Dampak Pencemaran Waduk Saguling Terhadap Budidaya Ikan Jaring Terapung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
-
Upload
truongkhue -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan dan mempunyai masyarakat yang
heterogen karena kaya dengan keberagaman budaya unik yang terbentuk oleh
ratusan kelompok etnik yang disebut masyarakat tradisional. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Daeng (2000:303) bahwa identitas tradisional ini dilingkari
oleh batas primordial dalam wujud ikatan keluarga, desa, suku, dan agama.
Kebudayaan yang beragam ini muncul karena manusia selalu berupaya untuk
menyesuaikan dirinya dengan berbagai perubahan yang terjadi disekitarnya
sehingga melahirkan suatu pola-pola tingkah laku yang baru.
Liliweri (2003:120) juga mengungkapkan bahwa para anggota dari setiap
kebudayaan mempunyai suatu keunikan yang dijadikan sebagai identitas sosial
untuk menyatakan tentang siapa mereka dan mengapa mereka ada, kemudian
muncullah budaya material. Budaya material adalah hasil produksi suatu
kebudayaan berupa benda yang dapat ditangkap indera dan budaya material tidak
hadir dengan sendirinya tetapi dia dibangun berdasarkan nilai tertentu. Budaya
material juga bisa muncul akibat dari adaptasi manusia dengan alamnya.
Lingkungan alam yang berbeda-beda menyebabkan berbagai bentuk adaptasi
dikalangan manusia yang berbeda-beda pula. Menurut Steward (1955) dan Force
(1974) dalam Su Ritohardoyo (2006:30) yang mengungkapkan adaptasi dalam arti
2
luas yaitu sebagai aktivitas-aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan, dalam
rangka mempertahankan kehidupannya, dengan tingkat budaya yang dimiliki.
Adaptasi bukan hanya semata-mata berarti bahwa kehidupan manusia
bergantung pada lingkungan alam, tetapi adaptasi diartikan sebagai suatu
kepastian proses kreatif dan tingkat penyesuaian budaya dari manusia terhadap
tantangan lingkungan alam yang tidak dapat dihindarkan. Sedangkan Geertz
(1976:10) menegaskan bahwa sifat adaptasi suatu komunitas tergantung pada
perjuangan keras atau kecerdikan mereka untuk mengalahkan lingkungan alam.
Proses adaptasi yang digambarkan oleh Steward ini dapat terjadi di dalam struktur
masyarakat manapun. Sebagai contoh adaptasi manusia dengan alamnya adalah
adaptasi masyarakat Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan terhadap
lingkungan sungai, diantaranya dengan memanfaatkan sungai untuk aktifitas
berdagang seperti pasar terapung Lok Baintan di Desa Lok Baintan.
Kalimantan Selatan merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang
memiliki banyak sungai sebagai salah satu sumber daya alamnya. Bahkan sering
mendapat sebutan sebagai kota seribu sungai. Secara geografi Kalimantan Selatan
menempati posisi sentral dan dibatasi oleh Sungai Barito, Laut Jawa, Selat
Makasar, dan Pegunungan Meratus. Daerah ini merupakan warisan pusat kerajaan
Banjarmasin dari Abad ke 17 yang meliputi daerah sungai-sungai besar Barito,
Martapura, dan Negara. Hampir separoh wilayah Kalimantan Selatan merupakan
wilayah perairan, yaitu seluas 17.610 kilometer persegi atau sekitar 47,62%
meliputi perairan sungai, danau dan daerah genangan, pantai, termasuk terusan
(kanal) dan waduk Aranio di Riam Kanan (Subiyakto, 2005:57).
3
Keberadaan sungai sudah sejak lama menjadi bagian penting dan urat nadi
bagi kehidupan warga masyarakat Banjar. Sungai oleh masyarakat Banjar
dipandang sebagai sumber daya alam yang sangat penting. Mereka biasa
memanfaatkan sungai untuk berbagai keperluan hidup seperti mandi, mencuci,
buang hajat dan memasak makanan serta minuman. Masyarakat Banjar juga
sering memanfaatkan sungai sebagai jalur transportasi penghubung antar desa
atau kampung, ketika belum terdapat infrastruktur jalan darat yang baik yang
menghubungkan antar kampung, sungai merupakan jalur perhubungan yang
sangat vital dan utama bagi kehidupan masyarakat Banjar.
Sebagaimana yang dikemukakan Sugiyanto (2004:81) tentang pola
pemukiman masyarakat Banjar, dimana pada awalnya berbentuk memanjang
sepanjang tepian sungai dengan arah rumah (depan rumah) menghadap ke sungai.
Tidak ada yang membangun rumah dengan membelakangi sungai. Pola
pemukiman seperti ini terjadi karena adanya keperluan akan barang dan jasa yang
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal
di lokasi tersebut. Keadaan ini tentunya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan
akan sumber bahan pokok kehidupan di sekitar pemukiman mereka. Kebutuhan
tersebut dipenuhi dengan adanya para pedagang berperahu yang menjajakan
hampir semua kebutuhan hidup sehari-hari yang hilir mudik di sungai setiap pagi
hari. Semakin lama jumlah pedagang berperahu ini semakin banyak sehingga
4
memunculkan pasar dadakan yang cukup ramai di atas air. Keberadaan pasar
inilah yang kemudian berkembang pesat menjadi pasar terapung1.
Pasar merupakan sesuatu yang sangat penting terutama dalam kegiatan
berdagang masyarakat, selain itu pasar juga berperan sebagai pusat informasi,
komunitas, pendidikan, dan sosial budaya. Pasar juga dapat menciptakan banyak
lapangan kerja, terutama untuk perempuan. Sebagian besar perempuan di seluruh
nusantara mengandalkan kegiatan berdagang di pasar sebagai penopang keluarga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chandler bahwa di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Selatan, jumlah perempuan yang berdagang di pasar
berkisar antara 60%-70% dari seluruh pedagang yang ada di pasar (Chandler,
1985:50).
Selain menjadi tempat untuk mencari nafkah, Kutanegara (dalam Irwan
Abdullah, 2006:215) mengatakan bahwa pasar telah memberi kesempatan kepada
perempuan untuk menciptakan “dunia baru” yang tidak hanya berfungsi sebagai
tempat untuk mencari keuntungan, tetapi juga sebagai tempat rekreasi dan
memperoleh informasi baru. Pasar pada akhirnya juga memberi peluang kepada
perempuan untuk meraih otonomi yang lebih besar.
1 Menurut penuturan warga sekitar pasar terapung, dahulu pasar terapung banyak terdapat di beberapa anak sungai (sungai kecil) Martapura. Namun seiring dikembangkannya fasilitas yang lebih memadai di jalur darat, pasar-pasar terapung ini perlahan mulai di tinggalkan. hanya ada 2 buah saja yang masih bertahan, salah satunya adalah pasar terapung Lok Baintan.
5
Pasar yang terdapat di Kalimantan Selatan sebagian besar masih pasar
tradisional, namun terdapat pasar yang memiliki keunikan dari segi budaya dan
berbeda dari kondisi pasar pada umumnya di Indonesia yaitu pasar terapung.
Pasar terapung di Kalimantan Selatan sekarang hanya tersisa dua buah, yaitu pasar
terapung Muara Kuin dan pasar terapung Lok Baintan. Proses transaksi antara
pedagang dan pembeli berlangsung di atas sungai (masing-masing tetap berada
diatas perahu) atau bagi penduduk sekitar pasar terapung transaksi juga dilakukan
di tabing 2 dan batang. Sejarah pasti mengenai kapan terjadi atau mulai adanya
pasar terapung (pasar di atas sungai) di Lok Baintan ini belum pernah diketahui,
hal ini berdasarkan penuturan warga sekitar dan para pedagang ketika peneliti
melakukan observasi pada awal bulan oktober 2012. Pasar terapung Lok Baintan
telah terjadi secara turun temurun dari nenek moyang sejak beberapa puluh tahun
yang silam.
Sungai merupakan sumber daya alam yang sangat bernilai bagi
masyarakat Kalimantan Selatan, hal itu berarti bahwa sungai merupakan sumber
kehidupan. Bagi penduduk pinggiran sungai, terutama sungai Martapura dan
sungai Barito, sungai merupakan tempat dan sarana untuk mempertahankan
kelangsungan hidup. Para perempuan di pinggiran sungai banyak yang
menggantungkan hidup dengan berdagang di pasar terapung setiap pagi hari.
Pasar terapung inilah yang membuktikan adanya adaptasi masyarakat dengan
lingkungan.
2 Tabing adalah pinggiran/tepian sungai. Tetapi sekarang ini bantaran sungai banyak didirikan rumah sebagai tempat tinggal masyarakat sekitarnya.
6
Sekarang, perlahan tapi pasti, pasar terapung di Kalimantan Selatan mulai
menghilang dan memudar seiring dengan modernisasi ilmu dan teknologi.
Pemerintah mulai membangun jalur transportasi darat untuk menghubungkan
antara tempat yang satu dengan yang lain. Selain itu, perilaku warga yang
membuang begitu saja sampah rumah tangga ke sungai telah menyebabkan
kerusakan lingkungan sungai. Salah satu akibat dari perilaku itu adalah telah
terjadi penyempitan anak-anak sungai menuju pasar terapung. Walaupun
penyempitan ini dapat juga terjadi karena proses alami yang berasal dari tanaman
gulma air, seperti ilung/enceng gondok dan pohon nipah yang pada musim
tertentu dapat dengan cepat berkembang. Dengan demikian terjadi penumpukan
sampah dan tanaman air yang dalam waktu lama dapat menyebabkan kedangkalan
dan penyempitan sungai. Hal ini akan sangat mempengaruhi aktifitas berdagang
para pedagang.
Namun berbeda dengan yang terjadi di pasar terapung Lok Baintan, pasar
ini masih terus bertahan hingga saat ini, bahkan semakin ramai ditengah
memudarnya dan menghilangnya pasar-pasar terapung yang lainnya.
Kealamian/keaslian pasar ini tetap terjaga dengan baik hingga saat ini. Bahkan
pemerintah setempat juga sedang berupaya melestarikan dan mengangkat budaya
pasar terapung Lok Baintan sebagai ‘Ikon Pariwisata Unggulan’.
Pasar terapung Lok Baintan bukan hanya sebagai salah satu aplikasi dari
kebudayaan sungai, tetapi juga sebagai tempat mencari nafkah bagi para pedagang
sekitar pasar terapung Lok Baintan untuk mempertahankan keberlangsungan
berdagang mereka, khususnya para pedagang perempuan, karena memang
7
mayoritas pedagangnya adalah perempuan. Perempuan pedagang memilih sungai
untuk tempat berdagang adalah sebagai bentuk pemanfaatan modal yang telah
disediakan oleh alam.
Demi keberlangsungan berdagang di pasar terapung Lok Baintan, maka
para pedagang memerlukan strategi dalam berdagang. Oleh karena itu, penelitian
ini menarik dan penting untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai
strategi berdagang yang mereka lakukan.
B. Rumusan Masalah
Keberadaan pasar terapung Lok Baintan sudah berlangsung sejak lama,
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, sekarang ini jumlah pedagang dan
pembelinya juga menjadi lebih banyak. Berdasarkan pengamatan awal yang
disertai wawancara dengan kepala Desa Lok Baintan, serta beberapa pedagang
diketahui bahwa sebagian besar para pedagang yang beraktifitas di pasar terapung
Lok Baintan adalah kaum perempuan yang umumnya bertempat tinggal di
pinggiran/tepian sungai lokasi pasar terapung tersebut. Adapun barang yang
diperjual-belikan di pasar terapung Lok Baintan adalah hasil kebun sendiri dan
kebutuhan pokok setiap hari. Dikaitkan dengan penelitian lain, misalnya
penelitian Chandler (1985) “wanita pedagang di pasar desa di Jawa” dan
penelitian Irwan (1989) “wanita bakul di Pedesaan Jawa”, temuan dilapangan
memang menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih banyak berkecimpung di
pasar desa.
8
Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian yang berperspektif
perempuan: mengacu kepada adaptasi dan pengalaman kerja perempuan. Oleh
karena itu, keberadaan dan pengalaman berdagang perempuan pedagang pasar
terapung Lok Baintan diangkat, ditelaah dan diteliti secara mendalam khususnya
yang menyangkut strategi kerja sebagai pedagang pasar dan berbagai faktor atau
permasalahan yang mereka hadapi sehubungan dengan kerja sebagai pedagang
pasar, serta bagaimana peran pemerintah dalam mendukung kegiatan berdagang
para perempuan pedagang.
Untuk memperoleh jawaban dari permasalahan pokok di atas, diajukan
pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana strategi berdagang pada perempuan pedagang di Pasar Terapung
Lok Baintan untuk terus bertahan di tengah pesatnya arus modernitas dan di
tengah percepatan kerusakan sungai?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi berdagang pada
perempuan pedagang Pasar Terapung Lok Baintan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Mengungkap berbagai strategi berdagang pada perempuan pedagang di
Pasar Terapung Lok Baintan dalam menghadapi pesatnya arus modernitas
dan di tengah percepatan kerusakan sungai.
9
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi strategi berdagang pada
perempuan pedagang di Pasar Terapung Lok Baintan.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan akademis dan
dapat dijadikan sebagai referensi kepada penelitian selanjutnya yang akan
mengadakan penelitian tentang gender dan ekologi, khususnya yang terkait
dengan pedagang perempuan di pasar terapung.
2. Manfaat praktis, penelitian ini dapat memberi masukan dan pertimbangan
kepada pengambil kebijakan khususnya Kabupaten Banjar dalam
menentukan kebijakan yang dapat mendukung kegiatan para pedagang
khususnya pedagang perempuan yang berdagang di pasar terapung Lok
Baintan.
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang terkait dengan pasar terapung sudah pernah diteliti oleh 3
(orang), yaitu 2 (dua) penelitian menggunakan tempat penelitian di pasar terapung
Muara Kuin dan 1 (satu) penelitian yang menggunakan tempat di pasar terapung
Lok Baintan. Adapun penelitian yang menggunakan lokasi di pasar terapung
Muara Kuin :
Pertama, penelitian El Kari Panannangan (2011), yang mengkaji tentang
strategi yang diterapkan oleh para pedagang pasar terapung Muara Kuin. Hasil
10
penelitiannya menunjukkan bahwa strategi mempertahankan kelangsungan hidup
dalam hal ini adalah cara rumah tangga menggunakan segenap kemampuan setiap
anggota keluarga, modal, dan aset untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Strategi yang digunakan oleh rumah tangga pedagang pasar terapung
Muara Kuin antara lain adalah strategi konsolidasi sebanyak 51% atau sebanyak
26 pedagang. Strategi survival sebanyak 47% atau 24 pedagang. Sedangkan
strategi akumulasi sebanyak 2% atau hanya 1 pedagang, jadi total responden
penelitian secara keseluruhan adalah 51 orang. Sedangkan modal yang mereka
miliki adalah pertama, modal sosial mencakup sistem barter, meminjam uang,
mengikuti komunitas umum, bantuan dari keluarga, bantuan pemerintah, bantuan
orang lain karena balas budi dan bantuan dari tempat lainnya. Kedua, modal
keuangan dari pendapatan pokok untung yang didapat dari berjualan dipasar
terapung, pendapatan sampingan dan tabungan. Ketiga, modal fisik, dan keempat,
modal SDM. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas strategi
keberlangsungan hidup pedagang pasar terapung Muara Kuin adalah waktu kerja,
pengurangan angka kemiskinan, kesejahteraan dan kemampuan, dan adaptasi.
Kedua, penelitian Fatimah Maseri (2006) tentang Konsep kerja dan peran
majemuk perempuan pasar terapung Muara Kuin di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Permasalahan pokok dari penelitian ini adalah peran majemuk perempuan
pedagang termanifestasi dalam kerja, dan berimplikasi pada posisi faktual dalam
perbandingan relatif dengan suami. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
yang melatarbelakangi terjunnya perempuan sebagai pedagang adalah karena
tuntutan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga yang tidak tercukupi oleh suami.
11
Selain alasan pemenuhan kebutuhan finansial, hal lain yang mendukung
perempuan menjadi pedagang adalah adanya dukungan keluarga, peluang, dan
kesempatan yang mereka miliki. Kegiatan kerja perempuan pedagang
termanifestasi dalam kerja reproduktif, produktif, dan komunitas. Implikasi dari
peran dalam kegiatan kerja itu terlihat pada posisi faktual dalam perbandingan
relatif dengan suami pada kerja reproduktif, hal ini terlihat dengan adanya
pembagian tugas rumah tangga antara anggota keluarga, baik dengan suami
manpun dengan anak. Sedangkan pada kerja produktif juga terbukti dengan
adanya kerja sama antara suami-istri serta anggota keluarga lainnya, sehingga
terlihat posisi perempuan menguat dengan dimilikinya otonomi finansial. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan pedagang sebagai pencari nafkah
tambahan, bahkan pencari nafkah utama, sangat besar kontribusinya dalam
menunjang kebutuhan ekonomi keluarga. Meskipun demikian, perempuan
pedagang tetap sebagai penanggung jawab dalam pekerjaan domestik. Peran
majemuk yang disandangnya itu membuat mereka harus memikul beban majemuk
pula.
Ketiga, penelitian Nidah Nadawati (2007) tentang pasar terapung Lok
Baintan : Dari Tuntunan ke Tontonan (studi perubahan sosial budaya komunitas
pasar terapung Lok Baintan). Rumusan masalah penelitian ini tentang dampak
kultural dari intervensi pembangunan kawasan yang kapitalistik bagi masyarakat
desa dan komunitas pasar terapung Lok Baintan. Adapun permasalahan pokok
dalam penelitian ini adalah tentang pengaruh keberadaan pasar terapung Lok
Baintan bagi masyarakat Desa Lok Baintan dan bagi kepentingan pembangunan
12
pariwisata daerah. Bagaimana pasar terapung Lok Baintan yang pada awalnya
sebuah kekuatan ekonomi lokal, dimana transaksi jual beli dipasar ini berjalan
lancar dan baik berubah menjadi ‘tontonan’ yang memakmurkan kekuatan
ekonomi global. Modernitas teknologi yang dibawa oleh para wisatawan
memungkinkan masyarakat Desa Lok Baintan untuk mengadopsinya. Pasar
terapung tidak lagi diapresiasi sebagai produk kebudayaan yang telah sekian lama
menjalani proses sosialnya tetapi direduksi sebagai artefak budaya yang hanya
menguntungkan pariwisata sebagai pasar. Meskipun pariwisata memperkenalkan
heterogenitas pada masyarakat desa karena mereka berinteraksi dengan lebih
banyak orang lain, namun keuntungan sosial tersebut tidak sebanding dengan
degradasi kebudayaan yang mereka alami.
Adapun tulisan yang spesifik membahas tentang strategi berdagang pada
perempuan pedagang di pasar terapung khususnya pasar terapung Lok Baintan,
Kabupaten Banjar, sepengetahuan penulis, sampai sekarang belum ada. Terdapat
beberapa tulisan yang sama membahas tentang pasar terapung seperti penelitian
El Kari Panannangan (2011) dan Fatimah Maseri (2006) seperti dijelaskan
sebelumnya, tetapi kedua penelitian tersebut sama-sama menggunakan tempat
penelitian di pasar terapung Muara Kuin, Banjarmasin dengan konsep penelitian
tentang peran ganda perempuan dan strategi keberlangsungan hidupnya.
Meskipun ada kemiripan dalam pengkajian yaitu sama mengenai para pedagang di
pasar terapung, tetapi lokasi penelitian dan kajian penelitian ini berbeda dan
karena kedua peneliti dari disiplin ilmu yang berbeda yaitu dari Jurusan Geografi
dan Kajian Wanita, tentu pembahasan secara teori dan sosialnya pun juga berbeda.
13
Sedangkan penelitian Nidah Nadawati (2007) tentang pengaruh keberadaan pasar
terapung Lok Baintan bagi masyarakat Desa Lok Baintan dan bagi kepentingan
pembangunan pariwisata daerah.
Perbedaan lainnya, di pasar terapung Lok Baintan mayoritas para
pedagangnya adalah para petani sendiri yang mendagangkan hasil panen sayur
dan buahnya, juga sebagai tempat bertemunya antara pedagang tangan pertama
(pedagang grosir) dan tangan kedua (pedagang eceran) yang umumnya berasal
dari para pedagang pasar-pasar di daratan, sebagian juga dari pasar terapung
Muara Kuin, serta hampir semua pedagangnya menggunakan perahu tradisional
atau jukung sebagai tempat berdagang. Sedangkan pasar terapung Muara Kuin
hanya terdapat pedagang tangan kedua (pedagang eceran). Perahu sebagai tempat
berdagang juga sudah bervariasi, selain menggunakan jukung juga ada perahu
besar dan klotok, dan pasar terapung ini memang sudah dikembangkan pemerintah
kota Banjarmasin sebagai tempat tujuan wisata. Walaupun dalam hasil penelitian
terakhir tahun 2011 oleh El Kari diketahui keberadaan pasar terapung Muara Kuin
sudah hampir punah, karena sangat sedikitnya para pedagang serta pembeli atau
pengunjungnya.
Sedangkan penelitian yang mengkaji tentang keterlibatan perempuan
khususnya dalam perdagangan memang sudah cukup banyak. Seperti Kutanegara
(2006) dalam penelitiannya tentang bakul gendong di Jatinom yang menunjukkan
bahwa pilihan perempuan untuk terlibat di sektor perdagangan merupakan salah
satu alternatif yang dapat dilakukan ketika mereka harus mencukupi kebutuhan
rumah tangganya. Seorang perempuan di daerah pedesaan yang sumber
14
pendapatan suaminya dari sektor pertanian harus mampu mengelola pendapatan
tersebut dengan sebaik-baiknya. Panen di sektor pertanian yang datangnya relatif
lama yakni sekitar 3 sampai 4 bulan, memaksa mereka untuk mencari alternatif
lain agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perempuan sebagai salah satu
unsur rumah tangga harus mampu memperoleh penghasilan.
Pekerjaan perempuan sebagai bakul gendong telah mengakibatkan selain
memiliki peran ganda, perempuan pedagang di pedesaan juga mempunyai beban
ganda. Sejak malam hari hingga siang hari, perempuan pedagang mempersiapkan
diri dan pergi ke pasar. Ketika kembali sore harinya, ia harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga dan kadang kala turut membantu pekerjaan pertanian.
Meski demikian ada juga yang menyerahkan urusan rumah tangga kepada
suaminya. Padatnya kegiatan-kegiatan itu membuat perempuan mengorbankan
waktu untuk kegiatan individual dan istirahat, mereka mengabaikan kesehatannya,
tidak mempunyai waktu untuk meningkatkan kemampuan dirinya, dengan kata
lain mereka memaksakan diri demi ekonomi dan kebutuhan keluarga.
Penelitian Abdullah (1989) tentang wanita bakul di pedesaan jawa juga
menunjukkan keterlibatan perempuan dalam perdagangan. Dimana perempuan
sangat bangga dengan menjadi bakul, mereka memandang diri sendiri sebagai
kelompok yang memiliki status sosial yang tinggi dibandingkan perempuan desa
yang tidak ke pasar, karena secara ekonomi mereka juga lebih mampu. Mereka
mengatakan bahwa mereka orang yang mengetahui lebih banyak dunia luar.
Intensitas pertemuan antar pedagang dengan orang lain di pasar menjadikan
mereka lebih terbuka dan dapat berkomunikasi dengan lapisan sosial lain. Mereka
15
mampu berbicara dan mengekspresikan pikiran-pikiran. Oleh karenannya, mereka
mendapatkan tempat khusus di dalam masyarakat, mereka menemui status baru
melalui perdagangan.
Secara umum, masalah yang diangkat dalam penelitian terdahulu tentang
keterlibatan perempuan dalam perdagangan, lebih banyak memfokuskan tentang
peran ganda perempuan dan keterlibatannya dalam perdagangan karena untuk
menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya. Sedangkan yang secara spesifik
meneliti tentang strategi perempuan berdagang sangat sedikit dan jarang
ditemukan, walaupun ada yang meneliti tentang strategi pedagang seperti
penelitian Endrizal (2009) tentang strategi pedagang pasar tradisional menghadapi
persaingan dengan pasar modern, penelitian Jamanirrizal (2009) tentang strategi
pedagang kaki lima di kota Ranai Kabupaten Natuna agar tetap eksis. Akan tetapi
mereka meneliti pedagang secara umum, bukan secara spesifik pedagang
perempuan saja. Sehingga yang secara spesifik meneliti strategi perempuan
pedagang khususnya di pasar terapung dan masih belum penulis temukan.
2. Kerangka Teori
Kerangka teori yang gunakan menjadi bagian penting dalam penyajian
penelitian. Dalam menjelaskan suatu fenomena, sosiologi melakukan pendekatan
dengan paradigma. Pengertian paradigma menurut George Ritzer adalah
pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan
(dicipline). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari,
persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya
16
menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab
persoalan-persoalan tersebut (Ritzer, 2002:6-7).
Sedangkan kerangka teoritik adalah penggunaan teori-teori pendukung
yang digunakan sebagai alat analisa ketika peneliti turun kelapangan. Kerangka
teori yang ada menjadi bagian penting dalam penyajian penelitian. Sebagai alat
analisis berbagai konsep teori tersebut akan mengawal proses penelitian hingga
mencapai beberapa target substantif maupun praktis. Adapun teori yang dipakai
sebagai alat analisa dalam penelitian ini yaitu teori rasionalitas Max Weber dan
teori aksi Talcott Parsons. Fenomena lapangan yang diteliti, dianalisa sesuai
dengan teori yang dipakai. Hasil analisa akan menunjukkan apakah teori tersebut
masih relevan untuk dipakai atau dibutuhkan teori baru. Dalam keadaan seperti
tersebut diatas analisa lapangan dapat memunculkan teori baru yang relevan
dengan keadaan saat ini. Selain itu hasil analisa dapat memperluas, melengkapi,
dan berfungsi menyempurnakan teori yang ada.
Kerlinger dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi memberikan
batasan teori sebagai berikut : “teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak,
definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan cara merumuskan hubungan antar konsep” (Masri Singarimbun dan
Sofian Effendi, 1989:37).
2.1 Strategi Perempuan Pedagang dan Rasionalitas Instrumental
Menganalisis berbagai macam strategi yang dikembangkan oleh para
pedagang di pasar terapung, secara teoritis bisa dihubungkan dengan asumsi
17
Epicurus (dalam Mustain, 2001:17) tentang eksistensi manusia sebagai makhluk
hidup. Menurutnya, sebagai makhluk individu manusia selalu dibimbing oleh
kepentingan pribadinya :
Self interest rules all man that what they seek is their own pleasure or good. Man is not naturally a social animal, as Aristotle tought, but enters into association with his fellow man to gain some pleasure or adavantage for him self. Manusia berusaha agar kepentingan pribadinya itu bisa terpenuhi. Oleh
karenanya manusia bertindak/berperilaku demi memenuhi kepentingannya itu.
Manusia sebagai makhluk hidup senantiasa melakukan tindakan-tindakan untuk
mencapai tujuan tertentu. Tindakan merupakan suatu perbuatan, perilaku, atau
aksi yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya guna mencapai tujuan
tertentu. Weber (Doyle, 1986:219) menyatakan bahwa tindakan sosial berkaitan
dengan interaksi sosial, sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu
tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut. Tindakan Sosial
Weber disini yaitu tindakan yang melibatkan orang lain atau tindakan yang
dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Tindakan sosial
merupakan tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna bagi
dirinya sendiri dan diarahkan kepada orang lain. Tindakan yang dilakukan para
perempuan pedagang disini merupakan tindakan sosial, karena tindakannya tidak
hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga ditujukan kepada orang lain
dalam hal ini adalah para pembeli/pelanggannya.
Selanjutnya menurut Weber (Ritzer, 2012:214), tindakan dikatakan terjadi
bila para individu melekatkan makna-makna subjektif kepada tindakan mereka.
Contoh spesifik pemikiran Weber mengenai tindakan tersebut adalah ‘tindakan
18
ekonomi’, yang dia definisikan sebagai orientasi yang sadar, terutama kepada
pertimbangan ekonomi...masalah yang penting bukan kebutuhan objektif untuk
membuat persediaan ekonomi, tetapi kepercayaan bahwa hal itu perlu. Di dalam
teorinya tentang tindakan, jelaslah Weber ingin berfokus pada para individu, pola-
pola dan regularitas-regularitas tindakan.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam
klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. pembedaan pokok yang
diberikan adalah antara tindakan rasional dan tindakan yang nonrasional. Weber
(Doyle, 1986:220-221) membagi Rasionalitas ke dalam 4 (empat) macam, yaitu
rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan
tradisional, dan tindakan afektif.
Pertama, rasionalitas instrumental (Zweckkrationalitat) adalah tingkat
rasionalitas yang paling tinggi, meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar
yang berhubungan dengan “tujuan” tindakan itu dan “alat” yang dipergunakan
untuk mencapainya atau dengan kata lain tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dengan memperhitungkan ‘kesesuaian’ antara cara yang digunakan dengan tujuan
yang akan dicapai. Rasionalitas sarana-tujuan adalah tindakan yang ditentukan
dengan harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia
lain.
Kedua, rasionalitas yang berorientasi nilai (Wertrationalitat) adalah
tindakan yang bersifat rasional dan memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan
yang hendak dicapai tidak terlalu dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanya
beranggapan bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam kriteria baik
19
dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat di sekitarnya. Rasionalitas
nilai adalah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai
perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari
prospek keberhasilannya.
Ketiga, tindakan tradisional adalah tindakan yang ditentukan oleh cara
bertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan. Tindakan ini merupakan
tindakan yang tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau
membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan
digunakan.
Keempat, tindakan afektif adalah tipe tindakan yang ditandai oleh
dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang
sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta,
ketakutan, kemarahan, atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan
perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif.
Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan yang
logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya.
Dalam penelitian ini akan menggunakan rasionalitas instrumental, yaitu
tindakan yang dilakukan seseorang dengan memperhitungkan kesesuaian antara
cara yang digunakannya dengan tujuan yang ingin dicapai atau bisa juga disebut
rasionalitas alat-tujuan. Tindakan sosial hanya dapat dimengerti menurut arti
subyektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan hal tersebut. Untuk
tindakan rasional, arti subyektif itu dapat ditangkap dengan skema ‘alat tujuan’.
20
Teori tindakan ini mempunyai asumsi bahwa manusia pada umumnya rasional;
bahwa mereka bertindak dengan mempertimbangkan bahwa hal tersebut adalah
baik bagi mereka. Namun, rasionalitas dalam jenis tindakan Weber ini tidak
terbatas pada pengertian yang sempit untuk ‘memaksimalkan keuntungan’
sebagaimana ketika digunakan dalam teori ekonomi. Seseorang yang melakukan
sesuatu karena mengikuti kebiasaan mungkin merupakan sesuatu yang sangat
rasional ketika mengacu pada rasionalitas tindakan dalam pandangan Weber.
Jary dan Jary (1991:521) mengungkapkan bahwa menurut pendekatan
rasionalitas instrumental setiap tindakan (manusia) selalu didasarkan atas
pertimbangan untung rugi atau selalu berorientasi pada keuntungan (profit
oriented). Oleh karena itu, apapun strategi yang dipilih manusia untuk mencapai
suatu tujuan, tentu didasari oleh pertimbangan untung rugi atau selalu berorientasi
pada keuntungan. Prioritas diletakkan pada strategi yang dipandang paling baik
dan mampu memberikan keuntungan optimum.
Sedangkan menurut Weber (Ritzer, 1986:220) rasionalitas instrumental itu
sendiri merupakan tingkat rasionalitas paling tinggi, meliputi pertimbangan dan
pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang
dipergunakan untuk mencapainya. Sebagai individu, tentu manusia memiliki
macam-macam tujuan yang diinginkannya, dan atas dasar suatu kriteria tertentu,
individu menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan
ini. Individu lalu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai
tujuan yang dipilih tersebut. Dalam hal ini, mungkin mencakup pengumpulan
informasi, mencatat kemungkinan-kemkungkinan serta hambatan-hambatan yang
21
terdapat dalam lingkungan, dan mencoba untuk meramalkan konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu. Akhirnya suatu
pilihan dibuat atas alat yang dipergunakan yang kiranya mencerminkan
pertimbangan individu atas efisiensi dan efektivitasnya. Sesudah tindakan itu
dilaksanakan, orang itu dapat menentukan secara obyektif sesuatu yang
berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai.
Weber menjelaskan (Ritzer, 1986:220) : Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri (zweckrational), apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif. Berdasarkan asumsi ini, manusia merupakan makhluk rasional di mana
tindakan-tindakannya apakah mampu memberikan keuntungan/manfaat atau
sebaliknya senantiasa dikontrol oleh pertimbangan-pertimbangan rasionalnya.
Inilah yang mendasari manusia menggunakan strategi untuk mencapai maksud
dan tujuan yang diinginkannya.
Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksud dengan strategi adalah cara-
cara, tindakan yang dilakukan oleh para perempuan pedagang di pasar terapung
Lok Baintan untuk mendapatkan konsumen atau pelanggannya. Bagi para
pedagang, keberadaan strategi ini tentu dianggap penting mengingat besar
kecilnya pendapatan yang diperoleh tergantung dari jumlah konsumen/pelanggan
yang membeli dagangannya. Para pedagang yang aktif bergerak dan punya
strategi tertentu pasti berbeda dengan para pedagang lainnya yang tidak
22
mempunyai strategi dalam mendapatkan konsumen/pelanggan. Oleh karena itu,
perlu diaplikasikan dan dikembangkan cara-cara tertentu (strategi) yang
dipandang tepat untuk dapat memperoleh konsumen sebanyak-banyaknya.
Adanya strategi pedagang di pasar terapung menjadi semakin penting
mengingat semakin banyaknya persaingan dengan pedagang di pasar-pasar
tradisional yang ada di daratan dan semakin sempitnya sungai-sungai sebagai
akses menjajakan barang dagangan. Kondisi seperti ini membuka peluang bagi
terjadinya persaingan yang ketat dalam menjaring konsumen sehingga dapat
mendorong para pedagang untuk mengembangkan strategi tertentu untuk
memenangkan persaingan. Hal ini seperti diungkapkan Learned dkk (Rangkuti,
1999:3) bahwa strategi merupakan alat untuk menciptakan keunggulan bersaing.
Hal ini pada tahap berikutnya dapat pula melahirkan pluralitas strategi pada para
pedagang di pasar terapung Lok Baintan sesuai dengan situasi dan kondisinya
masing-masing. Semua itu dikembangkan untuk bisa mendapatkan konsumen
yang sebanyak-banyaknya karena dengan begitu akan semakin besar pula
penghasilan atau keuntungan yang akan diterima.
Pluralitas strategi dapat direlevansikan dengan konsep Parsons tentang
voluntarisme. Parsons (Ritzer, 2002:48-49) mengatakan bahwa voluntarisme
merupakan kemampuan individu untuk melakukan tindakan, dalam arti
menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka
mencapai tujuannya. Apabila dihadapkan pada serangkaian alternatif maka
tindakannya akan diarahkan kepada mana yang dipandang dapat memberikan
manfaat yang terbaik bagi dirinya.
23
Hamel dan Prahalad (Rangkuti, 1999:4) mengemukakan bahwa strategi
merupakan tindakan yang bersifat incremental (selalu meningkat) dan terus
menerus dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh
para pelanggan/konsumen. Mengacu pada pernyataan tersebut maka dibutuhkan
adanya evaluasi, pengembangan maupun inovasi dalam sebuah strategi yang
diaplikasikan. Pada saat-saat tertentu, secara periodik maupun insidentil, perlu
untuk menganalisa strategi yang telah dijalankan dan mengevaluasi hasilnya. Ini
dapat dijadikan sebagai konsideran untuk mengambil keputusan dalam rangka
meneruskan, memperbaiki, mengembangkan maupun mengganti strategi yang
sudah ada atau yang selama ini telah diaplikasikan para pedagang. Dengan
langkah strategis tersebut para pedagang di pasar terapung akan lebih siap dalam
menghadapi persaingan guna menjaring konsumen/pelanggan sebanyak mungkin.
Asumsi ini senada dengan pernyataan Hinkle (Ritzer, 2002:46), bahwa manusia
memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan
yang telah dilakukannya.
Sehubungan dengan tindakan yang dilakukan seseorang dapat pula dikaji
melalui pendekatan ‘teori aksi’, karena teori aksi juga dikenal sebagai teori
bertindak, yang pada awalnya teori ini juga dikembangkan oleh Max Weber,
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons. Weber (Ritzer,
2002:39) berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas
pengalaman, pemahaman, persepsi atas suatu objek stimulus dan situasi tertentu.
Tindakan individu merupakan sosial yang rasional yaitu untuk mencapai tujuan
atau sarana-sarana yang paling tepat. Teori ini menekankan bahwa individu
24
menentukan sendiri sesuatu yang bermakna bagi dirinya sendiri. Jadi sebagai
subyek, manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
yang memberikan makna baginya. Teori ini sesuai untuk menjelaskan strategi
para pedagang perempuan di pasar terapung Lok Baintan.
Kepentingan manusia mempunyai maksud atau tujuan tertentu dan pasti
manusia berkeinginan semua itu dapat tercapai. Untuk itu mereka melakukan dan
mengembangkan sejumlah cara untuk mewujudkannya. Hal ini sejalan dengan
beberapa asumsi teori aksi yang dikemukakan oleh Hinkle yang menyatakan:
Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan.
Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya (Ritzer, 2002:46).
Dalam konteks tindakan dan strategi, Parsons menyusun skema tentang
unit-unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Adanya individu sebagai aktor. 2. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu. 3. Aktor mempunyai alternatif cara, alat serta teknik untuk mencapai
tujuannya. 4. Aktor berhadapan dalam sejumlah kondisi situasional yang dapat
membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu.
5. Aktor berada dibawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan (Ritzer, 2002:48-49).
Paparan di atas menunjukkan bahwa perilaku individu dibimbing oleh
adanya kepentingan, maksud, dan tujuan tertentu. Untuk mencapai semua itu
maka manusia mengembangkan cara-cara tertentu yang dipandang mampu dan
25
efektif. Cara-cara demikian sering disebut dengan istilah strategi. Dalam
prakteknya, istilah strategi sering pula disebut “kiat atau taktik”. Menurut
Purwadarminta (1976:965) strategi adalah akal atau tipu muslihat untuk mencapai
suatu maksud. Sedangkan Menurut Snel dan Staring (dalam Resmi Setia, 2005:6)
mengemukakan bahwa strategi adalah sebagai rangkaian tindakan yang dipilih
secara standar oleh individu dan rumah tangga yang miskin secara sosial ekonomi.
Jadi strategi adalah akal atau cara-cara tertentu yang dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan. Dengan kata lain strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan
dalam berbagai macam aktivitas. Terlihat bahwa manusia merupakan makhluk
yang rasional, sehingga dalam mencapai tujuannya manusia akan bertindak
dengan cara-cara tertentu yang dipandangnya efektif, yaitu dengan menggunakan
satu atau seperangkat strategi.
Cara-cara manusia menyusun strategi dipengaruhi oleh posisi mereka atau
kelompok dalam struktur masyarakat, sistem kepercayaan dan jaringan sosial
yang dipilih, termasuk keahlian dalam memobilitasi sumber daya yang ada,
tingkat keterampilan, kepemilikan aset, jenis pekerjaan, status gender dan
motivasi pribadi. Nantinya akan dilihat apakah jaringan sosial dan kemampuan
memobilitasi sumber daya yang ada termasuk disini mendapatkan kepercayaan
dari orang lain (dalam hal ini pelanggan) dapat membantu mereka dalam
menyusun strategi bertahan sebagai pedagang di pasar terapung.
Dalam menyusun strategi, individu tidak hanya menjalankan satu jenis
strategi saja, sehingga kemudian muncul istilah multiple survival strategies atau
strategi bertahan jamak. Selanjutnya Snel dan Starring mengartikan hal ini sebagai
26
kecenderungan pelaku-pelaku atau rumah tangga untuk memiliki pemasukan dari
berbagai sumber daya yang berbeda, karena pemasukan tunggal terbukti tidak
memadai untuk menyokong kebutuhan hidupnya. Strategi yang berbeda-beda ini
dijalankan secara bersamaan dan akan saling membantu ketika ada strategi yang
tidak bisa berjalan dengan baik. Hal ini juga dilakukan sebagian para perempuan
pedagang di pasar terapung, dimana pada umumnya selain sebagai pedagang,
mereka juga sebagai petani kebun dan juga petani sawah. Begitu juga dengan para
laki-laki (suami), selain sebagai petani sawah dan kebun, mereka juga sebagai
pencari ikan di sungai-sungai sekitar tempat tinggalnya, baik untuk dikonsumsi
sendiri ataupun untuk didagangkan oleh istrinya.
2.2 Perempuan dan Perdagangan
Menurut Chebair dan Reichmann (dalam Fatimah, 2001:41), banyaknya
perempuan memilih kegiatan di sektor informal terutama dunia dagang, karena
memberikan kebebasan waktu kepada perempuan untuk mengatur kegiatan rumah
tangga dengan jadwal usaha mereka, dan mengkombinasikan aktivitas produksi
dengan kewajiban terhadap keluarga mereka.
Dalam kegiatan kerjanya kaum perempuan sering memilih hal-hal yang
terkait dengan peranannya dalam rumah tangga, misalnya dengan menjual
makanan atau barang-barang yang berurusan dengan peran perempuan dalam
rumah (Chandler, 1985:54). Dengan kata lain, perempuan melakukan kegiatan
sebagai pedagang, selain untuk menambah penghasilan, sekaligus dengan tidak
terlepas dari peran kesehariannya.
27
Sakidjo dan Sumarsulistyo (1995:6) dalam penelitiannya menemukan
bahwa rumah tangga miskin banyak menggantungkan diri pada pendapatan kaum
perempuan pedagang untuk “survival” rumah tangganya. Saptari dan Holzner
(1997:325) mengetengahkan hasil para peneliti dalam studi kasus di Sulawesi
Utara yang menunjukkan bahwa bagi petani kecil dan orang-orang tanpa tanah,
bahwa kegiatan perempuan berdagang adalah sangat penting untuk dapat bertahan
hidup.
Dalam perdagangan, peran perempuan sangat menonjol, sehingga nampak
bahwa bidang ini lebih didominasi perempuan. Perdagangan memberi peluang
kerja dan usaha yang cocok bagi perempuan untuk memperoleh pendapatan yang
teratur (Stoler, 1975:29, dalam Arianto, 1994:4). Bagi perempuan sektor
perdagangan juga dianggap mudah untuk dimasuki, karena tidak memerlukan
kepandaian, keterampilan dan modal (Oey, 1984:5, dalam Djodi, 1986:59). Selain
itu menurut Kutanegara (2006, dalam Abdullah, ed, 2006:213) salah satu daya
tarik yang mendorong perempuan terjun ke dunia perdagangan adalah kesempatan
mereka untuk selalu memegang uang.
Menurut Kutanegara (dalam Abdullah, ed, 2006:215) pasar telah
memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menciptakan ‘dunia baru’,
pasar tidak hanya berfungsi sebagai tempat mencari keuntungan, tetapi juga
menjadi tempat rekreasi dan memperoleh informasi baru, menciptakan peluang
kepada perempuan untuk otonomi yang lebih besar. Sejalan dengan Saptari dan
Holzner (1997:328) yang juga melihat bahwa selain fakta berdagang secara
ekonomis, perdagangan bagi perempuan juga membawa aspek sosial yang
28
penting, misalnya bertukar berita, bertemu orang lain, memperoleh teman dan
kenalan lebih banyak lagi serta ikut bermasyarakat.
Evers (dalam Arianto, 1994:5) melihat akses yang dimiliki dan relatif
rendahnya tuntutan dari sektor perdagangan, telah mendorong perempuan masuk
ke dalamnya, selain kapasitas penyerapan yang sangat tinggi. Hasil penelitian
Evers di Jatinom Jawa Tengah, menunjukkan bahwa pilihan perempuan untuk
terlibat di sektor perdagangan merupakan salah satu alternatif yang dapat di
lakukan ketika perempuan harus mencukupi kebutuhan rumah tangganya, yakni
harus mampu memperoleh penghasilan, dan hal ini tampak sangat besar terjadi di
daerah pedesaan.
Banyak hal yang menyebabkan perempuan ikut mencari nafkah, termasuk
perempuan yang terlibat di sektor perdagangan, antara lain: terdorong perasaan
manusiawi untuk turut serta memberikan sumbangan kepada ekonomi rumah
tangganya yang belum cukup (Sayogyo, P, 1983), manambah penghasilan
keluarga, mengisi waktu luang (Ihromi, 1989), kondisi sosial ekonomi yang
kurang menguntungkan dan demi kelangsungan hidup keluarga (Lewis, 1986),
dan memperoleh penghasilan yang teratur sebagai sumber penting bagi rumah
tangga (Stoler, 1975:135-136, dalam Arianto, 1994:4).
Namun demikian dari sejumlah alasan-alasan tentang keterlibatan
perempuan di sektor perdagangan, maka alasan utamanya adalah alasan ekonomi,
yakni hasil pendapatan suami tidak mencukupi kehidupan keluarga. “tidak
berfungsinya suami” oleh Reneen dan Dharma (Gardiner, ed, 1991:81, dalam
Fatimah, 2001:43) dianggap sebagai salah satu latar belakang masuknya
29
perempuan ke wilayah publik, maka sebagian besar waktunya tercurah dalam
kegiatan usaha dagang.
Pasar yang dituju oleh mayoritas perempuan pedagang menurut Chebair
dan Reichmann (1995:43 dalam Fatimah:2001:49) adalah menyukai pasar yang
lebih lapang dekat rumah, dan mencoba pasar-pasar di luar tetangga dekat mereka,
namun masih dalam kota mereka, untuk menjamin penghasilan yang cukup.
Sementara laki-laki sedikit banyak mencoba ke pasar-pasar yang lebih jauh
wilayahnya.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dimaksud meliputi : 1) lokasi penelitian, 2)
pendekatan penelitian, 3) unit analisis, 4) penentuan informan, 5) teknik
pengumpulan data, dan 6) teknik analisis dan verifikasi data. Berikut
penjelasannya :
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di pasar terapung Lok Baintan, Desa Lok
Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan
Selatan. Lokasi ini dipilih karena budaya sungai dan tradisi masyarakatnya yang
kental dengan budaya berdagang. Salah satunya adalah pasar terapung Lok
Baintan yang merupakan pasar tradisional yang mengandung unsur atau nilai
budaya. Menurut pengamatan awal (tahun 2012) tempat ini dinilai masih sangat
alami, berada di wilayah pedesaan, dan masih banyak terdapat pedagang
perempuannya.
30
Gambar 1 : Suasana Pasar Terapung Lok Baintan
Dokumentasi Pribadi 2012
Pasar terapung Lok Baintan ini juga sebagai tempat bertemunya antara
pedagang tangan pertama (dimana mereka adalah petani yang menjual sendiri
hasil panennya berasal dari sekitar pasar terapung) dan tangan kedua (pedagang
yang berasal dari pasar di daratan dan anak-anak sungai sekitar pasar terapung).
Para pedagang di pasar terapung Lok Baintan adalah mayoritas masyarakat yang
bertempat tinggal di sekitar pasar tersebut, berbeda dengan para pedagang di pasar
terapung Muara Kuin yang mayoritas para pedagangnya adalah para pendatang
dari berbagai daerah dan kebanyakan menjual barang dagangan dalam bentuk
eceran. Menurut observasi awal di pasar terapung Lok Baintan ini masih terdapat
banyak pedagangnya, berkisar 100 orang pedagang, dimana mayoritas adalah
perempuan, bahkan menurut penuturan warga sekitar, jika pada musim buah
biasanya lebih ramai dan banyak lagi para pedagangnya, yaitu sekitar bulan
oktober sampai desember. Karena banyak para petani sekaligus sebagai pedagang
yang datang langsung mendagangkan hasil panennya ke pasar ini.
31
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Peneliti memilih
metode kualitatif karena fokus kajian atau permasalahan yang diteliti bersifat
kompleks, dinamis, dan penuh makna sehingga tidak mungkin bila data pada
situasi sosial ini diperoleh dengan metode penelitian kuantitatif. Selain itu, metode
ini lebih mampu menemukan definisi situasi dan gejala sosial dari subjek,
perilaku, motif-motif subyektif, perasaan dan emosi orang yang diamati, sehingga
mampu mendefinisikan situasi subyek yang diteliti. Menurut Bogdan dan Taylor
(1975), metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati dan tujuan untuk menyumbang pengetahuan secara mendalam
mengenai objek penelitian. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986)
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasanya dan dalam istilahnya (Lexy Moleong, 1994:3-5).
Apabila ditinjau dari jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif-analitis yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi fenomena sosial
secara cermat melalui pengembangan konsep dan menghimpun fakta (data)
empiris. Selain itu, apabila ditinjau dari tempat kegiatannya merupakan kategori
penelitian lapangan (field research) karena kegiatan penelitian ini dilakukan di
lingkungan masyarakat yaitu para pedagang perempuan di pasar terapung Lok
Baintan, para pelanggan/pembeli di pasar terapung Lok Baintan dan dinas terkait
yang bertanggung jawab.
32
Secara khusus, peneliti menggunakan format penelitian atau metode studi
kasus tunggal sebagai perangkat eksplanatoris terhadap fokus kajian yaitu
mengenai strategi berdagang pada perempuan pedagang di pasar terapung Lok
Baintan. Studi kasus (case study) merupakan metode eksploratif dan analitis yang
sangat cermat dan intensif (terinci dan mendalam) mengenai suatu keadaan unit
(kesatuan) sosial berupa individu, suatu keluarga, lembaga, suatu organisasi,
kelompok masyarakat atau gejala tertentu. Sedangkan dalam Yin (2004) studi
kasus adalah salah satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial secara umum
merupakan strategi yang berkenaan dengan pertanyaan tentang how dan why,
penelitian hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa
yang akan diselidiki dengan fokus penelitiannya terletak pada fenomena
kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Adapun tujuan dari
studi kasus adalah :
1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya faktor-faktor tertentu yang memberikan ciri khas pada tingkah laku sosial yang kompleks dari unit.
2. Untuk memahami relasi antara unit tersebut dengan milieu sekitarnya. case study bisa ditujukan secara luas terhadap segenap segi siklus kehidupan, atau hanya mencakup satu sektor tertentu dari siklus kehidupan unit tersebut.
3. Memahami sejarah dari unit sosial tersebut, serta mamahami relasi dan pengaruh dari faktor-faktor sosial, sehingga berwujud sebagai kekuatan-kekuatan sosial atau kelompok-kelompok masyarakat.
4. Melalui case study orang berusaha menemukan varietas faktor-faktor yang terdapat dalam satu unit sosial, dipandang sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dari unit sosial tadi; sehingga oleh karenanya orang bisa memahami ciri-ciri khusus dan pola tingkah laku dari unit sosial itu (Kartini Kartono, 1996:254-255).
3. Unit Analisis
Unit analisis dalam suatu penelitian secara esensial dapat meliputi
individu, rumah tangga, kelompok, organisasi, lembaga sosial dan lain-lain. Unit
analisis seperti apa yang akan diambil dalam proses penelitian ini tergantung dari
33
permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini unit analisis berguna untuk
memfokuskan kajian yang dilakukan atau dengan pengertian lain obyek yang
diteliti ditentukan kriterianya sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian.
Dalam penelitian perempuan pedagang di pasar terapung ini, unit analisis yang
dipilih adalah ‘kelompok’ perempuan pedagang di pasar terapung Lok Baintan.
Perempuan pedagang di pasar terapung Lok Baintan terdiri dari dua
kelompok, yaitu pedagang tetap dan pedagang tidak tetap. Untuk lebih jelasnya
perbedaan karakteristik kedua kelompok pedagang tersebut digambarkan dalam
tabel di bawah ini :
Tabel 1: Karakteristik Pedagang Tetap dan Pedagang Tidak Tetap di Pasar Terapung Lok Baintan
No Karakteristik Pedagang Tetap Pedagang Tidak Tetap 1 Intensitas waktu
berdagang Para pedagang yang setiap hari berdagang di pasar terapung Lok Baintan.
Para pedagang yang tidak setiap hari berdagang di pasar terapung Lok Baintan, hanya berdagang 2-3 kali saja dalam seminggu.
2 Jenis Komoditas dagangan yang didagangkan
Jenis dagangan yang sama setiap harinya dan tanggap terhadap per-mintaan pelanggan, serta dapat membaca kebutuh-an pasar.
Tergantung hasil perkebunan dan apa yang tersedia yang dapat didagangkan kembali.
3 Modal yang di-gunakan dalam berdagang
Relatif lebih besar Kecil dan bahkan didapatkan secara gratis dari hasil perkebunan sendiri.
4 Jumlah pelanggan
Cenderung mempunyai banyak pelanggan
Tidak mempunyai pelanggan, bebas dalam transaksi jual-beli.
5 Sistem penjualan
Eceran Grosir, biasanya dalam bentuk bungkalang (keranjang).
Sumber : pengamatan, wawancara dan pengolahan data lapangan.
34
Berdasarakan tabel 1 (satu) dapat dilihat perbedaan antara kedua kelompok
pedagang di pasar terapung Lok Baintan. Adapun perbandingan kedua kelompok
pedagang tersebut tidak seimbang, karena lebih banyak para pedagang tidak tetap
yang berdagang di pasar terapung Lok Baintan apalagi dalam bulan-bulan tertentu
yaitu bulan oktober-desember.
4. Penentuan Informan
Informan adalah orang yang bisa memberikan informasi, situasi, kondisi
dan data yang diperlukan dalam penelitian atau yang terkait dengan subjek
penelitian. Informan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu informan utama
dan informan pendukung. Untuk informan utamanya adalah para perempuan
pedagang di pasar terapung Lok Baintan, sedangkan informan pendukungnya
adalah para pembeli/pelanggan yang berada disekitar pasar terapung, aparat Desa
Lok Baintan dan Kabid. Pariwisata dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Pemilihan informan dengan menggunakan teknik purposive (bertujuan)
dan snowball (bergulir) untuk memperluas informasi yang telah didapat
sebelumnya. Adapun informan yang dipilih atas dasar pertimbangan tertentu dan
disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.
Berdasarkan observasi awal (bulan Mei tahun 2012) yang disertai
wawancara dengan aparat Desa Lok Baintan, serta dengan beberapa pedagang di
pasar terapung, diketahui bahwa sebagian besar pedagang yang beraktifitas sehari-
hari di pasar terapung adalah kaum perempuan yang umumnya bertempat tinggal
di tepian sungai sekitar pasar terapung. Menurut data tahun 2012 dari Kordinator
Pariwisata dan Kepala Desa Lok Baintan terdapat 47 (empat puluh tujuh) orang
35
pedagang tetap yang berasal dari Desa Lok Baintan, jumlah tersebut belum
termasuk para pedagang tidak tetap. Sehingga, peneliti memilih 9 (sembilan)
orang informan utama yang terlibat dalam perdagangan di pasar terapung Lok
Baintan.
Para pedagang terdiri dari 6 (enam) orang pedagang tetap dengan
kategorisasi/kriteria informan yang ditetapkan adalah perempuan pedagang di
pasar terapung Lok Baintan yang sudah berpengalaman, barang dagangannya
lebih laris dan banyak mempunyai pelanggan, mereka adalah pedagang
kelontongan, pedagang beras, pedagang buah dan sayur, pedagang makanan dan
pedagang pakaian. Serta 3 (tiga) orang pedagang tidak tetap, dimana mereka
adalah para petani yang mendagangkan sendiri hasil panennya ketika mereka
panen dan pedagang yang berdagang dengan jenis barang dagangan yang tidak
tetap atau berubah-ubah setiap harinya.
Alasan dalam pengambilan 9 (sembilan) informan tersebut adalah:
informan tersebut dapat mewakili heterogenitas pedagang pasar terapung yang ada
di pasar terapung Lok Baintan, barang-barang yang diperdagangkan merupakan
kebutuhan pokok yang perputarannya sangat cepat. Sedangkan alasan
pengambilan 9 (sembilan) orang informan tersebut ditentukan tidak seimbang
antara pedagang tetap dan pedagang tidak tetap, kerena dalam penelitian ini fokus
kepada perempuan pedagang yang mempunyai banyak pelanggan, lebih laris dan
memang berbeda dari para pedagang lainnya. Hal itu ditemukan pada pedagang
tetap, sehingga jumlah informan yang diambil disesuaikan dengan fokus
penelitian tersebut. Lama mereka berdagang di pasar terapung bermacam-macam,
36
dari lamanya berdagang 3 (tiga) tahun sampai 30 (tiga puluh) tahun. Untuk
selengkapnya mengenai informan utama perempuan pedagang di pasar terapung
Lok Baintan, digambarkan pada tabel 2 (dua) berikut :
Tabel 2 : Daftar dan Identitas Informan
No Nama Umur Lama Berdagang di Pasar Terapung
Jenis Barang Dagangan
1 Informan AB 48 Tahun 18 Tahun Berbagai jenis pakaian, horden dan sarung.
2 Informan BJ 45 Tahun 8 Tahun Beras 3 Informan ST 60 Tahun 30 Tahun Sayur dan buah eceran 4 Informan IL 58 Tahun 18 Tahun Kelontongan 5 Informan IB 59 Tahun 30 Tahun Kelontongan 6 Informan IN 46 Tahun 15 Tahun Sayur, ikan kering dan
buah 7 Informan IR 29 Tahun 3 Tahun Pisang Goreng/kue basah 8 Informan YT 34 Tahun 14 Tahun Sayur dan buah dari
kebun sendiri (grosir) 9 Informan IJ 41 Tahun 20 Tahun Sayur, buah, tanaman dari
kebun sendiri (grosir) Sumber : pengamatan, wawancara dan pengolahan data lapangan
Peran Pemerintah setempat dalam memberikan dukungan terhadap para
perempuan pedagang di pasar terapung juga perlu untuk diketahui, oleh karena
itu, penulis mengambil 3 (tiga) orang informan yaitu Kepala Desa Lok Baintan,
Kordinator Pariwisata Desa Lok Baintan dan Kepala Bidang Pariwisata di Dinas
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai pengelola dan bertanggung jawab
terhadap pasar terapung Lok Baintan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan
informan lain yaitu masyarakat sekitar pasar terapung yang aktif berbelanja setiap
harinya di pasar terapung.
37
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menjadi komponen penting sebagai upaya
mendapatkan data yang berguna untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam
penelitian ini data didapatkan melalui dua sumber, yaitu: data primer dan data
sekunder. Data primer sebagai sumber data utama, yang didapatkan berupa kata-
kata, tindakan, serta keterangan langsung dari informan melalui wawancara
mendalam dan menggunakan observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
pemanfaatan sumber-sumber tertulis berupa dokumen, foto, internet, koran,
literatur, data statistik, monografi lokasi penelitian, dan studi kepustakaan yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan
melakukan kombinasi teknik dari beberapa tools (alat kajian), yang lazim disebut
‘triangulasi’ yang merupakan alat pengumpul data sekaligus untuk menguji
tingkat akurasi data. Triangulasi yang dimaksud meliputi : a) triangulasi data atau
sumber data yaitu dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan multi sumber
data berupa data primer, data sekunder, dan observasi. b) triangulasi metode yaitu
peneliti menggunakan berbagai metode pengumpulan data untuk menggali data
penelitian yang sejenis berupa metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. c)
triangulasi peneliti yaitu peneliti melakukan review dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh beberapa peneliti yang sama atau menggunakan pendekatan sama
dengan kajian penelitian ini. d) triangulasi teori yaitu peneliti dalam membahas
permasalahan yang sedang dikaji tidak menggunakan satu perspektif teori tetapi
dikoneksikan dengan teori lain yang memiliki relevansi untuk lebih memperdalam
38
analisa data hasil penelitian ini. Untuk selengkapnya berikut pembahasan dari
masing-masing teknik pengumpulan data serta teknik analisis dan verifikasi data :
a) Observasi
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ialah melalui
Observasi participant yaitu merupakan upaya pengamatan dan pengumpulan data
dengan berperan serta melalui interaksi yang intensif dengan subjek yang diteliti
(Denzin dan Lincoln, 2009). Dengan keterlibatan peneliti pada beberapa kegiatan
keseharian para informan seperti pada saat bekerja sebagai pedagang dan saat
dirumah ketika mempersiapkan dagangannya atau selesai berdagang, peneliti
dapat dengan mudah memberikan gambaran yang mendalam tentang kondisi
sosial yang sedang berlangsung. Peneliti mencatat beberapa temuan selama berada
maupun terlibat dalam aktifitas keseharian informan. Dalam hal ini objek
observasi meliputi 3 (tiga) komponen meliputi : (1) Tempat, yaitu lokasi di mana
aktifitas perdagangan berlangsung dan tempat tinggal para perempuan pedagang
yang dipilih sebagai informan dalam penelitian ini yang ada di desa Lok Baintan.
(2) Aktor, yaitu pelaku yang meliputi para perempuan pedagang di pasar terapung
Lok Baintan, para pelanggan/pembeli yang bertempat tinggal di sekitar pasar
terapung Lok Baintan, instansi/dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan aparat
Desa Lok Baintan, (3) Aktivitas, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh aktor sesuai
dengan situasi sosial yang sedang berlangsung sebagai sumber data penelitian.
b) Wawancara
Selain observasi juga menggunakan wawancara mendalam. Dengan
wawancara yang mendalam diharapkan persepsi dan makna simbolik dibalik
kenyataan yang terjadi dapat diketahui. Penelitian yang hanya mengandalkan
39
observasi tidaklah memadai, karena tidak dapat mengungkapkan apa yang diamati
dan dirasakan orang lain, karena itu perlu dilengkapi dengan wawancara
mendalam agar dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan informan (Nasution,
1992: 69). Wawancara merupakan perangkat untuk memproduksi pemahaman
situasional yang bersumber dari episode-episode interaksional khusus. Metode ini
sangat dipengaruhi oleh karakteristik personal seorang peneliti, termasuk ras,
kelas sosial, kesukuan dan gender (Denzin dan Lincoln, 2009). Dalam penelitian
ini, kualitas data ditentukan oleh kualitas peneliti, yaitu kapasitas peneliti untuk
memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis. Kedekatan personal yang dibangun
antara peneliti dan informan ini membantu informan terbuka dan semakin
bersemangat menceritakan pengalaman-pengalamannya.
Pada pelaksanaan wawancara, peneliti mengembangkan prinsip
kesetaraan, agar tidak terjadi hubungan yang hierarkis. Sebagaimana
dikemukakan Oakley (Denzin dan Lincoln, 2009:513-514) yang menegaskan
bahwa tidak ada keintiman dalam sebuah dialog tanpa adanya hubungan timbal
balik yang seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dapat menunjukkan sisi
kemanusiaannya, mengekspresikan perasaan dan bertanya seperti halnya manusia
yang memiliki derajat yang sama dengan informan. Jika hal ini dapat dilakukan
dengan maksimal, maka perempuan sebagai subjek penelitian ini akan lebih
termotivasi untuk mengungkapkan secara terperinci berbagai pengalaman
hidupnya secara pribadi. Perbincangan yang mengalir dengan para pedagang
perempuan akan membentuk relasi yang seimbang antara peneliti dan informan.
Informan dengan leluasa menceritakan pengalamannya selama bekerja sebagai
40
pedagang, awal mula usaha dagang dan berbagai strategi yang dilakukannya
dalam berdagang agar laris dan mendapat pelanggan yang banyak.
Secara teknis, wawancara dilakukan dengan tahapan berikut: (1) penetapan
informan yang terdiri dari perempuan pedagang yang paling sering berdagang di
pasar terapung Lok Baintan dan aparatus pemerintah selaku pengelola pasar
terapung Lok Baintan (2) menyiapkan pokok-pokok permasalahan yang tertulis
dalam panduan wawancara, (3) membuat alur wawancara, (4) menuliskan hasil
wawancara dalam catatan lapangan dan (5) mengidentifikasi tindak lanjut hasil
wawancara yang diperoleh.
c) Analisis Dokumen
Peneliti juga menggunakan data-data sekunder yang berasal dari
dokumentasi-dokumentasi resmi instansi terkait (Data monografi desa dan
kecamatan setempat), arsip yang dapat menunjang kapan mulai adanya pasar
terapung Lok Baintan, dan data-data dari media massa, foto-foto di lapangan,
serta catatan lapangan peneliti. Diharapkan data-data ini dapat melengkapi data
primer yang didapat dari lapangan. Dan terakhir studi pustaka dilakukan dengan
mencari data ataupun informasi melalui penelusuran referensi (buku-buku, jurnal,
internet) yang relevan dengan fokus penelitian, dengan melakukan studi pustaka
diharapkan akan membantu mempertajam kesimpulan penelitian.
6. Teknik Analisis dan Verifikasi Data
Mengacu pada penjelasan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan
metode studi kasus. Dalam menganalisa studi kasus terdapat beberapa tahapan-
tahapan yang perlu dilakukan Yin (2004), diantaranya :
41
a. Mengorganisasikan Data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subyek melalui wawancara
mendalam (indepth interview), dimana data tersebut direkam dengan
menggunakan alat perekam dibantu alat tulis lainnya. Kemudian dibuatkan
transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi
bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang
agar peneliti mengerti benar data atau hasil yang telah didapatkan.
b. Pengelompokkan berdasarkan Kategori, Tema dan Pola jawaban
Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data,
pengertian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa
yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti
menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam
melakukan coding atau pengkodean. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian
kembali membaca transkip wawancara dan melakukan coding, melakukan
pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi
kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokkan atau dikategorikan
berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat.
Hasil wawancara dianalisis berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal
diungkapkan oleh informan. Data yang telah dikelompokkan tersebut dicoba
untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata
kuncinya. Peneliti dapat menangkap pengalaman, permasalahan, dan dinamika
yang terjadi pada subjek.
42
c. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terdapat Data
Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data
tersebut terhadap asusmsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini
kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan
teori, sehingga dapat dicocokkan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis
dengan hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesis
tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi-asumsi mengenai
hubungan antara konsep-konsep dan faktor-faktor yang ada.
d. Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data
Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud,
peneliti masuk dalam tahap penjelasan. Berdasarkan kesimpulan yang telah
didapat dari kaitannya tersebut, peneliti merasa perlu mencari sesuatu penjelasan
lain tentang kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian studi kasus
memang selalu ada alternatif penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada
kemungkinan terdapat hal-hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir
sebelumnya. Pada tahap ini diperlukan penjelasan dengan alternatif lain melalui
referensi atau teori-teori lain. alternatif ini sangat berguna pada bagian
pembahasan, kesimpulan dan saran.
e. Menulis Hasil Penelitian
Penulisan data informan yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu
hal yang membantu peneliti untuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang
dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah
presentase data yang didapat yaitu; penulisan data-data hasil penelitian
43
berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan informan. Proses
dimulai dari data-data yang diperoleh dari informan, dibaca berulang kali
sehingga peneliti mengerti benar permasalahannya, kemudian dianalisis, sehingga
didapat gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari informan selama
penelitian berlangsung. Selanjutnya dilakukan interpretasi secara keseluruhan,
dimana didalamnya mencakup keseluruhan kesimpulan dari penelitian.
Untuk kesahihan data yaitu validitas dan objektifitas dalam penelitian ini
menggunakan metode triangulasi. Menurut Patton seperti dikuti Moleong (1994:
178) metode triangulasi dengan sumber dapat berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai
dengan cara: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara, (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dan
apa yang dikatakannya secara pribadi, (3) membandingkan apa yang dikatakan
orang tentang penelitian dan apa yang diucapkannya sepanjang waktu, (4)
membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang, (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang
berkaitan. Runtutan proses ini akan membentuk keutuhan hasil penelitian yang
dapat dipertanggungjawabkan.