsekuensi yang muncul dari perilaku yang
diyakini.
3. Norma subyektif
Norma Subyektif merupakan nilai yang menunjukkan tekanan sosial yang
dirasakan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan
perilaku. Norma subyektif terbentuk oleh:
a) Keyakinan normatif (normative belief), berisikan aspek pengetahuan
tentang sesuatu yang merupakan pandangan orang lain sebagai referen.
Contohnya orang tua teman, dll.
b) Kemauan menuruti saran orang lain yang dianggap sebagai referen
(Motivation to comply).
4. Kontrol Perilaku
Kontrol perilaku menunjukkan tingkatan kemudahan atau kesukaran
seseorang untuk melakukan tindakan yang dipengaruhi oleh pengalaman masa
lalu dan hambatan yang dipertimbangkan orang tersebut. Kontrol keperilakuan
yang dirasakan terbentuk dari:
a) Keyakinan kontrol (control belief), berisikan tentang sesuatu yang
memudahkan atau menyulitkan untuk menampilkan atau tidak
menampilkan intensi.
b) Kekuatan ke keyakinan kontrol (power of control belief), berisikan
persepsi mengenai perilaku yang akan dilakukan dilanjutkan atau
tidak.
12
5. Peduli Lingkungan
Sikap terhadap lingkungan didefinisikan sebagai keyakinan yang
dipelajari, dibentuk dari pengetahuan individu dan nilai-nilai dan tindakan untuk
mendukung atau menjaga lingkungan. Sikap ini bersifat evaluatif terhadap alam.
Sikap terhadap lingkungan telah dikonseptualisasi, versi pertama dari paradigma
lingkungan yang baru dikembangkan oleh Dunlap dan Van Liere pada tahun
1978, kemudian secara multidimensi dikembangkan oleh Kaiser, dkk pada tahun
1999, dimana konsep sikap terhadap lingkungan dibentuk dari pengetahuan
terhadap lingkungan, nilai-nilai dan intensi berperilaku. Studi mengenai sikap
terhadap lingkungan ini menggunakan konsep anthropocentric (human-
centered) dan naturocentric (nature-centred) yang didefinisikan oleh Vilkka
(1997).
Sesuai dengan penjelasan tersebut, bahwa peduli lingkungan adalah suatu
perilaku evaluatif individu yang melibatkan faktor pikiran, emosi dan perbuatan
yang terwujud dalam bentuk mengindahkan, menghiraukan dan memperhatikan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk-makhluk yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan manusia beserta makhluk hidup
lainnya. Hal ini meliputi konsep 4R yaitu:
1) Reduce: mengurangi penggunaan sumber daya alam secara langsung
2) Recycle: melakukan daur ulang
3) Reuse: memanfaatkan limbah atau sampah
4) Replace: mengganti produk yang tidak ramah lingkungan dengan
produk yang ramah lingkungan.
13
Selanjutnya, peduli lingkungan atau pro-lingkungan bisa didefinisikan
sebagai tindakan dari individu ataupun kelompok yang menunjang kelanjutan atau
mengurangi penggunaan sumber daya dari alam (Sivek dan Hungerford, 1990).
Perilaku peduli lingkungan dapat didasari oleh persepsi individu
terhahadap locus of control, yaitu kemampuan atau kesempatan untuk melakukan
perubahan dan, efikasi, yaitu perasaan terhadap kompetensi dan keefektifan dalam
berpartisipasi dalam perilaku pro-lingkungan (Hines dkk 1987).
Holahan (1982) mengatakan ketika seseorang melakukan evaluasi
terhadap desain fisik suatu ruangan atau tempat tinggal dan menyatakan
perasaannya terhadap lingkungan alam di sekitarnya, maupun ketika seseorang
menyatakan dukungan atau tidak mendukung terhadap permasalahan lingkungan,
pada saat itulah seseorang menyatakan sikapnya terhadap lingkungan, apakah
orang tersebut peduli atau pun tidak.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa peduli lingkungan
merupakan tindakan individu yang merespon secara positif atau melakukan hal-
hal yang terkait dengan pencegahan kerusakan lingkungan.
6. Pengambilan Keputusan Konsumen
a. Definisi Pengambilan Keputusan Konsumen
Pengambilan keputusan adalah alat yang digunakan konsumen untuk
memilih diantara pilihan yang tersedia bagi konsumen tersebut (Wells dan
Prensky, 1996). Cara untuk mengkategorikan pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh konsumen adalah dengan melihat tingkatan usaha yang
14
dilakukan konsumen dalam menentukan pilihan membeli suatu produk, waktu
dan sumber-sumber secara kognitif yang dikeluarkan oleh konsumen dalam
melengkapi proses membeli. Usaha secara kognitif ini memungkinkan individu
untuk mencari produk-produk alternatif, mengelola informasi, mengembangkan
kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi produk dan memilih produk mana
yang akan dibeli.
Adapun tiga tipe pengambilan keputusan konsumen (Hawkins
&Mothersbaugh, 2010) adalah sebagai berikut:
1) Nominal Decision Making: Dalam tipe pengambilan keputusan ini,
sebuah permasalahan disadari, dipengaruhi oleh ingatan jangka
panjang terhadap suatu merek produk, dimana produk tersebut dibeli
dan evaluasi yang dilakukan secara terbatas, artinya konsumen hanya
akan mengevaluasi produk apabila produk tersebut tidak memberikan
kepuasan seperti apa yang diharapkan.
2) Limited Decision Making: Dalam tipe pengambilan keputusan ini,
melibatkan pencarian informasi internal dan eksternal secara terbatas
terhadap beberapa pilihan produk, di mana keputusan yang sederhana
mengatur beberapa atribut, dan sedikit evaluasi pasca pembelian.
Limited Decision Making juga didasari respon terhadap beberapa
kebutuhan emosional dan situasional. Dengan demikian, pada tipe
pengambilan keputusan ini, konsumen menyadari suatu permasalahan
untuk mengetahui beberapa kemungkinan solusi dari permasalahan
tersebut.
15
3) Extended Decision Making: Pengambilan keputusan tipe ini
melibatkan pencarian informasi secara luas, disertai oleh evaluasi yang
kompleks terhadap pilihan-pilihan produk dan evaluasi pasca
pembelian. Pengambilan keputusan secara luas ini juga melibatkan
usaha yang besar secara kognitif.
Peter dan Olson (2002) menjelaskan bahwa ada lima ciri yang bisa dilihat
pada saat konsumen melakukan pengambilan keputusan dengan melibatkan aspek
afeksi:
1) Respon reaktif: Keputusan membeli dilakukan tanpa perencanaan dan
secara umum tidak memiliki tujuan yang jelas. Biasanya keputusan
diambil segera setelah melihat produk yang disukai dan senantiasa
mencolok.
2) Little direct control: Pada saat sistem afeksi bekerja, individu hanya
memiliki sedikit kontrol atas perilakunya. Misalnya, saat sedang
membeli kaset, anda dilayani oleh pelayan yang berperilaku kasar,
secara otomatis anda merasa sebal dan memutuskan untuk tidak jadi
membeli kaset di toko itu.
3) Dapat dirasakan secara fisik. Biasanya ketika sistem afeksi bekerja,
individu dapat merasakan respon fisiknya berupa kegairahan.
Contohnya saat melihat boneka Teddy Bear yang menurut anda sangat
lucu, anda merasa benar-benar bersemangat dan merasa terdorong
untuk membelinya.
4) Respon to virtually any type of stimulus: Sistem afeksi yang dimiliki
16
seseorang dapat merespon perilaku orang itu dan juga bisa memberi
respon atas pikiran-pikirannya sendiri.
5) Respon afeksi hasil belajar: Konsumen mempelajari beberapa respon
afektifnya melalui proses pengkondisian klasik. Misalnya, seorang
remaja selalu mengunjungi sebuah toko es krim setiap kali lewat di
toko tersebut. Kebiasaan ini muncul karena pada beberapa kunjungan
pertama ke toko itu si remaja merasakan pelayanan yang
menyenangkan.
Peter & Olson (2002) juga menjelaskan bahwa penelitian-penelitian yang
selama ini banyak dilakukan menggambarkan konsumen sebagai makhluk
rasional yang selalu penuh pertimbangan. Literatur-literatur mengenai perilaku
konsumen juga memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda. Keputusan
membeli dari sudut pandang rasional dilakukan sebagai suatu upaya penyelesaian
masalah. Produk dibeli merupakan solusi yang dapat mengatasi masalah yang
sedang dihadapi konsumen.
b. Aspek-aspek Pengambilan Keputusan Konsumen
Menurut Engel dkk (1994), sebelum sampai pada keputusan membeli,
individu akan melalui suatu proses adopsi yang disebut AIDA (Attention,
Interest, Desire and Action). Dimulai dengan adanya perhatian terhadap suatu
produk, kemudian munculnya ketertarikan atau minat terhadap suatu produk,
dilanjutkan dengan keinginan untuk membeli produk sampai pada keputusan
yang dibuat berupa tindakan yang nyata, dalam hal ini adalah membeli produk
17
tersebut.
Engel dkk (1994) menjelaskan lima aspek yang mempengaruhi keputusan
membeli konsumen:
1) Situasi yang mengharuskan seseorang membuat keputusan: Hal ini
penting karena pengambilan keputusan adalah suatu aktivitas yang
dimulai ketika seseorang menyadari bahwa dirinya berhadapan dengan
situasi yang didalamnya berisi konflik dan terdapat beberapa jalan
keluar untuk mengatasi konflik tersebut. Situasi berpengaruh pada
pilihan produk yang dibeli konsumen. Terkadang sebuah produk dibeli
karena pada saat pembelian, alternatif yang tersedia hanya satu merek
saja sehingga produk itulah yang dibeli.
2) Jumlah alternatif yang tersedia: Aneka alternatif produk yang sejenis
tersedia di pasaran. Produk-produk ini berbeda dalam hal kemasan,
harga, iklan dan nilai lebih yang ditonjolkan. Konsumen menentukan
pilihannya berdasarkan kelebihan-kelebihan dari masing-masing
alternatif.
3) Banyaknya ragam persoalan dan cara pemecahan masalah: Setiap hari
konsumen dihadapkan pada berbagai macam masalah yang harus
segera diselesaikan. Beberapa diantaranya berkaitan pembelian produk
sebagai jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Kemudian
konsumen akan berhadapan dengan penentuan produk dari sejumlah
alternatif produk yang ada untuk penyelesaian masalah yang
dihadapinya.
18
4) Banyaknya informasi yang diterima serta kejelasan informasi akan
berpengaruh langsung pada pemahaman konsumen: Konsumen
mengumpulkan dan atau secara tidak langsung mendapatkan informasi
mengenai produk yang dibelinya. Informasi yang meyakinkan
umumnya diperoleh melalui sumber personal, seperti dari teman atau
keluarga. Proses transfer informasi melalui media personal ini jauh
lebih kaya dibandingkan dengan informasi tertulis maupun iklan.
Pemahaman yang terbentuk juga akan berbeda berdasarkan bagaimana
informasi itu diperoleh.
5) Banyaknya kemungkinan konsekuensi yang muncul sebagai akibat
suatu keputusan: Konsumen menentukan pilihan produk yang
dibelinya dengan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi yang
akan muncul jika ia membeli sebuah produk. Konsumen dapat saja
mengontrol konsekuensi yang ingin didapatkannya dengan cara
menyeleksi produk-produk yang dibelinya. Dalam hal ini, salah satu
faktor yang dipertimbangkan adalah nilai yang diutamakan konsumen
dalam menggunakan suatu produk.
Jika dilihat dari aspek kognitif, Hawkins dan Mothersbaugh (2010)
menyebutkan aspek-aspek yang dilalui konsumen dalam mengambil keputusan:
1) Problem recognition: Pada tahap ini konsumen menyadari bahwa ia
membutuhkan suatu produk sebagai solusi permasalahannya yang
sedang dihadapinya.
2) Information search: Merupakan proses pencarian Informasi oleh
19
konsumen untuk menemukan produk-produk yang bisa menjadi solusi
permasalahannya. Informasi ini bisa diperoleh dari media cetak, iklan
televisi, internet, atau orang-orang disekitar konsumen tersebut.
3) Evaluation of product alternatives: Merupakan kelanjutan dari tahap
pencarian informasi. Pada tahap ini konsumen akan menemukan
beberapa alternatif produk yang sesuai dengan permasalahannya.
Untuk melakukan penilaian dan pembandingan dari sisi kemasan,
harga, kualitas, perusahaan produsen, kesanggupan konsumen, dll.
4) Product choice / outlet selection and purchase: Merupakan tahap pada
saat konsumen telah menentukan pilihan merek dan melakukan
pembelian suatu produk.
5) Postpurchase processes: Merupakan tahap terakhir, yaitu pasca
konsumen telah menentukan pilihan merek dan melakukan pembelian.
Dalam tahapan ini konsumen mengevaluasi suatu produk pasca
pembelian, dimana konsumen menilai apakah produk yang dibeli
memberikan kepuasan, tidak adanya kepuasan atau mengecewakan.
Hal ini akan terkait dengan apakah konsumen akan melakukan
pembelian ulang dan memiliki komitmen terhadap produk tersebut.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dalam penelitian ini aspek-
aspek yang akan digunakan dalam pengambilan keputusan konsumen mengacu
pada aspek dari Hawkins & Mothersbaugh (2010) dan juga Solomon dkk (2006)
yang meliputi hasil dari proses evaluasi kognitif konsumen, mulai dari
pengenalan terhadap suatu masalah hingga mengetahui produk-produk alternatif
20
yang tersedia. Proses evaluasi tersebut dipengaruhi oleh informasi yang
diterima, yang selanjutnya mengarah pada identifikasi kriteria-kriteria terhadap
produk dan kemudian hasilnya diterapkan dalam bentuk pembelian produk yang
dilakukan oleh konsumen dan diakhiri dengan evaluasi terhadap produk yang
dibeli. Aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini akan dikaitkan dengan
produk ramah lingkungan sebagai produk pilihan bagi konsumen itu sendiri.
7. Kosmetik Ramah Lingkungan
a. Kosmetik
Kosmetik berasal dari bahasa Yunani kosmetikos yang berarti
keterampilan menghias dan mengatur. Definisi kosmetik dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 445/Menkes/Permenkes/1998, kosmetik adalah
sediaan atau paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan
(epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan
rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah
penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau
badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu
penyakit.
Dalam definisi kosmetik tersebut, yang dimaksud dengan tidak
dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit adalah sediaan
tersebut tidak mempengaruhi struktur faal kulit. Namun, bila bahan kosmetik
tersebut adalah bahan kimia dan organ tubuh yang dikenai adalah kulit maka
dalam hal tertentu kosmetik itu akan mengakibatkan reaksi-reaksi dan
21
perubahaan faal kulit tersebut.
Menurut keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia No. HK.00.05.4.1745 tahun 2003 tentang Kosmetik,
dinyatakan bahwa definisi kosmetik adalah bahan atau sediaan yang
dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis,
rambut, kuku, bibir, organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut
terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan
memperbaiki bau badan atau melindungi dan memelihara tubuh dalam kondisi
baik. Hal tersebut berarti bahwa sesuatu dimasukkan ke dalam kosmetik jika
memenuhi maksud dan fungsi tersebut.
Kosmetik didefinisikan sebagai bahan/barang/sediaan yang diusapkan,
dituangkan, ditaburkan, atau disemprotkan pada, dimasukkan ke dalam, atau
diaplikasikan pada tubuh manusia untuk membersihkan, mempercantik, atau
meningkatkan penampilan/ daya tarik atau untuk mengubah penampilan.
Diantara produk yang masuk ke dalam definisi tersebut adalah skin
moisturizer, parfum, lipstick, cat kuku, rias mata dan wajah, shampo,
pengeriting rambut, pewarna rambut, pasta gigi, deodorant, dan juga berbagai
bahan yang ditujukan untuk penggunaan sebagai komponen produk kosmetik.
b. Kosmetik Ramah Lingkungan
Memberikan definisi terhadap green cosmetics atau kosmetik ramah
lingkungan tidak mudah, karena belum ada kesepakatan, baik tentang
definisinya maupun kriterianya yang pasti (Heino, 2012). Akan tetapi, secara
22
umum kosmetik ramah lingkungan terbuat dari bahan alam dan dibuat dengan
cara yang tidak merusak lingkungan. Sertifikasi produk ramah lingkungan,
khususnya kosmetik, juga berbeda di setiap negaranya, sehingga suatu produk
yang telah diakui sebagai produk ramah lingkungan di suatu negara bisa tidak
memenuhi standar kualifikasi di negara lainnya. Selain itu ada juga beberapa
produk yang disebut nature oriented, yaitu produk yang dibuat dengan cara-cara
yang sebisa mungkin menjaga lingkungan tetapi tidak semuanya memenuhi
standar kualifikasi ramah lingkungan.
Persayaratan kosmetik ramah lingkungan bukan hanya pada bahan baku,
tetapi keseluruhan rencana dan proses pengembangan. Keseluruhan proses di
sini termasuk juga kemasan yang harus menggunakan bahan yang bisa di daur
ulang. Hal penting lainnya yang berhubungan dengan kosmetik ramah
lingkungan adalah tidak adanya bahan baku, proses pengembangan ataupun
produk yang diujikan pada hewan (Heino, 2012).
Sertifikasi ramah lingkungan merupakan cara untuk memberi label apakah
suatu produk bisa dinamai dengan ramah lingkungan atau tidak. Belum ada
sistem sertifikasi yang terpadu di seluruh dunia dan antar negara bisa berbeda
satu dengan yang yang lainnya. Produsen juga bisa memilih mana lembaga
sertifikasi yang paling sesuai untuk mereka dan yang persyaratannya paling
mungkin untuk mereka penuhi.
Label ramah lingkungan berdasarkan lembaga yang memberikan
pengakuan, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1). Mandatory Labels
23
Mandatory label adalah label ramah lingkungan yang diberikan oleh
pemerintah atau lembaga resmi yang ditunjuk. Baik lembaga maupun
sertifikasi labelnya dilindungi oleh hukum. Contohnya adalah Bandar
Standardisasi Nasional (BSN) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
2. Voluntary Labels
Voluntary label adalah label ramah lingkungan yang diberikan oleh selain
pemerintah atau lembaga yang resmi ditunjuk. Jenis label ini dibedakan
lagi menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Label tipe I yaitu label ramah lingkungan yang disertifikasi oleh pihak
ketiga dan digunakan di dalam satu negara ataupun wilayah. Pihak
ketiga disini maksudnya adalah lembaga yang bukan bagian dari
pemerintah yang berwenang. Pihak ketiga ini contohnya adalah
International Organic and Natural Cosmetics Corporation (IONCC)
yang berbasis di Jerman.
b. Label tipe II adalah label ramah lingkungan yang tidak mempunyai
sertifikasi resmi, tetapi berdasarkan pengakuan sendiri dan kadang-
kadang dilihat sebagai bagian dari pengiklanan.
c. Label tipe III yaitu label yang hanya memuat simbol pengelolaan
lingkungan, seperti jenis plastik yang digunakan untuk kemasan.
(Horne, 2009)
Ketiga jenis dari label ramah lingkungan ini dapat diterima, karena belum
adanya kesepakatan dan standar baku untuk kosmetik ramah lingkungan
(Korink, 2012)
24
Beberapa badan sertifikasi kosmetik ramah lingkungan di seluruh dunia
adalah sebagai berikut.
1) International Organic and Natural Cosmetics Corporation (IONCC)
IONCC yang mengeluarkan BDIH standard adalah badan sertifikasi
dari Jerman untuk kosmetik alam. IONCC mempunyai aturan yang
ketat sebagai persyaratan suatu produk disebut kosmetik alam atau
kosmetik ramah lingkungan. Berdasarkan standar BDIH beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi antara lain, bahan baku harus berasal
dari lahan pertanian organik dan dikumpulkan dengan cara yang tidak
merusak lingkungan, tidak diperbolehkan menguji produk
menggunakan hewan ataupun menggunakan bahan baku hewan
vertebrata yang sudah mati dan tidak diizinkan untuk menggunakan
rekayasa genetik. BDIH juga melarang penggunaan bahan sintetik di
dalam kosmetik yang mereka uji.
2) Profesional Association for Ecological and Organic Cosmetics.
Profesional Association for Ecological and Organic Cosmetics adalah
lembaga Perancis yang mengeluarkan sertifikasi yang disebut
Cosmebio. Tujuan utama Cosmebio adalah untuk mempopulerkan
penggunaan kosmetika alam dan mempromosikan nilai-nilai
lingkungan, mendukung pertanian organik dan memberikan kepastian
bahwa kosmetik aman digunakan. Seperti badan sertifikasi lainnya,
Cosmebio juga mensyaratkan bahan baku harus berasal dari pertanian
organik tidak menggunakan bahan baku yang merusak alam.
25
3) Ecocert
Ecocert adalah badan sertifikasi Perancis lainnya untuk kosmetik alam
ramah lingkungan. Badan sertifikasi ini tidak hanya menguji kosmetik,
tetapi juga makanan dan produk tekstil. Ecocert adalah salah satu
badan sertifikasi yang paling dihormati karena dedikasinya untuk
produk ramah lingkungan di Eropa dan seluruh dunia. Persyaratan
utama yang diajukan oleh Ecocert juga menyangkut bahan baku yang
diperoleh dari pertanian ramah lingkungan dan cara-cara yang
digunakan dalam melakukan proses produksi.
4) Natrue
Kosmetik ramah lingkungan berdasarkan standar Natrue adalah harus
terbuat dari bahan baku yang alami, dan penggunaan bahan tambahan
yang bukan alami dalam proses produksi harus dipastikan tidak
memberikan pengaruh terhadap produknya sendiri. Natrue juga
memperbolehkan penggunaan bahan baku yang sudah lolos standar
ISO 9235.
5) AIAB
Association Working in Favor of Organic Farming adalah lembaga
sertifikasi kosmetik alam dari Italia. Tujuan dari sertifikasi ini adalah
untuk mendukung penggunaan bahan baku organik dan melarang
penggunaan bahan yang bisa memicu alergi atau membahayakan
kesehatan. Faktor ramah lingkungan dan manajemen polusi di dalam
proses produksi dan distribusi juga sangat diperhatikan dalam standar
26
AIAB. (Heino, 2012)
Di Indonesia, Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan Lembaga Ekolabel
Indonesia (LEI) yang bertanggung jawab terhadap sertifikasi produk di
Indonesia belum memberikan definisi yang jelas terhadap produk-produk ramah
lingkungan, termasuk kosmetik. BSN sudah menetapkan 10 Standar Nasional
Indonesia (SNI) kriteria untuk produk ekolabel tetapi tidak ada satupun untuk
kosmetik. (Suminto, 2011)
Akan tetapi, persyaratan atau kriteria untuk sebuah produk dikatakan
ekolabel dapat dilihat berdasarkan prosedur pengajuan sertifikasi ekolabel yaitu
antara lain:
1) Aspek Prasyarat
Penataan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup, telah lolos uji penerapan sistem
manajemen lingkungan SNI 19-14001/ISO 14001 dan memiliki
sertifikasi penerapan sistem manajemen mutu SNI 9001/ISO 9001.
2) Bahan
Bahan baku harus berasal dari pertanian organik dan bahan kimia
penolong harus memiliki daya biodegradasi minimal 90%.
3) Aspek Sosial
Melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk
mewujudkan masyarakat sekitar perusahaan/industri yang kondusif
dan ikut menjaga citra perusahaan.
Bersadarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dapat diterima
27
secara umum bahwa kosmetik ramah lingkungan dibuat dengan menggunakan
bahan-bahan alami yang ditanam dengan sistem pertanian yang baik dan dibuat
dengan proses yang tidak merusak alam. Berhubung di Indonesia belum ada
produk yang sudah diberi label ramah lingkungan, maka dalam penelitian ini
digunakan produk nature oriented yaitu produk yang sebisa mungkin dibuat dari
bahan alami dan dengan cara-cara yang menjaga lingkungan tetapi belum
memperoleh sertifikat ramah lingkungan, dan produk dengan label ramah
lingkungan tipe II, yaitu label ramah lingkungan yang berasal dari pengakuan
sendiri.
G. Landasan Teori
Pengambilan keputusan oleh konsumen merupakan suatu cara dan proses
yang dilakukan dalam usaha memenuhi kebutuhan. Dalam membeli suatu produk,
konsumen dihadapkan pada ketersediaan pilihan berbagai macam produk sejenis,
antara produk X dan produk Y (Schiffman & Kanuk, 2004), sehingga konsumen
akan melakukan penilaian terhadap produk-produk tersebut sebelum melakukan
pembelian. Nilai produk di mata konsumen akan sangat bergantung kepada
informasi yang dimiliki konsumen dan tingkat afeksi terhadap produk yang
muncul berdasarkan informasi tersebut. Lebih jauh lagi, pengambilan keputusan
konsumen merupakan suatu proses yang melewati tahapan-tahapan problem
recognition, information search, evaluation of product alternatives, outlet
selection and purchase, dan postpurchase processes (Hawkins & Mothersbaugh,
2010).
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah semakin
28
banyaknya ketersediaan produk-produk ramah lingkungan ataupun produk-produk
yang melabeli diri dengan ramah lingkungan seiring dengan pemberitaan dan
pembahasan masalah degradasi lingkungan yang semakin memburuk, khususnya
kosmetik ramah lingkungan. Dalam hal ini kosmetik ramah lingkungan akan
menjadi suatu pilihan baru bagi konsumen. Konsumen dihadapkan pada masalah-
masalah lingkungan dengan kosmetik ramah lingkungan sebagai salah satu solusi
untuk mengurangi atau mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut. Melalui
pemaknaan terhadap isu-isu lingkungan berdasarkan informasi yang diterima,
maka ada kemungkinan konsumen akan membeli kosmetik ramah lingkungan,
sebagai bentuk dari perilaku peduli lingkungan. Konsumen yang membeli
kosmetik ramah lingkungan karena dipengaruhi intensi peduli lingkungan disebut
dengan green consumer (Shrum dkk, 1995).
Perilaku peduli lingkungan diprediksi berdasarkan sikap terhadap
lingkungan (Tanner, 1999). Perilaku dan sikap dihubungkan oleh intensi, sehingga
dapat dikatakan bahwa perilaku peduli lingkungan terbentuk dari intensi peduli
lingkungan yang dimiliki oleh konsumen.
Menurut Theory of Planned Behavior, intensi merupakan niat atas
keyakinan seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Sesuai dengan teori
perilaku terencana tersebut, intensi merupakan fungsi dari tiga aspek, di mana
ketiga aspek tersebut melatarbelakangi seseorang untuk akhirnya mempunyai niat
melakukan suatu perilaku peduli lingkungan.
Aspek pertama adalah sikap terhadap intensi peduli lingkungan. Sikap
dapat terbentuk dari hasil pembelajaran dan pengalaman seseorang terhadap
29
lingkungannya. Pembelajaran yang dimaksud adalah ketika seseorang dihadapkan
dengan permasalahan sehari-hari yang berhubungan dengan lingkungan, individu
tersebut akan memberikan evaluasi terhadap apa yang dirasakannya. Hasil
evaluasi tersebut bisa positif atau negatif tergantung apakah individu tersebut
merasa nyaman atau tidak dengan kondisi lingkungannya.
Aspek kedua adalah norma subyektif. Intensi peduli lingkungan akan
terbentuk apabila ada pengaruh dari sekitarnya ataupun adanya norma-norma yang
melekat. Adanya anggota keluarga atau teman-teman di lingkungan sosial yang
berperilaku peduli lingkungan, dan adanya himbauan-himbauan dari pakar
lingkungan, organisasi peduli lingkungan atau acara-acara bertema lingkungan di
sekitar individu dapat menjadi acuan dan memberikan pengaruh kuat dalam
menghasilkan intensi peduli lingkungan pada seseorang.
Aspek ketiga adalah kontrol perilaku. Setelah adanya pembelajaran baik
secara individual maupun berdasarkan informasi yang diterima dari lingkungan
sekitar, maka seseorang pada akhirnya akan mengetahui langkah-langkah yang
dapat dia lakukan untuk merealisasikan bentuk kepeduliannya terhadap
lingkungan. Semakin luas pengetahuan yang ia miliki dan semakin besar individu
tersebut meyakini bahwa dia memiliki kemampuan untuk mewujudkan suatu
kepedulian lingkungan, maka hal ini akan berpengaruh kuat membentuk intensi
peduli lingkungan pada individu tersebut.
Dari ketiga aspek tersebut, aspek kontrol perilaku memberikan sumbangan
terbesar dalam membentuk intensi peduli lingkungan (Anantama, 2009). Kontrol
perilaku juga memiliki kemampuan untuk memprediksi perilaku secara langsung.
30
Ajzen (2005) menggambarkan kontrol perilaku mempunyai dampak motivasi
dalam memperkirakan suatu perilaku. Seseorang yang meyakini bahwa dirinya
tidak memiliki kesempatan ataupun sumberdaya untuk melakukan sesuatu, tidak
akan mempunyai niat yang kuat atau melakukan perilaku tersebut, meskipun
mereka memiliki sikap dan keyakinan yang kuat bahwa hal tersebut adalah baik
(Ajzen, 2005).
H. Hipotesis
1. Sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku peduli lingkungan mempunyai
pengaruh yang nyata terhadap pengambilan keputusan konsumen dalam
memilih kosmetik ramah lingkungan.
2. Kontrol perilaku memberikan pengaruh paling besar terhadap pengambilan
keputusan konsumen dalam memilih kosmetik ramah lingkungan.