METODOLOGI PENELITIAN KOMUNIKASI UNTUK PR, IKLAN, & BROADCASTING
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Digitalisasi sistem siaran televisi merupakan topik yang sedang hangat-
hangatnya dibahas dalam dunia penyiaran sejak diselenggarakannya konferensi
oleh International Telecommunication Union (ITU) di Geneva. Konferensi ini
mendorong upaya internasional untuk melaksanakan pembangunan digitalisasi
terhadap seluruh penyiaran radio dan televisi terrestrial sejak tahun 2006 (ITU,
2006).
Namun, penerapan digitalisasi televisi di Indonesia membawa
problematika tersendiri. Pada tahun 2011, Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemkominfo) sudah merancang migrasi sistem siaran televisi analog
menuju digital dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kominfo
No.22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi
Digital Terrestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air) (Kominfo,
2011). Peraturan Menteri ini mengundang pro dan kontra di kalangan pemerintah
dan regulator serta pelaku penyiaran. Pemerintah menganggap digitalisasi dan
segala produknya sudah sah sedangkan KPI, sebagai regulator penyiaran,
menganggap produk hukum yang dibuat pemerintah tentang digitalisasi masih
belum mencukupi karena idealnya bentuk regulasi bagi penyelenggaraan
penyiaran televisi digital terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar ini adalah
setingkat Undang-Undang. Selain itu, menjadi ironis saat peraturan menteri ini
muncul justru ketika perubahan Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002
tengah dilakukan DPR (Rianto, Wahyono, Yusuf, dkk, 2012: xi). Hal ini
memunculkan kesan terburu-buru yang dilakukan oleh pemerintah. Televisi-
televisi lokal sebagai pelaku penyiaran pun turut serta menyuarakan
ketidaksetujuannya karena penenderan frekuensi kepada pihak swasta memicu
monopoli dan menjadikan televisi lokal tidak mendapatkan kanal digital terrestrial
(Saputra, 2012).
2
Pada situasi dilema yang belum mendapatkan solusi ini, pemerintah sudah
mengeluarkan Keputusan Menteri Kominfo No.95 Tahun 2012 tentang Peluang
Usaha Penyelenggaraan Multipleksing Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi
Digital Terrestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air) yang
memutuskan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta bersama 6 provinsi yang lain
terpilih menjadi lima zona layanan yang akan mengawali uji coba siaran digital di
Indonesia (Kominfo, 2011). Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) menolak
tegas keputusan tersebut dengan mengajukan banding ke Presiden Republik
Indonesia (Luthfi, 2012). Namun, penolakan ini tidak mendapat tanggapan.
Sampai awal tahun 2013, penyelenggaraan digitalisasi televisi di level lokal terus
berjalan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, sudah ada dua proposal
pendirian stasiun televisi digital yang masuk di Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah (KPID) Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini membuat polemik peraturan
tentang televisi digital terus bergulir.
Gerakan televisi lokal, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam
menolak digitalisasi sistem siaran televisi semakin gencar dengan mengajukan
tuntutan ke Mahkamah Agung untuk membatalkan penyelenggaraan digitalisasi
sistem siaran televisi tersebut karena dinilai melanggar undang-undang penyiaran
(Saputra, 2012). Tuntutan ini dikabulkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 3
April 2013 (MA, 2013).
Namun, pembatalan ini jelas tidak akan menghentikan peralihan menuju
televisi digital di Indonesia karena sesuai dengan trend dunia yang berbondong-
bondong beralih menuju sistem siaran televisi digital. Indonesia pasti mengadopsi
sistem siaran televisi digital tersebut tetapi belum pasti kapan akan dilaksanakan.
Hal ini bisa dilihat dari keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang
tidak akan membatalkan seleksi televisi digital meskipun Mahkamah Agung telah
mengabulkan judicial review atas Peraturan Menteri Kominfo No. 22/2011
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terrestrial Penerimaan Tetap
Tidak Berbayar (Free To Air) (Pitoyo, 2013).
Bisa dikatakan, polemik digitalisasi televisi di Indonesia berawal dari
kebijakan yang dikeluarkan Kominfo dalam bentuk peraturan menteri yang
3
menaungi penyelenggaraan sistem siaran televisi digital. Pemerintah yang
terkesan terburu-buru seakan tidak mau mendengar penolakan dari beberapa
pihak, khususnya di level lokal. Setelah berjalan satu tahun di daerah, mengapa
baru dihentikan? Tentu ini menjadi masalah baru di level lokal yang sudah
―terlanjur‖ menjalankan kebijakan. Namun, juga menjadi angin segar untuk
memulai babak baru karena tuntutan sudah dikabulkan. Fenomena ini
menyiratkan bahwa dalam mengadopsi sistem siaran televisi digital, Indonesia
terkendala persoalan persiapan. Persiapan penerapan sistem siaran televisi digital
di level lokal yang menjadi pokok conflict of interest ini menjadi hal yang
menarik untuk dikaji. Peneliti ingin memaparkan secara detail tentang langkah-
langkah apa saja yang dilakukan regulator dan pelaku penyiaran lokal Daerah
Istimewa Yogyakarta untuk menyesuaikan putusan Mahkamah Agung tersebut,
bagaimana persiapan yang dilakukan regulator dan pelaku penyiaran lokal Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam peralihan ke sistem siaran televisi digital, dan
persoalan apa saja yang muncul dalam mempersiapkan diri dalam peralihan ke
sistem siaran televisi digital. Pemetaan problematika persiapan dalam peralihan ke
sistem siaran televisi digital di Daerah Istimewa Yogyakarta ini dapat dimulai
dengan memahami konsep sistem siaran televisi digital berikut permasalahan
secara makro yang terjadi di Indonesia. Tahapan ini dilanjutkan dengan
melakukan studi komprehensif persiapan dan pengelolaan sistem siaran televisi
digital di negara-negara maju yang menjadi target the Millennium Development
Goals1.
Sejalan dengan kebutuhan di atas, penelitian ini bermaksud untuk
melakukan eksplorasi terhadap persiapan regulator dan pelaku penyiaran lokal
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam peralihan menuju sistem siaran televisi
digital. Hasil penelitian ini kemudian dapat digunakan sebagai konsep gambaran
untuk pemerintah tentang persiapan dan kesiapan regulator dan pelaku penyiaran
1 The Millennium Development Goals merupakan target dari konferensi ITU yang
menargetkan bahwa pada tahun 2015, negara di Eropa, Afrika, Timur Tengah,
dan Iran sudah harus beralih ke sistem siaran televisi digital.
4
lokal dalam menyongsong peralihan menuju sistem siaran televisi digital dalam
level daerah.
B. Rumusan Masalah
―Bagaimana persiapan regulator dan pelaku penyiaran Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam peralihan ke sistem siaran televisi digital?‖
C. Tujuan Penelitian
1. Memaparkan peta makro tentang digitalisasi televisi di Indonesia
untuk menggambarkan kompleksitas masalah tersebut, khususnya di
level daerah.
2. Melakukan eksplorasi terhadap persiapan regulator dan pelaku
penyiaran lokal Daerah istimewa Yogyakarta dalam peralihan ke
sistem siaran televisi digital.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan kontribusi untuk pemerintah mengenai gambaran
problematika persiapan dan kesiapan regulator dan pelaku penyiaran
lokal dalam menyongsong peralihan menuju sistem siaran televisi
digital.
2. Memberi gambaran mengenai kompleksitas masalah sistem siaran
televisi digital di Indonesia secara makro dalam kajian komunikasi.
E. Kerangka Pemikiran
1. Teknologi Penyiaran Televisi
Kebijakan pemerintah untuk mengadopsi sistem siaran digital di
Indonesia dapat dipahami sebagai sebuah keniscayaan. Meskipun saat ini
regulasi berupa Permen Kominfo No. 22/PER/M.KOMINFO/11/2011
dibatalkan oleh Mahkamah Agung, kebijakan pemerintah untuk tetap
menyelenggarakan sistem siaran televisi digital akan terus berlangsung
sambil menunggu revisi regulasi yang menaungi penyelenggaraan
5
digitalisasi penyiaran di Indonesia. Beberapa alasan yang mengemuka
adalah bahwa sistem penyiaran televisi digital saat ini menjadi trend di
ranah global sehingga perlu dipertimbangkan jika Indonesia tidak mau
tertinggal dengan negara lain, khususnya negara-negara di Asia. Kedua,
saat ini, perlahan tapi pasti bahwa sistem siaran televisi analog sudah
mulai ditinggalkan. Jika Indonesia tidak segera mengimbangi negara-
negara lain untuk beralih ke sistem siaran televisi digital, dikhawatirkan di
masa mendatang pabrik-pabrik yang menyediakan peralatan analog pun
akan mulai jarang ditemukan atau bahkan sudah tidak ada, termasuk suku
cadangnya. Ketiga, spektrum frekuensi merupakan sumber daya terbatas,
sehingga efisiensi menjadi kritikal. Penggunaan teknologi digital ini
berarti menjadi penghematan spektrum frekuensi yang akan menjadi solusi
dalam mengatasi keterbatasan frekuensi dengan memanfaatkannya secara
optimal.
Untuk itu, berdasarkan roadmap yang dibuat Kominfo mengenai
digitalisasi penyiaran, sistem siaran televisi analog di Indonesia
direncanakan akan switch off pada tahun 2018. Hal ini berarti, pada tahun
2018, seluruh Indonesia akan beroperasi dengan menggunakan sistem
siaran televisi digital. Dalam praktiknya, proses migrasi sistem siaran
televisi analog menuju digital ini sangat terkait dengan faktor fundamental,
yaitu persiapan dan kesiapan infrastruktur beserta teknologinya.
Teknologi penyiaran televisi analog jelas berbeda dengan teknologi
penyiaran televisi digital. Sistem penyiaran televisi berbasis teknologi
analog membuat lembaga-lembaga penyiaran membangun infrastruktur
penyiaran sendiri seperti studi siaran, menara pemancar, antena dan
sebagainya karena teknologinya belum bisa konvergensi dengan teknologi
lain. Akibatnya, biaya pemeliharaan dan pemakaian daya listrik menjadi
relatif mahal (belum termasuk penggunaan lahan yang lebih boros). Selain
itu, sistem penyiaran berbasis teknologi analog tidak bisa mengimbangi
tuntutan industri penyiaran terkait jumlah permintaan penyaluran program
siaran. Sebab, secara operasional, untuk menyalurkan banyak program
6
siaran, sistem penyiaran analog membutuhkan banyak kanal frekuensi. Hal
ini disebabkan satu kanal frekuensi hanya dapat digunakan oleh satu
stasiun TV atau radio, sedangkan jumlah kanal frekuensi yang tersedia
terbatas. Dari sisi penerimaan siaran juga bermasalah karena kualitasnya
bervariasi meski berada dalam wilayah layanan yang sama (Sosiawan
dalam modul kuliah Dasar-Dasar Broadcasting).
Struktur sistem siaran televisi analog digambarkan sebagai berikut :
Video camera
Microphone
(Arnold, John, Michael Frater, and Mark Pickering, 2007: 3)
Sebuah sinyal video analog diciptakan oleh urutan waktu gambar,
dengan 25 atau 30 dari foto-foto ini ditampilkan setiap detik. Setiap
gambar terdiri dari jumlah baris, masing-masing yang dipindai dari kiri ke
kanan. Resolusi biasanya 576 baris untuk 25 sistem Hz dan 480 baris
untuk 30 sistem Hz. Sedangkan audio yang menyertai video dalam sistem
televisi analog biasanya memiliki bandwidth sekitar 15 kHz. Oleh karena
itu, sinyal analog mempunyai lebih banyak noise yang membuat gambar
tidak jernih serta audio yang monophonic.
Untuk mengefisiensi frekuensi dan meningkatkan kualitas layanan
resolusi yang lebih tinggi, serta integrasi berbagai layanan interaktif ke
dalam siaran televisi, maka dilakukanlah migrasi dari sistem siaran televisi
analog menuju sistem siaran televisi digital. Selain peningkatan kuantitas
program siaran yang dapat disalurkan, teknologi penyiaran digital juga
menawarkan keandalan kualitas penerimaan siaran dan variasi program
siaran yang dapat disalurkan. Kelebihan lainnya, kemampuan teknologi
penyiaran digital menyalurkan semua program siaran di satu wilayah
layanan (di Indonesia terdapat 14 wilayah layanan), sehingga penggunaan
infrastruktur dapat lebih efisien dan penerimaan siaran pun lebih merata.
Modulator
Modulator
Multiplekser Upconverte
r
7
Digitalisasi sendiri merupakan terminologi untuk menjelaskan proses
alih format media dari bentuk analog menjadi bentuk digital. Secara
teknis, digitalisasi adalah proses perubahan segala bentuk informasi
(angka, kata, gambar, suara, data, dan gerak) dikodekan ke dalam bentuk
bit (binary digit) sehingga dimungkinkan adanya manipulasi dan
transformasi data (bitstreaming), termasuk penggandaan, pengurangan,
maupun penambahan. Semua jenis informasi diperlakukan bukan dalam
bentuk asli, tetapi bentuk digital yang sama (byte/bit). Bit ini berupa
karakter dengan dua pilihan: 0 dan 1, on dan off, yes dan no, ada informasi
atau tidak. Penyederhanaan ini pada akhirnya dapat merangkum aneka
bentuk informasi: huruf, suara, gambar, warna, gerak, dan sebagainya
sekaligus ke dalam satu format sehingga dapat memproses informasi untuk
berbagai keperluan: pengolahan, pengiriman, penyimpanan, penyajian,
sekaligus dalam satu perangkat (Setyobudi dalam Yusuf, 2012: 179).
Perbedaan pokok teknologi penyiaran digital dan penyiaran analog
adalah adanya peralatan multiplexer (mux). Multiplexer merupakan suatu
sistem perangkat untuk menyalurkan beberapa program siaran dari para
Penyelenggara Program Siaran yang kemudian dipancarkan kepada
masyarakat/ pemirsa melalui suatu perangkat transmisi. Sistem penyiaran
digital berjalan melalui mux/multiplexing dan kompresi yang
menggabungkan sejumlah audio/data stream ke dalam satu kanal
penyiaran. Setiap stasiun menempati slot di multiplex dengan bit rate yang
sama atau berbeda sesuai kebutuhan. Teknologi multiplexing ini sendiri
memungkinkan dilakukannya pelebaran kanal frekuensi.
Struktur sistem siaran televisi digital digambarkan sebagai berikut :
8
Video Source
Audio Source
Private Data
(Chengyuan Peng, 2002: 4)
Sinyal digital dari pemancar ini akan diterima oleh antena televisi di
setiap rumah. Jika televisi yang digunakan masih analog, maka dibutuhkan
alat yang bernama set top box untuk menerjemahkan sinyal digital
tersebut.
Secara teknis penyiaran dengan sistem digital saat ini dikembangkan
karena memiliki banyak kelebihan, yakni (1) sangat sederhana dalam hal
instalasi. Sebab untuk audio maupun video sudah dalam satu kabel atau
embedded. Jika dibandingkan dengan sistem analog, sistem audio-video
yang terpisah memerlukan banyak kabel dalam instalasinya. Sebagai
contoh, pada sistem audionya saja, dikenal 3 channel suara yaitu Audio 1
dan Audio 2 untuk sistem stereo dan Audio 3 untuk sistem mononya.
Ditambah sistem video yang memerlukan banyak penguatan (video gain)
akibat dari penurunan kualias gambar sebagai efek panjangnya jalur
instalasi. Sedangkan pada sistem penyiaran yang menggunakan teknologi
digital, penurunan kualitas gambar hampir tidak ditemui; (2) sangat
kompatibel atau dapat mengikuti perkembangan teknologi yang ada,
karena berbasis digital komputerisasi atau data; (3) mempersempit
kesalahan operasional (human error), karena lebih sederhana dalam
operasinya; (4) lebih menghemat dalam segi maintenance karena sudah
komputerisasi dalam database, dengan minimal penggunaan hardware
seperti mekanik roboting yang menggunakan pegas-pegas dengan
Video Encoder
Audio Encoder
SI
CA
cccccCo
ntrolCon
trolContr
ol
Synch. Info
MPEG-2
Multiplexer
Tran
smitter
Pppppprivate data
Channel
coding
Modulation
Error
correction T
ranso
transp
ort steam
9
elastisitas terbatas; (5) cukup menggunakan converter sederhana dalam
sistemnya, yaitu Analog to Digital Converter (ADC) atau Digital to
Analog Converter pada instalasinya, serta Encoder maupun Decoder pada
tampilan audio-videonya; (6) sistem software yang terintegrasi dalam satu
bahasa (satu operating system) misalnya under Windows, Linux, MAC
OSX, dan sebagainya, sehingga memungkinkan updating versi setiap saat
(Yusuf, 2012 : 182-183).
Selain dari sisi teknis penyiaran, teknologi penyiaran televisi digital
terbukti mampu memberikan lebih banyak manfaat bagi pemirsanya
dibandingkan dengan televisi analog. Beberapa manfaat tersebut, antara
lain, menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik, menghemat kanal
frekuensi, dan aplikasi yang interaktif, dalam arti banyak ragam dan
pilihan yang dapat diperoleh.
Meskipun teknologi penyiaran digital telah dikembangkan, semua
pemancar televisi di Indonesia masih analog. Dengan demikian, semua
penerima televisi juga masih analog meskipun memiliki banyak fitur
digital. Dengan adanya migrasi (phase out) ke penyiaran TV digital
sampai dengan target switch off tahun 2018, pemilik TV konvensional
harus menyediakan suatu kotak konversi sinyal radio dari digital ke analog
yang lazim disebut set-top-box (STB), yakni piranti tambahan pada
pesawat TV sebagaimana VCD player. Pertanyaan yang kemudian
muncul, apakah para lembaga pengelola penyiaran mampu menyediakan
STB sebagai subsidi yang merata kepada seluruh masyarakat Indonesia?
Permasalahan STB nantinya juga akan menjadi masalah yang cukup
kompleks. Widodo (2009) memaparkan bahwa Indonesia adalah pasar
yang sangat potensial karena kepemilikan TV sekitar 40 juta unit. Jumlah
ini merupakan pasar yang sangat menjanjikan bagi industri nasional dalam
mengembangkan produksi perangkat STB. Bila diperkirakan harga STB
adalah Rp500.000,00, peluang bisnis terkait per tahun 10% x 40 juta x
Rp500.000,00= Rp 2 triliun, suatu angka rupiah yang cukup besar bagi
10
industri menengah. Lalu, siapa yang akan memproduksi STB agar tidak
terjadi monopoli bisnis?
Selain itu, pascamigrasi digital, seluruh materi siaran akan dipancarkan
oleh lembaga penyiaran multipleksing. Alhasil, pemancar televisi lokal
otomatis tidak digunakan lagi. Lalu, akan dikemanakan peralatan yang
sudah terlanjur menggunakan analog serta pemancar ini? Apakah
sebenarnya digitalisasi merupakan kerugian yang besar bagi para pemilik
stasiun televisi?
Faktor infrastruktur dan teknologi dalam proses migrasi sistem siaran
televisi analog menuju digital ini tentu tidak sesederhana pengadaan alat
saja, namun juga sebuah investasi besar yang dilakukan para pemilik
stasiun televisi yang menarik untuk ditinjau lebih jauh oleh pemerintah.
2. Peralihan Ke Sistem Siaran Televisi Digital
Digitalisasi penyiaran yang dilakukan di dunia, secara makro mengacu
pada media elektronik, baik radio ataupun televisi. Weiner dalam Wahyuni
(2000, 4) mengemukakan tentang definisi penyiaran atau broadcasting,
yaitu:
“… a single radio or TV program, the transmission or duration of a
program any message that is transmitted over a large area.”
Mengacu pada definisi di atas, dapat dipahami bahwa pengertian
penyiaran atau broadcasting dapat diterapkan pada radio ataupun televisi,
tetapi dalam konteks penelitian ini, pengertian penyiaran akan digunakan
terbatas hanya pada media elektronik televisi saja.
Digitalisasi merupakan terminologi untuk menjelaskan proses alih
format media dari bentuk analog menjadi bentuk digital. Sebelumnya,
proses analog dalam produksi siaran televisi meliputi produksi acara
televisi (shooting adegan, editing, finalisasi, dan menyimpan video),
penyiaran (menghasilkan komposit video, modulasi, amplifikasi, dan radio
transmitting), dan penerimaan (penangkapan sinyal oleh antena,
demodulasi dari televisi penerima, dan penyajian gambar serta suara ke
11
penonton) dari sinyal oleh pengguna yang semua analog, yaitu sinyal yang
diwakili gambar dan suara yang dihasilkan di studio yang semua analog,
serta sinyal yang dikirim ke penerima (Carvalho dalam Alencar, 2009: 1).
Sedangkan sistem siaran televisi digital merupakan evolusi dari sistem
siaran analog itu sendiri. Graciosa dan Zuffo dalam Alencar (2009: 1)
menjelaskan bahwa pada sistem siaran analog, informasi yang telah
diproses berbentuk digital di studio yang akan diubah menjadi sinyal
analog dan ditransmisikan ke penerima televisi analog. Dengan televisi
digital, semua proses yang dilakukan berbentuk digital sehingga gambar,
suara, dan semua informasi tambahan yang dihasilkan, dikirim dan
diterima sebagai sinyal digital. Hal ini memberikan gambar dan suara yang
lebih baik sekaligus lebih lebar daripada analog, dengan resolusi yang
tinggi. Untuk itu, bagi penerima yang televisinya masih bersistem analog,
memerlukan sebuah set top box2 yang akan menerjemahkan sinyal analog
menjadi digital.
Sebuah sistem televisi digital terdiri dari satu set standar. Berikut
gambar yang menunjukkan perbedaan sistem siaran televisi analog dengan
sistem siaran televisi:
Secara teknis, pada sistem siaran televisi digital seperti menara
pemancar, antena, dan saluran transmisi masing-masing cukup
menggunakan satu alat untuk banyak siaran. Sistem penyiaran televisi
2 Decoder yang menerima konten televisi digital dan mengkonversi ke dalam format
analog sehingga pengguna dapat mengakses teknologi digital. Alat ini juga
memungkinkan untuk browsing web.
12
digital berjalan melalui multiplexing dan kompresi yang menggabungkan
sejumlah audio atau data stream ke dalam satu kanal penyiaran. Setiap
stasiun menempati slot di multiplex dengan bit rate yang sama atau
berbeda sesuai dengan kebutuhan. Teknologi multiplexing ini sendiri
memungkinkan dilakukannya pelebaran kanal frekuensi. Dalam sistem
analog, satu kanal hanya bisa diisi dengan satu saluran siaran, sedangkan
dalam sistem siaran televisi digital satu kanal bisa diisi dengan lebih dari
enam saluran siaran sekaligus. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem
digital, pelebaran frekuensi bisa dilakukan (Rianto, Wahyono, Yusuf, dkk,
2012 : 67-68).
Migrasi dunia untuk beralih dari sistem siaran televisi analog ke sistem
siaran televisi digital dilakukan untuk menjawab tuntutan perkembangan
teknologi informasi yang semakin maju. Perkembangan ini menuntut
tersedianya layanan-layanan baru yang interaktif dan dapat diakses kapan
saja, dimana saja, dan dengan alat apa saja. Asumsi ini disepakati oleh
Masduki (2007, 263), bahwa :
“Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan
masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk
mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah
menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi
komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara…”
Dengan teknologi dalam digitalisasi televisi seperti yang telah
dijelaskan di atas, digitalisasi penyiaran televisi menjadi sebuah solusi
untuk mengatasi keterbatasan dan ketidakefisienan penyiaran analog.
Rianto, Wahyono, Yusuf, dkk (2012, 1) memaparkan bahwa penyiaran
televisi digital memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan penyiaran
televisi analog dan dapat mengimbangi permintaan atau tuntutan industri
penyiaran seperti yang telah dijelaskan. Sistem siaran televisi analog
dinilai tidak dapat mengimbangi permintaan industri penyiaran dalam hal
penyaluran program siaran yang terus bertambah karena terbatasnya
13
jumlah kanal frekuensi yang tersedia. Selain itu, penggelaran infrastruktur
penyiaran analog pun tidak efisien karena belum menyentuh konvergensi.
Dalam sistem penyiaran analog, masing-masing lembaga penyiaran
memiliki infrastruktur penyiarannya sendiri-sendiri, seperti menara
pemancar, antena, dan sebagainya. Akibatnya, biaya pemeliharan relatif
mahal, pemakaian daya listrik yang besar, serta pemanfatan lahan yang
lebih boros. Di sisi penerimaan siaran pun, kualitas siarannya tidak merata
meski berada dalam wilayah layanan yang sama.
Penerapan teknologi penyiaran digital diharapkan memberikan
efisiensi penggunaan spektrum frekuensi yang lebih baik sehingga dapat
memenuhi kebutuhan penyediaan program siaran yang lebih banyak
dibandingkan penyiaran analog. Sistem siaran televisi digital
memungkinkn dilakukannya kompresi frekuensi dimana satu frekuensi
bisa diisi oleh 12 saluran siaran. Dengan demikian, televisi digital
memberikan peluang bagi munculnya industri atau bisnis baru di bidang
telekomunikasi dan media elektronik, khususnya untuk membangkitkan
stasiun-stasiun televisi lokal.
Selain peningkatan di sisi kuantitas program siaran yang dapat
disalurkan dalam satu kanal frekuensi, teknologi penyiaran digital pun
menawarkan keandalan lain, yakni kualitas penerimaan yang jauh lebih
baik dibandingkan penyiaran analog. Program siaran yang dapat
disalurkan pun lebih bervariasi jenisnya. Selain itu, pemancar bersama
untuk menyalurkan semua program siaran pada suatu wilayah layanan
sehingga akan tercapai suatu efisiensi infrastruktur yang baik. Penerimaan
siaran yang sampai di masyarakat pun akan merata. Penyiaran televisi
digital terrestrial juga dapat diakses oleh sistem penerimaan fixed dan
mobile TV. Di sinilah teknologi penyiaran televisi digital akan
mengakibatkan konvergensi media menjadi semakin nyata. Konvergensi
antarteknologi terjadi antara teknologi penyiaran (broadcasting), teknologi
komunikasi (telepon), dan teknologi informasi (IT).
14
Keunggulan sistem siaran televisi digital juga dijelaskan Starks (2007,
14) dalam bukunya yang berjudul Switching to Digital Television : UK
Public Policy And The Market, yaitu:
―In simple terms digital television involves coding and then
compressing the television signal. The benefits of digital transmission
are increased robustness, resulting in technical quality improvements,
and increased capacity, giving the option of many more programme
services.‖
Alencar (2009: 5-7) memaparkan keunggulan lain dari sistem siaran
televisi digital di sisi layanan. Salah satu keunggulan yang menonjol dari
layanan sistem siaran televisi digital adalah interactivity channel. Layanan
ini memanfaatkan fasilitas set top box. Sistem kerjanya sangat sederhana,
yaitu data dari layanan interaktif yang menyiarkan suatu siaran kemudian
tersimpan pada perangkat, yang bisa diakses kapan saja. Misalnya, saat
penonton ingin memberikan votes untuk kontestan acara di televisi. Untuk
tingkat yang lebih tinggi, interaktivitas dapat digunakan untuk berbelanja
online. Dengan kata lain, interactivity channel memungkinkan penonton
untuk mengakses internet di layar televisi.
Berbagai keandalan televisi digital baik dalam infrastruktur maupun
kualitas siaran seperti yang telah dipaparkan di atas, menjadikan alasan
International Telecommunication Union (ITU) menyelengarakan
konferensi untuk menjawab kegelisahan tuntutan perkembangan teknologi
di dunia. Konferensi ini mendorong upaya internasional untuk
melaksanakan pembangunan digitalisasi terhadap seluruh penyiaran radio
dan televisi terrestrial sejak tahun 2006 (ITU, 2006).
Topik mengenai televisi digital sebenarnya sudah dibicarakan jauh
sebelum ITU melakukan konferensi tersebut, yaitu pada tahun 1996
(Gerbarg, 2009: 1). Topik digitalisasi mulai terdengar sejak Jepang
memperkenalkan HDTV (High Definition Television) pada tahun 1980-an
15
dengan menggunakan sistem muse3. Saat itu, Amerika Serikat yang sejak
tahun 1939 sudah menggunakan televisi analog, sedang mengembangkan
alokasi gelombang radio tambahan untuk televisi di gelombang UHF
(tahun 1952) dan mengadopsi televisi standar berwarna (tahun 1955).
Melihat Jepang yang selangkah lebih maju, industri pertelevisian Amerika
Serikat memutuskan untuk beralih ke televisi digital dari televisi analog.
Alasannya adalah merangsang produksi televisi di Amerika Serikat dan
mencegah dominasi Jepang (HDTV). Dengan dikeluarkannya UU
Telekomunikasi pada tahun 1996, Federal Communication Commision
(FCC) resmi melakukan terobosan televisi digital dengan merencanakan
lima tahun pembangunan sistem siaran televisi digital dengan target switch
off pada tahun 2006. Namun, setelah itu tidak ada pembahasan mengenai
televisi digital maupun konten digital lagi untuk negara-negara lain di
dunia. Sehingga hanya negara-negara tertentu seperti Amerika dan
beberapa negara di Eropa serta Jepang yang terlebih dahulu mengadopsi
sistem siaran televisi digital. Baru setelah ITU melakukan konferensi yang
mengambil keputusan tentang pembangunan digitalisasi televisi di seluruh
negara di dunia, topik sistem siaran televisi digital kembali menjadi topik
yang hangat di bidang penyiaran. Negara-negara dunia sepakat akan
beralih ke sistem siaran televisi digital sesuai dengan konferensi ITU,
namun dengan proporsi dan target yang berbeda di setiap negara
disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.
Salah satu konsekuensi dalam pembangunan digitalisasi televisi di
dunia adalah periode transisi dimana analog dan digital harus digunakan
sekaligus sebelum akhirnya benar-benar menggunakan sistem siaran
televisi digital saja (periode simulcast). Konferensi sepakat bahwa masa
transisi dari analog ke penyiaran digital, yang dimulai pada 0001 UTC 17
Juni 2006, harus berakhir pada tanggal 17 Juni tahun 2015 atau yang
3 Muse adalah sistem analog yang menggunakan kompresi dari sinyal televisi.
16
disebut the Millenium Development Goals. Namun, beberapa negara
berkembang diberi tambahan waktu lima tahun untuk proses transisi ini.
Dalam mengadopsi kebijakan digitalisasi ini tentu memerlukan proses
yang berbeda-beda di setiap negara. Di Amerika Serikat, keterlibatan
pmerintah dalam mengatur transisi dari sistem analog ke digital sangatlah
tinggi. Sejak adopsi terhadap digital terrestrial television (DDTV)
diputuskan pada tahun 1996, pemerintah melalui Federal Communication
Commision (FCC) membuat perencanaan aplikasi digital dan melakukan
evaluasi setiap dua tahun sekali agar digitalisasi televisi dapat tercapai
pada tahun 2009 (Levy dan Kwerel dalam Rianto, Wahyono, Yusuf,dkk,
2012: 140). Kebijakan tentang pembagian dan penggunaan frekuensi pun
menjadi elemen penting dalam persiapan implementasi digitalisasi yang
disadari betul oleh Amerika Serikat. Prinsipnya, harus ada lembaga yang
secara khusus diberi wewenang untuk menangani masalah frekuensi.
Dalam hal ini, pemerintah Amerika Serikat menciptakan Federal
Communication Commision (FCC) berdasarkan The Communications Act
tahun 1934 untuk mengelola penggunaan frekuensi oleh perusahaan
swasta dan entitas publik (Gerbarg, 2009 : 174).
Beberapa negara demokrasi di Eropa pun sudah mengadopsi sistem
siaran televisi digital, yaitu Inggris, Perancis, Swedia, dan Jerman. Di
Inggris, DDTV mulai beroperasi pada bulan November 1998. Ketentuan
ini tercantum dalam White Paper on Digital Television of August 1995 dan
Broadcasting Act of July 1996. Kebijakan penerapan digitalisasi ini
dikaitkan dengan isu pemberian pelayanan penyiaran yang lebih baik
kepada masyarakat menyangkut kualitas audio-visual, variasi program,
dan jasa pelayanan multi-platform. Switch off date penyiaran analog ke
digital dimulai secara bertahap dari tahun 2006-2012. Pemerintah telah
menetapkan bahwa Switch off secara nasional hanya akan diberlakukan
jika 95% rumah tangga telah dapat mengakses siaran digital. Tugas Ofcom
(the Office of Communication), sebuah lembaga penyiaran independen di
Inggris, dalam pemberian izin multiplex diatur secara jelas dalam the
17
Communication Act 2003. Di Perancis, meskipun rencana digital terrestrial
television telah dibicarkan di awal thun 1996, peraturan tentang DDTV
(yaitu, The Law of August 1st 2000) baru dapat diputuskan pad thun 2000
dan walaupun telah dibuat peraturan tentang digital terrestrial television,
tapi pengoperasiannya baru dapat dilakukan pada bulan Maret 2005. Di
negara ini, terjadi perdebatan yang cukup sengit menyangkut perumusan
regulasi agar teknologi digital memberikan jaminan dan pengaruh positif
bagi demokrasi. Perancis menargetkan melakukan Switch off terhadap
sistem analog pada tahun 2010. Negara ini memberlakukan pelayanan
Simulcast, yaitu broadcaster diizinkan untuk melakukan siaran dengan
dua sistem analog dan juga digital (DDTV) dalam masa transmisi
perubahan ke digital. Di Swedia, keputusan untuk menerapkn teknologi
digital di industri penyiaran telah dilakukan dan diperkenalkan sejak tahun
1997. Namun, DDTV mulai diterapkan pada tanggal 1 April 1999 di
wilayah yang terbatas. Negara ini merupakan negara kedua di Eropa
setelah Inggris yang menerapkan sistem digital terrestrial television.
Switch off date dari sistem penyiaran televisi anlog ke digital dilakukan
secara bertahap ntara tahun 2005-2008. Riksdag (Swedish Parliament)
menetapkan ketentuan, yaitu sebelum Switch off dilakukan secara nasional,
99,8% populasi setidaknya harus dapat menerima transmisi DDTV
terutama dari public service broadcasting dan dari televisi pendidikan.
Sedangkan di Jerman, pada Desember 1997 menunjuk the Federal
Ministry for Economics untuk mempersiapkan transisi dari televisi analog
ke digital. Berkenaan dengan itu, sebuah kelompok kerja yang dinamai
―Digital Broadcasting‖ dibentuk. Di negara ini, kebijakan aplikasi DDTV
telah disepakati pada tahun 2001 dan soft launch dilakukan pada tahun
yang sama.
Salah satu negara di Asia yang sudah mengadopsi sistem siaran televisi
digital adalah Jepang. Digital terrestrial television di Jepang dimulai dari
1 Desember 2003 di tiga daerah urban (perkotaan), yaitu Tokyo, Nagoya,
dan Osaka. DTTV kemudian mulai beroperasi di Ibaraki dan Toyama pada
18
bulan Oktober 2004, di Gifu pada bulan November 2004, dan Kangawa
serta Hyogo pada bulan Desember 2004 (Asmi dalam Rianto, Wahyono,
Yusuf,dkk, 2012: 152). Digitalisasi dimulai di kota lain di jepang pada
tahun 2006, dengan sasaran final 48 juta rumah tangga menggunakan
televisi digital. Dari 24 juli 2011, penyiaran analog akan berhenti dan
spektrum analog akan dikembalikan kepada pemerintah jepang.
Diperkirakan dibutuhkan dana 1,2 triliun yen untuk penyiar terestrial
untuk membangun fasilitas penyiaran digital terestrial mencapai seluruh
bagian.
Kebijakan sistem siaran televisi digital di Jepang tergolong cukup
unik. Jepang menggunakan sistem oligopoli dimana terdapat lima stasiun
televisi kunci yang mendominasi program siaran nasional dengan
membatasi program siaran televisi lokal. Stasiun televisi lokal mendapat
25% dari total pendapatan mereka (Cave dan Nakamura, 2006 : 125). Hal
ini dilakukan untuk meningkatkan perekonomian televisi di Jepang.
Namun, juga membuat ketergantungan televisi lokal terhadap lima stasiun
televisi nasional tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, negara-negara yang sudah terlebih dahulu
mengadopsi sistem siaran televisi digital, melalui proses yang panjang
dalam pengadaan dan manajemen infrastruktur, persiapan, serta
implementasi dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakatnya.
3. Perkembangan Sistem Siaran Televisi Digital di Indonesia
Indonesia sebagai negara berkembang pun turut merencanakan
mengadopsi sistem siaran televisi digital. Hal ini dilakukan untuk
mewujudkan demokratisasi penyiaran. Demokratisasi dalam konteks
komunikasi selalu dikaitkan dengan bagaimana warga negara dapat
merealisasikan atau mewujudkan hak-hak sebagai kewarganegaraannya.
Demokratisasi sangat berkaitan dengan kebebasan berkarya dan berekpresi
individu dalam ruang civil society, termasuk di dalamnya, antara lain
kebebasan untuk berkomunikasi, kebebasan berpikir dan beragama
19
kebebasan untuk berpendapat dan berasosiasi serta kebebasan untuk
memiliki dan mengatur kepemilikannya. Sebaliknya, demokratisasi
lainnya dapat berbagi perspektif politik menempatkan nilai lebih pada
keselarasan antara masyarakat dan pimpinan lembaga negara dengan cara
terpercaya, prioritas kepentingan tentang hak-hak masyarakat dan
kekuasaan negara untuk membuat undang-undang yang dianggap perlu
dengan kondisi-kondisi yang menjamin setiap warga negara bebas dalam
penggunaan kekuatan politik dengan menguasai lembaga negara.
Sedangkan demokratisasi penyiaran diwujudkan dalam Sistem
Penyiaran Nasional yang baru berdasarkan Undang-Undang Penyiaran
No.32 Tahun 2002 tanggal 28 Desember 2002, menggantikan Undang-
Undang No.24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran sejak tanggal 18 September
1997 dimana gerakan reformasi mendorong terjadinya demokratisasi
dengan memperluas peran serta masyarakat, dan mewujudkan
desentralisasi penyiaran (Arifin, 2011: 206).
Sistem penyiaran demokratis sendiri selalu bercirikan perlindungan
kepentingan publik, pluralitas, dan kompetisi yang teratur antarsesama
institusi penyiaran sehingga demokrasi sebagai sebuah pandangan hidup
terdiri dari empirisme rasional, pementingan individu, teori instrumental
tentang negara, prinsip kesukarelaan, hukum dibalik hukum, penekanan
pada soal cara, musyawarah dan mufakat pada hubungan antarmanusia,
persamaan asasi semua manusia (Ebenstein dalam Masduki, 2007: 96).
Untuk mewujudkan sistem penyiaran yang demokratis tersebut,
pemerintah telah berupaya membangkitkan televisi-televisi lokal di level
daerah dengan menyusun sistem siaran televisi digital yang dinilai
menawarkan lebih banyak keuntungan dibandingkan sistem analog yang
dipakai Indonesia saat ini. Hal ini merupakan refleksi dari gagasan televisi
berjaringan ‗nasional-lokal‘ sebagaimana diamanatkan dalam undang-
undang penyiaran yang demokratis melalui diversity of content dan
diversity of ownership. Namun, apakah diversity of ownership ini akan
bisa terwujud di Indonesia? Mengingat pemenang tender penyiaran
20
multipleksing merupakan televisi swasta seperti Trans Corp, SCTV,
Metro, dan lain-lain (dijelaskan dalam bab 3).
Mufid (2005: 147) menjelaskan bahwa di Indonesia, sistem siaran
televisi digital berusaha diwujudkan dengan sistem televisi berjaringan
dalam semangat demokratisasi melalui kebijakan desentralisasi di bidang
penyiaran. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mengikutkan sebanyak-
banyaknya orang untuk dapat berusaha di dunia penyiaran, memungkinkan
untuk mengikis kesempatan kepada para kapitalis untuk melakukan
monopoli, serta membangkitkan potensi lokal melalui penyiaran televisi
karena selama ini daerah hanya menjadi tiang-tiang pancang transmisi
saja.
Berdasarkan alasan tersebut, pemerintah mengeluarkan dan
mengesahkan Peraturan Menteri Kominfo RI Nomor: 22
/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang penyelenggaraan televisi digital
terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (free to air). Selain untuk
mewujudkan ideologi demokratis dalam bidang penyiaran, kebijakan
menganut sistem siaran televisi digital sendiri dikarenakan negara-negara
di dunia sedang berbondong-bondong melakukan migrasi dari sistem
siaran televisi analog menuju digital. Trend dunia ini diprakarsai oleh
konferensi International Telecommunication Union (ITU) di Geneva yang
mendorong upaya internasional untuk melaksanakan pembangunan
digitalisasi terhadap seluruh penyiaran radio dan televisi terrestrial sejak
tahun 2006 (ITU, 2006). Selain untuk mewujudkan ideologi demokratis
dalam bidang penyiaran dan mengikuti trend dunia, digitalisasi televisi di
Indonesia penting untuk dilakukan karena 78,22% masyarakat di Indonesia
mengakses informasi melalui televisi (Data BPS dalam Dharmanto, 2013).
Dari kebijakan Peraturan Menteri Kominfo RI Nomor: 22
/PER/M.KOMINFO/11/2011, pemerintah juga telah merancang tiga fase
migrasi ke sistem siaran televisi digital yang ditargetkan tahun 2018 telah
diimplementasikan. Dharmanto (2013) memaparkan tiga fase tersebut
sebagai berikut :
21
a. First Phase (periode tahun 2009-2012) : Fase ini disebut dengan
periode simulcast, dimana bentuk siaran televisi dilakukan
bersama-sama antara analog dan digital.
b. Second Phase (periode tahun 2012-2017) : sejumlah siaran analog
di beberapa daerah akan dimatikan dan dilakukan intensifikasi
lisensi baru untuk infrastruktur penyedia layanan TV digital.
c. Final Phase (dimulai tahun 2018) dimana sistem siaran televisi
analog akan dimatikan secara total dan digantikan sistem siaran
televisi digital.
Namun, kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia untuk segera
menerapkan sistem suaran televisi digital, menuai pro dan kontra.
Pemerintah menganggap digitalissi dan segala produknya sudah sah,
sedangkan KPI sebagai regulator penyiaran menganggap produk hukum
yang dibuat pemerintah tentang digitalisasi masih belum mencukupi
karena idelanya bentuk regulasi bagi penyelenggaran penyiaran televisi
digital terrestrial peneriman tetap tidak berbayar ini adalah setingkat
Undang-Undang. Ironisnya, proses digitalisasi yang hanya bernaung di
bawah Permen ini muncul justru ketika perubahan undang-undang
penyiaran No.32 tahun 2002 tengah dilakukan di DPR. Kesan terburu-buru
nilah yang memunculkan pertanyaan publik (Rianto, Wahyono, Yusuf,
dkk, 2012 : xi). Televisi-televisi lokal sebagai pelaku penyiaran pun turut
serta menyuarakan ketidaksetujuannya karena penenderan frekuensi
kepada pihak swasta memicu monopoli dan menjadikan televisi lokal tidak
mendapatkan kanal digital terrestrial (Saputra, 2012).
Di saat problematika ini belum mendapatkan solusi, pemerintah sudah
mengeluarkan Keputusan Menteri Kominfo No.95 tahun 2012 tentang
Peluang Usaha Penyelenggaraan Multipleksing Pada Penyelenggaraan
Penyiaran Televisi Digital Terrestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar
(Free to Air). Kebijakan ini memutuskan bahwa sistem siaran televisi
digital siap diaplikasikan di level daerah dengan Daerah Istimewa
Yogyakarta bersama enam provinsi lainnya yang terpilih menjadi lima
22
zona layanan yang akan mengawali uji coba siaran televisi digital di
Indonesia (Kominfo, 2011). Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI)
menolak dengan tegas putusan tersebut dengan mengajukan banding ke
Presiden Republik Indonesia (Luthfi, 2012). Namun, tindakan ini tidak
mendapatkan tanggapan. Hal ini membuat polemik peraturan tentang
televisi digital terus bergulir.
Kebijakan di level daerah ini tetap berjalan dan dilaksanakan hingga
awal tahun 2013. Gerakan pelaku penyiaran lokal, khususnya Daerah
Istimewa Yogyakarta, dalam menolak digitalisasi sistem siaran televisi
digital dilakukan dengan mengajukan tuntutan ke Mahkamah Agung untuk
membatalkan penyelenggaraan digitalisasi sistem siaran televisi tersebut.
Tuntutan ini akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 3
April 2013 (MA, 2013).
4. Implikasi Putusan Mahkamah Agung
Pembatalan kebijakan digitalisasi oleh Mahkamah Agung, tentu
membawa permasalahan tersendiri bagi regulator dan pelaku penyiaran
lokal yang sudah ‗terlanjur‘ menjalankan kebijakan, sekaligus harus
mempersiapkan diri untuk menghadapi digitalisasi televisi dengan
kebijakan yang baru lagi nantinya. Pembatalan ini bukan berarti
menghentikan langkah Indonesia menuju sistem siaran televisi digital,
melainkan ‗penundaan‘ dengan rencana revisi pada kebijakan digitalisasi
tersebut. Hal ini bisa dilihat dari keputusan Kementerian Kominfo yang
tidak akan membatalkan seleksi televisi digital meskipun Mahkamah
Agung telah mengabulkan judicial review atas Peraturan Menteri Kominfo
No.22/2011 tentang Penyelenggaraan Televisi Digital Terrestrial
Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air) (Pitoyo, 2013).
Implikasi keputusan oleh Mahkamah Agung terhadap persiapan
regulator dan pelaku penyiaran ini menarik untuk dikaji. Adapun aspek-
aspek krusial untuk mengkaji persiapan tersebut :
23
a. Peranan regulator
Rahayu (2013, 7) dalam artikelnya di Kompas yang berjudul
Digitalisasi Televisi, Sebuah Perbandingan menjelaskan bahwa posisi
Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator independen penyiaran
memiliki peranan yang tidak jelas pada Peraturan Menteri Kominfo
Peraturan Menteri Kominfo No.22/2011 tentang Penyelenggaraan
Televisi Digital Terrestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to
Air). Hal ini diungkapkannya dengan membandingkan dengan posisi
independent regulatory body di Inggris :
―…independent regulatory body memiliki posisi penting dengan
kewenangan yang semakin kompleks. Di Inggris, Office of
Communication (Ofcom) memiliki fungsi dan tanggung jawab
yang luas dan vital. Mulai dari mengontrol penggunaan spektrum,
kualitas penyiaran, menjaga kemajemukan, hingga memberikan
perlindungan untuk pemirsa terhadap materi berbahaya, tak adil,
atau pelanggaran privasi. Di Indonesia, berdasarkan permen di atas,
pemerintah memegang kendali terhadap izin penyelenggaraan
penyiaran digital, penetapan penyelenggara multipleks, evaluasi
dan pengawasan, serta pemberian sanksi tanpa menyinggung posisi
Komisi Penyiaran Indonesia.‖
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang menandai
pembatalan kebijakan dengan rencana melakukan revisi terhadap
kebijakan tersebut, KPID selaku regulator penyiaran di level daerah
tentu harus beradaptasi lagi dalam menghadapi putusan ini. Penelitian
ini akan melakukan eksplorasi terhadap persiapan KPID DIY secara
internal maupun eksternal. Pada aspek internal, eksplorasi ditujukan
pada bagaimana KPID DIY menanggapi putusan Mahkamah Agung
dan langkah-langkah apa saja yang diambil KPID DIY dalam
―memanfaatkan‖ pembatalan kebijakan ini guna memperoleh posisi
yang jelas dalam proses digitalisasi televisi di DIY. Pada aspek
eksternal, eksplorasi ditujukan pada bagaimana KPID DIY
24
mempersiapkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi digitalisasi
televisi.
b. Infrastruktur
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung, diharapkan mampu
memperbaiki kekurangan dari kebijakan digitalisasi sebelumnya.
Untuk itu, persiapan infrastruktur sangat penting diperhatikan sebelum
mengimplementasikan sebuah kebijakan. Eksplorasi dalam persiapan
infratruktur ini difokuskan pada langkah-langkah apa saja yang
dilakukan oleh pelaku penyiaran lokal Daerah Istimewa Yogyakarta
untuk menghadapi digitalisasi televisi sekaligus menyesuaikan
putusan Mahkamah Agung tersebut. Ada dua aspek yang akan dikaji,
yaitu model usaha penyiaran digital dan kesiapan teknologi.
Model usaha penyiaran akan dieksplorasi dengan memaparkan
bagaimana cara pendanaan, pemrograman, dan mekanisme
pengawasan dan kontrol terhadap organisasi penyiaran lokal. Model
usaha penyiaran ini akan dipengaruhi oleh faktor ekonomi sebagai
efek dari sistem siaran televisi digital yang membutuhkan anggaran
lebih besar karena resolusi gambarnya yang lebih tinggi. Sedangkan
kesiapan teknologi akan memaparkan sejauh mana pelaku penyiaran
lokal mempersiapkan teknologi televisi digital berikut dengan
kendalanya.
5. Isu Ekonomi Politik Sistem Siaran Televisi Digital
Regulasi dari sebuah sistem penyiaran sangat dipengaruhi oleh sistem
ekonomi politik yang dianut suatu negara. Situasi tersebut memberi simpul
bahwa gejala komunikasi penyiaran secara umum bukan sebagai variabel
bebas (independent variable), akan tetapi komunikasi penyiaran yang
terselenggara adalah sebagai akibat perilaku politik dan ekonomi yang
tercermin pada sejumlah institusi atau pihak-pihak terkait (Masduki, 2007:
63).
25
Dalam kaitannya dengan sistem siaran televisi digital, kebijakan yang
dibuat pemerintah berupa Peraturan Menteri Kominfo No:
22/PER/M.KOMINFO/11/2011 merupakan refleksi dari ekonomi politik
yang dianut pemerintah. Terdapat dua aliran besar yang menaungi
ekonomi politik penyiaran dalam diskursus komunikasi. Pertama, liberal
political economy. Mufid (2005: 83) menerjemahkannya sebagai
instrumen untuk melihat perubahan sosial dan transformasi sejarah sebagai
suatu doktrin dan seperangkat prinsip untuk mengorganisasi dan
menangani ekonomi pasar, guna tercapainya suatu efisiensi yang
maksimum, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu. Aliran
yang kedua adalah critical political economy yang melihat relasi antara
agensi (individu dalam tema liberal) dan struktur (pasar dan negara)
dengan lebih dinamis.
Critical political economy atau kajian ekonomi politik kritis memiliki
tiga varian :
a. Instrumentalis, yang cenderung menempatkan agen (tindakan yang
secara nyata dilakukan oleh aktor sosial atau agen) pada posisi lebih
dominan dalam suatu struktur kultur. Media dipandang sebagai
instrumen dominasi yang bisa dipergunakan sepenuhnya untuk
kepentingan penguasa politik dan pemilik modal.
b. Strukturalis, yang cenderung melihat struktur sebagai totalitas yang
solid dan permanen. Struktur dianggap memiliki superioritas terhadap
agen.
c. Konstruktivis yang dikembangkan oleh Golding dan Murdock
(Sudibyo, 2004: 3 ) yang pada intinya melihat adanya interaksi timbal
balik antara struktur dan agen. Dalam pandangan ini, para aktor sosial
(agensi) dianggap mampu mengubah dan mereproduksi struktur yang
merupakan konstruksi sosial secara konstan. Konteks ekonomi politik
ini seringkali dikaitkan dengan isu demokrasi.
Menurut model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan
oleh Van Meter dan Van Horn, terdapat beberapa faktor yang
26
mempengaruhi implementasi kebijakan. Model ini menguraikan proses-
proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan
dilaksanakan (Winarno, 2012 : 158).
Bagan di atas menunjukkan sebuah proses dimana kebijakan dibuat
dengan tujuan meraih implementasi kebijakan publik yang tinggi dengan
keterkaitan hubungan berbagai variabel. Faktor ekonomi politik dalam
pengertian luas mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial
(Mosco, 1996) menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi
persiapan implementasi kebijakan (pra implementasi).
Proses implementasi kebijakan sistem siaran televisi digital di
Indonesia bisa dibilang ―gagal‖. Dimulai dari polemik Peraturan Menteri
Kominfo No : 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 yang menuai pro dan
kontra. Setelah berusaha diimplementasikan selama satu tahun, kebijakan
tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan tuntutan elemen
masyarakat lokal yang tidak setuju dengan digitalisasi televisi. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat problem dalam persiapan (pra implementasi)
khususnya di level daerah. Kepentingan ekonomi dan politik digadang-
gadang menjadi faktor utama yang mempengaruhi penerapan sistem siaran
televisi digital di Indonesia. Untuk itu, peneliti juga akan membahas
27
tentang konteks isu ekonomi politik dalam penyiaran ini menjadi dasar
mengkaji peta makro tentang digitalisasi televisi di Indonesia untuk
menggambarkan komplekstitas masalah tersebut, khususnya di level
daerah.
F. Kerangka Konsep
Pembahasan ini secara sederhana berusaha mengonseptualisasikan
kerangka berpikir yang telah dijabarkan di atas. Untuk kepentingan penelitian ini,
serangkaian kerangka konsep yang determinan telah ditetapkan sebagai fokus
eksplorasi penelitian. Pembahasan mengenai kerangka konsep terdapat dalam
bagian berikut ini.
Penelitian ini difokuskan pada sistem siaran televisi digital dalam level
lokal, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Pilihan tersebut diambil dengan
pertimbangan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi
yang akan memulai sistem siaran televisi digital (simulcast) sekaligus yang paling
menolak secara tegas keputusan pemerintah tersebut.
Penelitian ini tidak akan mengkaji mengenai konsep regulasi kebijakan
sistem siaran televisi digital di Indonesia. Namun, penelitian ini akan membahas
secara mendalam tentang persiapan regulator dan pelaku penyiaran lokal dalam
menghadapi migrasi televisi analog menuju televisi digital.
Berangkat dari alur konseptual sistem siaran televisi digital di Indonesia
beserta problematika yang dihadapinya, penelitian ini akan menekankan
kedalaman eksplorasi wacana pada konsep-konsep krusial dan sistem pengelolaan
lembaga penyiaran televisi lokal. Konsep-konsep yang berasal dari akar-akar
aspek yang membentuk sistem ini akan membantu peneliti untuk mengetahui
secara mendalam persiapan regulator dan pelaku penyiaran lokal Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam peralihan menuju sistem siaran televisi digital. Pilihan tersebut
diambil karena aspek-aspek konseptual yang dinilai determinan dalam menelisik
bagaimana regulator dan pelaku penyiaran televisi lokal dalam mempersiapkan
diri menghadapi digitalisasi televisi agar sesuai dengan tujuannya.
28
Terdapat dua aspek konseptual yang menjadi unit analisis dalam penelitian
ini, yaitu persiapan regulator dan pelaku penyiaran televisi DIY. Untuk regulator,
fokus yang akan dieksplorasi adalah bagaimana KPID DIY menanggapi putusan
Mahkamah Agung dan langkah-langkah apa saja yang diambil KPID DIY dalam
―memanfaatkan‖ pembatalan kebijakan ini guna memperoleh posisi yang jelas
dalam proses digitalisasi televisi di DIY serta bagaimana KPID DIY
mempersiapkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi digitalisasi televisi.
Untuk pelaku penyiaran televisi lokal, fokus yang dieksplorasi adalah
infrastrukturnya meliputi model usaha penyiaran digital serta kesiapan teknologi.
Dalam model usaha penyiaran digital akan digali tiga aspek. Pertama, cara
pendanaan (mode of financing), yakni segala upaya pengumpulan dana dan setiap
bentuk pemasukan yang kemudian digunakan untuk operasionalisasi regulator dan
pelaku penyiaran televisi lokal. Pembahasan dalam aspek ini akan memaparkan
sejumlah konsekuensi yang datang seiring dengan keputusan untuk beralih
menuju sistem siaran televisi digital dengan pilihan bentuk pendanaannya. Hal ini
mengingat cara pendanaan merupakan satu faktor penting yang turut
mempengaruhi tingkat independensi sebuah lembaga penyiaran lokal.
Kedua, konten siaran atau pemrograman dalam lembaga penyiaran televisi
lokal. Pada aspek ini, akan dibahas mengenai pilihan-pilihan yang dibuat lembaga
penyiaran televisi lokal dalam menentukan jenis atau genre program, waktu
tayang, durasi program, serta penempatan frekuensi dalam sistem siaran televisi
digital nantinya. Selain itu, juga akan terlihat sejauh mana cara pendanaan dapat
mempengaruhi jenis pemrograman yang disusun.
Ketiga, konsep mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap organisasi
penyiaran lokal. Unit analisis ini akan membahas garis pertanggungjawaban
penyiaran lokal terhadap lembaga negara yang mengawasi dan mengontrol, serta
mekanisme pengambilan keputusan di dalam organisasi penyiaran televisi lokal
itu sendiri. Analisis terhadap konsep ini juga akan membahas apakah mekanisme
pengawasan dan kontrol pada sistem siaran televisi digital turut mempengaruhi
independensi sebuah lembaga penyiaran televisi lokal.
29
Aspek-aspek inilah yang akan menjadi pisau analisis penelitian untuk
menggali secara mendalam tentang persiapan stakeholder penyiaran lokal Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam peralihan menuju televisi digital.
G. Metodologi
1. Jenis Penelitian
Neuman (2000: 21) memaparkan bahwa berdasarkan tujuannya
(purpose of study) penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
yakni untuk melakukan eksplorasi (exploration), deskripsi (description),
dan eksplanasi (explanation). Dengan tujuan yang ingin dicapai, studi
eksplorasi yang termasuk jenis exploratory research dinilai memadai
untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini. Studi eksplorasi
merupakan penelitian eksploratoris yang bertujuan untuk mengeksplorasi
sebuah topik atau isu baru untuk lebih mudah mempelajarinya (Neuman,
2000: 20). Penelitian eksploratoris berbeda dari dua jenis penelitian lain
karena bergerak dari awal kajian, terutama bila isunya baru atau belum
banyak dibahas peneliti lainnya.
Topik digitalisasi televisi ini merupakan topik baru yang sedang
hangat-hangatnya dibicarakan di dunia, khususnya Indonesia, bahkan
masih sedikit referensi buku atau penelitian yang mengupas tentang topik
ini. Maka dari itu, dengan metode penelitian eksploratoris diharapkan
mampu memaparkan secara detail tentang perkembangan dan dinamika
digitalisasi televisi di level lokal Indonesia sehingga dapat menjadi
referensi untuk pemerintah dalam mengimplementasikan sistem siaran
televisi digital di Indonesia.
Peneliti memilih Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) karena terdapat
fakta ironis bahwa DIY merupakan daerah zona simulcast yang paling
gencar menentang adanya Permen Kominfo No 22/2011 namun juga telah
melaksanakan Permen tersebut hingga kurang lebih satu tahun. Selain itu,
KPID DIY merupakan KPID pertama di Indonesia yang diharapkan bisa
30
menjadi contoh KPID lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan
penyiaran dari pemerintah.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dengan objek penelitian berupa persiapan regulator dan pelaku
penyiaran lokal, dalam penelitian ini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta,
maka teknik yang sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian
eksploratori ini adalah studi kepustakaan (library research) dan indepth
interview.
Studi kepustakaan dipilih berdasarkan dua alasan. Pertama, cakupan
pembahasan dan hasil analisis sebuah studi pustaka dinilai cukup untuk
menjawab keingintahuan peneliti yang masih berada di tingkat permukaan
kajian penyiaran publik. Penilaian ini sejalan dengan salah satu alasan
mengapa studi pustaka dipilih oleh sebagian peneliti, yakni sebagai sebuah
tahapan tersendiri dan atau sebagai studi pendahuluan (preliminary
research) untuk memahami lebih dalam gejala baru yang tengah
berkembang di lapangan atau dalam masyarakat (Zed, 2004: 2). Alasan
kedua adalah keterbatasan waktu, dana, dan kemampuan peneliti dalam
mengkaji secara menyeluruh persiapan dan pengelolaan sistem siaran
televisi digital di negara lain. Keterbatasan ini disiasati dengan melakukan
studi pustaka dengan landasan bahwa data pustaka tetap andal untuk
menjawab pertanyaan penelitian karena berasal dari penelitian yang
pernah dilakukan di masa lalu (Zed, 2004: 3). Walaupun hanya
berdasarkan bahan pustaka, yakni dokumen, tulisan, dan informasi tentang
konsep penyiaran publik di negara-negara lain, namun dengan kebutuhan
penelitian untuk memahami konsep persiapan regulator dan pelaku
penyiaran lokal dalam peralihan ke sistem siaran televisi digital maka studi
pustaka terhadap data sekunder dinilai cukup. Sedangkan indepth
interview dilakukan untuk mengetahui secara mendalam tentang persiapan,
kendala, dan kesiapan regulator dan pelaku penyiaran di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
31
3. Teknik Analisis Data
Data-data yang didapat dalam studi literatur dan indepth interview
tentang sistem siaran siaran televisi digital di Indonesia, khususnya di
DIY, akan dianalisis secara deskriptif. Dari deskripsi ini, akan ditarik
analisis peta makro problematik sistem siaran televisi di Indonesia, dengan
melihat contoh-contoh sistem siaran televisi digital yang sudah diterapkan
di negara lain untuk melihat sejauh apa sistem siaran televisi digital di
Indonesia ini berjalan sesuai dengan regulasi. Hasil analisis ini secara
simultan akan digunakan untuk melengkapi analisis atas persiapan sistem
siaran televisi digital di Indonesia, khususnya pada level lokal. Analisis
dilakukan dengan pisau analisis tertentu. Pisau analisis yang digunakan
mengacu pada kerangka pemikiran yang telah disusun di awal.