BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uinbanten.ac.id/164/2/1-5 Bab I-V Siti Jamiatu...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uinbanten.ac.id/164/2/1-5 Bab I-V Siti Jamiatu...
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu cita-cita nasional bangsa Indonesia yang tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini memberi isyarat bahwa
masyarakat Indonesia diharapkan menjadi masyarakat yang tumbuh
dan berkembang seiring dengan tuntutan zaman. Untuk mewujudkan
masyarakat yang cerdas tersebut salah satunya melalui jalur
pendidikan. Maka pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam
mencapai cita-cita nasional itu. Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar
1945 mengamanatkan bahwa “setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan”. Tidak membedakan antara besar kecil, tua
muda, status sosial kaya dan miskin atau latar belakang ras dan budaya.
Dwi Siswoyo, mengartikan pendidikan sebagai suatu kekuatan yang
dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi
perkembangan fisiknya, daya jiwanya (akal, rasa dan kehendak), sosial
dan moralitasnya.1
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pada pasal 3 dijelaskankan bahwa Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
1 Dwi Siswoyo, dkk., Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2008),
h. 17.
1
-
2
kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas itu selain mengamanatkan 20 persen anggaran untuk
pendidikan,2 juga menegaskan dalam pasal 5 bahwa: (1) setiap warga
Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
bermutu; (2) warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan/atau sosial berhak untuk memperoleh
pendidikan khusus; (3) warga Negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus; (4) warga Negara yang mempunyai potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus;
(5) setiap warga Negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat.3
Memahami fungsi pendidikan nasional di atas, maka out put
dari pendidikan itu harus menghasilkan siswa yang bukan saja cerdas,
tetapi juga cakap, kreatif dan memiliki nilai. Menurut Rukiyati, nilai
bagi manusia dipakai dan diperlukan untuk menjadi landasan alasan,
motivasi dalam segala sikap, tingkah laku dan perbuatannya. Nilai
merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi yang mewarnai dan
2 UU SISDIKNAS Pasal 49 ayat (1) berbunyi, “Dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”
3 Purwo Udiutomo, dkk., Besar Janji dari pada Bukti, Kebijakan dan Praktik Pendidikan Indonesia di Era Transisi Demokrasi, (Bogor: Dompet Dhuafa, 2013), h. 10.
-
3
menjiwai tindakan manusia.4 Maka melalui pendidikan, siswa memiliki
kesempatan untuk melatih nilai-nilai tersebut menjadi suatu karakter.
Untuk membentuk karakter tersebut perlu ditanamkan melalui
pendidikan, dan salah satunya melalui pendidikan agama sejak dini.
Dalam hal pembinaan kepribadian siswa di sekolah,
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas, maka peran pembelajaran yang di dalamnya terdapat
interaksi secara langsung antara pendidik dengan peserta didik menjadi
sangat penting. Dalam perspektif Islam, pendidik menduduki posisi
yang mulia, hal ini merupakan wujud nyata ajaran Islam yang
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses
belajar mengajar dengan bimbingan dan arahan seorang pendidik,
sehingga dalam terminologi Islam, pendidik adalah orang yang berilmu
yang disebut dengan al-‘alim.
Dalam hal ini, pembelajaran PAI menjadi sangat penting bagi
perkembangan kepribadian peserta didik. Nilai-nilai agama sejatinya
ditanamkan sejak usia dini, karena kepribadian peserta didik tersebut
akan berkembang menjadi watak yang kelak muncul dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam hal mengajarkan keteladanan, dalam interaksi
pembelajaran, perilaku pendidik akan memberi dampak yang lebih kuat
dari pada nasehat verbal (nasehat yang disampaikan secara lisan),
karena jika nasehat itu tidak didukung dengan perilaku yang tidak
sesuai dengan apa yang disampaikan, tidak dapat diterima oleh peserta
4 Rukiyati, dkk., Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: UNY Press, 2008),
h. 59.
-
4
didik dan akan mengakibatkan kebingungan terhadap nilai-nilai yang
diajarkan.
Siswa Sekolah Dasar, merupakan individu-individu yang berada
pada fase pembentukan kepribadian, sehingga sangat memerlukan
teladan. Perwujudan keteladanan pendidik yang sesuai dengan norma-
norma agama Islam baik berupa ucapan maupun tindakan yang tidak
dikemas dengan kepura-puraan akan menjadi kebiasaan yang akan
ditiru sepanjang zaman.
Dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
Pendidikan Agama Islam baik untuk tingkat SD/MI, SLTP/MTs
maupun SMU/K/MA/MAK selalu dicantumkan tujuan Pendidikan
Agama Islam yaitu meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan
dan pengamalan siswa tentang Agama Islam, sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat (9), Alloh SWT telah
mengingatkan bahwa kita sebagai hamba Alloh, sejatinya memiliki
kekhawatiran besar terhadap munculnya generasi yang sangat lemah
dalam pendidikan, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Alloh orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Alloh dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa: 9).
-
5
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka materi pendidikan
Agama Islam dikelompokkan dalam tujuh unsur pokok yaitu:
keimanan, ibadah, Al-Qur’an, akhlak, syari’ah, muamalah dan tarikh.
Selanjutnya materi-materi tersebut dikembangkan dalam proses belajar
mengajar yang menitik beratkan pada pengembangan tiga aspek dalam
diri peserta didik yaitu aspek afektif (sikap), aspek kognitif
(pengetahuan) dan aspek psikomotorik (keterampilan).
Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebagai salah satu lembaga
penyelenggara pendidikan tingkat dasar mempunyai tugas berat dalam
mengemban amanat pendidikan itu, karena harus mampu mewujudkan
satu kesatuan antara sikap, pengetahuan dan keterampilan. Salah
satunya dengan menanamkan sikap kepeduliaan sosial. Hal ini menjadi
sangat penting mengingat rasa kepedulian sosial di kalangan peserta
didik sebagian besar kini mulai memudar.
Dengan demikian, pembelajaran Agama Islam di
sekolah/madrasah memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya
penanaman nilai-nilai sosial spiritual yang berimbas pada
pengembangan pribadi yang peka terhadap persoalan-persoalan
kemanusiaan khususnya dalam sikap kepedulian sosial pada individu,
karena materi pendidikan Agama Islam (PAI) akan diserap oleh peserta
didik bukan hanya sebagai pelajaran, melainkan sebagai pedoman
hidup yang berguna dalam mengatasi berbagai permasalahan hidupnya
sehari-hari. Manusia tidak bisa lepas dari sikap tolong menolong,
karena pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain.
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Jauharotunnaqiyah Priuk
Kecamatan Jombang Kota Cilegon, adalah salah satu lembaga
pendidikan tingkat dasar di bawah naungan Kementerian Agama di
-
6
kota Cilegon, memiliki 9 (Sembilan) orang guru honorer dan 1 (satu)
orang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS), di bawah komando kepala
madrasah, mereka kompak dalam mendidik dan memberi pelajaran
kepada siswa siswinya. Dengan budaya “pembiasaan” mereka memulai
kegiatan pembelajaran setiap harinya, sehingga kesannya menjadi
berbeda dengan madrasah pada umumnya. Hasil belajar ditekankan
pada “kemanfaatan”. Guru yang baik adalah pembelajar yang baik. Dan
sekolah yang baik adalah yang membelajarkan para gurunya. Sekolah
memfasilitasi guru untuk selalu mengembangkan kemampuannya.5
Madrasah ini berada di lingkungan perkotaan, diapit oleh dua
sekolah dasar yang sangat kontras budaya keseharianya. yaitu Sekolah
Dasar Kristen Mardhiyuana yang orang tua siswanya dari kalangan
masyarakat ekonomi menengah ke atas, lahan parkiran yang luas setiap
harinya selalu dipenuhi berbagai jenis dan merk kendaraan, dan di
kanan kirinya kantin yang selalu dipenuhi orang tua siswa yang hilir
mudik menjemput putra putrinya. Sedangkan lainnya adalah Sekolah
Dasar Negeri Sukmajaya I, yang berada di bawah naungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah Dasar Sukmajaya I
ini lokasinya sangat berdekatan dengan Madrasah ibtidaiyah Al-
Jauharotunnaqiyah Priuk, bahkan satu halaman, sehingga pada waktu
istirahat, siswanya berbaur dalam beraktivitas.
Di Madrasah Ibtidaiyah Priuk, terlihat pemandangan yang
berbeda, pola hidup kesehariannya dilandasi dengan rasa kepedulian
sosial. Implementasi pendidikan kepedulian sosial melalui orientasi
pembelajaran di madrasah lebih ditekankan pada keteladanan dalam
5 Sekolah Guru Indonesia, Kelana Guru 2 Musim, (Bogor: Dompet Dhuafa,
2015), h. 198.
-
7
nilai kehidupan nyata, baik antar siswa yang senantiasa saling berbagi
dan saling peduli, antar gurunya yang saling berbagi tugas untuk
senantiasa memperhatikan keadaan siswanya, maupun pihak orang tua
yang selalu memberi kontribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan
putra putrinya. Kesadaran itu muncul karena ketidakberdayaan mereka,
dan mereka memahami bahwa permasalahan utamanya adalah
bagaimana kaum tertindas sebagai manusia yang terbelah dan tidak
otentik dapat berperan serta membangun sistem pendidikan bagi
kebebasan mereka? Hanya jika mereka menemukan diri sendiri telah
menjadi pelayan-pelayan kaum penindas maka mereka baru dapat
menumbangkan sesuatu bagi proses penciptaan pendidikan yang
membebaskannya.6 Walaupun mereka semua tidak menyesali berlatar
belakang pemulung, dan kuli kasar. Keadaan ekonomi orangtua yang
kurang memadai membuat para murid ikut mencari nafkah bersama
orangtua mereka. Akibatnya anak-anak tersebut tidak bergairah untuk
menuntut ilmu di sekolah.7
Kesadaran untuk memiliki generasi yang beriman, berilmu dan
beramal, muncul dari beberbagai pihak, baik pihak guru, sekolah
terutama orangtua wali siswa. maka dengan segala keterbatasannya
mereka bahu membahu membagi waktu membangun suatu sistem yang
membentuk warga madrasah ini memiliki rasa kepedulian sosial yang
sangat tinggi. Hal ini tentu menjadi hal yang tidak istimewa jika
dilakukan oleh masyarakat sekolah yang taraf ekonominya menengah
ke atas, tetapi menjadi hal yang sangat luar biasa jika dilakukan di
6 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Pengantar: F Danuwinata,
(Jakarta: LP3ES, 2013), h. 19. 7 A. Tien Asmara P, Sofa Nurdiyanti, dkk., Peluh Penawar Rindumu,
Indonesia, (Bogor: Dompet Dhuafa, 2012), h. 117.
-
8
madrasah yang mayoritas ekonomi orang tuanya lemah, seperti di
madrasah Ibtidaiyah Priuk ini.
Pekerjaan orangtua wali siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-
Jauharotunnaqiyah Priuk ini, 70 % pemulung dan pengumpul
rongsokan, 25 % pekerja kuli bangunan dan 5 % buruh pabrik. Kondisi
ekonomi inilah yang menggambarkan kehidupan nyata bahwa sebagian
besar atau 95 % siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah
Priuk ini berasal dari kalangan ekonomi rendah. Tetapi walaupun
berasal dari kalangan ekonomi yang rendah, mereka memiliki kepekaan
rasa kepedulian yang tinggi.
Hal inilah yang menarik untuk diteliti. Kajian tesis ini menelaah
sejauh mana peran pembelajaran pendidikan Agama Islam di madrasah
ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk ini memberi dampak terhadap
timbulnya sikap kepedulian sosial siswa. Apakah guru memiliki
strategis tertentu dalam proses pembelajaran di madrasah ini? Apakah
cara dan strategi tersebut akan terus berjalan mulus dan dipertahankan
di madrasah ini? Bagaimana sikap peduli terhadap sesama bisa timbul
di kalangan siswa? Berawal dari pemikiran dan latar belakang tersebut,
peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh kasus di atas dalam tesis yang
berjudul “PERAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM DALAM PEMBENTUKAN SIKAP KEPEDULIAN SOSIAL
SISWA KALANGAN EKONOMI RENDAH (Studi Kasus di
Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon).”
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan hasil penelitian awal di MI Al-Jauharotunnaqiyah
Priuk, ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut:
-
9
1. Praktek pembelajaran agama masih sekedar proses transformasi
pengetahuan agama kepada siswa, tidak merupakan suatu pedoman
hidup yang wajib dipatuhi.
2. Sebagian besar (70 %) siswa di madrasah Ibtidaiyah Al-
Jauharotunnaqiyah Priuk berasal dari kalangan ekonomi rendah,
tetapi sikap kepedulian sosial mereka tinggi.
3. Mayoritas orang tua siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-
Jauharotunnaqiyah Priuk, (70 %) bekerja sebagai pemulung dan
pengumpul barang rongsokan, tetapi semangat untuk
menyekolahkan putra putrinya sangat tinggi.
4. Letak Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk, berdekatan
dengan dua sekolah dasar yang taraf ekonomi orangtua siswanya
dari kalangan ekonomi menengah ke atas, tetapi pola hidup
kesehariannya sangat jauh berbeda, kesan individualistisnya lebih
kental, sedangkan di MI Al-Jauharotunnaqiyah priuk lebih terkesan
keluarga secara utuh.
C. Fokus Penelitian Mengingat luasnya permasalahan pada Peran Pembelajaran PAI
dalam pembentukan sikap kepedulian sosisal siswa di lingkungan
madrasah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk ini, maka penelitian pun
difokuskan pada:
1. Sikap kepedulian sosial siswa yang dalam penelitian ini difokuskan
pada sikap dan perilaku sosial yang ditunjukkan oleh siswa
kalangan ekonomi rendah dalam kesehariannya, baik dalam
hubungannya dengan Allah (hablum minallah) maupun
hubungannya dengan sesama manusia (hablum minannas) serta
-
10
faktor-faktor yang mendukung dan menghambat terbentuknya sikap
kepedulian sosial tersebut.
2. Peran Pembelajaran PAI di Madrasah Ibtidaiyah Al-
Jauharotunnaqiyah Priuk dipokuskan pada tugas-tugas yang
diemban oleh para pendidik PAI pada aspek instruksional,
motivator, manager, konselor dan model dalam upaya pembentukan
sikap kepedulian sosial siswa, sehingga terbentuk siswa yang
memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah di atas, maka
dalam penelitian ini ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran PAI dalam pembentukan
sikap kepedulian Sosial siswa kalangan ekonomi rendah di
Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon.
2. Bagaimana bentuk sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi
rendah di madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota
Cilegon.
3. Bagaimana peran pembelajaran PAI dalam pembentukan sikap
kepedulian sosial siswa di kalangan ekonomi rendah pada
Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon.
4. Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam
pembentukan sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi
rendah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota
Cilegon.
-
11
E. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran PAI dalam
pembentukan sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi
rendah di Madrasah Ibtidaiyah Al– Jauharotunnaqiyah Priuk Kota
Cilegon.
2. Mengetahui bentuk-bentuk sikap kepedulian sosial siswa kalangan
ekonomi rendah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah
Priuk Kota Cilegon.
3. Mendeskripsikan peran pembelajaran PAI dalam pembentukan
sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi rendah di
Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon.
4. Mengetahui faktor faktor pendukung dan penghambat dalam
pembentukan sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi
rendah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota
Cilegon.
F. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan
dunia pendidikan pada umumnya, dan bagi peneliti sendiri
khususnya.
b. Melalui penelitian ini diharapkan akan menjadi pendorong bagi
para pendidik dalam meningkatkan proses pembelajaran di
Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah khususnya, dan
madrasah-madrasah lain di Kota Cilegon pada umumnya. Dan
manfaat lainnya diharapkan dapat menjadi motivasi bagi
-
12
Kementerian Agama Kota Cilegon untuk melaksanakan
pembinaan dan pengembangan kualitas pendidikan secara
optimal.
2. Secara Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber atau
contoh pertimbangan dalam mencari, merancang dan
menerapkan strategi pembelajaran yang dapat memberi warna
pada pembentukan sikap kepedulian sosial.
b. Manfaat bagi peneliti, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan
acuan penelitian sejenis sehingga dapat memberi arah dan
tujuan yang jelas agar lebih baik dan sempurna.
c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian ilmiah yang
lebih luas dan mendalam mengenai peran pembelajaran
Pendidikan Agama Islam dalam Pembentukan Sikap
Kepedulian Sosial Siswa Kalangan Ekonomi Rendah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada
masyarakat bahwa betapa pentingnya keikutsertaan masyarakat dalam
pembentukan kepedulian sosial siswa pada madrasahnya masing-
masing.
G. Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka merupakan hal penting untuk menunjukkan
orisinalitas penulis. Dalam tinjauan pustaka ini, penulis akan
memaparkan beberapa kajian empiris yang telah dilakukan peneliti
sebelumnya yang memiliki kesamaan sudut pandang terutama berkaitan
dengan peran pembelajaran dengan sikap-sikap kepedulian sosial pada
masyarakat kalangan ekonomi rendah, sekaligus sebagai rujukan,
-
13
sehingga penelitian ini tidak semata-mata menunjukkan orisinalitas
tesis yang akan disusun. Selanjutnya kajian empiris yang dimaksud
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan yang dapat membantu
penyusunan tesis ini. Di antara kajian empiris yang dimaksud antara
lain:
Pertama, Tesis, Siti Mubarokah8. dalam judul “peran
pendidikan Agama Islam dalam memotivasi siswa belajar pendidikan
agama Islam di MTs Pakem Kabupaten Sleman”, yang menurutnya
guru harus mampu mendorong anak didik untuk senantiasa belajar
dalam berbagai kesempatan, melalui berbagai sumber dan media.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan Agama Islam di
MTs Pakem Kabupaten Sleman memiliki peran yang strategis dalam
upaya penanaman nilai sosial spiritual dalam diri siswa yang
diharapkan dapat berirmbas pada pengembangan pribadi yang peka
terhadap persoalan- persoalan kemanusiaan khususnya dalam sikap
altruisme pada individu. Karena materi pendidikan agama Islam (PAI)
akan diserap oleh siswa sebagai pelajaran, pengalaman, bahkan sebagai
pedoman hidupnya yang berguna dalam mengatasi berbagai
permasalahan hidupnya sehari-hari karena dalam kehidupan sehari-hari
manusia tidak bisa lepas dari sipat tolong menolong, sebab pada
dasarnya manusia membutuhkan orang lain.
Kedua, Tesis, Febriana M. Fadli Fadillah9 dengan judul
“Pengaruh Hasil Pembelajaran IPS terhadap Nilai dan Sikap
8 Siti Mubarokah, Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam memotivasi
Siswa Belajar Pendidikan Agama Islam di MTs Negeri Pakem Kabupaten Sleman, Tesis, (Yogyakarta: UIN Yogyakarta, 2012), h. 21.
9 Febriana M. Fadli fadillah, Pengaruh Hasil Pembelajaran IPS terhadap Nilai dan Sikap Kepedulian Sosial: Survei pada Peserta didik SMP Negeri di Kota Bandung, Tesis, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2012), h. abstrak.
-
14
Kepedulian Sosial: Survei pada Peserta didik SMP di Kota Bandung”.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai dan sikap kepedulian sosial
merupakan aspek penting yang harus dimiliki setiap peserta didik,
karena dengan aspek tersebut individu mampu menjalin hubungan
sosial yang lebih baik. Namun kenyataannya peserta didik belum bisa
mengembangkan nilai dan sikap kepedulian sosial pada kehidupan
sehari hari. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang merumuskan
masalah bagaimana pengaruh pembelajaran IPS terhadaap nilai
kepedulian soaial peserta didik dan bagaimana pengaruh pembelajaran
IPS terhadap sikap kepedulian sosial peserta didik.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran peserta
didik memiliki pengaruh positif terhadap nilai dan sikap kepedulian
sosial. Oleh karena itu kualitas pembelajaran dah hasil belajar dan ujian
atau evaluasi lain perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak agar
mampu meningkatkan pemahaman nilai dan penerapan sikap
kepedulian sosial.
Ketiga, Disertasi, Sandhi Amalantu Zaedun10 dengan judul “
Meningkatkan kepedulian Sosial antar siswa XI Is 1 SMA N I
Karangpayung Melaui Layanan Informasi Tahun Pelajaran
2011/2012” Penelitian ini menggambarkan bahwa kepedulian sosial
siswa di SMAN I Karangpayung sangat rendah. Rendahnya sikap
kepedulian sosial siswa di SMAN I tersebut disebabkan kurangnya
pemahaman siswa akan pentingnnya memiliki sikap kepedulian yang
tinggi dan manfaatnya bagi orang lain, serta kurangnya informasi
10 Sandhi Amalantu Zaedun, Meningkatkan Kepedulian Sosial Antar Siswa
Kelas XI Is SMA N Karangpayung Melalui Layanan Informasi Tahun Pelajaran 2011/2012, Disertasi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, (Kudus: Universitas Muria, 2012), h. abstrak.
-
15
bentuk-bentuk kepedulian sosial secara nyata yang dapat dikerjakan.
Permsalahan yang ditelitinya adalah, apakah layanan bimbingan
dengan menggunakan layanan informasi dapat meningkatkan
kepedulian sosial siswa SMAN I Karangpayung.
Penelitian ini mempunyai kesamaan objek kajian, yaitu masalah
sikap kepedulian sosial siswa, namun penelitian ini memfokuskan
penelitiannya pada siswa tingkat SMA, serta mencari faktor penyebab
rendahnya sikap kepedulian tersebut.
Keempat, Jurnal, Rijal Haryanto11, dengan judul “Penelitian
Peran Keluarga dalam Membantu Menumbuhkan Sikap Kepedulian
sosial pada anak SD Cipari desa Kebon Pedes, kecamatan Kebon
Pedes Kabupaten Sukabumi”. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa
antara sekolah dan keluarga saling bersinergi dalam menumbuhkan
sikap kepedulian sosial pada anak. Hal ini disebabkan karena
kehidupan sosial pada masyarakat masih menjunjung tinggi sikap
kebersamaan, hal itulah yang mempengaruhi terhadap tumbuhnya sikap
kepedulian sosial pada anak. Namun, fenomena ini mungkin akan
berbeda jika di tempat lain.
Terdapat kesamaan objek pengamatannya pada sekolah tingkat
dasar dan keikut sertaan keluarga dalam membentuk sikap kepedulian
sosial pada siswa cukup memberi warna. Tetapi terdapat perbedaan
latar keluarga yang dijadikan objek pengamatan. Di Madrasah
Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon, 70 % orang tua
siswanya berprofesi sebagai pemulung. Objek pengamatannya lebih
kepada latar ekonomi yang rendah, sedangkan pada peneliti
11 Rijal Haryanto, Penelitian Peran Keluarga dalam Membantu Menumbuhkan Sikap Kepedulian Sosial pada Anak SD Cipari Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, (2013)
-
16
sebelumnya tidak mencantumkan latar ekonominya, tetapi lebih
menekankan pada latar lembaganya yaitu Sekolah Dasar.
Kelima, Buku, Ivanovich Agusta12 dengan judul “Diskursus,
Kekuasaan, dan Paraktik Kemiskinan di Pedesaan”. Buku ini
memaparkan bahwa kemiskinan tidak sekedar bersifat multidimensi,
namun kemiskinan-kemiskinan itu sendiri memang majemuk. Beragam
diskursus kemiskinan ini hidup bersama, namun beroperasi dan
menggunakan benda-benda secara berbeda-beda.
Keenam, Buku, Bagong Suyanto13 dengan judul “Anatomi
Kemiskinan dan Strategi penangannya, Fakta Kemiskinan Masyarakat
Pesisir, Kepulauan, Perkotaan dan Dampak dari Pembangunan di
Indonesia. Buku ini memaparkan tentang kemiskinan dengan berbagai
penyebab terjadinya hingga kemungkinan-kemungkinan
penanganannya. Dalam buku ini dijelaskan bahwa kemiskinan itu
selalu rawan bias alias tidak tepat sasaran, sehingga buku ini
menawarkan strategi penanganan kemiskinan yang benar-benar
berpihak kepada rakyat miskin. Tentu kajian ini berbeda dengan
penelitian yang penulis lakukan, namun ada sisi persamaan, yaitu sama-
sama mengangkat masalah kemiskinan atau keadaan masyarakat
ekonomi rendah. Buku ini memfokuskan penelitiannya pada
masyarakat pesisir, kepulauan, perkotaan sebagai dampak
pembangunan di Indonesia, sedangkan penelitian penulis lebih
difokuskan pada masyarakat miskin yang berada di lingkungan
12 Ivanovich Agusta, Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di
Pedesaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) 13 Bagong Suyanto, Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya,
Fakta Kemiskinan Masyarakat Pesisir, Kepulauan, Perkotaan dan Dampak dari Pembangunan di Indonesia, (Malang: Instrans Publishing, 2013)
-
17
madrasah, serta kajian terhadap sikap kepedulian sosial yang dapat
ditunjukkan di kalangan mereka sekalipun kehidupan ekonomi mereka
tergolong miskin atau lemah.
Dari enam hasil kajian di atas, penelitian ini memiliki
persamaan kajian dan beberapa perbedaan, yaitu sama-sama mengkaji
tentang perilaku sosial, tetapi memiliki perbedaan ranah. Penulis lebih
memfokuskan penelitian ini pada ranah siswa kalangan ekonomi
rendah, sedangkan peneliti sebelumnya memfokuskan penelitiannya
pada ranah yang berbeda. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena
yang penulis teliti adalah masyarakat yang dirasa mustahil dapat
mempraktekkan rasa kepedulian sosial yang tinggi pada sesama,
mereka adalah komunitas pemulung di sekitar wilayah Mall Ramayana
Kota Cilegon dan sekitarnya. Mereka bukanlah kalangan yang biasa
menikmati lezatnya makanan di Mall itu, melainkan pemulung sampah-
sampah yang telah dibuang di sekitar Mall tersebut, dari hasil keringat
itulah mereka membiayai pendidikan putra putrinya hingga melahirkan
generasi yang memiliki sikap kepedulian yang patut diapresiasi dan
diteladani.
Dari penelusuran para peneliti terdahulu baik dalam bentuk
tesis, disertasi, jurnal, maupun buku, peneliti dapat memberikan
kesimpulan bahwa judul penelitian ini berbeda dengan para peneliti
terdahulu, dengan demikian masih ada basic (kekuatan) untuk diteliti
lebih lanjut.
H. Kerangka Pemikiran Sebagaimana landasan dalam peneltian ini diperlukan suatu
kajian yang bersifat teoritis yang ada relefansinya dengan permasalahan
-
18
yang akan diteliti, sehingga tampak dengan jelas hubungan antara
realitas di lapangan dengan kerangka teori yang penulis gunakan.
Penulis memfokuskan peranan pembelajaran pendidikan Agama Islam
dalam pembentukan sikap kepedulian sosial, maka pendapat ataupun
defenisi yang dikemukalam meliputi:
1. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar, sistematis
dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi rasa agama,
menanamkan sifat dan memberikan kecakapan sesuai dengan tujuan
pendidikan Islam.14
Diketahui bahwa agama (Islam ) dan pendidikan adalah dua hal
yang satu sama lainnya saling berhubungan. Melalui pendidikan
agama, manusia dapat diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam yang proses pengembangannya melalui
pendidikan, karena dengan pendidikan, orang akan menjadi lebih
dewasa dan lebih mampu baik dari segi kecerdasannya maupun sikap
mentalnya. Sebagaimana dikatakan Dawam Raharjo, bahwa agama
dimaksudkan untuk membentuk manusia seutuhnya dengan pertama-
tama mengarahkan siswa menjadi “manusia Indonesia yang beriman
dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa”. Di samping itu juga agama
memberikan tuntutan yang jelas kepada manusia mana yang baik dan
mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan, dan mana pula yang
harus ditinggalkan, mana yang menguntungkan dan mana yang
14 Nazarudin, Managemen Pembelajaran: Implementasi Konsep,
Karakteristik dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, (Yogyakarta: Teras, 2007), h. 12.
-
19
merugikan.15 Sementara pendidikan itu sendiri menurut Jalaludin, pada
hakekatnya merupakan proses dan aktivitas pengembangan sistem nilai
yang dipokuskan pada akhlak al-karimah pada diri individu16. Oleh
karena itu, pengembangan potensi individu dalam segala aspeknya
harus mengarah pada nilai-nilai akhlak mulia.
Pelaksanaan pendidikana agama di madrasah memerlukan
interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang sifatnya lebih
mendalam, lahir dan batin. Figur pendidik agama bukan sekedar
penyampai materi pelajaran, melainkan juga sebagai sumber spiritual
dan sebagai pembimbing, sehingga terjalin hubungan pribadi yang
cukup erat antara pendidik dengan peserta didik yang mampu
melahirkan keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan materi
pengajarannya. Oleh karena itu peran pendidik dalam pembelajaran
agama tidak cukup bermodal kompetensi professional semata, tetapi
harus didukung oleh kekuatan moral, demikian pula halnya dengan
mutu pendidikan agama dan pencapaian prestasi peserta didik, tidak
hanya data diukur dengan tabel-tabel statistik, tetapi harus didukung
dengan pembuktian totalitas peserta didik itu sendiri sebagai pribadi
sosial. Perilaku dan kesalehan hidup yang ditampilkan dalam
kesehariannya, lebih penting jika dibandingkan dengan pencapaian
angka 100 atau (A). Oleh karena itu, masih menurut Malik Fadjar,
mutu maupun pencapaian pendidikan agama perlu diorientasikan
kepada hal-hal sebagai berikut:
15 Muchtar Buchori, Pendidikan Islam Indonesia: Problema Masa Kini dan
Perspektif Masa Depan, dalam M. Dawam Rahardjo (Peng), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), h. 85.
16 Malik A. Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 57.
-
20
a. Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai manusia
yang beragama maupun sebagai manusia Indonesia yang ciri-
cirinya dijadikan tujuan pendidikan nasional;
b. Integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun
institusi pendidikan yang lain;
c. Tercapanya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma
keagamaan yang fungsinya secara moral untuk
mengembangkan keseluruhan sistem sosial dan budaya;
d. Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan
transformasi sosial serta budaya yang terus berlangsung;
e. Pengembangan wawasan ijtihadiyah (cerdas rasional) di samping penyerapan ajaran secara aktif.
Kenyataannya pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah
masih dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah tersebut.
Kelemahannya masih terfokus pada ranah kognitif, kurang menyentuh
afektif dan psikomotorik. Hal ini senada dengan pendapat Husni
Rahim, menurutnya, Kurang berhasilnya pendidikan agama di sekolah
karena “isi pendidikan agama yang ada terlalu akademis, terlalu banyak
topik, banyak pengulangan yang tidak perlu, dan akhlak dalam arti
perilaku hampir tidak diperhatikan, kecuali yang bersifat kognitif dan
hapalan”.17
Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini
berlangsung agaknya masih kurang memperhatikan bagaimana
mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi makna
dan nilai yang perlu diinternalisasikan kepada peserta didik sebagai
17 Jalaludin, Teologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), h. 38.
-
21
sumber motivasi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berperilaku
secara kongkrit, agamis, dalam kehidupan praktis sehari-hari.18
Dari pengertian di atas, peran pendidikan Agama Islam adalah
suatu tugas yang dapat dilaksanakan dalam membimbing dan
mengasuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani anak untuk mencapai tingkat kedewasaan yang sesuai dengan
ajaran Islam. Pengukuran peran pendidikan Agama Islam merupakan
tugas yang dilaksanakan oleh pendidik dalam membina tingkah laku
siswa. Pembinaan tingkah laku Pendidikan agama Islam merupakan
bagian dari pendidikan nasional yang menyangkut aspek sikap dan nilai
antara lain membina sikap dan tingkah laku serta membina kepribadian.
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, posisi pendidikan
Agama sangat strategis dengan pengertian sangat penting dan perlu
diberikan kepada peserta didik disetiap jenjang pendidikan, sebab
pendidikan agama merupakan suatu alat untuk mengendalikan diri.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
dijelaskan pada pasal 37 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan Agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia”.
Dengan demikian arah pendidikan Agama dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya adalah terciptanya manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta
mempunyai dedikasi yang tinggi. Oleh karena itu pendidikan Agama
Islam mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang
pembangunan nasional. Agar pendidikan agama dapat berhasil sesuai
18 Ibid, h. 168.
-
22
yang diharapkan tentu setiap guru dalam mendidik anak-anak yang
dipercayakan kepadanya, memahami betul perkembangan jiwa anak
didik yang dihadapinya itu, di samping kemampuan ilmiah yang
dimilikinya, serta penguasaan terhadap metode dan keterampilan
mengajar.
2. Kepedulian Sosial Manusia hidup di dunia ini pasti membutuhkan manusia lain
untuk melangsungkan kehidupannya, karena pada dasarnya manusia
merupakan makhluk sosial. Menurut Buchari Alma, dkk, makhluk
sosial berarti bahwa hidup menyendiri tetapi sebagian besar hidupnya
saling ketergantungan, yang pada akhirnya akan tercapai keseimbangan
relatif. Maka dari itu, seharusnya manusia memiliki kepedulian sosial
terhadap sesama agar tercipta keseimbangan dalam kehidupan.19
Sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
masyarakat. Kepedulian sosial dapat diartikan peduli terhadap
kepentingan umum. Kepedulian sosial ini merupakan salah satu bentuk
proses sosial, di mana proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal
balik antara berbagai segi kehidupan bersama.20 Sehingga diharapkan
dalam sebuah masyarakat untuk saling peduli dan tanggap terhadap
orang lain melalui rasa kepedulian sosial tersebut. Tindakan rela
bekorban untuk orang lain tanpa mengharapkan apapun, dalam
terminologi psikologi sosial dikenal dengan istilah altruism. Altruisme
19 Buchari Alma, dkk., Pembelajaran Studi Sosial (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 201. 20 Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakrta: PT Raja Grafindo
Persada, 1982), h. 16.
-
23
adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri melainkan untuk
kebaikan orang lain.21
Darmiyati Zuchdi menjelaskan bahwa, peduli sosial merupakan
sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada
masyarakat yang membutuhkan. Berbicara masalah kepedulian sosial,
maka tak lepas dari kesadaran sosial. Kesadaran sosial merupakan
kemampuan untuk mamahami arti dari situasi sosial.22
Hal tersebut sangat tergantung dari bagaimana empati terhadap
orang lain. Berdasarkan bererapa pendapat yang tertera diatas dapat
disimpulkan bahwa, kepedulian sosial merupakan sikap selalu ingin
membantu orang lain yang membutuhkan dan dilandasi oleh rasa
kesadaran tanpa mengharap imbalan.
3. Masyarkat Ekonomi Lemah Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang di pengaruhi
oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat
pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa,
lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Mengacu pada
strategi nasional penanggulangan kemiskinan, definisi kemiskinan
adalah kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan, tidak terpengaruh hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Secara harfiah kata miskin diberi arti tidak berharta benda (WJS
Mukti), selanjutnya Soedarsono menyatakan kemiskinan sebagai
struktur tingkat hidup yang rendah mencapai tingkat kekurangan materi
21 Baron, A. Robert dan Donn Byrne, Social Psychology, diterjemahkan oleh
Ratna Djuwita, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 92. 22 Darmiyati Zuchdi, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan
Praktek, (Yogyakarta: UniPress, 2010), h. 170.
-
24
pada sejumlah atau segolongan orang dibanding dengan standar hidup
yang umumnya berlaku dalam masyarakat. Standar hidup yang rendah
tercermin dari tingkat kesehatan, moral dan rendahnya rasa harga diri.
Sedangkan Mubyarto melihat bahwa kemiskinan adalah situasi serba
kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki si miskin,
melainkan karena tidak dapat dihindari oleh kekuatan yang ada
padanya. Inti dari definisi ini adalah situasi serba kekurangan yang
tidak dapat dihindari oleh si miskin.23
Menurut Jhon Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan
untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Yang dimaksud basis
kekuasaan sosial menurutnya meliputi: Pertama, modal produktif atas
aset, misalnya tanah perumahan, peralatan dan kesehatan. Kedua:
sumber keuangan, seperti, income dan kredit yang memadai. Ketiga,
organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama, seperti kooperasi. Kempat, network atau jaringan
sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai. Kelima, informasi-informasi yang
berguna untuk kehidupan.24
Menurut Robert Chambers, inti dari masalah kemiskinan
sebenarnya terletak pada apa yang diebut deprivation trap, atau
perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima
unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3)
keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan, dan (5) ketidak
berdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang
23 M. Syafi’i, Ampih Miskin, Model Kebijakan Penuntasan Kemiskinan
dalam Perspektif Teori dan Praktik, (Kandangan: Averroes Press, 2011), h. 24-25. 24 Bagong Suyanto, Op. Cit, h. 2-3.
-
25
lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar
berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.25
Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks dan
susah untuk diketahui mana ujung dan pangkal permasalahan dan
pemecahannya. Oleh sebab itu diperlukan proses dan metode
pendekatan yang tepat sehingga pada akhirnya mampu mengungkapkan
fundamental struktural masalah (akar masalah) sebagaimana teori
gunung es (iceberg model). Sangat tepat untuk mencermati fenomena
sosial-ekonomi terjadinya proses kemiskinan dengan kerangka kerja
sebuah sistem untuk mengungkapkan secara utuh hubungan kausal
(causal relationships). Pendekatan untuk mengetahui hubungan kausal
terjadi kemiskinan melalui pendekatan proses belajar sosial (social
learning).26
Dengan demikian, penanggulangan masalah kemiskinan
merupakan tanggung jawab bersama. Dalam perspektif agama Islam
misalnya, direalisasikan melalui zakat fitrah, infaq atau sedekah
sebagai realisaasi dari penanaman nilai-nilai kepedulian sosial.
Demikian pula halnya negara, sebagaimana diamanatkan Undang-
Undang Dasar 1945, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar
dilindungi dan dipelihara oleh negara.
I. Sistematika Pembahasan Secara keseluruhan pembahasan dalam penelitian ini terdiri
bagian awal, bagian utama dan bagian akhir. Untuk memberikan
gambaran alur penulisan tesis ini, maka disampaikan sistematika
pembahasan sebagai berikut
25 Ibid, h. 12. 26 M. Syafi’i, Op. Cit, h. 41.
-
26
Bab I, dalam pendahuluan dikemukakan berbagai gambaran
singkat tentang sasaran dan tujuan dari keseluruhan dalam penulisan ini
meliputi: Latar belakang masalah, identifikasi masalah, fokus masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,
kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II, kajian teori, merupakan pemaparan yang menampilkan
kajian literatur yang meliputi: tentang peran pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, Kepedulian sosial, dan pemahaman tentang masyarakat
kalangan ekonomi lemah.
Bab III, Metodologi penelitian yang meliputi jenis penelitian,
lokasi penelitian, pendekatan penelitian, objek penelitian, teknik
pengumpulan data, uji keabsahan data dan teknik analisis data.
Bab IV, Pembahasan hasil Penelitian, meliputi: deskripsi
tentang gambaran umum pelaksanaan pembelajaran PAI di Madrasah
Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon, Potret Sikap
Kepedulian Sosial Siwa di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah
Kota Cilegon, Keteladanan guru PAI di Madrasah Ibtidaiyah Al-
Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon, serta faktor pendukung dan
penghambat dalam Pembentukan sikap kepedulian sosial siswa di
Madrasah Ibtidaiyah Al- Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon.
Bab V, Penutup merupakan bagian akhir dari pembahasan yang
berisikan kesimpulan dari hasil kajian terhadap permasahan yang
diteliti, implikasi dan beberapa saran yang dapat dijadikan
pertimbangan bagi pengelola Madrasah Ibtidaiyah Al-
Jauharotunnaqiyah Kota Cilegon serta rekomendasi terhadap penelitian
selanjutnya.
-
BAB II
PEMBELAJARAN PAI DAN SIKAP KEPEDULIAN SOSIAL
SISWA KALANGAN EKONOMI RENDAH
A. Pembelajaran PAI 1. Pengertian Pembelajaran PAI
Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar, sistematis
dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi rasa agama,
menanamkan sifat dan memberikan kecakapan sesuai dengan tujuan
pendidikan Islam.1 “Pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah
laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan
alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan
pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian
banyak profesi asasi dalam masyarakat.2
Diketahui bahwa agama (Islam) dan pendidikan adalah dua hal
yang satu sama lainnya saling berhubungan. Melalui agama, manusia
dapat diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan nilai nilai
ajaran Islam yang proses pengembangannya melalui pendidikan, karena
dengan pendidikan, orang akan menjadi lebih dewasa dan lebih mampu
baik dari segi kecerdasannya maupun sikap mentalnya.
Sementara pendidikan itu sendiri menurut Jalaludin, pada
hakekatnya merupakan proses dan aktivitas pengembangan sistem nilai
yang difokuskan pada akhlak al-karimah pada diri individu3. Oleh
1 Nazarudin, Managemen Pembelajaran: Implementasi Konsep,
Karakteristik dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, (Yogyakarta: Teras, 2007), h. 12.
2 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 88.
3 Malik A. Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 57.
27
-
28
karena itu, pengembangan potensi individu dalam segala aspeknya
harus mengarah pada nilai-nilai akhlak mulia.
Pelaksanaan pendidikan agama di madrasah memerlukan
interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang sifatnya lebih
mendalam, lahir dan batin. Figur pendidik agama bukan sekedar
penyampai materi pelajaran, melainkan juga sebagai sumber spiritual
dan sebagai pembimbing, sehingga terjalin hubungan pribadi yang
cukup erat antara pendidik dengan peserta didik yang mampu
melahirkan keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan materi
pengajarannya. Oleh karena itu peran pendidik dalam pembelajaran
agama tidak cukup bermodal kompetensi profesional semata, tetapi
harus didukung oleh kekuatan moral, demikian pula halnya dengan
mutu pendidikan agama dan pencapaian prestasi peserta didik, tidak
hanya data diukur dengan tabel-tabel statistik, tetapi harus didukung
dengan pembuktian totalitas peserta didik itu sendiri sebagai pribadi
sosial. Perilaku dan kesalehan hidup yang ditampilkan dalam
kesehariannya, lebih penting jika dibandingkan dengan pencapaian
angka 100 atau (A). Oleh karena itu, masih menurut Malik Fadjar,
mutu maupun pencapaian pendidikan agama perlu diorientasikan
kepada hal-hal sebagai berikut:
a. Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai manusia
yang beragama maupun sebagai manusia Indonesia yang ciri-
cirinya dijadikan tujuan pendidikan nasional;
b. Integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun
institusi pendidikan yang lain;
-
29
c. Tercapanya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma
keagamaan yang fungsinya secara moral untuk
mengembangkan keseluruhan system sosial dan budaya;
d. Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan
transformasi sosial serta budaya yang terus berlangsung;
e. Pengembangan wawasan ijtihadiyah (cerdas rasional) di
samping penyerapan ajaran secara aktif.
Kenyataannya pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah
masih dianggap kurang memberikan kontribusi kearah tersebut.
Kelemahannya masih terfokus pada ranah kognitif, kurang menyentuh
afektif dan psikomotorik. Hal ini senada dengan pendapat Husni
Rahim, menurutnya, kurang berhasilnya pendidikan agama di sekolah
karena “isi pendidikan agama yang ada terlalu akademis, terlalu banyak
topik, banyak pengulangan yang tidak perlu, dan akhlak dalam arti
perilaku hampir tidak diperhatikan, kecuali yang bersifat kognitif dan
hapalan”.4
Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini
berlangsung agaknya masih kurang memperhatikan bagaimana
mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna”
dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan kepada peserta didik sebagai
sumber motivasi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berperilaku
secara kongkrit, agamis, dalam kehidupan praktis sehari-hari.5
Dari pengertian di atas, peran pendidikan Agama Islam adalah
suatu tugas yang dapat dilaksanakan dalam membimbing dan
mengasuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
4 Jalaludin, Teologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 38.
5 Ibid, h.168.
-
30
rohani anak untuk mencapai tingkat kedewasaan yang sesuai dengan
ajaran Islam. Peran pendidian Agama Islam merupakan tugas yang
dilaksanakan oleh pendidik dalam membina tingkah laku siswa.
Pembinaan tingkah laku Pendidikan agama Islam merupakan bagian
dari pendidikan nasional yang menyangkut aspek sikap dan nilai antara
lain membina sikap dan tingkah laku serta membina kepribadian.
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, posisi pendidikan
Agama sangat strategis dengan pengertian sangat penting dan perlu
diberikan kepada peserta didik disetiap jenjang pendidikan, sebab
pendidikan Agama merupakan suatu alat untuk mengendalikan diri.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
dijelaskan pada pasal 37 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan Agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia”.
Dengan demikian arah pendidikan Agama dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya adalah terciptanya manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta
mempunyai dedikasi yang tinggi. Oleh karena itu pendidikan Agama
Islam mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang
pembangunan nasional.
Agar pendidikan Agama dapat berhasil sesuai yang diharapkan
tentu setiap guru dalam mendidik anak-anak yang dipercayakan
kepadanya, memahami perkembangan jiwa anak didik yang
dihadapinya itu, di samping kemampuan ilmiah yang dimilikinya, serta
penguasaan terhadap metode dan keterampilan mengajar.
-
31
Memahami beberapa pemaparan diatas, jelaslah bahwa
pentingnya pendidikan agama bagi anak, tidak hanya sekedar
menjadikan anak menjadi manusia yang pintar dan terampil, melainkan
lebih utama dari pada itu, untuk membentuk anak agar memiliki moral
dan akhlak yang mulia. Karena melalui pendidikan dan bimbingan
agamalah anak akan selalu berada pada jalan kebaikan. Pendidikan
agama menjadi tonggak utama dalam membentuk mental dan akhlak
yang mulia, di samping sebagai benteng runtuhnya moral generasi
mendatang.
2. Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pendidikan agama Islam adalah usaha orang dewasa muslim
yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik
melalui ajaran Islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan
perkembangannya.6 Bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai
dengan ajaran Islam maka harus diproses melalui system kependidikan
Islam, baik melalui kelembagaan maupun melalui system kurikuler.7
Esensi dari potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu terletak pada
keimanan atau keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak (moralitas) dan
pengalamannya.8 Dan keempat potensi esensial ini menjadi tujuan
fungsional pendidikan Islam. Oleh karena itu dalam strategi pendidikan
Islam keempat potensi dinamis yang esensial tersebut menjadi titik
pusat dari lingkaran proses kependidikan, yaitu manusia dewasa yang
6 Muhammad Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. bumi Aksara, 2003), h. 22.
7 Ibid, h. 23. 8 Moh. Fadhil Al-Djamali, al-Tarbiyah al-Ihsan al-Jadid, (Tunisia al-
Syghly: Matba’ah al-ijtihad al-‘Aam, 1967), h. 85.
-
32
mukmin atau muslim, muhsin dan muhsinin yang dimulai dari
pendidikan keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mengajarkan
berbagai hal kepada seorang anak dan memiliki tangung jawab yang
utama untuk mendidikanak tersebut. Anak-anak biasanya akan meniru
setiap tingkah laku orang tuanya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits
rosulullah yang berbunyi:
Artinya: Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka orang tuanyalah kelak yang menjadikannya dia yahudi, atau nashrani atau majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Al-Buhkori)
Oleh karena itu, orang tua harus menjadi contoh tauladan bagi
anak-anaknya. Dengan memberikan pendidikan terbaik baginya.
Selain proses pembelajaran dalam lingkungan keluarga, belajar
berorganisasi juga menjadi sangat penting peranannya dalam
memaksimalkan perkembangan sosial manusia. Berbagai macam
karakter manusia yang terdapat dalam organisasi-organisasi tersebut
dapat melatih anak untuk saling memahami satu sama lain. Melalui
organisasi anak dapat berinteraksi dalam berbagai kegiatan keagamaan
seperti kegiatan pesantren ramadhan, bakti sosial, mengikuti kegiatan
qurban, atau kegiatan lainnya yang dapat menumbuhkan sikap
kepedulian sebagai realisasi dari pengetahuan agama yang telah
diterimanya.
Selanjutnya proses pembelajaran pendidikan agama yang
banyak memberi pengaruh pada perkembangan sosial jiwa anak adalah
proses pembelajaran di sekolah. Di sekolah, anak dapat berinteraksi
-
33
dengan guru beserta bahanbahan pendidikan dan pengajaran, teman-
teman peserta didik lainnya, serta pegawai-pegawai lainnya.
Berinteraksi dan bergaul dengan orang lain dapat ditunjukkan
dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menunjukkan sikap
peduli terhadap sesama. Di dalam lingkup persekolahan, sikap
kepedulian siswa dapat ditunjukkan melalui peduli terhadap siswa lain,
guru, dan lingkungan yang berada di sekitar sekolah. Menurut Oemar
Muhammad al-Toumy al-syaibany, Hakikat pendidikan Islam adalah
“sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam
alam sekitarnya melalui kependidikan”.9
Dari paparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa proses
pembelajaran pendidikan Islam adalah membentuk manusia seutuhnya,
bukan hanya pada aqidahnya saja, atau ibadahnya saja, atau akhlaknya
saja, melainkan menyeluruh pada ketiga aspek itu. Konsep pendidikan
yang demikian itu, hanya bisa terwujud apabila proses dan pelaksanaan
pendidikan berjalan secara berkesinambungan yang tidak dibatasi leh
ruang dan waktu.
Konsep pendidikan Islam mengajarkan bahwa pendidikan itu
dimulai dari pendidikan keluarga. Pendidikan di lingkungan keluarga
ini merupakan pendidikan yang paling asasi dan sangat menentukan.
Sedangkan pendidikan di lingkungan sekolah dan linkungan
masyarakat, merupakan proses lanjutan yang sama-sama memiliki
tanggung jawab dan peran yang sama besar dan sama menentukan
hasilnya.
9 Oemar Muhammad Al-Tauni Al-Saibani, Filsafat Pendidikan Islam, Alih
bahasa Hasan Langulung, (t.t.p.t.h), h. 399.
-
34
Pendidikan Islam juga difahami sebagai pengembangan potensi
dasar yang masih tersembunyi, yang dengan kasih sayang dan penuh
tanggung jawab dapat membuka tabir potensi-potensi tersebut. Serta
mengembangkan potensi fisik melalui kurikulum yang mengarah
kepada pembinaan dan pemeliharaan fisik, mental dan intelektual
peserta didik.
B. Kepedulian Sosial 1. Pengertian Kepedulian Sosial
Manusia hidup di dunia ini pasti membutuhkan manusia lain
untuk melangsungkan kehidupannya, karena pada dasarnya manusia
merupakan makhluk sosial. Menurut Buchari Alma, dkk, makhluk
sosial berarti bahwa hidup menyendiri tetapi sebagian besar hidupnya
saling ketergantungan, yang pada akhirnya akan tercapai keseimbangan
relatif. Maka dari itu, seharusnya manusia memiliki kepedulian sosial
terhadap sesama agar tercipta keseimbangan dalam kehidupan.10
Sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
masyarakat. Sehingga diharapkan dalam sebuah masyarakat untuk
saling peduli dan tanggap terhadap orang lain melalui rasa kepedulian
sosial tersebut.
Tindakan rela bekorban untuk orang lain tanpa mengharapkan
apapun, dalam terminologi psikologi soaial dikenal dengan istilah
altruism. Altruisme ialah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang
atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan apapun. Menurut Sears, dkk. Pribadi yang
10 Buchari Alma, dkk., Pembelajaran Studi Sosial (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 201.
-
35
altruistis ditandai dengan kesediaan berkorban (waktu, tenaga, dan
mungkin materi) untuk kepentingan kebahagiaan atau kesenangan
orang lain.
Altruisme berkaitan erat dengan perilaku menolong, namun bila
kita melihat kembali pengertian menolong, kita akan menemukan
perbedaan antara keduanya, yaitu terletak pada tujuan si penolong dan
manfaat dari upaya memberi pertolongan (Dovidio dkk), Altruisme
diartikan oleh Aronson, Wilson & Akert sebagai pertolongan yang
diberikan secara murni, tulus, tanpa balasan (manfaat) apapun dari
orang lain dan tidak memberikan manfaat apapun untuk dirinya.
Sementara Batson mengartikan Altruisme dengan menyandingkannya
dengan egoisme. Menurutnya Altruisme adalah “altruism is a
motivational state with the ultimate goal of increasing anather’s
welfare. Egoism is a motivational state with the ultimate goal of
increasing one’s own welfare.”
Dari pengertian Baston di atas, mengandung tiga pengertian:
Pertama: “a motivational State…” Yang dimaksud a
motivational State di sini, kekuatan psikologis untuk mengarahkan
tujuan. Terdapat empat kriteria, yaitu: seseorang menginginkan
perubahan dalam dirinya, menggambarkan tujuan seseorang, suatu cara
yang diinginkan, dan kekuatan yang menghilang setelah tujuan
tercapai.
Kedua: “…with the ultimate goal..”adalah tujuan yang
terpenting atau tujuan yang tidak ada niat lain kecuali semata mata
untuk sesuatu yang ingin dicapai.
Ketiga: “…of in creasing another’s welfare atau of in creasing
one’s own welfare”, yaitu suatu perbuatan yang semata-mata hanya
-
36
membantu orang lain atau semata-mata untuk mencapai
kepentingannya sendiri.
Pendapat yang lebih totalitas dikemukakan oleh Walstern dan
Piliavin. Mereka berpendapat bahwa perilaku altruistik adalah perilaku
menolong yang muncul bukan oleh adanya tekanan atau kewajiban,
melainkan bersifat sukarela dan tidak berdasarkan norma-norma
tertentu, tindakan tersebut adakalanya merugikan penolong, karena
meminta pengorbanan darinya, seperti waktu, usaha, uang dan tidak
ada imbalan apapun reward dari semua pengorbanannya itu.11
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka tingkah laku
altruisme dapat diartikan sebagai tindakan yang ditujukan kepada orang
lain dan memberi manfaat positif bagi orang tersebut, dilakukan dengan
sukarela tanpa mengharapkan imbalan apapun kecuali perasaan positif
yang timbul pada subyek yang memberi pertolongan.
2. Jenis-jenis Perilaku Menolong/Altruistik McGuire menggunakan jawaban responden untuk
mengklasifikasikan jenis-jenis perilaku menolong, yaitu sebagai
berikut:
a. Casual Helping, yaitu melakukan hal-hal kecil yang biasa
dilakukan untuk membantu kenalan. Misalnya meminjami
pensil kepada kenalan di sekolah, menunjukkan alamat
seseorang dan sebagainya.
b. Substantial Personal Helping, yaitu melakukan sejumlah usaha
untuk membantu teman dengan manfaat yang nyata. Misalnya
11 Taufik, Empati, Pendekatan Psikologi Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2012), h. 132-133.
-
37
membantu tetangga pindah rumah, menjadi panitia pernikahan
dan sebagainya.
c. Emotional Helping, yaitu memberikan dukungan personal untuk
teman. Misalnya mendengarkan curahan hati temannya yang
sedang bermasalah, memberikan kata-kata positif kepada
kawannya yang sedang berduka, dan sebagainya.
d. Emergency helping, yaitu memberikan pertolongan kepada
teman yang sedang mengalami masalah serius. Misalnya
bergabung dalam kerelawanan untuk membantu korban bencana
alam, membantu korban kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Warneken & Tomasello, mengkategorikan
perilaku menolong ke dalam tiga dimensi, yaitu:
a. planned and formal versus spontaneous and informal, planned
and formal, yaitu bantuan yang direncanakan dan formal,
misalnya memosisikan diri sebagai “sahabat” yang siap
menolong terhadap penderita HIV, memberikan bantuan
psikososial bagi korban bencana. Spontaneous and informal,
yaitu memberikan bantuan secara spontan dan tidak formal,
misalnya membantu korban kecelakaan lalulintas, memberikan
sejumlah uang kepada peminta-minta.
b. Seriousness versus not seriousness. Seriousness, yaitu
pertolongan yang diberikan secara serius , misalnya menolong
seseorang yang mendapatkan serangan jantung ,not seriousness,
misalnya meminjamkan kendaraan.
c. Direct versus indirect. Direct, yaitu memberikan peertolongan
secara langsung, misalnya menyumbangkan tenaga untuk
membangun masjid, memberikan sejumlah makanan untuk para
-
38
pengungsi. Indirect, yaitu memberikan pertolongan secara tidak
langsung, misalnya mengirimkan bantuan kepada pengungsi,
menjadi donator panti asuhan.
Meskipun dimensi-dimensi yang dibuat oleh McGuire serta
Warneken dan Tomasello agak berbeda satu sama lain, mereka telah
memberikan dua kesimpulan penting mengenai perilaku menolong,
yaitu tidak semua bentuk perilaku menolong adalah sama, dan
pertolongan yang diberikan pada suatu kondisi dapat memiliki hasill
yang berbeda pada kondisi yang lain.12
Dalam hal ini, inti dari perilaku menolong adalah wujud
memberikan rasa aman dan keadilan kepada orang lain, menghargai
dan menghormati orang lain tanpa adanya sikap diskriminasi, tidak
menyakiti dan memberikan hak-hak orang lain, dilandasi rasa
kesadaran dan peduli terhadap sesama yang sangat tinggi.
3. Tahap-tahap Perkembangan Perilaku Altruisme Tingkah laku prososial selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan manusia. Ada 6 (enam) tahapan perkembangan tingkah
laku prososial, yaitu:
a. Compliance & concret defined reinforcement. Pada tahap ini
individu melakukan menolong karena perintah yang disertai
oleh reward. Pada tahap ini remaja mempunyai persfektif
egosentris yaitu mereka tidak menyadari bahwa orang lain
mempunyai pikiran dan perasaan yang berbeda dengan mereka,
selain itu tingkah laku prososial terjadi karena adanya reward
dan punishment yang kongkrit.
12 Ibid, h. 128-130.
-
39
b. Compliance. Pada tahap ini individu melakukan tindakan
menolong karena patuh pada perintah dari orang yang berkuasa.
Tindakan ini dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan
persetujuan dan menghindari hukuman.
c. Internal initiative & concrete reward. Pada tahap ini Individu
akan menolong karena tergantung pada reward yang akan
diterima, tindakan prososial ini dimotivasi oleh keinginan untuk
mendapatkan keuntungan atau hadiah.
d. Normative behavior. Pada tahap ini individu akan melakukan
pertolongan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Individu
mengetahui berbagai tingkah laku yang sesuai dengan norma
masyarakat. Dalam tahap ini individu mampu memahami
kebutuhan orang lain dan merasa simpati dengan penderitaan
yang dialami, tindakan prososial ini dilakukan karena adanya
norma sosial yang meliputi; norma memberi dan norma
tanggungjawab sosial.
e. Generalized reciprocity. Pada tahap ini seseorang melakukan
tindakan menolong karena adanya kepercayaan apabila suatu
saat ia membutuhkan bantuan, maka ia akan mendapatkannya,
harapan reward pada tahap ini non konkrit yang susah
dijelaskan
f. Altruisme behavior. Pada tahap ini seseorang melakukan
menolong secara sukarela yang bertujuan untuk menolong dan
menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan imbalan,
tindakan prososial ini dilakukan karena individu sendiri yang
didasarkan pada prinsip moral. Pada tahap ini individu sudah
-
40
mulai menilai kebutuhan orang lain dan tidak mengharapkan
hubungan timbal balik untuk tindakannya.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan tingkah
laku prososial antara lain:
a. Faktor orang Tua. Hubungan antara remaja denga orang tua
menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan remaja
berperilaku prososial ketika berinteraksi di lingkungan sosial
yang lebih luas. Keluarga merupakan kelompok primer bagi
remaja. Memiliki peran penting dalam pembentukan dan arahan
perilaku remaja.
Hal-hal yang diperoleh dari lingkungan keluarga akan
menentukan cara cara remaja dalam melakukan interaksi
dengan lingkungan sosial di luar keluarga. Menurut ahmadi,
keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dalam
kehidupan remaja.
b. Guru, Selain orangtua, sekolah juga mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap perkembangan tingkah laku prososial. Di
sekolah, guru dapat melatih dan mengarahkan tingkah laku
prososial anak dengan menggunakan teknik yang efektif.
Misalnya dengan teknik bermain peran, guru dapat melatih anak
mempelajari situasi dimana tingkah laku menolong diperoleh
dan bagaimana melaksanakan tindakan menolong tersebut.
Teknik bermain peran, mengembangkan sensitivitas terhadap
kebutuhan orang lain dan menambah kemampuan role taking
dan empati. Di sekolah, guru mempunyai kesempatan untuk
-
41
mengarahkan anak dengan menganalisis cerita dalam bahasan
yang berbeda.
c. Teman sebaya, teman sebaya mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan tingkah laku prososial khususnya pada masa
remaja. Ketika usia remaja kelompok sosial menjadi sumber
utama dalam perolehan informasi, teman sebaya dapat
memudahkan perkembangan tingkah laku prososial melalui
penguatan, pemodelan dan pengarahan.
d. Televisi, selain sebagai hiburan, televisi merupakan sebagai
agen sosial yang penting. Melalui penggunaan muatan
prososial, televisi dapat mempengaruhi pemirsa. Dengan
melihat program televisi, anak juga dapat mempelajari tingkah
laku yang tepat dalam situasi tertentu.
Televisi tidak hanya mengajarkan anak untuk
mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan tapi juga anak
bisa mengerti dengan kebutuhan orang lain, membentuk
tingkah laku prososial dan memudahkan perkembangan empati.
e. Moral dan Agama, perkembangan tingkah laku prososial juga
berkaitan erat dengan aturan agama dan moral. Menurut sears
dkk menyatakan bahwa aturan agama dan moral, kebanyakaan
masyarakat menekankan kewajiban menolong13
Selain faktor-faktor di atas, perilaku menolong juga dapat
dipengaruhi oleh faktor dari luar atau dalam diri seseorang, antara lain
sebagai berikut:
13 Desmita, Psikologi perkembangan Peserta didik, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007), h. 235.
-
42
a. Pengaruh situasi, meliputi: Bystanders, menolong jika ada yang
menolong, desakan waktu dan kemampuan yang dimiliki.
Adanya perilaku menolong atau tidak menolong adalah adanya
orang lain yang kebetulan berada bersama kita di tempat
kejadian (bystanders). Menurut Latane & Darley, semakin
banyak orang lain, semakin kecil kecenderungan orang untuk
menolong. Sebaliknya menurut Latane & Nida, orang yang
sendirian cenderung lebih bersedia menolong.14 Dalam faktor
situasi ini, seseorang menolong jika ada orang lain yang
menolong. Hal itu akan memicu kita untuk ikut menolong,
adanya desakan waktu dan jika ada kemampuan yang dimiliki.15
b. Pengaruh dari Dalam Diri, meliputi: perasaan, sifat, dan agama.
Menurut McMillen & Austin, Perasaan dalam diri seseorang
dapat mempengaruhi perilaku menolong. Menurut Bierhoff,
klien & Kramp, menyatakan bahwa orang yang perasa dan
berempati tinggi dengan sendirinya lebih memikirkan orang
lain dan karenanya lebih menolong. Demikian pula menurut
White & Gerstein, orang yang memiliki pemantauan diri (self
monitoring) yang tinggi akan cenderung lebih penolong, karena
dengan menjadi penolong ia memperoleh penghargaan sosial
yang lebih tinggi.16
Faktor agama ternyata dapat juga mempengaruhi perilaku
menolong, menurut Gallup, 12% dari orang Amerika Serikat tergolong
taat beragama, dan di antara mereka 45% membantu dalam pekerjaan-
14 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial Individu dan Teori-teori
Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2015), h. 271. 15 Ibid, h. 272-273. 16 Ibid, h. 275.
-
43
pekerjaan sosial seperti membantu anak miskin, rumah sakit dan orang
jompo. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Sappington & Baker,
yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah seberapa kuatnya
ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana kepercayaan atau
keyakinan orang yang bersangkutan tentang pentingnya menolong yang
lemah seperti diajarkan oleh agama.17
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang itu,
satu sama lain akan selalu berkaitan dan saling mempemgaruhi, tetapi
faktor moral dan agama sejatinya menjadi norma dan penentu arah
perilaku seseorang, jika faktor moral dan agama dijadikan norma dan
arah perilaku seseorang, maka seseorang tersebut akan terhindar dari
perlaku menyimpang. Di samping itu, pengaruh-pengaruh sosial
lainnya pun akan saling meningkatkan hubungan dengan orang lain dan
saling menyesuaikan perilakunya dengan kebutuhan kebutuhannya.
5. Teori-teori untuk Berperilaku Prososial/Altruisme Ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan motivasi
seseorang untuk berperilaku altruisme.
a. Teori Behaviorisme
Menurut pendapat kaum behaviorisme, orang menolong
karena dibiasakan untuk menolong, perilakunya itu
mendapatkan apresiasi positif sehingga akan terus menguatkan
tindakan-tindakannya (reinforcement). Misalnya orang tua
membiasakan anaknya untuk menolong orang lain dan
memberikan pujian untuk setiap upaya pertolongan yang
diberikan, sehingga ketika mereka telah dewasa, sifat suka
17 Ibid, h. 276.
-
44
menolong melekat pada dirinya. jadi orang melakukan perilaku
menolong sesuai dengan teori classical conditioning dari Ivan
Pavlov.18 Sedangkan menurut John B. Watson, gejala-gejala
perilaku sosial merupakan hasil dari proses belajar berdasar
pada sistem stimulus dan respons. Perilaku sosial sebagai hasil
belajar ditentukan oleh ganjaran (reward) dan hukuman
(punishment) yang diberikan oleh lingkungan, para tokoh
behavioristik meneguhkan bahwa suatu stimulus khusus dan
respon khusus yang saling berhubungan menghasilkan
hubungan fungsional dintara mereka. Sebagai contoh sebuah
stimulus khusus, seperti munculnya seorang teman, yang hadir
dalam lapangan visual seseorang akan membangkitkan suatu
respon khusus seperti tersenyum atau menyapa teman itu.19
Menyikapi teori-teori dari tokoh-tokoh behaviorisme,
penulis berkesimpulan bahwa seseorang melakukan tindakan
menolong, didasari karena memiliki sifat empati bawaan yang
kemudian dipupuk melalui pembelajaran, hal itu akan
melahirkan suatu pembiasaan, sehingga melalui pembiasaan itu,
perilaku menolong bukanlah suatu kegiatan yang dipaksakan,
melainkan suatu tuntutan kewajiban. Sedangkan adanya
imbalan, boleh jadi merupakan apresiasi timbal balik atas
perilaku baik seseorang karena memiliki rasa kepedulian yang
sama.
18 Taufik, Op. Cit, h. 135. 19 Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), h. 8.
-
45
b. Teori Pertukaran Sosial
Konsep teori ini Menyatakan bahwa tindakan seseorang
dilakukan atas dasar untung rugi. Yang dimaksud untung dan
rugi disini bukan hanya dalam material namun juga immaterial
seperti dukungan, penghargaan, keakraban, pelayanan, kasih
sayang, perhatian dan sebagainya. Menurut teori ini seseorang
akan meminimalkan usaha dan memaksimalkan hasil. Artinya
ia berusaha memberikan sedikit pertolongan namun
mengharapkan hasil yang besar dari akibat memberikan
pertolongan itu. Misalnya dengan menolong seseorang ia
berharap mendapatkan imbalan, misalnya uang, kesempatan
karier dan sebagainya.20 Sedangkan menurut Myers, teori
petukaran sosial menggambarkan kehidupan manusia sebagai
suatu perjuangan sosial yang membutuhkan kerjasama dengan
orang-orang lain. Kerja sama dengan orang lain itu dibutuhkan
untuk dapat memuaskan kebutuhan masing-masing individu.
Pemuasan kebutuhan itu secara adil hanya dapat timbul apabila
terjadi proses ketertimbalbalikan (reciprocity) antar individu
dan menghasilkan saling ketergantungan antar mereka, di mana
teori ini lebih dikenal dengan sebutan social exchange theory.21
Konsep teori pertukaran sosial ini, menurut penulis
merupakan konsep yang bertolak belakang dengan norma
agama (Islam) yang selalu mendengungkan menolong tanpa
pamrih (ikhlas beramal), para penganut teori pertukaran sosial
tidak akan melakukan perilaku menolong jika mereka tidak
20 Taufik, Op. Cit, h. 136. 21 Fattah Hanurawan, Op. Cit, h. 10-11.
-
46
memiliki kepentingan. Mereka akan melakukan pertolongan
jika mereka merasa ada sesuatu yang akan diuntungkan.
Sedangkan dalam norma agama, perilaku menolong dengan
mengharap imbalan merupakan perbuatan yang harus dihindari
karena sia-sia dan tidak memiliki makna apapun.
c. Teori Norma Sosial
Menurut teori ini, orang menolong karena diharuskan oleh
norma-norma masyarakat. Ada tiga macam norma sosial yang
biasanya dijadikan pedoman untuk berperilaku menolong
yaitu: a) Norma timbal balik (reciprocity norm) intinya adalah
pertolongan harus dibalas dengan pertolongan. Jika sekarang
menolong orang lain, diwaktu lain akan ditolong oleh orang
lain atau karena pada masa yang lalu pernah menolong orang
lain, jadi masa sekarang orang lain yang memberi pertolongan.
b) Norma tanggung jawab sosial (social rersponsibility norm)
intinya adalah bahwa orang menolong tanpa mengharapkan
balasan apapun di masa depan. Oleh karena itu, orang mau
menolong orang yang buta menyeberang jalan, menunjukkan
jalan pada orang menanyakan jalan. c) Norma keseimbangan
(equilibrium norm). norma keseimbangan ini beraku di bagian
timur. Intinya adalah bahwa seluruh alam semesta harus
berada dalam keadaan seimbang dan harmoni. Maka setiap
orang harus menjaga keseimbangan tersebut dengan saling
menolong satu sama lain.22
Teori norma sosial ini menunjukkan bahwa manusia
sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Ia akan
22 Taufik, Op. Cit, h. 136.
-
47
membutuhkan bantuan orang lain. Agar setiap aktivitas yang
dilakukan itu selalu lancar dan teratur, maka dibutuhkan tata
aturan yang disebut norma sosial. Hal ini menunjukkan adanya
keterkaitan antara interaksi dengan terbentuknya norma sosial.
Norma ini dibuat agar menjadi pedoman yang dapat digunakan
untuk mengatur pola perilaku masyarakat, yang kemudian
disepakati oleh masyarakat, dan selanjutnya djadikan sebagai
norma sosial yang berlaku pada masyarakat itu.
d. Teori Evolusi
Teori ini intinya beranggapan bahwa altruisme adalah
demi survival (mempertahankan jenis dalam proses evolusi),
dimana dalam teori evolusi melihat beberapa faktor antara
lain: a) Perlindungan orang-orang dekat (kerabat). Dalam hal
ini orang cenderung memprioritaskan untuk menolong orang-
orang terdekat dibanding menolong orang yang tidak
mempunyai hubungan kekeluargaan. Orang juga
memprioritaskan untuk menolong anak-anak dibanding
menolong orang dewasa, lebih memprioritaskan menolong
perempuan dibandingkan menolong laki-laki, dan sebagainya,.
Hal tersebut menunjukkan adanya naluri unuk memberikan
perlindungan kepada orang-orang terdekat atau orang-orang
dalam skala prioritas tertentu. b) Timbal balik biologis,
sebagaimana halnya dalam teori pertukaran sosial, yaitu
menolong untuk memperoleh pertolongan kembali, baik dari
orang yang bersangkutan, maupun dari orang lain. c) Orientasi
seksual, ada kecenderungan orang-orang untuk memberikan
pertolongan kepada individu lain yang memiliki orientasi
-
48
seksual yang sama, misalnya para wanita mudah memberikan
pertolongan dengan waria lainnya. Orang yang memiliki
orientasi seksual normal cenderung menghindari untuk
memberi pertolongan kepada orang yang memiliki orientasi
seksual berbeda.23
Menurut pemahaman penulis, teori ini memandang bahwa
menolong itu perlu dilakukan dalam upaya mempertahankan
kelangsungan hidup suatu komunitas. Hal ini akan
memberikan kesan memiliki yang sangat kuat, mereka akan
berupaya sebisa mungkin mencapai tujuan dengan menempuh
berbagai cara walaupun harus mengenyampingkan aturan yang
ada. Hal ini dapat melahirkan konflik antar kelompok, selain
itu dapat pula menimbulkan perilaku kolusi, korupsi atau
nepotisme.
e. Hipotesis Empati-Altruisme
Menurut Batson dkk, sebagian besar perilaku menolong
bersifat egois, namun menurutnya altruis yang murni juga ada,
meskipun tidak begitu banyak yang melakukan. Pendapat
batson pada waktu itu untuk mengcounter pendapat-pendapat
lainnya yang mengatakan bahwa mustahil orang menolong
secara altruis. Mereka berkeyakinan sebaik baik orang
memberikan pertolongan selain untuk kebaikan orang yang
ditolong juga untuk kebaikan dirinya sendiri sekecil apapun
manfaat itu. Batson bersikukuh bahwa altruis itu benar-benar
ada, sehingga ia memformulasikan teori “Empathy-Altruism
Hyphotesis”
23 Ibid., h. 135-137.
-
49
Mekanisme utama dari hipotesis empathy-altruism adalah
reaksi emosi terhadap masalah orang lain. Dengan
menyaksikan orang lain yang sedang dalam keadaan
membutuhkan pertolongan (empathic councern ) akan
menimbulkan kesedihan atau kesukaran (sadness),
sebagaimana dikatakan Batson, ‘… witnessing another person
in need can produce sadness or personal distress"s”.
Perhatian empatik (empathic councern) terhadap kondisi orang
lain yang sedang membutuhkan (pertolongan) diartikan oleh
Batson sebagai “ an other oriented emotional response
congruent with the…welfare of another person”
Meskipun kesedihan dan kekhawatiran ketika melihat
orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan (empathic
councern) itu menimbulkan dorongan egoistic untuk
mengurangi kekhawatiran diri sendiri (one’s own distress).24
f. Teori Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan
Menurut Plato, secara potensial (fitrah) manusia
dilahirkan sebagai mahluk sosial (zoon politicon). Namun
untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam
interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain
Proses sosialisasi dan perkembangan sosial diawali dari
secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang
lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa
yang seyogyanya ia perbuat seperti yang diharapkan orang
lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut
sosialisasi.
24 Ibid., h. 138-139.
-
50
Menurut Loore dengan menyitir pendapat English &
English menjelaskan bahwa sosialisasi itu merupakan suatu
proses dimana individu (terutama anak) melatih kepekaan
dirinya terhadp rangsangan-rangsangan terutama tekanan-
tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya), belajar
bergaul dengan dan bertingkah laku di dalam lingkungan sosio
kurturalnya.
Perkembangan moralitas, secara individu bahwa ia
merupakan bagian anggota dari kelompoknya, secepat itu pula
pada umumnya individu menyadari bahwa terdapat aturan-
aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang
melakukannya.
Proses penyadaran tersebut berangsur tumbuh melalui
interaksi dengan lingkungannya dimana ia mungkin mendapat
larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau
celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin
menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan
dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Perkembangan penghayatan keagamaan diawali dari
kehalusan perasaan (fungsi-fungsi efektifnya) disertai
kejernihan akal budi (fungsi-fungsi kognitifnya) pada saat
tertentu seseorang setidak-tidaknya pasti mengalami,
mempercayai bahkan meyakini dan menerimanya tanpa
keraguan (mungkin pula masih dengan keraguan), bahwa
diluar dirinya ada sesuatu kekuatan yang Maha agung, yang
melebihi apapun termasuk dirinya sebagaimana William James
(Gardner Murfhy, Zakiyah Daradjat, menyebutnya sebagai
-
51
pengalaman religi atau keagamaan (the religious experiences).
Sedangkan Brightman, lebih jauh menjelaskan bahwa
penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada
pengakuan atas keberadaaan (the excistence of great power)
melainkan juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur
yang eternal (abadi) yang mengatur tata hidup manusia dan
alam semesta raya ini. Karenanya manusia mematuhi aturan
itu dengan penuh kesadaran, ikhlas disertai penyerahan diri
dalam bentuk ritual (kebaktian) baik secara individual maupun
kolektif, baik secara simbolik maupun dalam bentuk nyata
dalam hidup sehari-hari25.
Dengan Demikian dapat dipahami bahwa perilaku menolong
tidak dapat dilepaskan dari kesadaran moral yang timbul pada
seseorang, dilandasi kesadaran agama yang tumbuh dan berkembang
pada dirinya yang diyakini sebagai norma dan aturan dalam
berinteraksi dengan lingkungan.
C. Masyarakat Ekonomi Lemah 1. Pengertian Masyarakat Ekonomi Lemah
Secara harfiah kata miskin diberi arti tidak berharta benda (WJS
Mukti, 1984), selanjutnya (Soedarsono 2000), menyatakan kemiskinan
sebagai struktur tingkat hidup yang rendah mencapai tingkat
kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang disbanding
dengan standar hidup yang umumnya berlaku dalam masyarakat.
Standar hidup yang rendah terermin dari tingkat kesehatan, moral dan
25 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sisten
Pengajaran Modul, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 105-108.
-
52
rendahnya rasa harga diri. Sedangkan Mubyarto melihat bahwa
kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena
dikehendaki si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari oleh
kekuatan yang ada padanya. Inti dari definisi ini