BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

28
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Reformasi di Indonesia telah membawa perubahan yang signifikan bagi kehidupan media lokal. Semarak demokrasi telah mengusung kebebasan pers yang awalnya sesak dengan belenggu atau intervensi pemerintah kemudian lepas dan bangkit dari jeratan tersebut. Kondisi ini memungkinkan kehidupan media nasional di Indonesia termasuk juga kehidupan media lokal untuk tumbuh dan berkembang. Tidak mengherankan jika semua kota atau provinsi di Indonesia memiliki media sendiri baik berupa surat kabar daerah, radio daerah maupun televisi daerah. Berdasarkan data dari Serikat Perusahaan Pers Tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penerbitan media cetak adalah sebanyak 1.324 yang terdiri dari630 surat kabar harian dan mingguan dan 694 tabloid dan majalah 1 . Jumlah tersebut sudah termasuk dengan media lokal yang berada di bawah naungan kelompok media nasional seperti Kelompok Kompas Gramedia (KKG) atau Tribun dan Jawa Pos. Seperti Tribun Batam di Batam, Tribun Pekanbaru di Pekanbaru, dan Radar Jogja di Yogyakarta. Media-media lokal yang independen atau berdiri sendiri tanpa bersandar dengan payung media nasional juga semakin menjamur di Indonesia seperti kehadiran surat kabar Tabengan di Kalimantan Tengah, Papua Pos Nabire di Papua dan Bincang Riau di Riau. Fenomena demikian juga terjadi di Kalimantan Selatan yang selama ini telah ada dua media nasional yang mengawal media lokal. Surat kabar harian (SKH) Banjarmasin Post yang dikawal olehTribun dan Radar Banjarmasin dengan media nasionalnya Jawa Pos. Sedangkan media lokal yang independen sendiri juga tidak sedikit jumlahnya. Seperti surat kabar harian (SKH) Media Kalimantan, Mata Banua, Barito Post dan Kalimantan Post. 1 Amir Effendi Siregar, Berselancar di Atas Gelombang Perubahan: Model Bisnis Baru Media Cetak”, http:http://www.dewanpers.or.id/diakses tanggal 11 September 2015

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era Reformasi di Indonesia telah membawa perubahan yang signifikan

bagi kehidupan media lokal. Semarak demokrasi telah mengusung kebebasan pers

yang awalnya sesak dengan belenggu atau intervensi pemerintah kemudian lepas

dan bangkit dari jeratan tersebut. Kondisi ini memungkinkan kehidupan media

nasional di Indonesia termasuk juga kehidupan media lokal untuk tumbuh dan

berkembang. Tidak mengherankan jika semua kota atau provinsi di Indonesia

memiliki media sendiri baik berupa surat kabar daerah, radio daerah maupun

televisi daerah.

Berdasarkan data dari Serikat Perusahaan Pers Tahun 2012 menunjukkan

bahwa jumlah penerbitan media cetak adalah sebanyak 1.324 yang terdiri dari630

surat kabar harian dan mingguan dan 694 tabloid dan majalah1. Jumlah tersebut

sudah termasuk dengan media lokal yang berada di bawah naungan kelompok

media nasional seperti Kelompok Kompas Gramedia (KKG) atau Tribun dan Jawa

Pos. Seperti Tribun Batam di Batam, Tribun Pekanbaru di Pekanbaru, dan Radar

Jogja di Yogyakarta. Media-media lokal yang independen atau berdiri sendiri

tanpa bersandar dengan payung media nasional juga semakin menjamur di

Indonesia seperti kehadiran surat kabar Tabengan di Kalimantan Tengah, Papua

Pos Nabire di Papua dan Bincang Riau di Riau.

Fenomena demikian juga terjadi di Kalimantan Selatan yang selama ini

telah ada dua media nasional yang mengawal media lokal. Surat kabar harian

(SKH) Banjarmasin Post yang dikawal olehTribun dan Radar Banjarmasin

dengan media nasionalnya Jawa Pos. Sedangkan media lokal yang independen

sendiri juga tidak sedikit jumlahnya. Seperti surat kabar harian (SKH) Media

Kalimantan, Mata Banua, Barito Post dan Kalimantan Post.

1Amir Effendi Siregar, “Berselancar di Atas Gelombang Perubahan: Model Bisnis Baru Media

Cetak”, http:http://www.dewanpers.or.id/diakses tanggal 11 September 2015

2

Banjarmasin Post dan Kalimantan Post adalah dua surat kabar tertua

dalam sejarah pers di Kalimantan Selatan2. Meskipun dalam perjalanannya media-

media ini sempat tumbang dan diakusisi oleh beberapa media nasional seperti

sekarang, namun tetap menjadi pelopor jurnalisme terdepan. Seperti keberadaan

Banjarmasin Post saat ini dibawah induk PT Indopersda PrimamediaKelompok

Kompas Gramedia (KKG). Begitupun dengan Kalimantan Post yang dulunya

bernama surat kabar Dinamika sempat diambil alih oleh Surya Persindo Grup

(Media Indonesia) dengan komisarisnya Surya Paloh. Kemudian, karena krisis

moneter yang melanda tahun 1998 saham Kalimantan Post dijual kepada

pengusaha Kalselyakni Taufik Effendi yangjuga dikenal sebagai mantan politisi

partai Golkar di Kalimantan Selatan.

Profil masing-masing media tersebut memiliki karakteristik tersendiri

sehingga membuatnya berbeda. Jika Kalimantan Post bebas menjalankan

kebijakan yang mereka buat sendiri, maka berbeda dengan Banjarmasin Post

yang harus tunduk pada serangkaian aturan yang dibuat oleh Indopersda. Segala

sesuatunya yang terkait dengan media tersebut harus mendapatkan persetujuan

terlebih dahulu dari Indopersda lalu kemudian bisa diambil suatu putusan atau

kebijakan perusahaan. Satu sisi hal ini menjadi nilai tambah bagi Banjarmasin

Postkarena telah sukses menjaring pembaca layaknya koran-koran Tribun lainnya

di Indonesia. Melihat jumlah cetakan (oplah) nya saja mencapai angka 40.000

eksemplar setiap harinya.

Saat ini, usia Banjarmasin Post menginjak usia 44 tahun. Keputusan untuk

merger ke Indopersda dilakukan sekitar tahun 1995 karena pada saat itu kondisi

finansial Banjarmasin Post mengalami keterpurukan. Ketidakberdayaan tagihan

piutang yang banyak membuat Banjarmasin Post rela melepas saham mereka

yang besarnya lebih dari 50 persen kepada Indopersda. Selama puluhan tahun

Banjarmasin Post membina kerjasama dengan Indopersda,kemudian membuat

Banjarmasin Post memperluas bisnis media cetak lainnya yakni dengan

240 Tahun Banjarasmasin Post (PT Grafika Wangi Kalimantan, 2011). Kedua media ini sama-

sama lahir pada era Orde Baru. Banjarmasin Post lahir tahun 1971, sedangkan Kalimantan Post

tahun 1986. Sisanya seperti Media Kalimantan, Barito Post, Metro Banjar, Radar Banjarmasin,

Mata Banua hidup di atas tahun 90an ketika reformasi telah bergulir.

3

melahirkan surat kabar Metro Banjar, tabloid Serambi Ummah dan majalah

komunitas B Magazine. Selain bisnis media cetak juga ada bisnis radio dan

televisi yakni BPost radio serta Kompas TV Banjarmasin.

Dibalik keberhasilan Banjarmasin Post selama ini ternyata tidak lepas dari

kiprah pendiri media itu sendiri yaitu Pangeran H. Rusdi Effendi AR. Ia adalah

Pemimpin Perusahaan Banjarmasin Postyang memiliki sederet jabatan di

Kalimantan Selatan yang salah satunya adalah anggota aktif Dewan Pertimbangan

Partai Golkar Kalsel3. Prosentase saham yang ia miliki di Banjarmasin Post tidak

banyak atau hanya beberapa saja, namun intervensinya sangat kuat di

Banjarmasin Post terutama dalam hal konten atau isi pemberitaan.

Kalimantan Post sendiri juga dipelopori oleh tokoh ternama Kalsel, namun

jabatan yang pernah diduduki tidak sebanyak jabatan yang diemban oleh

pimpinan perusahaan Banjarmasin Post. Dengan usianya yang tak lagi muda

yakni sekitar 70 tahun Taufik Effendie hanya fokus pada usaha yang telah

dirintisnya selama ini yaitu bisnis kayu dan batubara. Selain itu, melihat

background pemilik Kalimantan Post yang dulunya juga mantan bendahara Partai

Golkar membuat media ini tidak luput afiliasinya dengan partai politik seperti di

Banjarmasin Post. Ditambah lagi dengan keterlibatan Dewan Penasehat

Kalimantan Postyang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Banjarmasin Post, Metro Banjar, Serambi Ummah, B Magazine dan

BPost Radio adalah kepanjangan bisnis Kelompok Kompas Gramedia

(KKG)untuk region Kalimantan Selatan. Media-media tersebut berkantor ditempat

yang sama, namun untuk bisnis radio dan televisi sistem manajemennya terpisah.

Sedangkan kelompok media cetaknya berada disatu wadah manajeman serta

organisasi yang sama. Tidak mengherankan jika menjumpai surat kabar

Banjarmasin Post, Metro Banjar, tabloid Serambi Ummah dan B Magazine itu

struktur keredaksiannya sama. Karyawan beserta posisi jabatannya juga tidak ada

3Saat ini ada 59 jabatan dan 7 penghargaan yang selama ini pernah diraih oleh Pangeran H. Gusti

Rusdi Effendie AR. Selain dinobatkan sebagai tokoh pejuang pers pada tahun 2010 juga dilantik

sebagai Anggota Dewan Pertimbangan partai Golkar hingga saat ini

(http://hgrusdieffendiar.com/profile, diunduh tanggal 20 Mei 2015).

4

yang berbeda. Hanya manajer redaksi dimasing-masing medianya saja yang

berbeda. Wartawan yang meliput Banjarmasin Post juga adalah wartawan yang

meliput Metro Banjar, Serambi Ummah dan B Magazine. Melihat fenomena ini,

kekhawatiran timbul manakala wartawan sehari-hari yang menangani empat

media sekaligus hanya mencari satu sumber berita kemudian dikemas dan

dikembangkan dalam versi Metro Banjar sebagai surat kabar kriminal dan

Serambi Ummah sebagai tabloid keagamaan. Mereka tidak mengolah berita secara

utuh dan bersengaja berdasarkan prinsip jurnalisme, namun hanya memanfaatkan

sumber-sumber seadanya sehingga keakurasian informasi bisa dipertanyakan.

Perluasan jaringan media seperti ini juga sudah banyak terjadi di

Indonesia. Diantaranya adalah Hary Tanoesodibjo pemilik Media Nusantara Citra

(MNC) Grupyang membawahi 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak

dan satu media online. Relasinya dalam dunia politik juga patut diperhitungkan

karena ia adalah pendiri sekaligus Ketua Umum dari Partai Persatuan Indonesia

(Perindo). Tokoh politik lainnya sekaligus pemilik media adalah Surya Paloh

yang juga merupakan pendiri Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan sekaligus

pemilik Media Grup dengan satu televisi dan 3 media cetak.

Melihat realitas demikian, maka tujuan hakiki jurnalisme adalah adalah

untuk mencerahkan publik (public enlightenment), semakin bergeser. Jurnalisme

saat ini cenderung dikendalikan oleh pasar dan hanya bertujuan untuk

memaksimalkan keuntungan ekonomi para pemodal. Ditambah lagi background

pemilik media adalah mereka yang terjun ke dalam dunia politik. Dapat dipastikan

media hanya menjadi corong atau alat bargaining untuk memuluskan jalan bisnis

mereka. Hal itu tidak hanya berpengaruh pada konten berita yang disajikan, tetapi

juga dapat menggiring opini publik untuk bersimpati terhadap media

tersebut.Fenomena ini tidak hanya berlaku pada media nasional, tetapi juga media

lokal di Kalimantan Selatan seperti Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pesatnya pertumbuhan media lokal maupun

nasional ditopang oleh dua kekuatan besar yakni kekuatan grup serta kekuatan

5

pemilik modal. Seperti yang diungkapkan oleh anggota PWI Kalsel Toto

Fachruddin terkait pesatnya pertumbuhan media di Kalimantan Selatan, yaitu:

“Kalau kita mengamati pertumbuhannya harus diakui memang media-

media yang ditopang oleh kekuatan grup. Karna mereka memang adalah

media yang memiliki infrastruktur yang cukup mapan. Baik secara kualitas

SDM, kemudian mekanisme kerja, aturan, dan mereka memiliki produk-

produk internal yang memang apa yaaa standarnya itu sudah standar yang

ditetapkan oleh grup mereka masing-masing. Seperti di Banjarmasin Post,

itu merupakan bagian dari KKG, Kompas Media Grup. Radar

Banjarmasin, itu juga contohnya adalah bagian dari Jawa Pos Grup. Ada

juga media yang ditopang oleh pemilik modal yang besar. Salah satunya

itu adalah Media Kalimantan. Media Kalimantan itu ditopang oleh pemilik

owner perusahaan PT Hasnur. Walaupun dia bukan media grup, tapi

pemilik modalnya ini adalah salah satu pengusaha yang cukup kuat, ya.

Sehingga mereka mampu menopang operasional penerbitan

dia.”(wawancara dengan Toto Fachruddin, wakil ketua bidang pendidikan

PWI Kalsel, 29 April 2015, di kantor PWI Kalsel, Banjarmasin).

Berdasarkan uraian di atas, persoalan pengkongsian media seperti yang

terjadi di Kalimantan Selatan dengan segala dampak lanjutnya merupakan satu

rangkaian telaah ekonomi politik media. Para teoritisi ekonomi politik media juga

percaya bahwa ada minoritas elit tertentu yang mengendalikan institusi ekonomi,

seperti bank dan pasar saham yang kemudian mempengaruhi banyak institusi

sosial lainnya, termasuk media massa. Dengan asumsi seperti itu, McQuail

mengatakan bahwa telaah ekonomi politik media mengarahkan penelitian pada

ketergantungan ideologi yakni kekuatan ekonomi serta analisis empiris terhadap

struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar. Institusi media dinilai

sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik.

Minoritas elit tertentu yang menduduki sebagian besar industri media di

Kalsel adalah orang-orang yang memiliki modal besar dan relasi yang kuat dalam

dunia politik. Pemimpin Umum Banjarmasin Post adalah anggota DPW Partai

Golkar dan Taufik Effendie adalah mantan bendahara Golkar. Mereka berasal dari

partai yang sama dengan jabatan yang berbeda. Tidak sulit bagi mereka untuk

melakukan intervensi terhadap perusahaan khususnya isi pemberitaan dengan

mengesampingkan kaidah yang berlaku dalam kode etik jurnalistik. Media

6

dijadikan sebagai alat bargaining untuk memuluskan karir dunia politik serta

bisnis tambang yang mereka jalankan selama ini.

Relasi politik yang kuat serta kemampuan finansial yang besar merupakan

bagian dari telaah ekonomi politik media yang ditulis Vincent Mosco dalam

bukunya yang berjudul The Political Economy of Communication.Mosco

membaginya dalam tiga pintu masuk yakni komodifikasi, spasialisasi dan

strukturasi. Fokus penelitian ini hanya mengkaji hal yang paling menonjol yakni

strukturasi dan spasialisasi. Komponen komodifikasi dalam hal ini tidak

disertakan karena akan berat jika dikejar dengan studi observasi partisipan dengan

teknik pengumpulan data melalui wawancara serta observasi langsung. Selain itu,

sasaran konseptual yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah lebih melihat

kepada peranan agen dalam usaha memperluas jaringan bisnis medianya. Bukan

melihat pada alasan-alasan yang melatarbelakangi media dijadikan sebagai

komoditas sebagaimana konsep yang berlaku pada komodifikasi.

Vincent Mosco menjelaskan bahwa teori strukturasi menunjukkan bahwa

agen secara kontinyu mereproduksi struktur sosial. Dalam strukturasi

memungkinkan bergabungnya beberapa proses komodifikasi dan spasialisasi

untuk mendapatkan keuntungan ekonomi politik. Strukturasi juga berimbas pada

penyeragaman ideologi secara terstrukturyakni media yang sama pemiliknya akan

memiliki ideologi yang sama pula. Dampak terbesarnya adalah timbulnya

keseragaman terhadap isi media itu sendiri yang pastinya tidak luput dari

genggaman intervensi pemilik media. Dengan kata lain media dapat digunakan

untuk menyampaikan ideologi pemiliknya. Sedangkan inti dari teori spasialisasi

adalah tentang cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan

sosial. Spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui

bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media. Fenomena strukturasi dan

spasialisasi inilah yang selama ini menjadi pintu masuk ekonomi politik media

yang paling menonjol pada Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.

Melihat fenomena ekonomi politik media cetak di Kalimantan Selatan,

terutama eksistensi Banjarmasin Post dan Kalimantan Post tergambar dari nuansa

7

strukturasi dan spasialisasi masing-masing media. Terutama media yang disokong

oleh media nasional seperti Banjarmasin Post serta media yang didukung oleh

petinggi partai sekaligus pengusaha yakni Kalimantan Post. Jika memang

kemampuan bertahan hidup atas faktor tersebut, maka praktek strukturasi dan

spasialisasi macam apa yang selama ini dilakukan sehingga Banjarmasin Post dan

Kalimantan Post dapat terus bertahan. Untuk menemukan jawaban terkait

ekonomi politik terkait strukturasi dan spasialisasi di media cetak Kalimantan

Selatan ini adalah hal yang menarik untuk dikaji.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana ekonomi politik media

lokal di Kalimantan Selatan khususnya strukturasi dan spasialisasi dalam surat

kabar harian (SKH) Banjarmasin Post dan Kalimantan Post?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan ekonomi politik media lokal di

Kalimantan Selatan khususnya strukturasi dan spasialisasi dalam surat kabar

harian (SKH) Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.

D. Manfaat Penelitian

Sebuah Penelitian ilmiah tentu diharapkan memberikan konstribusi

tertentu, baik akademis maupun praktis. Dalam konteks penelitian ini, maka

manfaat atau kegunaan yang diharapkan sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberi sumbangan

pemikiran sekaligus bahan pembanding bagi penelitian sejenis lainnya tentang

ekonomi politik medialokal terutama konsep strukturasi dan spasialisasi serta

pengaplikasian studi kasus (case study) dalam membedah permasalahan ilmu

komunikasi.

2. Manfaat praktis

8

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi

industri media khususnya media cetak lokal agar dapat belajar banyak dari

pengalaman Banjarmasin Post dan Kalimantan Post dalam menjalankan bisnis

media mereka melalui strategi ekonomi politik strukturasi dan spasialisasi

sehingga bisa terus eksis di tengah pesatnya persaingan media selama ini.

E. Tinjauan Pustaka

Perkembangan media cetak semakin pesat diberbagai belahan bumi

Nusantara merupakan imbas dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi

yang ada saat ini. Tidak hanya dalam skala nasional saja, ditingkat lokal pun

angka media cetak juga terus mengalami peningkatan. Hal ini merupakan salah

satu wujud dari kebebasan pers yang selama masa Orde Baru terabaikan. Selain

ditunjang oleh tekhnologi, faktor lain yang lebih penting adalah strategi ekonomi

politik media itu sendiri untuk meraih simpati publik. Berbagai penelitian pun

telah dilakukan untuk melihat dinamika ekonomi politik media, seperti praktek

strukturasi, komodifikasi serta spasialisasi di aras lokal maupun nasional. Akan

tetapi, penelitian ini hanya berfokus strukturasi dan spasialisasi pada media lokal

saja.

Penelitian dilakukan oleh Yoseph Andreas Gual pada tahun 2013 yang

berjudul Dinamika Ekonomi Politik Industri Penerbitan Pers Lokal (Studi Kasus

Praktek Komodifikiasi dan Spasialisasi di Kota Kupang. Ada empat media yakni

Pos Kupang, Timor Express, Erende Pos dan Radar Timor yang ia lihat dari sudut

pandang komodifikasi dan spasialisasi yang dianggap sebagai ujung tombak

keberhasilan media dalam menjaring khalayak. Dari temuannya menjelaskan

bahwa akan sulit media lokal untuk bertahan jika tidak memiliki modal besar dan

mesin cetak sendiri. Seperti Pos Kupang dan Timor Express yang besar karena

dibina oleh Kompas Gramedia dan Jawa Pos. Sedangkan Erende Pos dan Radar

Timor hanya milik masyarakat lokal dan tidak berafiliasi dengan media nasioal

sehingga dalam perjalanannya Erende Pos kurang dikenal masyarakat dan Radar

Timor sendiri sudah mati sejak tahun 2006.

9

Muhamad Sulhan pada penelitiannya tahun 2006 yang berjudul Kisah

Kelabu di Balik Maraknya Pers Lokal di Kalimantan mengatakan bahwa pers

lokal di Kalimantan merupakan kepanjangan jaringan dua bisnis media nasional

terbesar di Indonesia yakni Kompas Gramedia dan Jawa Pos. Disamping itu,

media di Kalimantan juga dikuasai oleh sejumlah elit politik dan pengusaha.

Sehingga, pada prakteknya media-media di Kalimantan tidak memiliki idealisme

dan konsistensi atas misi penyampaian kebenaran serta hanya menjadi corong

politik dan kepentingan bisnis dari penguasa media tersebut.

Isma Adila melalui hasil penelitiannya tahun 2011 pada PT. Mugi Rekso

Abadi (MRA) milik Adiguna Soetowo yang berjudul Spasialisasi Dalam Ekonomi

Politik (Studi Kasus MRA Media) mengungkapkan bahwa MRA Grup bukanlah

lah lagi perusahaan yang berfokus pada bisnis media cetak dan radio. Akan tetapi,

telah berekspansi ke bisnis lifestyle, hiburan, otomotif, hotel dan properti dengan

konsentrasi vertikal maupun horizontal. Horinzontal artinya bahwa bentuk badan

usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi dan monopoli.

Sedangkan vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak

perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh senergi,

terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi.

Penelitian lain terkait ekonomi politik yang berfokus pada strukturasi

dilakukan Rekno Sulandjari pada tahun 2012 berjudul Tinjauan Strukturasi

Dalam Krisis LPP TVRI. Penelitian ini melihat bahwa hampir semua bentuk

kelembagaan pernah disandang TVRI , mulai dari Perseroan Terbatas (PT) sampai

Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti sekarang ini. Meskipun telah banyak

banyak mengalami perubahan dengan status baru tersebut, tidak kunjung menarik

minat khalayak untuk menyaksikan program TV tertua di Indonesia ini. Masalah

sebenarnya adalah pada tubuh TVRI itu sendiri, yakni agen (pegawai di

lingkungan LPP TVRI) dan struktur yang ada. Mereka sudah puluhan tahun

terbiasa dan terbentuk dalam suatu lingkungan kerja yang „enak‟ sehingga sukar

untuk berubah.

10

Selain di TVRI seperti di atas, penelitian lain terkait ekonomi politik

pernah dilakukan di TV swasta. Yolanda Presiana Desi pada tahun 2013

melakukan penelitian dengan judul Dinamika Ekonomi Politik Televisi Swasta

Lokal (Studi Kasus ADITV Yogayakarta. Praktek ekonomi politik dalam tubuh

televisi swasta lokal ADITV Yogyakarta membuktikan adanya tarik-menarik

kepentingan ekonomi politik yang sangat kuat antara lembaga penyiaran,

regulator, dan pihak-pihak lain yang terlibat. Selain itu, juga dipengaruhi oleh

faktor-faktor sosial dan budaya masyarakat yang membedakannya dengan daerah

lain.

Penelitian-penelitian sebelumnya hanya melihat bagaimana praktek

ekonomi politik secara umum maka penelitian ini mengkhususkan untuk mengkaji

sisi strukturasi dan spasialisasi nya. Ada beberapa juga penelitian yang berfokus

pada spasialisasi dan strukturasi, namun itu belum dikaji di Kalimantan Selatan

khususnya pada surat kabar Banjarmasin Post dan Kalimantan Post. Mengingat

juga pernah ada penelitian yang dilakukan oleh Sulhan pada tahun 2006 tentang

kisah pers di Kalimantan, namun belum pernah ada yang mengkaji khusus

ekonomi politik media di Kalimantan Selatan karena perkembangan surat kabar di

daerah ini semakin berkembang pesat. Untuk itu, penelitian ini berfokus pada titik

strukturasi dan spasialisasi yang dibangun Banjarmasin Post dan Kalimantan Post

sebagai koran lokal yang hidup selama puluhan tahun di Kalimantan Selatan.

F. Kerangka Pemikiran

1. Ekonomi Politik Media

Dalam sejarah perkembangan ilmu komunikasi, perspektif ekonomi politik

mulai tumbuh tahun 1960-an. Pada waktu itu terjadi benturan antara kebijakan

pemerintah dan arus pasar bebas dunia. Kebijakan pemerintah menitikberatkan

pada upaya demokratisasi dan peningkaan pelayanan publik. Sementara arus pasar

11

bergerak secara global dengan logikanya sendiri. Benturan-benturan inilah yang

akhirnya melahirkan berbagai penelitian ekonomi politik di bidang komunikasi.4

Menurut Vincent Mosco (2009) dalam artikelnya Current Trends in the

Political Economy of Communication, ekonomi politik adalah studi tentang

hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling

menguntungkan antara sumber, distribusi, dan konsumsi yang berkaitan dengan

komunikasi. Ini berarti pada ranah politik, kekuasaan digunakan untuk

mengendalikan sumber produksi, distribusi dan konsumsi komunikasi oleh

individu atau kelompok orang. Sementara Garnham memfokuskan diri pada

struktur relasi sosial dan kekuatan sosial khususnya yang dimiliki oleh kapitalisme

ketika mengkaji ekonomi politik media.

Ada juga yang berpandangan bahwa ekonomi politik media diarahkan

kepada bagian produksi media.5 Premis dasar dari pendekatan ini yakni media

sebagai institusi sekaligus sebagai konten merupakan hasil dominan dari sebuah

organisasi ekonomi. Dan saat ini, bentuk dominan dari organisasi ekonomi adalah

kapitalisme. Dengan demikian, maka media sangat ditentukan oleh modal

produksi kapitalis. Karena media dikuasai oleh pihak kapitalis maka media

sebagai sebuah institusi dijalankan sebaik mungkin untuk menghasilkan

keuntungan maksimum. Sehingga, isi media terkandung ideologi kelas dominan

yang diarahkan untuk menguasai kelas sosial lain. Kecenderungan perusahaan

media saat ini mengarah pada model oligopoli. Hal ini menyebabkan semakin

banyak media namun media-media tersebut dikuasai dan dikontrol oleh segelintir

perusahaan media.

Dalam konsteks seperti itu, untuk memahami ekonomi politik perlu

memperhatikan dua dimensi penting berikut. Pertama, sifat hubungan media

dengan struktur masyarakat. Hal ini penting karena dengan cara seperti ini akan

terlihat sejauh mana sistem media dengan berbagai atributnya terutama isinya

4Di Eropa, khususnya Prancis dan Inggris serta Amerika Serikat, para ilmuwan memfokuskan

penelitian mereka pada imperialisme budaya, industri dan industrialisasi budaya, hubungan televisi

dengan khalayak, serta iklan dan informasi.Mattelart & Mattelart, Theories of Communication: A

Short Introduction, (London: Sage Publication, 2004), hlm. 91-104. 5Eugenia Siapera, Cultural Diversity and Global Media: The Mediation of Difference, (United

Kingdom:Wiley-Blackwell, 2010), hlm. 66-67

12

meneguhkan, menentang dan mempengaruhi relasi-relasi yang ada dalam

masyarakat. Kedua, perilaku dan isi media.6 Dimensi ini penting karena isi media

selalu dipengaruhi oleh faktor kepemilikan, mekanisme dukungan dan kebijakan

pemerintah.

Curan dan Gueverich (1996) mengatakan bahwa untuk melihat ekonomi

politik media maka proses sejarah media yang bersangkutan juga perlu dilihat.

Untuk mempermudah pemahaman akan perluasan jaringan institusi, jangkauan

perusahaan, komodifikasi komunikasi dan informasi, serta intervensi negara

dalam perkembangan perusahaan. Oleh karena itu, menurut Oliver Boyd-Barret

dalam Kurnia (2008: 36) bahwa perspektif ekonomi politik media memiliki

kepentingan kritis dengan kepemilikan dan kontrol media, keterkaitan industri

media dengan industri lain, serta bersinggungan dengan elit politik, ekonomi dan

sosial.

Dalam perkembangannya, para ahli mengatakan bahwa studi ekonomi

politik media memiliki dua pendekatan utama yang mempengaruhi cara melihat

dan mengkaji media yakni pendekatan liberal dan pendekatan kritis. Perbedaan

prinsip ini terletak pada cara melihat aspek-aspek ekonomi politik media tersebut

(eds. Prajarto, 2004: 68). Pendekatan liberal melihat aspek ekonomi sebagai tools

profesional dalam menjalankan media. Sedangkan pendekatan kritis melihat aspek

ekonomi dan politik sebagai bagian dari kerja profesional melainkan dan bahkan

sebagai kontrol. Iklan dan pemodal dapat digunakan oleh kelas dominan untuk

memaksakan dominasi mereka kepada kelompok minoritas.

Penelitian ini lebih mengarah pada pendekatan kritis. Oleh karena itu, pada

bagian ini akan dijelaskan lebih jauh tentang kekhasan atau ciri khas pendekatan

ekonomi politik media kritis. Pendekatan ekonomi media kritis memiliki tiga

karakteristik yang menjadi ciri khasnya dan tergambar dalam sifat-sifatnya, yakni

bersifat holistik, bersifat historis dan bersifat praksis (Golding dan Murdock,

1997: xvi). Pertama, pendekatan ekonomi politik media bersifat holistik berarti

dalam telaahnya, penggunaan pendekatan ini harus melihat secara keseluruhan

6McChesney, The Political Economy of Global Communication (New York: Monthly Review

Press, 2008), hlm. 3

13

hubungan antara dinamika sosial, politik dan budaya pada masyarakat dimana

kajian itu dilakukan serta menghindari kecenderungan untuk mengabstraksi

realitas-realitas sosial kedalam teori ekonomi dan teori politik. Media harus

ditatakan dalam totalitas sistem yang lebih luas yang menjadi bagian integral dari

proses ekonomi, sosial, politik yang berlangsung dalam masyarakat dimana media

tersebut hidup.

Kedua, pendekatan ekonomi politik media bersifat historis menurut

Golding dan Murdock maksudnya adalah ketika menggunakan pendekatan

ekonomi politik media kritis, kajian yang dikembangkan haruslah berupaya

menjelaskan secara memadai perubahan-perubahan dan dialektika yang terjadi

berkaitan dengan posisi dan peran media dalam sistem kapitalisme global. Dengan

kata lain, mengaitkan posisi media dalam peta dunia global dan kapitalistik

dengan fokus pengamatannya pada pengaruh perubahan dan perkembangan

kekuatan pasar modal global.

Ketiga, pendekatan ekonomi politik media menurut Golding dan Murdock

bersifat praksis. Artinya, pendekatan ini mempunyai perhatian pada aspek-aspek

aktivitas manusia yang bersifat kreatif dan bebas dalam rangka mengubah

keadaan, terutama ditengah arus besar perubahan sosial. Ini juga berarti bahwa

pengetahuan adalah produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktek

secara terus-menerus.

Untuk melihat praktik ekonomi politik media, Vincent Mosco

membaginya dalam tiga pintu masuk yakni komodifikasi, spasialisasi dan

strukturasi. Oleh karena itu, masing-masing komponen berperan penting dalam

melihat praktik ekonomi politik tersebut.

1.1 Komodifikasi

Pintu masuk pertama dalam memahami ekonomi politik adalah

komodifikasi. Istilah komodifikasi sebenarnya dipinjam Mosco dari istilah yang

dipakai Karl Marx untuk menjelaskan kapitalisme. Menurut Marx, dinamika

kapitalisme adalah suatu cara produksi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi

14

atas sarana produksi.7 Berdasarkan penguasaan sarana produksi maka masyarakat

digolongkan dalam kelompok borjuis yang memiliki dan menguasai sarana

produksi dan kelas proletar atau pekerja yang tidak memiliki dan menguasai

sarana produksi. Kelas borjuis membeli dan mengksploitasi tenaga kelas proletar

mereka untuk memproduksi barang dan atau jasa. Realisasi nilai-surplus ke dalam

bentuk uang diperoleh dengan menjual produk itulah komoditas. Jadi, komoditas

menurut Marx adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan

komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana

obyek, kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas.

Marx melihat seperti ditulis Peter Beilharz bahwa komodifikasi

menjadikan segala hal bisa saling diukur. Misalnya, harga dua buah buku “sama

nilainya” dengan satu jas.8 Padahal, segala sesuatu memiliki harganya sendiri dan

tidak bisa disama ratakan. Masyarakat borjuis mereduksi nilai kemanusiaan

menjadi nilai ekonomis dan menyeragamkan berbagai perbedaan yang semestinya

menjadi karakteristik kehidupan sehari-hari.

Dengan menggunakan istilah yang dipakai Marx, Mosco ingin

menjelaskan ekonomi politik komunikasi. Mosco mengatakan bahwa

commodification is the process of transforming use value into exchange values.9

Artinya, komodifikasi adalah proses untuk mengubah segala sesuatu baik bentuk

fisik maupun nonfisik menjadi komoditi yang memiliki nilai jual. Dalam dunia

media, komodifikasi melihat hal utama dari substansi kerja media yakni isi media,

ikla-audiens, dan pekerja. Mosco mengidentifikasi bentuk-bentuk komodifikasi

media menjadi komodifikasi: isi, audiens dan pekerja, imanent dan eksternal.

1.2 Spasialisasi

Spasialisasi adalah pintu kedua dalam memahami konsep ekonomi politik

komunikasi Mosco. Mosco secara singkat menerangkan arti spasialisasi dalam

ekonomi politik komunikasi.

7 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2011), hlm. 15

8Peter Beilhaarz, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritisterhadap Para Filosof Terkemuka,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 275 9Mosco, ibid, hlm. 129

15

“The political economy of communication has specifically addressed

spatialization chiefly in terms of the institutional extension of corporate

power in the communication industry. This is manifested in the sheer

growth in the size of media firms, measured by assets, revenues, profit,

employees, and share value. Political economy has specifially examined

groth by taking up different forms of corporate concentration.10

Menurut Vincent Mosco, istilah spasialisasi diperkenalkan oleh Henri

Lefebre, dengan arti „proses mengelola (deadling with) jarak dan waktu dalam

kehidupan sosial‟. Konsep ini merujuk pada pertumbuhan ekspansi kapital yang

memang bertujuan untuk memaksimalkan fungsi transportasi dan komunikasi,

mengurangi sebanyak mungkin waktu untuk memindahkan barang, orang, dan

pesan melintasi jarak seberapapun, sehingga membuat jarak tersebut tidak berarti.

Giddens dalam Mosco melihat perubahan karakteristik jarak dan waktu seiring

dengan berkembangnya ekspansi kapital dari sumber daya yang solid menjadi

sumber daya yang elastis. Dalam artian, jauh tidaknya suatu jarak atau lama

tidaknya waktu yang dibutuhkan didefinisikan secara relatif oleh berbagai macam

faktor. Seperti yang telah diebutkan di atas yaitu faktor tekhnologi dan

komunikasi.11

Spasialisasi pada intinya merupakan usaha industri dalam melakukan

ekspansi pasar dan ekspansi profit. Sebuah perusahaan (konteks komunikasi

misalnya media) tidak lagi mempunyai tujuan dalam orientasi perluasan

kepentingan publik namun lebih kepada perluasan kepentingan pasar atau profit.

Perluasan yang dimungkinkan dilakukan oleh sebuah industri tidak hanya berada

dalam batasan yang harfiah. Akan tetapi, melakukan usaha –usaha baru dalam

mendukung perluasan produk intinya, misalnya pembuatan merchandise dari film

tertentu.12

Selain itu perluasan usaha dalam menembus budaya dan sosial

dilakukan juga misalnya dengan akusisi perusahaan lokal dan sebagainya.

10

Mosco, ibid, hlm 175

11Mosco, ibid, hlm 157

12Adrian Yuwono. Tesis Eksistensi Bioskop Lokal di Indonesia (Studi Kasus Tentang Eksistensi

Bioskop Lokal NV.PERFEBI di Yogyakarta dan Wonosobo Dalam Perspektif Ekonomi Politik

Komunikasi). Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, 2009. Hlm, 41

16

Dalam spasialisasi Vincent Mosco juga menyebutkan dua macam integrasi

yang dapat dilakukan oleh korporasi, yaitu integrasi vertikal dan integrasi

horizontal. Disebut integrasi vertikal ketika penggabungan tersebut ditujukan pada

sektor kerja lain dalam satu rangkaian produksi komoditi. Seperti penyediaan

tenaga kerja atau bahan-bahan mentah. Sedangkan integrasi horizontal adalah

ketika penggabungan itu ditujukan pada korporasi yang lain dengan level yang

sama. Menambah pernyataan Mosco tentang integrasi vertikal, Douglas Gomery

(1989: 48) menyebutkan dua alasan utama dilakukan integrasi ini. Pertama, untuk

meminimalkan biaya produksi dan transaksi. Alasan ini sesuai dengan ideologi

kapitalisme yang menginginkan keuntungan sebanyak mungkin dan

mengeluarkan biaya sesedikit mungkin. Kedua, adalah untuk jaminan

„keamanan‟, dalam artian kontrol yang lebih luas terhadap pasar. Misalnya,

produsen program radio tidak perlu takut program yang dibuatnya tidak disiarkan

oleh stasiun radion manapun karena mereka telah memiliki stasiun radio menurut

komandonya pasti akan menyiarkan program tersebut.

Dengan dilakukannya integrasi demi integrasi, maka unit-unit yang

bergabung menjadi satu tersebut semakin terhindar dari kompetisi, dan pesaing

mereka berkurang karena jumlah insider membesar (karena dirangkulnya institusi-

institusi yang lain menjadi satu „keluarga‟), dan jumlah outsider, pesaing atau

rivalnya berkurang. Pemain baru pun menjadi kesulitan untuk memasuki pasar

yang oligopolis ini, karena modal material awal yang diperlukan untuk bersaing

menjadi sangat besar. Dalam Capitalism, Communication and Class Relations,

Golding dan Murdoc menyebutkan bukti-bukti keberadaan loss-making

newspaper, yaitu media-media yang tidak menuai keuntungan bagi korporasinya

namun tetap dipertahankan dengan alasan non ekonomis, seperti misalnya

menjadi bendera (flagships) bagi nilai-nilai korporasi tersebut. Media semacam

inilah yang harus diberi subsidi oleh media lain dalam sebuah korporasi.

Penjelasan yang diberikan Mosco tentang tujuan dari spasialisasi kurang

lebih sama dengan yang diutarakan Douglas Gomery, yaitu menghindari

persaingan, meminimalkan biaya produksi, meminimalkan jumlah pajak yang

harus dibayar dan mempercepat distribusi.

17

1.3 Strukturasi

Pintu terakhir dalam memahami ekonomi politik menurut Vincent Mosco

adalah melihat adanya interaksi, relasi, dan negosiasi yang terjadi dalam sebuah

struktur organisasi (konteks media).

“Process by which structures are constituted out of human agency, even as

they provide the very “medium” of that constitution.13

Dalam konteks ekonomi politik media, strukturasi digunakan untuk

memahami relasi kekuasaan pada kelas sosial, ras, gender dan gerakan sosial yang

pada akhirnya mengkristal dalam apa yang disebut hegemoni.14

Melalui teori

strukturasi, Mosco mencoba untuk menempatkan kajian ekonomi politik media

pada titik keseimbangan. Tidak hanya melihat peran struktur dari sistem media

saja, tetapi juga melihat para agen, relasi sosial, peran sosial, dan praktek sosial.

Strukturasi dalam ekonomi politik media adalah sebuah pendekatan analisis sosial

kritis untuk melihat komoditas, institusi, praktek dan konsekuensi dari produksi,

distribusi dan penggunaan kekuasaan.

Teori strukturasi dipelopori oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog yang

mengembangkan apa yang disebutnya sebagai sosilogi sehari-hari. Sosiologi

didasarkan pada pemahamannya atas strukturasi dalam sistem sosial. Teori ini

ditawarkan dalam rangka membahas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah agen

manusia sebagai pelaku atau kekuatan sosial yang besarkah yang membentuk

masyarakat. Teori strukturasi Giddens menunjukkan bahwa agen manusia secara

kontinyu memproduksi struktur sosial15

. Artinya, individu dapat melakukan

perubahan atas struktur sosial. Dalam teori strukturasi, memungkinkan

bergabungnya beberapa proses komodifikasi dan spasialisasi untuk mendapatkan

keuntungan ekonomi politik komunikasi.

Dalam teori strukturasinya Anthony Giddens mengaitkan stuktur dan

tindakan sosial itu dalam relasi agensi, yang melahirkan praktik-praktik sosial

dalam kehidupan masyarakat yang terjadi secara tersusun atau terstruktur yang

13

Mosco, ibid, hlm.212 14

Mosco, ibid, hlm. 187 15

Anthony Giddens, Teori Strukturasi, Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),hlm.12

18

berpola dan bukan sebagai suatu kebetulan. Fokus yang penting dari teori

stukturasi adalah hubungan antara agensi dan struktur (agency and structure),

yakni untuk menjelaskan dualitas dan hubngan dialektis antara agensi dengan

struktur. Bahwa antara agensi dan struktur tidak dapat dipahami terpisah satu

sama lain, keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama. Semua tindakan

sosial melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial. Agensi

dan struktur terjalin erat dalam aktivitas atau praktik yang terus menerus

dijalankan manusia. Menurut Giddens, aktivitas “tidak dilakukan oleh aktor sosial

namun secara berkelanjutan diciptakan ulang melalui sarana yang mereka

gunakan untuk mengekspresikan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui

aktivitas-akivitas mereka, agen menghasilkan sejumlah kondisi yang

memungkinkan aktivitas ini.16

Gagasan yang diusung strukturasi membedakannya dengan komodifikasi

atau spasialisasi. Strukturasi berhubungan langsung dengan hal-hal yang terkait

dengan keagenan, hubungan sosial, praktek sosial, dan proses sosial. Maka sudah

pasti ada pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal tersebut seperti: pihak

mana yang berpengaruh penting? bagaimana hubungan sosial diantara mereka?

dan bagaimana proses serta praktek sosialnya?17

Manfaat strukturasi lebih kepada

dua hal yaitu untuk mengkaji kekuasaan yang berlangsung dan pendekatan kritis

analitis sosial. Agen dalam strukturasi pun dapat berwujud individu atau

sekelompok orang. Sebagai agen, mereka merupakan aktor-aktor sosial yang

perilakunya ditentukan oleh tata hubungan sosial serta penempatan dirinya di

dalam masyarakat.

2. Problematika Industri Surat Kabar Lokal

Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibanding dengan

jenis media massa lainnya yang tidak hanya sekedar lembaran tercetak yang

memuat peristiwa yang terjadi dimasyarakat, namun juga sekaligus sebagai

16

George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008),

hlm 569.

17Haedar Natsir. Memahami Strukturasi Dalam Perspektif Sosilogi Giddens. (Jurnal SOSIOLOGI

REFLEKTIF, Volume 7 No 1: 2010).

19

pencatat sejarah perkembangan kehidupan bangsa. Dahulu kala sebelum

ditemukannya kertas dan mesin cetak, manuskrip maupun buku tulis dengan

menggunakan tinta, lalu meningkat dengan munculnya alat cetak sederhana yang

mengharuskan operasi mesin tersebut menyusun satu demi satu huruf yang

diperlukan. Akan tetapi, saat Johan Guttenberg di tahun 1456 menemukan mesin

cetak di Jerman, maka pekerjaan bisa dilakukan dalam hitungan jam.18

Perjalanan surat kabar di Indonesia dilalui dengan proses yang panjang

dan penuh lika-liku perjuangan dari masa ke masa. Pers pasca peristiwa Malari

tahun 1974 memicu banyaknya pembreidelan media massa pada saat itu. Karena

pers cenderung mewakili kepentingan penguasa. Banyak wartawan yang

dimasukkan ke penjara. Pemerintah Orde Baru menganggap bahwa Pers adalah

institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi massa dan

partai politik.19

Pasca tumbangnya Orde Baru dan terjadinya reformasi politik tahun 1998

membawa angin segar terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara

terutama kebebasan menerima dan menyampaikan informasi. Informasi publik

yang semula menjadi kekuasaan pemerintah yang dikelola secara ketat oleh

manajemen pemegang kekuasaan sekarang semakin memudar sejalan dengan

eksistensi transparansi dan demokratisasi hampir dihampir semua lini kehidupan.

Memang idealnya, persoalan kebebasan komunikasi harus memenuhi kebutuhan

informasi di lingkungan masyarakat majemuk. Informasi kini bukan lagi sebagai

kebutuhan, melainkan sudah menjadi komoditi bagi masyarakat luas. Seperti yang

diungkapkan oleh salah seorang wartawan senior era orde baru yaitu Djadjat

Sudrajat 20

:

“Begitureformasi, kitabisanulisapasaja. Dikritik di

daerahmisalanya,adakelompok yang

18

Rusli Nasrullah. 2014. Komunikasi Antarbudaya Di Era Budaya Siber. (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Grup), hlm 1 19

Ignatius Heriyanto. “KORAN Riwayatmu Kini” tayang di Metro TV tanggal 3 Mei 2015 pukul

21.00 WIB. 20

Saat ini ia aktif menjabat sebagai redaktur Media Grup dan cuplikan komentan didapat melalui

acara editorial “KORAN Riwayatmu Kini” yang tayang di Metro TV tanggal 3 Mei 2015 pukul

21.00 WIB.

20

tidakpuasitukanlangsungmendatangidanpastibiasanyafisik.

Kantornyamaudibakar, orangnyamaudilukai.Tapiadatrik yang

sayabelajarbanyakdariteman-teman di daerahitu, kalau orang demo

kitadengerinajadulu.”(Metro TV, 3 Mei 2015, pukul 21.00 WIB)

Era reformasi di Indonesia telah membawa perubahan yang signifikan bagi

kehidupan pers daerah atau media lokal. Euforia demokrasi dan pekik kebebasan

pers yang terbebas dari belenggu sensor, larangan, campur tangan dan intervensi

dari mulai pemerintah, parpol berkuasa, militer dan polisi dijamin oleh Undang-

Undang tahun 1999 tentang Pers, telah memungkinkan kehidupan pers nasional di

Indonesia.21

Termasuk juga kehidupan pers daerah untuk berkembang sesuai

dengan tuntutan kebutuhan, dinamika dan perkembangan masyarakat dimana pers

itu sendiri berada.

Sekarang di era informasi masyarakat menjadikan media sebagai lembaga

bisnis dengan menjual informasi, baik berita maupun iklan. Kemajuan teknologi

informasi mampu mendorong perkembangan media massa dengan pesatnya

sehingga memungkinkan dijadikan sebagai ajang bisnis. Idealnya media harus

menyesuaikan dengan kepentingan terutama kepentingan publik sebagai

audiensnya. Surat kabar dalam merebut simpati pelanggan tidak hanya dengan

sesama surat kabar atau media cetak lainnya, namun dengan majalah, televisi, dan

bahkan media online yang sekarang bak jamur di musim hujan.22

Demikian juga

sebaliknya, mereka sama-sama menjual berita dan iklan. Sehingga dampaknya

adalah pada kehidupan pers saat ini yang telah berubah. Dari pers idealis menjadi

pers industrialis, sementara informasi sudah menjadi komoditas.

Situasi yang demikian telah memberi peluang kepada pengusaha tertentu

untuk melakukan investasi dan menjalankan bisnis industri media massa di

daerah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kelompok Kompas Gramedia

(KKG) dan Jawa Pos terus melebarkan investasinya di berbagai provinsi di

Indonesia seperti di Kalimantan Selatan dengan menjaring surat kabar

21

Petrus Suryadi Sutrisno. Fenomena Kebangkitan Industri Pers Daerah/Media Lokal (Jurnal

Dewan Pers, Edisi No. 5, Mei 2011), hlm.87 22

“KORAN Riwayatmu Kini”, ibid.

21

Banjarmasin Post, Metro Banjar, Serambi Ummah dan B Magazine sebagai

perpanjangan institusi bisnisnya.

Selain kondisi di atas, problematika industri media menurut McQuail juga

dipengaruhi oleh tiga faktor.23

Pertama, pihak manajemen media. Hal yang

penting untuk membangun bisnis media adalah dengan terlebih dahulu melakukan

analisa terhadap lingkungan apakah itu lingkungan internal atau pun eksternal.

Lingkungan internal meliputi sumber daya manusia yakni dengan mencari tenaga

kerja yang ahli dalam bidang penerbitan surat kabar. Kenyataan sekarang

menunjukkan bahwa banyak media yang mempekerjakan karyawannya tidak

sesuai dengan disiplin ilmunya. Bekerja didunia media dianggap cukup mudah

dengan modal skill dan kerja keras dalam membangun komitmen. Selain itu, hal

yang perlu diperhatikan adalah peta persaingan dengan media lain. Mengingat

sekarang ini media lama maupun media baru sekalipun memasang strategi khusus

agar tidak kalah bersaing dalam industri penerbitan pers. Perilaku konsumen dan

segmentasi media juga menjadi titik kunci yang perlu diperhatikan dengan

seksama dalam membangun manajemen media agar tidak kalah bersaing.

Faktor Kedua menurut McQuail adalah profesional media.

Mediamassacetak, sepertisuratkabarsaat ini banyak yang

mulaitidakmengindahkanetikadanperasaanpihak lain dalammelaporkansesuatu.

Hal iniseringkalimenyulutpermusuhan di tengah-tengahpublik,

bahkantidakjarangmerugikansuratkabarataumajalahitusendiri.Misalnya,pihak

yang merasadirugikanmenyerangdanmenghancurkankantordari media yang

bersangkutanseperti yang terjadipadapenyerangankantorTempodalamkasus

Tommy Winatabeberapa waktu lalu. Mediayang baik adalah media

yangbertanggungjawabatasperandanfungsinyadalammenjujungtingginilai-

nilaikearifan, kejujuran, danketidakberpihakan.

Seharusnyamemerankandirisebagaipendidik, pemberiinformasi yang jujur,

sertamemeliharankearifanbudayamasyarakat.

Faktor yang terakhir bedasarkan pandangan McQuail adalah faktor

teknologi. Teknologi berperan penting dalam jalannya proses produksi media.

23

Denis McQuail, Reader in Mass Communication Theory, (London: Sage Publication, 2005)

22

Tanpa didukung media yang canggih serta modal yang besar, maka akan sulit

untuk media beroperasi. Satu hari saja mesin cetak rusak maka bisa dipastikan

perusahaan surat kabar akan mengalami kerugian ratusan juta rupiah. Problem

media-media lokal di Indonesia terutama di Kalimantan Selatan adalah sama

yakni ketidakmampuan untuk mengadakan mesin cetak sendiri. Setiap kali naik

cetak mereka harus menumpang dulu ke mesin percetakan lain agar bisa terbit.

Sedangkan teknologi gadget sepertihandphone, komputerisasi, itu masih bisa

teratasi.

G. Metodologi Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana ekonomi

politik media cetak di kalimantan selatan khususnya stukturasi dan spasialisasi

dalam surat kabar harian (SKH) Banjarmasin Post dan Kalimantan Post. Untuk

mendapat gambaran yang utuh terkait dengan kasus tersebut maka pada bagian

metodologi penelitian ini akan dipaparkan mengenai jenis penelitian, metode yang

digunakan, proses pengumpulan data hingga proses analisis data.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dimana Bogdan Robert. C

dan Steven J. Taylor dalam Moloeng (2010) menjelaskan bahwa metode kualitatif

adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis maupun lisan dari orang-orang maupun perilaku yang dapat diamati.

Karena, hasil penemuan pada penelitian ini tidak dapat dicapai dengan

menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kualifikasi data

lainnya. Melainkan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para

narasumber serta studi kepustakaan. Sehingga, dengan data tersebut dapat

menghasilkan gambaran tentang ekonomi politik media cetak di Kalimantan

Selatan khususnya struktuasi dan spasialisasi pada surat kabar Banjarmasin Post

(Bpost) dan Kalimantan Post.

2. Metode Penelitian

23

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

dengan pendekatan ekonomi politik kritis. Menurut Robert K. Yin (2013) studi

kasus sendiri adalah inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks

kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak

dengan tegas dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan24

. Studi kasus melalui

pendekatan kritis akan melihat karakteristik ekonomi politik yang menjadi ciri

khas didalamnya yang bersifat holistik, historis dan praksis.25

Holistik sendiri

adalah kedalaman telaahannya dengan melihat secara keseluruhan hubungan

antara dinamika sosial, politik dan budaya yang berlangsung dalam masyarakat

dimana media tersebut berkembang. Historis adalah menjelaskan tentang posisi

dan peran media dalam kapitalisme global, sedangkan praksis adalah mempunyai

perhatian pada aspek-aspek aktivitas manusia yang bersifat kreatif dan bebas

dalam mengubah keadaan terutama ditengah arus besar perubahan sosial. Melalui

unsur-unsur pendekatan kritis itulah tujuan dari penelitian ini dapat dikaji.

Selain itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan lebih dari satu kasus

atau studi kasus jamak (multiple case study). Alasan pemilihan multiple case study

pada penelitian ini adalah karena satu obyek saja belum cukup kiranya mewakili

secara lebih mendalam bagaimana ekonomi politik media cetak di Kalimantan

Selatan khususnya strukturasi dan spasialisasi. Oleh karena itu, dipilihlah

Banjarmasin Post dan Kalimantan Post untuk mewakili media cetak di

Kalimantan Selatan sebagai gambaran media yang melakukan strukturasi dan

spasialisasi tersebut dengan pendekatan kritis yang meliputi unsur holistik,

historis dan praksis tadi.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kantor Banjarmasin Post dan Kalimantan Post

yang bertempat di Kalimantan Selatan. Banjaramsin Post berlokasi di Gedung HJ

Djok Mentaya, Jl AS Musyaffa No 16, Banjarmasin. Sedangkan Kalimantan Post

24

Definisi lebih jelas dapat dilihat pada Robert K. Yin., Studi Kasus: Desain & Metode (Jakarta:

Rajawali Pers, 2013), hlm.18. 25

Golding dan Murdock. Ibid. Hlm, xvi

24

di Jl DI Panjaitan No. 67 Banjarmasin. Dan observasi langsung dilakukan selama

hampir dua bulan yakni mulai dari bulan April sampai bulan Mei tahun 2015.

4. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini fokus pada aspek-aspek, substansi serta karakteristik

dari ekonomi politik media. Khususnya adalah strukturasi dan spasialisasi yang

ada pada masing-masing media cetak yang telah dipilih sebagai objek penelitian

yaitu Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.

5. Narasumber Penelitian

Untuk narasumber penelitian yang akan menjadi acuan dalam memberikan

informasi pada surat kabar Banjarmasin Post dan Kalimantan Post adalah sebagai

berikut:

Tabel 1.1

Daftar Narasumber Penelitian

Banjarmasin Post Kalimantan Post

Manager Redaksi:

Irhamsyah Safari

Pemimpin Redaksi:

Asmara Saibi

Manager Sirkulasi:

Ahmad Syairaji

Kabag SDM/Umum:

M. Bugimin

Senior Sell Intern:

Risda Noor Firmansyah

-

Kepada Bidang Pengembangan Sumber

daya Manusia (PSDM):

Hari Widodo

-

Sumber: Data Diolah Tanggal 20 maret 2015

Berdasarkan daftar tersebut, jumlah narasumber Kalimantan Post lebih

sedikit dibanding jumlah narasumber di Banjarmasin Post. Penulis berupaya

melakukan keseragaman dalam jumlah tersebut, namun pihak dari Kalimantan

Post cenderung tertutup dan terbatas dalam memberikan informasi kepada penulis

sehingga yang bersedia memberikan informasi hanya dua orang saja. Sedangkan

pihak Banjarmasin Post mulai dari level manager redaksi sampai kepala PSDM

sangat terbuka serta menyiapkan dengan matang terkait data-data perusahaan yang

diperlukan oleh penulis.

25

6. Tekhnik Pengumpulan Data

Pada proses pengumpulan data, penulis melakukan observasi langsung ke

lokasi penelitan untuk melakukan wawancara mendalam terhadap para

narasumber yang telah dipilih. Selain itu, dalam membuat kerangka konsep serta

data-data lainnya penulis melakukan studi kepustakaan melalui literature review

berbagai buku dan jurnal terkait yang relevan dengan tujuan penelitian. Jadi, data

yang telah didapat kemudian dievaluasi kembali untuk mencapai kualitas tertentu

sehingga dapat menjelaskan apa yang sedang diteliti.

a. Wawancara

Untuk mendapatkan data yang memadai dilakukan wawancara mendalam

terhadap para informan atau narasumber dengan menggunakan sebagian bahasa

daerah (bahasa Banjar) kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada panduan pertanyaan (interview

guide) yang telah disusun sebelumnya. Pemilihan informan dalam penelitian ini

menggunakan metode purposive sampling seperti yang telah terlampir di atas.

Yakni informan dipilih secara sengaja oleh penulis berdasarkan pertimbangan

tertentu seperti tingkat pengetahuan terhadap isu dan informasi kasus secara

komperhensif. Penulis menggunakan tekhnik wawancara semi terstruktur, yaitu

tanya jawab secara langsung dengan informan untuk mendapatkan data yang jelas,

akurat dan mendalam. Masing-masing perusahaan surat kabar telah dibuatkan

interview guide yang berbeda. Interview guide untuk Banjarmasin Post cenderung

mengarah pada relasinya ke media nasional, sedangkan interview guide untuk

Kalimantan Post adalah tentang eksistensinya yang murni sebagai media lokal di

Kalimantan Selatan.

b. Observasi Langsung

Pada penelitian ini, observasi dilakukan dengan mengunjungi langsung

lokasi penelitian yakni Banjarmasin Post dan Kalimantan Post untuk melakukan

wawancara yang mendalam terhadap para narasumber yang telah dipilih

sebelumnya. Ketika melakukan kunjungan lapangan ke Banjarmasin Post, penulis

merasa puas atas sambutan hangat yang didapat dari pihak Banjarmasin Post

26

terutama para narasumber yang sangat lengkap memberikan informasi saat

melakukan wawancara mendalam. Meskipun ada beberapa hal yang sifatnya

rahasia tidak bisa mereka sampaikan ketika wawancara seperti finansial

perusahaan. Berbeda halnya ketika penulis melakukan observasi langsung ke

Kalimantan Postyang terbatas dalam memberikan informasi karena pihak atasan

yang diminta seperti pimpinan perusahaan menyerahkan sepenuhnya kepada

pimpinan redaksi dan kepala bagian SDM untuk melakukan wawancara

mendalam.

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan didapat dari literatur cetak atau elektronik yang

berkaitan dengan masalah penelitian beserta aspek yang terkait didalamnya.

Literatur cetak tersebut antara lain: buku-buku ekonomi politik media, jurnal-

jurnal tentang penelitian media lokal, serta bahan bacaan lainnya yang

mendukung penelitian ini. Sedangkan data-data dari internet berupa e-book, e-

journal maupun dalam bentuk lainnya. Dalam penelitian ini, studi pustaka

digunakan sebagai dasar teori akan dijadikan pedoman dalam menganalisis serta

mengumpulkan data-data pendukung yang diperoleh dari penelitian sebelumnya.

7. Teknik Analisa Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari

lapangan berupa wawancara semi terstruktur dengan informan penelitian, serta

observasi langsung ke lapangan. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti antara

lain:

a. Pengumpulan data

Pada tahap ini, penulis mengumpulkan data melalui hasil observasi dan

wawancara mendalam kepada enam orang narasumber dengan membawa

interview guide yang telah dirumuskan sebelumnya. Masing-masing

narasumber yakni empat orang di Banjarmasin Post dan dua orang di

Kalimantan Post serta mencari informasi tambahan kepada PWI Kalsel terkait

perkembangan media lokal di Kalsel.

27

b. Reduksi data

Tahapan selanjutnya setelah melakukan wawancara dan melakukan studi

dokumen di Banjarmasin Post dan Kalimantan Post penulis melakukan reduksi

data. Hal ini dilakukan dengan cara memilah dan memilih data yang

dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian.

c. Analisis dan penyajian data

Pada tahapan ini, penulis melakukan analisis kritis terhadap temuan data di

lapangan baik melalui hasil wawancara maupun studi dokumen. Analisis

dilakukan dengan mengelaborasi kedua hal tersebut agar sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu menjelaskan strukturasi dan

spasialisasi pada surat kabar Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.

d. Penarikan kesimpulan atau verifikasi

Tahapan terakhir adalah penarikan kesimpulan berdasarkan analisis kritis yang

telah dilakukan sebelumnya. Setelah melakukan reduksi dan analisis data

penulis dapat menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan di

Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun menjadi lima bab yang masing-masing mempunyai titik

tekan tersendiri, yaitu:

Bab I : membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, kerangka pemikiran, kerangka konsep, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II : membahas lebih rinci tentang perkembangan media lokal di Indonesia

khususnya di Kalimantan Selatan.

Bab III : membahas mengenai profil Banjarmasin Post (Bpost) dan Kalimantan

Post.

Bab IV : merupakan bab yang menjelaskan proses analisis obyek penelitian,

terutama tentang temuan strukturasi dan spasialisasi pada surat kabar harian

Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.

28

Bab V : merupakan bahasan penutup, meliputi kesimpulan dan saran atau

rekomendasi.