BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitiandigilib.uinsgd.ac.id/2821/9/4_bab1.pdf · tersebut...

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan disamping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah juga berfungsi sosial. Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan dengan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang perduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf. Fungsi dari wakaf adalah untuk mengkekalkan manfaat tanah yang diwakafkan, hal demikian itu merupakan manisfestasi dari ajaran agama Islam, dimana dalam sebuah hadist Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah RA yang berbunyi: عن ابي هر ي ثة من ث عنه عمله ا انقطعسا نن ت ا مال: اذا عنه قا ة رضي ر صدقة جار ي ة اوعلم يو ولد صا لح نتفع به ا ي دعولهDari Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rosulullah SAW bersabda: apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga (perkara). Shadaqoh jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya atau

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitiandigilib.uinsgd.ac.id/2821/9/4_bab1.pdf · tersebut...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan disamping berfungsi

sebagai ibadah kepada Allah juga berfungsi sosial. Praktik wakaf yang

terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan dengan

tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak

terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ketangan pihak

ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya

kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat

yang kurang perduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang

seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan

tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.

Fungsi dari wakaf adalah untuk mengkekalkan manfaat tanah yang

diwakafkan, hal demikian itu merupakan manisfestasi dari ajaran agama

Islam, dimana dalam sebuah hadist Rosulullah SAW yang diriwayatkan

oleh Muslim dari Abu Hurairah RA yang berbunyi:

رة رضي هللا عنه قال: اذا ما ت االنسا ن انقطع عنه عمله اال من ثال ثة يعن ابي هر

دعولهينتفع به او ولد صا لح ية اوعلم يصدقة جار

“Dari Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rosulullah SAW

bersabda: apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga

(perkara). Shadaqoh jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya atau

anak shaleh yang senantisa mendoakan kedua orang tuanya (HR.

Muslim).

Imam Muslim meletakan Hadist ini dalam bab wakaf karena para

Ulama menafsirkan shodaqoh jariyah disini dengan wakaf.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977

Tentang Perwakafan Tanah Milik menyebutkan bahwa sesuai dengan

ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tata cara dan

pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah

(Anonimous, 1977:12).

Pengaturan wakaf lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan

bahwa perbuatan hukum wakaf wajib di catat dan dituangkan dalam Akta

Ikrar Wakaf dan di daftarkan serta diumumkan. Adapun peraturan

pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf (Anonimous, 2004:2).

Terkait hal tersebut penulis menemukan sebuah fakta Hukum dalam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 85 K/AG/2012

yang pokok perkaranya adalah mengenai status kepemilikan tanah sebagai

wakaf yang dikaitkan dengan harta waris. Berdasarkan pokok perkara

tersebut Farchat A Bahafdoellah bertempat tinggal di Jalan Bongkaran, No.

1 Rt 004/015, kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota

Bandung, yang memberikan kuasa kepada Hidayat, S.H., Advokat,

Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding. Melawan H.A. Madjid

Hasan bin Hasan Oemar Bahafdoellah , bertempat tinggal di Jalan Denpasar

Raya, rt 01/02, kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setia Budi, Jakarta

selatan. Hj Toyibah binti Hasan Oemar Bahafdoellah, bertempat tinggal di

Jalan Pangkalan, No.240, Rt 01/05, Kelurahan Bantar Jati, Kecamatan Kota

Bogor Utara, Kota Bogor. Nur Hasan B, bertempat tinggal di jalan Pis Baru

Tengah, Rt 005/014, Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman,

Jakarta Timur. Hj. Salha binti Hasan Oemar Bahafdoellah, bertempat

tinggal di Jalan Kayu Manis IV, Rt 07/01, Kelurahan Pisangan Baru,

Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Rogayah Hasan B, Bertempat tinggal

di Kebun Monas Utara II, No.16, Kecamatan Jati Negara, Jakarta

Timur.Muznah binti Hasan Oemar Bahafdoellah, bertempat tinggal di Jalan

Kata Raya, No.4 Rt 02/06, Kelurahan Kota Bekasi, Kecamatan Palmerah,

Jakarta Barat. Yusuf Usman bin Muhammad, bertempat tinggal di Gg.

Bongkaran, No.3 Rt 004/015, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung

Wetan, Kota Bandung. Drs. Hasan Sudrajat bin Abdurrachman, bertempat

tinggal di Gg. Bongkaran, No.9 Rt 004/015, Kelurahan Taman Sari,

Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung. Zeha Usman binti Usman

Bazenet, bertempat tinggal di Jlyusuf Adiwinata 17, No.10 Rt 003/001,

Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Aisah binti

Usman Bazenet, bertempat tinggal di Jalan Trikora Raya, No.10 Rt

005/007, Kecamatan Kramat Tengah, Jakarta Timur, mereka semua adalah

Para termohon kasasi dahulu para Penggugat/ para Terbanding. Adapun

Badan Pertahanan Nasional (BPN), berkantor di Jalan Soekarno Hatta

No.586, Bandung. Kementerian Agama Kota Bandung, Kementerian

Agama Provinsi Jawa Barat cq. Kementerian Agama Republik Indonesia,

berkantor di Jalan Soekarno Hatta No. 489, Bandung, merupakan para turut

Termohon Kasasi dahulu para turut Tergugat/ para turut Terbanding.

Kepemilikan atas tanah tersebut oleh ahli waris berdasarkan amanah

Hasan Bin Umar Bahafdoellah yang terjadi pada tahun 1942. Hasan bin

Oemar Bahafdoellah memberikan amanah kepada anak-anaknya, yang

menyatakan anak-anaknya bisa memanfaatkan harta kekayaannya untuk

keperluan materiil mereka, dan supaya pemerintah tidak mengintervensi

terhadap kekayaanya, almarhum Hasan bin Oemar Bahafdoellah telah

mencatat seluruh harta kekayaannya baik yang kecil maupun yang besar atas

nama wakaf Al-Hasan (bukti terlampir). Diantara harta kekayaan almarhum

Hasan bin Oemar Bahfdoellah terdiri dari beberapa bidang tanah dan salah

satunya adalah tanah sekarang yang dikenal dengan Sertifikat Hak Guna

Bangunan No.67, surat ukur No.424 tahun 1912 dengan luas 1.950 M2 yang

terletak diKelurahan Taman Sari, jalan Cihampelas No.74. 74a, 74b dan Gg.

Bongkaran No.27, 40a, 40b, Kecamatan Bandung Wetan, Wilayah

Cibeunying, Kota Bandung dengan atas nama pemegang Hak “Wakaf Al-

Hasan bin Oemar Bahafdoellah”.

Diantara para Penggugat selain ahli waris dari almarhum Hasan bin

Oemar Bahafdoellah, Tergugat telah menempati dan tinggal di atas tanah

yang bersertifikat HGB NO.67, surat ukur No.424 tahun 1912 dengan luas

1.950 M2 yang terletak diKelurahan Taman Sari, jalan Cihampelas No.74.

74a, 74b dan Gg. Bongkaran No.27, 40a, 40b, Kecamatan Bandung Wetan,

Wilayah Cibeunying, Kota Bandung Wetan selama lebih dari 50 tahun, hal

tersebut diakui oleh kecamatan setempat dengan surat keterangan serba

guna No. 978/SG/VII/2010.

Namun, dengan tidak adanya kesepahaman tentang status tanah

Sertifikat HGB No.67 tersebut, maka para Penggugat berkeinginan untuk

memperoleh kepastian hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan

Agama Bandung karena beberapa bukti yang dimiliki oleh para penggugat

menunjukan bahwa status tanah tersebut bukanlah tanah wakaf, tetapi tanah

warisan yang diwariskan oleh Hasan bin Oemar Bahafdoellah kepada ahli

warisnya, berdasarkan wasiat yang ditulis dalam dokumen tahun 1942

termasuk ada beberapa syarat yang tidak dipenuhi sebagai tanah wakaf

berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf

jo. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. namun setelah 27 Tahun sejak

terbitnya sertifikat HGB No.67 tersebut para Penggugat berubah fikiran,

menginginkan agar sertifikat HGB No.67 tersebut dibalik nama menjadi

tanah warisan. kemudian para penggugat mengajukan balik nama ke kantor

Pertanahan Kota Bandung tersebut atas namanya para penggugat dan

Tergugat sebagai Ahli Warisnya, tetapi kemudian permohonan tersebut

ditolak oleh Kantor Pertanahan Kota Bandung, sehingga para Penggugat

mengajukan guagatan ke Pengadilan Agama Kota Bandung sebagaimana

dalam perkara No.2936/Pdt.G/2010/PA.Bdg.

Dalam putusan Pengadilan Agama Tersebut telah dikuatkan oleh

Pengadilan Tinggi Agama Bandung dengan putusan No.

190//Pdt.G/2011/PTA.Bdg . Bahwa sesudah putusan terakhir ini

diberitahukan kepada Tergugat/Pembanding pada tanggal 18 November

2011 kemudian Tergugat/Pembanding, dengan perantaraan kuasanya,

berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 19 November 2011, diajukan

permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 21 November 2011

sebagaimana yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Bandung,

dengan memuat alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan

Agama tersebut pada tanggal 28 November 2011.

Adapun alasan-alasan Mahkamah Agung, terhadap

putusanPengadilan Tinggi Agama Bandung yaitu tidak salah menerapkan

hukum, dan para penggugat berpendapat bahwa objek sengketa adalah

bukan tanah wakaf, melainkan adalah tanah hak milik dari almarhum Hasan

bin Oemar Bahfdoellah yang bersertifikat Hak Guna Bangunan No.67

kelurahan Tamansari, yang sudah dikuasai Tergugat selama 50 Tahun. Dan

Tergugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil bantahannya, karena tidak ada

satupun alat bukti yang dapat mematahkan bukti-bukti yang diajukan para

Penggugat.

Mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu

kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam

tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada

kesalahan dalam penerapan atau pelanggaran hukum yang berlaku,

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 30 Undang-Undang No.14 Tahun

1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun

2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009.

Dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, bahwa

putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung dalam perkara ini tidak

bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka permohonan

kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi/Tergugat di Pengadilan Agama

Bandung tersebut harus ditolak.

Dari permasalahan inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian

terhadap putusan ini karena adanya status kepemilikan tanah sebagai harta

waris yang dikaitkan dengan perwakafan tanah.Dan pada penelitian ini

penulis mengangkat judul “Analisis Yuridis Pembatalan Tanah Wakaf

Oleh Ahli Waris Kepada Nadzir.Studi Putusan Mahkamah Agung

Nomor 85K/AG/2012”.Dengan harapan bahwa skripsi ini dapat

bermanfaat dan sedikit memberikan gambaran tentang harta wakaf agar

mendapat kepastian hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang dapat dipahami bahwa, Pengadilan Agama

Bandung, Pengadilan Tinggi Agama Bandung dan Mahkamah Agung

memberi putusan bahwa akta wakaf yang diajukan oleh Tergugat/Pemohon

dipandang bukan sebagai akta ikrar wakaf dan tidak memiliki kekuatan

pembuktian sebagai wakaf.

Berkenaan dengan masalah tersebut, maka diajukan beberapa

pertanyaan yang teridentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimana duduk perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

85K/AG/2012?

2. Apa pertimbangan dan dasar hukum Hakim Mahkamah

Agungdalam putusan Nomor 85K/AG/2012 ?

3. Bagaimana metode penemuan hukum hakim dalam memutuskan

perkara Nomor 85 K/AG/2012?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahuiduduk perkara dalam putusan Mahkamah Agung Nomor

85K/AG/2012.

2. Mengetahui pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam putusan

Nomor 85K/AG/2012 terhadap sengketa wakaf

3. Mengetahui metode penemuan hukum hakim dalam memutuskan

perkara Nomor 85 K/AG/2012.

D. Kerangka Berfikir

Penelitian ini didasarkan pada kerangka berfikir sebagai berikut:

Kewenangan umum lingkungan Peradilan Agama dalam hal

Wakaf.Secara umum, kewenangan (competence) peradilan dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu kewenangan relative dan kewenangan

absolute.Kewenangan relative berkaitan dengan wilayah, sementara

absolute berkaitan dengan orang (kewarganegaraan dan keagamaan

seseorang) dan jenis perkara.

Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, kekuasaan absolute Peradilan Agama diperluas.

Oleh karena itu ketentuan mengenai kekuasaan absolute peradilan

agama yang bersifat global ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah

satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai perkara perdata tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah satu

pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai perkara tertentu.

Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa hak milik benda, baik

yang dilakukan oleh umat Islam atau Non-Muslim, adalah kekuasaan

absolute pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.Akan tetapi, apabila

objek yang disengketakan berkaitan dengan sengketa yang diajukan ke

peradilan agama sebagai di atur dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006, peradilan agama berwenang untuk menetapkan status

kepemilikan benda yang disengketakan.

Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut ditetapkan bahwa:

Pertama, peradilan agama berhak memutus sengketa kepemilikan suatu

benda sekaligus sengketa perdata lain apabila objek yang disengketakan

berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah yang diajukan ke peradilan

agama, dan pihak-pihak yang bersengketa memeluk agama Islam. Kedua,

pemberian kewenangan tersebut berkaitan dengan prinsip penyelenggaraan

peradilan, yaitu agar dapat menghindari upaya memperlambat atau

mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan sengketa milik atau

sengketa keperdataan lainnya.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Peradilaan Agama ditetapkan bahwa peradilan agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-

orang yang beragama Islam dibidang: 1) perkawinan, 2)waris, 3) wasiat, 4)

hibah. 5) wakaf, 6)zakat, 7) infaq, 8)sedekah dan 9) ekonomi syariah

(Anonimous, 2006:10).

Pada prinsipnya, tanah dibedakan menjadi dua: (1) tanah hak milik dan

(2) tanah Negara. Dari segi penggunaan, tanah hak milik dapat digunakan

langung oleh pemegang hak, dan dapat juga digunakan oleh pihak lain (Jaih

Mubarok, 2008:72). Dalam hal penggunaannya, apabila tanah hak milik

digunakan oleh pihak lain akan melahirkan tujuh macam hak: (1) hak guna

bangunan (HGB), (2) hak pakai (HP), hak sewa untuk bangunan (HSUB),

(4) hak gadai, (5) hak usaha bagi hasil, (6) hak menumpang, dan (7) hak

sewa tanah pertanian, sementara apabila tanah Negara digunakan oleh pihak

lain akan melahirkan akan melahirkan dua macam hak: (1) hak guna usaha

(HGU), dan (2) hak pakai (Kartini Muljadi, 2005:246).

Dalam Peraturan Pemerintah ditetapkan bahwa secara umum, objek

wakaf dibedakan menjadi tiga: (1) benda tidak bergerak yang berupa tanah,

bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah; (2)

benda bergerak selain uang; (3) benda bergerak berupa uang.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, pasal 17 ayat (1), hak

atas tanah yang dapat diwakafkan adalah (1) hak milik atas tanah, baik yang

sudah maupun yang belum terdaftar; (2) hak guna bangunan, hak guna

usaha, atau hak pakai tanah di dalam Negara; (3) hak guna bangunan atau

hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik, wajib mendapat izin

tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik; (4) hak milik atas satuan

rumah susun. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditetapkan mengenai hak-hak yang

berkenaan degan tanah dari segi sifat hak pemegang hak atas tanah, hak atas

tanah yang bersifat tetap, mencakup: hak milik, hak Guna Usaha (HGU),

Hak Guna Bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa bangunan, hak membuka

tanah, dan hak memungut hasil hutan (Jaih Mubarok, 2008:68).

Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan perkara secara umum, terutama

perkara gugatan, dalam persidangan itu adalah sebagai berikut:

1. Tahapan sidang pertama sampai anjuran damai;

2. Tahapan replik dan duplik;

3. Tahapan pembuktian;

4. Tahapan pengusunan kesimpulan;

5. Tahapan musyawarah Majelis Hakim;

6. Tahapan pengucapan putusan (Cik Hasan Bisri 1996:249).

Upaya hukum banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang

dapat dilakukan oleh pihak yang tidak menerima suatu putusan

pengadilan.Banding adalah permohonan pemeriksaan kembali putusan atau

penetapan Pengadilan Agama (Pengadilan tingkat pertama) karena merasa

tidak puas atas putusan atau penetapan tersebut (Bahder Johan Nasution,

1992:85).

Dengan adanya permohonan banding, segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkara tersebut beralih menjadi tanggung jawab

yuridis Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.

Menurut Yahya Harahap (1988), peralihan tanggung jawab tersebut

terhitung sejak tanggal permohonan banding diajukan, sepanjang

permohonan banding tidak dicabut kembali.

Menurut Subekti, tidak diwajibkan memasukan memori dan kontra

memori banding itu, erat hubungannya dengan dasar dan sifat pemeriksaan

banding dimana pengadilan tingkat banding mengulangi kembali seluruh

pemeriksaan perkaranya. Baik pemeriksaan mengenai fakta maupun

mengenai hukumnya. Dalam berbagai ketentuan undang-undang

pemeriksaan banding ini disebut pemeriksaan yudec facti yang terakhir di

mana segala apa mengenai fakta yang telah ditetapkan sebagai benar oleh

pengadilan banding, akan tetap dianggap sebagai benar untuk seterusnya.

Pengaturan mengenai acara kasasi terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang dalam pasal 43 UU

No. 14/1985 tersebut dinyatakan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan

hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum

banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang kasasi baru dapat

dilakukan apabila upaya banding telah dilakukan (Bahder Johan Nasution,

1992:86).

Kasasi merupakan permohonan pembatalan terhadap putusan atau

penetapan Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama kepada

Mahkamah Agung, melalui pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan,

dalam jangka waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Pihak yang

mengajukan permohonan kasasi disebut pemohon kasasi, sedangkan

lawannya adalah termohon kasasi.Dalam hal kedua belah pihak mengajukan

permohonan kasasi berarti hanya ada pemohon kasasi (Cik Hasan Bisri,

1996:257).

Suatu putusan terhadap perkara atau kasus yang belum ada

ketetapannya dalam persfektif ilmu keislaman disebut dengan Ijtihad.

Dalam ilmu hukum, Ijtihad (judge made law) dapat ditempuh dengan dua

cara yaitu melalui penemuan hukum (rechtsvinding) dan melalui penciptaan

hukum (rechtschepping).

Hubungan Ijtihad dengan peradilan mengarah pada pengertian jalan

yang diikuti oleh hakim-hakim dalam putusan-putusan mereka, baik yang

berkaitan dengan ketentuan Undang-Undang atau dengan jalan

menyimpulkan dari hukum yang wajib diterapkan katika tidak adanya nash.

Keharusan hakim berijtihad dalam memutuskan perkara dikemukakan oleh

Khalifah Umar bin Khatab kepada Abu Musa Al-Ash’ari dalam Risalat al-

Qadha berbunyi:

ثم الفحم فيم ادلي اليك )فيم يختج في صدرك( مم ورد عليك مم ليس في قرء ن ولسنه ثم

قا يس

“kemudian fahamilah dengan sungguh-sungguh tentang

perkara yang diajukan kepadamu yang tidak terdapat

(ketentuan hukumnya) dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,

kemudian bandingkan (Oyo Sunaryo Mukhlas, 2011:68).

Diktum diatas memberikan tekanan kepada hakim agar dalam

menghadapi dan menyelesaikan perkara yang diajukan mencermati dan

memahami secara sungguh-sungguh.Baik didalam Al-Qur’an maupun

didalam Hadis, maka dianjurkan untuk berijtihad dengan pendekatan qiyas.

Dalam mengadili perkara, hakim diharuskan memahami duduk

perkara sebelum putusan dijatuhkan. Hal itu ditegaskan dengan ungkapan

Risalat al-Qadho yang berbunyi:

فحم اذا ادلي اليك )ونفذ اذا تبينلك( فانه ال ينفع تكلم بحق ال نفذله

“pahamilah apabila diajukan kepadamu (suatu perkara), (dan

putuskanlah apabila telah jelas kepadamu duduk

perkaranya), karena sebenarnya tidak ada artinya berbicara

soal kebenaran tanpa ada penyelesaian” (Oyo Sunaryo,

2011:61).

Pernyataan itu memberikan pemahaman bahwa dalam menyelesaikan

perkara yang dihadapi, seorang hakim tidak boleh ceroboh dan tergesa-gesa

untuk mengambil keputusan, sebelum memahami dengan jelas duduk

perkaranya.

Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang ketentuan-

ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa tugas hakim

dalah untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan jalan menafsirkan

hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya,

sehingga keputusannya mencerminkan rasa keadilan. Dalam tugasnya

tersebut kebebasan hakim tersebut terbatas dan relative dengan acuan:

Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang

diperiksanya, sesuai dengan asas dan ketentuan undang-undang harus

diunggulkan.

Penafsiran hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran

yang dibenarkan, mengutamakan keadilan dari pada peraturan perundang-

undangan, apabila ketentuan undang-undnag tidak potensial melindungi

kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan doktrin

equenty must previl (keadilan harus diunggulkan).

Penemuan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa oleh

majelis hakim merupakan suatu hal yang paling sulit

dilaksanakan.Meskipun para hakim dianggap tahu hukum, sebenarnya para

hakim itu tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu berbagai

macam ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi

hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan

kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukum tidak

ada atau belum jelas, maka wajib mengadilinya (Abdul Manan, 2008:278).

Dalam suatu putusan harus memuat dasar alasan yang jelas dan

rinci.Menurut alasan ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan

pertimbangan yang jelas dan cukup.Putusan yang tidak memenuhi

ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan (Yahya

Harahap, 2010:797).

Dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 1999 sekarang dalam pasal 25 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004, menegaskan bahwa segala keputusan

pengadilan harus memuat alsan-alasan dan dasar-dasar putusan dan

mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang

bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tak

tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum.

Berdasarkan hal demikian, maka putusan pengadilan juga didasarkan

pada hukum tidak tertulis, baik yang berupa doktrin para ahli hukum,

pendapat fuqoha, maupun hukum kebiasaan masyarakat yang telah bersifat

mengikat (Cik Hasan Bisri, 2008:47).

Dengan kata lain suatu putusan merupakan perkara yang diajukan oleh

para pihak ke pengadilan. Sehingga pengadilan sesuai dengan

kewenangannya dapat menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta

menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan (Cik Hasan

Bisri, 2003:6).

Skema: Model Kerangka Berfikir

Dalam Penelitian Putusan Mahkamah Agung

Nomor:85K/AG/2012

= Hubungan Searah (langsung)

= Hubungan Fungsiona

E. Langkah-Langkah Peneltian

Dalam penelitian ini, penulis telah menentukan langkah-langkah

penelitian sebagai berikut:

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah Content Analysis (analisis isi), yaitu yang didasarkan pada sumber

Kewenangan

Pengadilan Agama

Tidak Tertulis Tertulis

Sumber Hukum

Perwakafan Tanah

Upaya Hukum

Banding dan Kasasi

Pengadilan Tingkat Pertama

Proses Pemeriksaan

Perkara

dokumen atau bahan bacaan (Cik Hasan Bisri, 2008:63).Dalam hal ini

adalah analisis terhadap berkas putusan Mahkamah Agung Nomor

85K/AG/2012.

2. Sumber Data

Penentuan sumber data didasarkan atas jenis data yang telah

ditentukan.Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data

primer dan sumber data sekunder (Cik Hasan Bisru, 2008:64). Yaitu

sebagai berikut:

a. Sumber data Primer, yakni: Putusan Mahkamah Agung Nomor

85K/AG/2012,dan data hasil wawancara dengan para hakim yang

mengadili perkara tersebut, serta sumber teori yang dapat dijadikan

rujukan.

b. Sumber data Sekunder. Buku-buku, Undang-Undang, tulisan-tulisan

hukum, artikel hukum maupun jurnal-jurnal hukum yang relevan

dengan permasalahan yang dibahas.

3. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah jenis data kualitatif yaitu setiap

data yang tidak dapat diukur oleh angka atau jumlah tetapi dalam bentuk

katagori-katagori yang merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian

yang diajukan terhadap masalah yang dirumuskan dan pada tujuan yang

telah ditetapkan.

Jenis data yang terkait dengan penelitian ini, yakni dalam hal meliputi:

a. Duduk perkara dalam putusan Mahkamah Agung Nomor

85K/AG/2012;

b. pertimbangan dan dasar hukum Hakim Mahkamah Agung dalam

putusan Nomor 85K/AG/2012 ;

c. Metode penemuan hukum hakim Mahkamah Agung dalam

memutuskan perkara Nomor 85 K/AG/2012.

4. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Cik Hasan Bisri (2008;64), alat pengumpulan data itu dapat

berupa suatu daftar pertanyaan terstruktur dan rinci, yang disebut

kuesioner (questionaire); atau secara garis besar dan dijadikan sebagai

pedoman dalam melakukan wawancara, yang kemudian dikenal sebagai

panduan wawancara (interviewgude).

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian

ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu:

a. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan dokumen putusan

Mahkamah Agung Nomor 85K/AG/2012 mengenai pembatalan tanah

wakaf oleh ahli waris kepada nadzir.

b. Studi kepustakaan, yaitu suatu teknik pengolahan data yang diambil

dari berbagai literatur atau buku-buku, Undang-Undang, tulisan-

tulisan hukum, artikel hukum maupun jurnal-jurnal hukum yang

relevan dengan permasalahan yang dibahas.

c. Wawancara, yaitu suatu teknik perolehan data dengan cara

mengadakan tanya jawab langsung atau bercakap-cakap dengan

responden dengan maksud untuk mendapatkan informasi sebanyak-

banyaknya dalam hal ini wawancara dilakukan kepada para hakim.

5. Analisis Data

Analisis data ini dilakukan melalui:

a. Mencari Putusan pada Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia;

b. Membaca dan Menganalisis Putusan Mahkamah Agung dalam

perkara No.85K/AG/2012;

c. Menemukan masalah hukum dalam perwakafan tanah dan yang tidak

memiliki bukti autentik sehingga dapat dibatalkan demi hukum;

d. Penarikan kesimpulan antara putusan Pengadilan Agama Bandung,

Pengadilan Tinggi Agama Bandung, hingga Mahkamah Agung.

Dengan demikian data yang diperoleh dalam penelitian ini

adalah analisis data kualitatif.