BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Faktor
tersebut diantaranya kelembaban udara yang memungkinkan pertumbuhan bakteri
dan jamur. Faktor lain yaitu keseimbangan antara kadar antioksidan dan radikal
bebas di dalam tubuh. Radikal bebas di dalam tubuh merupakan penyebab dari
sejumlah penyakit metabolik dan degeneratif antara lain kanker, arteriosklerosis,
gangguan pernafasan, katarak, inflamasi dan penuaan dini yang disebabkan oleh
kerusakan jaringan karena oksidasi. Untuk itu diperlukan suatu antioksidan yang
mampu menangkap radikal bebas sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit
(Kikuzaki dkk., 2002). Prevalensi penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri dan jamur
di Indonesia cukup tinggi. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai organisme seperti
virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Jika infeksi tidak segera disembuhkan maka
dapat menyebabkan penyakit infeksi yang lebih sulit disembuhkan, sakit lebih lama,
membutuhkan antibiotik yang lebih kuat (lebih toksik), dan biaya pengobatan yang
lebih mahal (Gibson, 1996).
Adapun beberapa jenis bakteri dan jamur yang merupakan flora normal tubuh
manusia tetapi dapat bersifat patogen yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli
dan Candida albicans. Jenis S. aureus sering ditemukan sebagai flora normal pada
kulit dan selaput lendir pada manusia, tetapi juga dapat menjadi penyebab infeksi
baik pada manusia maupun hewan (Anonim, 1993). Begitu pula E. coli, pada
2
umumnya tidak menyebabkan penyakit apabila masih dalam saluran pencernaan,
tetapi bakteri ini dapat menyebabkan penyakit apabila mencapai jaringan di luar usus
diantaranya saluran kencing, paru-paru, saluran empedu, dan saluran otak (Brooks
dkk., 1991). Bakteri E. coli juga dapat menyebabkan diare karena menghasilkan
enterotoksin. Jamur C. albicans merupakan flora normal pada mukosa saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran genitalia wanita. Tetapi juga dapat
menyebabkan berbagai penyakit diantaranya sariawan, esofagitis, vaginitis, balanitis,
kandidiasis saluran urin, kulit, kuku, saluran pernapasan, dan kandidiasis mukokutan
kronis (Jawets dkk., 1989; Pendland, 1997).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain uji aktivitas
penangkapan radikal dari ekstrak metanol, ekstrak kloroform dan ekstrak petroleum
eter daun Cissus adnata Roxb. yang menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan
radikal tertinggi terdapat pada ekstrak metanol dan mengandung komponen aktif
flavonoid dan terpenoid (Laitonjam dkk., 2011). Uji aktivitas penangkapan radikal
dari ekstrak metanol, ekstrak etil asetat dan ekstrak heksana tumbuhan Cassytha
filiformis L. juga menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan radikal tertinggi
terdapat pada ekstrak metanol (Dhanalakshmi dkk., 2012). Hasil penelitian oleh
Adonu dkk. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak air panas dan ekstrak metanol dari
Cassytha filiformis L. adalah antimikroba yang lebih baik daripada ekstrak daun
Cleistopholis patens Benth. terhadap Candida albicans, Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. Sakagami dkk. (2001) telah menguji
efek penghambatan beberapa ekstrak tanaman pada produksi verotoksin oleh
enterohemorrhagic Escherichia coli O157: H7 (EHEC). Hasil penelitian
3
menunjukkan bahwa ekstrak metanol Jussiaea peruviana L. efektif terhadap
penghambatan produksi verotoksin. Hasil penelitian oleh Poh-Hwa dkk. (2011)
menunjukkan bahwa pada ekstrak air aktivitas antioksidan menurun dalam urutan P.
niruri > P. amarus > P. urinaria, dan pada ekstrak metanol aktivitas antioksidan
menurun dalam urutan P. niruri > P. urinaria > P. amarus. Ekstrak metanol
menunjukkan kandungan fenolik total dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak air. Berdasarkan hasil KHM dan KBM dari uji
antimikroba, terlihat bahwa ekstrak metanol mempunyai aktivitas antimikroba yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air.
Tumbuhan di kawasan pantai merupakan kekayaan alam yang beragam dan
melimpah di Indonesia, namun sampai saat ini masih sedikit tumbuhan dari kawasan
pantai yang digunakan sebagai obat, baik untuk pengobatan tradisional maupun
penelitian untuk pengembangan dan penemuan obat baru. Untuk itu uji aktivitas
berbagai tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta
ini perlu dilakukan untuk mengetahui potensinya sebagai agen antibakteri, antijamur
dan penangkap radikal alami.
4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul
Yogyakarta mempunyai potensi sebagai antibakteri, antijamur dan penangkapan
radikal?
2. Jenis tumbuhan apa yang mempunyai aktivitas antibakteri, antijamur dan
penangkapan radikal tertinggi?
3. Berapa kadar flavonoid total dalam tumbuhan yang mempunyai aktivitas
penangkapan radikal tertinggi?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Melakukan uji aktivitas antibakteri, antijamur dan penangkapan radikal
tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta.
2. Mengetahui jenis tumbuhan yang mempunyai aktivitas antibakteri, antijamur
dan penangkapan radikal tertinggi.
3. Menentukan kadar flavonoid total dalam tumbuhan yang mempunyai aktivitas
penangkapan radikal tertinggi.
5
D. TINJAUAN PUSTAKA
Sampel tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul
Yogyakarta yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Cissus adnata Roxb. (12/PB/01-02)
a. Klasifikasi
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Rhamnales
Suku : Vitaceae
Marga : Cissus
Jenis : Cissus adnata Roxb.
(Van Steenis, 2002; Backer & Van den Brink, 1965)
b. Nama daerah
Akar gamik (Sumatra Barat), seketan (Sumatra Timur), areuy
beungbeurutan, areuy syuh lampung (Sunda), sambangau, bantengan,
galingkebo, lunda banyu, taing (Jawa), tali babuni (Maluku, Ambon)
(Anonim, 1986).
c. Deskripsi
Cissus adnata Roxb. merupakan tumbuhan perdu merambat yang dapat
mencapai ketinggian 5-10 meter. Daun berbentuk bulat telur, tepi bergigi,
tunggal, panjang 8-18 cm dan lebar 5-12 cm. Bunganya berbentuk kecil dan
beraturan. Buah yang belum dewasa berwarna hijau, ketika dewasa
6
berwarna ungu tua, bulat, berdiameter sekitar 1 cm, berbentuk seperti buah
anggur dan berbiji tunggal (Van Steenis, 2002).
d. Kandungan kimia
Bagian tangkai, akar dan daun Cissus Adnata Roxb. diketahui mempunyai
beberapa kandungan kimia diantaranya vitisinol B, (+)-ε-viniferin, vitisinol
C, vitisinol D, (−)-viniferal, ampelopsin C, miyabenol A, (+)-vitisin A, (+)-
vitisin C (Wang dkk., 2007).
e. Habitat
Cissus adnata Roxb. dapat ditemui di dekat pantai dengan ketinggian antara
1-400 meter di atas permukaan laut (Anonim, 1986).
f. Kegunaan
Cissus adnata Roxb. secara tradisional dapat digunakan untuk pengobatan
bisul, memar, epilepsi, demam, keracunan makanan, tumor lambung, radang
gusi, asam urat, hemi-paralysis, histeria, sakit kuning, hepatitis, lipoma,
gangguan mental, sakit leher, kelumpuhan, paratifoid, komplikasi
kehamilan, rematik, gigitan ular dan ureterolithiasis (Rahim dkk., 2012).
Bagian tangkai, akar dan daun dapat digunakan untuk obat batuk dan perut
mulas (Anonim, 1986).
7
Gambar 1. Cissus adnata Roxb.
2. Cassytha filiformis L. (12/PB/01-03)
a. Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub kelas : Dialypetalae
Bangsa : Ranales
Suku : Lauraceae
Marga : Cassytha
Jenis : Cassytha filiformis L.
(Tjitrosoepomo, 2004)
b. Nama Daerah
Akar pengalasan (Bangka), tali putri (Melayu, Jawa), sangga langit (Sunda),
gumi guraci (Ternate) (Anonim, 2001).
8
c. Deskripsi
Tali putri menempel pada inangnya dengan alat hisap (haustoria).
Batangnya sangat panjang, kecil, berwana cokelat, cokelat kekuningan/
kehijauan, dengan sejumlah cabang, membentuk suatu jaring tali tanpa daun
di atas semak atau rumput. Berupa bunga bulir, kecil, berbentuk bola dan
berdiameter ± 7 mm, hermafrodit, tabung perhiasan bunga pendek dan bulat,
benang sari berjumlah enam buah. Selama musim dingin, biji tali putri
tumbuh bersama biji tumbuhan inang misal (Zizyphus) di ladang yang penuh
tumbuhan ini. Selama musim tumbuh, biji berkecambah dan menghasilkan
tunas kecil kekuning-kuningan, tetapi tanpa akar. Ketika kontak dengan
suatu inang, tunas melingkari tumbuhan inang dan memasukkan alat
hisapnya untuk berpenetrasi ke dalam batang atau daun dan menuju ke
dalam jaringan vaskular, alat hisap ini menyerap makanan dan air. Setelah
kontak dengan inang mapan, pangkal benalu tali putri melayu dan
mengering, sehingga benalu kehilangan seluruh hubungannya dengan tanah
dan bergantung sepenuhnya pada inang untuk mendapatkan persediaan
makanan dan air. Benalu akan tumbuh dan menyebar, sementara
pertumbuhan tumbuhan inang terhambat, bahkan mati. Tumbuhan benalu
kemudian mengembangkan bunga dan menghasilkan biji (Abubacker dkk.,
2005; Anonim, 2005).
d. Kandungan Kimia
Herba Cassytha filiformis L. mengandung beberapa senyawa yang telah
dikenal diantaranya alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol (Djumidi dkk.,
9
1997), glikosida, terpenoid, steroid, resin, tanin, lipid (Adonu dkk., 2013)
dan juga terdapat tiga senyawa baru yang ditemukan dengan menggunakan
metode bioassay-directed fractionation, yaitu (1) cassyformine yang
merupakan alkaloid aphorpine, (2) filiformine yang merupakan alkaloid
oxoaphorpine, dan (3) suatu lignan, (+)-diasyringaresinol. Di antara isolat
tanaman ini, cathafiline, cathaformine, actinodaphnine, N-
methylactinodaphnine, predicentrine, dan ocoteine memperlihatkan
aktivitas agregasi antiplatelet yang signifikan (Chang dkk., 1998).
e. Habitat
Tumbuhan ini tumbuh subur pada semak-semak dan lapangan terbuka,
terutama di pantai atau di belakang pantai, biasanya membentuk tirai di atas
pohon dan lain-lain vegetasi (Van Steenis, 2002).
f. Kegunaan
Di India, serbuk tumbuhan dicampur dengan minyak wijen digunakan untuk
memperkuat rambut. Para brahmana menggunakannya untuk membersihkan
borok, untuk tujuan tersebut dicampur dengan kacang dan jahe. Di
Mauritius juga digunakan dalam bentuk decocta tanaman segar untuk
mempercepat proses kelahiran dan mencegah haemoptysis. Di Afrika Utara
digunakan untuk mencuci rambut, membasmi kutu dan menumbuhkan
rambut. Di Senegambia digunakan pada urethritis (Anonim, 2005).
10
Gambar 2. Cassytha filiformis L.
3. Jussiaea peruviana L. (12/PB/01-04)
a. Klasifikasi
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Bangsa : Myrtales
Suku : Onagraceae
Marga : Jussiaea
Jenis : Jussiaea peruviana L.
(Van Steenis, 2002; Backer & Van den Brink, 1965)
b. Nama daerah
Lombokan (Jawa) (Van Steenis, 2002).
11
c. Deskripsi
Merupakan semak yang berdiri, kuat, berumur panjang, mempunyai tinggi 1-
2 meter. Pada batangnya terdapat bulu lebat. Daunnya tersebar, bertangkai
pendek, berbentuk lanset memanjang, dengan ujung runcing atau tumpul,
bertepi rata, panjang 5-15 cm, lebar 1,5-4 cm. Daun penumpu berukuran
kecil. Bunga terletak di ketiak, tunggal, bertangkai. Tangkai bunga dan
kelopak berbulu panjang. Mempunyai kelopak dengan dua daun pelindung;
buluh persegi dengan panjang ± 1 cm, ke arah puncak membesar secara
teratur dan cepat; taju lebih panjang daripada tabung, melekat. Daun
mahkota berbentuk bulat memanjang sampai bulat, panjang 1,5-2 cm,
berwarna kuning cerah. Benang sari berjumlah 8 atau 10. Tangkai putik
pendek, kepala putik tebal. Buah piramida terbalik, bersegi tajam, panjang 2-
3 cm, berbulu; daging buah berjatuhan menjadi butir-butir pada seluruh
panjang buah; pertulangan dari daun buah tertinggal. Pada daerah yang
becek sering dikelilingi oleh akar nafas semu yang putih, yang berbentuk tali
lemah dan sering mengapung di air (Van Steenis, 2002).
d. Kandungan kimia
Boyd (1967) melaporkan bahwa Jussiaea peruviana L. mempunyai
kandungan protein, lemak, selulosa, dan tanin.
e. Habitat
Tumbuhan ini dapat tumbuh subur di tempat yang becek, tepi air, dan dapat
tumbuh pada ketinggian 1-1.400 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan ini
juga ditemukan tumbuh secara liar di Amerika (Van Steenis, 2002).
12
f. Kegunaan
Di Amerika Tengah dan Selatan, Jusiaea peruviana L. digunakan sebagai
bahan makanan dan pengobatan tradisional (Hotta dkk., 1989).
Gambar 3. Jussiaea peruviana L.
4. Phyllanthus niruri L. (12/PB/01-08)
a. Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Euphorbiales
Suku : Euphorbiaceae
Marga : Phyllanthus
Jenis : Phyllanthus niruri L.
(Hutapea dkk., 1994)
13
b. Nama daerah
Meniran (Jawa), meniran ijo, memeniran (Sunda) (Anonim, 1978).
c. Deskripsi
Merupakan tumbuhan semak semusim, dengan tinggi 30-100 cm, batangnya
berbentuk bulat, licin, tak berambut, diameter ± 3 mm, dan berwarna hijau.
Daunnya majemuk, berseling, anak daun 15-24, berbentuk bulat telur, ujung
tumpul, pangkal membulat, panjang ± 1,5 cm, lebar ± 7 mm, tepi rata, dan
berwarna hijau. Mempunyai bunga tunggal, berdekatan dengan tangkai anak
daun, menggantung, putih, daun kelopak bentuk bintang, benang sari dan
putik tidak tampak jelas, mempunyai mahkota berukuran kecil, dan
berwarna putih. Buahnya berbentuk kotak, bulat, pipih, berdiameter ± 2
mm, berwarna hijau keunguan. Mempunyai biji berbentuk ginjal, kecil,
keras, dan berwarna cokelat. Mempunyai akar tunggang berwarna putih
kotor (Hutapea dkk.,2001).
d. Kandungan kimia
Meniran mengandung golongan senyawa flavonoid, fenol (Keth dkk.,
1977), glikosida (Chauhan dkk., 1977), lignan (Huang dkk., 1992), alkaloid
(Joshi, 1986) dan trans-phytol (Singh dkk., 1991). Senyawa fenol diduga
berkhasiat untuk penyembuhan luka karena pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Cahayani (2010), senyawa fenol berkhasiat sebagai
antibakteri. Senyawa filantin diduga berkhasiat sebagai penyembuh luka
karena pada penelitian yang dilakukan Harris & Shivanandappa (2006)
terbukti berkhasiat sebagai antioksidan dan hepatoprotektor.
14
e. Habitat
Tumbuhan meniran ditemukan tumbuh hampir di seluruh Indonesia pada
ketinggian 1-1000 meter di atas permukaan laut. Tumbuh liar di tempat
terbuka yang lembab dan berbatu, pada tanah gembur yang mengandung
pasir, di ladang, tepi sungai, dan tepi pantai (Anonim, 1978).
f. Kegunaan
Herba meniran digunakan untuk penyakit kuning, infeksi saluran kemih,
merangsang keluarnya air seni (diureticum), untuk penyembuhan diare,
infeksi saluran pencernaan, dan penyakit yang disebabkan karena gangguan
fungsi hati (Joshi dkk., 1986; Syamasundar dkk., 1985). Buahnya berasa
pahit, digunakan untuk luka dan scabies. Akar segar digunakan untuk
pengobatan penyakit kuning. Daun dapat digunakan untuk penambah nafsu
makan dan antidemam (Dalimarta, 2002). Cahayani (2010) menunjukkan
bahwa ekstrak herba meniran mempunyai aktivitas antibakteri, baik yang
dikombinasi maupun tidak dikombinasi dengan vankomisin. Herba meniran
mampu menyembuhkan luka pada lambung dengan cara menghambat
pengeluaran sel-sel neutrofil secara berlebihan sehingga proses
penyembuhan luka lebih cepat (Ameen dkk., 2010).
15
Gambar 4. Phyllanthus niruri L.
5. Metode penyarian
Penyarian atau ekstraksi merupakan perpindahan massa zat aktif dari
dalam sel kemudian ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam
cairan penyari. Pada umumnya penyarian akan bertambah baik jika permukaan
simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin luas (Harborne, 1987).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dari ekstraksi simplisia
nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Metode
penyarian yang digunakan tergantung dari wujud dan kandungan zat (sifat fisika
kimia) dari bahan yang akan disari (Harborne, 1987). Sebagian besar ekstrak
dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara maserasi (Sampurno dkk.,
2000).
16
Ada banyak metode penyarian yang dapat digunakan. Pemilihan metode
penyarian disesuaikan dengan sifat fisik dan kimia dari simplisia yang
bersangkutan. Secara umum, terdapat tiga macam metode penyarian yang paling
sering digunakan yaitu maserasi, perkolasi dan destilasi uap (Sampurno dkk.,
2000). Maserasi merupakan proses penyarian berdasarkan keseimbangan antara
konsentrasi zat terlarut di dalam sel dengan zat terlarut di dalam cairan penyari.
Maka semakin besar jumlah cairan penyari akan semakin banyak zat terlarut
yang diperoleh (Voight, 1995). Secara teori pada maserasi akan terjadi
kejenuhan, maka ekstraksi absolut tidak mungkin dicapai. Keuntungan cara
penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan
sederhana dan mudah diusahakan. Kerugiannya yaitu pengerjaannya lama dan
penyariannya kurang sempurna (Hargono dkk., 1986).
Maserasi dapat dilakukan modifikasi misalnya:
a. Digesti
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu
40-50°C. Dengan pemanasan maka akan diperoleh keuntungan yaitu
kekentalan pelarut berkurang sehingga akan mengurangi lapisan-lapisan
batas, daya pelarutan penyari akan meningkat sehingga pemanasan
berpengaruh seperti pengadukan, kenaikan suhu akan berpengaruh dengan
kecepatan difusi.
b. Maserasi dengan mesin pengaduk
Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus-menerus, waktu proses
maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
17
c. Remaserasi
Cairan penyari dibagi menjadi dua, kemudian seluruh serbuk simplisia
dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah dienap-tuangkan dan
diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari kedua.
d. Maserasi melingkar
Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan penyari selalu
bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir kembali
secara berkesinambungan melalui serbuk simplisia dan melarutkan zat
aktifnya.
e. Maserasi melingkar bertingkat
Pada proses ini, tiap batch serbuk simplisia disari beberapa kali dengan
sejumlah cairan penyari (Hargono dkk., 1986).
6. Bakteri dan jamur uji
a. Staphylococcus aureus
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus
(Salle, 1961)
Bakteri S. aureus merupakan bakteri gram positif yang sering
ditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia,
18
tetapi dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun hewan
(Anonim, 1993). Penyakit manusia yang disebabkan oleh staphylococcus
berasal dari infeksi jaringan lunak, abses pada jaringan organ, osteomyelitis,
endokarditis, dan sindrom syok toksik untuk necrotizing pneumonia, yang
semuanya dapat diuji dengan menggunakan model infeksi binatang kecil
(Archer, 1998; Lowy, 1998).
b. Escherichia coli
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Enterobacteriaceae
Marga : Escherichia
Jenis : Escherichia coli
(Salle, 1961)
Bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dan
merupakan flora paling banyak di usus. Bakteri ini dapat menyebabkan
diare karena menghasilkan enterotoksin. Apabila masih dalam saluran
pencernaan, E. coli pada umumnya tidak menyebabkan penyakit. Namun
bakteri ini dapat menyebabkan penyakit apabila mencapai jaringan di luar
usus seperti saluran kencing, paru-paru, saluran empedu, dan saluran otak
(Brooks dkk., 1991). Bakteri ini toleran terhadap dingin, peka terhadap
kekeringan dan menyukai suasana lembab (Jawets dkk., 1986).
19
c. Candida albicans
Divisi : Thallophyta
Kelas : Deuteromycetes
Bangsa : Moniliales
Suku : Moniliaceae
Marga : Candida
Jenis : Candida albicans
(Salle, 1961)
Jamur C. albicans merupakan flora normal pada mukosa saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran genitalia wanita. Di tempat-
tempat ini, ragi dapat menjadi dominan dan menyebabkan keadaan
patologik, seringkali menyebabkan penyakit sistemik progresif pada
penderita yang kekebalannya tertekan terutama pada mulut, genital wanita,
kulit, kuku, paru-paru, dan organ lain (Jawetz dkk., 1986).
Jamur C. albicans berbentuk oval, berukuran 2-3 x 4-6 µm, dan
mempunyai tunas yang menghasilkan pseudomiselium baik dalam biakan
maupun dalam jaringan dan eksudat. Pada media Saboroud yang diinkubasi
pada suhu 25°C sampai 37°C, jamur C. albicans akan mudah tumbuh dan
tampak sebagai koloni berwarna krem yang lunak dan berbau khas.
7. Uji aktivitas antibakteri dan antijamur
a. Metode dilusi
Metode dilusi dibagi menjadi dua yaitu dilusi cair dan dilusi padat.
Prinsipnya pada dilusi cair, dibuat seri pengenceran antibakteri atau
20
antijamur dalam media yang sesuai, kemudian masing-masing konsentrasi
ditanami bakteri atau jamur, diinkubasi dan dibaca hasilnya. Metode ini
mempunyai kelebihan yaitu sederhana dan dapat digunakan untuk
mengukur kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM).
Sedangkan pada dilusi padat, tiap konsentrasi obat dicampur dengan media
agar, kemudian ditanami bakteri atau jamur, diinkubasi dan dibaca hasilnya.
Metode ini mempunyai kelebihan yaitu dapat digunakan untuk menguji
beberapa mikoorganisme sekaligus (Anonim, 1993).
b. Metode difusi
Prinsipnya suatu cakram kertas yang mengandung obat dalam jumlah
tertentu ditempatkan pada media padat yang telah ditanami dengan biakan
mikroba yang diperiksa setelah inkubasi, garis tengah diameter hambatan
berwarna jernih yang mengelilingi obat dianggap sebagai ukuran kekuatan
hambatan obat terhadap mikroba yang diperiksa (Jawets dkk., 1986).
Pada metode difusi dikenal dua macam pengertian, yaitu:
1. Zona radikal, yaitu suatu daerah disekitar disk di mana sama sekali
tidak ditemukan adanya pertumbuhan jamur. Potensi antijamur diukur
dengan mengukur diameter dari zona radikal tersebut.
2. Zona irradikal, yaitu suatu daerah di sekitar disk yang menunjukkan
pertumbuhan jamur dihambat oleh antijamur tersebut, tetapi tidak
dimatikan. Di sini akan terlihat pertumbuhan yang kurang subur atau
lebih jarang dibandingkan dengan daerah diluar pengaruh antijamur
(Anonim, 1993).
21
8. Spektrofotometri
Berdasarkan teori spektrofotometri, pada saat cahaya jatuh pada suatu
senyawa, maka sebagian dari cahaya tersebut akan diserap oleh molekul-
molekul sesuai struktur dari molekul. Setiap senyawa mempunyai tingkat energi
yang spesifik. Bila cahaya yang mengenai senyawa mempunyai energi yang
sama dengan perbedaan energi antara keadaan tingkat dasar dan energi keadaan
tereksitasi, maka elektron-elektron pada keadaan dasar akan dieksitasi dan
sebagian energi cahaya yang sesuai dengan panjang gelombang ini diserap.
Frekuensi yang diserap setiap senyawa sangat spesifik karena perbedaan energi
antara tingkat dasar dan tingkat terseksitasi setiap senyawa juga spesifik
(Sastrohamidjojo, 1991)
Interaksi antara senyawa yang mempunyai gugus kromofor dengan
radiasi elektromagnetik pada daerah UV-Vis (200-800 nm) akan menghasilkan
transisi elektromagnetik dan spektra absorbansi elektromagnetik. Jumlah radiasi
elektromagnetik yang diserap akan sebanding dengan jumlah molekul
penyerapnya, sehingga spektra absorbansi dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif. Panjang gelombang cahaya UV-Vis lebih pendek daripada panjang
gelombang radiasi inframerah. Spektrum visible atau tampak mempunyai
absorbansi antara 400-800 nm, sedangkan spektrum UV mempunyai absorbansi
antara 100-400 nm (Basset dkk., 1989).
Baik radiasi UV maupun tampak berenergi lebih tinggi daripada radiasi
inframerah. Absorbansi cahaya UV atau tampak mengakibatkan transisi
elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang
22
berenergi rendah ke orbital tereksitasi yang berenergi lebih tinggi. Panjang
gelombang cahaya UV atau tampak yang diserap oleh suatu senyawa tergantung
pada kemudahan promosi elektron. Molekul-molekul yang membutuhkan lebih
banyak energi untuk promosi elektron akan menyerap pada panjang gelombang
yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan
menyerap cahaya pada daerah tampak mempunyai elektron yang mudah
dipromosikan daripada senyawa yang menyerap cahaya pada daerah UV
(Fessenden & Fessenden, 1992).
Bila suatu molekul senyawa organik menyerap sinar UV atau tampak,
maka di dalam molekul tersebut terjadi perpindahan (transisi elektron) dari
berbagai jenis tingkat energi orbital dari molekul tersebut. Transisi yang
mungkin terjadi pada suatu molekul adalah:
a. Transisi σ → σ*.
Transisi jenis ini terjadi pada orbital ikatan sigma. Energi yang dibutuhkan
untuk transisi ini sangat besar, sesuai dengan sinar yang mempunyai
frekuensi pada daerah ultraviolet vakum (< 180 nm).
b. Transisi n → σ*.
Transisi jenis ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung
atom-atom yang mempunyai elektron bukan ikatan (elektron n). Energi
yang dibutuhkan untuk transisi ini lebih kecil dibandingkan dengan transisi
σ → σ*, sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang lebih
besar dari 200 nm. Pengaruh pelarut pada transisi jenis ini adalah
pergeseran puncak absorbansi pada panjang gelombang yang lebih pendek
23
dalam pelarut yang lebih polar. Pergeseran ini disebut pergeseran biru atau
hipsochromic shift.
c. Transisi n → π* dan π → π*.
Untuk memungkinkan terjadinya jenis transisi ini, maka molekul organik
harus mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan
rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital ikatan π yang diperlukan.
Jenis transisi ini merupakan jenis yang paling sesuai untuk analisis karena
mempunyai absorbansi pada 200-700 nm dan panjang gelombang ini secara
teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer (Sastrohamidjojo, 1991).
Auksokrom adalah atom atau gugus fungsional yang mempunyai
elektron bebas tidak berpasangan, tidak menunjukkan absorbsi sendiri tetapi
dapat mempengaruhi panjang gelombang atau intensitas suatu pita absorbsi dari
suatu kromofor. Peningkatan intensitas absorbsi dinamakan efek hiperkromik,
sedangkan penurunan intensitas absorbsi dinamakan efek hipokromik.
Pergeseran panjang gelombang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Pergeseran batokromik, yaitu pergeseran merah atau pergeseran ke
panjang gelombang (λ) yang lebih panjang.
2. Pergeseran hipsokromik, yaitu pergeseran biru atau pergeseran ke panjang
gelombang (λ) yang lebih pendek (Sastrohamidjojo, 1991).
9. Radikal bebas dan oksidan
Aktivitas oksidan dan radikal bebas sering menghasilkan akibat yang
sama walaupun melalui proses yang berbeda. Sifat radikal bebas yang mirip
dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik elektron.
24
Oksidan merupakan senyawa penerima elektron (electron acceptor), yakni
senyawa-senyawa yang dapat menarik elektron (Sjabana & Bahalawan, 2002).
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang pada orbit terluarnya
mempunyai elektron yang tidak berpasangan (Diplock dkk., 1998). Karena
kehilangan pasangannya itu, molekul menjadi tidak stabil, liar dan radikal,
sehingga akan berusaha menstabilkan diri dengan mencari pasangan elektron
(Anonim, 2003). Radikal bebas membantu tubuh kita untuk meningkatkan
energi dan melawan infeksi, tetapi ketika terlalu banyak radikal bebas dapat
menyerang sel normal dan menyebabkan kerusakan sel (Halliwell & Gutteridge,
2000). Jantung koroner merupakan salah satu penyakit yang diakibatkan oleh
radikal bebas (Zakaria dkk., 2008).
Radikal bebas dapat menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis dan
penuaan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan karena oksidasi, sehingga
diperlukan antioksidan untuk menangkap radikal bebas tersebut agar tidak dapat
menginduksi suatu penyakit (Kikuzaki dkk., 2002).
10. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen
reaktif/spesies nitrogen reaktif (ROS/RNS) dan juga radikal bebas sehingga
antioksidan dapat mencegah penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan
radikal bebas seperti karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan (Halliwell &
Gutteridge, 2000).
25
Secara umum sistem antioksidan dibagi tiga, yaitu:
a. Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang dapat menghalangi
pembentukan radikal bebas baru. Termasuk golongan ini adalah superoxide
dismutase (SOD) dan katalase (Niki dkk., 1995 cit Hertiani, 2000). SOD
akan mengkatalisis dismutasi anion superoksida (O2˙¯) menjadi oksigen (O2)
dan hidrogen peroksida (H2O2), sedangkan katalase akan mengubah
hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air (Wilmsen dkk., 2005).
b. Antioksidan sekunder atau penangkap radikal (radical scavenger) yaitu
antioksidan yang dapat menekan terjadinya reaksi rantai baik pada awal
pembentukan rantai maupun pada fase propagasi. Termasuk golongan ini
adalah vitamin E, β-karoten dan kurkuminoid.
c. Antioksidan tersier yaitu antioksidan yang memperbaiki kerusakan-
kerusakan yang telah terjadi. Termasuk golongan ini adalah enzim yang
memperbaiki DNA dan metionin sulfoksida reduktase (Niki dkk., 1995 cit
Hertiani, 2000).
Antioksidan sintesis seperti BHT (tert-butylhydroxy toluene), BHA (tert-
butylhydroxy anisole) dan TBHQ (tert-butyl hydroquinone) mempunyai
efektifitas yang tinggi, namun kurang aman bagi kesehatan sebab mempunyai
aktvitas mutagenik (Tepe dkk., 2006), karsinogenik (Amarowicz dkk., 2000),
dan dapat menyebabkan efek toksis, sehingga penggunaannya diawasi dengan
ketat di berbagai negara. Sedangkan beberapa senyawa alam yang mempunyai
aktivitas antioksidan dan telah dikenal antara lain vitamin C, vitamin E,
karotenoid, katekin, isoflavon, dan komponen-komponen fenolik. Penelitian
26
terakhir menunjukkan bahwa vitamin C mempunyai aktivitas antioksidan
sebagai penangkap radikal DPPH lebih tinggi daripada vitamin E.
Gambar 5. Struktur vitamin C
Beberapa studi epidemologi menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi
antioksidan fenolik alami yang terdapat dalam buah, sayur, dan tanaman
mempunyai manfaat besar terhadap kesehatan yakni dapat mengurangi resiko
terjadinya penyakit jantung koroner (Ghiselli dkk., 1998). Hal ini disebabkan
karena adanya kandungan beberapa vitamin, polifenol, flavonoid, dan karotenoid
yang mampu menangkap radikal bebas.
11. Pengukuran aktivitas antioksidan
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan antara lain secara
spektrofotometri. Secara kuantitatif telah diketahui beberapa metode uji in vitro
aktivitas antioksidan yang bisa digunakan menurut Pokorny dkk. (2001), uji
tersebut antara lain:
a. Pengujian penangkapan radikal (radical scavenging test).
Pengujian ini dilakukan dengan cara mengukur penangkapan radikal
sintetik dalam pelarut organik polar seperti metanol atau etanol pada suhu
kamar. Radikal sintetik yang sering digunakan adalah DPPH (2,2’-difenil-1-
27
pikrilhidrazil) dan ABTS (2,2’-azinobis(3-etil benzotiazolin-asam
sulfonat)).
Dengan metode DPPH, penangkapan radikal DPPH oleh suatu
senyawa diikuti dengan penurunan absorbansi pada panjang gelombang 515
nm karena reduksi radikal tersebut oleh antioksidan (AH) atau bereaksi
dengan spesies radikal lain. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
DPPH˙ + AH DPPH-H + A˙
DPPH˙ + R˙ DPPH-R
Radikal DPPH merupakan radikal sintesis yang larut dalam pelarut
organik polar seperti metanol dan etanol (Gordon, 1990) dan merupakan uji
penangkapan radikal yang sering digunakan (Prior dkk., 2005). Sistein,
glutation, asam askorbat, tokoferol, senyawa-senyawa aromatik polihidroksi
seperti hidroquinon, pirogalal, dan asam galat serta senyawa-senyawa amin
aromatis seperti p-fenilen diamin dan p-amino fenol mampu mereduksi dan
memucatkan warna DPPH karena kemampuannya memberikan atom
hidrogen pada radikal DPPH (Kumaran & Karunakaran, 2006). Penggunaan
DPPH untuk metode penangkapan radikal mempunyai beberapa keuntungan
yaitu mudah digunakan, memilki tingkat sensitivitas tinggi, dan dapat
menganalisis sejumlah besar sampel dalam waktu singkat (Kim dkk., 2002).
b. Pengujian aktivitas antioksidan dengan sistem linoleat-tiosianat.
Asam linoleat adalah asam lemak tidak jenuh dengan dua ikatan rangkap
yang mudah teroksidasi membentuk peroksida. Peroksida ini selanjutnya
mengoksidasi ion ferro menjadi ion ferri. Ion ferri akan bereaksi dengan
28
amonium tiosianat membentuk kompleks ferritiosianat [Fe(CNS)3] yang
berwarna merah. Intensitas warna merah ini diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 490 nm. Intensitas warna merah yang semakin tinggi
menunjukkan semakin banyak peroksida yang terbentuk.
c. Pengujian dengan asam tiobarbiturat (TBA).
Pengujian ini berdasarkan adanya malonaldehid yang terbentuk dari asam
lemak bebas tidak jenuh dengan paling sedikit mempunyai 3 ikatan rangkap
dua. Malonaldehid selanjutnya bereaksi dengan asam tiobarbiturat
membentuk produk kromogen yang berwarna merah yang dapat diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm.
d. Pengujian dengan sistem β-karoten-linoleat.
Pengamatan kecepatan terjadinya pemucatan warna β-karoten.
e. Metode bilangan peroksida
f. Metode bilangan para-anisidin
g. Metode bilangan oktanoat
12. Senyawa flavonoid
Flavonoid merupakan suatu senyawa polifenol turunan dari inti aromatik
flavan atau 2-fenilbenzopiran. Semua varian flavonoid saling berikatan karena
alur biosintesis yang sama, yang memasukkan prazat dari alur sikimat dan alur
asetat-malonat. Flavonoid biasanya terdapat pada permukaan atau pada sel
epidermis daun hijau. Kemungkinan senyawa ini berfungsi untuk melindungi
daun dari efek radiasi sinar ultraviolet dan dapat menekan fotoperoksidasi lipid
oleh penangkap anion superoksida yang dihasilkan selama proses peroksidasi
29
dalam kloroplas. Dengan demikian, senyawa tersebut diharapkan dapat
berfungsi sebagai pelindung dari radiasi sinar ultraviolet pada kulit manusia atau
sebagai antioksidan alami (Harborne, 1987). Mengkonsumsi flavonoid secara
teratur dapat meningkatkan usia harapan hidup karena flavonoid dapat
mereduksi inflamasi dan penyakit jantung koroner (Einbond dkk., 2004).
Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh sebagian besar flavonoid
disebabkan oleh adanya gugus hidroksi fenolik dalam struktur molekulnya.
Ketika senyawa-senyawa ini bereaksi dengan radikal bebas, mereka membentuk
radikal baru yang distabilisasi oleh efek resonansi inti aromatik. Dengan
demikian, fase propagasi yang meliputi reaksi radikal berantai dapat dihambat
(Cuvelier dkk., 1991).
Potensi flavonoid sebagai antioksidan sangat kuat, terutama karena
flavonoid dapat bekerja melalui bermacam mekanisme, antara lain menghambat
aktivitas enzim seperti ksantin oksidase, myeloperoksidase, lipooksigenase, dan
siklooksigenase. Flavonoid juga mampu mengkhelat ion logam, berinteraksi
dengan substrat antioksidan lain seperti askorbat, dan mampu menangkap
radikal bebas (Pokorny dkk., 2001). Flavonoid mampu menangkap (scavenge)
anion superoksida dan radikal hidroksi (Pedricilli dkk., 2001).
Gambar 6. Struktur kerangka flavonoid (Robinson, 1995).
B
A C
30
E. LANDASAN TEORI
Antibakteri dan antijamur merupakan suatu senyawa yang membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Saat ini pengobatan yang tersedia
untuk penyakit-penyakit infeksi tidak mampu membasmi penyakit, dapat
menimbulkan resistensi, dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya, bahkan
dapat menyebabkan kematian. Sejumlah penelitian mengungkapkan masalah
peningkatan resistensi antibiotik yang menjadi masalah serius di Indonesia dan juga
di berbagai negara di dunia (Anonim, 2010). Sejalan dengan hal tersebut, maka
pengembangan obat-obat baru sangat dibutuhkan untuk menggantikan obat-obat
yang telah menjadi tidak efektif (Pelczar & Chan, 1986).
Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat reaksi radikal
bebas.Secara umum, antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan sintetik dan
antioksidan alami. Antioksidan sintetik seperti BHA (tert-butylhydroxy anisole),
BHT (tert-butylhydroxy toluene), PG (propil galat), TBHQ (tert-butyl hydroquinone)
mempunyai efektifitas tinggi namun dapat meningkatkan terjadinya karsinogenesis
pada manusia (Amarowicz dkk.,2000) dan kerusakan hati (Osawa & Namiki., 1981).
BHA dan BHT yang sering ditambahkan pada makanan juga dapat menginduksi
kerusakan deoxyribonucleic acid (DNA) (Wangensteen dkk., 2004).
Antioksidan yang berasal dari tanaman telah lama dikenal potensinya untuk
menstabilkan senyawa radikal (Kim dkk., 2002). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa buah-buahan, sayuran dan biji-bijian merupakan sumber antioksidan yang
baik dan bisa meredam reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh, yang pada
akhirnya dapat menekan proses penuaan dini (Sibuea, 2003). Sejumlah senyawa
31
fenolik terutama flavonoid dan asam fenolik merupakan senyawa antioksidan yang
terdapat dalam buah-buahan dan sayuran (Madhujith & Shahidi, 2005).
Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas darat dan laut terbesar di
dunia yang menyimpan banyak potensi tumbuhan dan hewan yang mengandung
senyawa antibakteri, antijamur dan penangkap radikal. Tumbuhan di kawasan pantai
sangat beragam dan melimpah di Indonesia, tetapi sampai saat ini masih sedikit
tumbuhan dari kawasan pantai yang digunakan sebagai obat, baik untuk pengobatan
tradisional maupun penelitian untuk pengembangan dan penemuan obat baru.
Untuk itu uji aktivitas antibakteri, antijamur dan penangkapan radikal
berbagai tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta
perlu dilakukan untuk mengeksplorasi kekayaan alam yang berpotensi sebagai
senyawa bioaktif.
F. HIPOTESIS
1. Aktivitas antibakteri, antijamur dan penangkapan radikal berbagai tumbuhan
koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta.
2. Jenis tumbuhan yang mempunyai aktivitas antibakteri, antijamur dan
penangkapan radikal tertinggi.
3. Kadar flavonoid total dalam tumbuhan yang mempunyai aktivitas penangkapan
radikal tertinggi.
32
BAB II
CARA PENELITIAN
A. Alat dan Bahan yang Digunakan
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Herba berbagai
tumbuhan koleksi dari kawasan Pantai Baru Kabupaten Bantul Yogyakarta,
DPPH (2,2’-difenil-1-pikrilhidrazil), vitamin C, kuersetin, akuades, natrium
nitrit, aluminium klorida, natrium hidroksida, diklorometan, metanol, etanol
(kualitas p.a. E. Merck), kloramfenikol, media NA, media NB, DMSO 0,2 %, air
salin 0,9 %, etanol 70 % (teknis), spiritus, kapas, aluminum foil, bakteri dan
jamur uji Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Candida albicans.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Vacuum rotary
evaporator (IkaR RV 10, Germany), blender, penyaring Buchner, neraca elektrik
(Mettler toledo, Switzerland), spektrofotometer UV-Vis (Optima SP-3000nano,
Japan), oven (Hotbox oven size two), blue tip, yellow tip, white tip, autoklaf,
inkubator, LAF (Laminair Air Flow), vortex, mikropipet (SocorexR, Swiss),
cawan petri, ose, bunsen dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di
Laboratorium Kimia Analisis dan Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM.