BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · Irak dan Libanon (perang teluk) seharusnya...

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Feminisme adalah suatu aliran yang mendasarkan pemikirannya pada upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan adanya penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat serta adanya tindakan secara sadar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut (Rofiqoh, 2013: 1). Gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan diliat dari konstruksi sosial budaya (Elaine, 1989: 3). Gender sering juga diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin (Marzuki, tt: 2). Menurut Siti Musdah Mulia dalam bukunya yang berjudul Women’s Studies Encyclopedia (2004:4) bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Marzuki, tt: 3). Stevi berpendapat lain, bahwa gender dan seksualitas adalah salah satu konsep utama feminisme, namun tidak ada kesepakatan tentang bagaimana mendefisinikan atau menteorikan hubungan antar keduanya (Stevi Jackson, 1998: 225). Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak. Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · Irak dan Libanon (perang teluk) seharusnya...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Feminisme adalah suatu aliran yang mendasarkan pemikirannya pada

upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan adanya penindasan dan

ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat serta adanya tindakan

secara sadar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik

perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut (Rofiqoh, 2013:

1).

Gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan diliat dari konstruksi

sosial budaya (Elaine, 1989: 3). Gender sering juga diidentikkan dengan jenis

kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin (Marzuki, tt: 2).

Menurut Siti Musdah Mulia dalam bukunya yang berjudul Women’s

Studies Encyclopedia (2004:4) bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang

dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik

emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat

(Marzuki, tt: 3). Stevi berpendapat lain, bahwa gender dan seksualitas adalah

salah satu konsep utama feminisme, namun tidak ada kesepakatan tentang

bagaimana mendefisinikan atau menteorikan hubungan antar keduanya (Stevi

Jackson, 1998: 225).

Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis

turunan bapak. Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di

2

mana ayah menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta

sumber-sumber ekonomi. Dalam sistem sosial, budaya (juga keagamaan),

patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih

tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai

bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki (Retnowulandari, 2010: 17).

Sylvia Walby (1993), patriarki itu bisa dibedakan menjadi 2: patriarki

privat dan patriarki publik. Inti dari teorinya adalah telah terjadi ekspansi wujud

patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke

wilayah yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus

menerus berhasil mencengkram dan mendominasi kehidupan laki-laki dan

perempuan (Retnowulandari, 2010: 18).

Keluarga patriarkat adalah salah satu perubahan sosial yang penting yang

membuka jalan bagi pembagian masyarakat menjadi majikan dan budak, serta

menjadi batu permata dalam struktur kerajaan kuno yang dibangun di atas

kolonialisasi (Nawal, 2011: 199).

Mesir, sebuah Negara di kawasan Dunia Arab yang merupakan salah

satu Negara dengan budaya patrilineal yang masih sangat kuat, marjinalisasi

bagi kaum perempuan tampah terlihat dalam praktek kehidupan sosial dan

politik. Perempuan sepanjang sejarah tidak pernah di perbolehkan untuk terlibat

dalam masalah politik. Di Mesir, walaupun dalam undang-undang telah

memperbolehkan keterlibatan perempuan, namun budaya yang ada di kawasan

ini sangat bertolak belakang. Budaya patrilineal Dunia Arab banyak disebabkan

oleh penafsiran agama yang konservatif, kisah tradisional bangsa Arab.

3

Gender memiliki relevansi dengan konsep feminisme. Negara Mesir ada

beberapa tokoh Feminis yang juga menjunjung tinggi kesetaraan gender, salah

satunya ialah Nawal as-Sa’dawi. Nawal as-Sa’dawi adalah seorang feminis dari

Kairo, Mesir. Ia lahir di Kafr Tahla, 27 Oktober 1931 dan banyak menulis

tentang perempuan dalam Islam. Nawal lulus dari jurusan kedokteran

Universitas Kairo pada 1955. Melalui praktik medisnya, dia melakukan

observasi permasalahan fisik dan psikologis perempuan lalu menghubungkannya

dengan tekanan praktik kebudayaan, dominasi patriarki, tekanan kelas, dan

imperialis (Rokhmansyah, 2011: 2).

Nawal menulis permasalahan perempuan melalui praktik medisnya.

Dengan latar belakang seorang dokter, ia berusaha mengungkap pemasalahan

fisik dan psikologis perempuan lalu menghubungkannya dengan kebudayaan,

gender, dan patriarki. Dari hasil penelitiannya itu, ia kemudian menggunakannya

untuk dijadikan sebuah karya sastra. Karya sastra Nawal yang berbentuk novel

maupun cerita pendek, terdapat beberapa pandangan Nawal mengenai

permasalahan perempuan. Hal ini tidak lepas dari paham feminisme yang ia

anut. Ia mencoba memperjuangkan kaumnya melalui karya-karya yang

dihasilkannya (Rokhmansyah, 2011: 3).

Nawal dalam karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia berjudul Perjalananku Mengelilingi Indonesia ada 11 kisah tentang

pengalamannya bertemu dengan orang-orang yang membuatnya semakin

berfikir feminis.

4

Pada kisahnya yang pertama, sangat terlihat sekali bahwa Nawal sangat

menentang patriarki. Untuk dapat pergi ke luar negeri, seorang perempuan harus

mendapat izin tertulis dari suaminya dan harus disertakan pada paspor.

"Dan saya beritahu Anda bahwa menurut hukum, saya boleh

bepergian tanpa izin suami sebab saya perempuan lajang, tanpa

suami," kata Nawal kepada polisi di jalan msasuk bandara

Mesir.

Tetapi, polisi itu ngotot menanyakan surat bukti bahwa Nawal

lajang. Nawal lalu menunjukkan surat cerainya dan polisi itu

berkata,"Mengapa Anda tidak memberitahu saya dari awal

bahwa Anda telah dicerai?”.

"Aku belum pernah dicerai," jawab saya dengan marah.

"Saya bercerai”(Nawal, 2006: 8-9).

Kekuatan lain Nawal adalah tidak ragu-ragu menuangkan perasaannya

secara intim dan hangat melalui tulisan yang dia ramu dengan sikapnya yang

anti-kolonialisme, anti-imperialisme, anti-feodalisme, yang pada intinya anti

ketidakadilan. Bukan hanya ketidakadilan pada tataran global, tetapi juga di

tingkat negara dan individu. Inilah kekuatan perempuan sebab yang personal

adalah politis. Tidak ada pembedaan pada keduanya. Tidak heran bila

keberaniannya menyuarakan kebenaran yang dia yakini membuat dia pernah

dipenjara Anwar Sadat, pelarangan beberapa bukunya, dan bahkan melahirkan

ancaman mati dari kelompok fundamentalis agama-agama.

Kaum perempuan tidak akan terbebaskan dari sistem patriarki kecuali

dari diri mereka sendiri yang mulai merubahnya dan berusaha untuk

mengangkat harkat dan martabatnya dengan mengusung gagasan perubahan dan

modernisasi. Perempuan haruslah kuat di mulai dari pribadinya masing-masing,

harus bisa terbebaskan dan berani menyingkapkan tabir pikiran mereka, yaitu

kesadaran palsu, kesan-kesan minor, dan sikap lemah yang selama ini melekat

5

pada kaum perempuan. Sehingga nantinya akan muncul sebuaah kesadaran baru

pada diri mereka bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti antara dirinya

dan kaum lelaki. Setelah itu mereka akan menjadi suatu kekuatan politik yang

memiliki otoritas dalam mengambil keputusan yang besar. Semua ini akan

terwujud melalui organisasi keperempuanan yang sadar akan hak-hak dan

tujuannya.

Maka dari itu semua dalam perjalanan hidupnya, Nawal as-Sa’dawi tidak

pernah lelah untuk berjuang memerdekakan kaum perempuan dari segala bentuk

penindasannya. Pada tahun 1981 Nawal membentuk AWSA (Arabic Women's

Solidarity Association). AWSA adalah Asosiasi Solidaritas Perempuan Arab.

Para AWSA adalah hukum pertama, organisasi feminis independen di Mesir.

Organisasi memiliki 500 anggota lokal dan lebih dari 2.000 anggota secara

internasional. Asosiasi ini menyelenggarakan konferensi internasional dan

seminar, menerbitkan majalah dan telah mulai menghasilkan pendapatan proyek

untuk perempuan di daerah pedesaan. Para AWSA dilarang pada tahun 1991

setelah mengkritik keterlibatan AS dalam Perang Teluk. Nawal merasa konflik

Irak dan Libanon (perang teluk) seharusnya diselesaikan di antara orang Arab.

Tujuan dari didirikannya organisasi ini adalah untuk mengupayakan kekuatan

politik yang memperjuangkan kepentingan dan apresiasi kaum perempuaan.

pada tahun 1985 organisasi AWSA telah mendapatkan pengakuaan resmi dari

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB sebagai organisasi non Pemerintahan (NGO)

Arab (Rokhmansyah, 2011: 7).

6

Penelitian ini akan difokuskan pada sistem patriarki di Mesir menurut

Nawal as-Sa’dawi yang dia tuangkan dalam karya-karyanya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini terdiri dari dua pokok permasalahan,

yaitu:

1. Bagaimanakah perspektif gender Nawal as-Sa’dawi dalam buku-

bukunya?

2. Bagaimanakah pertentangan budaya patriarki di Mesir menurut Nawal

as-Sa’dawi?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Menjelaskan perspektif gender Nawal as-Sa’dawi dalam buku-bukunya.

2. Menjelaskan pertentangan budaya patriarki di Mesir Nawal as-Sa’dawi.

D. Manfaat Penelitian

Dari latar belakang, rumusan masalah, serta tujuan di atas, maka manfaat

yang dapat diambil dari penelitian ini adalah diharapkan dapat menambah

pengetahuan bagi mahasiswa tentang perspektif gender menurut Nawal as-

Sa’dawi, kemudian dapat memahami pertentangan budaya patriarki di Mesir

menurut Nawal as-Sa’dawi yang dia perjuangkan kemudian dia tuangkan dalam

buku-bukunya.

7

E. Batasan Masalah

Penelitian ini akan membahas mengenai perspektif gender Nawal as-

Sa’dawi serta menjelaskan pertentangan budaya patriarki di Mesir menurut

Nawal as-Sa’dawi yang dia tuangkan dalam buku-bukunya.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini

terdiri dari skripsi dan jurnal yang membahas kajian yang relevan dengan

penelitian ini. Di antaranya sebagai berikut:

Penelitian pertama dilakukan oleh Marzuki dalam papernya yang

berjudul Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender mengatakan bahwa gender

adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara

laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan

perilaku, mentalitas, emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Beliau juga

menambahkan bahwa berawal dari gender inilah muncul pemikiran-pemikiran

feminis. Marzuki menjelaskan beberapa teori-teori feminis, salah satunya teori

Feminisme-Liberal. Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada

perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus

mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok

feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan

perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara

laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi

perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.

8

Kemudian penelitian ke dua dilakukan oleh Marzuki dalam papernya

yang berjudul Perempuan dalam Pandangan Feminis Muslim, mengatakan

bahwa Islam menempatkan kedudukan perempuan pada proporsinya dengan

mengakui kemanusiaan perempuan dan mengikis habis kegelapan yang dialami

perempuan sepanjang sejarah serta menjamin hak-hak perempuan. Marzuki juga

memaparkan pandangan 4 tokoh Feminis Muslim diantaranya, Qasim Amin dari

Mesir, Amina Wadud Muhsin dari Malaysia, Fatimah Mernissi dari Maroko, dan

Asghar Ali Engineer dari India serta pemikiran mereka mengenai kedudukan

perempuan dalam Islam.

Kemudian penelitian ke tiga oleh Alfian Rokhmansyah, makalahnya

yang berjudul Kajian Feminis Nawal membahas tentang pemikiran Nawal dari

sudut pandang sastra dengan cara menganalisis prosa yang terdapat dalam karya-

karyanya. Alfian mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran pengarang terhadap

suatu paham yang di bawanya dapat dilihat dari karya-karya yang dihasilkan.

Artinya pengarang yang menganut suatu paham tertentu akan memunculkan

pemikiran-pemikirannya itu pada setiap karya yang dihasilkannya sebagai

sebuah wacana. Banyak pengarang novel, penyair, maupun pengarang drama

yang memunculkan pahamnya pada karya yang dihasilkan, misalnya Nawal as-

Sa’dawi. Rentetan kalimat-kalimat yang bernada provokatif, mengakibatkan

pembaca ikut merasakan apa yang ingin disampaikan oleh Nawal yang ingin

menentang kultur yang mengusung laki-laki sebagai penguasa, doktrin, dan

aturan di negaranya, yakni Mesir.

9

Selanjutnya penelitian yang ke empat oleh Ahmad Sri Murtanto.

Skripsi yang berjudul Konsep Gender Menurut Nawal El-Saadawi dan

Formulasinya dalam Tujuan Pendidikan Agama Islam, di sini Ahmad

menjelaskan bahwa Nawal menganggap perlunya untuk merumuskan sebuah

keadilan gender. Konsepsi keadilan gender yang ditawarkan Nawal tidak bersifat

idealis, melainkan lebih bersifat realis. Ahmad beranggapan bahwa semangat

memperjuangkan dan menyetarakan hak dan kebebasan perempuan yang

dimiliki oleh Nawal sangatlah penting untuk ditumbuhkan dalam pendidikan

agama Islam. Sebab di dalam pendidikan agama Islam masih dijumpai

diskriminasi terhadap perempuan.

Penelitian ke lima yaitu Ifa Nur Rofiqoh dalam paper yang berjudul

Teori Feminis: Keragaman Pemikiran Feminis, memaparkan teori-teori

feminis salah satunya mengenai teori Feminis Liberal. Feminisme liberal

memberikan landasan teoritis akan kesamaan perempuan dalam potensi

rasionalitasnya dengan laki-laki. Namun, berhubung perempuan ditempatkan

pada posisi tergantung pada suami dan kiprahnya dalam sektor domestik, maka

yang lebih dominan tumbuh pada perempuan adalah aspek emosional

dibandingkan dengan rasional. Oleh karena itu feminisme liberal beranggapan

bahwa sistem patriarki harus dihancurkan dengan cara mengubah sikap masing-

masing individu terutama sikap kaum peempuan dalam hubungannya dengan

laki-laki, sehingga terbentuk kerja sama atas dasar kesetaraan.

Penelitian ke enam berikutnya oleh Muh. Nur Latif dalam jurnal Nadi al

Adabu tahun ke-3, nomor 1, Februari 2005 yang berjudul Citra Perempuan

10

dalam Karya Nawal el-Saadawi memaparkan bahwa suatu pola kritik sastra

berwawasan feminis beramsusi bahwa perempuan secara universal bukanlah

makhluk yang serupa, bahwa hubungan-hubungan mereka juga ditentukan ras,

kelas dan identifikasi seksual. Namun ada konstruksi yang serupa yang dapat

dikatakan universal yang diberlakukan terhadap perempuan, yakni konstruksi

yang dihadirkan oleh patriarki, sebagai ideologi tersebut kepada perempuan,

terdapat sekian yang tidak lompatibel, bahkan kontradiktif satu sama lainnya. Ini

melahirkan sekian tekanan-tekanan dan akan melahirkan sekian respon.

Penelitian terakhir oleh Yogie Pranowo dalam jurnal Melintas 29. 1.

2013 [56-78] yang berjudul Identitas Perempuan dalam Budaya Patriarkis:

Sebuah Kajian Tentang Feminisme Eksistensialis Nawal el-Saadawi dalam

Novel “Perempuan di Titik Nol” mengatakan bahwa dalam budaya patriarki,

banyak laki-laki dan bahkan juga perempuan membicarakan dan membuat

standar baku mengenai kecantikan perempuan. Konstruksi kecantikan, misalnya

dimanfaatkan untuk mengenyangkan mata laki-laki. Kecantikan adalah

komoditi. Relasi subjek-objek yang terjadi begitu saja dengan sendirinya akan

menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan adalah objek. Setiap manusia

adalah makhluk yang punya hak penuh atas hidupnya. Otentitas hidup ini yang

semestinya diperjuangkan oleh kaum perempuan dari dalam dirinya sendiri.

Membebaskan tubuh perempuan dari nilai yang tidak dipilihnya secara bebas

bukan berarti mengasingkan perempuan dari keperempuannya, melainkan

supaya perempuan bisa mendefinisikan sendiri makna eksistensinya di dunia ini

dengan tubuh perempuannya. Yang dimaksud dengan otentisitas bukan berarti

11

menolak nilai-nilai yang ada, melainkan berani bersikap tidak dogmatis terhadap

nilai dan keyakinan orang lain ataupun diri sendiri.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penulis mendapati bahwa di antara

penelitian tersebut belum terdapat penelitian yang secara khusus membahas

tentang pemikiran Nawal yang menentang budaya patriarki di Mesir. Oleh sebab

itu, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang budaya patriarki di

Mesir menurut Nawal as-Sa’dawi yang selanjutnya akan menambah referensi

bagi peneliti yang berniat menulis tentang Nawal as-Sa’dawi.

G. Landasan Teori

Penelitian ini merupakan kajian Timur Tengah yang berusaha

mengungkapkan pertentangan budaya patriarki di Mesir menurut Nawal as-

Sa’dawi yang di tuangkan dalam buku-bukunya, serta menjelaskan perspektif

gender Nawal as-Sa’dawi. Penelitian ini dijabarkan dengan cara deskriptif

analitik.

Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari rasisme,

stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Teori

feminis lahir atas dasar polarisasi antara laki-laki dengan perempuan sejak

dahulu kala. Pembedaan ini menyebabkan kaum feminis merasa terpinggirkan.

Oleh karena itu mereka ingin mengaktualisasikan dirinya dengan berbagai

aktifitas untuk menunjukkan keberartiannya dalam kehidupan masyarakat.

Aktifitasnya yang dipelopori dilakukan terus menerus dan menyebar ke seluruh

pelosok dunia melahirkan gerakan feminisme. Gerakan feminisme lahir awal

12

abad ke-20 yang dipelopori oleh Wirginia Wolf dalam bukunya yang berjudul A

Room of One’s Own (Kasnadi, 2010: 84).

Teori feminis berusaha menganalisis pelbagai kondisi yang membentuk

kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam pemahaman kultural

mengenai apa artinya menjadi perempuan (Stevi, 1998: 1). Teori feminis adalah

soal berfikir untuk diri kita sendiri-perempuan menghasilkan pengetahuan

tentang perempuan dan gender bagi perempuan (Stevi, 1998: 2).

Menurut Salden (1986: 130-131), ada lima masalah yang biasa muncul

dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b) pengalaman,

c) wacana, d) ketaksadaran, dan e) masalah sosio-ekonomi. Perdebatan

terpentinag dalam teori feminis timbul sebagai akibat masalah wacana sebab

perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui wacana yang dikuasai

oleh laki-laki. Pada dasarnya teori feminis dibawa ke Indonesia oleh A. Teeuw.

Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat dapat

dimanfaatkan untuk menganalisis sastra Arab, dengan catatan bahwa teori

adalah alat, bukan tujuan (Ulfa, dalam kompasiana.com diakses pada 14 Oktober

2015).

Teori feminisme radikal. Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat

pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan

teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada

keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya

sebagai institusi yang melegitimasi dominasi 11 laki-laki (patriarki), sehingga

perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai

13

individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu

keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan

teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik

internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa

perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri. Karena

keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan

sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak

setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan

perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang

tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan

yang tidak bisa lepas dari beban ini (Ulfa, dalam kompasiana.com diakses pada

14 Oktober 2015).

Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah

perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai

konsep yang bertolak belakang dengan teori feminisme modern seperti di atas.

Teori-teori feminism modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom

yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya

sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif,

yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia

maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan

kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan

14

masuk 12 dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkis (Ulfa, dalam

kompasiana.com diakses pada 14 Oktober 2015).

Feminis liberal memiliki pandangan mengenai negara sebagai penguasa

yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal

dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi

oleh kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat

“maskulin”, tetapi mereka menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat

oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Tokoh aliran ini adalah Naomi

Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan

telah mempuyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan

harus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas

berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki. Akar teori ini bertumpu pada

kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk raisonal,

kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama

juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara

yang bias gender (Indriani, 2015: 48-48).

Dari pelbagai teori feminisme di atas, penelitian ini akan menggunakan

teori feminisme menurut Naomi Wolf, yang menjelaskan tentang kebebasan dan

kesetaraan rasionalitas. Teori ini sesuai dengan pemikiran Nawal dalam

perlawanannya meminta kesetaraan gender, serta pertentangannya melawan

budaya patriarki, dan dampak pemikiran Nawal terhadap novelis feminis di

Indonesia.

15

H. Sumber Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi

mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data di bedakan menjadi dua, yaitu: (1)

data primer dan (2) data sekunder. Data primer adalah data yang dibuat oleh

peneliti dengan maksud khusus untuk menyelesaikan permasalahan yang akan

menjadi bahan penelitian. Sedangkan data sekunder yaitu data yang sudah

dikumpulkan sebagai tambahan dalam menyelesikan masalah yang dihadapi

sebagai acuan penelitian. Data yang merupakan data sekunder diperoleh melalui

studi kepustakaaan (Library Research), baik berupa buku, jurnal, dokumen,

majalah, dan makalah, serta data-data yang berasal dari internet.

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer dari penelitian ini adalah beberapa novel terjemahan

bahasa Indonesia dari karya-karya Nawal as-Sa’dawi yang mendukung

dengan penelitian ini.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder diambil dari beberapa buku yang mendukung dan

juga dari situs-situs resmi yang membicarakan mengenai sistem patriarki

Nawal as-Sa’dawi.

I. Metode Penelitian dan Teknik

Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang

mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi adalah suatu

pengkajian yang mempelajari peraturan dalam suatu metode. Jadi metode

16

penelitian adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan yang terdapat

pada penelitian.

Penulis menggunakan dua macam metode, yakni penelitian deskriptif

analitik.

1. Penelitian Deskriptif

Penelitian Deskriptif yakni mendiskripsikan data yang telah dikumpulkan

dengan berupa kata-kata dan penjelasan. Penelitian ini juga menggunakan

metode penelitian deskriptif analitik yang mana menguraikan atau

menganalisis seorang tokoh. Selain itu, menggunakan metode dari khusus ke

umum.

2. Penelitian Analitik

Penulis juga menggunakan metode penelitian analitik. Penelitian analitik

yaitu suatu pemeriksaan secara konsepsional terhadap pernyataan-pernyataan

dan uraian-uraian yang berkaitan dengan pemikiran tersebut sehingga

menjadi konsep dari berbagai data yang diperoleh.

Adapun tahapan dalam penelitian ini yaitu: Tahap pertama, pemilihan

topik. Topik yang diangkat adalah pemikiran tokoh Feminisme Mesir yaitu

Nawal as-Sa’dawi serta pertentangannya terhadap sistem patriarki di Mesir.

Tahap kedua, teknik pengumpulan data dan sumber data yang

berhubungan dengan objek kajian. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini

menggunakan teknik penelitian pustaka (library research). Pengumpulan data

dengan teknik pustaka yaitu mengumpulkan data yang berkaitan dengan objek

penelitian melalui buku, jurnal ataupun web yang mendukung penelitian ini.

17

Tahap ketiga, analisis data. Data yang diperoleh kemudian dianalisis.

Buku yang menjelaskan tentang pemikiran Nawal as-Sa’dawi ada begitu

banyak. Maka dari itu kemudian digunakan metode pendekatan hermeneutika.

Hermeneutika yaitu kajian yang membahas teologi, filsafat, dan interpretasi

sastra karna untuk memahami pemikiran yang tokoh gunakan di dalam karya-

karyanya membutuhkan penafsiran yang mendalam.

Tahap terakhir yaitu mendeskripsikan hasil dari analisa kedalam bentuk

laporan tertulis yang kemudian ditambahkan kesimpulan serta saran yang

berguna bagi khalayak umum maupun peneliti selanjutnya.

J. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penelitian ini terdiri dari tiga bab yang saling

berkaitan, yaitu:

Bab I merupakan bab yang berisi pendahuluan dengan sub bab berupa

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah,

tinjauan pustaka, landasan teori, sumber data, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II merupakan bab yang berisi pembahasan dengan sub bab yang

menjelaskan mengenai pemikiran tokoh (Nawal as-Sa’dawi) tentang perspektif

gender dan budaya patriarki di Mesir yang Nawal tuangkan dalam buku-

bukunya.

18

Bab III merupakan bab yang berisi penutup dengan sub bab kesimpulan

dan saran. Kesimpulan adalah hasil yang telah didapat dari peneliti dan saran

yang ditujukan untuk peneliti dan pembaca.