BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh dunia dewasa ini. Pandemi HIV juga dikatakan sebagai permasalahan kesehatan masyarakat yang paling menarik pasca Perang Dunia II, di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS) menyebutkan bahwa sekitar 5 juta orang baru terinfeksi HIV selama tahun 2001 dan sekitar 3 juta meninggal karena AIDS di seluruh dunia (Fleming, 2004). Sementara itu, epidemi HIV/AIDS di Asia sendiri menunjukkan keanekaragaman yang tinggi, baik dari tingkat keparahan maupun lama terinfeksi. Epidemi HIV/AIDS di Asia masih jauh dari kata selesai; bahkan Indonesia, China, dan Vietnam memiliki kenaikan jumlah infeksi (Ruxrungtham dkk, 2004). Di Indonesia, pengamatan terhadap HIV baru di mulai tahun 1988 dengan dua daerah pengamatan, yaitu Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1989, Bali dan Yogyakarta juga menjadi daerah pengamatan, kemudian daerah pengamatan HIV di Indonesia semakin diperluas. Dari data yang diperoleh hingga tahun 2001, diketahui bahwa dari tahun 1987 hingga 2000, ditemukan 5.056 kasus AIDS di Indonesia, dan 3.856 orang meninggal akibat AIDS di Indonesia (Hugo, 2001).

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome

(HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan

masyarakat di seluruh dunia dewasa ini. Pandemi HIV juga dikatakan sebagai

permasalahan kesehatan masyarakat yang paling menarik pasca Perang Dunia II,

di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and

AIDS) menyebutkan bahwa sekitar 5 juta orang baru terinfeksi HIV selama tahun

2001 dan sekitar 3 juta meninggal karena AIDS di seluruh dunia (Fleming, 2004).

Sementara itu, epidemi HIV/AIDS di Asia sendiri menunjukkan keanekaragaman

yang tinggi, baik dari tingkat keparahan maupun lama terinfeksi. Epidemi

HIV/AIDS di Asia masih jauh dari kata selesai; bahkan Indonesia, China, dan

Vietnam memiliki kenaikan jumlah infeksi (Ruxrungtham dkk, 2004).

Di Indonesia, pengamatan terhadap HIV baru di mulai tahun 1988 dengan

dua daerah pengamatan, yaitu Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1989, Bali dan

Yogyakarta juga menjadi daerah pengamatan, kemudian daerah pengamatan HIV

di Indonesia semakin diperluas. Dari data yang diperoleh hingga tahun 2001,

diketahui bahwa dari tahun 1987 hingga 2000, ditemukan 5.056 kasus AIDS di

Indonesia, dan 3.856 orang meninggal akibat AIDS di Indonesia (Hugo, 2001).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

2

Data terbaru dari Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kemenkes RI (yang dilaporkan 1 Januari s.d. 30 Juni 2013) menunjukkan jumlah

penderita HIV positif sebanyak 10.210 penderita dan penderita AIDS sebanyak

780 penderita. Sedangkan jumlah penderita HIV dan AIDS secara kumulatif sejak

1 April 1987 sampai 30 Juni 2013 yaitu 108.600 penderita HIV positif, 43.667

penderita AIDS dan 8.340 kematian. Dari jumlah kumulatif sejak 1 April 1987

hingga 30 Juni 2013, D.I Yogyakarta menempati urutan 14 dari 33 propinsi yang

tercatat, dengan jumlah penderita HIV sebanyak 1.693 dan penderita AIDS

sebanyak 782. Sedangkan dari data Prevalensi Kasus AIDS per 100.000 Penduduk

dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, D. I Yogyakarta menempati urutan ke 7 dari

33 propinsi dengan prevalensi kasus sebesar 26,42 (Spiritia, 2013).

Sampai saat ini, belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan infeksi

HIV. Obat yang tersedia untuk penderita HIV/AIDS hingga saat ini adalah Anti

Retroviral (ARV) yang berfungsi mengurangi viral load atau jumlah virus dalam

tubuh penderita. Pengobatan ARV terbukti berperan dalam pencegahan penularan

HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah replikasi virus yang

secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah (Kemenkes RI, 2011).

Dengan rendahnya jumlah virus, diharapkan dapat tetap mempertahankan

imunitas dari penderita. Menurut pedoman WHO, penderita HIV/AIDS dapat

memulai terapi ARV atau Anti Retroviral Teraphy (ART) sebelum jumlah CD4 di

bawah 350.

Terapi dengan obat ARV terdiri dari gabungan beberapa golongan obat

ARV, dan biasanya terdiri dari tiga obat atau biasa disebut triple therapy, atau

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

3

sering disebut pula sebagai Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)

(WHO, 2010). Di Indonesia sendiri, obat ARV bisa didapatkan secara gratis sejak

tahun 2006, dan dapat diakses di 25.384 pemberi layanan HIV (UNESCO, 2010).

Terapi HIV/AIDS dengan ARV dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu lini pertama

dan lini kedua. Terapi ARV lini pertama merupakan terapi ARV yang diberikan

kepada pasien HIV/AIDS untuk pertama kalinya ketika jumlah CD4 kurang dari

350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Sementara terapi ARV lini

kedua merupakan terapi ARV yang dilakukan apabila terjadi gagal terapi pada

penggunaan kombinasi obat ARV lini pertama (Kemenkes RI, 2011).

Terapi ARV harus dijalani seumur hidup oleh pasien HIV/AIDS untuk

tetap mempertahankan imunitas pasien. Oleh karena itu penggunaan ARV

memerlukan kepatuhan yang tinggi untuk mencapai keberhasilan terapi dan

mencegah resistensi (Bachmann, 2006). Penggunaan obat ARV yang dilakukan

dalam jangka waktu sangat panjang, bahkan seumur hidup, serta masih

terdapatnya stigma negatif terhadap pasien HIV/AIDS memberikan tanggung

jawab pemberi layanan kesehatan untuk memberikan fasilitas lain yang

mendukung pengobatan pasien HIV/AIDS sendiri, terutama dalam monitoring

kepatuhan pasien dalam menggunakan obat.

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan metode

kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS yang

menjalani terapi ARV lini pertama di DIY dan menganalisis faktor yang menjadi

penghambat dan pendukung perilaku kepatuhan pada pasien tersebut sehingga

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

4

dapat menjadi acuan pemberi pelayanan kesehatan dalam mendorong kepatuhan

pasien HIV/AIDS untuk rutin menggunakan obat ARV.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan obat Anti

Retroviral (ARV) lini pertama?

2. Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat dan pendukung kepatuhan

penggunaan obat ARV lini pertama bagi penderita HIV/AIDS?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS di DIY dalam menggunakan obat

ARV.

2. Mengetahui faktor penghambat dan pendukung terhadap kepatuhan

penggunaan obat ARV.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi responden dan masyarakat: penelitian ini memberikan informasi kepada

masyarakat bahwa stigma negatif terkait HIV/AIDS yang beredar selama ini

tidak sepenuhnya benar. Masyarakat tidak perlu mendiskriminasikan para

ODHA, bahkan masyarakat dapat ikut mendukung terapi ARV yang dijalani

ODHA, karena ODHA juga bagian dari kehidupan sosial kita.

2. Bagi LSM Victory Plus: dapat memberikan gambaran kepada para

pendukung sebaya terkait faktor pendukung dan penghambat dalam

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

5

pengobatan ARV sehingga dapat membantu dalam proses pendampingan

terhadap ODHA.

3. Bagi peneliti (farmasis): hasil dari penelitian ini dapat menggambarkan faktor

apa saja yang berperan dalam pengobatan ARV, baik dari faktor pendukung

maupun penghambatnya. Dari data tersebut farmasis dapat mencari celah

untuk ikut berperan aktif dalam mendulung pengobatan pasien HIV/AIDS,

karena dalam pengobatan ARV yang dijalani seumur hidup dibutuhkan

komitmen untuk patuh dari pasien.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kepatuhan

Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah keadaan di mana pasien

melakukan pengobatan yang dianjurkan dengan patuh atas kehendak dan

kesadaran pasien sendiri (Kemenkes RI, 2011). Menurut kamus Oxford,

kepatuhan (compliance) merupakan tindakan mematuhi suatu aturan atau

permintaan yang dibuat oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri (Oxford

Advanced Learner’s Dictionary of Curent English). Kepatuhan (adherence, yang

sering digunakan bergantian dengan compliance) dapat pula diartikan sebagai

kemauan dan kemampuan untuk mematuhi regimen terapi yang diresepkan

(Inkster, 2006). Kebalikan dari kepatuhan, sebuah ketidakpatuhan terjadi ketika

seorang pasien merubah perilakunya (yang terkait kesehatan) menjadi tidak sesuai

dengan kesepakatan bersama petugas pemberi layanan kesehatan (Jin dkk, 2008).

Berikut merupakan tipe ketidakpatuhan yang sering dilakukan oleh pasien:

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

6

a. Tidak menebus resep yang diterima

b. Menggunakan obat dengan dosis yang salah

c. Menggunakan obat pada waktu yang salah

d. Menambah atau mengurangi frekuensi atau dosis pengobatan

e. Menghentikan pengobatan terlalu dini

f. Menunda menghubungi penyedia layanan kesehatan

g. Tidak melakukan pemeriksaan rutin

h. Tidak mengikuti instruksi dokter

i. Sempat menghentikan pengobatan, kemudian memulai kembali

j. Patuh saat mendekati waktu kontrol rutin saja

(Jin dkk, 2008)

Pada kasus HIV sendiri, di mana regimen terapi ARV sangatlah kompleks,

tercapainya tujuan terapi sangat dipengaruhi oleh kepatuhan dari pasien.

Penggunaan regimen terapi ARV yang tidak teratur, terputus-putus, dan terjadinya

underdose sangat mendukung terjadinya resistensi (DD, 1996). Kurangnya

kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan ARV dapat disebabkan oleh

beberapa hal, antara lain kelupaan, kurangnya motivasi dan timbulnya efek

samping obat (Morse dkk, 1991). Pencapaian outcome terapi ARV yang

diharapkan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain aksesibilitas ARV terhadap

pasien, serta kepatuhan yang sempurna atau hampir sempurna dari semua dosis

ARV yang diberikan (Friedland dkk, 2001).

Di negera berkembang, kepatuhan penggunaan ARV merupakan

permasalahan utama (Friedland dkk, 2001). Kepatuhan pada terapi ARV akan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

7

sangat mendukung proses supresi virologis, di mana setidaknya 95% dari semua

dosis tidak boleh terlupakan (Kemenkes RI, 2011). Dari sebuah penelitian,

diperoleh beberapa penyebab pasien HIV kurang patuh dalam meminum obat

ARV yaitu kelupaan, tertidur ketika waktu minum obat, sedang bepergian jauh,

perubahan rutinitas harian, terlalu sibuk untuk minum obat, merasa sakit (akibat

efek samping), serta perasaan depresi (Hecth, 1997). Untuk itulah perlu adanya

kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien untuk memberikan

motivasi sehingga membantu pasien patuh dalam minum obat. Tiga langkah yang

harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien yaitu:

a. Memberikan informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,

kemungkinan munculnya efek samping, serta konsekuensi dari

ketidakpatuhan dalam pengobatan.

b. Konseling kepada pasien untuk mengeksplorasi tentang kesiapan dan

permasalahan dalam pengobatan yang dilakukan.

c. Diskusi antara petugas dan pasien untuk mencari penyelesaian

permasalahan dan membuat rencana terapi yang praktis.

(Kemenkes RI, 2011)

2. HIV

HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu

virus penyebab AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome. HIV termasuk

ke dalam genus Lentivirus, yang mana termasuk ke dalam famili Retroviridae

(Thormar, 2013). Infeksi virus tersebut pada manusia akan menyebabkan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

8

menurunnya sistem imun secara progresif yang menjadi penyebab terjadinya

berbagai macam infeksi oleh agen oportunistik, bahkan akan berlanjut ke

kematian akibat infeksi tersebut (Yengkopiong dkk, 2013). Rute utama penularan

dan infeksi HIV antara lain hubungan seksual yang tidak terlindungi, jarum suntik

yang terkontaminasi, transfer ASI dan ibu ke anaknya dan transmisi ke janin (Luo

dkk, 2013). Penularan infeksi HIV mayoritas disebabkan oleh hubungan seksual

yang tidak aman (Hu dkk, 1998).

Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV tipe 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2).

Infeksi HIV-1 dan HIV-2 banyak di temukan di Afrika Tengah dan Afrika Barat.

Infeksi HIV-1 tersebar luas di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 baru ditemukan

pada beberapa orang di Afrika Barat (Clavel F dkk, 1986 dan De Cock dkk,

1993).

Mekanisme infeksi imunopatogenik HIV ke tubuh manusia sangatlah

kompleks dan multifasik. Segera setelah HIV masuk ke tubuh manusia, virus

tersebut segera disebarkan ke seluruh tubuh, dan jaringan limfoid merupakan

jaringan yang paling banyak diinfeksi oleh HIV (Fauci, 1993). Selain menjadi

tempat penyimpanan utama bagi HIV, jaringan limfoid juga merupakan tempat

replikasi virus, bahkan pada awal infeksi, atau selama periode laten. Adanya

replikasi virus tersebut ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 sel T (Pantaleo

dkk, 1993). Transmisi HIV diketahui paling banyak melalui membran mukosa,

seperti mukosa anorektal atau vagina; dapat pula melalui jalur parenteral seperti

penggunaan jarum suntik yang bergantian pada pecandu narkoba (Dandekar dkk,

2008).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

9

Secara klinis, infeksi HIV dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama

disebut infeksi akut. Pada tahap ini terjadi penyebarluasan virus di dalam tubuh,

yang terjadi selama 1-4 minggu pertama setelah infeksi. Respon imun tubuh akan

terinduksi, kemudian akan timbul gejala-gejala klinis yang terkait dengan infeksi

primer. Tahap ini ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 T sel, serta kenaikan

nilai viral copy dalam plasma akibat tingginya produksi virus. Pasien yang

terinfeksi kemudian masuk ke tahap kedua, yaitu memasuki periode laten atau

tahap kronis infeksi HIV. Lamanya periode laten dipengaruhi oleh beberapa

faktor, salah satunya yaitu usia. Selama periode laten, HIV mulai aktif dalam

organ limfoid, dimana virus dalam jumlah besar berada dalam jaringan dendritik

sel folikuler. Jaringan sekitar organ limfoid akan terinfeksi dan virus akan

terakumulasi dalam jaringan tersebut sebagai virus bebas. Tahap terakhir dari

infeksi HIV adalah AIDS yang ditandai dengan infeksi oportunistik akibat

kerusakan sistem imun. Hal ini disebabkan oleh jumlah CD4 sel T yang menurun

dan semakin meningkatnya aktivitas virus (De Biasi dkk, 2011).

3. AIDS

AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah kumpulan infeksi

oportunistik akibat semakin rendahnya jumlah sel T CD4 dalam jaringan limfoid

yang melemahkan sistem imun pasien HIV. Pada pasien HIV dengan infeksi

oportunistik, selain penggunaan ARV, pasien juga harus menggunakan obat-obat

antiinfeksi/antibakteri lainnya untuk mengatasi infeksi yang diderita pasien.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

10

Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita oleh pasien HIV yaitu

disfagia, limfadenopati, diare kronik, gangguan pernafasan, masalah neurologis,

dll. Tatalaksana terapi pasien HIV dengan penyakit infeksi tertentu memerlukan

obat antiinfeksi lain untuk mengatasinya. Sebab, penyebab kematian pada pasien

HIV bukan HIV itu sendiri, melainkan penyakit infeksi yang menyertainya

(Kemenkes RI, 2011).

Patogenensis infeksi HIV memiliki perbedaan antar usia (anak dan

dewasa), yang ditandai dengan lebih tingginya kadar muatan virus serta

progresifitas penyakit. Pada anak, sistem imun masih belum matang. Progersi

infeksi HIV pada bayi dan anak tidak dapat ditentukan dengan pasti, sekitar 15-

20% anak memiliki perjalanan penyakit yang cepat dengan AIDS dan kematian di

dalam empat tahun pertama (Notoatmodjo, 2010).

Infeksi bakteri pada saluran pernafasan merupakan salah satu penyebab

utama masalah saluran pernafasan pada pasien yang positif HIV. Community-

acquired pneumonia (CAP) merupakan penyebab keparahan yang paling sering

muncul dari infeksi HIV, dan berhubungan dengan meningkatnya kematian pada

pasien HIV positif. Selain pneumonia, Tuberculosis (TB) menjadi salah satu

penyakit yang memperparah dan menyebabkan kematian pada pasien yang

terinfeksi HIV, di mana TB paru merupakan infeksi akibat mikobakteri yang

paling sering muncul. Pada infeksi jamur, Pneumocystis pneumonia akibat dari

jamur Pneumocystis jiroveci, masih menjadi penyebab utama infeksi oportunistik

pada pasien HIV. Selain itu, untuk virus yang sering menyebabkan infeksi

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

11

oportunistik pada pasien HIV adalah Cytomegalovirus (CMV) yang merupakan

agen penyebab viral pneumonia (Ciledag dkk, 2011).

Selama satu dekade pertama sejak HIV/AIDS menjadi epidemi,

perkembangannya di bidang kesehatan semakin meningkat, meliputi

berkembangnya pengenalan terhadap proses infeksi oportunistik, termasuk

komplikasi akut dan kronis, serta pengenalan terhadap agen-agen kemoprofilaksis.

Pada dekade kedua, kemajuan HIV/AIDS di bidang kesehatan semakin pesat, di

mana highly active antiretroviral therapies (HAART) berkembang, serta semakin

berkembang pula pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik. HAART

mengurangi jumlah kejadian infeksi oportunistik dan meningkatkan angka

harapan hidup pasien HIV/AIDS (Masur dkk, 2002).

4. ARV

Terapi ARV atau antiretroviral merupakan agen yang secara langsung

mempengaruhi siklus replikasi HIV, yang ditujukan untuk mengurangi jumlah

virus dari tubuh pasien. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat ARV

dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor

(NRTI), Nonnucleoside-Based Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan

Protease Inhibitor (PI) (Schooley, 2004).

Obat ARV golongan NRTI, seperti Zidovudine dan analog nukleosida

lainnya, bekerja sebagai inhibitor kompetitif enzim reverse transcriptase pada

HIV, sehingga menghambat replikasi virus tersebut. Analog nukleosida ditangkap

oleh sel yang rentan diserang HIV, kemudian terfosforilasi oleh kinase menjadi

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

12

turunan trifosfat. Nukleotida (turunan trifosfat) tersebut kemudian dimasukkan

sebagai template RNA dari HIV oleh enzim reverse transcriptase sehingga

terbentuk DNA komplementer yang berbeda dari DNA HIV. DNA yang berbeda

inilah yang menyebabkan penghentian proses transkripsi dan pencegahan terhadap

proses elongasi. Pada jenis Tenofovir, zat aktif sudah dalam bentuk nukleotida,

sehingga tidak perlu dilakukan fosforilasi. Contoh obat yang termasuk golongan

ini adalah Zidovudine, Zalcitabine, Didanosine, Stavudin, Lamivudin, Abacavir

dan Tenofovir (Schooley, 2004).

Mekansme kerja golongan NNRTI tidak begitu berbeda dengan golongan

NRTI. Kombinasi antara NNRTI dan NRTI memberikan aktivitas antiretroviral

yang sinergis. Obat ARV yang masuk pada golongan ini antara lain Nevirapine,

Delavirdine, dan Efavirenz. ARV golongan Protease Inhibitor (PI) bekerja

dengan menghambat enzim protease yang berfungsi dalam proses cleavage

(pembelahan) sel virus. Contoh obat yang masuk golongan ini antara lain

Saquinavir, Ritonavir, Indinavir, Nelfinavir, Amprenavir, Lopinavir, dan

Atazanavir (Schooley, 2004).

Inisisasi terapi ARV ditentukan dengan mengukur derajat dan kecepatan

perkembangan kerusakan sistem imun (Schooley, 2004). Pelaksanaan terapi ARV

di Indonesia, berdasarkan Pedoman Tatalaksana Klinik Infeksi HIV dan Terapi

Antiretroviral pada Orang Dewasa tahun 2011, dimulai setelah dilakukan

pemeriksaan terhadap jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinik

infeksi HIV pada pasien. Ketika tidak terdapat pemeriksaan terhadap jumlah CD4,

maka terapi ARV dimulai berdasar pada penilaian klinis saja. Apabila tersedia

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

13

pemeriksaan CD4, maka terapi ARV dimulai pada semua pasien dengan jumlah

CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya; serta dianjurkan untuk

semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa

memandang jumlah CD4 (Kemenkes RI, 2011).

Terapi ARV di Indonesia diberikan dalam paduan beberapa jenis obat.

Penetapan paduan obat pada terapi ARV harus didasarkan pada efektivitas, efek

samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, serta harga obat. Pada tahap awal

pengobatan, pasien HIV diberikan terapi ARV lini pertama. Paduan obat ARV lini

pertama berupa 2 NRTI + 1 NNRTI. Paduan obat untuk terapi ARV lini pertama

dimulai dengan salah satu opsi dari paduan berikut:

Tabel I. Daftar paduan obat ARV untuk terapi lini pertama (Kemenkes RI, 2011)

AZT + 3TC + NVP ATAU

Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine

AZT + 3TC + EFV ATAU

Zidovudine + Lamivudine + Evafirenz

TDF + 3TC (atau FTC) + NVP ATAU

Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz

Pasien yang menjalani terapi ARV lini pertama dapat mengalami kondisi

yang disebut dengan gagal terapi. Gagal terapi merupakan kondisi dimana tidak

terjadi respon terapi ARV yang diharapkan setelah pasien memulai terapi minimal

6 bulan dengan kepatuhan yang cukup tinggi (Kemenkes RI, 2011). Pada kondisi

gagal terapi, produksi virus akan meningkat sehingga viral load juga akan

bertambah.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

14

Menurut WHO, terdapat dua kriteria gagal terapi, yaitu kegagalan klinis

dan kegagalan imuologis. Pada kegagalan klinis, infeksi oportunistik akan muncul

pada kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan terapi ARV. Penyakit yang

termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi bakteri berat) dapat menjadi

petunjuk adanya kegagalan terapi. Sementara kegagalan imunologis adalah

kegagalan dalam mencapai atau mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat

walaupun jumlah virus (viral load) sudah tertekan (Kemenkes RI, 2011).

Pada kasus gagal terapi, maka pasien HIV direkomendasikan untuk

mengganti pengobatan sebelumnya dengan paduan obat lini kedua. Rekomendasi

paduan lini kedua yaitu 2 NRTI + boosted-PI. Boosted PI merupakan golongan

Protease Inhibitor yang sudah ditambah (boost) dengan Ritonavir, dan biasa

ditulis dengan symbol /r (LPV/r = Lopinavir/ritonavir). Penggunaan booster

dimaksudkan untuk mengurangi dosis penggunaan PI yang sangat besar bila

digunakan tanpa ritonavir. Sedangkan paduan lini kedua yang disediakan gratis

oleh pemerintah yaitu TDF atau AZT + 3TC + LPV/r (Tenofovir atau Zidovudine

+ Lamivudine + Lopinavir/ritonavir) (Kemenkes RI, 2011).

4.1. Zidovudine

Zidovudine, disebut juga AZT, termasuk ke dalam golongan NRTI.

Zidovudine merupakan analog timidine, di mana pada bagian 3-hidroksil

digantikan dengan kelompok azido (Gennaro, 1995). Dosis AZT untuk

dewasa yang dianjurkan yaitu 500 – 600 mg per hari, dibagi dalam dua

dosis. Pada tahun 2011, tersedia zidovudine dalam bentuk tablet

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

15

effervescent yang telah disetujui oleh Food and Drug Association (FDA).

Di Indonesia, zidovudine tersedia dalam bentuk kombinasi bersama

Lamivudine (300 mg Zidovudine + 150 mg Lamivudine), yaitu Duviral®

dari Kimia Farma atau Combivir® dari GSK (Spirita, 2013a).

Efek samping dari zidovudine terkadang tidak dapat dibedakan dari

kenampakan akibat infeksi virus HIV (Styrt dkk, 1996). Efek samping dari

zidovudine sering timbul pada saat pertama kali pemakaian, dan efek

tersebut hanya bersifat sementara. Efek samping yang sering dirasakan

antara lain sakit kepala, darah tinggi, atau seluruh badan terasa tidak enak.

Efek samping tersebut akan menghilang seiring berjalannya wktu. Namun

pada beberapa pasien, efek mual, muntah, sakit kepala, dan kelelahan terus

dirasakan (Spirita, 2013a). Efek lain yang jarang muncul, tapi cukup berat,

yaitu anemia dan meningkatnya enzim hati. Namun efek tersebut bersifat

reversibel, dan akan kembali normal beberapa saat setelah pemakaian

zidovudine dihentikan (Jacobson dkk, 1996). Kombinasi Zidovudine

(AZT), Lamivudine (3TC), dan Nevirapine (NVP) merupakan pilihan

utama untuk terapi ARV lini pertama. Zidovudine dapat menyebabkan

anemia, oleh karena itu pasien dianjurkan untuk rutin memantau kadar

Haemoglobin. Namun zidovudine lebih disukai daripada stavudin karena

efek lipoatrofi, asidosis laktat, neuropati perifer yang sering timbul akibat

penggunaan stavudin (Depkes RI, 2007).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

16

4.2. Lamivudine

Lamivudine, disebut juga 3TC, merupakan ARV golongan NRTI

yang menghambat enzim reverse transcriptase. Pada sebuah studi in vitro

menggunakan enzim cytochrome P450 (CYP450) menunjukkan bahwa

lamivudine memiliki kemungkinan yang kecil untuk berinteraksi pada fase

metabolisme dengan obat-obat lain (Johnson dkk, 1999).

Lamivudine tersedia dalam bentuk tunggal maupun kombinasi

bersama zidovudine. Lamivudine 150 mg diberikan setiap 12 jam,

sedangkan untuk lamivudine 300 mg diberikan setiap 24 jam (Kemenkes

RI, 2011). Salah satu contoh lamivudine sediaan tunggal yaitu Hiviral®

dari Kimia Farma, sedangkan untuk kombinasi bersama zidovudine yaitu

Duviral® (Kimia Farma) dan Combivir® (Glaxo Smith Kline).

Lamivudine juga digunakan pada pasien HIV yang memiliki koinfeksi

Hepatitis B karena lamivudine memiliki aktivitas terhadap virus Hepatitis

B (HBV) dan HIV. Pada pengobatan koinfeksi Hepatitis B, digunakan

kombinasi tenofovir (TDF) dan lamivudine atau emtricitabine (FTC).

Efek samping yang sering muncul pada penggunaan lamivudine

adalah mual, muntah, kelelahan, dan sakit kepala (Spiritia, 2013b). Efek

samping lain yang jarang terjadi antara lain asidosis laktat dengan stenosis

hepatitis, serta kerontokan rambut (DepKes RI, 2007) (Spiritia, 2013b).

Pada penggunaan awal, mungkin akan muncul efek seperti sakit kepala,

tekanan darah tinggi, dan tidak enak badan. Namun efek-efek tersebut

hanya mucul sementara, lambat laun hilang dan membaik (Spiritia, 2013b).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

17

Pada pasien dengan masalah pada ginjal, lamivudine diberikan

dalam dosis yang lebih rendah. Lamivudine serupa dengan emtricitabine,

oleh karena itu penggunaan keduanya secara bersama-sama sebaiknya

dihindari karena tidak memiliki manfaat. Penggunaan lamivudine bersama

kotrimoxazol perlu dilakukan pemantauan karena kadar lamivudine dalam

darah akan meningkat (Spiritia, 2013b).

4.3. Nevirapine

Nevirapine (NVP), merupakan ARV yang termasuk ke dalam

golongan NNRTI yang memiliki aktifitas melawan virus HIV-1.

Nevirapine akan secara langsung berikatan dengan enzim reverse

transcriptase dan menghambat aktifitas DNA polimerase tipe RNA

dependent dan DNA dependent dengan merusak sisi katalistik enzim

tersebut. Nevirapine tidak bersifat kompetitif terhadap nukleosida

trifosfatase, HIV-2 reverse transkirptase dan eukariotik DNA polimerase

tidak bisa dihambat oleh nevirapine (Dept. Of Health and Ageing, 2012).

Bersama zidovudine dan lamivudine, nevirapine menjadi first line

untuk terapi ARV lini pertama. Dosis awal untuk memulai terapi

nevirapine yaitu 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama, bersama

zidovudine atau tenofovir + lamivudine. Setelah penggunaan tersebut,

diamati apakah terdapat tanda toksisitas hati. Pada 14 hari pemakaian,

nevirapine akan menginduksi metabolismenya sendiri sehingga dimulai

dengan dosis kecil terlebih dahulu. Dosis permulaan tersebut juga

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

18

dimaksudkan untuk mengurangi risiko ruam dan hepatitis yang muncul

dini. Bila tidak ditemukan tanda-tanda toksisitas hati, dosis dapat

dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam (Kemenkes RI 2011).

Efek samping yang sering muncul dari pemakaian nevirapine yaitu

hepatotoksis, Steven-Johnson syndrome, reaksi hepar atau kulit yang berat.

Ketika penggunaan nevirapine menyebabkan peningkatan > 5 kali dari

baseline, maka penggunaan nevirapine harus dihentikan. Selain itu ketika

muncul Steven-Johnson syndrome, maka penggunaan nevirapine harus

dihentikan dan tidak boleh diulang kembali. Efek samping lain yang sering

muncul yaitu alergi apabila nevirapine digunakan pada wanita dengan

CD4 > 250 dan pria dengan CD4 > 400, sehingga perlu dilakukan

pemantauan ketat pada pemakaiannya (Kemenkes RI, 2011).

4.4. Efavirenz

Efavirenz (EFV) termasuk ke dalam golongan NNRTI, yang

menghambat kerja enzim reverse transcriptase. Kombinasi antara

efavirenz dengan zidovudine, didanosine, atau indinavir menghasilkan

efek inhibisi yang sinergis terhadap HIV-1 (Adkins dan Nooble, 1998).

Efavirenz tidak dianjurkan untuk anak usia di bawah 3 tahun (Spiritia,

2013c).

Di Indonesia, efavirenz tersedia dalam bentuk kaplet 600 mg dan

kapsul 50 mg, 100 mg, 200 mg. Pada dewasa dosis efavirenz yang

dianjurkan yaitu 600 mg, biasa digunakan satu kali sehari sebelum tidur.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

19

Salah satu contoh efavirenz yang beredar di Indonesia adalah Efavir® dari

Cipla®.

Peningkatan serum lipid pada penderita HIV sering dikaitkan

dengan penggunaan efavirenz, sehingga terkadang membutuhkan agen

penurun kadar lipid (Gerber dkk, 2005). Efek samping yang sering

dirasakan ketika awal menggunakan efavirenz antara lain sakit kepala,

tekanan darah tinggi, atau tidak enak badan. Namun efek tersebut akan

hilang dan membaik. Efek samping yang sering dirasakan oleh pasien HIV

antara lain pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung, halusinasi, agitasi,

susah konsentrasi, insomnia, depresi, skizofrenia, mimpi buruk (Spiritia,

2013c) (Kemenkes RI, 2011). Pasien biasanya memilih minum efavirenz

tepat sebelum tidur untuk menghindari rasa pusing yang biasanya segera

mucul setelah minum efavirenz. Peneitian terhadap kera menunjukkan

bahwa penggunaan efavirenz pada wanita hamil dapat menyebabkan

kelahiran cacat. Pasien HIV yang menggunakan efavirenz dapat

menunjukkan hasil positif palsu pada tes ganja atau obat golongan

benzodiazepine (Spiritia, 2013c). Efavirenz, kombinasi bersama

zidovudine atau stavudine dan lamivudine merupakan obat pilihan untuk

penderita HIV dengan koinfeksi TB (Kemenkes RI, 2011).

5. Health belief model (HBM)

Health Belief Model (HBM) merupakan sebuah teori tentang faktor-faktor

intrapersonal yang berpengaruh terhadap health behavior yang kemudian

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

20

digunakan dalam penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi

maupun prefensi (Burke, 2013). Konsep dasar dari teori HBM yaitu persepsi

individu tentang penyakit yang diderita, serta keyakinan individu terhadap cara

untuk meringankan penyakit tersebut (Hochbaum, 1958). Pada HBM, perubahan

sikap terhadap kesehatan didasari oleh tiga hal yang muncul pada waktu yang

bersamaan, yaitu:

a. Individu tersebut menemukan bahwa ada alasan untuk fokus terhadap

masalah kesehatannya

b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan serta efek negatif dari penyakit

yang diderita

c. Individu tersebut menyadari bahwa perubahan perilaku dapat bermanfaat

untuk kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih cost

effective

(Burke, 2013)

Namun, ketiga hal tersebut juga dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap

ancaman dari penyakit, serta harapan untuk sembuh; yang juga secara tidak

langsung dapat mempengaruhi seorang individu untuk mengambil sikap

protective health behavior (Redding dkk, 2000).

Teori HBM menjelaskan ketiga hal di atas menjadi enam poin pentng,

yaitu perceived susceptibility (persepsi akan kerentanan), perceived severity

(persepsi akan keparahan), perceived barriers (persepsi akan penghalang),

perceived benefits (persepsi akan manfaat), cues to action (isyarat untuk

melakukan tindakan), dan self efficacy (kepercayaan diri untuk bertindak).

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

21

a. Perceived susceptibility

Susceptibility atau kerentanan, memiliki maksud seberapa besar

kerentanan individu terhadap suatu kondisi. Persepsi terhadap sebuah

kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong individu untuk

berlaku lebih sehat. Semakin kuat persepsi individu akan kerentanannya

terhadap suatu penyakit, maka semakin besar pula tindakan individu untuk

mengurangi risiko terkena suatu penyakit; begitu juga sebaliknya (de Wit

dkk, 2005; Rose 1995). Sebagai contoh, individu yang merasa rentan

terinfeksi HIV akan menggunakan kondom untuk mengurangi risiko

penularan HIV.

b. Perceived severity

Perceived severity merupakan persepsi individu akan keparahan

dari kondisi yang diderita dan bagaimana akibatnya pada kehidupan individu

tersebut (Hochbaum, 1958). Individu akan mengambil tindakan untuk

mencegah infeksi HIV ketika individu tersebut mengerti efek negatif yang

akan dia rasakan ketika terinfeksi HIV.

c. Perceived benefits

Perceived benefits merupakan persepsi individu tentang manfaat

yang dia peroleh dari perilaku baru yang dia lakukan untuk mengurangi

risiko perkembangan suatu kondisi, terutama penyakit. Persepsi akan

manfaat dari suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dapat

menjadikannya sebagai motivasi untuk tetap melakukan tindakan tersebut

(Redding dkk, 2000). Sebagai contoh, individu yang memiliki persepsi

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

22

bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan kondom dengan pencegahan

terhadap infeksi HIV, akan lebih memilih untuk tidak menggunakan

kondom karena individu tersebut percaya bahwa kondom tidak dapat

mencegah penularan HIV.

d. Perceived barriers

Perceived barriers merupakan penghalang, dapat pula kelemahan,

yang dirasakan oleh individu atas perubahan perilaku kesehatan yang

dijalaninya. Misal pada penggunaan kondom, seseorang merasa kurang

nyaman dalam menggunakannya, sehingga individu tersebut menjadi enggan

untuk menggunakan kondom kembali.

e. Cues to action

Cues to action merupakan stimulus yang mendorong individu

untuk menjalani perubahan perilakunya, terutama yang terkait masalah

kesehatan. Stimulus tersebut dapat berasal dari diri individu itu sendiri,

maupun dari luar individu. Pada kasus pencegahan penularan HIV dengan

menggunakan kondom, stimulus internal dapat berupa keinginan diri sendiri

untuk tetap sehat, sedangkan stimulus eksternal dapat berupa semangat dan

himbauan dari pasangan untuk tetap menggunakan kondom.

f. Self efficacy

Self efficacy merupakan kepercayaan diri individu bahwa dia

memiliki keyakinan dan kemampuan untuk tetap menjalani perubahan

perilaku kesehatan. Self efficacy merupakan kunci dari kelima faktor

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

23

lainnya karena komitmen dari pribadi individu sangatlah diperlukan untuk

menjaga perilaku sehat yang harus dijalani individu tersebut ke depannya.

Hubungan dari keenam faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Hubungan Antarvariabel pada Health Belief Model (Glanz dkk, 2008)

a. Faktor modifikasi

Faktor modifikasi, terdiri atas pengetahuan dan faktor sosiodemografi,

berpengaruh pada persepsi individu terkait kesehatan, dan mungkin secara

tidak langsung mempengaruhi perubahan perilaku terkait kesehatan. Sebagai

contoh, jenis kelamin seseorang dapat menjadikannya lebih berisiko

menderita suatu peyakit, seperti kanker serviks yang hanya diderita oleh

kaum perempuan (Glanz dkk, 2008).

Umur

Jenis Kelamin

Etnis

Kepribadian

Sosisoekonomi

Pengetahuan

Perceived

susceptibility dan

perceived severity

Faktor Modifikasi Individual Beliefs Tindakan

Perceived benefits

Perceived

barriers

Perceived self-

efficacy

Perceived

threat

Perilaku

individu

Cues to

action

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

24

b. Individual beliefs

Kolom individual beliefs terdiri dari komponen utama teori HBM, yaitu

perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived

barriers, dan perceived self-efficacy. Perceived threat (persepsi akan

ancaman) merupakan kombinasi antara perceived susceptibility dan

perceived severity (Glanz dkk, 2008). Individual beliefs menjelaskan secara

langsung apa yang individu percaya dan pengetahuannya tentang suatu

kondisi serta perilaku yang akan mempengaruhi kondisi tersebut (Burke,

2013). Setiap individu memiliki persepsi tersendiri akan kondisi yang

dirasakannya, persepsi itulah yang akan mempengaruhi tindakan yang akan

diambilnya untuk memperbaiki kondisi tersebut. Namun tindakan yang

diambil juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang pada tabel tersebut

disebut faktor modifikasi.

c. Tindakan

Ketika individu sudah merasa waspada akan perkembangan kondisinya

(penyakit) bila tidak adanya perubahan perilaku, maka individu tersebut

akan merubah perilakunya terkait kesehatan. Perubahan perilaku kesehatan

tersebut dipengaruhi oleh persepsi-persepsi yang ada dalam kolom

individual beliefs, serta cues to action (dorongan untuk bertindak).

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72023/potongan/S1-2014... · di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

25

F. Kerangka Konsep Penelitian

Dari data penelitian yang diperoleh, kerangka konsep untuk faktor

pendukung dan penghambat penggunaan ARV lini pertama dijelaskan dalam

Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka konsep penelitian faktor pendukung dan penghambat penggunaan

ARV lini pertama

G. Keterangan Empiris

Dari teori Health Belief Model tersebut, keterangan empiris yang diperoleh

dari penelitian ini adalah persepsi akan keparahan HIV/AIDS; persepsi akan

kerentanan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, dorongan untuk bertindak serta

keyakinan diri dalam penggunaan ARV menjadi faktor-faktor pendukung maupun

penghambat dalam penggunaan ARV.

Karakteristik

Responden

Jenis Kelamin

Usia

Tingkat Pendidikan

Pekerjaan

Lama Positif HIV

Lama Terapi ARV

Perceived

susceptibility dan

perceived severity

Faktor Modifikasi Individual Beliefs Tindakan

Perceived benefits

Perceived

barriers

Perceived self-

efficacy

Perceived

threat Kepatuhan

penggunaan

ARV Llini

pertama

Cues to

action