BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uinbanten.ac.id/164/2/1-5 Bab I-V Siti Jamiatu...

122
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu cita-cita nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini memberi isyarat bahwa masyarakat Indonesia diharapkan menjadi masyarakat yang tumbuh dan berkembang seiring dengan tuntutan zaman. Untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas tersebut salah satunya melalui jalur pendidikan. Maka pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai cita-cita nasional itu. Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Tidak membedakan antara besar kecil, tua muda, status sosial kaya dan miskin atau latar belakang ras dan budaya. Dwi Siswoyo, mengartikan pendidikan sebagai suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi perkembangan fisiknya, daya jiwanya (akal, rasa dan kehendak), sosial dan moralitasnya. 1 Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 3 dijelaskankan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa 1 Dwi Siswoyo, dkk., Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2008), h. 17. 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uinbanten.ac.id/164/2/1-5 Bab I-V Siti Jamiatu...

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah Salah satu cita-cita nasional bangsa Indonesia yang tercantum

    dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 adalah

    mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini memberi isyarat bahwa

    masyarakat Indonesia diharapkan menjadi masyarakat yang tumbuh

    dan berkembang seiring dengan tuntutan zaman. Untuk mewujudkan

    masyarakat yang cerdas tersebut salah satunya melalui jalur

    pendidikan. Maka pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam

    mencapai cita-cita nasional itu. Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar

    1945 mengamanatkan bahwa “setiap warga negara berhak

    mendapatkan pendidikan”. Tidak membedakan antara besar kecil, tua

    muda, status sosial kaya dan miskin atau latar belakang ras dan budaya.

    Dwi Siswoyo, mengartikan pendidikan sebagai suatu kekuatan yang

    dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi

    perkembangan fisiknya, daya jiwanya (akal, rasa dan kehendak), sosial

    dan moralitasnya.1

    Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem

    Pendidikan Nasional, pada pasal 3 dijelaskankan bahwa Pendidikan

    Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

    watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

    mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

    potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa

    1 Dwi Siswoyo, dkk., Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2008),

    h. 17.

    1

  • 2

    kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

    kreatif dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung

    jawab.

    Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

    tentang Sisdiknas itu selain mengamanatkan 20 persen anggaran untuk

    pendidikan,2 juga menegaskan dalam pasal 5 bahwa: (1) setiap warga

    Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan

    bermutu; (2) warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,

    mental, intelektual, dan/atau sosial berhak untuk memperoleh

    pendidikan khusus; (3) warga Negara di daerah terpencil atau

    terbelakang serta masyarakat adat terpencil berhak memperoleh

    pendidikan layanan khusus; (4) warga Negara yang mempunyai potensi

    kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus;

    (5) setiap warga Negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan

    pendidikan sepanjang hayat.3

    Memahami fungsi pendidikan nasional di atas, maka out put

    dari pendidikan itu harus menghasilkan siswa yang bukan saja cerdas,

    tetapi juga cakap, kreatif dan memiliki nilai. Menurut Rukiyati, nilai

    bagi manusia dipakai dan diperlukan untuk menjadi landasan alasan,

    motivasi dalam segala sikap, tingkah laku dan perbuatannya. Nilai

    merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi yang mewarnai dan

    2 UU SISDIKNAS Pasal 49 ayat (1) berbunyi, “Dana pendidikan selain gaji

    pendidik dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”

    3 Purwo Udiutomo, dkk., Besar Janji dari pada Bukti, Kebijakan dan Praktik Pendidikan Indonesia di Era Transisi Demokrasi, (Bogor: Dompet Dhuafa, 2013), h. 10.

  • 3

    menjiwai tindakan manusia.4 Maka melalui pendidikan, siswa memiliki

    kesempatan untuk melatih nilai-nilai tersebut menjadi suatu karakter.

    Untuk membentuk karakter tersebut perlu ditanamkan melalui

    pendidikan, dan salah satunya melalui pendidikan agama sejak dini.

    Dalam hal pembinaan kepribadian siswa di sekolah,

    sebagaimana diamanatkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No 20 tahun 2003

    tentang Sisdiknas, maka peran pembelajaran yang di dalamnya terdapat

    interaksi secara langsung antara pendidik dengan peserta didik menjadi

    sangat penting. Dalam perspektif Islam, pendidik menduduki posisi

    yang mulia, hal ini merupakan wujud nyata ajaran Islam yang

    menjunjung tinggi ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses

    belajar mengajar dengan bimbingan dan arahan seorang pendidik,

    sehingga dalam terminologi Islam, pendidik adalah orang yang berilmu

    yang disebut dengan al-‘alim.

    Dalam hal ini, pembelajaran PAI menjadi sangat penting bagi

    perkembangan kepribadian peserta didik. Nilai-nilai agama sejatinya

    ditanamkan sejak usia dini, karena kepribadian peserta didik tersebut

    akan berkembang menjadi watak yang kelak muncul dalam kehidupan

    bermasyarakat.

    Dalam hal mengajarkan keteladanan, dalam interaksi

    pembelajaran, perilaku pendidik akan memberi dampak yang lebih kuat

    dari pada nasehat verbal (nasehat yang disampaikan secara lisan),

    karena jika nasehat itu tidak didukung dengan perilaku yang tidak

    sesuai dengan apa yang disampaikan, tidak dapat diterima oleh peserta

    4 Rukiyati, dkk., Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: UNY Press, 2008),

    h. 59.

  • 4

    didik dan akan mengakibatkan kebingungan terhadap nilai-nilai yang

    diajarkan.

    Siswa Sekolah Dasar, merupakan individu-individu yang berada

    pada fase pembentukan kepribadian, sehingga sangat memerlukan

    teladan. Perwujudan keteladanan pendidik yang sesuai dengan norma-

    norma agama Islam baik berupa ucapan maupun tindakan yang tidak

    dikemas dengan kepura-puraan akan menjadi kebiasaan yang akan

    ditiru sepanjang zaman.

    Dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP)

    Pendidikan Agama Islam baik untuk tingkat SD/MI, SLTP/MTs

    maupun SMU/K/MA/MAK selalu dicantumkan tujuan Pendidikan

    Agama Islam yaitu meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan

    dan pengamalan siswa tentang Agama Islam, sehingga menjadi

    manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta

    berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa

    dan bernegara.

    Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat (9), Alloh SWT telah

    mengingatkan bahwa kita sebagai hamba Alloh, sejatinya memiliki

    kekhawatiran besar terhadap munculnya generasi yang sangat lemah

    dalam pendidikan, sebagaimana firman-Nya:

    Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Alloh orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Alloh dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa: 9).

  • 5

    Untuk mencapai tujuan tersebut, maka materi pendidikan

    Agama Islam dikelompokkan dalam tujuh unsur pokok yaitu:

    keimanan, ibadah, Al-Qur’an, akhlak, syari’ah, muamalah dan tarikh.

    Selanjutnya materi-materi tersebut dikembangkan dalam proses belajar

    mengajar yang menitik beratkan pada pengembangan tiga aspek dalam

    diri peserta didik yaitu aspek afektif (sikap), aspek kognitif

    (pengetahuan) dan aspek psikomotorik (keterampilan).

    Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebagai salah satu lembaga

    penyelenggara pendidikan tingkat dasar mempunyai tugas berat dalam

    mengemban amanat pendidikan itu, karena harus mampu mewujudkan

    satu kesatuan antara sikap, pengetahuan dan keterampilan. Salah

    satunya dengan menanamkan sikap kepeduliaan sosial. Hal ini menjadi

    sangat penting mengingat rasa kepedulian sosial di kalangan peserta

    didik sebagian besar kini mulai memudar.

    Dengan demikian, pembelajaran Agama Islam di

    sekolah/madrasah memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya

    penanaman nilai-nilai sosial spiritual yang berimbas pada

    pengembangan pribadi yang peka terhadap persoalan-persoalan

    kemanusiaan khususnya dalam sikap kepedulian sosial pada individu,

    karena materi pendidikan Agama Islam (PAI) akan diserap oleh peserta

    didik bukan hanya sebagai pelajaran, melainkan sebagai pedoman

    hidup yang berguna dalam mengatasi berbagai permasalahan hidupnya

    sehari-hari. Manusia tidak bisa lepas dari sikap tolong menolong,

    karena pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain.

    Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Jauharotunnaqiyah Priuk

    Kecamatan Jombang Kota Cilegon, adalah salah satu lembaga

    pendidikan tingkat dasar di bawah naungan Kementerian Agama di

  • 6

    kota Cilegon, memiliki 9 (Sembilan) orang guru honorer dan 1 (satu)

    orang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS), di bawah komando kepala

    madrasah, mereka kompak dalam mendidik dan memberi pelajaran

    kepada siswa siswinya. Dengan budaya “pembiasaan” mereka memulai

    kegiatan pembelajaran setiap harinya, sehingga kesannya menjadi

    berbeda dengan madrasah pada umumnya. Hasil belajar ditekankan

    pada “kemanfaatan”. Guru yang baik adalah pembelajar yang baik. Dan

    sekolah yang baik adalah yang membelajarkan para gurunya. Sekolah

    memfasilitasi guru untuk selalu mengembangkan kemampuannya.5

    Madrasah ini berada di lingkungan perkotaan, diapit oleh dua

    sekolah dasar yang sangat kontras budaya keseharianya. yaitu Sekolah

    Dasar Kristen Mardhiyuana yang orang tua siswanya dari kalangan

    masyarakat ekonomi menengah ke atas, lahan parkiran yang luas setiap

    harinya selalu dipenuhi berbagai jenis dan merk kendaraan, dan di

    kanan kirinya kantin yang selalu dipenuhi orang tua siswa yang hilir

    mudik menjemput putra putrinya. Sedangkan lainnya adalah Sekolah

    Dasar Negeri Sukmajaya I, yang berada di bawah naungan

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah Dasar Sukmajaya I

    ini lokasinya sangat berdekatan dengan Madrasah ibtidaiyah Al-

    Jauharotunnaqiyah Priuk, bahkan satu halaman, sehingga pada waktu

    istirahat, siswanya berbaur dalam beraktivitas.

    Di Madrasah Ibtidaiyah Priuk, terlihat pemandangan yang

    berbeda, pola hidup kesehariannya dilandasi dengan rasa kepedulian

    sosial. Implementasi pendidikan kepedulian sosial melalui orientasi

    pembelajaran di madrasah lebih ditekankan pada keteladanan dalam

    5 Sekolah Guru Indonesia, Kelana Guru 2 Musim, (Bogor: Dompet Dhuafa,

    2015), h. 198.

  • 7

    nilai kehidupan nyata, baik antar siswa yang senantiasa saling berbagi

    dan saling peduli, antar gurunya yang saling berbagi tugas untuk

    senantiasa memperhatikan keadaan siswanya, maupun pihak orang tua

    yang selalu memberi kontribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan

    putra putrinya. Kesadaran itu muncul karena ketidakberdayaan mereka,

    dan mereka memahami bahwa permasalahan utamanya adalah

    bagaimana kaum tertindas sebagai manusia yang terbelah dan tidak

    otentik dapat berperan serta membangun sistem pendidikan bagi

    kebebasan mereka? Hanya jika mereka menemukan diri sendiri telah

    menjadi pelayan-pelayan kaum penindas maka mereka baru dapat

    menumbangkan sesuatu bagi proses penciptaan pendidikan yang

    membebaskannya.6 Walaupun mereka semua tidak menyesali berlatar

    belakang pemulung, dan kuli kasar. Keadaan ekonomi orangtua yang

    kurang memadai membuat para murid ikut mencari nafkah bersama

    orangtua mereka. Akibatnya anak-anak tersebut tidak bergairah untuk

    menuntut ilmu di sekolah.7

    Kesadaran untuk memiliki generasi yang beriman, berilmu dan

    beramal, muncul dari beberbagai pihak, baik pihak guru, sekolah

    terutama orangtua wali siswa. maka dengan segala keterbatasannya

    mereka bahu membahu membagi waktu membangun suatu sistem yang

    membentuk warga madrasah ini memiliki rasa kepedulian sosial yang

    sangat tinggi. Hal ini tentu menjadi hal yang tidak istimewa jika

    dilakukan oleh masyarakat sekolah yang taraf ekonominya menengah

    ke atas, tetapi menjadi hal yang sangat luar biasa jika dilakukan di

    6 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Pengantar: F Danuwinata,

    (Jakarta: LP3ES, 2013), h. 19. 7 A. Tien Asmara P, Sofa Nurdiyanti, dkk., Peluh Penawar Rindumu,

    Indonesia, (Bogor: Dompet Dhuafa, 2012), h. 117.

  • 8

    madrasah yang mayoritas ekonomi orang tuanya lemah, seperti di

    madrasah Ibtidaiyah Priuk ini.

    Pekerjaan orangtua wali siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-

    Jauharotunnaqiyah Priuk ini, 70 % pemulung dan pengumpul

    rongsokan, 25 % pekerja kuli bangunan dan 5 % buruh pabrik. Kondisi

    ekonomi inilah yang menggambarkan kehidupan nyata bahwa sebagian

    besar atau 95 % siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah

    Priuk ini berasal dari kalangan ekonomi rendah. Tetapi walaupun

    berasal dari kalangan ekonomi yang rendah, mereka memiliki kepekaan

    rasa kepedulian yang tinggi.

    Hal inilah yang menarik untuk diteliti. Kajian tesis ini menelaah

    sejauh mana peran pembelajaran pendidikan Agama Islam di madrasah

    ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk ini memberi dampak terhadap

    timbulnya sikap kepedulian sosial siswa. Apakah guru memiliki

    strategis tertentu dalam proses pembelajaran di madrasah ini? Apakah

    cara dan strategi tersebut akan terus berjalan mulus dan dipertahankan

    di madrasah ini? Bagaimana sikap peduli terhadap sesama bisa timbul

    di kalangan siswa? Berawal dari pemikiran dan latar belakang tersebut,

    peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh kasus di atas dalam tesis yang

    berjudul “PERAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA

    ISLAM DALAM PEMBENTUKAN SIKAP KEPEDULIAN SOSIAL

    SISWA KALANGAN EKONOMI RENDAH (Studi Kasus di

    Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon).”

    B. Identifikasi Masalah Berdasarkan hasil penelitian awal di MI Al-Jauharotunnaqiyah

    Priuk, ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut:

  • 9

    1. Praktek pembelajaran agama masih sekedar proses transformasi

    pengetahuan agama kepada siswa, tidak merupakan suatu pedoman

    hidup yang wajib dipatuhi.

    2. Sebagian besar (70 %) siswa di madrasah Ibtidaiyah Al-

    Jauharotunnaqiyah Priuk berasal dari kalangan ekonomi rendah,

    tetapi sikap kepedulian sosial mereka tinggi.

    3. Mayoritas orang tua siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-

    Jauharotunnaqiyah Priuk, (70 %) bekerja sebagai pemulung dan

    pengumpul barang rongsokan, tetapi semangat untuk

    menyekolahkan putra putrinya sangat tinggi.

    4. Letak Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk, berdekatan

    dengan dua sekolah dasar yang taraf ekonomi orangtua siswanya

    dari kalangan ekonomi menengah ke atas, tetapi pola hidup

    kesehariannya sangat jauh berbeda, kesan individualistisnya lebih

    kental, sedangkan di MI Al-Jauharotunnaqiyah priuk lebih terkesan

    keluarga secara utuh.

    C. Fokus Penelitian Mengingat luasnya permasalahan pada Peran Pembelajaran PAI

    dalam pembentukan sikap kepedulian sosisal siswa di lingkungan

    madrasah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk ini, maka penelitian pun

    difokuskan pada:

    1. Sikap kepedulian sosial siswa yang dalam penelitian ini difokuskan

    pada sikap dan perilaku sosial yang ditunjukkan oleh siswa

    kalangan ekonomi rendah dalam kesehariannya, baik dalam

    hubungannya dengan Allah (hablum minallah) maupun

    hubungannya dengan sesama manusia (hablum minannas) serta

  • 10

    faktor-faktor yang mendukung dan menghambat terbentuknya sikap

    kepedulian sosial tersebut.

    2. Peran Pembelajaran PAI di Madrasah Ibtidaiyah Al-

    Jauharotunnaqiyah Priuk dipokuskan pada tugas-tugas yang

    diemban oleh para pendidik PAI pada aspek instruksional,

    motivator, manager, konselor dan model dalam upaya pembentukan

    sikap kepedulian sosial siswa, sehingga terbentuk siswa yang

    memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi.

    D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah di atas, maka

    dalam penelitian ini ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran PAI dalam pembentukan

    sikap kepedulian Sosial siswa kalangan ekonomi rendah di

    Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon.

    2. Bagaimana bentuk sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi

    rendah di madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota

    Cilegon.

    3. Bagaimana peran pembelajaran PAI dalam pembentukan sikap

    kepedulian sosial siswa di kalangan ekonomi rendah pada

    Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon.

    4. Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam

    pembentukan sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi

    rendah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota

    Cilegon.

  • 11

    E. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk:

    1. Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran PAI dalam

    pembentukan sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi

    rendah di Madrasah Ibtidaiyah Al– Jauharotunnaqiyah Priuk Kota

    Cilegon.

    2. Mengetahui bentuk-bentuk sikap kepedulian sosial siswa kalangan

    ekonomi rendah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah

    Priuk Kota Cilegon.

    3. Mendeskripsikan peran pembelajaran PAI dalam pembentukan

    sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi rendah di

    Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon.

    4. Mengetahui faktor faktor pendukung dan penghambat dalam

    pembentukan sikap kepedulian sosial siswa kalangan ekonomi

    rendah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota

    Cilegon.

    F. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

    a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan

    dunia pendidikan pada umumnya, dan bagi peneliti sendiri

    khususnya.

    b. Melalui penelitian ini diharapkan akan menjadi pendorong bagi

    para pendidik dalam meningkatkan proses pembelajaran di

    Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah khususnya, dan

    madrasah-madrasah lain di Kota Cilegon pada umumnya. Dan

    manfaat lainnya diharapkan dapat menjadi motivasi bagi

  • 12

    Kementerian Agama Kota Cilegon untuk melaksanakan

    pembinaan dan pengembangan kualitas pendidikan secara

    optimal.

    2. Secara Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber atau

    contoh pertimbangan dalam mencari, merancang dan

    menerapkan strategi pembelajaran yang dapat memberi warna

    pada pembentukan sikap kepedulian sosial.

    b. Manfaat bagi peneliti, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan

    acuan penelitian sejenis sehingga dapat memberi arah dan

    tujuan yang jelas agar lebih baik dan sempurna.

    c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian ilmiah yang

    lebih luas dan mendalam mengenai peran pembelajaran

    Pendidikan Agama Islam dalam Pembentukan Sikap

    Kepedulian Sosial Siswa Kalangan Ekonomi Rendah.

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada

    masyarakat bahwa betapa pentingnya keikutsertaan masyarakat dalam

    pembentukan kepedulian sosial siswa pada madrasahnya masing-

    masing.

    G. Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka merupakan hal penting untuk menunjukkan

    orisinalitas penulis. Dalam tinjauan pustaka ini, penulis akan

    memaparkan beberapa kajian empiris yang telah dilakukan peneliti

    sebelumnya yang memiliki kesamaan sudut pandang terutama berkaitan

    dengan peran pembelajaran dengan sikap-sikap kepedulian sosial pada

    masyarakat kalangan ekonomi rendah, sekaligus sebagai rujukan,

  • 13

    sehingga penelitian ini tidak semata-mata menunjukkan orisinalitas

    tesis yang akan disusun. Selanjutnya kajian empiris yang dimaksud

    dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan yang dapat membantu

    penyusunan tesis ini. Di antara kajian empiris yang dimaksud antara

    lain:

    Pertama, Tesis, Siti Mubarokah8. dalam judul “peran

    pendidikan Agama Islam dalam memotivasi siswa belajar pendidikan

    agama Islam di MTs Pakem Kabupaten Sleman”, yang menurutnya

    guru harus mampu mendorong anak didik untuk senantiasa belajar

    dalam berbagai kesempatan, melalui berbagai sumber dan media.

    Penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan Agama Islam di

    MTs Pakem Kabupaten Sleman memiliki peran yang strategis dalam

    upaya penanaman nilai sosial spiritual dalam diri siswa yang

    diharapkan dapat berirmbas pada pengembangan pribadi yang peka

    terhadap persoalan- persoalan kemanusiaan khususnya dalam sikap

    altruisme pada individu. Karena materi pendidikan agama Islam (PAI)

    akan diserap oleh siswa sebagai pelajaran, pengalaman, bahkan sebagai

    pedoman hidupnya yang berguna dalam mengatasi berbagai

    permasalahan hidupnya sehari-hari karena dalam kehidupan sehari-hari

    manusia tidak bisa lepas dari sipat tolong menolong, sebab pada

    dasarnya manusia membutuhkan orang lain.

    Kedua, Tesis, Febriana M. Fadli Fadillah9 dengan judul

    “Pengaruh Hasil Pembelajaran IPS terhadap Nilai dan Sikap

    8 Siti Mubarokah, Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam memotivasi

    Siswa Belajar Pendidikan Agama Islam di MTs Negeri Pakem Kabupaten Sleman, Tesis, (Yogyakarta: UIN Yogyakarta, 2012), h. 21.

    9 Febriana M. Fadli fadillah, Pengaruh Hasil Pembelajaran IPS terhadap Nilai dan Sikap Kepedulian Sosial: Survei pada Peserta didik SMP Negeri di Kota Bandung, Tesis, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2012), h. abstrak.

  • 14

    Kepedulian Sosial: Survei pada Peserta didik SMP di Kota Bandung”.

    Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai dan sikap kepedulian sosial

    merupakan aspek penting yang harus dimiliki setiap peserta didik,

    karena dengan aspek tersebut individu mampu menjalin hubungan

    sosial yang lebih baik. Namun kenyataannya peserta didik belum bisa

    mengembangkan nilai dan sikap kepedulian sosial pada kehidupan

    sehari hari. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang merumuskan

    masalah bagaimana pengaruh pembelajaran IPS terhadaap nilai

    kepedulian soaial peserta didik dan bagaimana pengaruh pembelajaran

    IPS terhadap sikap kepedulian sosial peserta didik.

    Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran peserta

    didik memiliki pengaruh positif terhadap nilai dan sikap kepedulian

    sosial. Oleh karena itu kualitas pembelajaran dah hasil belajar dan ujian

    atau evaluasi lain perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak agar

    mampu meningkatkan pemahaman nilai dan penerapan sikap

    kepedulian sosial.

    Ketiga, Disertasi, Sandhi Amalantu Zaedun10 dengan judul “

    Meningkatkan kepedulian Sosial antar siswa XI Is 1 SMA N I

    Karangpayung Melaui Layanan Informasi Tahun Pelajaran

    2011/2012” Penelitian ini menggambarkan bahwa kepedulian sosial

    siswa di SMAN I Karangpayung sangat rendah. Rendahnya sikap

    kepedulian sosial siswa di SMAN I tersebut disebabkan kurangnya

    pemahaman siswa akan pentingnnya memiliki sikap kepedulian yang

    tinggi dan manfaatnya bagi orang lain, serta kurangnya informasi

    10 Sandhi Amalantu Zaedun, Meningkatkan Kepedulian Sosial Antar Siswa

    Kelas XI Is SMA N Karangpayung Melalui Layanan Informasi Tahun Pelajaran 2011/2012, Disertasi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, (Kudus: Universitas Muria, 2012), h. abstrak.

  • 15

    bentuk-bentuk kepedulian sosial secara nyata yang dapat dikerjakan.

    Permsalahan yang ditelitinya adalah, apakah layanan bimbingan

    dengan menggunakan layanan informasi dapat meningkatkan

    kepedulian sosial siswa SMAN I Karangpayung.

    Penelitian ini mempunyai kesamaan objek kajian, yaitu masalah

    sikap kepedulian sosial siswa, namun penelitian ini memfokuskan

    penelitiannya pada siswa tingkat SMA, serta mencari faktor penyebab

    rendahnya sikap kepedulian tersebut.

    Keempat, Jurnal, Rijal Haryanto11, dengan judul “Penelitian

    Peran Keluarga dalam Membantu Menumbuhkan Sikap Kepedulian

    sosial pada anak SD Cipari desa Kebon Pedes, kecamatan Kebon

    Pedes Kabupaten Sukabumi”. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa

    antara sekolah dan keluarga saling bersinergi dalam menumbuhkan

    sikap kepedulian sosial pada anak. Hal ini disebabkan karena

    kehidupan sosial pada masyarakat masih menjunjung tinggi sikap

    kebersamaan, hal itulah yang mempengaruhi terhadap tumbuhnya sikap

    kepedulian sosial pada anak. Namun, fenomena ini mungkin akan

    berbeda jika di tempat lain.

    Terdapat kesamaan objek pengamatannya pada sekolah tingkat

    dasar dan keikut sertaan keluarga dalam membentuk sikap kepedulian

    sosial pada siswa cukup memberi warna. Tetapi terdapat perbedaan

    latar keluarga yang dijadikan objek pengamatan. Di Madrasah

    Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon, 70 % orang tua

    siswanya berprofesi sebagai pemulung. Objek pengamatannya lebih

    kepada latar ekonomi yang rendah, sedangkan pada peneliti

    11 Rijal Haryanto, Penelitian Peran Keluarga dalam Membantu Menumbuhkan Sikap Kepedulian Sosial pada Anak SD Cipari Desa Kebon Pedes, Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi, (2013)

  • 16

    sebelumnya tidak mencantumkan latar ekonominya, tetapi lebih

    menekankan pada latar lembaganya yaitu Sekolah Dasar.

    Kelima, Buku, Ivanovich Agusta12 dengan judul “Diskursus,

    Kekuasaan, dan Paraktik Kemiskinan di Pedesaan”. Buku ini

    memaparkan bahwa kemiskinan tidak sekedar bersifat multidimensi,

    namun kemiskinan-kemiskinan itu sendiri memang majemuk. Beragam

    diskursus kemiskinan ini hidup bersama, namun beroperasi dan

    menggunakan benda-benda secara berbeda-beda.

    Keenam, Buku, Bagong Suyanto13 dengan judul “Anatomi

    Kemiskinan dan Strategi penangannya, Fakta Kemiskinan Masyarakat

    Pesisir, Kepulauan, Perkotaan dan Dampak dari Pembangunan di

    Indonesia. Buku ini memaparkan tentang kemiskinan dengan berbagai

    penyebab terjadinya hingga kemungkinan-kemungkinan

    penanganannya. Dalam buku ini dijelaskan bahwa kemiskinan itu

    selalu rawan bias alias tidak tepat sasaran, sehingga buku ini

    menawarkan strategi penanganan kemiskinan yang benar-benar

    berpihak kepada rakyat miskin. Tentu kajian ini berbeda dengan

    penelitian yang penulis lakukan, namun ada sisi persamaan, yaitu sama-

    sama mengangkat masalah kemiskinan atau keadaan masyarakat

    ekonomi rendah. Buku ini memfokuskan penelitiannya pada

    masyarakat pesisir, kepulauan, perkotaan sebagai dampak

    pembangunan di Indonesia, sedangkan penelitian penulis lebih

    difokuskan pada masyarakat miskin yang berada di lingkungan

    12 Ivanovich Agusta, Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di

    Pedesaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) 13 Bagong Suyanto, Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya,

    Fakta Kemiskinan Masyarakat Pesisir, Kepulauan, Perkotaan dan Dampak dari Pembangunan di Indonesia, (Malang: Instrans Publishing, 2013)

  • 17

    madrasah, serta kajian terhadap sikap kepedulian sosial yang dapat

    ditunjukkan di kalangan mereka sekalipun kehidupan ekonomi mereka

    tergolong miskin atau lemah.

    Dari enam hasil kajian di atas, penelitian ini memiliki

    persamaan kajian dan beberapa perbedaan, yaitu sama-sama mengkaji

    tentang perilaku sosial, tetapi memiliki perbedaan ranah. Penulis lebih

    memfokuskan penelitian ini pada ranah siswa kalangan ekonomi

    rendah, sedangkan peneliti sebelumnya memfokuskan penelitiannya

    pada ranah yang berbeda. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena

    yang penulis teliti adalah masyarakat yang dirasa mustahil dapat

    mempraktekkan rasa kepedulian sosial yang tinggi pada sesama,

    mereka adalah komunitas pemulung di sekitar wilayah Mall Ramayana

    Kota Cilegon dan sekitarnya. Mereka bukanlah kalangan yang biasa

    menikmati lezatnya makanan di Mall itu, melainkan pemulung sampah-

    sampah yang telah dibuang di sekitar Mall tersebut, dari hasil keringat

    itulah mereka membiayai pendidikan putra putrinya hingga melahirkan

    generasi yang memiliki sikap kepedulian yang patut diapresiasi dan

    diteladani.

    Dari penelusuran para peneliti terdahulu baik dalam bentuk

    tesis, disertasi, jurnal, maupun buku, peneliti dapat memberikan

    kesimpulan bahwa judul penelitian ini berbeda dengan para peneliti

    terdahulu, dengan demikian masih ada basic (kekuatan) untuk diteliti

    lebih lanjut.

    H. Kerangka Pemikiran Sebagaimana landasan dalam peneltian ini diperlukan suatu

    kajian yang bersifat teoritis yang ada relefansinya dengan permasalahan

  • 18

    yang akan diteliti, sehingga tampak dengan jelas hubungan antara

    realitas di lapangan dengan kerangka teori yang penulis gunakan.

    Penulis memfokuskan peranan pembelajaran pendidikan Agama Islam

    dalam pembentukan sikap kepedulian sosial, maka pendapat ataupun

    defenisi yang dikemukalam meliputi:

    1. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar, sistematis

    dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi rasa agama,

    menanamkan sifat dan memberikan kecakapan sesuai dengan tujuan

    pendidikan Islam.14

    Diketahui bahwa agama (Islam ) dan pendidikan adalah dua hal

    yang satu sama lainnya saling berhubungan. Melalui pendidikan

    agama, manusia dapat diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai

    dengan nilai-nilai ajaran Islam yang proses pengembangannya melalui

    pendidikan, karena dengan pendidikan, orang akan menjadi lebih

    dewasa dan lebih mampu baik dari segi kecerdasannya maupun sikap

    mentalnya. Sebagaimana dikatakan Dawam Raharjo, bahwa agama

    dimaksudkan untuk membentuk manusia seutuhnya dengan pertama-

    tama mengarahkan siswa menjadi “manusia Indonesia yang beriman

    dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa”. Di samping itu juga agama

    memberikan tuntutan yang jelas kepada manusia mana yang baik dan

    mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan, dan mana pula yang

    harus ditinggalkan, mana yang menguntungkan dan mana yang

    14 Nazarudin, Managemen Pembelajaran: Implementasi Konsep,

    Karakteristik dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, (Yogyakarta: Teras, 2007), h. 12.

  • 19

    merugikan.15 Sementara pendidikan itu sendiri menurut Jalaludin, pada

    hakekatnya merupakan proses dan aktivitas pengembangan sistem nilai

    yang dipokuskan pada akhlak al-karimah pada diri individu16. Oleh

    karena itu, pengembangan potensi individu dalam segala aspeknya

    harus mengarah pada nilai-nilai akhlak mulia.

    Pelaksanaan pendidikana agama di madrasah memerlukan

    interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang sifatnya lebih

    mendalam, lahir dan batin. Figur pendidik agama bukan sekedar

    penyampai materi pelajaran, melainkan juga sebagai sumber spiritual

    dan sebagai pembimbing, sehingga terjalin hubungan pribadi yang

    cukup erat antara pendidik dengan peserta didik yang mampu

    melahirkan keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan materi

    pengajarannya. Oleh karena itu peran pendidik dalam pembelajaran

    agama tidak cukup bermodal kompetensi professional semata, tetapi

    harus didukung oleh kekuatan moral, demikian pula halnya dengan

    mutu pendidikan agama dan pencapaian prestasi peserta didik, tidak

    hanya data diukur dengan tabel-tabel statistik, tetapi harus didukung

    dengan pembuktian totalitas peserta didik itu sendiri sebagai pribadi

    sosial. Perilaku dan kesalehan hidup yang ditampilkan dalam

    kesehariannya, lebih penting jika dibandingkan dengan pencapaian

    angka 100 atau (A). Oleh karena itu, masih menurut Malik Fadjar,

    mutu maupun pencapaian pendidikan agama perlu diorientasikan

    kepada hal-hal sebagai berikut:

    15 Muchtar Buchori, Pendidikan Islam Indonesia: Problema Masa Kini dan

    Perspektif Masa Depan, dalam M. Dawam Rahardjo (Peng), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), h. 85.

    16 Malik A. Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 57.

  • 20

    a. Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai manusia

    yang beragama maupun sebagai manusia Indonesia yang ciri-

    cirinya dijadikan tujuan pendidikan nasional;

    b. Integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun

    institusi pendidikan yang lain;

    c. Tercapanya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma

    keagamaan yang fungsinya secara moral untuk

    mengembangkan keseluruhan sistem sosial dan budaya;

    d. Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan

    transformasi sosial serta budaya yang terus berlangsung;

    e. Pengembangan wawasan ijtihadiyah (cerdas rasional) di samping penyerapan ajaran secara aktif.

    Kenyataannya pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah

    masih dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah tersebut.

    Kelemahannya masih terfokus pada ranah kognitif, kurang menyentuh

    afektif dan psikomotorik. Hal ini senada dengan pendapat Husni

    Rahim, menurutnya, Kurang berhasilnya pendidikan agama di sekolah

    karena “isi pendidikan agama yang ada terlalu akademis, terlalu banyak

    topik, banyak pengulangan yang tidak perlu, dan akhlak dalam arti

    perilaku hampir tidak diperhatikan, kecuali yang bersifat kognitif dan

    hapalan”.17

    Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini

    berlangsung agaknya masih kurang memperhatikan bagaimana

    mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi makna

    dan nilai yang perlu diinternalisasikan kepada peserta didik sebagai

    17 Jalaludin, Teologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2001), h. 38.

  • 21

    sumber motivasi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berperilaku

    secara kongkrit, agamis, dalam kehidupan praktis sehari-hari.18

    Dari pengertian di atas, peran pendidikan Agama Islam adalah

    suatu tugas yang dapat dilaksanakan dalam membimbing dan

    mengasuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan

    rohani anak untuk mencapai tingkat kedewasaan yang sesuai dengan

    ajaran Islam. Pengukuran peran pendidikan Agama Islam merupakan

    tugas yang dilaksanakan oleh pendidik dalam membina tingkah laku

    siswa. Pembinaan tingkah laku Pendidikan agama Islam merupakan

    bagian dari pendidikan nasional yang menyangkut aspek sikap dan nilai

    antara lain membina sikap dan tingkah laku serta membina kepribadian.

    Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, posisi pendidikan

    Agama sangat strategis dengan pengertian sangat penting dan perlu

    diberikan kepada peserta didik disetiap jenjang pendidikan, sebab

    pendidikan agama merupakan suatu alat untuk mengendalikan diri.

    Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003

    dijelaskan pada pasal 37 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan Agama

    dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang

    beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak

    mulia”.

    Dengan demikian arah pendidikan Agama dalam rangka

    membangun manusia Indonesia seutuhnya adalah terciptanya manusia

    yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta

    mempunyai dedikasi yang tinggi. Oleh karena itu pendidikan Agama

    Islam mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang

    pembangunan nasional. Agar pendidikan agama dapat berhasil sesuai

    18 Ibid, h. 168.

  • 22

    yang diharapkan tentu setiap guru dalam mendidik anak-anak yang

    dipercayakan kepadanya, memahami betul perkembangan jiwa anak

    didik yang dihadapinya itu, di samping kemampuan ilmiah yang

    dimilikinya, serta penguasaan terhadap metode dan keterampilan

    mengajar.

    2. Kepedulian Sosial Manusia hidup di dunia ini pasti membutuhkan manusia lain

    untuk melangsungkan kehidupannya, karena pada dasarnya manusia

    merupakan makhluk sosial. Menurut Buchari Alma, dkk, makhluk

    sosial berarti bahwa hidup menyendiri tetapi sebagian besar hidupnya

    saling ketergantungan, yang pada akhirnya akan tercapai keseimbangan

    relatif. Maka dari itu, seharusnya manusia memiliki kepedulian sosial

    terhadap sesama agar tercipta keseimbangan dalam kehidupan.19

    Sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan

    masyarakat. Kepedulian sosial dapat diartikan peduli terhadap

    kepentingan umum. Kepedulian sosial ini merupakan salah satu bentuk

    proses sosial, di mana proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal

    balik antara berbagai segi kehidupan bersama.20 Sehingga diharapkan

    dalam sebuah masyarakat untuk saling peduli dan tanggap terhadap

    orang lain melalui rasa kepedulian sosial tersebut. Tindakan rela

    bekorban untuk orang lain tanpa mengharapkan apapun, dalam

    terminologi psikologi sosial dikenal dengan istilah altruism. Altruisme

    19 Buchari Alma, dkk., Pembelajaran Studi Sosial (Bandung: Alfabeta,

    2010), h. 201. 20 Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakrta: PT Raja Grafindo

    Persada, 1982), h. 16.

  • 23

    adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri melainkan untuk

    kebaikan orang lain.21

    Darmiyati Zuchdi menjelaskan bahwa, peduli sosial merupakan

    sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada

    masyarakat yang membutuhkan. Berbicara masalah kepedulian sosial,

    maka tak lepas dari kesadaran sosial. Kesadaran sosial merupakan

    kemampuan untuk mamahami arti dari situasi sosial.22

    Hal tersebut sangat tergantung dari bagaimana empati terhadap

    orang lain. Berdasarkan bererapa pendapat yang tertera diatas dapat

    disimpulkan bahwa, kepedulian sosial merupakan sikap selalu ingin

    membantu orang lain yang membutuhkan dan dilandasi oleh rasa

    kesadaran tanpa mengharap imbalan.

    3. Masyarkat Ekonomi Lemah Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang di pengaruhi

    oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat

    pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa,

    lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Mengacu pada

    strategi nasional penanggulangan kemiskinan, definisi kemiskinan

    adalah kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan

    perempuan, tidak terpengaruh hak-hak dasarnya untuk

    mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

    Secara harfiah kata miskin diberi arti tidak berharta benda (WJS

    Mukti), selanjutnya Soedarsono menyatakan kemiskinan sebagai

    struktur tingkat hidup yang rendah mencapai tingkat kekurangan materi

    21 Baron, A. Robert dan Donn Byrne, Social Psychology, diterjemahkan oleh

    Ratna Djuwita, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 92. 22 Darmiyati Zuchdi, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan

    Praktek, (Yogyakarta: UniPress, 2010), h. 170.

  • 24

    pada sejumlah atau segolongan orang dibanding dengan standar hidup

    yang umumnya berlaku dalam masyarakat. Standar hidup yang rendah

    tercermin dari tingkat kesehatan, moral dan rendahnya rasa harga diri.

    Sedangkan Mubyarto melihat bahwa kemiskinan adalah situasi serba

    kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki si miskin,

    melainkan karena tidak dapat dihindari oleh kekuatan yang ada

    padanya. Inti dari definisi ini adalah situasi serba kekurangan yang

    tidak dapat dihindari oleh si miskin.23

    Menurut Jhon Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan

    untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Yang dimaksud basis

    kekuasaan sosial menurutnya meliputi: Pertama, modal produktif atas

    aset, misalnya tanah perumahan, peralatan dan kesehatan. Kedua:

    sumber keuangan, seperti, income dan kredit yang memadai. Ketiga,

    organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai

    kepentingan bersama, seperti kooperasi. Kempat, network atau jaringan

    sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan

    keterampilan yang memadai. Kelima, informasi-informasi yang

    berguna untuk kehidupan.24

    Menurut Robert Chambers, inti dari masalah kemiskinan

    sebenarnya terletak pada apa yang diebut deprivation trap, atau

    perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima

    unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3)

    keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan, dan (5) ketidak

    berdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang

    23 M. Syafi’i, Ampih Miskin, Model Kebijakan Penuntasan Kemiskinan

    dalam Perspektif Teori dan Praktik, (Kandangan: Averroes Press, 2011), h. 24-25. 24 Bagong Suyanto, Op. Cit, h. 2-3.

  • 25

    lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar

    berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.25

    Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks dan

    susah untuk diketahui mana ujung dan pangkal permasalahan dan

    pemecahannya. Oleh sebab itu diperlukan proses dan metode

    pendekatan yang tepat sehingga pada akhirnya mampu mengungkapkan

    fundamental struktural masalah (akar masalah) sebagaimana teori

    gunung es (iceberg model). Sangat tepat untuk mencermati fenomena

    sosial-ekonomi terjadinya proses kemiskinan dengan kerangka kerja

    sebuah sistem untuk mengungkapkan secara utuh hubungan kausal

    (causal relationships). Pendekatan untuk mengetahui hubungan kausal

    terjadi kemiskinan melalui pendekatan proses belajar sosial (social

    learning).26

    Dengan demikian, penanggulangan masalah kemiskinan

    merupakan tanggung jawab bersama. Dalam perspektif agama Islam

    misalnya, direalisasikan melalui zakat fitrah, infaq atau sedekah

    sebagai realisaasi dari penanaman nilai-nilai kepedulian sosial.

    Demikian pula halnya negara, sebagaimana diamanatkan Undang-

    Undang Dasar 1945, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar

    dilindungi dan dipelihara oleh negara.

    I. Sistematika Pembahasan Secara keseluruhan pembahasan dalam penelitian ini terdiri

    bagian awal, bagian utama dan bagian akhir. Untuk memberikan

    gambaran alur penulisan tesis ini, maka disampaikan sistematika

    pembahasan sebagai berikut

    25 Ibid, h. 12. 26 M. Syafi’i, Op. Cit, h. 41.

  • 26

    Bab I, dalam pendahuluan dikemukakan berbagai gambaran

    singkat tentang sasaran dan tujuan dari keseluruhan dalam penulisan ini

    meliputi: Latar belakang masalah, identifikasi masalah, fokus masalah,

    rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,

    kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

    Bab II, kajian teori, merupakan pemaparan yang menampilkan

    kajian literatur yang meliputi: tentang peran pembelajaran Pendidikan

    Agama Islam, Kepedulian sosial, dan pemahaman tentang masyarakat

    kalangan ekonomi lemah.

    Bab III, Metodologi penelitian yang meliputi jenis penelitian,

    lokasi penelitian, pendekatan penelitian, objek penelitian, teknik

    pengumpulan data, uji keabsahan data dan teknik analisis data.

    Bab IV, Pembahasan hasil Penelitian, meliputi: deskripsi

    tentang gambaran umum pelaksanaan pembelajaran PAI di Madrasah

    Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon, Potret Sikap

    Kepedulian Sosial Siwa di Madrasah Ibtidaiyah Al-Jauharotunnaqiyah

    Kota Cilegon, Keteladanan guru PAI di Madrasah Ibtidaiyah Al-

    Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon, serta faktor pendukung dan

    penghambat dalam Pembentukan sikap kepedulian sosial siswa di

    Madrasah Ibtidaiyah Al- Jauharotunnaqiyah Priuk Kota Cilegon.

    Bab V, Penutup merupakan bagian akhir dari pembahasan yang

    berisikan kesimpulan dari hasil kajian terhadap permasahan yang

    diteliti, implikasi dan beberapa saran yang dapat dijadikan

    pertimbangan bagi pengelola Madrasah Ibtidaiyah Al-

    Jauharotunnaqiyah Kota Cilegon serta rekomendasi terhadap penelitian

    selanjutnya.

  • BAB II

    PEMBELAJARAN PAI DAN SIKAP KEPEDULIAN SOSIAL

    SISWA KALANGAN EKONOMI RENDAH

    A. Pembelajaran PAI 1. Pengertian Pembelajaran PAI

    Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar, sistematis

    dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi rasa agama,

    menanamkan sifat dan memberikan kecakapan sesuai dengan tujuan

    pendidikan Islam.1 “Pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah

    laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan

    alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan

    pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian

    banyak profesi asasi dalam masyarakat.2

    Diketahui bahwa agama (Islam) dan pendidikan adalah dua hal

    yang satu sama lainnya saling berhubungan. Melalui agama, manusia

    dapat diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan nilai nilai

    ajaran Islam yang proses pengembangannya melalui pendidikan, karena

    dengan pendidikan, orang akan menjadi lebih dewasa dan lebih mampu

    baik dari segi kecerdasannya maupun sikap mentalnya.

    Sementara pendidikan itu sendiri menurut Jalaludin, pada

    hakekatnya merupakan proses dan aktivitas pengembangan sistem nilai

    yang difokuskan pada akhlak al-karimah pada diri individu3. Oleh

    1 Nazarudin, Managemen Pembelajaran: Implementasi Konsep,

    Karakteristik dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, (Yogyakarta: Teras, 2007), h. 12.

    2 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 88.

    3 Malik A. Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 57.

    27

  • 28

    karena itu, pengembangan potensi individu dalam segala aspeknya

    harus mengarah pada nilai-nilai akhlak mulia.

    Pelaksanaan pendidikan agama di madrasah memerlukan

    interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang sifatnya lebih

    mendalam, lahir dan batin. Figur pendidik agama bukan sekedar

    penyampai materi pelajaran, melainkan juga sebagai sumber spiritual

    dan sebagai pembimbing, sehingga terjalin hubungan pribadi yang

    cukup erat antara pendidik dengan peserta didik yang mampu

    melahirkan keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan materi

    pengajarannya. Oleh karena itu peran pendidik dalam pembelajaran

    agama tidak cukup bermodal kompetensi profesional semata, tetapi

    harus didukung oleh kekuatan moral, demikian pula halnya dengan

    mutu pendidikan agama dan pencapaian prestasi peserta didik, tidak

    hanya data diukur dengan tabel-tabel statistik, tetapi harus didukung

    dengan pembuktian totalitas peserta didik itu sendiri sebagai pribadi

    sosial. Perilaku dan kesalehan hidup yang ditampilkan dalam

    kesehariannya, lebih penting jika dibandingkan dengan pencapaian

    angka 100 atau (A). Oleh karena itu, masih menurut Malik Fadjar,

    mutu maupun pencapaian pendidikan agama perlu diorientasikan

    kepada hal-hal sebagai berikut:

    a. Tercapainya sasaran kualitas pribadi, baik sebagai manusia

    yang beragama maupun sebagai manusia Indonesia yang ciri-

    cirinya dijadikan tujuan pendidikan nasional;

    b. Integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun

    institusi pendidikan yang lain;

  • 29

    c. Tercapanya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma

    keagamaan yang fungsinya secara moral untuk

    mengembangkan keseluruhan system sosial dan budaya;

    d. Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan

    transformasi sosial serta budaya yang terus berlangsung;

    e. Pengembangan wawasan ijtihadiyah (cerdas rasional) di

    samping penyerapan ajaran secara aktif.

    Kenyataannya pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah

    masih dianggap kurang memberikan kontribusi kearah tersebut.

    Kelemahannya masih terfokus pada ranah kognitif, kurang menyentuh

    afektif dan psikomotorik. Hal ini senada dengan pendapat Husni

    Rahim, menurutnya, kurang berhasilnya pendidikan agama di sekolah

    karena “isi pendidikan agama yang ada terlalu akademis, terlalu banyak

    topik, banyak pengulangan yang tidak perlu, dan akhlak dalam arti

    perilaku hampir tidak diperhatikan, kecuali yang bersifat kognitif dan

    hapalan”.4

    Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini

    berlangsung agaknya masih kurang memperhatikan bagaimana

    mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna”

    dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan kepada peserta didik sebagai

    sumber motivasi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berperilaku

    secara kongkrit, agamis, dalam kehidupan praktis sehari-hari.5

    Dari pengertian di atas, peran pendidikan Agama Islam adalah

    suatu tugas yang dapat dilaksanakan dalam membimbing dan

    mengasuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan

    4 Jalaludin, Teologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 38.

    5 Ibid, h.168.

  • 30

    rohani anak untuk mencapai tingkat kedewasaan yang sesuai dengan

    ajaran Islam. Peran pendidian Agama Islam merupakan tugas yang

    dilaksanakan oleh pendidik dalam membina tingkah laku siswa.

    Pembinaan tingkah laku Pendidikan agama Islam merupakan bagian

    dari pendidikan nasional yang menyangkut aspek sikap dan nilai antara

    lain membina sikap dan tingkah laku serta membina kepribadian.

    Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, posisi pendidikan

    Agama sangat strategis dengan pengertian sangat penting dan perlu

    diberikan kepada peserta didik disetiap jenjang pendidikan, sebab

    pendidikan Agama merupakan suatu alat untuk mengendalikan diri.

    Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003

    dijelaskan pada pasal 37 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan Agama

    dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang

    beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak

    mulia”.

    Dengan demikian arah pendidikan Agama dalam rangka

    membangun manusia Indonesia seutuhnya adalah terciptanya manusia

    yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta

    mempunyai dedikasi yang tinggi. Oleh karena itu pendidikan Agama

    Islam mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang

    pembangunan nasional.

    Agar pendidikan Agama dapat berhasil sesuai yang diharapkan

    tentu setiap guru dalam mendidik anak-anak yang dipercayakan

    kepadanya, memahami perkembangan jiwa anak didik yang

    dihadapinya itu, di samping kemampuan ilmiah yang dimilikinya, serta

    penguasaan terhadap metode dan keterampilan mengajar.

  • 31

    Memahami beberapa pemaparan diatas, jelaslah bahwa

    pentingnya pendidikan agama bagi anak, tidak hanya sekedar

    menjadikan anak menjadi manusia yang pintar dan terampil, melainkan

    lebih utama dari pada itu, untuk membentuk anak agar memiliki moral

    dan akhlak yang mulia. Karena melalui pendidikan dan bimbingan

    agamalah anak akan selalu berada pada jalan kebaikan. Pendidikan

    agama menjadi tonggak utama dalam membentuk mental dan akhlak

    yang mulia, di samping sebagai benteng runtuhnya moral generasi

    mendatang.

    2. Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pendidikan agama Islam adalah usaha orang dewasa muslim

    yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing

    pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik

    melalui ajaran Islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan

    perkembangannya.6 Bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai

    dengan ajaran Islam maka harus diproses melalui system kependidikan

    Islam, baik melalui kelembagaan maupun melalui system kurikuler.7

    Esensi dari potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu terletak pada

    keimanan atau keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak (moralitas) dan

    pengalamannya.8 Dan keempat potensi esensial ini menjadi tujuan

    fungsional pendidikan Islam. Oleh karena itu dalam strategi pendidikan

    Islam keempat potensi dinamis yang esensial tersebut menjadi titik

    pusat dari lingkaran proses kependidikan, yaitu manusia dewasa yang

    6 Muhammad Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. bumi Aksara, 2003), h. 22.

    7 Ibid, h. 23. 8 Moh. Fadhil Al-Djamali, al-Tarbiyah al-Ihsan al-Jadid, (Tunisia al-

    Syghly: Matba’ah al-ijtihad al-‘Aam, 1967), h. 85.

  • 32

    mukmin atau muslim, muhsin dan muhsinin yang dimulai dari

    pendidikan keluarga.

    Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mengajarkan

    berbagai hal kepada seorang anak dan memiliki tangung jawab yang

    utama untuk mendidikanak tersebut. Anak-anak biasanya akan meniru

    setiap tingkah laku orang tuanya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits

    rosulullah yang berbunyi:

    Artinya: Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka orang tuanyalah kelak yang menjadikannya dia yahudi, atau nashrani atau majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Al-Buhkori)

    Oleh karena itu, orang tua harus menjadi contoh tauladan bagi

    anak-anaknya. Dengan memberikan pendidikan terbaik baginya.

    Selain proses pembelajaran dalam lingkungan keluarga, belajar

    berorganisasi juga menjadi sangat penting peranannya dalam

    memaksimalkan perkembangan sosial manusia. Berbagai macam

    karakter manusia yang terdapat dalam organisasi-organisasi tersebut

    dapat melatih anak untuk saling memahami satu sama lain. Melalui

    organisasi anak dapat berinteraksi dalam berbagai kegiatan keagamaan

    seperti kegiatan pesantren ramadhan, bakti sosial, mengikuti kegiatan

    qurban, atau kegiatan lainnya yang dapat menumbuhkan sikap

    kepedulian sebagai realisasi dari pengetahuan agama yang telah

    diterimanya.

    Selanjutnya proses pembelajaran pendidikan agama yang

    banyak memberi pengaruh pada perkembangan sosial jiwa anak adalah

    proses pembelajaran di sekolah. Di sekolah, anak dapat berinteraksi

  • 33

    dengan guru beserta bahanbahan pendidikan dan pengajaran, teman-

    teman peserta didik lainnya, serta pegawai-pegawai lainnya.

    Berinteraksi dan bergaul dengan orang lain dapat ditunjukkan

    dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menunjukkan sikap

    peduli terhadap sesama. Di dalam lingkup persekolahan, sikap

    kepedulian siswa dapat ditunjukkan melalui peduli terhadap siswa lain,

    guru, dan lingkungan yang berada di sekitar sekolah. Menurut Oemar

    Muhammad al-Toumy al-syaibany, Hakikat pendidikan Islam adalah

    “sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan

    pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam

    alam sekitarnya melalui kependidikan”.9

    Dari paparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa proses

    pembelajaran pendidikan Islam adalah membentuk manusia seutuhnya,

    bukan hanya pada aqidahnya saja, atau ibadahnya saja, atau akhlaknya

    saja, melainkan menyeluruh pada ketiga aspek itu. Konsep pendidikan

    yang demikian itu, hanya bisa terwujud apabila proses dan pelaksanaan

    pendidikan berjalan secara berkesinambungan yang tidak dibatasi leh

    ruang dan waktu.

    Konsep pendidikan Islam mengajarkan bahwa pendidikan itu

    dimulai dari pendidikan keluarga. Pendidikan di lingkungan keluarga

    ini merupakan pendidikan yang paling asasi dan sangat menentukan.

    Sedangkan pendidikan di lingkungan sekolah dan linkungan

    masyarakat, merupakan proses lanjutan yang sama-sama memiliki

    tanggung jawab dan peran yang sama besar dan sama menentukan

    hasilnya.

    9 Oemar Muhammad Al-Tauni Al-Saibani, Filsafat Pendidikan Islam, Alih

    bahasa Hasan Langulung, (t.t.p.t.h), h. 399.

  • 34

    Pendidikan Islam juga difahami sebagai pengembangan potensi

    dasar yang masih tersembunyi, yang dengan kasih sayang dan penuh

    tanggung jawab dapat membuka tabir potensi-potensi tersebut. Serta

    mengembangkan potensi fisik melalui kurikulum yang mengarah

    kepada pembinaan dan pemeliharaan fisik, mental dan intelektual

    peserta didik.

    B. Kepedulian Sosial 1. Pengertian Kepedulian Sosial

    Manusia hidup di dunia ini pasti membutuhkan manusia lain

    untuk melangsungkan kehidupannya, karena pada dasarnya manusia

    merupakan makhluk sosial. Menurut Buchari Alma, dkk, makhluk

    sosial berarti bahwa hidup menyendiri tetapi sebagian besar hidupnya

    saling ketergantungan, yang pada akhirnya akan tercapai keseimbangan

    relatif. Maka dari itu, seharusnya manusia memiliki kepedulian sosial

    terhadap sesama agar tercipta keseimbangan dalam kehidupan.10

    Sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan

    masyarakat. Sehingga diharapkan dalam sebuah masyarakat untuk

    saling peduli dan tanggap terhadap orang lain melalui rasa kepedulian

    sosial tersebut.

    Tindakan rela bekorban untuk orang lain tanpa mengharapkan

    apapun, dalam terminologi psikologi soaial dikenal dengan istilah

    altruism. Altruisme ialah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang

    atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa

    mengharapkan imbalan apapun. Menurut Sears, dkk. Pribadi yang

    10 Buchari Alma, dkk., Pembelajaran Studi Sosial (Bandung: Alfabeta,

    2010), h. 201.

  • 35

    altruistis ditandai dengan kesediaan berkorban (waktu, tenaga, dan

    mungkin materi) untuk kepentingan kebahagiaan atau kesenangan

    orang lain.

    Altruisme berkaitan erat dengan perilaku menolong, namun bila

    kita melihat kembali pengertian menolong, kita akan menemukan

    perbedaan antara keduanya, yaitu terletak pada tujuan si penolong dan

    manfaat dari upaya memberi pertolongan (Dovidio dkk), Altruisme

    diartikan oleh Aronson, Wilson & Akert sebagai pertolongan yang

    diberikan secara murni, tulus, tanpa balasan (manfaat) apapun dari

    orang lain dan tidak memberikan manfaat apapun untuk dirinya.

    Sementara Batson mengartikan Altruisme dengan menyandingkannya

    dengan egoisme. Menurutnya Altruisme adalah “altruism is a

    motivational state with the ultimate goal of increasing anather’s

    welfare. Egoism is a motivational state with the ultimate goal of

    increasing one’s own welfare.”

    Dari pengertian Baston di atas, mengandung tiga pengertian:

    Pertama: “a motivational State…” Yang dimaksud a

    motivational State di sini, kekuatan psikologis untuk mengarahkan

    tujuan. Terdapat empat kriteria, yaitu: seseorang menginginkan

    perubahan dalam dirinya, menggambarkan tujuan seseorang, suatu cara

    yang diinginkan, dan kekuatan yang menghilang setelah tujuan

    tercapai.

    Kedua: “…with the ultimate goal..”adalah tujuan yang

    terpenting atau tujuan yang tidak ada niat lain kecuali semata mata

    untuk sesuatu yang ingin dicapai.

    Ketiga: “…of in creasing another’s welfare atau of in creasing

    one’s own welfare”, yaitu suatu perbuatan yang semata-mata hanya

  • 36

    membantu orang lain atau semata-mata untuk mencapai

    kepentingannya sendiri.

    Pendapat yang lebih totalitas dikemukakan oleh Walstern dan

    Piliavin. Mereka berpendapat bahwa perilaku altruistik adalah perilaku

    menolong yang muncul bukan oleh adanya tekanan atau kewajiban,

    melainkan bersifat sukarela dan tidak berdasarkan norma-norma

    tertentu, tindakan tersebut adakalanya merugikan penolong, karena

    meminta pengorbanan darinya, seperti waktu, usaha, uang dan tidak

    ada imbalan apapun reward dari semua pengorbanannya itu.11

    Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka tingkah laku

    altruisme dapat diartikan sebagai tindakan yang ditujukan kepada orang

    lain dan memberi manfaat positif bagi orang tersebut, dilakukan dengan

    sukarela tanpa mengharapkan imbalan apapun kecuali perasaan positif

    yang timbul pada subyek yang memberi pertolongan.

    2. Jenis-jenis Perilaku Menolong/Altruistik McGuire menggunakan jawaban responden untuk

    mengklasifikasikan jenis-jenis perilaku menolong, yaitu sebagai

    berikut:

    a. Casual Helping, yaitu melakukan hal-hal kecil yang biasa

    dilakukan untuk membantu kenalan. Misalnya meminjami

    pensil kepada kenalan di sekolah, menunjukkan alamat

    seseorang dan sebagainya.

    b. Substantial Personal Helping, yaitu melakukan sejumlah usaha

    untuk membantu teman dengan manfaat yang nyata. Misalnya

    11 Taufik, Empati, Pendekatan Psikologi Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo

    Persada, 2012), h. 132-133.

  • 37

    membantu tetangga pindah rumah, menjadi panitia pernikahan

    dan sebagainya.

    c. Emotional Helping, yaitu memberikan dukungan personal untuk

    teman. Misalnya mendengarkan curahan hati temannya yang

    sedang bermasalah, memberikan kata-kata positif kepada

    kawannya yang sedang berduka, dan sebagainya.

    d. Emergency helping, yaitu memberikan pertolongan kepada

    teman yang sedang mengalami masalah serius. Misalnya

    bergabung dalam kerelawanan untuk membantu korban bencana

    alam, membantu korban kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.

    Sedangkan menurut Warneken & Tomasello, mengkategorikan

    perilaku menolong ke dalam tiga dimensi, yaitu:

    a. planned and formal versus spontaneous and informal, planned

    and formal, yaitu bantuan yang direncanakan dan formal,

    misalnya memosisikan diri sebagai “sahabat” yang siap

    menolong terhadap penderita HIV, memberikan bantuan

    psikososial bagi korban bencana. Spontaneous and informal,

    yaitu memberikan bantuan secara spontan dan tidak formal,

    misalnya membantu korban kecelakaan lalulintas, memberikan

    sejumlah uang kepada peminta-minta.

    b. Seriousness versus not seriousness. Seriousness, yaitu

    pertolongan yang diberikan secara serius , misalnya menolong

    seseorang yang mendapatkan serangan jantung ,not seriousness,

    misalnya meminjamkan kendaraan.

    c. Direct versus indirect. Direct, yaitu memberikan peertolongan

    secara langsung, misalnya menyumbangkan tenaga untuk

    membangun masjid, memberikan sejumlah makanan untuk para

  • 38

    pengungsi. Indirect, yaitu memberikan pertolongan secara tidak

    langsung, misalnya mengirimkan bantuan kepada pengungsi,

    menjadi donator panti asuhan.

    Meskipun dimensi-dimensi yang dibuat oleh McGuire serta

    Warneken dan Tomasello agak berbeda satu sama lain, mereka telah

    memberikan dua kesimpulan penting mengenai perilaku menolong,

    yaitu tidak semua bentuk perilaku menolong adalah sama, dan

    pertolongan yang diberikan pada suatu kondisi dapat memiliki hasill

    yang berbeda pada kondisi yang lain.12

    Dalam hal ini, inti dari perilaku menolong adalah wujud

    memberikan rasa aman dan keadilan kepada orang lain, menghargai

    dan menghormati orang lain tanpa adanya sikap diskriminasi, tidak

    menyakiti dan memberikan hak-hak orang lain, dilandasi rasa

    kesadaran dan peduli terhadap sesama yang sangat tinggi.

    3. Tahap-tahap Perkembangan Perilaku Altruisme Tingkah laku prososial selalu berkembang sesuai dengan

    perkembangan manusia. Ada 6 (enam) tahapan perkembangan tingkah

    laku prososial, yaitu:

    a. Compliance & concret defined reinforcement. Pada tahap ini

    individu melakukan menolong karena perintah yang disertai

    oleh reward. Pada tahap ini remaja mempunyai persfektif

    egosentris yaitu mereka tidak menyadari bahwa orang lain

    mempunyai pikiran dan perasaan yang berbeda dengan mereka,

    selain itu tingkah laku prososial terjadi karena adanya reward

    dan punishment yang kongkrit.

    12 Ibid, h. 128-130.

  • 39

    b. Compliance. Pada tahap ini individu melakukan tindakan

    menolong karena patuh pada perintah dari orang yang berkuasa.

    Tindakan ini dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan

    persetujuan dan menghindari hukuman.

    c. Internal initiative & concrete reward. Pada tahap ini Individu

    akan menolong karena tergantung pada reward yang akan

    diterima, tindakan prososial ini dimotivasi oleh keinginan untuk

    mendapatkan keuntungan atau hadiah.

    d. Normative behavior. Pada tahap ini individu akan melakukan

    pertolongan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Individu

    mengetahui berbagai tingkah laku yang sesuai dengan norma

    masyarakat. Dalam tahap ini individu mampu memahami

    kebutuhan orang lain dan merasa simpati dengan penderitaan

    yang dialami, tindakan prososial ini dilakukan karena adanya

    norma sosial yang meliputi; norma memberi dan norma

    tanggungjawab sosial.

    e. Generalized reciprocity. Pada tahap ini seseorang melakukan

    tindakan menolong karena adanya kepercayaan apabila suatu

    saat ia membutuhkan bantuan, maka ia akan mendapatkannya,

    harapan reward pada tahap ini non konkrit yang susah

    dijelaskan

    f. Altruisme behavior. Pada tahap ini seseorang melakukan

    menolong secara sukarela yang bertujuan untuk menolong dan

    menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan imbalan,

    tindakan prososial ini dilakukan karena individu sendiri yang

    didasarkan pada prinsip moral. Pada tahap ini individu sudah

  • 40

    mulai menilai kebutuhan orang lain dan tidak mengharapkan

    hubungan timbal balik untuk tindakannya.

    4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan tingkah

    laku prososial antara lain:

    a. Faktor orang Tua. Hubungan antara remaja denga orang tua

    menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan remaja

    berperilaku prososial ketika berinteraksi di lingkungan sosial

    yang lebih luas. Keluarga merupakan kelompok primer bagi

    remaja. Memiliki peran penting dalam pembentukan dan arahan

    perilaku remaja.

    Hal-hal yang diperoleh dari lingkungan keluarga akan

    menentukan cara cara remaja dalam melakukan interaksi

    dengan lingkungan sosial di luar keluarga. Menurut ahmadi,

    keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dalam

    kehidupan remaja.

    b. Guru, Selain orangtua, sekolah juga mempunyai pengaruh yang

    sangat besar terhadap perkembangan tingkah laku prososial. Di

    sekolah, guru dapat melatih dan mengarahkan tingkah laku

    prososial anak dengan menggunakan teknik yang efektif.

    Misalnya dengan teknik bermain peran, guru dapat melatih anak

    mempelajari situasi dimana tingkah laku menolong diperoleh

    dan bagaimana melaksanakan tindakan menolong tersebut.

    Teknik bermain peran, mengembangkan sensitivitas terhadap

    kebutuhan orang lain dan menambah kemampuan role taking

    dan empati. Di sekolah, guru mempunyai kesempatan untuk

  • 41

    mengarahkan anak dengan menganalisis cerita dalam bahasan

    yang berbeda.

    c. Teman sebaya, teman sebaya mempunyai pengaruh terhadap

    perkembangan tingkah laku prososial khususnya pada masa

    remaja. Ketika usia remaja kelompok sosial menjadi sumber

    utama dalam perolehan informasi, teman sebaya dapat

    memudahkan perkembangan tingkah laku prososial melalui

    penguatan, pemodelan dan pengarahan.

    d. Televisi, selain sebagai hiburan, televisi merupakan sebagai

    agen sosial yang penting. Melalui penggunaan muatan

    prososial, televisi dapat mempengaruhi pemirsa. Dengan

    melihat program televisi, anak juga dapat mempelajari tingkah

    laku yang tepat dalam situasi tertentu.

    Televisi tidak hanya mengajarkan anak untuk

    mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan tapi juga anak

    bisa mengerti dengan kebutuhan orang lain, membentuk

    tingkah laku prososial dan memudahkan perkembangan empati.

    e. Moral dan Agama, perkembangan tingkah laku prososial juga

    berkaitan erat dengan aturan agama dan moral. Menurut sears

    dkk menyatakan bahwa aturan agama dan moral, kebanyakaan

    masyarakat menekankan kewajiban menolong13

    Selain faktor-faktor di atas, perilaku menolong juga dapat

    dipengaruhi oleh faktor dari luar atau dalam diri seseorang, antara lain

    sebagai berikut:

    13 Desmita, Psikologi perkembangan Peserta didik, (Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya, 2007), h. 235.

  • 42

    a. Pengaruh situasi, meliputi: Bystanders, menolong jika ada yang

    menolong, desakan waktu dan kemampuan yang dimiliki.

    Adanya perilaku menolong atau tidak menolong adalah adanya

    orang lain yang kebetulan berada bersama kita di tempat

    kejadian (bystanders). Menurut Latane & Darley, semakin

    banyak orang lain, semakin kecil kecenderungan orang untuk

    menolong. Sebaliknya menurut Latane & Nida, orang yang

    sendirian cenderung lebih bersedia menolong.14 Dalam faktor

    situasi ini, seseorang menolong jika ada orang lain yang

    menolong. Hal itu akan memicu kita untuk ikut menolong,

    adanya desakan waktu dan jika ada kemampuan yang dimiliki.15

    b. Pengaruh dari Dalam Diri, meliputi: perasaan, sifat, dan agama.

    Menurut McMillen & Austin, Perasaan dalam diri seseorang

    dapat mempengaruhi perilaku menolong. Menurut Bierhoff,

    klien & Kramp, menyatakan bahwa orang yang perasa dan

    berempati tinggi dengan sendirinya lebih memikirkan orang

    lain dan karenanya lebih menolong. Demikian pula menurut

    White & Gerstein, orang yang memiliki pemantauan diri (self

    monitoring) yang tinggi akan cenderung lebih penolong, karena

    dengan menjadi penolong ia memperoleh penghargaan sosial

    yang lebih tinggi.16

    Faktor agama ternyata dapat juga mempengaruhi perilaku

    menolong, menurut Gallup, 12% dari orang Amerika Serikat tergolong

    taat beragama, dan di antara mereka 45% membantu dalam pekerjaan-

    14 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial Individu dan Teori-teori

    Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2015), h. 271. 15 Ibid, h. 272-273. 16 Ibid, h. 275.

  • 43

    pekerjaan sosial seperti membantu anak miskin, rumah sakit dan orang

    jompo. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Sappington & Baker,

    yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah seberapa kuatnya

    ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana kepercayaan atau

    keyakinan orang yang bersangkutan tentang pentingnya menolong yang

    lemah seperti diajarkan oleh agama.17

    Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang itu,

    satu sama lain akan selalu berkaitan dan saling mempemgaruhi, tetapi

    faktor moral dan agama sejatinya menjadi norma dan penentu arah

    perilaku seseorang, jika faktor moral dan agama dijadikan norma dan

    arah perilaku seseorang, maka seseorang tersebut akan terhindar dari

    perlaku menyimpang. Di samping itu, pengaruh-pengaruh sosial

    lainnya pun akan saling meningkatkan hubungan dengan orang lain dan

    saling menyesuaikan perilakunya dengan kebutuhan kebutuhannya.

    5. Teori-teori untuk Berperilaku Prososial/Altruisme Ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan motivasi

    seseorang untuk berperilaku altruisme.

    a. Teori Behaviorisme

    Menurut pendapat kaum behaviorisme, orang menolong

    karena dibiasakan untuk menolong, perilakunya itu

    mendapatkan apresiasi positif sehingga akan terus menguatkan

    tindakan-tindakannya (reinforcement). Misalnya orang tua

    membiasakan anaknya untuk menolong orang lain dan

    memberikan pujian untuk setiap upaya pertolongan yang

    diberikan, sehingga ketika mereka telah dewasa, sifat suka

    17 Ibid, h. 276.

  • 44

    menolong melekat pada dirinya. jadi orang melakukan perilaku

    menolong sesuai dengan teori classical conditioning dari Ivan

    Pavlov.18 Sedangkan menurut John B. Watson, gejala-gejala

    perilaku sosial merupakan hasil dari proses belajar berdasar

    pada sistem stimulus dan respons. Perilaku sosial sebagai hasil

    belajar ditentukan oleh ganjaran (reward) dan hukuman

    (punishment) yang diberikan oleh lingkungan, para tokoh

    behavioristik meneguhkan bahwa suatu stimulus khusus dan

    respon khusus yang saling berhubungan menghasilkan

    hubungan fungsional dintara mereka. Sebagai contoh sebuah

    stimulus khusus, seperti munculnya seorang teman, yang hadir

    dalam lapangan visual seseorang akan membangkitkan suatu

    respon khusus seperti tersenyum atau menyapa teman itu.19

    Menyikapi teori-teori dari tokoh-tokoh behaviorisme,

    penulis berkesimpulan bahwa seseorang melakukan tindakan

    menolong, didasari karena memiliki sifat empati bawaan yang

    kemudian dipupuk melalui pembelajaran, hal itu akan

    melahirkan suatu pembiasaan, sehingga melalui pembiasaan itu,

    perilaku menolong bukanlah suatu kegiatan yang dipaksakan,

    melainkan suatu tuntutan kewajiban. Sedangkan adanya

    imbalan, boleh jadi merupakan apresiasi timbal balik atas

    perilaku baik seseorang karena memiliki rasa kepedulian yang

    sama.

    18 Taufik, Op. Cit, h. 135. 19 Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja

    Rosdakarya, 2012), h. 8.

  • 45

    b. Teori Pertukaran Sosial

    Konsep teori ini Menyatakan bahwa tindakan seseorang

    dilakukan atas dasar untung rugi. Yang dimaksud untung dan

    rugi disini bukan hanya dalam material namun juga immaterial

    seperti dukungan, penghargaan, keakraban, pelayanan, kasih

    sayang, perhatian dan sebagainya. Menurut teori ini seseorang

    akan meminimalkan usaha dan memaksimalkan hasil. Artinya

    ia berusaha memberikan sedikit pertolongan namun

    mengharapkan hasil yang besar dari akibat memberikan

    pertolongan itu. Misalnya dengan menolong seseorang ia

    berharap mendapatkan imbalan, misalnya uang, kesempatan

    karier dan sebagainya.20 Sedangkan menurut Myers, teori

    petukaran sosial menggambarkan kehidupan manusia sebagai

    suatu perjuangan sosial yang membutuhkan kerjasama dengan

    orang-orang lain. Kerja sama dengan orang lain itu dibutuhkan

    untuk dapat memuaskan kebutuhan masing-masing individu.

    Pemuasan kebutuhan itu secara adil hanya dapat timbul apabila

    terjadi proses ketertimbalbalikan (reciprocity) antar individu

    dan menghasilkan saling ketergantungan antar mereka, di mana

    teori ini lebih dikenal dengan sebutan social exchange theory.21

    Konsep teori pertukaran sosial ini, menurut penulis

    merupakan konsep yang bertolak belakang dengan norma

    agama (Islam) yang selalu mendengungkan menolong tanpa

    pamrih (ikhlas beramal), para penganut teori pertukaran sosial

    tidak akan melakukan perilaku menolong jika mereka tidak

    20 Taufik, Op. Cit, h. 136. 21 Fattah Hanurawan, Op. Cit, h. 10-11.

  • 46

    memiliki kepentingan. Mereka akan melakukan pertolongan

    jika mereka merasa ada sesuatu yang akan diuntungkan.

    Sedangkan dalam norma agama, perilaku menolong dengan

    mengharap imbalan merupakan perbuatan yang harus dihindari

    karena sia-sia dan tidak memiliki makna apapun.

    c. Teori Norma Sosial

    Menurut teori ini, orang menolong karena diharuskan oleh

    norma-norma masyarakat. Ada tiga macam norma sosial yang

    biasanya dijadikan pedoman untuk berperilaku menolong

    yaitu: a) Norma timbal balik (reciprocity norm) intinya adalah

    pertolongan harus dibalas dengan pertolongan. Jika sekarang

    menolong orang lain, diwaktu lain akan ditolong oleh orang

    lain atau karena pada masa yang lalu pernah menolong orang

    lain, jadi masa sekarang orang lain yang memberi pertolongan.

    b) Norma tanggung jawab sosial (social rersponsibility norm)

    intinya adalah bahwa orang menolong tanpa mengharapkan

    balasan apapun di masa depan. Oleh karena itu, orang mau

    menolong orang yang buta menyeberang jalan, menunjukkan

    jalan pada orang menanyakan jalan. c) Norma keseimbangan

    (equilibrium norm). norma keseimbangan ini beraku di bagian

    timur. Intinya adalah bahwa seluruh alam semesta harus

    berada dalam keadaan seimbang dan harmoni. Maka setiap

    orang harus menjaga keseimbangan tersebut dengan saling

    menolong satu sama lain.22

    Teori norma sosial ini menunjukkan bahwa manusia

    sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Ia akan

    22 Taufik, Op. Cit, h. 136.

  • 47

    membutuhkan bantuan orang lain. Agar setiap aktivitas yang

    dilakukan itu selalu lancar dan teratur, maka dibutuhkan tata

    aturan yang disebut norma sosial. Hal ini menunjukkan adanya

    keterkaitan antara interaksi dengan terbentuknya norma sosial.

    Norma ini dibuat agar menjadi pedoman yang dapat digunakan

    untuk mengatur pola perilaku masyarakat, yang kemudian

    disepakati oleh masyarakat, dan selanjutnya djadikan sebagai

    norma sosial yang berlaku pada masyarakat itu.

    d. Teori Evolusi

    Teori ini intinya beranggapan bahwa altruisme adalah

    demi survival (mempertahankan jenis dalam proses evolusi),

    dimana dalam teori evolusi melihat beberapa faktor antara

    lain: a) Perlindungan orang-orang dekat (kerabat). Dalam hal

    ini orang cenderung memprioritaskan untuk menolong orang-

    orang terdekat dibanding menolong orang yang tidak

    mempunyai hubungan kekeluargaan. Orang juga

    memprioritaskan untuk menolong anak-anak dibanding

    menolong orang dewasa, lebih memprioritaskan menolong

    perempuan dibandingkan menolong laki-laki, dan sebagainya,.

    Hal tersebut menunjukkan adanya naluri unuk memberikan

    perlindungan kepada orang-orang terdekat atau orang-orang

    dalam skala prioritas tertentu. b) Timbal balik biologis,

    sebagaimana halnya dalam teori pertukaran sosial, yaitu

    menolong untuk memperoleh pertolongan kembali, baik dari

    orang yang bersangkutan, maupun dari orang lain. c) Orientasi

    seksual, ada kecenderungan orang-orang untuk memberikan

    pertolongan kepada individu lain yang memiliki orientasi

  • 48

    seksual yang sama, misalnya para wanita mudah memberikan

    pertolongan dengan waria lainnya. Orang yang memiliki

    orientasi seksual normal cenderung menghindari untuk

    memberi pertolongan kepada orang yang memiliki orientasi

    seksual berbeda.23

    Menurut pemahaman penulis, teori ini memandang bahwa

    menolong itu perlu dilakukan dalam upaya mempertahankan

    kelangsungan hidup suatu komunitas. Hal ini akan

    memberikan kesan memiliki yang sangat kuat, mereka akan

    berupaya sebisa mungkin mencapai tujuan dengan menempuh

    berbagai cara walaupun harus mengenyampingkan aturan yang

    ada. Hal ini dapat melahirkan konflik antar kelompok, selain

    itu dapat pula menimbulkan perilaku kolusi, korupsi atau

    nepotisme.

    e. Hipotesis Empati-Altruisme

    Menurut Batson dkk, sebagian besar perilaku menolong

    bersifat egois, namun menurutnya altruis yang murni juga ada,

    meskipun tidak begitu banyak yang melakukan. Pendapat

    batson pada waktu itu untuk mengcounter pendapat-pendapat

    lainnya yang mengatakan bahwa mustahil orang menolong

    secara altruis. Mereka berkeyakinan sebaik baik orang

    memberikan pertolongan selain untuk kebaikan orang yang

    ditolong juga untuk kebaikan dirinya sendiri sekecil apapun

    manfaat itu. Batson bersikukuh bahwa altruis itu benar-benar

    ada, sehingga ia memformulasikan teori “Empathy-Altruism

    Hyphotesis”

    23 Ibid., h. 135-137.

  • 49

    Mekanisme utama dari hipotesis empathy-altruism adalah

    reaksi emosi terhadap masalah orang lain. Dengan

    menyaksikan orang lain yang sedang dalam keadaan

    membutuhkan pertolongan (empathic councern ) akan

    menimbulkan kesedihan atau kesukaran (sadness),

    sebagaimana dikatakan Batson, ‘… witnessing another person

    in need can produce sadness or personal distress"s”.

    Perhatian empatik (empathic councern) terhadap kondisi orang

    lain yang sedang membutuhkan (pertolongan) diartikan oleh

    Batson sebagai “ an other oriented emotional response

    congruent with the…welfare of another person”

    Meskipun kesedihan dan kekhawatiran ketika melihat

    orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan (empathic

    councern) itu menimbulkan dorongan egoistic untuk

    mengurangi kekhawatiran diri sendiri (one’s own distress).24

    f. Teori Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan

    Menurut Plato, secara potensial (fitrah) manusia

    dilahirkan sebagai mahluk sosial (zoon politicon). Namun

    untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam

    interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain

    Proses sosialisasi dan perkembangan sosial diawali dari

    secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang

    lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa

    yang seyogyanya ia perbuat seperti yang diharapkan orang

    lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut

    sosialisasi.

    24 Ibid., h. 138-139.

  • 50

    Menurut Loore dengan menyitir pendapat English &

    English menjelaskan bahwa sosialisasi itu merupakan suatu

    proses dimana individu (terutama anak) melatih kepekaan

    dirinya terhadp rangsangan-rangsangan terutama tekanan-

    tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya), belajar

    bergaul dengan dan bertingkah laku di dalam lingkungan sosio

    kurturalnya.

    Perkembangan moralitas, secara individu bahwa ia

    merupakan bagian anggota dari kelompoknya, secepat itu pula

    pada umumnya individu menyadari bahwa terdapat aturan-

    aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang

    melakukannya.

    Proses penyadaran tersebut berangsur tumbuh melalui

    interaksi dengan lingkungannya dimana ia mungkin mendapat

    larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau

    celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin

    menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan

    dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.

    Perkembangan penghayatan keagamaan diawali dari

    kehalusan perasaan (fungsi-fungsi efektifnya) disertai

    kejernihan akal budi (fungsi-fungsi kognitifnya) pada saat

    tertentu seseorang setidak-tidaknya pasti mengalami,

    mempercayai bahkan meyakini dan menerimanya tanpa

    keraguan (mungkin pula masih dengan keraguan), bahwa

    diluar dirinya ada sesuatu kekuatan yang Maha agung, yang

    melebihi apapun termasuk dirinya sebagaimana William James

    (Gardner Murfhy, Zakiyah Daradjat, menyebutnya sebagai

  • 51

    pengalaman religi atau keagamaan (the religious experiences).

    Sedangkan Brightman, lebih jauh menjelaskan bahwa

    penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada

    pengakuan atas keberadaaan (the excistence of great power)

    melainkan juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur

    yang eternal (abadi) yang mengatur tata hidup manusia dan

    alam semesta raya ini. Karenanya manusia mematuhi aturan

    itu dengan penuh kesadaran, ikhlas disertai penyerahan diri

    dalam bentuk ritual (kebaktian) baik secara individual maupun

    kolektif, baik secara simbolik maupun dalam bentuk nyata

    dalam hidup sehari-hari25.

    Dengan Demikian dapat dipahami bahwa perilaku menolong

    tidak dapat dilepaskan dari kesadaran moral yang timbul pada

    seseorang, dilandasi kesadaran agama yang tumbuh dan berkembang

    pada dirinya yang diyakini sebagai norma dan aturan dalam

    berinteraksi dengan lingkungan.

    C. Masyarakat Ekonomi Lemah 1. Pengertian Masyarakat Ekonomi Lemah

    Secara harfiah kata miskin diberi arti tidak berharta benda (WJS

    Mukti, 1984), selanjutnya (Soedarsono 2000), menyatakan kemiskinan

    sebagai struktur tingkat hidup yang rendah mencapai tingkat

    kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang disbanding

    dengan standar hidup yang umumnya berlaku dalam masyarakat.

    Standar hidup yang rendah terermin dari tingkat kesehatan, moral dan

    25 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sisten

    Pengajaran Modul, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 105-108.

  • 52

    rendahnya rasa harga diri. Sedangkan Mubyarto melihat bahwa

    kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena

    dikehendaki si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari oleh

    kekuatan yang ada padanya. Inti dari definisi ini