SG Kehutanan.doc Baru

download SG Kehutanan.doc Baru

of 29

description

Presentasi Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu 2 (2009-2014) Zulkifli Hasan di Kuliah Studium Generale ITB

Transcript of SG Kehutanan.doc Baru

PADA ACARA PENGHIJAUAN GUNUNG PANCAR

PAGE 26

MENJADIKAN HUTAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN PENDORONG EKONOMI BANGSA

Disampaikan oleh :

MENTERI KEHUTANAN

PADA ACARA STUDIUM GENERALE

DI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNGBandung, 23 Maret 2011

Bismillahirrohmanirohim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Salam sejahtera untuk kita semua.

Yang saya hormati; Saudara Rektor Institut Teknologi Bandung

Para Dekan dan Ketua Jurusan

Civitas Akademika dan Adik-adik mahasiswa yang saya cintai dan banggakanKita bersyukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmatNYA, kita dapat bertemu pada kesempatan kuliah umum pagi hari ini. Saya merasakan suatu kebahagiaan tersendiri, karena diundang untuk berbagi pengetahuan kepada civitas akademika Institut Teknologi Bandung (ITB) tentang hutan dan kehutanan Indonesia. Kegiatan ini sangat penting karena saya berbicara dengan calon-calon penerus dan pemimpin bangsa khususnya para mahasiswa ITB, salah satu perguruan tinggi yang mempunyai reputasi terbaik di dalam maupun di luar negeri. Civitas akademika dan hadirin yang berbahagia;Pertama, saya ingin mengulang ataupun menyitir perkataan dari salah seorang terkemuka dan sekaligus pemimpin di bidang lingkungan; Mrs. Bro Harlem Brundtland, tentang tanggapannya terhadap konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang artinya kurang lebih :

...Tidak ada dasar lain dari kebijakan politik yang tepat selain bukti/fakta ilmiah terbaik yang ada. Hal ini khususnya berlaku dalam bidang pengelolaan sumber daya alam

Pernyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa bukti/fakta ilmiah nerupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan pada saat kita akan mengambil suatu keputusan tidak saja dalam bidang politik akan tetapi juga dalam bidang lain terutama keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Bahwa suatu fakta yang didapatkan tidak berdasarkan atas sains maka fakta/bukti tersebut tidak dapat disebut sebagai fakta/bukti ilimiah. Pengggunaan fakta/bukti yang tidak ilmiah akan mengandung resiko dalam pelaksanaannya karena kita tidak mengetahui dengan pasti konsekuensi logis yang diakibatkan dari penggunaan fakta tersebut. Dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik maka dapat saya pastikan bahwa dampak yang timbul menyebabkan biaya yang tinggi yang pada akhirnya merupakan biaya bagi masyarakat (society). Civitas Akademika yang saya cintai,

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan bahwa pada tanggal 2 Februari 2011 di New York, telah ditetapkan tahun 2011 adalah International Year of Forest. Tema utama untuk International Year of Forest 2011 ini adalah Forest for People. Tema ini mengangkat substansi yang berkaitan dengan nilai-nilai lokal dalam kehutanan antara lain nilai kearifan lokal (tradisional knowledge), community forest based management, small and medium forest enterprises, dan hasil hutan yang tidak memberikan nilai finansial secara langsung (non cash values of forest).

FAO juga telah meluncurkan secara resmi publikasi FAO yang berjudul State of the Worlds Forest (SOFO) 2011 yang merupakan salah satu dari flagship publication yang diterbitkan oleh FAO tentang kondisi hutan dunia. Isu utama yang ditampilkan dalam SOFO 2011 ini pentingnya pendekatan yang menyeluruh dalam pengelolaan hutan dalam menunjang mata pencaharian masyarakat dan menjadikan hutan sebagai sumber peningkatan nutrisi dan jaminan pangan. Hal yang cukup membanggakan adalah, dalam publikasi ini diambil salah contoh tentang tree gardens in Java sebagai skema pamanfaatan hutan dengan menggunakan sistem agroforestry. Sistem pamanfaatan lahan seperti ini memungkinkan untuk memaksimalkan pemanfataan ruang setiap jengkal lahan guna memproduksi kayu dan tanaman pangan.

Hadirin terutama para mahasiswa yang saya banggakan;

Hutan bukan hanya sekumpulan pepohonan yang menyediakan kayu, akan tetapi hutan mempunyai nilai yang tidak ternilai harganya, karena hutan sesungguhnya adalah sebuah ekosistem penyangga kehidupan. Apabila sumberdaya hutan dikelola dengan baik maka akan memberikan kebaikan bagi kehidupan masyarakat. Namun apabila pengelolaannya tidak berdasarkan kepada prinsip kelestarian maka bencana bagi umat manusia tidak dapat dihindarkan bahkan bagi generasi yang akan datang.

Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam yang lain, pengelolaan hutan memerlukan pendekatan yang menyeluruh karena hutan mempunyai karakter yang tidak dimiliki oleh sumber daya yang lainnya. Karakter-karakter dimaksud meliputi;1. Aneka ragam sumber daya

Di dalam hutan tropika terdapat keanekaragaman kehidupan flora dan fauna, yang secara bersama-sama membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia. Berbagai jenis flora dan fauna mempunyai kegunaan baik yang telah diketahui manfaatnya maupun yang belum diketahui. Dalam konteks ini maka upaya yang terintegrasi untuk menjaga keutuhan ekosistem hutan menjadi sangat penting terlebih Indonesia adalah negara megabiodiversity tropis yang sangat besar diantara negara tropis lainnya. Ekosistem yang terganggu akan menyebabkan timbulnya wabah penyakit, ledakan populasi dan akibat lain yang pada tingkat dan kondisi tertentu sulit untuk diprediksi akibatnya.1. Keragaman Peluang Pemanfataan

Pengetahuan kita tentang isi hutan dan kegunaannya belum sepenuhnya mampu diungkapkan. Hutan tropika yang dikenal sebagai mega biodiversity masih menyimpan peluang-peluang manfaat dan peluang-peluang usaha yang tidak terkira jumlahnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir kemampuan kita hanya terbatas dalam pemanfaatan kekayaan alam hutan dan terfokus pada kayu dan non kayu, padahal masih banyak potensi kekayaan lain yang nilainya jauh lebih besar, antara lain pemanfaatan kondisi lingkungan dan tumbuhan serta satwa liar.

Karakter-karakter diatas menunjukan bahwa hutan mempunyai peran yang sangat vital bagi kelangsungan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup. Untuk mewujudkan fungsi hutan yang optimal, maka keberadaan kawasan hutan di Indonesia seluas 136,79 juta Ha dibagi menurut fungsinya;

Hutan lindung seluas 30,96 juta Ha, ditujukan untuk kepentingan perlindungan tata air, kesuburan tanah dan lain-lain. Hutan produksi yang ditujukan sebagian besar untuk tujuan produksi kayu dan non kayu dengan luas kawasan hutan produksi adalah 59,90 juta Ha Hutan konservasi seluas 25,29 juta Ha diperuntukkan bagi kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan pemanfaatan jasa serta wisata alam.

Disamping pembagian fungsi tersebut diatas pemerintah telah mengalokasikan sekitar 20,3 juta Ha hutan konversi yang dapat digunakan sektor lain seperti untuk pembangunan pertanian, perkebunan, pemukiman, dan kepentingan umum lainnya.Dari pemaparan tersebut diatas dan mengacu kepada baseline yang ada, dapat saya sampaikan bahwa substansi dari kedua karekter tersebut belum banyak disentuh oleh sains dan teknologi. Hal ini terlihat dengan masih terbatasnya data, publikasi dan informasi terutama tentang hasil hutan bukan kayu baik dalam konteks penelitian dasar (basic research) maupun penelitian terapan (applied research). Konsekuensinya adalah akan sangat sulit bagi praktisi untuk mengembangkan teknologi dalam rangka peningkatan kemanfaatan sumberdaya hutan.

Menurut Dellow (1970), sains adalah kumpulan pengetahuan yang terorganisasi yang diperolah dan terus bertambah secara konsisten dengan menggunakan metoda sains. Teknologi adalah aplikasi dari prinisip-prinsip sains kepada proses keteknikan. Namun pada tingkatan tertentu teknologi dan sains terapan kadang-kadang tidak mudah di bedakan. Hutan adalah satu-satunya sistim alam yang efektif dalam mengatur tata air, tata tanah, dan tata udara untuk kehidupan di bumi, yang terbentuk melalui proses dan waktu yang sangat panjang, ratusan bahkan ribuan tahun. Hutan seharusnya dikelola secara arif dan terukur, yang pemanfaatannya tidak melebihi daya dukung dan kemampuan pemulihan hutan itu sendiri. Keterkaitan yang sangat erat antara sumberdaya hutan dan peran hutan dalam mengatur fungsinya memerlukan ilmu dan pengetahuan. Dengan demikian maka sains dan teknologi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan hutan. Untuk itu saya berpendapat bahwa sains dan teknologi adalah hal yang esensial dalam proses pembangunan hutan dan kehutanan Indonesia. Civitas Akademika yang berbahagia;Amanat UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfataannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE) dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta eksistemnya dan pemanfataan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan cara menetapkan suatu wilayah tertentu menjadi wilayah perlindungan. Sedangkan yang dimaksudkan pengawetan adalah usaha untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya tidak punah. Pengawetan di luar kawasan meliputi pembatasan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap tumbuh-tumbuhan dan satwa, sedangkan pengawetan di dalam kawasan dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam dan zona inti taman nasional.

Dalam pengawetan jenis, ditetapkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimaksudkan untuk melindungi species tumbuhan dan satwa agar jenis tumbuhan dan satwa tersebut tidak mengalami kepunahan. Penetapan ini dapat berubah sewaktu-waktu tergantung dari tingkat keperluannya yang dicirikan oleh tingkat bahaya kepunahan yang mengancam jenis yang bersangkutan.

Pemanfataan secara lestari sumber daya hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: pemanfataan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfataan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfataan secara terbatas dapat dilakukan baik pada hutan lindung maupun kawasan konservasi terutama pada blok/zona pemanfataan untuk tujuan penunjang budidaya, pendidikan, penelitian dan pariwisata alam.

Saudara Rektor dan civitas akedemika yang berbahagia;

Untuk tujuan konservasi, pemerintah telah menetapkan lebih kurang 27,2 juta ha hutan dalam bentuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Buru dan Taman Hutan Raya. Pemanfataan yang lestari terhadap kondisi lingkungan dan pemanfataan jenis tumbuhan serta satwa liar mempunyai prospek yang cerah di masa yang akan datang. Pemanfataan kondisi lingkungan seperti penyedia sumber air dan energi, pemanfataan plasma genetik hutan sebagai sumber pangan dan obat-obatan merupakan komoditas handal yang diinginkan oleh masyarakat di tingkat lokal, nasional dan internasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pemanfataan non kayu dari kawasan hutan mencapai 90 % sedangkan nilai kayu hanya 10% saja.Pemanfaatan kawasan konservasi Taman Nasional Halimun Salak, adalah salah satu contoh yang dapat menggambarkan nilai konservasi tersebut. Taman Nasional Halimun Salak mempunyai potensi suplai air sebesar 3,2 milyar m3 per tahun yang nilai ekonominya diperkirakan sebesar Rp. 320 milyar per tahun. Keanekaragaman hayati dan pesona alamnya telah menjadi daya tarik wisata bagi 8 juta penduduk terutama dari Jakarta, Bogor dan Bandung yang menghasilkan Rp 0,5 milyar per tahun walaupun nilai ini masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi yang ada.

Saudara-saudara yang saya hormati;

Dengan pemahaman tersebut di atas maka hutan harus dipandang sebagai sumberdaya yang utuh. Kita harus meninggalkan pandangan bahwa hanya kayu yang dapat dimanfaatkan dari kumpulan tegakan pohon. Hal ini membawa implikasi bahwa sistem nilai dan etika yang mendasari kita memahami sumberdaya hutan harus berubah. Perubahan paradigma ini menuntut kita, sebagai komunitas akedemisi dan anak bangsa untuk melakukan penyesuaian terhadap kerangka pikir dalam memandang sumber daya hutan. Sistem nilai dan etika bagaimanakah yang layak mendasari perubahan cara pandang ini? Mac Donnel dan Bates dalam bukunya menyatakan bahwa sumber daya hutan dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem kemasyarakatan dan sistem kelembagaan yang ada. Sistem nilai yang didasarkan atas etika ini mengharuskan kita untuk menjadikan sumberdaya hutan sebagai life support system yang keberlanjutannya terjamin dan rakyat sebagai komunitasnya menjadi bagian integral serta penerima manfaat terbesar dari pembangunan kehutanan. Dalam implementasinya, maka dibutuhkan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari timber based management kepada resources based management. Pengelolaan hutan harus memandang penting semua komponen sumber daya hutan, termasuk kayu, bukan kayu, serta pemanfataan kondisi lingkungan, tumbuhan dan satwa baik dalam skala makro dan mikro. Konservasi sumber daya hutan, termasuk didalamnya konservasi keragamaan genetika dan biologi, harus menjadi bagian penting dan tidak dianggap sebagai pelengkap dan pemanis proses pembangunan kehutanan.

Mempertimbangkan kondisi tersebut di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa sains dan teknologi dalam pengelolaan hutan di Indonesia belum digunakan secara maksimal. Ke depan, saya mengharapkan agar peran sains dan teknologi lebih besar dan digunakan dalam proses perumusan kebijakan pengelolaan hutan terutama dikaitkan dengan upaya konservasi genetik sumber daya hutan tropis Indonesia. Peran sains dan teknologi dalam konservasi bukan berarti tidak memperhitungkan nilai ekonomi sumberdaya hutan. Kalau persepsi ini terus berkembang maka nilai hutan akan menjadi sesuatu yang under value sehingga hutan tidak menjadi bagian yang perlu dikelola secara bijak dan lestari.Sejarah mencatat bahwa sumberdaya hutan Indonesia pernah menjadi penghasil devisa ke 2 setelah Migas pada awal tahun 1990an. Catatan ini membuktikan bahwa hutan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modal penggerak ekonomi bangsa ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa sejarah pengelolaan hutan juga membuktikan bahwa pada saat yang bersamaan telah terjadi kerusakan hutan karena eksploitasi hutan berlebihan dan tidak terkendali. Kondisi ini diperburuk dengan maraknya pencurian kayu, mismanagement pengelolaan hutan, penguasaan kawasan secara illegal serta rendahnya kapasitas dan kapabilitas kelembagaan kehutanan baik di pusat maupun di daerah. Civitas Akademika yang saya cintai;

Akhir-akhir ini kita dihadapkan kepada masalah perubahan iklim global. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Lingkungan dan Pembangunan di Brazil, tahun 1992, Indonesia ikut menandatangani Konvensi Tentang Perubahan Iklim, karena Indonesia menyadari bahwa dampak dari perubahan iklim sangat besar pada kehidupan terutama di negara kepulauan. Dalam perjalanannya, pada konferensi para pihak (COP) ke 13 di Bali tahun 2007 yang lalu, para pemimpin dunia menyepakati bahwa kerjasama jangka panjang (long term cooperative action) masyarakat dunia dalam melawan pemanasan global harus dilakukan.

Upaya yang tepat untuk menurunkan emisi secara nasional yang kita kenal dengan NAMA (National Appropriate Mitigation Action) harus dilakukan bersama baik oleh Negara maju maupun Negara berkembang. Namun bagi Negara berkembang, semua pihak menyepakati bahwa upaya penurunan emisi yang dilakukan tetap dalam konteks pembanguan berkelanjutan dan harus dibantu baik dari segi pendanan, teknologi dan pembangunan SDM nya.

Sejak revolusi industri, lingkungan global mengalami pencemaran udara yang berpengaruh besar kepada perubahan iklim global. Industri dipacu dengan menggunakan sumber energi dari bahan baku fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas yang membuang limbah Gas Rumah Kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Semakin banyak Gas Rumah Kaca dilepas ke udara maka semakin tebal selimut gas rumah kaca dan semakin panas pula suhu bumi ini.

Pergerakan kenaikan suhu bumi sejak abad ke 20 berlangsung sangat cepat dan akan terus naik. Walaupun saat ini kita mampu menghentikan emisi gas rumah kaca (GRK), perubahan iklim yang sedang terjadi tidak akan dapat dihentikan karena perubahan ini merupakan dampak peningkatan konsentrasi GRK yang telah terjadi dalam seratus tahun terakhir ini.

Para ahli memperkirakan bahwa apabila konsentrasi gas rumah kaca pada tahun 2050 terus naik melebihi 550 ppmv, maka kemungkinan besar kenaikan suhu global akan melebihi 2oC di banding suhu saat ini. Kalau ini terjadi maka dampak perubahan iklim akan sulit dikendalikan dan dapat menganggu keberlanjutan pembagunan baik pada tingkat negara maupun pada tataran dunia. Beberapa kajian menyatakan bahwa kerugian per tahun yang diakibatkan oleh perubahan iklim ini apabila tidak dilakukan upaya yang serius dalam menanganinya dari sekarang akan setara dengan 5% sampai 20% GDP global.

Dampak buruk akibat perubahan iklim tidak hanya dipikul oleh Indonesia tapi semua negara di dunia. Negara yang terletak pada garis khatulistiwa umumnya adalah negara-negara miskin dan berkembang, yang diperkirakan akan mengalami kerugian yang sangat besar. Dengan upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan sendiri tanpa dukungan dari Negara maju baik dari segi pendanaan, teknologi dan pembangunan kapasitas kelembagaan, maka tingkat kehilangan dan kerusakan (loss and damage) akibat perubahan iklim akan melewati tingkat kemampuan untuk bisa pulih kembali. Jelas bahwa negara-negara ini akan memikul beban yang sangat berat dari dampak perubahan iklim dibandingkan dengan negara maju.

Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), yang telah disepakati merupakan hasil pemikiran global. Pemikiran global ini harus kita pahami secara bijak dengan pengertian bahwa setiap negara yang telah sepakat harus tetap mempertahankan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat (sovereign country). Namun kita juga harus menyadari bahwa kesepakatan global ini mempunyai implikasi terhadap kebijakan kelembagaan, hukum, keuangan, ekonomi, sains dan teknolgi yang berbeda untuk setiap negara. Implikasi ini memerlukan penyesuaian kondisi nyata di lapangan sesuai dengan faktor sosial, budaya, ekonomi serta kemajemukan masyarakat terutama yang tinggal di dalam dan disekitar hutan. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan peran hutan khususnya hutan tropika dalam mengendalikan perubahan iklim global. Peran hutan tropika tidak hanya menyerap dan menyimpan karbon akan tetapi juga sebagai penyangga kehidupan manusia untuk menambah daya tahan terhadap resiko perubahan iklim saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu peran hutan dalam penanganan perubahan iklim sangat krusial. Selain peran tersebut, hutan juga sangat perperan dalam menjaga keseimbangan iklim lokal dan regional karena perannya yang besar dalam menentukan keseimbangan energi dan siklus hidrologi. Hal yang kurang mendapat perhatian publik adalah besarnya kemampuan hutan dalam menyerap karbon. FAO telah memprediksi bahwa hutan global dapat menyerap karbon sebesar 2,6 Giga ton per tahun. Terlepas dari adanya dinamika proses karbon, hutan juga sebagai tempat penyimpanan karbon raksasa yang menurut prediksi sebesar 1650 Giga ton. Jumlah ini diperkirakan sebesar 2 kali besarnya karbon yang ada di atmosfir.

Dalam kaitan emisi, bahwa karbon yang tersimpan didalam hutan dapat lepas ke atmosfer dalam bentuk emisi CO2 sebagai akibat adanya deforestasi dan kerusakan hutan. Para pakar menyimpulkan bahwa proses deforestasi yang dialami oleh hutan tropika sangat cepat serta menghasilkan emisi CO2 lebih besar dibandingkan dengan hutan temperate di dunia. Oleh karena itu kunci masalah yang kita hadapi bersama adalah bagaimana mengenali dan mengurangi faktor-faktor yang menyebabkan deforestasi dan kerusakan hutan secara berlanjut.Civitas akademika yang berbahagia,

Sebagai negara yang mempunyai hutan tropika terbesar ke 3 di dunia, pelaksanaan sistem pengelolaan hutan produksi yang lestari sangat diperlukan agar kelestarian produksi hasil hutan kayu dan non kayu dapat terus dijaga dan sekaligus dapat menjawab masalah pengurangan kemiskinan terutama bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan.

Keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung sangat penting dalam menjamin keberlangsungan ekosistem yang menyediakan tempat bagi kehidupan berbagai flora dan fauna, sumber makanan, bahan baku, sumberdaya genetik dan berbagai jasa lingkungan lainnya, serta dalam meredam dampak negatif dari kejadian iklim ekstrim. Kesemuanya ini memiliki peran yang sangat penting dalam membantu manusia dan makhluk hidup lainnya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian hutan memiliki peran ganda tidak hanya dalam mitigasi tetapi juga adaptasi dan oleh karena itu keberadaannya harus kita jaga dan kita kelola secara bijak. Saat ini luas kawasan hutan skunder diperkirakan mencapai lebih kurang 40 juta ha dan 50% dari luasan tersebut berada di dalam kawasan hutan produksi. Melalui program restorasi ekosistem hutan, kawasan ini dalam dua puluh tahun mendatang akan mampu menyerap 8.7 Giga ton CO2 atau setara dengan 0.44 Giga ton CO2 per tahun. Apabila lahan di dalam dan luar kawasan hutan yang kurang produktif khususnya pada lahan yang topografinya kurang mendukung untuk tanaman semusim ditanami kembali dengan tanaman tahunan, maka lahan ini akan dapat menyerap karbon sebesar 6 Giga ton CO2 atau setara dengan 0.3 Giga ton CO2 per tahun. Pada saat kawasan hutan yang direstorasi telah pulih kembali dan kemudian dimanfaatkan kayunya untuk dikonversi menjadi produk kayu berumur panjang, maka CO2 yang diserap akan lebih besar. Hal ini perlu kita pahami karena karbon dalam kayu yang dipanen akan tersimpan di dalam produk yang umurnya bisa melebihi siklus tebang. Dengan demikian, melalui pemanenan, penyerapan CO2 akan terus berjalan dan karbon dari kayu yang dipanen akan ditumpuk di dalam produk yang berumur panjang. Oleh karena itu pengelolaan hutan dengan prinsip lestari menjadi suatu keharusan disertai dengan upaya peningkatkan proporsi hasil hutan kayu yang menjadi produk berumur panjang.

Indonesia merupakan salah satu negara pilihan dalam pengembangan kegiatan Reducing Emision from Deforetation and Forest Degradation (REDDplus) melalui kerjasama bilateral dan multilateral. Hal ini sangat menguntungkan posisi Indonesia di tingkat Internasional untuk bernegosiasi dalam upaya pengendalian perubahan iklim dunia. Saat ini terdapat 30 unit Demonstration Activities (DA) dan proyek REDDplus. Demonstration Activities (DA) dan proyek ini tersebar diseluruh Indonesia dengan variasi dalam ruang lingkup kegiatan, ukuran, status dan sumber pendanaannya. Berdasarkan analisis perkembangan masalah perubahan iklim global tersebut di atas, maka diperlukan penelitian untuk menjawab masalah /issue sebagai berikut :1. Metodologi tentang perhitungan besarnya nilai karbon hutan

2. Mekanisme insentif yang dapat memacu produksi hasil hutan yang berkelanjutan baik melalui perbaikan sistem pengelolaan hutan produksi maupun percepatan pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan hutan produksi yang telah rusak dan terdegradasi berat termasuk di luar kawasan hutan3. Kerangka kelembagaan (institutional framework) yang mampu mendata semua inisitiatif yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam melakukan upaya penurunan emisi melalui proses validasi MRV. 4. Kelembagaan yang berfungsi sebagai fasilitator sekaligus membantu berbagai pihak untuk bisa menghasilkan sertifikat penurunan emisi dari upaya mitigasi yang dilakukan dan dapat diakui oleh internasional. Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, Kementerian kehutanan telah menetapkan 8 (delapan) kebijakan prioritas. Salah satu kebijakan yang menyangkut upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, yaitu Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Hal ini merupakan wujud pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang berbasis pro poor, pro jobs, pro growth dan pro environment. Untuk lima tahun ke depan, Kementerian Kehutanan, menetapkan program-program pemberdayaan masyarakat. Sasaran program ini meliputi pembangunan hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan hutan rakyat kemitraan antara kelompok tani, dengan industri perkayuan.Dalam kaitan ini, peran sains dan teknologi, harus mampu mengidentifikasi dan mengembangkan management dan teknologi pengelolaan hutan khususnya kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki masyarakat. Hal ini diperlukan karena kearifan lokal telah terbukti mampu menjamin pemanfaatan hasil hutan secara lestari dan tidak merusak sumberdaya hutan. Di sisi lain kearifan lokal tersebut masih perlu dikembangkan agar bisa diterapkan dalam skala ekonomi dan memiliki nilai tambah, sehingga mempunyai keunggulan kompetitif (competitive advantage)Civitas akademika yang saya hormati,Dari pemaparan tersebut di atas pada hakikatnya saya ingin mengingatkan bahwa, pengelolaan hutan bukanlah sesuatu yang statis, akan tetapi merupakan hal yang dinamis. Dengan pemahaman ini saya mengajak seluruh civitas akademika Institut Teknologi Bandung, untuk bersama-sama melakukan perbaikan-perbaikan pengelolaan hutan melalui sumbangsih pemikiran yang didasarkan atas sains dan teknologi. Perbaikan ini harus segera kita lakukan agar manfaat sumberdaya hutan dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.Semoga Tuhan yang maha kuasa selalu memberikan bimbingan kepada kita semua agar hutan dan kehutanan selalu memberikan manfaat yang terbaik kepada seluruh makhlukNYA

Wabillahitaufik wal hidayahWassalamu alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

MENTERI KEHUTANAN

ZULKIFLI HASAN