BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

16
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dunia usaha dewasa ini tidak bisa dipisahkan dari lingkungan eksternalnya, baik lingkungan di mana perusahaan berdiri maupun lingkungan konsumen produknya. Atas peran dari lingkungan tersebut tentunya perusahaan mempunyai beban etika sosial dalam menjalankan bisnisnya. Karenanya, tidak heran jika pada kurun waktu terakhir hal tersebut menjadi sorotan kalangan akademisi, praktisi, regulator bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 1 Dari beban etika sosial suatu perusahaan tersebut, maka menyeruaklah konsep tanggung jawab sosial perusahaan. Dilihat dari asal katanya, tanggung jawab sosial perusahaan berasal dari literatur etika bisnis di Amerika Serikat dikenal sebagai corporate social responsbility atau social responsbility of corporations. Kata corporation atau perusahaan telah dipakai dalam bahasa Indonesia yang diartikan sebagai perusahaan, khususnya perusahaan besar. Dilihat dari asal katanya, “perusahaan” berasal dari kata Latin yaitu “corpus/corpora” yang berarti 1 Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Coorporate Social Responsbility Prinsip, Pengaturan & Implemetasi, 2008, h. XV

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan dunia usaha dewasa ini tidak bisa

dipisahkan dari lingkungan eksternalnya, baik lingkungan

di mana perusahaan berdiri maupun lingkungan konsumen

produknya. Atas peran dari lingkungan tersebut tentunya

perusahaan mempunyai beban etika sosial dalam

menjalankan bisnisnya. Karenanya, tidak heran jika pada

kurun waktu terakhir hal tersebut menjadi sorotan kalangan

akademisi, praktisi, regulator bahkan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM).1

Dari beban etika sosial suatu perusahaan tersebut,

maka menyeruaklah konsep tanggung jawab sosial

perusahaan. Dilihat dari asal katanya, tanggung jawab

sosial perusahaan berasal dari literatur etika bisnis di

Amerika Serikat dikenal sebagai corporate social

responsbility atau social responsbility of corporations. Kata

corporation atau perusahaan telah dipakai dalam bahasa

Indonesia yang diartikan sebagai perusahaan, khususnya

perusahaan besar. Dilihat dari asal katanya, “perusahaan”

berasal dari kata Latin yaitu “corpus/corpora” yang berarti

1 Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Coorporate Social Responsbility

Prinsip, Pengaturan & Implemetasi, 2008, h. XV

2

badan. Dalam sejarah perusahaan dijelaskan bahwa

perusahaan itu merupakan suatu badan hukum yang

didirikan untuk melayani kepentingan umum (non profit),

namun dalam perkembangannya justru menumpuk

keuntungan (for profit).2

Salah satu perdebatan yang muncul berkaitan dengan

CSR adalah antara sifat sukarela atau wajib. Apakah CSR

itu bersifat sukarela atau wajib. Permasalahan ini kemudian

bisa diperluas apakah pelaksanaan tanggung jawab sosial

dapat dilaksanakan secara sukarela atau tidak? Perusahaan

cenderung bersetuju CSR dapat dilaksanakan secara

sukarela. Namun demikian, Jalal, Pamadi Wibowo dan

Sonny Sukada dkk (dalam Regulasi CSR dalam Hasil

Sinkronisasi dengan UU Perseroan Terbatas,

(http//:www.csrindonesia.com/data/artikel/2007071711054

1-a.pdf) berpendapat lain. Tampaknya menyatakan

kewajiban itu bersifat sukarela adalah contradictio in

terminis, yang benar adalah kewajiban harus dilasanakan.

Ini berarti CSR merupakan kewajiban yang mengingat bagi

perusahaan untuk melaksanakannya.3

Namun demikian, dari sisi lain makna kesukarelaan

dapat dilihat dari perspektif yang lain, yang dimaksud

dengan kesukarelaan adalah etika perusahaan menjalankan

2 Ibid, h. XVI

3 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Telaah Yuridis terhadap

Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, 2011. h.

111-112.

3

CSR tidak perlu dengan regulasi atau bersifat beyond

regulation. Jadi apa yang sudah diatur oleh pemerintah

harus dipatuhi dulu sepenuhnya, kemudian perusahaan

menambahkan lagi hal-hal positif yang tidak diatur.

Semakin banyak hal positif yang dilakukan perusahaan,

padahal tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja

CSR perusahaan dianggap semakin tinggi.4

Dari uraian di atas maka prinsip pemberlakuan CSR

masih bersifat normatif atau hanya sebagai pemenuhan

kewajiban atas aturan yang ada, dan belum muncul dari

kesadaran pihak perusahaan bahwa CSR merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari perusahaan itu sendiri. Undang-

undang yang ada belum secara detail memberikan petunjuk

agar pelaksanaan CSR memenuhi unsur keadilan

sebagaimana yang diinginkan oleh sila kelima Pancasila;

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berbagai organisasi internasional diantaranya Global

Reporting Initiative (GRI), Organization for economic

Cooperation Development (OECR), dan juga Caux

Roundtables sangat memperhatikan bagaimana

implementasi CSR pada berbagai negara. Namun organisasi

tersebut tidak memiliki acuan yang jelas dalam melakukan

pemantauan. Dan begitu juga di Indonesia, di mana sampai

saat ini belum memiliki acuan tentang pelaksanaan CSR.

Tidak heran jika ada beberapa perusahaan berada dalam

situasi bingung, bagaimana mereka harus

4 Ibid. h. 115

4

mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya.

Sehingga yang terjadi adalah ada yang melaksanakan CSR

sesuai dengan pemahaman dan visinya terhadap CSR

tersebut, dan sebagian lagi tidak melaksanakan, kalau pun

melaksanakan hanya sebatas “lip service”, bahkan ada yang

mengintegrasikan CSR ke dalam manajemen dan budaya

perusahaan serta menuangkannya dalam bentuk code of

conduct.5

Sejak lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun

1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan (UU

Pertambangan) pada zaman Orde Baru, telah menimbulkan

polemik karena didasarkan atas kebijakan politik ekonomi

pintu terbuka (open door police). Hal ini terlihat dari

banyaknya investor asing yang berminat untuk melakukan

investasi dalam bentuk Kontrak Karya (KK). Sedangkan

bagi pemerintah, sektor ini perlahan tapi pasti menjadi

sektor yang menarik karena telah berkontribusi secara

signifikan terhadap penerimaan negara. “Pandangan” yang

menyatakan bahwa sektor ini belum memberikan

keuntungan bagi semua stakeholders, tetapi justru

menimbulkan kemiskinan dan pelanggaran hak asasi

manusia (HAM).6

5 Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Coorporate Social Responsbility

Prinsip, Pengaturan & Implemetasi, 2008, h. 141. 6 Busra Azheri, Corporate Social Responsbility dari Voluntary

menjadi Mandatory, Penerbit Setara press, Malang, 2011, h. 227.

5

Dengan demikian, penulis memandang jika peristiwa

di atas hampir mirip dengan yang terjadi pada iklim

investasi sekarang ini. UU yang secara khusus mampu

mengatur CSR dan menjembatani asas keadilan dengan

lingkungan belum terwujud, sebagaimana sila kelima

Pancasila. Jika hal ini dibiarkan, dalam arti adanya suatu

perusahaan dinilai tidak berlaku adil terhadap lingkunganya

maka tidak mustahil lingkungan perusahaan menjadi tidak

kondusif. Maka di perlukan UU yang secara khusus

mengatur CSR berikut penjelasannya agar pelaku usaha

mampu menjalankan amanat UU dan masyarakat juga bisa

menempatkan diri pada posisinya.

Sitem ekonomi yang dicitakan dalam Pancasila

adalah sistem yang mengedepankan rasa kekeluargaan dan

gotong-royong. Banyak pakar yang berusaha merumuskan

sistem ekonomi Indonesia yang berasal dari Pancasila,

sebagai suatu sistem tersendiri di antara sistem ekonomi

yang berkembang di seluruh dunia. Sukarno dan Hatta

adalah tokoh pendiri bangsa yang pertama kali

mencetuskan ide sistem ekonomi rakyat. Emil Salim dan

Mubyarto menyebutnya sistem ekonomi Pancasila.7

Sedangkan beberapa pakar yang lain menyebutnya sistem

7 Hayono Isman, Mahakarya Rakyat Indonesia Renungan Kritis

Pancasila Sebagai Pilar Bangsa, LkiS, Yogyakarta, 2013, h. 106.

6

ekonomi kerakyatan, dan Hayono Isman menyebutnya

ekonomi gotong-royong.

Apabila suatu perusahaan menganggap lingkungan

usahanya bukanlah menjadi bagian dari perusahaan dan

menganggap hanya pihak lain yang tidak memiliki peran

terhadap keberlangsungan perusahaan maka ini jelas tidak

sejalan dengan nafas pancasila.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka

rumusan masalahnya adalah:

1. Prinsip keadilan apakah yang membangun konsep

CSR?

2. Apakah CSR merupakan implementasi Pancasila sila

kelima?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis prinsip keadilan yang

membangun konsep CSR.

2. Mengetahui dan menganalisis prinsip keadilan CSR

dengan keadilan sila kelima Pancasila.

7

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan kepada pengelola usaha atau perusahaan untuk

penerapan CSR, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas

(“UUPT serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012

tentang Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan

Terbatas (“PP Nomor 47/2012”) guna mewujudkan

pembangunan ekonomi yang berkelanjutan guna

meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang

bermanfaat bagi perseroan itu sendiri, komunitas setempat,

dan masyarakat umumnya.

Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan poin-

poin bermanfaat yaitu:

1. Memberikan gambaran manfaat CSR terkait prinsip

keadilan terhadap lingkungan.

2. Menggali prinsip keadilan menurut sila kelima

Pancasila

3. Mendapati benang merah aturan CSR yang sesuai

dengan prinsip keadilan menurut sila kelima

Pancasila.

8

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum yang

dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau

doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian tipe ini

lazim disebut studi dogmatik (doctrinal research).8

2. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah pendekatan konseptual dan pendekatan

perundang-undangan.

3. Bahan Hukum

Adapun bahan hukum dalam penelitian ini

adalah:

a. Bahan hukum primer, meliputi:

1) Norma dasar Pancasila sila kelima

2) Peraturan dasar batang tubuh UUD 1945

Pasal 33, ketetapan-ketetapan MPR

3) Peraturan perundang-undangan (Undang-

Undang No. 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang

No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal, Undang-Undang No. 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas,

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

8 Suratman, dan Philips Dillah, Metode Peneliatian Hukum, Penerbit

Alfabeta, Bandung, 2014, h. 58

9

tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2001 tentang

Penanganan Fakir Miskin, Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang

Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN))

4) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) Per-05/MBU/2007

tentang Program Kemitraan Bina

Lingkungan (PKBL), PP No. 47 Tahun

2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan, Peraturan Menteri Sosial No.

13 Tahun 2012 tentang Forum Tanggung

Jawab Dunia Usaha dalam

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan

yang erat hubungannya dengan bahan hukum

primer, dan dapat membantu mengalisis dan

memahami bahan hukum primer, meliputi:

1) Jurnal hukum BUMN yang membahas

tentang CSR

2) Jurnal MK yang membahas tentang CSR

3) Jurnal Bisnis yang membahas tentang

CSR

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang

memberikan informasi tentang bahan hukum

10

primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus

hukum ekonomi.

4. Analisis Bahan Hukum

Analisis penelitian terhadap bahan hukum ini

menggunakan cara analisis kualitatif, yakni

mengadakan analisis dengan mendeskripsikan atau

menjelaskan peraturan-peraturan yang terkait dengan

prinsip keadilan Corporate Social Responsibility

(CSR) sesuai dengan prinsip keadilan sila kelima

Pancasila, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

F. Kerangka Teori

Grand teori keadilan adalah yang terdapat dalam

keadilan sosial. Keadilan sering diartikan sebagai ssuatu

sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang

melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah

keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat

orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah

ketidakadilan. Pembentukan sikap dan karakter berasal dari

pengamatan terhadap obyek tertentu yang bersisi ganda.

Hal ini bisa berlaku dua dalil, yaitu;

1. jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk

juga diketahui;

2. kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada

dalam kondisi “baik”

11

Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan

dengan jernih, diperlukan pengetahuan yang jernih tentang

salah satu sisinya untuk menentukan secara jernih pula sisi

yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang lain juga

ambigu.

Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan

nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya

mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga

kebahagian orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai

tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang

lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai. Keadilan

dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki

esensi yang berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan

orang lain adalah keadilan, namun sebagai suatu sikap

khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam

hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai

ciri utama tindakan yang tidak fair.

Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki

makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa

bertentangan dedengan hukum sebagai salah satu tata nilai

sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu

kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan

keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan.

Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan

kejahatan dapat menimbulkan ketidakadilan.

Hal tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum.

Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan

12

sesuai dengan hukum, yang masing-masing bukanlah hal

yang sama. Tidak fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak

semua tindakan melanggar hukum adalah tidak fair.

Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan

terhadap hukum.

Di antara bentuk-bentuk esensial dari situasi ini

adalah bahwa tak seorang pun tahu tempatnya, posisi atau

status sosialnya dalam masyarakat, tidak ada pula tahu

kekayaannya, kecerdasnnya, kekuatannya, dan semacamnya

dalam distribusi aset serta kekuatan alam. Rawls

mengasumsikan bahwa pihak-pihak dalam posisi asali tidak

mengetahui konsepsi mereka tentang kebaikan atau

kecenderungan psikologis mereka. Prinsip-prinsip keadilan

dipilih dalam keadaan tanpa pengetahuan, hal ini

memastikan bahwa tak seorangpun diuntungkan atau

dirugikan dalam pilihan prinsip-prinsipdengan hasil

peluang natural atau kontingensi situasi sosial. Karena

semuanya sama-sama disituasikan dan tak seorangpun

mampu merancang prinsip-prinsip yang mendukung

kondisi khususnya, prinsip keadilan adalah hasil dari

persetujuan dan tawar menawar yang fair. Ditempatkannya

“keadilan sosial” pada urutan kelima dari lima sila

Pancasila memberi isyarat bahwa keadilan sosial

merupakan misi besar9 sekaligus tujuan akhir bernegara,

9 Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan

Aktualitas Pancasila, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, h. 534.

13

yaitu mewujudkan suatu kesejahteraan rakyat dengan

melalui keadilan.10

Di mana, sila-sila sebelumnya

bertujuan untuk mewujudkan apa yang dinyatakan pada sila

kelima. Dalam arti, sila kelima merupakan suatu tujuan

bagi empat sila lainnya. 11

Middle range teori keadilan adalah keadilan menurut

beberapa ahli antara lain (1) Notonegeoro, keadilan yaitu

suatu kebijakan dikatakan adil jika sesuai dengan hukum

yang berlaku di suatu negara. (2) Aristoteles, yaitu keadilan

komutatif, distributif, kodrat alam, konvensional, dan

keadilan perbaikan. (3) Plato, yaitu keadilan moral,

prosedural, dan tindakan. (4) Panitia Ad-hoc MPRS 1966,

yaitu keadilan individu dan sosial. (5) John Rawls,

mendefinisikan keadilan sebagai fairness, dengan kata lain

prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat

merupakan tujuan dan kesepakatan.

Applied theory keadilan adalah mengumpulkan

sumber bahan (Corporate Social Responsibility/ CSR,

Keadilan, dan Keadilan Sila Kelima Pancasila),

menganalisis, dan menyimpulkan sumber bahan.

10

Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis,

Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2013,

h. 381

11

Ibid, h. 398

14

Keadilan Sila Kelima Pancasila

Sila Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia; mengajak masyarakat aktif dalam memberikan

sumbangan yang wajar sesuai dengan kemampuan dan

kedudukan masing-masing kepada negara demi

terwujudnya kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir

dan batin selengkap mungkin bagi seluruh rakyat. Manusia

Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk

menciptakan keadilan sosial dalam kehidupoan masyarakat

Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatan luhur

yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan

kegotongroyongan. Untuk itu dikembangkan sikap adil

terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan

kewajiban, serta menghormati hak-hak orang lain.

Tanggung Jawab Pelaku Ekonomi

Menurut Tim OECD 2004 yang dibentuk oleh Badan

Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, terdapat

dua teori (stewardship theory dan agency theory) yang

dapat digunakan untuk menjelaskan konsep corporate

gover-nance.

Stewardship theory yang memandang manajemen

sebagai pihak yang dipercaya untuk bertindak sebaik-

baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun

para pemegang saham (shareholders) pada khususnya. 12

15

sedangkan agency theory beranggapan bahwa pengelolaan

perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk

memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh

kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang

berlaku. 13

Corporate Social Responsibility

CSR tumbuh dan berkembang dalam dialog pada

alam praktis dan dunia teoritik, dialog inilah yang sejatinya

menjadikan diskursus CSR mengalami perkembangan yang

sangat pesat. Terdapat sejumlah teori yang menjadi

pumpunan dan digunakan dan dapat digunakan untuk

menjelaskan mengapa suatu perusahaan perlu melakukan

CSR. Beberapa pemikiran teoritik yang penting adalah:

Teori stakeholders (pemangku kepentingan)

berkembang secara bertahap sejak tahun 1970. Freeman

(1984) mengusulkan teori yang memasukkan akuntabilitas

terhadap berbagai pemangku kepentingan sehingga

perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilik

modal (shareholder), melainkan kepada seluruh pemangku

kepentingan (stakeholders), internal maupun eksternal.

Perusahaan tidak dapat melepaskan diri dengan lingkungan

sosial sekitar.

12

Ismail Sholihin, CSR from Charity to Sustainable, 2008, h. 119 13

Ibid, h. 119,

16

Teori Corporate citizenship dikembangkan oleh

Garriga dan Mele (2004). Teori ini menekankan bahwa

perusahaan, layaknya warga negara, memiliki hak dan

kewajiban. Dengan demikian ketika perusahaan

menjalankan aktivitasnya dalam rangka

mempertimbangkan kewajibannya untuk memperhatikan

komunitas dan lingkungan.

Teori akuntabilitas korporasi mengemukakan bahwa

CSR tidak hanya sekedar aktivitas kedermawanan (charity)

atau aktivitas saling mengasihi (stewarship) yang bersifat

sukarela karena konsekuensi logis dari adanya hak yang

diberikan kepada perusahaan untuk hidup dan berkembang

pada suatu area lingkungan tertentu (Dellaportas dkk,

2005).

Teori kontrak sosial menegaskan keberadaan

perusahaan dan masyarakat saling mempengaruhi maka

agar terjadi keseimbangan (equality), maka perlu kontrak

sosial (social contract) baik secara ekplisit maupun

implicit, maka diperlukan kesepakatan-kesepakatan yang

saling melindungi kepentingannya. Di sini perusahaan

memiliki kewajiban kepada masyarakat untuk memberi

kemenfaatan bagi masyarakat setempat. Interaksi

perusahaan dengan masyarakat akan senantiasa berusaha

untuk memenuhi dan mematuhi aturan norma-norma yang

berlaku di masyarakat sehingga perusahaan dapat

dipandang legitimate (Deegan, 2000).