BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal...

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Jawa berfungsi sebagai alat komunikasi dan bahasa pengantar kebudayaan Jawa seperti ketoprak, upacara adat, ludruk, dan lain-lain. Bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, tidak akan lepas dari lingkungan alam sekitar. Hubungan manusia dengan alam sudah terjalin sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini, dari hubungan manusia dengan alam, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan, maka secara alamiah bahasa yang dikeluar pada saat itu akan terpengaruh dengan lingkungan dan alam sekitar. Perkembangannya bahasa Jawa akan dapat memberikan variasi makna dan catatan-catatan yang berbeda. Variasi yang dimaksud untuk menyebutkan makna kultural yang mempunyai ciri-ciri kekhasan, sedangkan catatan adalah dalam memberi nama istilah, dapat dibedakan menurut bentuk, misalnya apem. Apem yaitu srabi legi dianggo slametan ‘serabi manis untuk selamatan’ (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 17). Apem sebagai simbol permintaan maaf (ngapura). Apem berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan maaf. Manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Penyebutan makna akan berbeda berdasarkan pengalaman dan kepercayaan seseorang. Dalam sadranan Apem merupakan salah satu istilah sesaji. Oleh karena itu, bahasa dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa tidak akan bisa lepas dari

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Jawa berfungsi sebagai alat komunikasi dan bahasa pengantar

kebudayaan Jawa seperti ketoprak, upacara adat, ludruk, dan lain-lain. Bahasa

Jawa dan kebudayaan Jawa yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, tidak akan

lepas dari lingkungan alam sekitar. Hubungan manusia dengan alam sudah

terjalin sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini, dari hubungan manusia

dengan alam, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan,

maka secara alamiah bahasa yang dikeluar pada saat itu akan terpengaruh

dengan lingkungan dan alam sekitar.

Perkembangannya bahasa Jawa akan dapat memberikan variasi makna

dan catatan-catatan yang berbeda. Variasi yang dimaksud untuk menyebutkan

makna kultural yang mempunyai ciri-ciri kekhasan, sedangkan catatan adalah

dalam memberi nama istilah, dapat dibedakan menurut bentuk, misalnya

apem. Apem yaitu srabi legi dianggo slametan ‘serabi manis untuk selamatan’

(W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 17). Apem sebagai

simbol permintaan maaf (ngapura). Apem berasal dari kata afwam atau afuan

yang berarti permintaan maaf. Manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf

atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Penyebutan makna akan

berbeda berdasarkan pengalaman dan kepercayaan seseorang. Dalam sadranan

Apem merupakan salah satu istilah sesaji. Oleh karena itu, bahasa dan

kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa tidak akan bisa lepas dari

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

kebudayaan dan bahasa itu sendiri. Dengan memahami bahasa yang digunakan

akan mengetahui budaya masyarakat itu, karena budaya memiliki hubungan

yang sangat erat.

Kebudayaan masyarakat Jawa berkaitan erat dengan kajian

Etnolinguistik. Etnolinguistik berasal dari kata (etnologi) yang berarti ilmu

yang mempelajari tentang suku-suku tertentu, dan linguistik yang berarti ilmu

yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu

bahasa. Etnolinguistik merupakan bidang linguistik yang menganalisis tentang

hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan (Harimurti Kridalaksana,

2008: 59). Budaya dan tradisi khususnya pada masyarakat Jawa sangat kaya

dan telah hidup selama bertahun-tahun. Salah satu wujud budaya adalah adat

istiadat atau tradisi atau upacara, seperti upacara Sadranan. Upacara Sadranan

di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali

dilaksanakan oleh masyarakat setempat pada bulan Syakban (Ruwah) setiap

tahunnya. Upacara Sadranan selalu dilengkapi dengan sesaji yang lengkap

agar terhindar dari malapetaka. Hal tersebut masih dipercayai dan masih

dilakukan oleh masyarakat sekitar.

Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen.

Kecamatan Sawit, Kabupate Boyolali adalah rangkaian kegiatan tradisi

keagamaan yang sudah menjadi tradisi umum yang dilakukan pada bulan

Syakban (Ruwah) menjelang bulan Ramadhan (Puasa). Tradisi/upacara

Sadranan ini sebagian besar dilakukan masyarakat muslim. Masyarakat Jawa

menjalankan tradisi penghormatan kepada arwah leluhur, kerabat, atau

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

sedulur. Tradisi/upacara Sadranan ini sebagian besar dilakukan masyarakat

muslim.

Rangkaian upacara Sadranan ini dilaksanakan dengan berbagai variasi

sesuai dengan adat masing-masing daerah. Pada umumnya sadranan diawali

dengan bersih-bersih makam. Acara bersih kubur ini merupakan kegiatan

pembuka dan melibatkan seluruh masyarakat desa. Setelah bersih-bersih

makam, kegiatan dilanjutkan dengan membersihkan jalan-jalan, pasar, balai

desa atau tempat lainnya yang memiliki fungsi sebagai tempat publik. Setelah

itu, dilanjutkan dengan acara kegiatan berikutnya adalah kenduri, selamatan

atau bancakan. Kenduri ini biasanya dilakukan secara bersamaan atau

dilaksanakan di area makam yang dipimpin oleh seorang Kiyai atau orang

yang disepuhkan di desa tersebut.

Dalam pelaksanaan upacara Sadranan ini memiliki sesaji yang telah

disepakati untuk makna masing-masing sesaji. Sehingga sesaji dalam upacara

Sadranan di dukuh Klinggen adalah segala sesuatu yang disajikan berupa

makanan, bunga, kemenyan, dan beberapa jenis yang diambil dari hasil alam

desa setempat, yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar diberi

kelancaran dalam pelaksanaan upacara Sadranan dan persembahan kepada

dhayang dukuh “Mbah Mondoroko” agar dukuh Klinggen dijaga supaya tetap

aman dan tentram (Mbah Marso, 1 April 2016).

Berdasarkan penelitian dengan kajian etnolinguistik yang pernah

dilakukan adalah sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo Adi Wisnu Wibowo, 2013

tentang Istilah-istilah dalam Upacara Tradisi Ruwatan di Waduk Gajah

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Mungkur Kabupaten Wonogiri (Kajian Etnolinguistik). Mengkaji tentang

bentuk, makna leksikal, makna kultural, dan perkembangan istilah-istilah

dalam Upacara Tradisi Ruwatan di Waduk Gajah Mungkur Kabupaten

Wonogiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Andina Dyah Sitaresmi, 2009 dalam

skripsinya meneliti tentang Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi

di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hardiningrat (Suatu Tinjauan

Etnolinguistik). Mengkaji tentang bentuk, makna leksikal, dan makna kultural

istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton

Surakarta Hadiningrat.

Penelitian yang dilakukan oleh Eko Juhartiningrum, 2010 dalam

skripsinya meneliti tentang Istilah-istilah Jamu Tradisional Jawa di

Kabupaten Sukoharjo (Suatu Kajian Etnolinguistik). Mengkaji tentang

bentuk istilah Jamu Tradisional Jawa di Kabupaten Sukoharjo,

mendeskripsikan tentang makna leksikal dan makna kultural.

Penelitian yang dilakukan oleh Nanda Fauza, 2010 dalam skripsinya

meneliti tentang Istilah-istilah Sesaji Upacara Tradisional Jamasan Pusaka

di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri (Suatu Kajian Etnolinguistik).

Mengkaji tentang bentuk, makna leksikal dan makna gramatikal, serta makna

kultural istilah yang terdapat dalam upacara tradisional jamasan pusaka di

Waduk Gajah Mungkur Wonogiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Ina Dinawati, 2010 dalam skripsinya

meneliti tentang Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Merti Desa di Desa

Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang (Kajian

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Etnolinguistik). Mengkaji tentang rangkaian upacara tradisi MD, bentuk, dan

makna istilah sesaji yang terdapat pada tradisi MD di Desa Dadapayam

Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.

Berdasarkan penelitian yang sudah ada, penelitian mengenai Istilah-

istilah Sesaji dalam Upacara Sadranan banyak ditemukan. Maka peneliti ini

akan mengkaji tentang bentuk, makna dan perkembangan terkait Istilah-istilah

Sesaji dalam Upacara Sadranan di Dukuh Klinggen Desa Guwokajen

Kecamatan Sawit Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik).

Alasan peneliti mengambil objek penelitian tentang Upacara Sadranan

yaitu (a) tradisi yang masih hidup di dalam kehidupan masyarakat pedesaan, (b)

masyarakatnya masih menggunakan bahasa dan budaya Jawa, (c) sebagai satu

bentuk upaya pelestarian budaya, (d) terdapat makna simbolis, hubungan diri

orang Jawa dengan para leluhur, dengan sesama, dan tentu saja dengan Tuhan,

(e) terdapat makna kultural yang erat kaitannya dengan masyarakat Jawa, (f)

istilah-istilah yang digunakan dalam sesaji penelitian ini memiliki kekhasan

berdasar bentuk dan makna.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan untuk mempermudah penulis dalam

menentukan data yang penulis perlukan, sehingga penelitian akan lebih

terarah. Lingkup penelitian ini adalah bentuk, makna, dan perkembangan

tradisi terkait istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan.

C. Rumusan Masalah

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka

permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan?

2. Apa sajakah makna istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan?

3. Bagaimanakah perkembangan tradisi terkait istilah-istilah sesaji pada

zaman dahulu hingga zaman sekarang?

D. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga hasil

penelitiannya dapat diketahui. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai

adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan.

2. Mendeskripsikan makna istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan.

3. Mendeskripsikan perkembangan tradisi terkait istilah-istilah sesaji pada

zaman dahulu hingga zaman sekarang.

E. Manfaat Penelitian

Hasil kajian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

teoretis maupun praktis.

1. Manfaat Teoretis

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Manfaat teoretis merupakan manfaat yang berkenaan dengan

pengembangan ilmu yaitu ilmu kebahasaan atau linguistik. Penelitian ini

diharapkan dapat melengkapi teori linguistik, khususnya teori etnolinguistik

Jawa.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Generasi muda, sebagai pengetahuan akan pentingnya upacara Sadranan .

2. Pendidik/Guru, sebagai tambahan materi pelajaran di sekolah tentang

kebudayaan dalam masyarakat Jawa.

3. Peneliti, sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

4. Pembaca, semoga dapat memberi cukup informasi mengenai bentuk dan

makna Istilah-istilah Sesaji dalam Upacara Sadranan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan dari penelitian ini, maka

perlu dipaparkan sistematika penulisannya. Sistematika penulisan ini adalah

sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan. Landasan Teori, meliputi istilah, sesaji, upacara sadranan,

etnolinguistik, bahasa, bentuk kebahasaan, makna, dan perkembangan. Metode

penelitian.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Bab II Analisis Data dan Pembahasan, meliputi bentuk, makna, dan

perkembangan istilah sesaji dalam upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa

Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali.

Bab III Penutup, berisi simpulan dan saran.

G. Landasan Teori

1. Istilah

Menurut Harimurti (2008: 97), istilah adalah kata atau gabungan kata

yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang

khas dalam bidang tertentu. Poerwadarminta (1939: 174) menjelaskan bahwa

istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti tertentu di lingkungan

ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian. Jadi istilah adalah sebuah kata yang

mempunyai arti dan maksud tertentu dalam suatu bidang tertentu. Istilah dalam

penelitian ini terkait dengan upacara tradisi Sadranan yang ada dalam

kehidupan masyarakat, yaitu istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan di

dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali.

Contoh istilah dalam penelitian ini yaitu apem, sega tumpeng, ingkung,

gedhang raja setangkep, kembang, wajib, dan lain-lain.

2. Sesaji

Menurut KBBI (2005: 979), sesaji yaitu makanan atau bunga-bungaan

yang disajikan kepada makhluk halus dan sebagainya. Berdasarkan pengertian

di atas, sesaji dapat berupa pemberian atau persembahan. Selain itu, sesaji

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

dapat berupa menyiapkan sajian pada waktu dan tempat yang sudah dalam

perhitungan hari baik. Sesaji mempunyai maksud untuk menguatkan hubungan

antara diri pelaku dengan kekuatan gaib dirinya saat sudah atau mau

mengadakan hajatan. Sesajen atau biasa disebut “sesaji” adalah sajian kepada

makhluk halus (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia

(edisi terbaru): 403)). Sesaji (sajen) adalah makanan, bunga-bungaan dan

sebagainya, yang disajikan kepada makhluk halus atau makanan untuk roh

halus (yang dipuja atau dihormati) (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus

Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 368 dan 370)).

Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan

pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji dilakukan agar

makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu manusia.

Wujud sesaji bermacam-macam tergantung kebutuhan yang diperlukan. Pada

jaman modern ini sesaji masih digunakan oleh masyarakat modern karena

kepercayaannya pada arwah nenek moyang. Sesaji merupakan sebuah

keharusan yang pasti ada dalam setiap acara bagi orang yang masih teguh

memegang adat Jawa. Penyebutan sesaji biasanya bermacam-macam, ada yang

disebut dengan Dang Ayu dan ada yang disebut dengan Cok Bakal. Namun

pada dasarnya inti dan tujuannya sama.

Sesaji yang digunakan oleh masyarakat Jawa selalu memiliki makna di

dalamnya. Makna sesaji oleh masyarakat satu tempat dan tempat lain berbeda-

beda, tergantung kesepakatan yang sudah ada secara turun temurun atau yang

disebut dengan makna kultural. Jadi sesaji adalah persembahan atau

sesembahan makanan, minuman, dan bunga-bungan yang ditujukan untuk

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

arwah nenek moyang dan sesembahan yang digunakan oleh masyarakat muslim

pada umumnya.

3. Upacara Sadranan

Upacara adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

Upacara dapat dilakukan untuk memperingati sebuah kejadian atau

penyambutan. Sadranan berasal dari bahasa arab “Shod’ron” yang artinya

mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini nampak jelas adanya pengaruh

Islam sangatlah kuat, dilhat dari istilah maupun maksudnya. Di dalam ajaran

Islam salah satu cara pendekatan diri kepada Allah adalah berbakti kepada

kedua orang tua yang disebut “Birul Walidain”. Allah akan memberikan

sayang sebanding rasa sayangnya kepada orang tua, demikianlah salah satu

ajaran Islam yang berkembang didalam kehidupan sosial mayarakat Jawa.

Berangkat dari ajaran tersebut kemudian berkembang secara luas

menjadi tradisi Jawa dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa termasuk yang

beragama Islam, sampai sekarang dengan istilah Sadranan. Upacara

Sadranan merupakan salah satu bagian kebudayaan Indonesia yang

eksistensinya telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan

zaman. Secara struktural, upacara Sadranan dibangun oleh konfigurasi

budaya ekspresif yang secara dominan mengandung nilai solidaritas, filsafat,

estetika, dan religius. Upacara Sadranan diyakini sebagai tradisi yang

mempunyai makna religi bagi masyarakat setempat, dan tradisi tersebut

diadakan setiap satu tahun sekali yang bersifat turun temurun sebagai wujud

ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat selama setahun dan

berharap pula berkah dan pertolongan untuk tahun depan.

Upacara/tradisi Sadranan dilihat dari fungsi norma sosial dan

pengendalian sosial seperti halnya dengan upacara-upacara tradisional

lainnya, biasanya di dalam terdapat sesaji dan perlengkapan lainnya yang

merupakan simbol atau lambang-lambang yang bermakna positif. Simbol atau

lambang ini mengandung norma atau aturan-aturan yang mencerminkan nilai

atau asumsi apa yang baik dan tidak baik, sehingga dapat dipakai sebagai

pengendali sosial dan pedoman berperilaku bagi masyarakat pendukungnya.

Selain dapat berfungsi sebagai pengatur perilaku antar individu dan

masyarakat, berfungsi pula sebagai penata hubungan manusia dengan alam

lingkungan, terutama pada Tuhan Yang Maha Esa. Yang dimaksud dengan

media sosial yaitu bahwa tradisi pada umumnya dipakai sebagai objek sikap

emosional yang menghubungkan masa lampau dan masa sekarang. Kemudian

tradisi berfungsi sebagai media sosial juga dapat dipakai sebagai alat atau

sarana mengutarakan pikiran, emosional, kepentingan, dan kebutuhan yang

menjadi hajat hidup orang banyak (masyarakat). Disamping itu dapat pula

dipakai sebagai alat bagi pendukung tradisi melakukan hubungan sosial atau

kontak sosial diantara masyarakat, ternyata hal ini sesuai pula pada upacara

Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten

Boyolali.

Dalam upacara Sadranan disamping sebagai objek sikap emosional

yang menghubungkan masa lampau dan masa sekarang, hal ini nampak pada

saat mereka membakar kemenyan dalam pelaksanaan upacara/tradisi tersebut.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Kemudian dapat pula dipakai untuk mengutarakan pikiran, pesan, kebutuhan,

dan kepentingan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Selain itu dalam

upacara ini juga dapat dipakai untuk hubungan sosial /kontak sosial diantara

sesama warga ataupun masyarakat lain yang mendukung upacara tersebut,

misalnya dalam persiapan, pelaksanaan, setelah pelaksanaan upacara

Sadranan dan lain sebagainya.

Sedang yang dimaksudkan dengan pengelompokan sosial yaitu bahwa

kegiatan upacara/tradisi ini dapat dipakai sebagai sarana yang efektif bagi

pendukungnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menimbulkan

kesatuan, solidaritas, dan kesetiakawanan sosial. Di dalam upacara Sadranan

ini berfungsi pula sebagai pengelompokan sosial artinya bahwa nilai-nilai

yang terdapat dalam upacara/tradisi Sadranan tersebut dapat mengikat

seseorang ke dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Keterikatan

masyarakat terhadap upacara Sadranan ini dapat dilihat dari banyaknya

masyarakat yang menghadiri pelaksanaan upacara dari awal hingga akhir

yaitu saat persiapan, pelaksanaan, setelah pelaksanaan dan lain sebagainya.

Selain hal tersebut, upacara Sadranan ini juga berfungsi untuk

kepentingan pribadi maupun kepentingan warga masyarakat yang bersifat

sosial. Berfungsi untuk kepentingan pribadi artinya bahwa ada sebagian

masyarakat dukuh Klinggen yang sudah mengawali pelaksanaan upacara. Hal

ini dilakukan karena permohonan berkat dan pertolongan Tuhan Yang Maha

Esa pada tahun yang akan datang, berhasil dalam pekerjaan dan lain

sebagainya telah mereka raih. Sedangkan fungsi untuk kepentingan

masyarakat, memang pada dasarnya upacara ini diperlukan oleh warga

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

masyarakat yaitu untuk kepentingan seluruh warga masyarakat. Mereka

bersama-sama secara gotong-royong melaksanakan tradisi tersebut untuk

kepentingan bersama, untuk keberhasilan, dan kemakmuran seluruh warga

masyarakat.

Ritual tradisi/upacara yang masih sangat tradisional biasanya terdapat

bentuk-bentuk tradisi yang di dalamnya mengandung petunjuk-petunjuk yang

penyampaiannya melalui lambang-lambang atau simbol-simbol dengan

makna tersendiri. Simbol atau lambang yang dinyatakan dalam tradisi

mengandung makna yang terselubung seperti perilaku seseorang, yang

diungkapkan melalui isyarat-isyarat tertentu dan belum banyak diketahui

selain masyarakat pendukungnya. Untuk itu dalam kajian ini akan dilakukan

penjelasan dari makna simbolik yang ada dalam upacara Sadranan. Artinya

dengan lambang-lambang yang diberi arti secara sistematis, manusia saling

menyampaikan perasaan dan bisa mengerti maksud yang sebenarnya serta

menjadi pengalaman.

Lambang-lambang dan makna simbolik dalam tradisi yang masih sangat

tradisional, biasanya terdapat dalam sesaji-sesaji yang ada dalam

penyelenggaraan tradisi yang masih sangat tradisional. Demikian pula dalam

pelaksanaan upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen,

kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali.

Nyadran (berasal dari kata Sraddha) di dukuh Klinggen, desa

Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali biasanya dilaksanakan

bertepatan dengan tanggal 20 Syakban (Ruwah) setiap tahunnya.

Sebagaimana adat kebiasaan yang telah berlangsung, acara diadakan di dalam

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

area makam. Upacara Sadranan ini dilakukan setiap satu tahun sekali secara

turun temurun, karena masyarakat dukuh Klinggen menganggap bahwa

upacara Sadranan merupakan naluri dari nenek moyang mereka yang harus

tetap dilestarikan. Naluri sendiri bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah

memiliki keyakinan bahwa jika tidak dilaksanakan atau dilaksanakan namun

tidak sesuai pelaksanaannya, maka akan dapat ada musibah dalam dukuh,

baik masyarakatnya ataupun keadaan alamnya.

Sadranan atau nyadran adalah rangkaian kegiatan tradisi keagamaan

yang sudah menjadi tradisi umum yang dilakukan pada bulan Syakban

(Ruwah) menjelang bulan Ramadhan (Puasa). Tradisi/upacara Sadranan ini

sebagian besar dilakukan masyarakat muslim. Masyarakat Jawa menjalankan

tradisi itu sebagai penghormatan kepada arwah leluhur, kerabat, atau sedulur.

Dengan berbagai sesaji yang dipersembahkan kepada arwah tersebut, mereka

berharap mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan keberkahan hidup.

Semua makanan tersebut diletakkan di kuburan-kuburan, punden, batu besar,

sungai, pohon besar atau ditempat yang dianggap keramat lainnya.

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa upacara Sadranan

merupakan suatu tradisi yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat dukuh

Klinggen setiap satu tahun sekali. Hal ini menandakan bahwa upacara/tradisi

ini masih berfungsi bagi masyarakat pendukungnya. Disamping itu juga

terdapat makna-makna simbolik yang sangat berarti bagi mereka, terutama di

dalam sesaji-sesaji tradisi. Di dalam macam-macam sesaji itu terdapat pesan-

pesan yang terselubung dan perlu pemahaman tersendiri sehingga orang bisa

mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sesaji tersebut.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Rangkaian upacara Sadranan ini dilaksanakan dengan berbagai variasi

sesuai dengan adat masing-masing daerah. Pada umumnya sadranan diawali

dengan bersih-bersih makam. Acara bersih kubur ini merupakan kegiatan

pembuka dan melibatkan seluruh masyarakat desa. Setelah bersih-bersih

makam, kegiatan dilanjutkan dengan membersihkan jalan-jalan, pasar, balai

desa atau tempat lainnya yang memiliki fungsi sebagai tempat publik. Setelah

itu, dilanjutkan dengan acara kegiatan berikutnya adalah kenduri, selamatan

atau bancakan. Kenduri ini biasanya dilakukan secara bersamaan atau

dilaksanakan di area makam yang dipimpin oleh seorang Kiyai atau orang

yang disepuhkan di desa tersebut.

Dalam pelaksanaan upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa

Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali, memiliki sesaji dan doa

yang telah disepakati. Sehingga sesaji dalam upacara Sadranan di dukuh

Klinggen adalah segala sesuatu yang disajikan berupa makanan, bunga,

kemenyan, dan beberapa jenis yang diambil dari hasil alam desa setempat, serta

doa yang berupa surat al fatikhah, surat al ikhlas, surat an nas, surat al falag,

ayat kursi, istighfar, dan dzikiran yang bertujuan untuk memohon kepada

Tuhan agar diberi kelancaran dalam pelaksanaan upacara Sadranan dan

persembahan kepada dhayang dukuh “Mbah Mondoroko” agar dukuh Klinggen

dijaga supaya tetap aman dan tentram.

4. Etnolinguistik

Etnolinguistik berasal dari kata ‘etnologi’ dan ‘linguistik’, yang lahir

karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

para ahli etnologi (kini antopologi budaya) dengan pendekatan linguistik (Shri

Ahimsa, 1997: 3-4). Etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki

hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang

belum mempunyai tulisan. Selain itu, merupakan cabang linguistik

antropologi bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek

etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relativitas bahasa

(Harimurti, 2008: 59).

Etnolinguistik berkaitan dengan konsep teoritis tentang anthopological

linguistics yang bervariasi dengan linguistics anthropological. Kemudian

istilah linguistik antropologi sebagai terjemahan dari anthropological

linguistics. Etnolinguistik sebagai jenis linguistik yang kajiannya

memfokuskan pada temuan-temuan yang akan disumbangkan dalam sistem

kebudayaan seperi tata bahasa, kosakata dan pemahaman makna

kontekstualnya.

Etnolinguistik (anthropological linguistics) yaitu cabang linguistik yang

menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial dan budaya

yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik

budaya dan struktur sosial. Etnolinguistik yang disebut dengan studi linguistik

antropologis menurut Kridalaksana (2008: 59) yaitu cabang linguistik yang

mempelajari bahasa dalam konteks budaya, merupakan disiplin interpretatif

yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya yang bermula

dari fakta kebahasaan.

Data yang dipakai dalam linguistik antropologis berupa kosa-kata, frasa,

struktur, kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, dan sejenisnya. Melalui

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

data yang berupa fakta kebahasaan akan diperoleh dan ditafsirkan informasi-

informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di

dalamnya.

Etnolinguistik yaitu jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap

dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya)

dalam dimensi sosial budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor,

dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-

praktik budaya dan struktur sosial masyarakat. Adapun perbedaan redaksional

tentang deskripsi pengertian istilah etnolinguistik itu, khususnya pemakaian

kata ‘jenis” dan kata “cabang”, sehingga mengakibatkan penafsiran yang

berbeda terhadap pengertiannya, maka dalam definisi ini menggunakan kata

jenis untuk menjelaskan etnolinguistik tersebut.

Bagian linguistik itu referensinya pada fonologi, morfologi, sintaksis,

morfofonologi, morfosintaksis dengan segala lingkup permasalahannya.

Secara metodologis etnosains dipandang cukup memadai untuk

mengungkapkan aspek pengetahuan manusia yang membimbing perilakunya

sehari-hari. Oleh karena penekanan etnosains pada sistem atau perangkat

pengetahuan yang merupakan pengetahuan khas dari suatu masyarakat yang

menunjukkan kelompok tersebut bertahan hidup dalam suatu relung ekologis

tertentu. Secara definitif etnosains memiliki pengertian pengetahuan yang

dimiliki suatu bangsa lebih tepat lagi suku bangsa atau kelompok sosial

tertentu.

Berkaitan dengan etnosains tersebut pengetahuan tentang bahasa

merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

suatu masyarakat. Melalui bahasa berbagai pengetahuan baik yang

tersembunyi (tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap oleh peneliti. Data

primer yang diperoleh dari masyarakat yang berkaitan dengan berbagai

ekspresi linguistik dan kategorisasi aspek budaya dalam masyarakat

pendukungnya secara teknis dikumpulkan dengan metode etnosains yang

dimanfaatkan dalam rangka kajian etnolinguistik.

Kajian etnolingusitik secara makrolinguistik berusaha mempelajari

bahasa dalam konteks budaya, dan secara interpretatif mencoba mencari

makna yang tersembunyi di balik pemakaian bahasa, dan mengupas bahasa

untuk mendapatkan pemahaman budaya secara empiris bermula dari fakta

kebahasaan yang ada. Oleh karena itu secara mikrolinguistik data yang

dipakai berupa kosa-kata, frasa, struktur kalimat, bentuk-bentuk kalimat,

register, dan sejenisnya (Kridalaksana, 2008: 59)

Melalui data yang berupa fakta kebahasaan tersebut akan diperoleh dan

dapat ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan

yang terkandung di dalamnya. Selaras dengan etnolinguistik sebagai jenis

linguistik objek kajiannya lebih bersifat interpretatif yang mempertimbangkan

aspek makrolinguistik dan mikrolinguistik tersebut.

Pemahaman tentang konsep budaya tersebut dapat diketahui dari

hubungan kovariatif antarastruktur bahasa dengan kebudayaan suatu

masyarakat yang dikaji di dalam model kajian dan pemahaman dari perspektif

etnolinguistik. Pemahaman dari konsep kajian tersebut berangkat dari

pernyataan bahwa pada awalnya kajian linguistik budaya merupakan alternatif

bagi kajian etnolinguistik atau linguistik antropologi.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

5. Bahasa

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan bahasa dalam

segala aktifitasnya. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat

arbriter, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk

bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Harimurti, 2008:24).

Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam anggota masyarakat,

pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktifitas hidup

manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan

kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan

sesuai dengan kemajuan jaman (Nababan, 1984:34). Dengan mempelajari

bahasa akan diketahui budaya pemakainya. Kajian tersebut masuk bidang

etnolinguistik. Etnolinguistik merupakan perpaduan antara etnologi dan

linguistik, sehingga dengan etnolinguistik dapat mengkaji bahasa untuk

mengetahui budaya masyarakat atau mempelajari budaya masyarakat melalui

bahasa yang digunakannya.

6. Bentuk Kebahasaan

Bentuk (form) yaitu penampakan atau rupa satuan bahasa dan satuan

gramatikal atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis (Harimurti,

2008: 32). Bentuk adalah bangun, rupa, dan wujud (Agus Sulistyo dan Adhi

Mulyono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 73)).

Bentuk merupakan sebuah istilah inklusif yang memiliki beberapa

pengertian. Dalam seni dan perancangan, istilah bentuk seringkali

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

dipergunakan untuk menggambarkan struktur formal sebuah pekerjaan yaitu

cara dalam menyusun dan mengkoordinasi unsur-unsur dan bagian-bagian

dari suatu komposisi untuk menghasilkan suatu gambaran nyata. Bentuk dapat

dihubungkan baik dengan struktur internal maupun garis eksternal serta

prinsip yang memberikan kesatuan secara menyeluruh.

Struktur dari bentuk kebahasaan yaitu:

a. Monomorfemis

Monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari suatu morfem. Morfem

merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan

yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna ang lebih kecil misalnya (ter-),

(di-), (pensil) (Harimurti Kridalaksana, 2008: 157). Menurut Djoko Kentjono

(1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata

dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem

satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai

kata, mempunyai makna, dan berkategori jelas. Kata bemorfem lebih dari satu

disebut kata polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis

dan polimorfemis adalah menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang

menyusun kata.

Pada dasarnya semua kata yang tergolong pada kata dasar dalam bentuk

dan makna kultural dalam perangkat sesaji dalam upacara sadranan dapat

dikatakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri

sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan, dengan kata lain

subjeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat

tambahan apapun, belum diulang dan belum digabungkan atau dimajemukan.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Contoh monomorfemis yaitu:

1. Apem [apêm] ‘kue yang dibuat dari tepung beras biasanya untuk kenduren

atau acara adat Jawa’ apem merupakan bentuk monomorfemis, berkategori

Nomina (N).

2. Kinang [kinaŋ] ‘sekapur sirih’, kinang merupakan bentuk monomorfemis,

berkategori Nomina (N).

b. Polimorfemis

Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang

berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi: 1) Pengimbuhan

atau afiksasi (penambahan afiks) penambahan afiks dapat dilkukan di depan,

di tengah, di belakang, atau di depan dan di belakang morfem dasar. Afiks

yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang di tengah

disebut sisipan atau infiks, yang di belakang disebut akhiran atau sufiks, yang

di depan dan di belakang disebut sirkumfiks atau konfiks; 2) Pengulangan

atau reduplikasi, redupilkasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan

bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal (Harimurti Kridalaksana, 2008:

208). Pemajemukan yaitu proses morfologi yang membentuk satu kata dari

dua (atau lebih dari dua) morfem dasar atau proses pembentukan kata baru

dengan jalan menggabungkan dua kata yang telah ada sehingga melahirkan

makna baru. Arti yang terkandung dalam kata majemuk adalah arti

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

keseluruhan bukan menurut arti yang terkandung pada masing-masing kata

yang mendukungnya.

Contoh polimorfemis yaitu:

1. Pengimbuhan atau penambahan afiksasi

a. Gorengan [gOrǝŋan]

Goreng -an

Goreng ‘memasak diwajan dengan minyak’

Gorengan ‘macam-macam makanan yang pengolahannya dimasak

diwajan dengan minyak yang terdiri dari tempe, tahu, rempeyek,

kerupuk’

Gorengan V+sufiks –an = Nomina

2. Pengulangan atau reduplikasi

3. Pemajemukan

a. Sambel Goreng [sambêl gOrǝŋ]

Sambel goreng

‘sambal’ ‘memasak menggunakan minyak’ sambel goreng ‘jenis

sayur pedas dan bersantan yang di dalamnya terdapat telur puyuh,

kerecek’.

Sambel goreng merupakan kategori Nomina.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

c. Frasa

Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua

kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk

klausa (Djoko Kentjono, 1982: 57). Frasa seperti dengan kata, frasa dapat

berdiri sendiri. Frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya,

baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frasa

endosentrik, dan frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan

semua unsurnya disebut frasa eksosentrik (Ramlan, 2001: 141).

Contoh frasa yaitu:

1. Endhog Jawa [EndOg jOwO] ‘telur ayam kampung’

Endhog Jawa

‘telur’ (N) jawa ‘nama pulau’ (N) endhog jawa ‘telur ayam kampung’

Endhog jawa N + N = Frasa Nomina

2. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ] ‘nasi untuk sesaji yang berbentuk kerucut’

Sega tumpeng

‘nasi’ (N) ‘berbentuk kerucut’ (N) sega tumpeng ‘nasi untuk sesaji

berbentuk kerucut’

Sega ambeng (N) + (N) = Frasa Nomina

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

7. Makna

Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi:

1. Maksud pembicara

2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku

manusia atau kelompok manusia

3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa

atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya

4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti Kridalaksana,

2008: 148)

Dalam semantik pengertian sense ‘makna’ dibedakan dalam meaning

‘arti’. Sense ‘makna’ dalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu

sendiri. Unsur-unsur bahasa itu sendiri terdiri dari makna leksikal dan makna

kultural.

Makna leksikal adalah makna sebuah kata yang sebenarnya atau makna

yang semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut.

Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat

dalam hubungannnya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1999: 3).

Menurut Fatimah Djajasudarma (1999: 13) Makna Gramatikal (Kultural)

adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa atau makna yang

muncul sebagai akibat fungsinya, sebuah kata didalam kalimat. Secara umum

makna gramatikal berkenaan dengan makna yang terjadi pada proses afiksasi,

proses reduplikasi, dan proses komposisi atau proses penggabungan dasar

dengan dasar. Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah,

1999: 13).

Makna memiliki tiga tingkat keberadaan yakni:

a. Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.

b. Makna menjadi isi dari suatu kebahasaan.

c. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi

tertentu.

Makna dibedakan menjadi 2 macam yaitu :

a. Makna Leksikal

Makna Leksikal adalah makna sebuah kata yang sebenarnya atau makna

yang semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut.

Contoh makna leksikal yaitu:

1. Sega Ambengan [sêgO ambǝŋan] ‘nasi lengkap lauk pauk untuk

kenduri yang di dalamnya terdapat apem, gorengan, sambel goreng,

semuran, dan lain-lain.’.

2. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ] ‘nasi yang dibentuk kerucut untuk

selamatan’.

b. Makna Kultural

Makna Kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat

dalam hubungannya dengan budaya masyarakat itu sendiri (Wakit Abdullah,

1999: 3). Makna Kultural juga merupakan suatu pola hidup menyeluruh yang

bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek kultural turut menentukan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi

banyak kegiatan sosial manusia.

Contoh makna kultural yaitu:

1. Sega Ambengan [sêgO ambǝŋan]

Makna kultural sega ambengan bagi masyarakat dukuh Klinggen

adalah sebagai lambang kebersamaan dan kerukunan antar warga. Dapat

dilihat dari nasi yang ditata menjadi satu rapat dan padat.

2. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ]

Makna kultural sega tumpeng bagi masyarakat dukuh Klinggen

merupakan olahan yang berasal dari beras yang sudah tanak, dimasak

sehingga matang, untuk keperluan sesaji biasanya dikerucutkan. Memiliki

makna sebagai simbol keberuntungan dan penyajian nasi tumpeng

mengandung permohonan agar mendapat selamat dan mendapat rejeki.

Makna nasi putih juga melambangkan kesucian karena nasi yang berwarna

putih. Dengan kesucian hati dalam memohon pada Tuhan akan semakin

cepat terkabul permohonannya.

Selain itu, sega tumpeng merupakan sajian nasi kerucut khas

Indonesia dengan aneka lauk pauk yang ditempatkan dalam tampah

(nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Tumpeng merupakan tradisi

sajian yang mungkin sering kita lihat baik dalam upacara selamatan atau

pesta rakyat 17 agustusan. Dalam setiap sajian yang ada dalam nasi

tumpeng memiliki makna mulai dari kerucut tumpeng yang berada paling

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

atas, badan tumpeng, lauk pauk, sayur-sayuran hingga wadah tumpeng

yang selalu terbuat dari wadah tradisional beralaskan daun pisang.

Kerucut tumpeng berbentuk gunungan yang melambangkan tangan

merapat menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa. Bentuk gunungan ini

juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun

semakin “naik” dan “tinggi”. Arti Lauk pauk yang terdapat di nasi

tumpeng adalah ayam jago (jantan) yang dimasak utuh (ingkung) dengan

bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental),

merupakan symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung)

dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan

mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa).

Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari

sifat-sifat buruk (yang dilambangkan oleh warna merah) ayam jago, antara

lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa

tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian

kepada anak istri.

8. Perkembangan

Perkembangan yaitu sebuah proses mutlak yang akan dialami oleh

makhluk hidup. Namun tidak hanya makhluk hidup, banyak juga hal lain

yang dapat berkembang atau berubah seiring perubahan waktu. Dalam

sadranan pasti juga ada sebuah perkembangan, dari macam-macam sesajinya

atau alat yang digunakan untuk sesaji. Misalnya Takir yang terbuat dari daun

pisang bisa diganti dengan kertas minyak.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

H. Metode Penelitian

Metode adalah keseluruhan jalan yang ditempuh sejak ia merumuskan

kerangka pikirannya menenai bahasa atau mengenai segi tertentu dai bahasa

(Edi Subroto, 2007: 5).

Metode penelitian adalah cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih

dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau

menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup

kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan

masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, dan analisis data

(Edi Subroto, 2007: 31).

Metode penelitian ini akan membicarakan mengenai 1) Sifat penelitian,

2) Lokasi penelitian, 3) Data dan sumber data, 4) Alat penelitian, 5) Metode

pengumpulan data, 6) Metode analisis data, 7) Metode penyajian hasil analisis

data.

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang

dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena

secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga menghasilkan

catatan berupa pemerian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993:

62)

Deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi,

maksudnya membuat gambaran lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat

mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

(Fatimah Djajasudarma, 1993: 8). Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu

dalam ilmu pengetahuan sosial yang fundamental bergantung pada

pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan

masyarakat tersebut melalui bahasanya serta peristilahan (Fatimah

Djajasudarama, 1993: 10). Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian

yang data-datanya berupa kata-kata bukan angka. Jenis penelitian ini

merupakan salah satu jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian

lapangan, datanya konkrit berupa kata-kata.

Dalam penelitian ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata, analisis,

dan hasil laporan analisis menggunakan kata-kata pula. Pemakaian jenis

penelitian ini, peneliti dapat menyajikan data yang mudah dipahami oleh

pembaca dalam situasi aslinya, yaitu situasi ketika upacara Sadranan

berlangsung di dukuh Klinggen.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Lokasi penelitian

ini ada di wilayah Boyolali, yaitu lebih tepatnya di Dukuh Klinggen, Desa

Guwokajen, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penulis mengambil

lokasi ini sebagai objek penelitian karena merupakan salah satu wilayah Jawa

yang masih melestarikan kebudayaan Jawa. Sehingga secara pasti pemilihan

lokasi yang tepat juga sangat mendukung dalam proses penelitian. Desa ini

memiliki latar belakang yang masih menjunjung tinggi rasa syukur kepada

Tuhan, dan masih menghormati nenek moyang mereka, sehingga masih

sering mengadakan upacara/tradisi yang rutin mereka laksanankan. Upacara

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Sadranan adalah salah satu upacara/tradisi yang rutin dilaksanakan setiap satu

tahun sekali. Itulah salah satu alasan mengapa dukuh Klinggen dijadikan

lokasi penelitian. Adanya keunikan yang menjadi ciri khas upacara/tradisi

Sadranan juga menjadi alasan lain mengapa objek penelitian yang dipilih

adalah dukuh Klinggen.

3. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993: 3). Data utama dalam

penelitian ini berupa data lisan yang berupa kata, frasa dalam istilah-istilah

sesaji dalam upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen,

kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali. Sumber data lisan dalam penelitian ini

berasal dari informan yang terpilih dengan kriteria yang ditentukan yaitu 1)

Mengetahui tentang seluk beluk Upacara Sadranan, 2) Mengetahui tentang

bahasa Jawa dan budaya Sadranan, 3) Sehat jasmani dan rohani, 4) Memiliki

alat ucap dan ujaran yang baik, 5) Bersedia memberikan informasi tentang

Upacara Sadranan dengan jujur, 6) Alat pendengar masih normal.

Infoman yang dimaksud adalah: 1) Bapak Rajiman, sebagai Sesepuh

desa di Dukuh Klinggen; 2) Ibu Suprapti, Ibu Mujinem, Mbah Marso, Mbah

Reso Dinomo, dan Mbah Waginah sebagai warga Dukuh Klinggen yang ikut

serta dalam Upacara Sadranan.

4. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama

karena merupakan alat paling dominan dalam penelitian yaitu peneliti sendiri.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Peneliti dibantu dengan alat rekam dan HP untuk mempermudah peneliti

dalam menganalisis data yang akan dirangkum dalam sebuah tulisan, disertai

pula alat tulis yang berupa buku dan bolpoin. Sedangkan alat bantu yaitu alat

yang berguna untuk memperlancar penelitian seperti alat tulis, buku catatan,

kamera, komputer, dan alat-alat yang lain yang menunjang dalam

menyelesaikan penelitian ini.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis gejala

yang ada (Harimurti, 2008: 106). Sehubungan dengan jenis instrumen dan

jenis data yang dikumpulkan, maka yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode simak. Metode simak adalah metode pengumpulan data dengan

jalan menyimak penggunaan bahasa yang berlangsung dalam masyarakat

(Sudaryanto, 1993: 133). Sebagai teknik dasarnya adalah teknik sadap.

Caranya dengan segenap kemampuan dan pikiran penyadap pemakaian

bahasa di masyarakat sekitar. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan data dari

informan secara spontan dan wajar.

Teknik lanjutan yang digunakan yaitu teknik simak libat cakap, teknik

pustaka, dan teknik catat.

a. Teknik simak libat cakap, dapat dilakukan pertama-tama dengan

berpartsipasi sambil menyimak dalam pembicaraan atau dialog. Di

samping itu, peneliti memperhatikan penggunaan bahasa lawan bicaranya

dengan aktif.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Teknik simak libat cakap ini menggunakan diri peneliti sendiri sebagai

alatnya (Sudaryanto, 1988: 3). Sebagai seorang peneliti memiliki peran

utama dalam sebuah penelitian, karena harus mengarahkan pembicaraan

dengan informan supaya pembicaraan tidak meluas kemana-mana dan juga

supaya dalam berinteraksi terjalin keakraban guna mendapatkan yang

diperlukan.

b. Teknik pustaka, Teknik pustaka yaitu menggunakan data dari sumber

tertulis seperti : majalah, buku, artikel, dan buku paket berbahasa Jawa dan

sebagainya untuk mendapatkan data.

c. Teknik catat, teknik catat dilaksanakan dengan mencatat hal-hal yang

penting dalam penggunaan bahasa, pencatatan dapat dilakukan pada waktu

pengamatan atau segera setelah pengamatan berlangsung. Hal ini perlu

dilakukan agar hal-hal yang penting sehubungan dengan peristiwa tutur

yang sedang diamati itu tidak terlupakan atau terlewatkan. Hasil catatan

dicatat dalam bentuk kartu data.

6. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan peneliti untuk menganalisis data yaitu dengan

metode distribusional dan metode padan. Metode distribusional digunakan

untuk menganalisis bentuk. Metode padan digunakan untuk menganalisis

makna dalam Istilah-istilah Sesaji dalam Upacara Sadranan di Dukuh

Klinggen Desa Guwokajen Kecamatan Sawit Kabupaten Boyolali.

a. Metode Distribusional

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Metode Distribusional adalah metode yang alat penentunya dari unsur

bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik dasar

yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini

digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur, dan

unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung

membentuk sattuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik ini

digunakan untuk menganalisis bentuk Istilah-istilah Sesaji dalam Upacara

Sadranan apakah berbentuk monomorfemis, polimorfemis atau frasa.

Adapun penerapan metode distribusional adalah sebagai berikut:

1. Apem [apêm] merupakan bentuk monomorfemis, berkategori Nomina

(N).

2. Kinang [kinaŋ] merupakan bentuk monomorfemis, berkategori Nomina

(N).

b. Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar

bahasa yang merupakan konteks sosial bagi terjadinya penggunaan bahasa di

dalam masyarakat (Sudaryanto, 1985: 2). Alat penentu bahasa yang dimaksud

adalah a) Kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referen bahasa, b) Alat

penentunya organ pembentuk bahasa atau organ wicara, c) Bahasa lain atau

language lain, d) Perekam dan pengawet bahasa (tulisan), e) Orang menjadi

mitra wicara (Sudaryanto, 1993: 13). Metode ini digunakan untuk

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

menganalisis makna leksikal dan makna kultural Istilah-istilah Sesaji dalam

Upacara Sadranan.

Adapun penerapan metode padan adalah sebagai berikut:

1. Makna Leksikal

a. Apem [apêm] ‘kue/makanan yang terbuat dari tepung beras biasanya

untuk kenduren atau acara adat Jawa, bertekstur lembut, rasanya manis,

berbentuk bulat, dan diatasnya ada irisan kelapa’.

b. Gedhang Raja Setangkep [gêDaŋ rOjO sêtaŋkêp] ‘pisang jenis raja

sebanyak dua sisir’.

2. Makna Kultural

a. Apem [apêm]

Makna kultural apem sebagai simbol permintaan maaf (ngapura).

Apem berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan

maaf. Kita sebagai manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf atau

memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Penyebutan makna akan

berbeda berdasarkan pengalaman dan kepercayaan seseorang. Dalam

sadranan apem merupakan salah satu istilah sesaji. Oleh karena itu,

kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa tidak akan bisa lepas dari

kebudayaan dan bahasa itu sendiri.

Apem dibuat untuk melambangkan adanya harapan suatu ampunan

akan kesalahan di masa lalu. Apem berbentuk bundar atau bulat

melingkar. Sebagai perlambang adanya kebulatan tekad dalam

melaksanakan ritual, yakni kemantaban hati untuk mewujudkan rasa

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

berbakti kepada leluhur bukan hanya sebatas ucapan dan kata-kata

dalam doa. Lebih dari itu diwujudkanlah dalam sikap, tindakan, dan

perbuatan nyata dalam kehidupaan sehari-hari, dalam hal ini kegiatan

bersih-bersih meliputi jagad kecil dan jagad besar.

b. Gedhang Raja Setangkep [gêDaŋ rOjO sêtaŋkêp]

Makna kultural gedhang raja setangkep bagi masyarakat dukuh

Klinggen adalah pisang raja yang rasanya paling manis diantara

pisang-pisang yang lainnya, sehingga bisa dianggap rajanya pisang.

Gedhang raja yang digunakan sebanyak rong lirang ‘dua sisir’.

Biasanya gedhang raja diletakkan bersama jajanan pasar.

Gedhang raja sebagai simbol pemimpin (raja) yang didukung

seluruh rakyatnya. Suatu masyarakat akan hidup tentram dan bahagia

jika antara pemimpin dan rakyatnya akan saling mendukung dan saling

melengkapi. Pemimpin (raja) tidak semena-mena pada rakyatnya tetapi

ngayomi pada rakyatnya. Sehingga kehidupan akan tentram, makmur,

dan bahagia.

7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif,

formal, dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata

hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara

empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 63)

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Portal …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112014_bab1.pdf · Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan

Metode informal, yaitu metode penyajian hasil analisis data yang

menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis

metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman

terhadap setiap hail penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data

dengan menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai

lampiran. Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, tabel,

grafik, dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar

yaitu gambar dokumentasi foto.