BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitiandigilib.uinsgd.ac.id/2821/9/4_bab1.pdf · tersebut...
-
Upload
vuongkhanh -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitiandigilib.uinsgd.ac.id/2821/9/4_bab1.pdf · tersebut...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan disamping berfungsi
sebagai ibadah kepada Allah juga berfungsi sosial. Praktik wakaf yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan dengan
tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak
terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ketangan pihak
ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya
kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat
yang kurang perduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang
seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Fungsi dari wakaf adalah untuk mengkekalkan manfaat tanah yang
diwakafkan, hal demikian itu merupakan manisfestasi dari ajaran agama
Islam, dimana dalam sebuah hadist Rosulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Hurairah RA yang berbunyi:
رة رضي هللا عنه قال: اذا ما ت االنسا ن انقطع عنه عمله اال من ثال ثة يعن ابي هر
دعولهينتفع به او ولد صا لح ية اوعلم يصدقة جار
“Dari Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rosulullah SAW
bersabda: apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga
(perkara). Shadaqoh jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya atau
anak shaleh yang senantisa mendoakan kedua orang tuanya (HR.
Muslim).
Imam Muslim meletakan Hadist ini dalam bab wakaf karena para
Ulama menafsirkan shodaqoh jariyah disini dengan wakaf.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan Tanah Milik menyebutkan bahwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tata cara dan
pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah
(Anonimous, 1977:12).
Pengaturan wakaf lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan
bahwa perbuatan hukum wakaf wajib di catat dan dituangkan dalam Akta
Ikrar Wakaf dan di daftarkan serta diumumkan. Adapun peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf (Anonimous, 2004:2).
Terkait hal tersebut penulis menemukan sebuah fakta Hukum dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 85 K/AG/2012
yang pokok perkaranya adalah mengenai status kepemilikan tanah sebagai
wakaf yang dikaitkan dengan harta waris. Berdasarkan pokok perkara
tersebut Farchat A Bahafdoellah bertempat tinggal di Jalan Bongkaran, No.
1 Rt 004/015, kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota
Bandung, yang memberikan kuasa kepada Hidayat, S.H., Advokat,
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding. Melawan H.A. Madjid
Hasan bin Hasan Oemar Bahafdoellah , bertempat tinggal di Jalan Denpasar
Raya, rt 01/02, kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setia Budi, Jakarta
selatan. Hj Toyibah binti Hasan Oemar Bahafdoellah, bertempat tinggal di
Jalan Pangkalan, No.240, Rt 01/05, Kelurahan Bantar Jati, Kecamatan Kota
Bogor Utara, Kota Bogor. Nur Hasan B, bertempat tinggal di jalan Pis Baru
Tengah, Rt 005/014, Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman,
Jakarta Timur. Hj. Salha binti Hasan Oemar Bahafdoellah, bertempat
tinggal di Jalan Kayu Manis IV, Rt 07/01, Kelurahan Pisangan Baru,
Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Rogayah Hasan B, Bertempat tinggal
di Kebun Monas Utara II, No.16, Kecamatan Jati Negara, Jakarta
Timur.Muznah binti Hasan Oemar Bahafdoellah, bertempat tinggal di Jalan
Kata Raya, No.4 Rt 02/06, Kelurahan Kota Bekasi, Kecamatan Palmerah,
Jakarta Barat. Yusuf Usman bin Muhammad, bertempat tinggal di Gg.
Bongkaran, No.3 Rt 004/015, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung
Wetan, Kota Bandung. Drs. Hasan Sudrajat bin Abdurrachman, bertempat
tinggal di Gg. Bongkaran, No.9 Rt 004/015, Kelurahan Taman Sari,
Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung. Zeha Usman binti Usman
Bazenet, bertempat tinggal di Jlyusuf Adiwinata 17, No.10 Rt 003/001,
Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Aisah binti
Usman Bazenet, bertempat tinggal di Jalan Trikora Raya, No.10 Rt
005/007, Kecamatan Kramat Tengah, Jakarta Timur, mereka semua adalah
Para termohon kasasi dahulu para Penggugat/ para Terbanding. Adapun
Badan Pertahanan Nasional (BPN), berkantor di Jalan Soekarno Hatta
No.586, Bandung. Kementerian Agama Kota Bandung, Kementerian
Agama Provinsi Jawa Barat cq. Kementerian Agama Republik Indonesia,
berkantor di Jalan Soekarno Hatta No. 489, Bandung, merupakan para turut
Termohon Kasasi dahulu para turut Tergugat/ para turut Terbanding.
Kepemilikan atas tanah tersebut oleh ahli waris berdasarkan amanah
Hasan Bin Umar Bahafdoellah yang terjadi pada tahun 1942. Hasan bin
Oemar Bahafdoellah memberikan amanah kepada anak-anaknya, yang
menyatakan anak-anaknya bisa memanfaatkan harta kekayaannya untuk
keperluan materiil mereka, dan supaya pemerintah tidak mengintervensi
terhadap kekayaanya, almarhum Hasan bin Oemar Bahafdoellah telah
mencatat seluruh harta kekayaannya baik yang kecil maupun yang besar atas
nama wakaf Al-Hasan (bukti terlampir). Diantara harta kekayaan almarhum
Hasan bin Oemar Bahfdoellah terdiri dari beberapa bidang tanah dan salah
satunya adalah tanah sekarang yang dikenal dengan Sertifikat Hak Guna
Bangunan No.67, surat ukur No.424 tahun 1912 dengan luas 1.950 M2 yang
terletak diKelurahan Taman Sari, jalan Cihampelas No.74. 74a, 74b dan Gg.
Bongkaran No.27, 40a, 40b, Kecamatan Bandung Wetan, Wilayah
Cibeunying, Kota Bandung dengan atas nama pemegang Hak “Wakaf Al-
Hasan bin Oemar Bahafdoellah”.
Diantara para Penggugat selain ahli waris dari almarhum Hasan bin
Oemar Bahafdoellah, Tergugat telah menempati dan tinggal di atas tanah
yang bersertifikat HGB NO.67, surat ukur No.424 tahun 1912 dengan luas
1.950 M2 yang terletak diKelurahan Taman Sari, jalan Cihampelas No.74.
74a, 74b dan Gg. Bongkaran No.27, 40a, 40b, Kecamatan Bandung Wetan,
Wilayah Cibeunying, Kota Bandung Wetan selama lebih dari 50 tahun, hal
tersebut diakui oleh kecamatan setempat dengan surat keterangan serba
guna No. 978/SG/VII/2010.
Namun, dengan tidak adanya kesepahaman tentang status tanah
Sertifikat HGB No.67 tersebut, maka para Penggugat berkeinginan untuk
memperoleh kepastian hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Agama Bandung karena beberapa bukti yang dimiliki oleh para penggugat
menunjukan bahwa status tanah tersebut bukanlah tanah wakaf, tetapi tanah
warisan yang diwariskan oleh Hasan bin Oemar Bahafdoellah kepada ahli
warisnya, berdasarkan wasiat yang ditulis dalam dokumen tahun 1942
termasuk ada beberapa syarat yang tidak dipenuhi sebagai tanah wakaf
berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf
jo. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. namun setelah 27 Tahun sejak
terbitnya sertifikat HGB No.67 tersebut para Penggugat berubah fikiran,
menginginkan agar sertifikat HGB No.67 tersebut dibalik nama menjadi
tanah warisan. kemudian para penggugat mengajukan balik nama ke kantor
Pertanahan Kota Bandung tersebut atas namanya para penggugat dan
Tergugat sebagai Ahli Warisnya, tetapi kemudian permohonan tersebut
ditolak oleh Kantor Pertanahan Kota Bandung, sehingga para Penggugat
mengajukan guagatan ke Pengadilan Agama Kota Bandung sebagaimana
dalam perkara No.2936/Pdt.G/2010/PA.Bdg.
Dalam putusan Pengadilan Agama Tersebut telah dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Agama Bandung dengan putusan No.
190//Pdt.G/2011/PTA.Bdg . Bahwa sesudah putusan terakhir ini
diberitahukan kepada Tergugat/Pembanding pada tanggal 18 November
2011 kemudian Tergugat/Pembanding, dengan perantaraan kuasanya,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 19 November 2011, diajukan
permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 21 November 2011
sebagaimana yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Bandung,
dengan memuat alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Agama tersebut pada tanggal 28 November 2011.
Adapun alasan-alasan Mahkamah Agung, terhadap
putusanPengadilan Tinggi Agama Bandung yaitu tidak salah menerapkan
hukum, dan para penggugat berpendapat bahwa objek sengketa adalah
bukan tanah wakaf, melainkan adalah tanah hak milik dari almarhum Hasan
bin Oemar Bahfdoellah yang bersertifikat Hak Guna Bangunan No.67
kelurahan Tamansari, yang sudah dikuasai Tergugat selama 50 Tahun. Dan
Tergugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil bantahannya, karena tidak ada
satupun alat bukti yang dapat mematahkan bukti-bukti yang diajukan para
Penggugat.
Mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam
tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada
kesalahan dalam penerapan atau pelanggaran hukum yang berlaku,
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 30 Undang-Undang No.14 Tahun
1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009.
Dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, bahwa
putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka permohonan
kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi/Tergugat di Pengadilan Agama
Bandung tersebut harus ditolak.
Dari permasalahan inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap putusan ini karena adanya status kepemilikan tanah sebagai harta
waris yang dikaitkan dengan perwakafan tanah.Dan pada penelitian ini
penulis mengangkat judul “Analisis Yuridis Pembatalan Tanah Wakaf
Oleh Ahli Waris Kepada Nadzir.Studi Putusan Mahkamah Agung
Nomor 85K/AG/2012”.Dengan harapan bahwa skripsi ini dapat
bermanfaat dan sedikit memberikan gambaran tentang harta wakaf agar
mendapat kepastian hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang dapat dipahami bahwa, Pengadilan Agama
Bandung, Pengadilan Tinggi Agama Bandung dan Mahkamah Agung
memberi putusan bahwa akta wakaf yang diajukan oleh Tergugat/Pemohon
dipandang bukan sebagai akta ikrar wakaf dan tidak memiliki kekuatan
pembuktian sebagai wakaf.
Berkenaan dengan masalah tersebut, maka diajukan beberapa
pertanyaan yang teridentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimana duduk perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
85K/AG/2012?
2. Apa pertimbangan dan dasar hukum Hakim Mahkamah
Agungdalam putusan Nomor 85K/AG/2012 ?
3. Bagaimana metode penemuan hukum hakim dalam memutuskan
perkara Nomor 85 K/AG/2012?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahuiduduk perkara dalam putusan Mahkamah Agung Nomor
85K/AG/2012.
2. Mengetahui pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam putusan
Nomor 85K/AG/2012 terhadap sengketa wakaf
3. Mengetahui metode penemuan hukum hakim dalam memutuskan
perkara Nomor 85 K/AG/2012.
D. Kerangka Berfikir
Penelitian ini didasarkan pada kerangka berfikir sebagai berikut:
Kewenangan umum lingkungan Peradilan Agama dalam hal
Wakaf.Secara umum, kewenangan (competence) peradilan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu kewenangan relative dan kewenangan
absolute.Kewenangan relative berkaitan dengan wilayah, sementara
absolute berkaitan dengan orang (kewarganegaraan dan keagamaan
seseorang) dan jenis perkara.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, kekuasaan absolute Peradilan Agama diperluas.
Oleh karena itu ketentuan mengenai kekuasaan absolute peradilan
agama yang bersifat global ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah satu
pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu.
Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa hak milik benda, baik
yang dilakukan oleh umat Islam atau Non-Muslim, adalah kekuasaan
absolute pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.Akan tetapi, apabila
objek yang disengketakan berkaitan dengan sengketa yang diajukan ke
peradilan agama sebagai di atur dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, peradilan agama berwenang untuk menetapkan status
kepemilikan benda yang disengketakan.
Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut ditetapkan bahwa:
Pertama, peradilan agama berhak memutus sengketa kepemilikan suatu
benda sekaligus sengketa perdata lain apabila objek yang disengketakan
berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah yang diajukan ke peradilan
agama, dan pihak-pihak yang bersengketa memeluk agama Islam. Kedua,
pemberian kewenangan tersebut berkaitan dengan prinsip penyelenggaraan
peradilan, yaitu agar dapat menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan sengketa milik atau
sengketa keperdataan lainnya.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilaan Agama ditetapkan bahwa peradilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-
orang yang beragama Islam dibidang: 1) perkawinan, 2)waris, 3) wasiat, 4)
hibah. 5) wakaf, 6)zakat, 7) infaq, 8)sedekah dan 9) ekonomi syariah
(Anonimous, 2006:10).
Pada prinsipnya, tanah dibedakan menjadi dua: (1) tanah hak milik dan
(2) tanah Negara. Dari segi penggunaan, tanah hak milik dapat digunakan
langung oleh pemegang hak, dan dapat juga digunakan oleh pihak lain (Jaih
Mubarok, 2008:72). Dalam hal penggunaannya, apabila tanah hak milik
digunakan oleh pihak lain akan melahirkan tujuh macam hak: (1) hak guna
bangunan (HGB), (2) hak pakai (HP), hak sewa untuk bangunan (HSUB),
(4) hak gadai, (5) hak usaha bagi hasil, (6) hak menumpang, dan (7) hak
sewa tanah pertanian, sementara apabila tanah Negara digunakan oleh pihak
lain akan melahirkan akan melahirkan dua macam hak: (1) hak guna usaha
(HGU), dan (2) hak pakai (Kartini Muljadi, 2005:246).
Dalam Peraturan Pemerintah ditetapkan bahwa secara umum, objek
wakaf dibedakan menjadi tiga: (1) benda tidak bergerak yang berupa tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah; (2)
benda bergerak selain uang; (3) benda bergerak berupa uang.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 17 ayat (1), hak
atas tanah yang dapat diwakafkan adalah (1) hak milik atas tanah, baik yang
sudah maupun yang belum terdaftar; (2) hak guna bangunan, hak guna
usaha, atau hak pakai tanah di dalam Negara; (3) hak guna bangunan atau
hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik, wajib mendapat izin
tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik; (4) hak milik atas satuan
rumah susun. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditetapkan mengenai hak-hak yang
berkenaan degan tanah dari segi sifat hak pemegang hak atas tanah, hak atas
tanah yang bersifat tetap, mencakup: hak milik, hak Guna Usaha (HGU),
Hak Guna Bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa bangunan, hak membuka
tanah, dan hak memungut hasil hutan (Jaih Mubarok, 2008:68).
Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan perkara secara umum, terutama
perkara gugatan, dalam persidangan itu adalah sebagai berikut:
1. Tahapan sidang pertama sampai anjuran damai;
2. Tahapan replik dan duplik;
3. Tahapan pembuktian;
4. Tahapan pengusunan kesimpulan;
5. Tahapan musyawarah Majelis Hakim;
6. Tahapan pengucapan putusan (Cik Hasan Bisri 1996:249).
Upaya hukum banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang
dapat dilakukan oleh pihak yang tidak menerima suatu putusan
pengadilan.Banding adalah permohonan pemeriksaan kembali putusan atau
penetapan Pengadilan Agama (Pengadilan tingkat pertama) karena merasa
tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut (Bahder Johan Nasution,
1992:85).
Dengan adanya permohonan banding, segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkara tersebut beralih menjadi tanggung jawab
yuridis Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Menurut Yahya Harahap (1988), peralihan tanggung jawab tersebut
terhitung sejak tanggal permohonan banding diajukan, sepanjang
permohonan banding tidak dicabut kembali.
Menurut Subekti, tidak diwajibkan memasukan memori dan kontra
memori banding itu, erat hubungannya dengan dasar dan sifat pemeriksaan
banding dimana pengadilan tingkat banding mengulangi kembali seluruh
pemeriksaan perkaranya. Baik pemeriksaan mengenai fakta maupun
mengenai hukumnya. Dalam berbagai ketentuan undang-undang
pemeriksaan banding ini disebut pemeriksaan yudec facti yang terakhir di
mana segala apa mengenai fakta yang telah ditetapkan sebagai benar oleh
pengadilan banding, akan tetap dianggap sebagai benar untuk seterusnya.
Pengaturan mengenai acara kasasi terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang dalam pasal 43 UU
No. 14/1985 tersebut dinyatakan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan
hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum
banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang kasasi baru dapat
dilakukan apabila upaya banding telah dilakukan (Bahder Johan Nasution,
1992:86).
Kasasi merupakan permohonan pembatalan terhadap putusan atau
penetapan Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama kepada
Mahkamah Agung, melalui pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan,
dalam jangka waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Pihak yang
mengajukan permohonan kasasi disebut pemohon kasasi, sedangkan
lawannya adalah termohon kasasi.Dalam hal kedua belah pihak mengajukan
permohonan kasasi berarti hanya ada pemohon kasasi (Cik Hasan Bisri,
1996:257).
Suatu putusan terhadap perkara atau kasus yang belum ada
ketetapannya dalam persfektif ilmu keislaman disebut dengan Ijtihad.
Dalam ilmu hukum, Ijtihad (judge made law) dapat ditempuh dengan dua
cara yaitu melalui penemuan hukum (rechtsvinding) dan melalui penciptaan
hukum (rechtschepping).
Hubungan Ijtihad dengan peradilan mengarah pada pengertian jalan
yang diikuti oleh hakim-hakim dalam putusan-putusan mereka, baik yang
berkaitan dengan ketentuan Undang-Undang atau dengan jalan
menyimpulkan dari hukum yang wajib diterapkan katika tidak adanya nash.
Keharusan hakim berijtihad dalam memutuskan perkara dikemukakan oleh
Khalifah Umar bin Khatab kepada Abu Musa Al-Ash’ari dalam Risalat al-
Qadha berbunyi:
ثم الفحم فيم ادلي اليك )فيم يختج في صدرك( مم ورد عليك مم ليس في قرء ن ولسنه ثم
قا يس
“kemudian fahamilah dengan sungguh-sungguh tentang
perkara yang diajukan kepadamu yang tidak terdapat
(ketentuan hukumnya) dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
kemudian bandingkan (Oyo Sunaryo Mukhlas, 2011:68).
Diktum diatas memberikan tekanan kepada hakim agar dalam
menghadapi dan menyelesaikan perkara yang diajukan mencermati dan
memahami secara sungguh-sungguh.Baik didalam Al-Qur’an maupun
didalam Hadis, maka dianjurkan untuk berijtihad dengan pendekatan qiyas.
Dalam mengadili perkara, hakim diharuskan memahami duduk
perkara sebelum putusan dijatuhkan. Hal itu ditegaskan dengan ungkapan
Risalat al-Qadho yang berbunyi:
فحم اذا ادلي اليك )ونفذ اذا تبينلك( فانه ال ينفع تكلم بحق ال نفذله
“pahamilah apabila diajukan kepadamu (suatu perkara), (dan
putuskanlah apabila telah jelas kepadamu duduk
perkaranya), karena sebenarnya tidak ada artinya berbicara
soal kebenaran tanpa ada penyelesaian” (Oyo Sunaryo,
2011:61).
Pernyataan itu memberikan pemahaman bahwa dalam menyelesaikan
perkara yang dihadapi, seorang hakim tidak boleh ceroboh dan tergesa-gesa
untuk mengambil keputusan, sebelum memahami dengan jelas duduk
perkaranya.
Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang ketentuan-
ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa tugas hakim
dalah untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan jalan menafsirkan
hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya,
sehingga keputusannya mencerminkan rasa keadilan. Dalam tugasnya
tersebut kebebasan hakim tersebut terbatas dan relative dengan acuan:
Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang
diperiksanya, sesuai dengan asas dan ketentuan undang-undang harus
diunggulkan.
Penafsiran hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran
yang dibenarkan, mengutamakan keadilan dari pada peraturan perundang-
undangan, apabila ketentuan undang-undnag tidak potensial melindungi
kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan doktrin
equenty must previl (keadilan harus diunggulkan).
Penemuan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa oleh
majelis hakim merupakan suatu hal yang paling sulit
dilaksanakan.Meskipun para hakim dianggap tahu hukum, sebenarnya para
hakim itu tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu berbagai
macam ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi
hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan
kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukum tidak
ada atau belum jelas, maka wajib mengadilinya (Abdul Manan, 2008:278).
Dalam suatu putusan harus memuat dasar alasan yang jelas dan
rinci.Menurut alasan ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan
pertimbangan yang jelas dan cukup.Putusan yang tidak memenuhi
ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan (Yahya
Harahap, 2010:797).
Dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 sekarang dalam pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, menegaskan bahwa segala keputusan
pengadilan harus memuat alsan-alasan dan dasar-dasar putusan dan
mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang
bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tak
tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum.
Berdasarkan hal demikian, maka putusan pengadilan juga didasarkan
pada hukum tidak tertulis, baik yang berupa doktrin para ahli hukum,
pendapat fuqoha, maupun hukum kebiasaan masyarakat yang telah bersifat
mengikat (Cik Hasan Bisri, 2008:47).
Dengan kata lain suatu putusan merupakan perkara yang diajukan oleh
para pihak ke pengadilan. Sehingga pengadilan sesuai dengan
kewenangannya dapat menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta
menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan (Cik Hasan
Bisri, 2003:6).
Skema: Model Kerangka Berfikir
Dalam Penelitian Putusan Mahkamah Agung
Nomor:85K/AG/2012
= Hubungan Searah (langsung)
= Hubungan Fungsiona
E. Langkah-Langkah Peneltian
Dalam penelitian ini, penulis telah menentukan langkah-langkah
penelitian sebagai berikut:
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah Content Analysis (analisis isi), yaitu yang didasarkan pada sumber
Kewenangan
Pengadilan Agama
Tidak Tertulis Tertulis
Sumber Hukum
Perwakafan Tanah
Upaya Hukum
Banding dan Kasasi
Pengadilan Tingkat Pertama
Proses Pemeriksaan
Perkara
dokumen atau bahan bacaan (Cik Hasan Bisri, 2008:63).Dalam hal ini
adalah analisis terhadap berkas putusan Mahkamah Agung Nomor
85K/AG/2012.
2. Sumber Data
Penentuan sumber data didasarkan atas jenis data yang telah
ditentukan.Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data
primer dan sumber data sekunder (Cik Hasan Bisru, 2008:64). Yaitu
sebagai berikut:
a. Sumber data Primer, yakni: Putusan Mahkamah Agung Nomor
85K/AG/2012,dan data hasil wawancara dengan para hakim yang
mengadili perkara tersebut, serta sumber teori yang dapat dijadikan
rujukan.
b. Sumber data Sekunder. Buku-buku, Undang-Undang, tulisan-tulisan
hukum, artikel hukum maupun jurnal-jurnal hukum yang relevan
dengan permasalahan yang dibahas.
3. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah jenis data kualitatif yaitu setiap
data yang tidak dapat diukur oleh angka atau jumlah tetapi dalam bentuk
katagori-katagori yang merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian
yang diajukan terhadap masalah yang dirumuskan dan pada tujuan yang
telah ditetapkan.
Jenis data yang terkait dengan penelitian ini, yakni dalam hal meliputi:
a. Duduk perkara dalam putusan Mahkamah Agung Nomor
85K/AG/2012;
b. pertimbangan dan dasar hukum Hakim Mahkamah Agung dalam
putusan Nomor 85K/AG/2012 ;
c. Metode penemuan hukum hakim Mahkamah Agung dalam
memutuskan perkara Nomor 85 K/AG/2012.
4. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Cik Hasan Bisri (2008;64), alat pengumpulan data itu dapat
berupa suatu daftar pertanyaan terstruktur dan rinci, yang disebut
kuesioner (questionaire); atau secara garis besar dan dijadikan sebagai
pedoman dalam melakukan wawancara, yang kemudian dikenal sebagai
panduan wawancara (interviewgude).
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian
ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu:
a. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan dokumen putusan
Mahkamah Agung Nomor 85K/AG/2012 mengenai pembatalan tanah
wakaf oleh ahli waris kepada nadzir.
b. Studi kepustakaan, yaitu suatu teknik pengolahan data yang diambil
dari berbagai literatur atau buku-buku, Undang-Undang, tulisan-
tulisan hukum, artikel hukum maupun jurnal-jurnal hukum yang
relevan dengan permasalahan yang dibahas.
c. Wawancara, yaitu suatu teknik perolehan data dengan cara
mengadakan tanya jawab langsung atau bercakap-cakap dengan
responden dengan maksud untuk mendapatkan informasi sebanyak-
banyaknya dalam hal ini wawancara dilakukan kepada para hakim.
5. Analisis Data
Analisis data ini dilakukan melalui:
a. Mencari Putusan pada Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia;
b. Membaca dan Menganalisis Putusan Mahkamah Agung dalam
perkara No.85K/AG/2012;
c. Menemukan masalah hukum dalam perwakafan tanah dan yang tidak
memiliki bukti autentik sehingga dapat dibatalkan demi hukum;
d. Penarikan kesimpulan antara putusan Pengadilan Agama Bandung,
Pengadilan Tinggi Agama Bandung, hingga Mahkamah Agung.
Dengan demikian data yang diperoleh dalam penelitian ini
adalah analisis data kualitatif.