sosial budaya ekonomi orde aru
-
Upload
yusufislamy -
Category
Documents
-
view
310 -
download
11
description
Transcript of sosial budaya ekonomi orde aru
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa Orde Baru merupakan sebutan atau istilah bagi masa pemerintahan
Soeharto. Banyak peristiwa yang terjadi mengisi lembar-lembar sejarah pada masa
tersebut. Tahun-tahun pertama pemerintahan Orde Baru memberi angin segar pada
kehidupan demokrasi. Tatanan perikehidupan berbangsa dan bernegara RI yang
diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Berbagai
kebijakan yang dikeluarkan seakan menjanjikan harapan kehidupan yang lebih baik
dari sebelumnya.
Pada awal peralihan kekuasaan dari masa Demokrasi Terpimpin ke masa Orde
Baru, Indonesia mengalami inflasi yang membuat rasa ketidakpercayaan rakyat
semakin memuncak. Indonesia pun terkucilkan akibat keluarnya Indonesia dari PBB
pada 7 Januari 1965. Akibat masa Demokrasi Terpimpin tersebut, maka pada masa
Orde Baru dibuat kebijakan baru mengenai tatanan sosial, budaya, dan ekonomi.
B. Rumusan Masalah
Hal-hal yang dibahas pada makalah ini ialah :
a. Apa saja kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru dalam bidang sosial,
budaya, dan ekonomi?
b. Bagaimana kebijakan tersebut berlaku di masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
Adapun makalah ini dibuat bertujuan untuk:
a. Mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru dalam
bidang sosial, budaya, dan ekonomi.
b. Mengetahui bagaimana kebijakan yang dikeluarkan dengan pelaksanaan
yang terjadi di masyarakat
1
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun agar dapat berfungsi sebagai bahan belajar untuk
membimbing siswa-siswa lain untuk lebih memahami dan mengerti mengenai perihal
kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru, khususnya dalam bidang sosial,
budaya, dan ekonomi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Membahas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa Orde Baru
tidak lepas dari bagaimana pemerintahan Orde Baru tersebut terbentuk dan alasan
mengapa kebijakan tersebut dibuat.
Orde Baru merupakan sebutan bagi masa pemerintahan Soeharto.
Pemerintahan ini lahir secara situasional setelah peristiwa Gerakan 30 September
1965 yang dilakukan oleh PKI. Sejak adanya upaya penumpasan pemberontakan G
30 S/PKI, kaum intelektual, sejumlah tokoh ABRI, dan rakyat yang jenuh terhadap
kondisi kehidupan pada masa Ode Lama, bersama-sama berjuang menata kembali
kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai pada pelaksaan Pancasila dan UUD
1945.
Masa pemerintahan Orde Baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah
Sebelas Maret atau yang biasa disebut Supersemar. Supersemar sendiri merupakan
langkah akhir dari Soekarno akibat tuntutan dari rakyat yang tidak puas dengan
kebijakan Soekarno. Soekarno saat itu belum mau menindak PKI secara tuntas.
Rakyat pun mengajukan Tritura atau Tri (Tiga) Tuntutan Rakyat yang menyatakan
bahwa rakyat menuntut agar pemerintah membubarkan PKI; membubarkan kabinet,
dan menurunkan harga barang.
Dalam menyikapi hal tersebut, pada 11 Maret 1966, diadakan sidang pleno
Kabinet Dwikora yang Disempurnakan di Istana Negara Jakarta. Akibat dari
‘pasukan tak dikenal’ yang berkeliaran di sekitar Istana, demi keselamatan, Presiden
Soekarno meninggalkan sidang dan berlindung di Istana Bogor.
Seusai sidang, 3 bawahan Soharto melaporkan situasi kepada Soeharto yang
sedang sakit. Soeharto pun mengutus ketiga bawahannya untuk menyampaikan
pada Soekarno bahwa Soeharto sanggup mengatasi keadaan tersebut apabila
Soekarno mempercayakan hal ini kepada dirinya.
Setelah diadakan perundingan dengan Waperdam I Dr. Soebandrio, Waperdam
III Chaerul Saleh, serta Ajudan Presiden, Brigjen Sabur, Soekarno pun setuju untuk
memberi surat perintah kepada Soeharto.
3
Dikarenakan dibuat pada tanggal 11 Maret, surat perintah tersebut dikenal
dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret atau biasa disebut Supersemar.
Surat Perintah Sebelas Maret tersebut berisikan bahwa presiden memberi
mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan
Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam
menjalankan tugasnya, penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu
kepada presiden.
Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada
kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan
pemerintahan. Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya
kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan
keamanan dan membubarkan PKI.
Muncullah konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara
Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan. Konflik Dualisme inilah yang membawa
Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena akhirnya Sukarno mengundurkan
diri dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Suharto.
Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa
untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto
sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut
kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden
Sukarno. Tanggal 12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden
Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan
dimulainya kekuasaan Orde Baru. Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS
mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Hal yang dipermasalahkan pada awal masa Orde Baru tentunya ketidakstabilan
politik dan ekonomi.
Berikut kondisi ekonomi yang dihadapi pada masa awal orde baru yang
ditimbulkan oleh masa orde lama:
1. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga
struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.
4
2. Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian) menghadapi
persaingan di pasaran internasional, misalnya karet alam dari Malaysia, gula
tebu dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika),
sehingga devisa negara sangat rendah dan tidak mampu mengimpor bahan
kebutuhan pokok masyarakat yang saat itu belum dapat diproduksi di dalam
negeri.
3. Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang industri,
sehingga industri dalam negeri kurang berkembang.
4. Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun
1960-an hanya mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari
pendapatan rata-rata penduduk India, Bangladesh, dan Nigeria saat itu.
5. Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain
pertumbuhan penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun
1950-an).
6. Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
7. Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam keadaan yang
sangat merosot. Tingkat inflasi telah mencapai angka 65% dan sarana
ekonomi di daerah-daerah berada dalam keadaan rusak berat karena ulah
kaum PKI/BTI yang saat itu berkuasa dan dengan sengaja ingin
mengacaukan situasi ekonomi rakyat yang menentangnya.
Pemerintahan Orde Baru mulai membenahi kondisi pada masa Orde Baru.
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik, langkah selanjutnya adalah
melaksanakan Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional yang selalu
dikumandangkan tidak terlepas dari Trilogi Pembangunan.
Bunyi Trilogi Pembangunan itu ialah :
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3. Stabilitas Nasional yang sehat dan dinamis.
Dalam rencana pembangunan nasional tersebut tercantum jalur pemerataan
yang mencakup dalam bidang sosial, budaya, dan ekonomi.
5
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kehidupan Bidang Sosial-Budaya Bangsa Indonesia Masa Orde Baru
Masa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses
untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dalam bidang sosial-budaya, terdapat
berbagai macam kemajuan maupun kemunduran. Berikut kehidupan sosial-budaya
Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru.
a. Sektor Kependudukan
Kebijakan yang dilakukan berkaitan dengan peningkatan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat, yang berupa Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu sampai di tingkat desa atau RT.
Kemudian program keluarga berencana (KB) mampu menekan laju
pertumbuhan penduduk. Kebijakan ini berjalan dengan baik.Hasilnya, di
mana selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai
2,3% setiap tahun, pada tahun tahun awal 1990-an angka tadi dapat
diturunkan menjadi sekitar 1,6% setiap tahun.
Jika awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup
rata-rata sekitar 50 tahun maka pada tahun 1990-an harapan hidup lebih
dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama angka kematian bayi menurun
dari 142 untuk setiap 1000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1000
kelahiran hidup.
Kemudian dalam pemerataan penduduk, program transmigrasi yang
digalakkan mampu mengatasi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan
membuka lahan-lahan baru di luar Pulau Jawa.
b. Sektor Pendidikan
Ada beberapa kebijakan pokok untuk meningkatkan mutu pendidikan
pada masa orde baru, yaitu :
1. Relevansi Pendidikan,
Relevansi Pendidikan ialah penyesuaian isi pendidikan dengan
kebutuhan pembangunan terhadap sumber daya manusia yang
diperlukan.
6
Tekniknya adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau
”kejar”. Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi
kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tujuannya,
mereka akan mampu membaca serta menulis huruf dan angka Latin.
Keberhasilan program kejar salah satunya terlihat dari angka
statistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971,
dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1
persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf.
Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu
menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun
1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.
2. Pemerataan Pendidikan.
Sejak pelita I disadari pentingnya memberikan kesempatan yang
sama dan lebih luas tentang pendidikan untuk semua warga negara.
Kebijakan pemerataan dan perluasan pendidikan dilaksanakan melalui
wajib belajar Sekolah Dasar. Tiga hal yang cukup populer di
masyarakat adalah program wajib belajar, pembangunan SD inpres,
dan pembentukan kelompok belajar atau kejar.
Dengan mencanangkan “wajib belajar 9 tahun”, termasuk juga
yang tak kalah populer adalah dibukanya program SD Inpres untuk
daerah-daerah terpencil dan terisolir diberbagai belahan daerah di
Indonesia.
Sebelum program Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun
1968 sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada awal
Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung
SD dan 20.000 gedung SMP. Pelaksanaan tahap pertama program SD
inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing
memiliki tiga ruang kelas. Ketika itu Indonesia baru saja mendapat
limpahan dana hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik
sekitar 300 persen dari sebelumnya. Uang itu kemudian digunakan
untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, salah
satunya pendidikan.
Pada tahun-tahun awal pelaksanaan program SD inpres, hampir
setiap tahun, ribuan hingga puluhan ribu gedung sekolah dibangun.
7
Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika
22.600 gedung SD baru dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat
hampir 150.000 unit SD inpres telah dibangun. Seiring dengan
pembangunan gedung SD inpres tersebut, ditempatkan pula satu juta
lebih guru inpres di sekolah-sekolah itu. Total dana yang dikeluarkan
untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I
mencapai hampir Rp 6,5 triliun.
3. Peningkatan Mutu Guru atau Tenaga Kependidikan
Kebijakan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan
meningkatkan kualitas guru lewat projek peningkatan mutu guru yang
dilakukan dengan model pelatihan guru yang sangat terencana mulai
dari teori, praktik sampai on the job training di sekolah-sekolah masing-
masing. Mereka yang dilatih di pusat menjadi guru inti, yang bertugas
mengembangkan pelatihan bagi para guru di daerah masing-masing.
Proses ini, berhasil melatih dan meningkatkan kualitas kemampuan
professional ribuan guru. Sayangnya, ketika beberapa tahun proyek
telah usai dan evaluasi dilakukan oleh lembaga independen,
kesimpulan sangat menarik. Yakni, pelatihan telah berhasil
meningkatkan kualitas profesional guru tetapi tidak berhasil
meningkatkan mutu siswa. Karena peningkatan kualitas kemampuan
professional guru belum menjamin peningkatan kualitas pembelajaran.
4. Mutu pendidikan.
Dalam upaya peningkatan mutu sekolah di era orde baru juga
menekankan ketersediaan fasilitas, seperti pergedungan dan ruang
kelas, laboratorium, dan buku teks disamping pembaharuan kurikulum.
5. Pendidikan Kejuruan
Kesempatan memperoleh pendidikan hanya terbatas pada tingkat
Sekolah Dasar. Dan lagi, tingkat Relevansi pendidikan dengan
kebutuhan rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan
yang menganggur. Data BAPPENAS yang dikumpulkan sejak 1990
menunjukan angka penganggur terbuka yang di hadapi oleh lulusan
SMU sebesar 25,47 %, Diploma sebesar 27,5 % dan PT sebesar 36,6
%. Sedangkan pada priode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4 %,
14,21 %, dan 15,07 %.
8
Pemerintah Orde Baru juga Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
(GNOTA) dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan. GNOTA atau
Gerakan Nasional Orang Tua Asuh merupakan suatu gerakan untuk
membantu siswa kurang mampu dengan sistem asuhan. Asuhan di sini
maksudnya ialah adanya suatu siswa yang dibantu secara finansial dalam
bidang pendidikan. GNOTA memungkinkan siswa kurang mampu agar bisa
bersekolah sehingga tercipta masyarakat yang berkualitas.
c. Sektor Kesenian
Dalam peningkatan dan pengembangan seni nasional, segala usaha
dan kegiatan diarahkan kepada usaha yang dapat memperkuat kepribadian
nasional, kebanggaan serta kesatuan nasional.
Berdasarkan pola umum kebijaksanaan seni, maka selama Pelita I
terlihat dibangun pusat-pusat seni. Dilakukan pula restorasi candi dan
rehabilitasi gedung museum.
Dalam Pelita II empat langkah penting telah diambil oleh pemerintah
yakni peningkatan usaha penyelamatan pemeliharaan dan penelitian
warisan sejarah budaya nasional serta budaya daerah, pengembangan
pendidikan budaya dan seni, pengembangan bahasa dan sastra, dan
pengembangan pembukuan dan majalah pengetahuan seni.
d. Etnis Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967,
warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung
juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan
pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas China indonesia terutama dari komunitas
pengobatan China tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis
dengan bahasa mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan
akhirnya Jaksa Agung indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa China indonesia bejanji tidak menghimpun kekuatan untuk
memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi penghormatan bagi Ikatan
Naturopatis Indonesia ( I.N.I ) yang anggota dan pengurus ya pada waktu itu
9
memperjuangkan hal ini demi masyarakat China indonesia dan kesehatan
rakyat indonesia. Hingga China indonesia mempunyai sedikit kebebasan
dalam menggunakan bahasa Mandarin.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit
adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer indonesia dalam hal ini
adalah ABRI meski beberapa orang China indonesia bekerja juga di sana.
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu
kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah
Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan
oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi
memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan
dirinya.
B. Kehidupan Bidang Ekonomi Bangsa Indonesia Masa Orde Baru
Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya
mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi
unit-unit ekonomi swasta.
Sehingga, pada permulaan Orde Baru, program pemerintah berorientasi
pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan
tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok
rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal
tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun.
Untuk menyelamatkan kehidupan ekonomi yang terpuruk pada saat masa
Demokrasi Terpimpin, pemerintah Orde Baru menempuh cara Stabilisasi dan
Rehabilitasi Ekonomi. Di mana cara tersebut berupa:
1. Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan
Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan.
10
2. MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program
penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitasi, serta program
pembangunan.
3. Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi
nasional terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus.
Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan
prasarana ekonomi.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet AMPERA mengacu pada Tap MPRS
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang
menyebabkan kemacetan, seperti :
-rendahnya penerimaan negara
-tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara
-terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
-terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
-penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada
kebutuhan prasarana.
2. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka
ditempuh cara:
- Mengadakan operasi pajak
- Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan
kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
- Penghematan pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan
rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan negara.
- Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana
yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
11
Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah meliputi beberapa hal, yaitu :
a. Kebijakan terkait APBN
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak
mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada
masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga
mendukung terjadinya stabilitas ekonomi.
Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada
akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk
disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa itu seharusnya diberlakukan atas dasar kebijakan
prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan
anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara
penerimaan dan pengeluaran. Tetapi, pada masa itu pinjaman luar negeri
selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan
pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada
anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut
adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran
di masa yang akan datang.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena
anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal,
konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan
penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan
pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu
penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit
anggaran.
Memang kebijakan tersebut cukup meyakinkan terhadap ekonomi
makro, seperti investasi asing terus meningkat, sumber pendapatan
bertambah dari perbaikan sistem pajak, produktivitas industri yang
mendukung ekspor non-migas juga meningkat. Namun hutang
Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar.
12
Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa
pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan
pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.
Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Pemerintahan
Orde Baru runtuh.
Pemerintahan Orde Baru membangun ekonomi hanya berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi tanpa
memperhatikan pondasi ekonomi yang memberikan dampak sebagai
berikut:
a) Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia,
sebagai salah satu faktor produksi, tidak disiapkan untuk
mendukung proses industrialisasi.
b)
c) Barang – barang impor (berasal dari luar negeri) lebih banyak
digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri sehingga
industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor
tersebut.
d) Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah
Indonesia dan ke seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya
sedikit elit politik dan birokrat serta pengusaha – pengusaha Cina
yang dekat dengan kekuasaan saja yang menikmati hasil
pembangunan.
b. Penanganan Utang
Mengacu pada banyaknya pinjaman utang Indonesia pada masa Orde
Lama, Pemerintah melakukan upaya perundingan. Keadaan ekonomi
Indonesia pasca Orde Lama sangat parah, hutangnya mencapai 2,3-2,7
miliar sehingga pemerintah Indonesia meminta negara-negara kreditor untuk
dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia.
Pemerintah mengikuti perundingan dengan negara-negara kreditor di
Tokyo Jepang pada 19-20 September 1966 yang menanggapi baik usaha
pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya akan digunakan untuk
pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-
bahan baku.
13
Perundingan dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan
bahwa utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda
pembayarannya hingga tahun 1972-1979.
Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970
dipertimbangkan untuk ditunda juga pembayarannya.
Perundingan dilanjutkan di Amsterdam, Belanda pada tanggal 23-24
Februari 1967.
Perundingan itu bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan
bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat
lunak yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Inter Governmental Group for
Indonesia). Melalui pertemuan itu pemerintah Indonesia berhasil
mengusahakan bantuan luar negeri. Indonesia mendapatkan penangguhan
dan keringanan syarat-syarat pembayaran utangnya.
Meskipun begitu, Indonesia tetap tidak berhenti untuk melakukan
pinjaman. Hingga pada akhir masa Orde Baru seperti yang sudah dibahas
sebelumnya, pinjaman Indonesia justru membengkak menjadi US$ 70,9
milyar.
c. Sektor Pembangunan
Dalam upaya pembangunan dalam bidang ekonomi, pemerintahan
Orde Baru merencanakannya dengan baik. Program pembangunan nasional
berencana Indonesia terbagi ke dalam tiga langkah strategis, yaitu :
1) Pembangunan Jangka Panjang (PJP) yang meliputi tenggang
waktu antara 25-30 tahun.
2) Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang di program setiap lima
tahun sekali dan merupakan bagian dari pembangunan jangka
panjang.
3) Pembangunan tahunan yang dilaksanakan tiap-tiap tahun
sebagai bagian dari Pelita.
Pemerintahan Orde baru telah melaksanakan PJP Tahap 1 sejak
April 1969 sampai 31 Maret 1944 dan merencanakan PJP tahap II dari 1
April 1994 sampai 31 Maret 2019.
14
Sasaran pembangunan ekonomi yang telah dan akan dilaksanakan
dalam PJP Tahap I dan Tahap II adalah sebagai berikut :
a) PJP Tahap I ialah ingin mencapai keseimbangan antara bidang
pertanian dan bidang industri serta memenuhi kebutuhan pokok
rakyat.
b) PJP Tahap II ialah ingin meningkatkan sumber daya manusia
dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, serta
sejahtera lahir dan batin.
Sedangkan untuk program Pelita, program Sasaran pembangunan
dirumuskan secara sederhana dalam Repelita ini yaitu:
a) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Menekankan pada pembangunan bidang pertanian.
Tujuan Pelita I ialah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap
berikutnya.
Sedangkan sasaran Pelita I ialah pangan, pandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani.
Pelita I ini dititikberatkan pada pembangunan bidang pertanian
sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi
melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas
penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Pada saat Pelita I berjalan, mucul peristiwa Marali (Malapetaka
Limabelas Januari) yang terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1974.
Penyebab masalah ini adalah kedatangan PM Jepang Tanaka ke
Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para
mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi
ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak
beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-
barang buatan Jepang.
15
b) Pelita II (1 April 1974– 31 Maret 1979)
Sasaran dari Pelita II ini masih relatif sama dengan sasaran dari
Pelita I, yaitu tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan
prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan
kerja.
Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil. Pertumbuhan ekonomi pada
saat itu rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan
Orde Baru laju inflasi mencapai 60%, pada akhir Pelita I laju inflasi
turun menjadi 47%, selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi
turun menjadi 9,5%.
c) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Menekankan pada Trilogi Pembangunan, dalam segi pemerataan.
Biasa disebut delapan jalur pemerataan yang meliputi :
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya
sandang, pangan, dan perumahan.
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan.
Pemerataan pembagian pendapatan.
Pemerataan kesempatan kerja.
Pemerataan kesempatan berusaha.
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan,
khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan.
Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah.
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
d) Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Menitik beratkan sektor pertanian menuju swasembada pangan
dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri
sendiri.
e) Pelita V ( 1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
f) Pelita VI
16
Masih menitikberatkan pembangunan pada sektor bidang
ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya.
Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas
Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun
rusak.
Pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan Nasional berencana
Indonesi sejak tahun 1969-1997 (Pelita I sampai pertengahan Pelita VI)
digambarkan sebagai berikut:
1) Naiknya produksi dan jasa di segala bidang.
2) Naiknya pendapatan dan kemakmuran sebagian besar rakyat
Indonesia.
3) Meningkatnya kemampuan negara dalam menghimpun dana,
baik dari dalam maupun luar negeri, seperti pajak, cukai, ekspor
migas dan non-migas.
4) Semakin bertambahnya sarana dan prasarana umum.
Program Pelita hanya berjalan hingga pertengahan Pelita VI
dikarenakan Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir
tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis
ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela.
Pembagunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil
kalangan masyarakat karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak
merata.
Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental
pembangunan ekonomi sangat rapuh. Kerusakan serta pencemaranterjadi
pada lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar
daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa
semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi
sosial).
Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa
diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan
17
berkeadilan. Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan
di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau,
Kalimantan Timur, dan Irian.
Faktor inilah yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya
perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997 membuat
perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya. Namun
pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi
pembangunan ekonomi selanjutnya.
d. Sektor Pertanian
Sektor pertanian merupakan sektor yang terbesar dalam ekonomi
Indonesia. Kurang lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sektor
pertanian, sedangkan 75% penduduk memperoleh penghidupan dari sektor
pertanian. Kedudukan yang menentukan dari sektor pertanian dapat dilihat
juga dari sumbangan penghasilan devisa negara. Lebih 60% dari ekspor
Indonesia berasal dari sektor pertanian. Sebagai sektor terbesar dalam
ekonomi Indonesia maka sektor pertanian merupakan landasan bagi setiap
usaha pembangunan.
Dikarenakan pertanian merupakan sektor yang terbesar, maka sektor ini
ditingkatkan terlebih dahulu. Salah satunya dengan jalan meningkatkan
produksi.
Pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian, seperti irigasi
dan perhubungan, cara-cara bertani dan teknologi pertanian yang baru
diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan-kegiatan
penyuluhan, penyediaan pupuk dengan membangun pabrik-pabrik pupuk.
Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.
Pemasaran hasil-hasil produksi mereka diberikan kepastian melalui
kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras oleh pemerintah (Badan
Urusan Logistik atau Bulog).
Kebijakan dalam sektor pertanian ini salah satunya merupakan kebijakan
Revolusi Hijau yang bermula dari hasil tulisan Thomas Robert Malthus yang
18
mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk berjalan lebih cepat
daripada pertumbuhan produksi pangan.
Oleh sebab itu, berbagai upaya meningkatkan produksi pangan
digalakkan melalui :
a) Pembukaan lahan pertanian baru.
b) Mekanisme pertanian.
c) Penggunaan pupuk-pupuk baru.
d) Pencarian metode yang tepat untuk memberantas hama tumbuhan.
Revolusi Hijau di Indonesia adalah gerakan penanaman tanaman
pangan yang dilakukan oleh masyarakat atas instruksi pemerintah. Hal itu
didasari oleh hal-hal berikut :
a) Kebutuhan penduduk yang meningkat pesat.
b) Tingkat produksi pertanian yang masih rendah.
c) Produksi pertanian belum mampu memenuhi kebutuhan penduduk.
Tujuan revolusi hijau adalah mengubah petani gaya lama (peasant)
menjadi petani gaya baru (farmers) dengan memodernisasikan pertanian
gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional.
Revolusi hijau ditandai dengan makin berkurangnya ketergantungan
petani terhadap cuaca dan alam karena adanya peningkatan peran iptek
dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Upaya pemerintah Orde Baru dalam mensukseskan revolusi hijau
adalah :
a) Intensifikasi pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca
Usaha Tani yang meliputi :
- Pemilihan Bibit Unggul
- Pengolahan Tanah yang baik
- Pemupukan
- Irigasi
- Pemberantasan Hama
b) Ekstensifikasi pertanian
19
Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan
pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi
lahan yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).
c) Diversifikasi pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan
pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan
karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas
sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.
d) Rehabilitasi pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya
pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta
daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan
menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator
lingkungan.
Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau:
a) Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
b) Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering
perkembangan teknologi dan komunikasi.
c) Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan
monokultur, yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.
d) Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul
yang diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya
cocok ditanam di lahan tertentu.
e) Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian
Padi Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang
bekerjasama dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih
dikenal dengan bibit IR.
f) Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital
dan komersialisasi.
g) Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan
pembagunan industri pupuk nasional.
h) Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD
(Koperasi Unit Desa).
20
Revolusi Hijau yang berjalan menimpulkan tidak hanya dampak positif,
tetapi juga dampak negatif. Berikut dampak dari Revolusi Hijau di Indonesia
pada masa Orde Baru:
a) Dampak positif
1) Memberikan lapangan kerja bagi petani dan buruh pertanian
2) Daerah yang semula hanya memproduksi secara terbatas dan
memenuhi kebutuhan minimal, dapat menikmati hasil yang lebih
baik.
3) Kekurangan bahan pangan dapat teratasi.
4) Sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga
perekonomian Indonesia dalam berbagai situasi.
b) Dampak negatif
1) Munculnya komersialisasi produksi pertanian.
2) Muncul sikap individualis dalam penguasaan tanah.
3) Terjadinya perubahan struktur sosial di pedesaan dan pola
hubungan antar lapisan petani di desa dimana hubungan antar
lapisan terpisah dan menjadi satuan sosial yang berlawanan
kepentingan.
4) Memudarnya sistem kekerabatan dalam masyarakat yang
awalnya menjadi pengikat hubungan antar lapisan
5) Muncul kesenjangan ekonomi karena pengalihan hak milik atas
tanah melalui jual beli.
6) Harga tanah yang tinggi tidak terjangkau oleh kemampuan
ekonomi petani lapisan bawah, sehingga petani kaya memiliki
peluang besar untuk menambah luas tanah.
7) Muncul kesenjangan sosial karena kepemilikan tanah yang
berbeda berakibat tingkat pendapatan yang berbeda pula.
8) Muncul kesenjangan dalam hal gaya bangunan dan gaya
berpakaian penduduk sebagai simbol identitas sosial.
9) Mulai ada upaya petani untuk beralih pekerjaan ke jenis yang
lain terkait dengan kemajuan teknologi.
Strategi yang mendahulukan pembangunan pertanian tadi telah berhasil
mengantarkan bangsa Indonesia berswasembada beras, menyebarkan
pembangunan secara luas kepada rakyat, dan mengurangi kemiskinan di
Indonesia.
21
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, produksi padi sangat
meningkat. Dalam tahun 1968 produksi padi mencapai 17.156 ribu ton dan
pada tahun 1992 naik menjadi 47.293 ribu ton yang berarti meningkat
hampir tiga kalinya.
Perkembangan ini berarti bahwa dalam periode yang sama, produksi
beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi
yang besar, khususnya di sektor pertanian, telah mengubah posisi Indonesia
dari negara pengimpor beras terbesar di dunia dalam tahun 1970-an
menjadi negara yang mencapai swasembada pangan sejak tahun 1984.
Kenyataan bahwa swasembada pangan yang tercapai pada tahun itu,
juga selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun terakhir Repelita V
tetap dapat dipertahankan.
e. Perubahan Struktur Lapangan Kerja
Lebih banyak tenaga kerja yang beralih dari lapangan usaha sektor
pertanian ke sektor usaha lainnya karena bertambahnya lapangan kerja baru
yang diciptakan. Selama periode tahun 1971 sampai dengan 1988
pertumbuhan tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih cepat dibandingkan
dengan pertumbuhan di sektor pertanian. Perubahan struktur tenaga kerja
tersebut telah pula membawa dampak terhadap cara hidup dan kebutuhan
hidup keluarga. Hal ini dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap pola
konsumsinya (adanya permintaan masyarakat yang meningkat).
f. Perkembangan Investasi
Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang senantiasa dilakukan
pemerintah di berbagai sektor ekonomi serta ditunjang adanya sarana
infrastruktur yang makin bertambah baik di daerah-daerah, akan membawa
iklim segar bagi investor baik dari dalam maupun luar negeri. Para investor ini
akan menanamkan modalnya di daerah dengan berbagai produk baik dalam
rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal
asing (PMA).
g. Perkembangan Ekspor
Perkembangan investasi (PMDN dan PMA) membawa dampak
terhadap produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan tersebut tidak
hanya ditujukan untuk pasaran dalam negeri, tetapi lebih banyak ditujukan
untuk ekspor (pasaran luar negeri).
22
Jenis barang yang dihasilkan industri dalam negeri setiap tahun
menunjukkan peningkatan baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana dapat
dilihat perkembangannya.
Sejak Repelita I, penerimaan dalam negeri yang bersumber dari
penerimaan nonmigas jauh lebih tinggi dari penerimaan migas. Namun,
setelah investor asing menanamkan modal di sektor perminyakan sekitar
tahun 1969/1970 (Repelita II) mulai terlihat hasil ekspor migas telah
meningkat lebih tinggi daripada penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan
dan bukan pajak).
Hingga tahun 1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan dalam
negeri sangat bertumpu pada hasil ekspor migas. Namun, saat terjadi krisis
ekonomi yang melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut telah
berdampak negatif terhadap tingkat harga minyak bumi di pasaran dunia.
Pasaran harga minyak bumi sejak terjadinya krisis ekonomi dunia tidak lagi
dapat diharapkan. Sejak itu harga minyak bumi telah anjlok dari 25,13 dolar
Amerika per barel dalam bulan Januari 1986 turun menjadi 9,83 dolar
Amerika per barel dalam bulan Agustus 1986. Anjloknya harga minyak bumi
di pasaran dunia telah memengaruhi penerimaan dalam negeri.
Dalam upaya memperbaiki keadaan ekonomi dan keuangan negara,
menteri keuangan RI pada tanggal 12 September 1986, telah mengambil
tindakan devaluasi rupiah terhadap nilai mata uang asing dan segera
mengubah struktur penerimaan dalam negeri dari ketergantungan pada
penerimaan migas beralih kepada penerimaan nonmigas. Dengan devaluasi
ini diharapkan komoditas nonmigas Indonesia akan meningkat karena dengan
perhitungan sederhana, devaluasi sebesar 45% barang (komoditas)
Indonesia akan lebih murah 45% bila dibeli dengan dolar Amerika Serikat.
Dengan demikian, barang-barang ekspor nonmigas Indonesia akan
mempunyai daya saing lebih kuat di pasaran internasional. Untuk
meningkatkan penerimaan dalam negeri dari sektor nonmigas, pemerintah
telah mengambil langkah-langkah khusus untuk menaikkan penerimaan dari
ekspor nonmigas, seperti kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi.
Sebaliknya, dengan devaluasi 45% ini berarti barang-barang impor
akan meningkat harganya 45% jika dibeli dengan rupiah. Berdasarkan
23
gambaran perhitungan sederhana ini, maka dampak devaluasi yang bisa
diharapkan adalah di satu pihak ekspor nonmigas akan meningkat, di lain
pihak impor akan berkurang. Dengan demikian, neraca pembayaran
Indonesia akan dapat dipertahankan pada tingkat yang sehat.
h. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
telah mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur
dengan Produksi Domestik Bruto (PDB). Tingkat pertumbuhan PDB selama
periode 1969–1989 yang diukur atas dasar harga yang berlaku maupun
menurut harga konstan menunjukkan adanya peningkatan.
Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1983 yang merupakan tahun
terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertumbuhannya sebesar 7,2% per tahun.
Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV yang
diukur dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi
daripada rata-rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan
dalam Repelita IV sebesar 5,0%.
Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang merupakan
tahun pertama pelaksanaan Pelita V (1989/1990–1993/1994) adalah 7,4%,
dan tahun 1990 sebesar 7,4% (tahun kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya
menunjukkan laju pertumbuhannya adalah tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun
1992 sebesar 6,3%, dan tahun 1993 yang merupakan tahun terakhir
pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Jadi, pertumbuhan ekonomi Pelita V
rata-rata adalah 6,9% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata
pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita V
sebesar 5,0%.
Repelita VI (1994/1995–1998/1999) yang merupakan tahapan
pembangunan lima tahun pertama dalam periode 25 tahun kedua
Pembangunan Jangka Panjang (PJP II), pertumbuhan ekonomi yang
direncanakan dalam Repelita VI adalah rata-rata 6,2% per tahun.
i. Keikutsertaan Indonesia dalam Berbagai Organisasi Internasional
Pemerintahan Indonesia masa Orde Baru aktif dalam beberapa
lembaga internasional, di mana ditekankan pada bentuk kerjasama yang
dijalin.
24
Kerjasama tersebut berupa kerjasama ekonomi seperti berikut ini:
a) Consultative Group on Indonesia (CGI)
Sebelum pemerintah Indonesia mendapat bantuan dana
pembangunan dari Consultative Group on Indonesia (CGI) terlebih
dahulu mendapat bantuan dana pembangunan dari Inter-
Governmental Group on Indonesia (IGGI).
Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) didirikan pada
tahun 1967. Tujuannya, memberi bantuan kredit jangka panjang
dengan bunga ringan kepada Indonesia untuk biaya pembangunan.
Anggota IGGI terdiri atas dua kelompok.
1) Negara-negara kreditor, seperti Inggris, Prancis, Belgia, Italia,
Swiss, Jepang, Belanda, Jerman Barat, Australia, Selandia
Baru, Amerika Serikat, dan Kanada.
2) Badan keuangan dunia baik internasional maupun regional,
seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia
(Asian Development Bank), Dana Moneter Internasional
(International Monetary Fund), dan Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE).
IGGI berpusat di Den Haag (Belanda). Ketua IGGI dijabat oleh
Menteri Kerja Sama Pembangunan Kerajaan Belanda.
Bantuan IGGI kepada Indonesia, antara lain berbentuk:
1) bantuan proyek,
2) bantuan program,
3) bantuan pangan,
4) bantuan teknik,
5) devisa kredit (devisa yang diperoleh dari pinjaman), dan
6) grant (sumbangan atau hadiah).
Bantuan IGGI kepada Indonesia ini diberikan setiap tahun.
Setiap tahun diselenggarakan sidang IGGI untuk membahas dan
mengevaluasi pelaksanaan pembangunan Indonesia sebagai dasar
pemberian bantuan tahun berikutnya.
Bantuan yang berbentuk pinjaman (devisa kredit) bersyarat
lunak dengan bunga berkisar 0–3% setahun dengan jangka waktu
angsuran berkisar 7–10 tahun.
25
Bantuan dari IGGI yang digunakan untuk pembangunan proyek-
proyek produktif dan kesejahteraan sosial itu, antara lain sebagai
berikut:
1) Bantuan teknik, umumnya tidak diterima dalam bentuk uang,
tetapi dalam bentuk bantuan tenaga ahli, peralatan
laboratorium, dan penelitian.
2) Grant digunakan untuk biaya berbagai macam keperluan
pembangunan,misalnya untuk membeli kapal angkutan laut.
3) Devisa kredit dan bantuan pangan digunakan untuk biaya
impor barang modal, bahan baku, dan bahan makanan.
4) Bantuan proyek digunakan untuk biaya pembangunan proyek
listrik, pembangunan telekomunikasi, pengairan, pendidikan,
kesehatan (program KB), dan prasarana lainnya.
5) Bantuan program digunakan untuk biaya penyusunan
program pembangunan.
Pada tanggal 25 Maret 1992, IGGI bubar sebab Indonesia
menolak bantuan Belanda yang dianggap terlalu banyak mengaitkan
pinjaman luar negerinya dengan masalah politik di Indonesia.
Sebagai penggantinya, pemerintah Indonesia meminta pada
Bank Dunia membentuk Consultative Group on Indonesia (CGI).
CGI mengadakan sidang pertama kali di Paris, Prancis tanggal
16 Juli 1992. Sidang dihadiri oleh 18 negara dan 10 lembaga
internasional yang dipimpin oleh Bank Dunia. Anggota CGI terdiri atas
negara-negara bekas anggota IGGI (kecuali Belanda) dan lembaga-
lembaga internasional.
Negara anggota CGI itu, antara lain:
1) Jepang, 10) Austria,
2) Korea Selatan, 11 Kanada,
3) Amerika Serikat, 12) Italia,
4) Prancis, 13) Spanyol,
5) Jerman, 14) Finlandia,
6) Inggris, 15) Swedia,
7) Swiss, 16) Norwegia, dan
8) Belgia, 17) Selandia Baru.
9) Denmark,
26
Lembaga internasional yang ikut dalam CGI, antara lain:
1) World Bank, 10) UNESCO,
2) ADB, 11) UNHCR,
3) UNDP, 12) IAEA,
4) WFP, 13) Mordic Invesment Bank,
5) UNFPA, 14) IFAD,
6) WHO, 15) IDB,
7) FAO, 16) UNICEF,
8) UNIDO, 17) Kuwait Fund, dan
9) ILO, 18) Saudi Fund.
b) Asia Pasific Economic Cooperation (APEC)
APEC merupakan forum kerja sama ekonomi negara-negara di
kawasan Asia dan Pasifik. APEC terbentuk pada bulan Desember
1989 di Canberra, Australia. Gagasan APEC muncul dari Robert
Hawke, Perdana Menteri Australia saat itu.
Latar belakang terbentuknya APEC adalah perkembangan
situasi politik dan ekonomi dunia pada waktu itu yang berubah dengan
cepat. Hal ini diikuti dengan kekhawatiran gagalnya perundingan
Putaran Uruguay (masalah perdagangan bebas). Apabila perdagangan
bebas gagal disepakati, diduga akan memicu sikap proteksi dari
negara-negara maju.
Indonesia, sebagai anggota APEC, mempunyai peranan yang
cukup penting. Dalam pertemuan di Seattle, Amerika Serikat (1993),
Indonesia ditunjuk sebagai Ketua APEC untuk periode 1994–1995.
Sebagai Ketua APEC, Indonesia berhasil menyelenggarakan
pertemuan APEC di Bogor pada tanggal 14–15 November 1994 yang
dihadiri oleh 18 kepala negara dan kepala pemerintahan negara
anggota. Sidang APEC di Tokyo tahun 1995, memutuskan bahwa era
perdagangan bebas akan mulai diberlakukan tahun 2003 bagi negara
maju dan 2010 bagi negara berkembang.
Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru
1. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan
pemerintah terencana dengan baik dan hasilnyapun dapat terlihat
secara konkrit.
27
2. Indonesia mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar
menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada
beras).
3. Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan
kesejahteraan rakyat.
Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru
1. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam
2. Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan,
antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.
3. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
4. Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN
5. Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh
sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat
dan tidak merata.
6. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa
diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan
berkeadilan.
7. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental
pembangunan ekonomi sangat rapuh.
8. Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di
sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar
seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilahh yang
selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional
Indonesia menjelang akhir tahun 1997.
28
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan Sosial-Budaya yang dilakukan pemerintah masa Orde Baru meliputi
sektor pertumbuhan penduduk, sektor pendidikan, dan mengenai warga Tionghoa
yang ada di Indonesia.
Pemerintah Orde Baru berhasil menangani masalah kependudukan dengan
kebijakan yang baik, tetapi mengenai penduduk Tionghoa pemerintah mengeluarkan
kebijakan yang melanggar hak-hak warga Tionghoa.
Sementara pada bidang ekonomi, terbagi dalam sektor pertanian, kebijakan
terkait APBN, penanganan utang, sektor pembangunan, dan sektor Industri.
Dalam bidang ekonomi tidak seluruhnya berhasil. Memang, pada
kenyataannya Indonesia berhasil mengatasi inflasi dan berhasi memperbaiki
kesejahteraan penduduk. Tetapi, pada akhirnya semua kebijakan itu berdampak
buruk bagi Indonesia.
Dampak tersebut meliputi utang Indonesia mencapai US$70,9milyar, ditambah
banyak KKN yang terjadi. Eksploitasi besar-besaran dalam rangka mengisi kas
negara pun berdampak kerusakan pada alam. Pembangunan pun tidak merata,
sehingga terjadi kesenjangan sosial.
B. Saran
Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintahan masa Orde Baru bisa diterapkan
untuk pembangunan jika tidak terjadi faktor luar semacam KKN. Tidak dapat
dipungkiri bahwa program Pelita sedikit demi sedikit mampu memperbaiki
perekonomian Indonesia. Kebijakan-kebijakan lain tersebut sebaiknya ditinjau ulang
dan diperbaiki sehingga dapat diterapkan kembali dengan hasil yang baik dan dapat
membawa Indonesia menjadi negara yang maju.
29
DAFTAR PUSTAKA
Kurnia, Anwar. 2007. Sejarah SMP Kelas IX. Jakarta:Yudhistira.
Mushtofa, Sh. 2009. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XII Program IPA. Jakarta: Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
http://24bit.wordpress.com/2010/03/30/perkembangan-bidang-sosial-budaya-pada-
masa-orde-baru/
http://akirawijayasaputra.wordpress.com/2010/03/31/persamaan-dan-perbedaan-
kebijakan-ekonomi-pada-masa-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/
http://andreaspaka.wordpress.com/2011/04/13/sistem-ekonomi-indonesia-orlam-
orba-%E2%80%93-reformasi/
http://debydeboo.wordpress.com/2011/03/24/sistem-ekonomi-indonesia-2/
http://sunarto-historia.blogspot.com/2010/07/indonesia-pada-masa-orde-baru.html
http://www.crayonpedia.org/mw/
BSE:Berakhirnya_Masa_Orde_Baru_dan_Lahirnya_Reformasi_9.2_(BAB_13)
30