BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian...

13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah The Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu ancaman serius dunia. HIV/AIDS adalah salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia (WHO, 2011). Keberhasilan memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di suatu negara sebagaimana yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs). Ini juga menjadi target dan perhatian khusus pemerintah Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka penambahan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami peningkatan. Penemuan kasus baru HIV meningkat dari 21.511 orang pada tahun 2012 menjadi 29.037 pada tahun 2013. Secara kumulatif jumlah penemuan kasus HIV/AIDS mulai 1 April 1987 hingga 31 Maret 2014 adalah 134.042 kasus HIV, 54.231 kasus AIDS dan 9.615 kematian yang disebabkan oleh virus ini. Jawa Tengah menempati urutan ke 8 dari 33 propinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif penemuan kasus HIV/AIDS terbanyak yaitu 7.584 kasus HIV dan 3.339 kasus AIDS (Kemenkes RI, 2014). Pada data yang disampaikan Ditjen PP&PL Kemenkes RI tersebut juga 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

The Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency

Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu ancaman serius dunia. HIV/AIDS

adalah salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia

(WHO, 2011). Keberhasilan memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya

merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di suatu negara

sebagaimana yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs). Ini

juga menjadi target dan perhatian khusus pemerintah Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka penambahan kasus

HIV/AIDS tercepat di Asia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat

Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL)

Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada

tahun 2011 dan 2013 mengalami peningkatan. Penemuan kasus baru HIV

meningkat dari 21.511 orang pada tahun 2012 menjadi 29.037 pada tahun 2013.

Secara kumulatif jumlah penemuan kasus HIV/AIDS mulai 1 April 1987 hingga

31 Maret 2014 adalah 134.042 kasus HIV, 54.231 kasus AIDS dan 9.615

kematian yang disebabkan oleh virus ini. Jawa Tengah menempati urutan ke 8

dari 33 propinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif penemuan kasus

HIV/AIDS terbanyak yaitu 7.584 kasus HIV dan 3.339 kasus AIDS (Kemenkes

RI, 2014). Pada data yang disampaikan Ditjen PP&PL Kemenkes RI tersebut juga

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

2

menyebutkan bahwa tingkat prevalensi kasus AIDS di propinsi Jawa Tengah

sendiri menempati urutan ke 19 terbanyak dari 33 propinsi di Indonesia yaitu

10,31 per 10.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014).

Pada bulan Agustus 2014, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS)

menyelenggarakan asistensi program penanggulangan HIV/AIDS kabupaten

Blora. Berdasarkan penuturan langsung Lilik Hernanto, Kepala Bidang

Pencegahan Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman

(P2PLP) Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, KPA menyampaikan bahwa jumlah

kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan di Jawa Tengah mulai Tahun 1993

sampai dengan Juni 2014 sebagaimana dilihat dalam gambar 1 di bawah ini.

Sumber : Presentasi KPA Provinsi Jawa Tengah yang disampaikan pada kegiatan

Asistensi Program Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Blora Tahun 2014.

Gambar 1. Peta HIV/AIDS di Jawa Tengah Sejak Tahun 1993 hingga Juni 2014

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

3

Blora merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jawa Tengah yang

memiliki angka penemuan kasus HIV/AIDS yang cukup fluktuatif walaupun tidak

termasuk ke dalam daerah rawan HIV/AIDS. Pada tahun 2012 di kabupaten Blora

ditemukan 20 kasus HIV baru dan 8 kasus AIDS baru, sedangkan pada tahun

2013 ditemukan 18 kasus HIV baru dan 12 kasus AIDS baru (Badan Pusat

Statistik, 2014). Dinas Kesehatan Kabupaten Blora sebagai instansi pemerintah

yang memberikan pelayanan kesehatan telah bekerja sama dengan Rumah Sakit

Umum Daerah (RSUD) mendirikan Klinik Voluntary Counselling and Testing

(VCT) dan Care, Support and Treatment (CST) di RSUD dr. R. Soetijono Blora

dan di RSUD dr. R. Soeprapto Cepu dalam upaya mendukung tercapainya

MDG’s. Klinik VCT di RSUD dr. R. Soetijono Blora sendiri mulai membuka

pelayanan Januari 2011 dan hingga saat ini menyediakan layanan VCT (konseling

dan tes HIV sukarela) dan CST (pelayanan, dukungan dan perawatan) termasuk

penyediaan obat.

Dr. Windi Indah Habsari, dokter penanggungjawab klinik VCT dan CST

RSUD dr. R. Soetijono Blora melalui wawancara langsung menyatakan bahwa

ketika seorang dokter menyampaikan hasil diagnosis kepada seseorang yang

mengidap penyakit HIV tidak semudah ketika menyampaikan diagnosis hepatitis

walaupun secara penularannya justru lebih mudah pada penyakit hepatitis.

Penyakit HIV/AIDS menimbulkan beberapa permasalahan yang cukup serius bagi

penderitanya. HIV menyebakan beberapa kerusakan sistem imun dan

menghancurkannya. Perjalanan penyakit HIV yang terbagi dalam empat stadium

secara fisik menimbulkan kerentanan terhadap beberapa penyakit seperti

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

4

munculnya penyakit TBC, infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan

oleh jamur, pembengkakan kelenjar getah bening, muncul herpez zoster berulang

dan bercak gatal di seluruh tubuh (Nursalam & Ninuk, 2007). Pada akhirnya

penderita HIV/AIDS akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas

sehari–hari bahkan mereka tidak mampu lagi untuk bekerja. Ketidakmampuan

mereka untuk bekerja mengindikasikan bahwa mereka mengalami penurunan

kualitas hidup (Diatmi & Fridari, 2014).

Selain permasalahan fisik di atas, penyakit HIV/AIDS juga berdampak

terhadap kondisi psikologis penderita. AIDS oleh masyarakat umum dianggap

suatu penyakit yang cukup menakutkan dan merupakan isyarat atau vonis bahwa

penderita telah dipastikan akibatnya akan meninggal (Riyanto, 2006). dr. Windi

lebih lanjut menyampaikan bahwa stigma negatif yang berkembang di

masayarakat Blora yang menganggap penyakit HIV sangat erat kaitannya dengan

homoseksualitas, biseksual, pelacuran dan penggunaan narkoba dengan jarum

suntik menyebabkan penderita menjadi malu jika orang lain mengetahui

penyakitnya. Selain itu, masyarakat menjadi takut tertular sehingga menghindar

sejauh mungkin melakukan kontak dengan penderita yang menyebabkan penderita

merasa terasing bahkan dengan keluarganya sendiri. Reaksi pertama yang

diperlihatkan oleh sebagian besar pasien yang baru mengetahui penyakitnya

adalah menangis, mempertanyakan kesalahan apa yang telah diperbuat hingga ia

harus menerima kenyataan ini, menyalahkan pasangannya jika yang menjadi

penyebab penularannya melalui pasangan, merasa tidak berguna, dan muncul

ketakutan akan datangnya kematian. Beberapa hari kemudian mulai

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

5

menampakkan perilaku depresi seperti mengurung diri di kamar, tidak mau makan

sehingga berat badan turun.

Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Pardita (2014) dalam

penelitiannya menyebutkan bahwa ada perbedaan kondisi psikologis seseorang,

sebelum dan sesudah terkena HIV/AIDS yang meliputi tingkat stress, tingkat

frustrasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, dan rasa berduka.

Reaksi psikologis dirasakan secara signifikan oleh responden setelah terkena

penyakit HIV/AIDS. Selain itu, masalah yang dialami ODHA baik secara fisik

maupun psikologis muncul stress, penurunan berat badan, kecemasan, gangguan

kulit, frustrasi, bingung, kehilangan ingatan, penurunan gairah kerja, perasaan

takut, perasaan bersalah, penolakan, depresi bahkan kecenderungan bunuh diri

(Wahyu, Taufik & Asmidirllyas, 2012). Depresi merupakan suatu penyakit yang

berkaitan dengan tubuh, perasaan dan pikiran, dimana efek yang ditimbulkan

mempengaruhi pola makan, tidur, mood dan pikiran seseorang (Shiel & Stooppler,

2008).

Depresi merupakan gangguan mental terbesar yang sering terjadi pada

pasien dengan penyakit terminal atau kronik. Prevalensi munculnya gangguan

depresi yang disebabkan oleh penyakit HIV mencapai 22% hingga 45% (Mello,

Sequrado & Malbergier, 2010) bahkan dapat mencapai 20% hingga 79%

tergantung dengan populasi, masa penelitian dan alat yang digunakan untuk

mengukur tingkat depresi (Dal-Bo, Manoel, Filho, da Silva, Cardoso, Cortez,

2013). Dalam pertemuan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Cahaya Mustika

pada tanggal 1 April 2015 di Klinik VCT-CST RSUD dr. R. Soetijono Blora,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

6

yang dihadiri oleh delapan belas penderita HIV/AIDS yang berdomisili di

kabupaten Blora, bahwa sebagian dari mereka menunjukkan gejala depresi seperti

merasa sedih, malu, berkecil hati dalam menghadapi masa depan, takut akan

kematian, sering menangis jika sedang sendiri, merasa kecewa pada diri sendiri

maupun pasangannya, merasa bersalah hingga pantas untuk dihukum, mudah

marah, merasa tidak puas terhadap apa saja yang ada, merasa tidak berharga.

Kondisi psikologis tersebut sangat berpengaruh pada kesiapan pasien menjalani

pengobatan lebih lanjut.

Suhariatini, S.ST perawat klinik VCT-CST RSUD dr. R. Soetijono Blora

melalui wawancara langsung menyampaikan bahwa tidak semua pasien yang

datang dan telah diberikan konsultasi seputar HIV/AIDS bersedia melakukan tes

HIV meskipun mereka memiliki faktor resiko. Salah satu pasien adalah seorang

ibu rumah tangga. Suaminya penderita AIDS dan telah meninggal dunia. Ia

menolak melakukan tes HIV karena secara mental belum siap menerima diagnosis

dokter, cenderung menolak kenyataan, selain itu ia merasa takut jika orang lain

atau anggota keluarganya mengetahui penyakitnya. Petugas tidak dapat memaksa

pasien walaupun disisi lain hal ini mungkin akan membahayakan dirinya sendiri

karena tidak segera mendapatkan penanganan, serta kemungkinan menularkan

kepada orang lain jika hasil tesnya positif.

Salah satu upaya agar penderita HIV/AIDS dapat menerima bahwa dirinya

terinfensi HIV dan siap menjalani pengobatan ARV sedini mungkin adalah

dengan mengurangi dampak psikologis yang dialami penderita akibat penyakit ini

termasuk munculnya gangguan depresi. Konsultasi dengan dokter, pengobatan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

7

dan terapi dapat mengurangi dampak psikologis akibat penyakit ini. Penderita

HIV/AIDS yang mendapatkan dukungan dari kelompok terbukti tidak mengalami

depresi (Ndu, Arinze-Onyia, Aguwa & Obi, 2011). Dukungan emosi yang

diberikan kepada penderita HIV/AIDS terbukti berpengaruh pada tingkat

depresinya (Mello, dkk, 2010). Dukungan keluarga, teman dan masyarakat

lainnya juga diharapkan dapat meringankan beban psikologis yang dirasakan

penderita HIV/AIDS (Pardita, 2014). Sebuah studi yang dilakukan oleh

Machtinger, Lavin, Hilliard, Jones, Haberer & Capito (2014) menyebutkan bahwa

terapi kelompok ekspresif merupakan salah satu terapi yang memiliki dampak

meningkatkan dukungan sosial bagi wanita penderita HIV. Hasil penelitian

tersebut menyatakan bahwa terapi kelompok ekspresif dapat meningkatkan

kepercayaan diri dan kemampuan wanita penderita HIV dalam mengemukakan

pengalaman hidupnya. Dampak positif utama yang dihasilkan dari terapi ini

adalah terbangunnya persaudaraan, penerimaan diri, hubungan sosial yang lebih

aman dan sehat, dan saling mendengarkan (Machtinger, etal, 2014).

Supportive expressive group therapy atau terapi kelompok suportif

ekspresif adalah salah satu terapi psikologis yang dapat dilakukan untuk

mengurangi tingkat depresi. Seringkali dukungan terbaik disediakan oleh orang

lain yang mengalami kondisi yang sama (Halgin & Whitbourne, 2010). Dengan

menciptakan lingkungan dimana pasien cenderung merasa lebih aman, teknik

dukungan dapat memungkinkan pasien untuk mengungkapkan pikiran dan

perasaan yang sebelumnya dinyatakan terlalu sulit untuk didiskusikan (Barber,

Stratt, Halperin & Connolly, 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

8

terapi kelompok suportif ekspresif efektif untuk mengurangi gangguan mood dan

simptom trauma/stress pada wanita penderita kanker payudara metastase (Classen,

Butler, Koopman, Miller, Di Miceli, David, 2001), efektif mengurangi gangguan

depresi kronis pada pasien dengan karakteristik introvert (Mark, Barber, Christph,

2003), efektif menangani gangguan kepribadian (Vinnars, Barber, Noren, Gallop,

Weinryb, 2005). Terapi suportif ekspresif juga terbukti efektif menurunkan

tingkat kecanduan ganja sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh

Grenyer, Luborsky & Solowij (1995). Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai

pengaruh terapi kelompok suportif ekspresif pernah dilakukan dan secara

signifikan berpengaruh terhadap menurunnya tingkat depresi dan meningkatnya

kemampuan mengatasi depresi pada pasien kanker (Yunitri, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebaran penyakit

HIV/AIDS dewasa ini sangat mengkhawatirkan sehingga menjadi salah satu

prioritas setiap negara untuk mendapat penanganan secara serius. Penyakit

HIV/AIDS sendiri menimbulkan permasalahan yang cukup serius bagi

penderitanya, mulai dari masalah fisik yaitu menurunnya sistem kekebalan tubuh

hingga masalah psikologis seperti munculnya depresi. Hal ini mempengaruhi

kesiapan penderita untuk menjalani pengobatan ARV yang menurut penelitian

terkini harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan intervensi psikologis yang

cukup serius untuk mengatasi depresi yang dialami pasien salah satunya dengan

terapi kelompok suportif ekspresif.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

9

Terapi kelompok suportif ekspresif ini memberikan dukungan kelompok

berupa pengetahuan melalui tukar pengalaman, nasihat dari anggota kelompok,

dukungan emosional yang diberikan oleh orang–orang yang berada dalam kondisi

dan memiliki permasalahan yang sama, memberikan kesempatan penderita untuk

mengekspresikan pengalaman dan berbagi kisah yang berkaitan dengan

penyakitnya yang dapat mengubah hidup mereka. Melalui terapi kelompok

suportif ekspresif, penderita biasanya merasakan kelegaan dan muncul harapan

positif karena menyadari bahwa ada orang lain yang mengalami permasalahan

yang sama. Hal ini kemudian memunculkan suatu pertanyaan apakah terapi

kelompok suportif ekspresif juga efektif dalam menurunkan depresi pada

penderita HIV/AIDS dengan karakteristik simptom depresi yang khas seperti

malu, muncul perasaan bersalah, perasaan dihukum, menarik diri, mudah marah,

dan khawatir pada kesehatan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melakukan serangkaian

proses penelitian untuk mengetahui lebih lanjut efektivitas terapi kelompok

suportif ekspresif sebagai salah satu terapi psikologi yang melibatkan kelompok

teman sebaya (sesama ODHA) dalam menurunkan tingkat depresi penderita

HIV/AIDS. Penelitian ini mengadaptasi Modul “Supportive-Expressive Group

Therapy For People With HIV Infection : A Premier” yang dikembangkan oleh

Maldonado, Duran, Diamon, Koopman, & Spiegel (1996).

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

10

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemberian

terapi kelompok suportif ekspresif terhadap penurunan tingkat depresi penderita

HIV/AIDS.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Mengembangkan ilmu psikologi khususnya Psikologi Klinis mengenai

intervensi psikologis kepada penderita HIV/AIDS dan memberikan referensi

untuk penelitian selanjutnya khususnya mengenai Terapi Kelompok Suportif

Ekspresif.

2. Manfaat praktis

a. Penderita depresi, dapat mengekspresikan emosi negatif yang

menyebabkan depresi sekaligus memberikan dukungan kepada teman

sebaya sehingga dapat mengatasi depresi yang dialami.

b. Layanan psikologi di Rumah Sakit, memberikan inovasi pelayanan terapi

psikologi dalam mengatasi depresi pada penderita HIV/AIDS di Klinik

VCT-CST Rumah Sakit secara kelompok dengan menggunakan media

Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).

c. Kelompok teman sebaya, terjalin hubungan yang lebih akrab sehingga

terbentuk dinamika kelompok yang saling mendukung, menguatkan,

sebagai tempat katarsis bagi anggota kelompok yang sedang mengalami

suatu masalah sehingga tidak berkembang menjadi gangguan depresi.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

11

D. Keaslian Penelitian

Depresi adalah salah satu gangguan mental yang banyak dialami penderita

penyakit terminal tak terkecuali orang dengan HIV/AIDS. Beberapa penelitian

dilakukan untuk mengetahui intervensi yang efektif dalam mengatasi depresi.

Cuijpers, van Straten & Andersson (2008) melakukan penelitian mengenai

psikoterapi untuk mengatasi depresi pada orang dewasa, menggunakan meta-

analysis dengan membandingkan tujuh intervensi psikologi yaitu cognitive

behavioral therapy (CBT), nondirective supportive therapy (SUP), behavioral

activation therapy (BA), psychodynamic therapy (DYN), problem solving therapy

(PST), interpersonal psychotherapy (IPT) dan social skills training (SST). Setiap

intervensi telah diuji setidaknya melalui 5 percobaan secara acak. Tidak ada

indikasi bahwa treatmen yang ada lebih atau kurang efektif, kecuali interpersonal

psychotherapy yang menunjukkan lebih efektif dan nondirective supportive

therapy menunjukkan kurang efektif jika dibandingkan dengan intervensi lain

(Cuijpers, van Straten & Andersson, 2008).

Maharani (2010) meneliti pengaruh konseling dengan pendekatan

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk mengurangi depresi pada ODHA.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan dua subjek, menggunakan

alat ukur BDI (Beck Depression Inventory). Hasil penelitian mengungkapkan

bahwa konseling dengan pendekatan CBT memberikan perubahan pada subjek

penelitian dan dapat mengurangi depresi yang dialaminya (Maharani, 2010).

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendayagunakan Kelompok Dukungan

Sebaya yang beranggotakan seluruh pasien HIV/AIDS yang menjalani

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

12

pengobatan di Klinik, dimana berdasarkan data yang ada pasien memiliki tingkat

pendidikan rata-rata SMA ke bawah sehingga kurang sesuai dilakukan CBT yang

melibatkan fungsi kognisi dan cenderung dilakukan secara individual.

Alternatif terapi psikologis yang berbasis kelompok sebagaimana

penelitian yang dilakukan oleh Classen, dkk (2001). Ia meneliti tentang pengaruh

terapi kelompok suportif ekspresif terhadap stres pada pasien kanker payudara

metastase. Sampel yang digunakan sebanyak 125 orang yang terbagi secara

random dalam dua kelompok, yaitu 64 orang kelompok intervensi diberikan terapi

dan psikoedukasi, 61 orang kelompok kontrol diberikan psikoedukasi. Kelompok

intervensi dibagi dalam 3 kelompok dengan anggota kelompok 3 hingga 15 orang,

diberikan program terapi terapi kelompok suportif ekspresif setiap minggu selama

90 menit/pertemuan selama satu tahun. Terapi difasilitasi oleh 2 orang terapis,

pretest dilakukan sebelum pelaksanaan intervensi, sedangkan posttes dilakukan

setiap empat bulan sekali selama satu tahun. Intervensi yang dilakukan tidak

terstruktur, terapis memfasilitasi diskusi lima tema yaitu ketakutan akan kematian,

menata kembali prioritas hidup, meningkatkan dukungan dan komunikasi dengan

keluarga, mengintegrasikan perubahan gambaran diri, dan meningkatkan

komunikasi dengan dokter. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terapi suportif

ekspresif yang menyediakan dukungan dan membantu pasien menerima

penyakitnya dapat menurunkan tingkat stres pasien kanker payudara metastase

(Classen, dkk, 2001).

Ninik Yunitri (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian

intervensi terapi kelompok supportif ekspresif terhadap depresi dan kemampuan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/40396/4/BAB I.pdf · Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami

13

mengatasi depresi pada pasien kanker. Penelitian ini melibatkan 101 pasien

kanker di RSPAD Gatot Subroto, RS Raden Said Sukanto POLRI dan Rumah

Singgah Kanker yang terbagi dalam kelompok intervensi sebanyak 49 orang dan

kelompok kontrol sebanyak 59 orang. Pengukuran depresi menggunakan

Hamilton Depression dan pengukuran kemampuan mengatasi depresi dengan

kuesioner. Terapi kelompok supportif ekspresif diberikan sebanyak delapan sesi

dalam enam kali pertemuan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terapi

kelompok supportif ekspresif efektif menurunkan tingkat depresi dan dapat

meningkatkan kemampuan mengatasi depresi pada pasien kanker.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa penelitian

mengenai intervensi depresi telah dilakukan salah satunya dengan pemberian

terapi kelompok suportif ekspresif sebagaimana yang dilakukan oleh Classen, dkk

(2001) dan Yunitri (2012). Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa

penelitian yang dilakukan sebelumnya menggunakan pasien kanker sebagai

subjek penelitian, sedangkan subjek penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS

dimana kedua subjek memiliki karakteristik simptom depresi yang berbeda. Selain

itu, pada penelitian Yunitri (2012) menggunakan setting pasien rawat inap di

Rumah Sakit sedangkan penelitian ini menggunakan setting pasien rawat jalan

yang tergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya Mustika dimana dinamika

kelompok yang nantinya akan terbentuk juga akan berbeda. Belum ditemukan

penelitian mengenai intervensi terapi kelompok suportif ekspresif untuk

menurunkan depresi pada populasi penderita HIV/AIDS. Oleh karena itu peneliti

beranggapan bahwa penelitian ini dapat dikatakan asli.