BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
The Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency
Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu ancaman serius dunia. HIV/AIDS
adalah salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia
(WHO, 2011). Keberhasilan memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya
merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di suatu negara
sebagaimana yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs). Ini
juga menjadi target dan perhatian khusus pemerintah Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka penambahan kasus
HIV/AIDS tercepat di Asia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL)
Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada
tahun 2011 dan 2013 mengalami peningkatan. Penemuan kasus baru HIV
meningkat dari 21.511 orang pada tahun 2012 menjadi 29.037 pada tahun 2013.
Secara kumulatif jumlah penemuan kasus HIV/AIDS mulai 1 April 1987 hingga
31 Maret 2014 adalah 134.042 kasus HIV, 54.231 kasus AIDS dan 9.615
kematian yang disebabkan oleh virus ini. Jawa Tengah menempati urutan ke 8
dari 33 propinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif penemuan kasus
HIV/AIDS terbanyak yaitu 7.584 kasus HIV dan 3.339 kasus AIDS (Kemenkes
RI, 2014). Pada data yang disampaikan Ditjen PP&PL Kemenkes RI tersebut juga
1
2
menyebutkan bahwa tingkat prevalensi kasus AIDS di propinsi Jawa Tengah
sendiri menempati urutan ke 19 terbanyak dari 33 propinsi di Indonesia yaitu
10,31 per 10.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014).
Pada bulan Agustus 2014, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS)
menyelenggarakan asistensi program penanggulangan HIV/AIDS kabupaten
Blora. Berdasarkan penuturan langsung Lilik Hernanto, Kepala Bidang
Pencegahan Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
(P2PLP) Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, KPA menyampaikan bahwa jumlah
kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan di Jawa Tengah mulai Tahun 1993
sampai dengan Juni 2014 sebagaimana dilihat dalam gambar 1 di bawah ini.
Sumber : Presentasi KPA Provinsi Jawa Tengah yang disampaikan pada kegiatan
Asistensi Program Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Blora Tahun 2014.
Gambar 1. Peta HIV/AIDS di Jawa Tengah Sejak Tahun 1993 hingga Juni 2014
3
Blora merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jawa Tengah yang
memiliki angka penemuan kasus HIV/AIDS yang cukup fluktuatif walaupun tidak
termasuk ke dalam daerah rawan HIV/AIDS. Pada tahun 2012 di kabupaten Blora
ditemukan 20 kasus HIV baru dan 8 kasus AIDS baru, sedangkan pada tahun
2013 ditemukan 18 kasus HIV baru dan 12 kasus AIDS baru (Badan Pusat
Statistik, 2014). Dinas Kesehatan Kabupaten Blora sebagai instansi pemerintah
yang memberikan pelayanan kesehatan telah bekerja sama dengan Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) mendirikan Klinik Voluntary Counselling and Testing
(VCT) dan Care, Support and Treatment (CST) di RSUD dr. R. Soetijono Blora
dan di RSUD dr. R. Soeprapto Cepu dalam upaya mendukung tercapainya
MDG’s. Klinik VCT di RSUD dr. R. Soetijono Blora sendiri mulai membuka
pelayanan Januari 2011 dan hingga saat ini menyediakan layanan VCT (konseling
dan tes HIV sukarela) dan CST (pelayanan, dukungan dan perawatan) termasuk
penyediaan obat.
Dr. Windi Indah Habsari, dokter penanggungjawab klinik VCT dan CST
RSUD dr. R. Soetijono Blora melalui wawancara langsung menyatakan bahwa
ketika seorang dokter menyampaikan hasil diagnosis kepada seseorang yang
mengidap penyakit HIV tidak semudah ketika menyampaikan diagnosis hepatitis
walaupun secara penularannya justru lebih mudah pada penyakit hepatitis.
Penyakit HIV/AIDS menimbulkan beberapa permasalahan yang cukup serius bagi
penderitanya. HIV menyebakan beberapa kerusakan sistem imun dan
menghancurkannya. Perjalanan penyakit HIV yang terbagi dalam empat stadium
secara fisik menimbulkan kerentanan terhadap beberapa penyakit seperti
4
munculnya penyakit TBC, infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan
oleh jamur, pembengkakan kelenjar getah bening, muncul herpez zoster berulang
dan bercak gatal di seluruh tubuh (Nursalam & Ninuk, 2007). Pada akhirnya
penderita HIV/AIDS akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas
sehari–hari bahkan mereka tidak mampu lagi untuk bekerja. Ketidakmampuan
mereka untuk bekerja mengindikasikan bahwa mereka mengalami penurunan
kualitas hidup (Diatmi & Fridari, 2014).
Selain permasalahan fisik di atas, penyakit HIV/AIDS juga berdampak
terhadap kondisi psikologis penderita. AIDS oleh masyarakat umum dianggap
suatu penyakit yang cukup menakutkan dan merupakan isyarat atau vonis bahwa
penderita telah dipastikan akibatnya akan meninggal (Riyanto, 2006). dr. Windi
lebih lanjut menyampaikan bahwa stigma negatif yang berkembang di
masayarakat Blora yang menganggap penyakit HIV sangat erat kaitannya dengan
homoseksualitas, biseksual, pelacuran dan penggunaan narkoba dengan jarum
suntik menyebabkan penderita menjadi malu jika orang lain mengetahui
penyakitnya. Selain itu, masyarakat menjadi takut tertular sehingga menghindar
sejauh mungkin melakukan kontak dengan penderita yang menyebabkan penderita
merasa terasing bahkan dengan keluarganya sendiri. Reaksi pertama yang
diperlihatkan oleh sebagian besar pasien yang baru mengetahui penyakitnya
adalah menangis, mempertanyakan kesalahan apa yang telah diperbuat hingga ia
harus menerima kenyataan ini, menyalahkan pasangannya jika yang menjadi
penyebab penularannya melalui pasangan, merasa tidak berguna, dan muncul
ketakutan akan datangnya kematian. Beberapa hari kemudian mulai
5
menampakkan perilaku depresi seperti mengurung diri di kamar, tidak mau makan
sehingga berat badan turun.
Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Pardita (2014) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa ada perbedaan kondisi psikologis seseorang,
sebelum dan sesudah terkena HIV/AIDS yang meliputi tingkat stress, tingkat
frustrasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, dan rasa berduka.
Reaksi psikologis dirasakan secara signifikan oleh responden setelah terkena
penyakit HIV/AIDS. Selain itu, masalah yang dialami ODHA baik secara fisik
maupun psikologis muncul stress, penurunan berat badan, kecemasan, gangguan
kulit, frustrasi, bingung, kehilangan ingatan, penurunan gairah kerja, perasaan
takut, perasaan bersalah, penolakan, depresi bahkan kecenderungan bunuh diri
(Wahyu, Taufik & Asmidirllyas, 2012). Depresi merupakan suatu penyakit yang
berkaitan dengan tubuh, perasaan dan pikiran, dimana efek yang ditimbulkan
mempengaruhi pola makan, tidur, mood dan pikiran seseorang (Shiel & Stooppler,
2008).
Depresi merupakan gangguan mental terbesar yang sering terjadi pada
pasien dengan penyakit terminal atau kronik. Prevalensi munculnya gangguan
depresi yang disebabkan oleh penyakit HIV mencapai 22% hingga 45% (Mello,
Sequrado & Malbergier, 2010) bahkan dapat mencapai 20% hingga 79%
tergantung dengan populasi, masa penelitian dan alat yang digunakan untuk
mengukur tingkat depresi (Dal-Bo, Manoel, Filho, da Silva, Cardoso, Cortez,
2013). Dalam pertemuan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Cahaya Mustika
pada tanggal 1 April 2015 di Klinik VCT-CST RSUD dr. R. Soetijono Blora,
6
yang dihadiri oleh delapan belas penderita HIV/AIDS yang berdomisili di
kabupaten Blora, bahwa sebagian dari mereka menunjukkan gejala depresi seperti
merasa sedih, malu, berkecil hati dalam menghadapi masa depan, takut akan
kematian, sering menangis jika sedang sendiri, merasa kecewa pada diri sendiri
maupun pasangannya, merasa bersalah hingga pantas untuk dihukum, mudah
marah, merasa tidak puas terhadap apa saja yang ada, merasa tidak berharga.
Kondisi psikologis tersebut sangat berpengaruh pada kesiapan pasien menjalani
pengobatan lebih lanjut.
Suhariatini, S.ST perawat klinik VCT-CST RSUD dr. R. Soetijono Blora
melalui wawancara langsung menyampaikan bahwa tidak semua pasien yang
datang dan telah diberikan konsultasi seputar HIV/AIDS bersedia melakukan tes
HIV meskipun mereka memiliki faktor resiko. Salah satu pasien adalah seorang
ibu rumah tangga. Suaminya penderita AIDS dan telah meninggal dunia. Ia
menolak melakukan tes HIV karena secara mental belum siap menerima diagnosis
dokter, cenderung menolak kenyataan, selain itu ia merasa takut jika orang lain
atau anggota keluarganya mengetahui penyakitnya. Petugas tidak dapat memaksa
pasien walaupun disisi lain hal ini mungkin akan membahayakan dirinya sendiri
karena tidak segera mendapatkan penanganan, serta kemungkinan menularkan
kepada orang lain jika hasil tesnya positif.
Salah satu upaya agar penderita HIV/AIDS dapat menerima bahwa dirinya
terinfensi HIV dan siap menjalani pengobatan ARV sedini mungkin adalah
dengan mengurangi dampak psikologis yang dialami penderita akibat penyakit ini
termasuk munculnya gangguan depresi. Konsultasi dengan dokter, pengobatan
7
dan terapi dapat mengurangi dampak psikologis akibat penyakit ini. Penderita
HIV/AIDS yang mendapatkan dukungan dari kelompok terbukti tidak mengalami
depresi (Ndu, Arinze-Onyia, Aguwa & Obi, 2011). Dukungan emosi yang
diberikan kepada penderita HIV/AIDS terbukti berpengaruh pada tingkat
depresinya (Mello, dkk, 2010). Dukungan keluarga, teman dan masyarakat
lainnya juga diharapkan dapat meringankan beban psikologis yang dirasakan
penderita HIV/AIDS (Pardita, 2014). Sebuah studi yang dilakukan oleh
Machtinger, Lavin, Hilliard, Jones, Haberer & Capito (2014) menyebutkan bahwa
terapi kelompok ekspresif merupakan salah satu terapi yang memiliki dampak
meningkatkan dukungan sosial bagi wanita penderita HIV. Hasil penelitian
tersebut menyatakan bahwa terapi kelompok ekspresif dapat meningkatkan
kepercayaan diri dan kemampuan wanita penderita HIV dalam mengemukakan
pengalaman hidupnya. Dampak positif utama yang dihasilkan dari terapi ini
adalah terbangunnya persaudaraan, penerimaan diri, hubungan sosial yang lebih
aman dan sehat, dan saling mendengarkan (Machtinger, etal, 2014).
Supportive expressive group therapy atau terapi kelompok suportif
ekspresif adalah salah satu terapi psikologis yang dapat dilakukan untuk
mengurangi tingkat depresi. Seringkali dukungan terbaik disediakan oleh orang
lain yang mengalami kondisi yang sama (Halgin & Whitbourne, 2010). Dengan
menciptakan lingkungan dimana pasien cenderung merasa lebih aman, teknik
dukungan dapat memungkinkan pasien untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan yang sebelumnya dinyatakan terlalu sulit untuk didiskusikan (Barber,
Stratt, Halperin & Connolly, 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
8
terapi kelompok suportif ekspresif efektif untuk mengurangi gangguan mood dan
simptom trauma/stress pada wanita penderita kanker payudara metastase (Classen,
Butler, Koopman, Miller, Di Miceli, David, 2001), efektif mengurangi gangguan
depresi kronis pada pasien dengan karakteristik introvert (Mark, Barber, Christph,
2003), efektif menangani gangguan kepribadian (Vinnars, Barber, Noren, Gallop,
Weinryb, 2005). Terapi suportif ekspresif juga terbukti efektif menurunkan
tingkat kecanduan ganja sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh
Grenyer, Luborsky & Solowij (1995). Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai
pengaruh terapi kelompok suportif ekspresif pernah dilakukan dan secara
signifikan berpengaruh terhadap menurunnya tingkat depresi dan meningkatnya
kemampuan mengatasi depresi pada pasien kanker (Yunitri, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebaran penyakit
HIV/AIDS dewasa ini sangat mengkhawatirkan sehingga menjadi salah satu
prioritas setiap negara untuk mendapat penanganan secara serius. Penyakit
HIV/AIDS sendiri menimbulkan permasalahan yang cukup serius bagi
penderitanya, mulai dari masalah fisik yaitu menurunnya sistem kekebalan tubuh
hingga masalah psikologis seperti munculnya depresi. Hal ini mempengaruhi
kesiapan penderita untuk menjalani pengobatan ARV yang menurut penelitian
terkini harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan intervensi psikologis yang
cukup serius untuk mengatasi depresi yang dialami pasien salah satunya dengan
terapi kelompok suportif ekspresif.
9
Terapi kelompok suportif ekspresif ini memberikan dukungan kelompok
berupa pengetahuan melalui tukar pengalaman, nasihat dari anggota kelompok,
dukungan emosional yang diberikan oleh orang–orang yang berada dalam kondisi
dan memiliki permasalahan yang sama, memberikan kesempatan penderita untuk
mengekspresikan pengalaman dan berbagi kisah yang berkaitan dengan
penyakitnya yang dapat mengubah hidup mereka. Melalui terapi kelompok
suportif ekspresif, penderita biasanya merasakan kelegaan dan muncul harapan
positif karena menyadari bahwa ada orang lain yang mengalami permasalahan
yang sama. Hal ini kemudian memunculkan suatu pertanyaan apakah terapi
kelompok suportif ekspresif juga efektif dalam menurunkan depresi pada
penderita HIV/AIDS dengan karakteristik simptom depresi yang khas seperti
malu, muncul perasaan bersalah, perasaan dihukum, menarik diri, mudah marah,
dan khawatir pada kesehatan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melakukan serangkaian
proses penelitian untuk mengetahui lebih lanjut efektivitas terapi kelompok
suportif ekspresif sebagai salah satu terapi psikologi yang melibatkan kelompok
teman sebaya (sesama ODHA) dalam menurunkan tingkat depresi penderita
HIV/AIDS. Penelitian ini mengadaptasi Modul “Supportive-Expressive Group
Therapy For People With HIV Infection : A Premier” yang dikembangkan oleh
Maldonado, Duran, Diamon, Koopman, & Spiegel (1996).
10
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemberian
terapi kelompok suportif ekspresif terhadap penurunan tingkat depresi penderita
HIV/AIDS.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Mengembangkan ilmu psikologi khususnya Psikologi Klinis mengenai
intervensi psikologis kepada penderita HIV/AIDS dan memberikan referensi
untuk penelitian selanjutnya khususnya mengenai Terapi Kelompok Suportif
Ekspresif.
2. Manfaat praktis
a. Penderita depresi, dapat mengekspresikan emosi negatif yang
menyebabkan depresi sekaligus memberikan dukungan kepada teman
sebaya sehingga dapat mengatasi depresi yang dialami.
b. Layanan psikologi di Rumah Sakit, memberikan inovasi pelayanan terapi
psikologi dalam mengatasi depresi pada penderita HIV/AIDS di Klinik
VCT-CST Rumah Sakit secara kelompok dengan menggunakan media
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).
c. Kelompok teman sebaya, terjalin hubungan yang lebih akrab sehingga
terbentuk dinamika kelompok yang saling mendukung, menguatkan,
sebagai tempat katarsis bagi anggota kelompok yang sedang mengalami
suatu masalah sehingga tidak berkembang menjadi gangguan depresi.
11
D. Keaslian Penelitian
Depresi adalah salah satu gangguan mental yang banyak dialami penderita
penyakit terminal tak terkecuali orang dengan HIV/AIDS. Beberapa penelitian
dilakukan untuk mengetahui intervensi yang efektif dalam mengatasi depresi.
Cuijpers, van Straten & Andersson (2008) melakukan penelitian mengenai
psikoterapi untuk mengatasi depresi pada orang dewasa, menggunakan meta-
analysis dengan membandingkan tujuh intervensi psikologi yaitu cognitive
behavioral therapy (CBT), nondirective supportive therapy (SUP), behavioral
activation therapy (BA), psychodynamic therapy (DYN), problem solving therapy
(PST), interpersonal psychotherapy (IPT) dan social skills training (SST). Setiap
intervensi telah diuji setidaknya melalui 5 percobaan secara acak. Tidak ada
indikasi bahwa treatmen yang ada lebih atau kurang efektif, kecuali interpersonal
psychotherapy yang menunjukkan lebih efektif dan nondirective supportive
therapy menunjukkan kurang efektif jika dibandingkan dengan intervensi lain
(Cuijpers, van Straten & Andersson, 2008).
Maharani (2010) meneliti pengaruh konseling dengan pendekatan
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk mengurangi depresi pada ODHA.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan dua subjek, menggunakan
alat ukur BDI (Beck Depression Inventory). Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa konseling dengan pendekatan CBT memberikan perubahan pada subjek
penelitian dan dapat mengurangi depresi yang dialaminya (Maharani, 2010).
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendayagunakan Kelompok Dukungan
Sebaya yang beranggotakan seluruh pasien HIV/AIDS yang menjalani
12
pengobatan di Klinik, dimana berdasarkan data yang ada pasien memiliki tingkat
pendidikan rata-rata SMA ke bawah sehingga kurang sesuai dilakukan CBT yang
melibatkan fungsi kognisi dan cenderung dilakukan secara individual.
Alternatif terapi psikologis yang berbasis kelompok sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh Classen, dkk (2001). Ia meneliti tentang pengaruh
terapi kelompok suportif ekspresif terhadap stres pada pasien kanker payudara
metastase. Sampel yang digunakan sebanyak 125 orang yang terbagi secara
random dalam dua kelompok, yaitu 64 orang kelompok intervensi diberikan terapi
dan psikoedukasi, 61 orang kelompok kontrol diberikan psikoedukasi. Kelompok
intervensi dibagi dalam 3 kelompok dengan anggota kelompok 3 hingga 15 orang,
diberikan program terapi terapi kelompok suportif ekspresif setiap minggu selama
90 menit/pertemuan selama satu tahun. Terapi difasilitasi oleh 2 orang terapis,
pretest dilakukan sebelum pelaksanaan intervensi, sedangkan posttes dilakukan
setiap empat bulan sekali selama satu tahun. Intervensi yang dilakukan tidak
terstruktur, terapis memfasilitasi diskusi lima tema yaitu ketakutan akan kematian,
menata kembali prioritas hidup, meningkatkan dukungan dan komunikasi dengan
keluarga, mengintegrasikan perubahan gambaran diri, dan meningkatkan
komunikasi dengan dokter. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terapi suportif
ekspresif yang menyediakan dukungan dan membantu pasien menerima
penyakitnya dapat menurunkan tingkat stres pasien kanker payudara metastase
(Classen, dkk, 2001).
Ninik Yunitri (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian
intervensi terapi kelompok supportif ekspresif terhadap depresi dan kemampuan
13
mengatasi depresi pada pasien kanker. Penelitian ini melibatkan 101 pasien
kanker di RSPAD Gatot Subroto, RS Raden Said Sukanto POLRI dan Rumah
Singgah Kanker yang terbagi dalam kelompok intervensi sebanyak 49 orang dan
kelompok kontrol sebanyak 59 orang. Pengukuran depresi menggunakan
Hamilton Depression dan pengukuran kemampuan mengatasi depresi dengan
kuesioner. Terapi kelompok supportif ekspresif diberikan sebanyak delapan sesi
dalam enam kali pertemuan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terapi
kelompok supportif ekspresif efektif menurunkan tingkat depresi dan dapat
meningkatkan kemampuan mengatasi depresi pada pasien kanker.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa penelitian
mengenai intervensi depresi telah dilakukan salah satunya dengan pemberian
terapi kelompok suportif ekspresif sebagaimana yang dilakukan oleh Classen, dkk
(2001) dan Yunitri (2012). Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa
penelitian yang dilakukan sebelumnya menggunakan pasien kanker sebagai
subjek penelitian, sedangkan subjek penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS
dimana kedua subjek memiliki karakteristik simptom depresi yang berbeda. Selain
itu, pada penelitian Yunitri (2012) menggunakan setting pasien rawat inap di
Rumah Sakit sedangkan penelitian ini menggunakan setting pasien rawat jalan
yang tergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya Mustika dimana dinamika
kelompok yang nantinya akan terbentuk juga akan berbeda. Belum ditemukan
penelitian mengenai intervensi terapi kelompok suportif ekspresif untuk
menurunkan depresi pada populasi penderita HIV/AIDS. Oleh karena itu peneliti
beranggapan bahwa penelitian ini dapat dikatakan asli.