BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Faktor tersebut diantaranya kelembaban udara yang memungkinkan pertumbuhan bakteri dan jamur. Faktor lain yaitu keseimbangan antara kadar antioksidan dan radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas di dalam tubuh merupakan penyebab dari sejumlah penyakit metabolik dan degeneratif antara lain kanker, arteriosklerosis, gangguan pernafasan, katarak, inflamasi dan penuaan dini yang disebabkan oleh kerusakan jaringan karena oksidasi. Untuk itu diperlukan suatu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Kikuzaki dkk., 2002). Prevalensi penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri dan jamur di Indonesia cukup tinggi. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai organisme seperti virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Jika infeksi tidak segera disembuhkan maka dapat menyebabkan penyakit infeksi yang lebih sulit disembuhkan, sakit lebih lama, membutuhkan antibiotik yang lebih kuat (lebih toksik), dan biaya pengobatan yang lebih mahal (Gibson, 1996). Adapun beberapa jenis bakteri dan jamur yang merupakan flora normal tubuh manusia tetapi dapat bersifat patogen yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Candida albicans. Jenis S. aureus sering ditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia, tetapi juga dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun hewan (Anonim, 1993). Begitu pula E. coli, pada

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Faktor

tersebut diantaranya kelembaban udara yang memungkinkan pertumbuhan bakteri

dan jamur. Faktor lain yaitu keseimbangan antara kadar antioksidan dan radikal

bebas di dalam tubuh. Radikal bebas di dalam tubuh merupakan penyebab dari

sejumlah penyakit metabolik dan degeneratif antara lain kanker, arteriosklerosis,

gangguan pernafasan, katarak, inflamasi dan penuaan dini yang disebabkan oleh

kerusakan jaringan karena oksidasi. Untuk itu diperlukan suatu antioksidan yang

mampu menangkap radikal bebas sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit

(Kikuzaki dkk., 2002). Prevalensi penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri dan jamur

di Indonesia cukup tinggi. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai organisme seperti

virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Jika infeksi tidak segera disembuhkan maka

dapat menyebabkan penyakit infeksi yang lebih sulit disembuhkan, sakit lebih lama,

membutuhkan antibiotik yang lebih kuat (lebih toksik), dan biaya pengobatan yang

lebih mahal (Gibson, 1996).

Adapun beberapa jenis bakteri dan jamur yang merupakan flora normal tubuh

manusia tetapi dapat bersifat patogen yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli

dan Candida albicans. Jenis S. aureus sering ditemukan sebagai flora normal pada

kulit dan selaput lendir pada manusia, tetapi juga dapat menjadi penyebab infeksi

baik pada manusia maupun hewan (Anonim, 1993). Begitu pula E. coli, pada

2

umumnya tidak menyebabkan penyakit apabila masih dalam saluran pencernaan,

tetapi bakteri ini dapat menyebabkan penyakit apabila mencapai jaringan di luar usus

diantaranya saluran kencing, paru-paru, saluran empedu, dan saluran otak (Brooks

dkk., 1991). Bakteri E. coli juga dapat menyebabkan diare karena menghasilkan

enterotoksin. Jamur C. albicans merupakan flora normal pada mukosa saluran

pernafasan, saluran pencernaan dan saluran genitalia wanita. Tetapi juga dapat

menyebabkan berbagai penyakit diantaranya sariawan, esofagitis, vaginitis, balanitis,

kandidiasis saluran urin, kulit, kuku, saluran pernapasan, dan kandidiasis mukokutan

kronis (Jawets dkk., 1989; Pendland, 1997).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain uji aktivitas

penangkapan radikal dari ekstrak metanol, ekstrak kloroform dan ekstrak petroleum

eter daun Cissus adnata Roxb. yang menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan

radikal tertinggi terdapat pada ekstrak metanol dan mengandung komponen aktif

flavonoid dan terpenoid (Laitonjam dkk., 2011). Uji aktivitas penangkapan radikal

dari ekstrak metanol, ekstrak etil asetat dan ekstrak heksana tumbuhan Cassytha

filiformis L. juga menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan radikal tertinggi

terdapat pada ekstrak metanol (Dhanalakshmi dkk., 2012). Hasil penelitian oleh

Adonu dkk. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak air panas dan ekstrak metanol dari

Cassytha filiformis L. adalah antimikroba yang lebih baik daripada ekstrak daun

Cleistopholis patens Benth. terhadap Candida albicans, Staphylococcus aureus,

Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. Sakagami dkk. (2001) telah menguji

efek penghambatan beberapa ekstrak tanaman pada produksi verotoksin oleh

enterohemorrhagic Escherichia coli O157: H7 (EHEC). Hasil penelitian

3

menunjukkan bahwa ekstrak metanol Jussiaea peruviana L. efektif terhadap

penghambatan produksi verotoksin. Hasil penelitian oleh Poh-Hwa dkk. (2011)

menunjukkan bahwa pada ekstrak air aktivitas antioksidan menurun dalam urutan P.

niruri > P. amarus > P. urinaria, dan pada ekstrak metanol aktivitas antioksidan

menurun dalam urutan P. niruri > P. urinaria > P. amarus. Ekstrak metanol

menunjukkan kandungan fenolik total dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan ekstrak air. Berdasarkan hasil KHM dan KBM dari uji

antimikroba, terlihat bahwa ekstrak metanol mempunyai aktivitas antimikroba yang

lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air.

Tumbuhan di kawasan pantai merupakan kekayaan alam yang beragam dan

melimpah di Indonesia, namun sampai saat ini masih sedikit tumbuhan dari kawasan

pantai yang digunakan sebagai obat, baik untuk pengobatan tradisional maupun

penelitian untuk pengembangan dan penemuan obat baru. Untuk itu uji aktivitas

berbagai tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta

ini perlu dilakukan untuk mengetahui potensinya sebagai agen antibakteri, antijamur

dan penangkap radikal alami.

4

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul

Yogyakarta mempunyai potensi sebagai antibakteri, antijamur dan penangkapan

radikal?

2. Jenis tumbuhan apa yang mempunyai aktivitas antibakteri, antijamur dan

penangkapan radikal tertinggi?

3. Berapa kadar flavonoid total dalam tumbuhan yang mempunyai aktivitas

penangkapan radikal tertinggi?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Melakukan uji aktivitas antibakteri, antijamur dan penangkapan radikal

tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta.

2. Mengetahui jenis tumbuhan yang mempunyai aktivitas antibakteri, antijamur

dan penangkapan radikal tertinggi.

3. Menentukan kadar flavonoid total dalam tumbuhan yang mempunyai aktivitas

penangkapan radikal tertinggi.

5

D. TINJAUAN PUSTAKA

Sampel tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul

Yogyakarta yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Cissus adnata Roxb. (12/PB/01-02)

a. Klasifikasi

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Rhamnales

Suku : Vitaceae

Marga : Cissus

Jenis : Cissus adnata Roxb.

(Van Steenis, 2002; Backer & Van den Brink, 1965)

b. Nama daerah

Akar gamik (Sumatra Barat), seketan (Sumatra Timur), areuy

beungbeurutan, areuy syuh lampung (Sunda), sambangau, bantengan,

galingkebo, lunda banyu, taing (Jawa), tali babuni (Maluku, Ambon)

(Anonim, 1986).

c. Deskripsi

Cissus adnata Roxb. merupakan tumbuhan perdu merambat yang dapat

mencapai ketinggian 5-10 meter. Daun berbentuk bulat telur, tepi bergigi,

tunggal, panjang 8-18 cm dan lebar 5-12 cm. Bunganya berbentuk kecil dan

beraturan. Buah yang belum dewasa berwarna hijau, ketika dewasa

6

berwarna ungu tua, bulat, berdiameter sekitar 1 cm, berbentuk seperti buah

anggur dan berbiji tunggal (Van Steenis, 2002).

d. Kandungan kimia

Bagian tangkai, akar dan daun Cissus Adnata Roxb. diketahui mempunyai

beberapa kandungan kimia diantaranya vitisinol B, (+)-ε-viniferin, vitisinol

C, vitisinol D, (−)-viniferal, ampelopsin C, miyabenol A, (+)-vitisin A, (+)-

vitisin C (Wang dkk., 2007).

e. Habitat

Cissus adnata Roxb. dapat ditemui di dekat pantai dengan ketinggian antara

1-400 meter di atas permukaan laut (Anonim, 1986).

f. Kegunaan

Cissus adnata Roxb. secara tradisional dapat digunakan untuk pengobatan

bisul, memar, epilepsi, demam, keracunan makanan, tumor lambung, radang

gusi, asam urat, hemi-paralysis, histeria, sakit kuning, hepatitis, lipoma,

gangguan mental, sakit leher, kelumpuhan, paratifoid, komplikasi

kehamilan, rematik, gigitan ular dan ureterolithiasis (Rahim dkk., 2012).

Bagian tangkai, akar dan daun dapat digunakan untuk obat batuk dan perut

mulas (Anonim, 1986).

7

Gambar 1. Cissus adnata Roxb.

2. Cassytha filiformis L. (12/PB/01-03)

a. Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub kelas : Dialypetalae

Bangsa : Ranales

Suku : Lauraceae

Marga : Cassytha

Jenis : Cassytha filiformis L.

(Tjitrosoepomo, 2004)

b. Nama Daerah

Akar pengalasan (Bangka), tali putri (Melayu, Jawa), sangga langit (Sunda),

gumi guraci (Ternate) (Anonim, 2001).

8

c. Deskripsi

Tali putri menempel pada inangnya dengan alat hisap (haustoria).

Batangnya sangat panjang, kecil, berwana cokelat, cokelat kekuningan/

kehijauan, dengan sejumlah cabang, membentuk suatu jaring tali tanpa daun

di atas semak atau rumput. Berupa bunga bulir, kecil, berbentuk bola dan

berdiameter ± 7 mm, hermafrodit, tabung perhiasan bunga pendek dan bulat,

benang sari berjumlah enam buah. Selama musim dingin, biji tali putri

tumbuh bersama biji tumbuhan inang misal (Zizyphus) di ladang yang penuh

tumbuhan ini. Selama musim tumbuh, biji berkecambah dan menghasilkan

tunas kecil kekuning-kuningan, tetapi tanpa akar. Ketika kontak dengan

suatu inang, tunas melingkari tumbuhan inang dan memasukkan alat

hisapnya untuk berpenetrasi ke dalam batang atau daun dan menuju ke

dalam jaringan vaskular, alat hisap ini menyerap makanan dan air. Setelah

kontak dengan inang mapan, pangkal benalu tali putri melayu dan

mengering, sehingga benalu kehilangan seluruh hubungannya dengan tanah

dan bergantung sepenuhnya pada inang untuk mendapatkan persediaan

makanan dan air. Benalu akan tumbuh dan menyebar, sementara

pertumbuhan tumbuhan inang terhambat, bahkan mati. Tumbuhan benalu

kemudian mengembangkan bunga dan menghasilkan biji (Abubacker dkk.,

2005; Anonim, 2005).

d. Kandungan Kimia

Herba Cassytha filiformis L. mengandung beberapa senyawa yang telah

dikenal diantaranya alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol (Djumidi dkk.,

9

1997), glikosida, terpenoid, steroid, resin, tanin, lipid (Adonu dkk., 2013)

dan juga terdapat tiga senyawa baru yang ditemukan dengan menggunakan

metode bioassay-directed fractionation, yaitu (1) cassyformine yang

merupakan alkaloid aphorpine, (2) filiformine yang merupakan alkaloid

oxoaphorpine, dan (3) suatu lignan, (+)-diasyringaresinol. Di antara isolat

tanaman ini, cathafiline, cathaformine, actinodaphnine, N-

methylactinodaphnine, predicentrine, dan ocoteine memperlihatkan

aktivitas agregasi antiplatelet yang signifikan (Chang dkk., 1998).

e. Habitat

Tumbuhan ini tumbuh subur pada semak-semak dan lapangan terbuka,

terutama di pantai atau di belakang pantai, biasanya membentuk tirai di atas

pohon dan lain-lain vegetasi (Van Steenis, 2002).

f. Kegunaan

Di India, serbuk tumbuhan dicampur dengan minyak wijen digunakan untuk

memperkuat rambut. Para brahmana menggunakannya untuk membersihkan

borok, untuk tujuan tersebut dicampur dengan kacang dan jahe. Di

Mauritius juga digunakan dalam bentuk decocta tanaman segar untuk

mempercepat proses kelahiran dan mencegah haemoptysis. Di Afrika Utara

digunakan untuk mencuci rambut, membasmi kutu dan menumbuhkan

rambut. Di Senegambia digunakan pada urethritis (Anonim, 2005).

10

Gambar 2. Cassytha filiformis L.

3. Jussiaea peruviana L. (12/PB/01-04)

a. Klasifikasi

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Bangsa : Myrtales

Suku : Onagraceae

Marga : Jussiaea

Jenis : Jussiaea peruviana L.

(Van Steenis, 2002; Backer & Van den Brink, 1965)

b. Nama daerah

Lombokan (Jawa) (Van Steenis, 2002).

11

c. Deskripsi

Merupakan semak yang berdiri, kuat, berumur panjang, mempunyai tinggi 1-

2 meter. Pada batangnya terdapat bulu lebat. Daunnya tersebar, bertangkai

pendek, berbentuk lanset memanjang, dengan ujung runcing atau tumpul,

bertepi rata, panjang 5-15 cm, lebar 1,5-4 cm. Daun penumpu berukuran

kecil. Bunga terletak di ketiak, tunggal, bertangkai. Tangkai bunga dan

kelopak berbulu panjang. Mempunyai kelopak dengan dua daun pelindung;

buluh persegi dengan panjang ± 1 cm, ke arah puncak membesar secara

teratur dan cepat; taju lebih panjang daripada tabung, melekat. Daun

mahkota berbentuk bulat memanjang sampai bulat, panjang 1,5-2 cm,

berwarna kuning cerah. Benang sari berjumlah 8 atau 10. Tangkai putik

pendek, kepala putik tebal. Buah piramida terbalik, bersegi tajam, panjang 2-

3 cm, berbulu; daging buah berjatuhan menjadi butir-butir pada seluruh

panjang buah; pertulangan dari daun buah tertinggal. Pada daerah yang

becek sering dikelilingi oleh akar nafas semu yang putih, yang berbentuk tali

lemah dan sering mengapung di air (Van Steenis, 2002).

d. Kandungan kimia

Boyd (1967) melaporkan bahwa Jussiaea peruviana L. mempunyai

kandungan protein, lemak, selulosa, dan tanin.

e. Habitat

Tumbuhan ini dapat tumbuh subur di tempat yang becek, tepi air, dan dapat

tumbuh pada ketinggian 1-1.400 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan ini

juga ditemukan tumbuh secara liar di Amerika (Van Steenis, 2002).

12

f. Kegunaan

Di Amerika Tengah dan Selatan, Jusiaea peruviana L. digunakan sebagai

bahan makanan dan pengobatan tradisional (Hotta dkk., 1989).

Gambar 3. Jussiaea peruviana L.

4. Phyllanthus niruri L. (12/PB/01-08)

a. Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Euphorbiales

Suku : Euphorbiaceae

Marga : Phyllanthus

Jenis : Phyllanthus niruri L.

(Hutapea dkk., 1994)

13

b. Nama daerah

Meniran (Jawa), meniran ijo, memeniran (Sunda) (Anonim, 1978).

c. Deskripsi

Merupakan tumbuhan semak semusim, dengan tinggi 30-100 cm, batangnya

berbentuk bulat, licin, tak berambut, diameter ± 3 mm, dan berwarna hijau.

Daunnya majemuk, berseling, anak daun 15-24, berbentuk bulat telur, ujung

tumpul, pangkal membulat, panjang ± 1,5 cm, lebar ± 7 mm, tepi rata, dan

berwarna hijau. Mempunyai bunga tunggal, berdekatan dengan tangkai anak

daun, menggantung, putih, daun kelopak bentuk bintang, benang sari dan

putik tidak tampak jelas, mempunyai mahkota berukuran kecil, dan

berwarna putih. Buahnya berbentuk kotak, bulat, pipih, berdiameter ± 2

mm, berwarna hijau keunguan. Mempunyai biji berbentuk ginjal, kecil,

keras, dan berwarna cokelat. Mempunyai akar tunggang berwarna putih

kotor (Hutapea dkk.,2001).

d. Kandungan kimia

Meniran mengandung golongan senyawa flavonoid, fenol (Keth dkk.,

1977), glikosida (Chauhan dkk., 1977), lignan (Huang dkk., 1992), alkaloid

(Joshi, 1986) dan trans-phytol (Singh dkk., 1991). Senyawa fenol diduga

berkhasiat untuk penyembuhan luka karena pada penelitian yang telah

dilakukan oleh Cahayani (2010), senyawa fenol berkhasiat sebagai

antibakteri. Senyawa filantin diduga berkhasiat sebagai penyembuh luka

karena pada penelitian yang dilakukan Harris & Shivanandappa (2006)

terbukti berkhasiat sebagai antioksidan dan hepatoprotektor.

14

e. Habitat

Tumbuhan meniran ditemukan tumbuh hampir di seluruh Indonesia pada

ketinggian 1-1000 meter di atas permukaan laut. Tumbuh liar di tempat

terbuka yang lembab dan berbatu, pada tanah gembur yang mengandung

pasir, di ladang, tepi sungai, dan tepi pantai (Anonim, 1978).

f. Kegunaan

Herba meniran digunakan untuk penyakit kuning, infeksi saluran kemih,

merangsang keluarnya air seni (diureticum), untuk penyembuhan diare,

infeksi saluran pencernaan, dan penyakit yang disebabkan karena gangguan

fungsi hati (Joshi dkk., 1986; Syamasundar dkk., 1985). Buahnya berasa

pahit, digunakan untuk luka dan scabies. Akar segar digunakan untuk

pengobatan penyakit kuning. Daun dapat digunakan untuk penambah nafsu

makan dan antidemam (Dalimarta, 2002). Cahayani (2010) menunjukkan

bahwa ekstrak herba meniran mempunyai aktivitas antibakteri, baik yang

dikombinasi maupun tidak dikombinasi dengan vankomisin. Herba meniran

mampu menyembuhkan luka pada lambung dengan cara menghambat

pengeluaran sel-sel neutrofil secara berlebihan sehingga proses

penyembuhan luka lebih cepat (Ameen dkk., 2010).

15

Gambar 4. Phyllanthus niruri L.

5. Metode penyarian

Penyarian atau ekstraksi merupakan perpindahan massa zat aktif dari

dalam sel kemudian ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam

cairan penyari. Pada umumnya penyarian akan bertambah baik jika permukaan

simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin luas (Harborne, 1987).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dari ekstraksi simplisia

nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa

diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Metode

penyarian yang digunakan tergantung dari wujud dan kandungan zat (sifat fisika

kimia) dari bahan yang akan disari (Harborne, 1987). Sebagian besar ekstrak

dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara maserasi (Sampurno dkk.,

2000).

16

Ada banyak metode penyarian yang dapat digunakan. Pemilihan metode

penyarian disesuaikan dengan sifat fisik dan kimia dari simplisia yang

bersangkutan. Secara umum, terdapat tiga macam metode penyarian yang paling

sering digunakan yaitu maserasi, perkolasi dan destilasi uap (Sampurno dkk.,

2000). Maserasi merupakan proses penyarian berdasarkan keseimbangan antara

konsentrasi zat terlarut di dalam sel dengan zat terlarut di dalam cairan penyari.

Maka semakin besar jumlah cairan penyari akan semakin banyak zat terlarut

yang diperoleh (Voight, 1995). Secara teori pada maserasi akan terjadi

kejenuhan, maka ekstraksi absolut tidak mungkin dicapai. Keuntungan cara

penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan

sederhana dan mudah diusahakan. Kerugiannya yaitu pengerjaannya lama dan

penyariannya kurang sempurna (Hargono dkk., 1986).

Maserasi dapat dilakukan modifikasi misalnya:

a. Digesti

Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu

40-50°C. Dengan pemanasan maka akan diperoleh keuntungan yaitu

kekentalan pelarut berkurang sehingga akan mengurangi lapisan-lapisan

batas, daya pelarutan penyari akan meningkat sehingga pemanasan

berpengaruh seperti pengadukan, kenaikan suhu akan berpengaruh dengan

kecepatan difusi.

b. Maserasi dengan mesin pengaduk

Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus-menerus, waktu proses

maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.

17

c. Remaserasi

Cairan penyari dibagi menjadi dua, kemudian seluruh serbuk simplisia

dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah dienap-tuangkan dan

diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari kedua.

d. Maserasi melingkar

Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan penyari selalu

bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir kembali

secara berkesinambungan melalui serbuk simplisia dan melarutkan zat

aktifnya.

e. Maserasi melingkar bertingkat

Pada proses ini, tiap batch serbuk simplisia disari beberapa kali dengan

sejumlah cairan penyari (Hargono dkk., 1986).

6. Bakteri dan jamur uji

a. Staphylococcus aureus

Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Bangsa : Eubacteriales

Suku : Micrococcaceae

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus aureus

(Salle, 1961)

Bakteri S. aureus merupakan bakteri gram positif yang sering

ditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia,

18

tetapi dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun hewan

(Anonim, 1993). Penyakit manusia yang disebabkan oleh staphylococcus

berasal dari infeksi jaringan lunak, abses pada jaringan organ, osteomyelitis,

endokarditis, dan sindrom syok toksik untuk necrotizing pneumonia, yang

semuanya dapat diuji dengan menggunakan model infeksi binatang kecil

(Archer, 1998; Lowy, 1998).

b. Escherichia coli

Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Bangsa : Eubacteriales

Suku : Enterobacteriaceae

Marga : Escherichia

Jenis : Escherichia coli

(Salle, 1961)

Bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dan

merupakan flora paling banyak di usus. Bakteri ini dapat menyebabkan

diare karena menghasilkan enterotoksin. Apabila masih dalam saluran

pencernaan, E. coli pada umumnya tidak menyebabkan penyakit. Namun

bakteri ini dapat menyebabkan penyakit apabila mencapai jaringan di luar

usus seperti saluran kencing, paru-paru, saluran empedu, dan saluran otak

(Brooks dkk., 1991). Bakteri ini toleran terhadap dingin, peka terhadap

kekeringan dan menyukai suasana lembab (Jawets dkk., 1986).

19

c. Candida albicans

Divisi : Thallophyta

Kelas : Deuteromycetes

Bangsa : Moniliales

Suku : Moniliaceae

Marga : Candida

Jenis : Candida albicans

(Salle, 1961)

Jamur C. albicans merupakan flora normal pada mukosa saluran

pernafasan, saluran pencernaan dan saluran genitalia wanita. Di tempat-

tempat ini, ragi dapat menjadi dominan dan menyebabkan keadaan

patologik, seringkali menyebabkan penyakit sistemik progresif pada

penderita yang kekebalannya tertekan terutama pada mulut, genital wanita,

kulit, kuku, paru-paru, dan organ lain (Jawetz dkk., 1986).

Jamur C. albicans berbentuk oval, berukuran 2-3 x 4-6 µm, dan

mempunyai tunas yang menghasilkan pseudomiselium baik dalam biakan

maupun dalam jaringan dan eksudat. Pada media Saboroud yang diinkubasi

pada suhu 25°C sampai 37°C, jamur C. albicans akan mudah tumbuh dan

tampak sebagai koloni berwarna krem yang lunak dan berbau khas.

7. Uji aktivitas antibakteri dan antijamur

a. Metode dilusi

Metode dilusi dibagi menjadi dua yaitu dilusi cair dan dilusi padat.

Prinsipnya pada dilusi cair, dibuat seri pengenceran antibakteri atau

20

antijamur dalam media yang sesuai, kemudian masing-masing konsentrasi

ditanami bakteri atau jamur, diinkubasi dan dibaca hasilnya. Metode ini

mempunyai kelebihan yaitu sederhana dan dapat digunakan untuk

mengukur kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM).

Sedangkan pada dilusi padat, tiap konsentrasi obat dicampur dengan media

agar, kemudian ditanami bakteri atau jamur, diinkubasi dan dibaca hasilnya.

Metode ini mempunyai kelebihan yaitu dapat digunakan untuk menguji

beberapa mikoorganisme sekaligus (Anonim, 1993).

b. Metode difusi

Prinsipnya suatu cakram kertas yang mengandung obat dalam jumlah

tertentu ditempatkan pada media padat yang telah ditanami dengan biakan

mikroba yang diperiksa setelah inkubasi, garis tengah diameter hambatan

berwarna jernih yang mengelilingi obat dianggap sebagai ukuran kekuatan

hambatan obat terhadap mikroba yang diperiksa (Jawets dkk., 1986).

Pada metode difusi dikenal dua macam pengertian, yaitu:

1. Zona radikal, yaitu suatu daerah disekitar disk di mana sama sekali

tidak ditemukan adanya pertumbuhan jamur. Potensi antijamur diukur

dengan mengukur diameter dari zona radikal tersebut.

2. Zona irradikal, yaitu suatu daerah di sekitar disk yang menunjukkan

pertumbuhan jamur dihambat oleh antijamur tersebut, tetapi tidak

dimatikan. Di sini akan terlihat pertumbuhan yang kurang subur atau

lebih jarang dibandingkan dengan daerah diluar pengaruh antijamur

(Anonim, 1993).

21

8. Spektrofotometri

Berdasarkan teori spektrofotometri, pada saat cahaya jatuh pada suatu

senyawa, maka sebagian dari cahaya tersebut akan diserap oleh molekul-

molekul sesuai struktur dari molekul. Setiap senyawa mempunyai tingkat energi

yang spesifik. Bila cahaya yang mengenai senyawa mempunyai energi yang

sama dengan perbedaan energi antara keadaan tingkat dasar dan energi keadaan

tereksitasi, maka elektron-elektron pada keadaan dasar akan dieksitasi dan

sebagian energi cahaya yang sesuai dengan panjang gelombang ini diserap.

Frekuensi yang diserap setiap senyawa sangat spesifik karena perbedaan energi

antara tingkat dasar dan tingkat terseksitasi setiap senyawa juga spesifik

(Sastrohamidjojo, 1991)

Interaksi antara senyawa yang mempunyai gugus kromofor dengan

radiasi elektromagnetik pada daerah UV-Vis (200-800 nm) akan menghasilkan

transisi elektromagnetik dan spektra absorbansi elektromagnetik. Jumlah radiasi

elektromagnetik yang diserap akan sebanding dengan jumlah molekul

penyerapnya, sehingga spektra absorbansi dapat digunakan untuk analisis

kuantitatif. Panjang gelombang cahaya UV-Vis lebih pendek daripada panjang

gelombang radiasi inframerah. Spektrum visible atau tampak mempunyai

absorbansi antara 400-800 nm, sedangkan spektrum UV mempunyai absorbansi

antara 100-400 nm (Basset dkk., 1989).

Baik radiasi UV maupun tampak berenergi lebih tinggi daripada radiasi

inframerah. Absorbansi cahaya UV atau tampak mengakibatkan transisi

elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang

22

berenergi rendah ke orbital tereksitasi yang berenergi lebih tinggi. Panjang

gelombang cahaya UV atau tampak yang diserap oleh suatu senyawa tergantung

pada kemudahan promosi elektron. Molekul-molekul yang membutuhkan lebih

banyak energi untuk promosi elektron akan menyerap pada panjang gelombang

yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan

menyerap cahaya pada daerah tampak mempunyai elektron yang mudah

dipromosikan daripada senyawa yang menyerap cahaya pada daerah UV

(Fessenden & Fessenden, 1992).

Bila suatu molekul senyawa organik menyerap sinar UV atau tampak,

maka di dalam molekul tersebut terjadi perpindahan (transisi elektron) dari

berbagai jenis tingkat energi orbital dari molekul tersebut. Transisi yang

mungkin terjadi pada suatu molekul adalah:

a. Transisi σ → σ*.

Transisi jenis ini terjadi pada orbital ikatan sigma. Energi yang dibutuhkan

untuk transisi ini sangat besar, sesuai dengan sinar yang mempunyai

frekuensi pada daerah ultraviolet vakum (< 180 nm).

b. Transisi n → σ*.

Transisi jenis ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung

atom-atom yang mempunyai elektron bukan ikatan (elektron n). Energi

yang dibutuhkan untuk transisi ini lebih kecil dibandingkan dengan transisi

σ → σ*, sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang lebih

besar dari 200 nm. Pengaruh pelarut pada transisi jenis ini adalah

pergeseran puncak absorbansi pada panjang gelombang yang lebih pendek

23

dalam pelarut yang lebih polar. Pergeseran ini disebut pergeseran biru atau

hipsochromic shift.

c. Transisi n → π* dan π → π*.

Untuk memungkinkan terjadinya jenis transisi ini, maka molekul organik

harus mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan

rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital ikatan π yang diperlukan.

Jenis transisi ini merupakan jenis yang paling sesuai untuk analisis karena

mempunyai absorbansi pada 200-700 nm dan panjang gelombang ini secara

teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer (Sastrohamidjojo, 1991).

Auksokrom adalah atom atau gugus fungsional yang mempunyai

elektron bebas tidak berpasangan, tidak menunjukkan absorbsi sendiri tetapi

dapat mempengaruhi panjang gelombang atau intensitas suatu pita absorbsi dari

suatu kromofor. Peningkatan intensitas absorbsi dinamakan efek hiperkromik,

sedangkan penurunan intensitas absorbsi dinamakan efek hipokromik.

Pergeseran panjang gelombang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1. Pergeseran batokromik, yaitu pergeseran merah atau pergeseran ke

panjang gelombang (λ) yang lebih panjang.

2. Pergeseran hipsokromik, yaitu pergeseran biru atau pergeseran ke panjang

gelombang (λ) yang lebih pendek (Sastrohamidjojo, 1991).

9. Radikal bebas dan oksidan

Aktivitas oksidan dan radikal bebas sering menghasilkan akibat yang

sama walaupun melalui proses yang berbeda. Sifat radikal bebas yang mirip

dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik elektron.

24

Oksidan merupakan senyawa penerima elektron (electron acceptor), yakni

senyawa-senyawa yang dapat menarik elektron (Sjabana & Bahalawan, 2002).

Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang pada orbit terluarnya

mempunyai elektron yang tidak berpasangan (Diplock dkk., 1998). Karena

kehilangan pasangannya itu, molekul menjadi tidak stabil, liar dan radikal,

sehingga akan berusaha menstabilkan diri dengan mencari pasangan elektron

(Anonim, 2003). Radikal bebas membantu tubuh kita untuk meningkatkan

energi dan melawan infeksi, tetapi ketika terlalu banyak radikal bebas dapat

menyerang sel normal dan menyebabkan kerusakan sel (Halliwell & Gutteridge,

2000). Jantung koroner merupakan salah satu penyakit yang diakibatkan oleh

radikal bebas (Zakaria dkk., 2008).

Radikal bebas dapat menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis dan

penuaan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan karena oksidasi, sehingga

diperlukan antioksidan untuk menangkap radikal bebas tersebut agar tidak dapat

menginduksi suatu penyakit (Kikuzaki dkk., 2002).

10. Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen

reaktif/spesies nitrogen reaktif (ROS/RNS) dan juga radikal bebas sehingga

antioksidan dapat mencegah penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan

radikal bebas seperti karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan (Halliwell &

Gutteridge, 2000).

25

Secara umum sistem antioksidan dibagi tiga, yaitu:

a. Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang dapat menghalangi

pembentukan radikal bebas baru. Termasuk golongan ini adalah superoxide

dismutase (SOD) dan katalase (Niki dkk., 1995 cit Hertiani, 2000). SOD

akan mengkatalisis dismutasi anion superoksida (O2˙¯) menjadi oksigen (O2)

dan hidrogen peroksida (H2O2), sedangkan katalase akan mengubah

hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air (Wilmsen dkk., 2005).

b. Antioksidan sekunder atau penangkap radikal (radical scavenger) yaitu

antioksidan yang dapat menekan terjadinya reaksi rantai baik pada awal

pembentukan rantai maupun pada fase propagasi. Termasuk golongan ini

adalah vitamin E, β-karoten dan kurkuminoid.

c. Antioksidan tersier yaitu antioksidan yang memperbaiki kerusakan-

kerusakan yang telah terjadi. Termasuk golongan ini adalah enzim yang

memperbaiki DNA dan metionin sulfoksida reduktase (Niki dkk., 1995 cit

Hertiani, 2000).

Antioksidan sintesis seperti BHT (tert-butylhydroxy toluene), BHA (tert-

butylhydroxy anisole) dan TBHQ (tert-butyl hydroquinone) mempunyai

efektifitas yang tinggi, namun kurang aman bagi kesehatan sebab mempunyai

aktvitas mutagenik (Tepe dkk., 2006), karsinogenik (Amarowicz dkk., 2000),

dan dapat menyebabkan efek toksis, sehingga penggunaannya diawasi dengan

ketat di berbagai negara. Sedangkan beberapa senyawa alam yang mempunyai

aktivitas antioksidan dan telah dikenal antara lain vitamin C, vitamin E,

karotenoid, katekin, isoflavon, dan komponen-komponen fenolik. Penelitian

26

terakhir menunjukkan bahwa vitamin C mempunyai aktivitas antioksidan

sebagai penangkap radikal DPPH lebih tinggi daripada vitamin E.

Gambar 5. Struktur vitamin C

Beberapa studi epidemologi menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi

antioksidan fenolik alami yang terdapat dalam buah, sayur, dan tanaman

mempunyai manfaat besar terhadap kesehatan yakni dapat mengurangi resiko

terjadinya penyakit jantung koroner (Ghiselli dkk., 1998). Hal ini disebabkan

karena adanya kandungan beberapa vitamin, polifenol, flavonoid, dan karotenoid

yang mampu menangkap radikal bebas.

11. Pengukuran aktivitas antioksidan

Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan antara lain secara

spektrofotometri. Secara kuantitatif telah diketahui beberapa metode uji in vitro

aktivitas antioksidan yang bisa digunakan menurut Pokorny dkk. (2001), uji

tersebut antara lain:

a. Pengujian penangkapan radikal (radical scavenging test).

Pengujian ini dilakukan dengan cara mengukur penangkapan radikal

sintetik dalam pelarut organik polar seperti metanol atau etanol pada suhu

kamar. Radikal sintetik yang sering digunakan adalah DPPH (2,2’-difenil-1-

27

pikrilhidrazil) dan ABTS (2,2’-azinobis(3-etil benzotiazolin-asam

sulfonat)).

Dengan metode DPPH, penangkapan radikal DPPH oleh suatu

senyawa diikuti dengan penurunan absorbansi pada panjang gelombang 515

nm karena reduksi radikal tersebut oleh antioksidan (AH) atau bereaksi

dengan spesies radikal lain. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

DPPH˙ + AH DPPH-H + A˙

DPPH˙ + R˙ DPPH-R

Radikal DPPH merupakan radikal sintesis yang larut dalam pelarut

organik polar seperti metanol dan etanol (Gordon, 1990) dan merupakan uji

penangkapan radikal yang sering digunakan (Prior dkk., 2005). Sistein,

glutation, asam askorbat, tokoferol, senyawa-senyawa aromatik polihidroksi

seperti hidroquinon, pirogalal, dan asam galat serta senyawa-senyawa amin

aromatis seperti p-fenilen diamin dan p-amino fenol mampu mereduksi dan

memucatkan warna DPPH karena kemampuannya memberikan atom

hidrogen pada radikal DPPH (Kumaran & Karunakaran, 2006). Penggunaan

DPPH untuk metode penangkapan radikal mempunyai beberapa keuntungan

yaitu mudah digunakan, memilki tingkat sensitivitas tinggi, dan dapat

menganalisis sejumlah besar sampel dalam waktu singkat (Kim dkk., 2002).

b. Pengujian aktivitas antioksidan dengan sistem linoleat-tiosianat.

Asam linoleat adalah asam lemak tidak jenuh dengan dua ikatan rangkap

yang mudah teroksidasi membentuk peroksida. Peroksida ini selanjutnya

mengoksidasi ion ferro menjadi ion ferri. Ion ferri akan bereaksi dengan

28

amonium tiosianat membentuk kompleks ferritiosianat [Fe(CNS)3] yang

berwarna merah. Intensitas warna merah ini diukur absorbansinya pada

panjang gelombang 490 nm. Intensitas warna merah yang semakin tinggi

menunjukkan semakin banyak peroksida yang terbentuk.

c. Pengujian dengan asam tiobarbiturat (TBA).

Pengujian ini berdasarkan adanya malonaldehid yang terbentuk dari asam

lemak bebas tidak jenuh dengan paling sedikit mempunyai 3 ikatan rangkap

dua. Malonaldehid selanjutnya bereaksi dengan asam tiobarbiturat

membentuk produk kromogen yang berwarna merah yang dapat diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm.

d. Pengujian dengan sistem β-karoten-linoleat.

Pengamatan kecepatan terjadinya pemucatan warna β-karoten.

e. Metode bilangan peroksida

f. Metode bilangan para-anisidin

g. Metode bilangan oktanoat

12. Senyawa flavonoid

Flavonoid merupakan suatu senyawa polifenol turunan dari inti aromatik

flavan atau 2-fenilbenzopiran. Semua varian flavonoid saling berikatan karena

alur biosintesis yang sama, yang memasukkan prazat dari alur sikimat dan alur

asetat-malonat. Flavonoid biasanya terdapat pada permukaan atau pada sel

epidermis daun hijau. Kemungkinan senyawa ini berfungsi untuk melindungi

daun dari efek radiasi sinar ultraviolet dan dapat menekan fotoperoksidasi lipid

oleh penangkap anion superoksida yang dihasilkan selama proses peroksidasi

29

dalam kloroplas. Dengan demikian, senyawa tersebut diharapkan dapat

berfungsi sebagai pelindung dari radiasi sinar ultraviolet pada kulit manusia atau

sebagai antioksidan alami (Harborne, 1987). Mengkonsumsi flavonoid secara

teratur dapat meningkatkan usia harapan hidup karena flavonoid dapat

mereduksi inflamasi dan penyakit jantung koroner (Einbond dkk., 2004).

Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh sebagian besar flavonoid

disebabkan oleh adanya gugus hidroksi fenolik dalam struktur molekulnya.

Ketika senyawa-senyawa ini bereaksi dengan radikal bebas, mereka membentuk

radikal baru yang distabilisasi oleh efek resonansi inti aromatik. Dengan

demikian, fase propagasi yang meliputi reaksi radikal berantai dapat dihambat

(Cuvelier dkk., 1991).

Potensi flavonoid sebagai antioksidan sangat kuat, terutama karena

flavonoid dapat bekerja melalui bermacam mekanisme, antara lain menghambat

aktivitas enzim seperti ksantin oksidase, myeloperoksidase, lipooksigenase, dan

siklooksigenase. Flavonoid juga mampu mengkhelat ion logam, berinteraksi

dengan substrat antioksidan lain seperti askorbat, dan mampu menangkap

radikal bebas (Pokorny dkk., 2001). Flavonoid mampu menangkap (scavenge)

anion superoksida dan radikal hidroksi (Pedricilli dkk., 2001).

Gambar 6. Struktur kerangka flavonoid (Robinson, 1995).

B

A C

30

E. LANDASAN TEORI

Antibakteri dan antijamur merupakan suatu senyawa yang membunuh atau

menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Saat ini pengobatan yang tersedia

untuk penyakit-penyakit infeksi tidak mampu membasmi penyakit, dapat

menimbulkan resistensi, dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya, bahkan

dapat menyebabkan kematian. Sejumlah penelitian mengungkapkan masalah

peningkatan resistensi antibiotik yang menjadi masalah serius di Indonesia dan juga

di berbagai negara di dunia (Anonim, 2010). Sejalan dengan hal tersebut, maka

pengembangan obat-obat baru sangat dibutuhkan untuk menggantikan obat-obat

yang telah menjadi tidak efektif (Pelczar & Chan, 1986).

Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat reaksi radikal

bebas.Secara umum, antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan sintetik dan

antioksidan alami. Antioksidan sintetik seperti BHA (tert-butylhydroxy anisole),

BHT (tert-butylhydroxy toluene), PG (propil galat), TBHQ (tert-butyl hydroquinone)

mempunyai efektifitas tinggi namun dapat meningkatkan terjadinya karsinogenesis

pada manusia (Amarowicz dkk.,2000) dan kerusakan hati (Osawa & Namiki., 1981).

BHA dan BHT yang sering ditambahkan pada makanan juga dapat menginduksi

kerusakan deoxyribonucleic acid (DNA) (Wangensteen dkk., 2004).

Antioksidan yang berasal dari tanaman telah lama dikenal potensinya untuk

menstabilkan senyawa radikal (Kim dkk., 2002). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa buah-buahan, sayuran dan biji-bijian merupakan sumber antioksidan yang

baik dan bisa meredam reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh, yang pada

akhirnya dapat menekan proses penuaan dini (Sibuea, 2003). Sejumlah senyawa

31

fenolik terutama flavonoid dan asam fenolik merupakan senyawa antioksidan yang

terdapat dalam buah-buahan dan sayuran (Madhujith & Shahidi, 2005).

Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas darat dan laut terbesar di

dunia yang menyimpan banyak potensi tumbuhan dan hewan yang mengandung

senyawa antibakteri, antijamur dan penangkap radikal. Tumbuhan di kawasan pantai

sangat beragam dan melimpah di Indonesia, tetapi sampai saat ini masih sedikit

tumbuhan dari kawasan pantai yang digunakan sebagai obat, baik untuk pengobatan

tradisional maupun penelitian untuk pengembangan dan penemuan obat baru.

Untuk itu uji aktivitas antibakteri, antijamur dan penangkapan radikal

berbagai tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta

perlu dilakukan untuk mengeksplorasi kekayaan alam yang berpotensi sebagai

senyawa bioaktif.

F. HIPOTESIS

1. Aktivitas antibakteri, antijamur dan penangkapan radikal berbagai tumbuhan

koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta.

2. Jenis tumbuhan yang mempunyai aktivitas antibakteri, antijamur dan

penangkapan radikal tertinggi.

3. Kadar flavonoid total dalam tumbuhan yang mempunyai aktivitas penangkapan

radikal tertinggi.

32

BAB II

CARA PENELITIAN

A. Alat dan Bahan yang Digunakan

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Herba berbagai

tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta,

DPPH (2,2’-difenil-1-pikrilhidrazil), vitamin C, kuersetin, akuades, natrium

nitrit, aluminium klorida, natrium hidroksida, diklorometan, metanol, etanol

(kualitas p.a. E. Merck), kloramfenikol, media NA, media NB, DMSO 0,2 %, air

salin 0,9 %, etanol 70 % (teknis), spiritus, kapas, aluminum foil, bakteri dan

jamur uji Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Candida albicans.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Vacuum rotary

evaporator (IkaR RV 10, Germany), blender, penyaring Buchner, neraca elektrik

(Mettler toledo, Switzerland), spektrofotometer UV-Vis (Optima SP-3000nano,

Japan), oven (Hotbox oven size two), blue tip, yellow tip, white tip, autoklaf,

inkubator, LAF (Laminair Air Flow), vortex, mikropipet (SocorexR, Swiss),

cawan petri, ose, bunsen dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di

Laboratorium Kimia Analisis dan Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM.