OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan...

48
PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN MAROS SKRIPSI OLEH : MUSDALIFAH O 111 11 267 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015

Transcript of OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan...

Page 1: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI

KABUPATEN MAROS

SKRIPSI

OLEH :

MUSDALIFAH

O 111 11 267

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

Page 2: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

ii

PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI

KABUPATEN MAROS

SKRIPSI

Oleh :

MUSDALIFAH

O 111 11 267

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

Page 3: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

iii

Page 4: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Musdalifah

NIM : O111 11 267

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Prevalensi

Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Kabupaten Maros” adalah hasil penelitian

saya sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan oleh orang lain. Demikian

Pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 3 Desember 2015

Musdalifah

NIM. O 111 11 267

Page 5: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

v

ABSTRAK

MUSDALIFAH. O11111267. Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi Bali di

Kabupaten Maros. Dibimbing oleh LUCIA MUSLIMIN dan FAIZAL

ZAKARIYA.

Sapi Bali merupakan salah satu sapi potong asli Indonesia yang memiliki

nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Salah

satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas sapi Bali adalah

penyakit parasitik atau helminthiasis. Namun, penyakit ini kurang diperhatikan

oleh peternak. Paramphistomiasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh

Paramphistomum sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi

paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros. Sebanyak 84 sampel feses segar dikumpulkan dengan cara

acak sistematik pada tingkat peternak. Feses diperiksa dengan uji sedimentasi

untuk mendeteksi keberadaan telur Paramphistomum sp. berdasarkan

morfologinya. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2015. Feses diperiksa

dengan uji sedimentasi untuk mendekteksi keberadaan telur Paramphistomum sp.

berdasarkan morfologinya. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi

paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros adalah 5,95 %

Kata Kunci : Sapi Bali, prevalensi, paramphistomiasis, Maros

Page 6: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

vi

ABSTRACT

MUSDALIFAH. O11111267. Prevalence of Paramphistomiasis on Bali Cattle in

Maros Regency. Suvervised by LUCIA MUSLIMIN and FAIZAL

ZAKARIYA.

Bali Cattle is one of beef native in Indonesia which has a high economic

value and are important in people's lives. One of the factors that can lead to

decreased productivity Bali cattle is a parasitic disease or helminthiasis. However,

the disease is less noticed by the breeder. Paramphistomiasis is a parasitic disease

caused by Paramphistomum sp. 84 samples of fresh faeces collected by Systemic

Random Sampling (SRS) at the farmer level. Faecal were examined by

sedimentation method to detect eggs of Paramphistomum sp. on the basis of their

morphology. Research was done at July until August 2015. Faecal were examined

by sedimentation method to detect eggs of Paramphistomum sp. on the basis of

their morphology. The results showed the prevalence paramphistomiasis on Bali

Cattle in the Pucak Village, Tompobulu Sub-District, Maros Regency is 5.95%

Key Word : Bali Cattle, prevalence, paramphistomiasis, Maros

Page 7: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

vii

KATA PENGANTAR

Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam yang

dengan-Nya lah segala pinta, cinta, dan syukur diperuntukkan. Seluruh ranting

pohon yang ada di bumi jika dijadikan pena dan air di lautan jika dijadikan tinta

untuk menuliskan nikmatMu maka itu tidak akan pernah bisa karena nikmat yang

Engkau berikan sangat besar, tak terhingga dan senantiasa meliputi diri ini setiap

nafas yang terhembus. Terlebih nikmat hidayah, Iman dan Islam yang membuat

penulis melewati masa-masa indah di kampus yang sebelumnya tidak pernah

terbayangkan. Selama proses penyelesaian skripsi “Prevalensi

Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Kabupaten Maros”, sebagai salah satu

syarat untuk memeperoleh gelar sarjana pada Program Studi Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran UNHAS dengan segala tahapan dan persyaratan yang harus

dipenuhi, kendala-kendala yang tak pernah luput darinya senantiasa hadir

pertolongan dan kemudahan dariMu dari arah yang tak disangka dan tak terduga

sehingga penulis semakin yakin akan indahnya pengaturanMu dan besarnya

kekuasaan dan rahmatMu bahkan saat penulis merasa tidak mungkin Engkau

menjadikannya mungkin. Tak ada daya dan upaya melainkan dengan

pertolonganMu. Wahai Rabb yang sebaik-baik yang dicintai cukuplah hati, lisan,

dan perbuatan semoga senantiasa mencerminkan syukur akan karuniaMu yang

indah.

Salam dan salawat senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad

Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, orang yang paling mulia sepanjang zaman dan

panutan terbaik yang paling pantas dijadikan idola.

Selama penyusun skripsi ini tidak sedikit kendala yang menghadang.

Namun berkat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak dan tak terlepas dari

pertolongan Allah, hal tersebut dapat penulis hadapi. Terima kasih yang sebesar-

besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Ayahanda Abd. Halim dan ibunda Misjanna, atas segala doa yang

terlayangkan ke langit di atas sajadahmu untuk putrimu agar selalu

dimudahkan langkahnya. Segenap cinta, kasih sayang dan pengorbananmu

takkan bisa terbalas hanya dengan skripsi ini. Semoga bisa memberikan

hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa

mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada

Allah penulis meminta agar rahmat dan kasih sayangNya senantiasa

meliputi kalian. Untuk 3 saudara laki-laki penulis yang menjaga,

mengayomi dan memberikan bantuan juga semangat. Jazakunallahu khair.

2. Ibu Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku pembimbing Utama dan

Bapak Drh. Faizal Zakariyah, M.Sc. selaku pembimbing kedua, yang

telah membantu dan meluangkan waktu untuk saya dalam menyelesaikan

tugas akhir ini.

3. Ibu Drh. Sandra, ibu Drh. Adryani Ris, M.Si dan bapak Drh. Hadi

Purnama Wirawan sebagai dosen pembahas yang ikut memberikan

masukan dan saran dalam penyusunan dan perbaikan penulisan skripsi ini.

Page 8: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

viii

4. Ibu Dr. drh. Dwi Kesuma Sari selaku penasehat akademik atas saran-

saran, nasihat, motivasinya dan bimbingannya selama penulis kuliah di

PSKH FK UNHAS .

5. Ibu Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc, selaku Ketua Program Studi

Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran UNHAS.

6. Bapak dan ibu Dosen Pengajar Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas

Kedokteran UNHAS.

7. Para Staf Administrasi Program Studi Kedokteran Hewan Pak Hasyim, bu

Murni dan Pak Nawir.

8. Kepala dan Sekretaris Desa Pucak yang telah mengizinkan penelitian

dilaksanakan di daerahnya.

9. Keluarga Dg. Eppe yang memberikan bantuan selama proses pengambilan

sampel di Desa Pucak.

10. Staf Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner Maros yang

memberikan arahan dan bantuan dalam pemeriksaan sampel.

11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Kedokteran Hewan 2011

ClaVata, yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu terima kasih untuk

persahabatan yang kalian. Terkhusus tim penelitian Musdhalifah Hasyim,

Sri Febrianti, Suci Amaliah yang telah membantu dan ikut merasakan suka

duka dalam penelitian.

12. Special thanks to saudarikufillah Ifah, Aini, Kak Nur atas ukhuwah,

semangat dan doa serta bantuan yang diberikan. Merindukan duduk

melingkar dalam majelis ilmu bersama kalian. Semoga persaudaraan kita

terjalin selalu sampai Allah mempertemukan kembali di Surga-Nya.

Uhibbukifillah.

13. Untuk keluarga cemara kak pur, kak ita, umiy, wina yang penulis banyak

belajar hal darinya terkhusus dalam perkara ilmu agama dan amanah.

Meskipun sudah terpisah tempat tetapi semoga hati senantiasa terpaut.

14. Untuk Saudariku Muslimah Zero Eleven ukhti ani, umiy, wina, isra, nelsi,

sri, ayu wadi, ayu zahrah, rahmah, ica, ika, cahyani, dewi, fitri. Syukron

untuk ukhuwah dan semangat yang diberikan. Semoga dimudahkan dalam

kebaikan dan dimudahkan penyusunan skripsinya juga.

15. Untuk keluarga di pondok Spada heni, iftah, azizah, ana, ani, mala, nita,

mita, kak naadhirah, kak haafizhoh, kak fitri, kak yani terkhusus untuk

ukhti Ica dan Rahmah, terimakasih atas semangat dan ukhuwah yang

diberikan.

16. Terimakasih kepada seluruh pengurus Forum Studi Ulul Albaab periode

1436-1437 H atas semangat, pembelajaran dan ukhuwah yang terjalin

karena kecintaan padaNya.

17. Untuk seluruh pengurus SC AN-NAML Kedokteran Hewan yang baru

terbentuk selamat menjalankan amanah dan tetap semangat

menyampaikan kebaikan.

18. Dzakirat 7 yang selalu kompak, terimakasih atas ilmu, ukhuwah dan

moment indah yang diberikan.

19. Semua pihak yang membantu penulis baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam seluruh proses perkuliahan di universitas Hasanuddin.

Page 9: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

ix

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk

itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan penulis dalam

mencapai kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga peneltian ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Terima kasih.

Makassar , 3 Desember 2015

Musdalifah

Page 10: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN PENGESAH iii

PERNYATAAN KEASLIAN iv

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian 2

1.5 Hipotesa 2

1.6 Keaslian Penelitian 2

1.7 Alur Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Sapi Bali 4

2.2 Paramphistomiasis 4

2.2.1 Etiologi 5

2.2.2 Siklus Hidup 5

2.2.3 Distribusi Penyakit 7

2.2.4 Patogenesis 7

2.2.5 Gejala Klinis 7

2.2.6 Diagnosa 8

2.2.7 Pencegahan 8

2.2.8 Pengobatan 9

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Paramhistomiasis pada Sapi Bali 9

3. METODOLOGI PENELITIAN 11

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 11

3.2 Materi Penelitian 11

3.3 Metode Penentuan Besaran Sampel Penelitian 11

3.4 Prosedur Pengujian Sedimentasi 12

3.4.1 Bahan 12

3.4.2 Alat 12

3.4.3 Pengambilan Feses 12

3.4.4 Pengujian Laboratorium 12

3.5 Analisa Data 13

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14

5. KESIMPULAN DAN SARAN 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 28

RIWAYAT HIDUP 36

Page 11: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jumlah Sampel pada Peternak Terpilih di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros 13

Tabel 2 Kejadian Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Marosq 18

Tabel 3 Hasil Identifikasi Telur Cacing Lain 25

Page 12: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Alur Penelitian 3

Gambar 2 Telur Paramphistomum sp 6

Gambar 3 Siklus Hidup Paramphistomum sp 7

Gambar 4 Telur Paramphistomum sp. Perbesaran 100x 18

Gambar 5 Telur Paramphistomum sp. Perbesaran 200x 18

Gambar 6 Telur Paramphistomum sp. Perbesaran 400x 19

Gambar 7 Telur Paramphistomum sp. Hasil Penelitian dan

Sesuai Literatur 20

Gambar 8 Perbedaan Telur Paramphistomum sp. dan Fasciola sp 21

Gambar 9 Sapi Bali Digembalakan di Sawah yang Kering 23

Gambar 10 Areal Penggembalaan Sapi Bali 24

Gambar 11 Sistem Pemeliharaan Sapi Bali 25

Gambar 12 Sanitasi Kandang yang Buruk 27

Page 13: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang memiliki

nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau

kelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai

bahan makanan berupa daging, di samping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang,

kulit, dan tulang. Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein

hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai

pengumpul bahan bergizi rendah yang diubah menjadi bahan bergizi tinggi, kemudian

diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging (Sugeng, 2008). Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang memiliki keunggulan berupa

kemampuan adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan

tingkat fertilitas yang tinggi. Tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk memenuhi

kebutuhan daging dalam negeri dapat dijadikan pendorong untuk memperbaiki

produktivitas dan pengelolaan sapi Bali untuk perkembangan peternakan di masa

mendatang (Guntoro, 2002).

Salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas sapi Bali adalah

penyakit parasitik atau helminthiasis. Namun, penyakit ini kurang diperhatikan oleh

peternak. Mereka masih menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan sapi

mencari makan sendiri (sistem gembala) bahkan ada yang sama sekali tidak

dikandangkan (sistem tradisional). Pemeliharaan sapi dengan kedua sistem inilah yang

dapat meningkatkan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak (Harminda,

2011).

Infeksi Paramphistomum sp. dalam jumlah sedikit tidak menimbulkan gejala klinis

pada ternak, tetapi pada infeksi yang berat dapat menimbulkan gastroenteritis dan

menyebabkan kematian cukup tinggi, terutama pada ternak muda (Melaku and Addis,

2012).

Data prevalensi paramphistomiasis pada sapi di Aceh sebanyak 94.5%, di Sumatera

Barat 99.5%, di Lampung sebanyak 69.84%, di Jawa 41.6%, di Sulawesi Selatan

53.23%, di Kalimanatan Selatan 56%, di Nusa Tenggara Barat 80% dan di Nusa

Tenggara Timur 32.27% (Beriajaya, 1979). Juga di Kecamatan Libureng, Kabupaten

Bone prevalensi paramhistomiasis pada sapi Bali adalah 57 % (Darmin, 2014).

Melihat tingginya prevalensi paramhistomiasis pada sapi Bali menjadi latar

belakang peneliti melakukan penelitian di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros. Berdasarkan Badan Pusat Statistika (2013), populasi sapi Bali di

Kecamatan Tompobulu merupakan populasi sapi terbesar di Kabupaten Maros. Selain

itu, di kabupaten ini pernah dilaporkan kejadian paramphistomiasis.

Page 14: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

2

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa prevalensi paramphistomiasis

pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi paramphistomiasis

pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Ilmu

1. Sebagai bahan informasi mengenai prevalensi paramhistomiasis pada sapi bali di

Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

2. Sebagai referensi ilmiah dalam rangka memperkaya khazanah keilmuan terutama

dalam bidang ilmu parasitologi veteriner.

3. Sebagai referensi untuk pengendalian paramphistomiasis pada sapi bali.

Manfaat Aplikasi

1. Memberikan informasi tentang paramphistomiasis yang menyerang sapi bali

sehingga dapat menyadarkan peternak maupun pemerintah dalam melakukan

pencegahan paramphistomiasis yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi.

2. Dapat dijadikan acuan untuk merancang program pengendalian paramphistomiasis

dengan tepat, khususnya di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

1.5 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali di Desa

Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 30%.

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros belum pernah dilakukan. Penelitian

prevalensi paramphistomiasis di Indonesia pernah dilakukan. Namun, tujuan dan

lokasinya yang berbeda. Diantara penelitian yang pernah dilakukan adalah Nofyan et al.

(2008) pernah melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di daerah

Palembang, sedangkan Suharmita Darmin (2014) melaporkan tingkat prevalensi

paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, Sulawesi

Selatan.

Page 15: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

3

1.7 Alur Penelitian

P

Identifikasi telur cacing

Positif paramphistomum sp.

(

Negatif paramphistomum sp

Analisa Data

Feses segar

Sapi Bali di Desa

Pucak

Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi Bali

di Desa Pucak, Kec. Tompobulu, Kab. Maros

Page 16: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Bali

Sapi bali merupakan turunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos bibos atau Bos

sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakan (domestikasi) berabad-abad

lamanya. Hampir seluruh jenis sapi di Indonesia berasal dari banteng yang telah

mengalami persilangan dengan bangsa sapi yang lain, seperti zebu, ongole, hissar dan

gujarat. Daerah atau lokasi penyebaran utama sapi bali adalah Pulau Bali. Di pulau Bali,

sapi ini diternakkan secara murni. Daerah penyebaran lain dari sapi Bali adalah

Sulawesi, NTB, dan NTT (Sugeng, 2008).

Sapi bali memiliki banyak keunggulan, antara lain adalah dagingnya yang

bertekstur lembut dan tidak berlemak. Daya produksinya bagus sehingga sapi ini

menjadi primadona di kalangan peternak sapi di Indonesia. Oleh karena daya

reproduksi sapi bali bagus, maka populasinya menjadi tinggi. Populasi sapi bali

mencapai sekitar 2.6 juta ekor atau sekitar 26% dari populasi sapi potong di Indonesia

(Yulianto, 2010).

Sapi bali termasuk tipe pedaging dan pekerja. Sapi bali memiliki bentuk tubuh

seperti banteng tetapi berukuran lebih kecil akibat proses domestikasi. Sapi bali

memiliki dada yang dalam dan badan yang padat. Warna rambut pada sapi yang masih

muda (pedet) adalah sawo matang atau merah bata. Setelah dewasa, rambut sapi betina

akan bertahan merah bata, sedangkan sapi jantan kehitam-hitaman. Pada bagian-bagian

tertentu, baik pada jantan maupun betina, berwarna putih, yakni pada bagian keempat

kakinya dari sendi kaki sampai kuku dan di bagian glutea. Kepala sapi bali agak pendek

dengan dahi datar. Tanduk pada jantan tumbuh ke bagian luar kepala, sedangkan betina

agak ke bagian dalam. Kaki sapi bali pendek sehingga menyerupai kaki kerbau

(Sugeng, 2008).

2.2 Paramphistomiasis

Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Paramphistomum

sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda. Paramphistomum sp.

hidup di dalam rumen, retikulum, usus, saluran empedu atau kandung kemih hewan

yang diserangnya. Hal ini menyebabkan kerja rumen menjadi terganggu sehingga pakan

tidak dapat dicerna dengan sempurna (Hamdan, 2014).

Paramphistomiasis merupakan penyakit trematoda akibat infeksi Paramhistomum

sp. yang dapat menyerang sapi, kambing, domba dan ruminansia lain. Penyakit ini

tersebar diseluruh Indonesia dengan prevalensi yang tinggi terutama pada sapi (50 –

88,89 %). Infeksi Paramphistomum sp. dalam jumlah sedikit tidak menimbulkan gejala

klinis pada ternak, tetapi pada infeksi yang berat dapat menimbulkan gastroenteritis dan

menyebabkan kematian cukup tinggi, terutama pada ternak muda (Melaku and Addis,

2012).

Page 17: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

5

2.2.1 Etiologi

Paramphistomiasis merupakan penyakit trematoda yang dapat menyerang sapi,

kambing, domba dan ruminansia lain. Penyakit parasitic ini disebabkan oleh satu atau

lebih cacing dari genus Paramphistomum sp., misalnya P. cervi, P. microbothrioides,

P. liorchis, P. ichikawi, P. gotoi, dan Calicophoron sp. atau Ceylonocotyle sp. maupun

Cotyledophoron sp. Ada 2 spesies Paramphistomum sp. yang telah ditemukan di

Indonesia, yaitu P. cervi dan P. (Gygantocotyl) explanatum. Salah satu jenis yang

sering terdapat pada sapi adalah Paramphistomum cervi (Subronto, 2007).

Paramphistomum sp. merupakan cacing trematoda yang tebal, berbentuk pipih,

seperti Fasciola sp. dan Eurythrema sp. Cacing ini mempunyai batil isap di bagian

perut (ventral sucker) yang disebut asetabulum, dan di bagian mulut ada batil isap

mulut yang kecil (oral sucker). Paramphistomum sp. memiliki saluran pencernaan yang

sederhana dan juga testis yang bergelambir, terletak sedikit di bagian anterior ovarium.

Cacing dewasanya berukuran panjang sekitar 5-13 mm dan lebar 2-5 mm (Michel and

Upton 2006).

Karakteristik telur Paramphistomum sp. adalah transparan, sel embrional dan

operkulum yang jelas, dinding berwarna jernih (transparan), sering terdapat tonjolan

kecil di ujung posterior. Ukuran telur Paramphistomum sp. adalah panjangnya 113-175

mikron dan lebar 73-100 mikron dan berwarna sedikit kuning muda transparan, seperti

pada Gambar 2 (Lukesova, 2009).

Gambar 2. Telur Paramhistomum sp (Lukesova,2009)

2.2.2 Siklus Hidup

Telur cacing keluar saat defekasi yang telah mengalami perkembangan awal

dan pada kondisi yang menunjang (air tergenang dan suhu 270 C) setelah lebih

kurang 12 hari melalui operkulum akan keluar larva yang disebut mirasidium.

Mirasidium selanjutnya akan berenang di air dan secara aktif akan mencari hospes

intermidiet berupa siput dari genus ( Planorbis, Bulinus, Fossaria sp., Gliptanisus

dan Fysmanisus ). Setelah masuk dalam tubuh siput mirasidium akan berubah

menjadi sporokista. Dalam waktu 11 hari sporokista akan berkembang dan

Page 18: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

6

didalamnya mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke- 21 sporokista akan

pecah dan menghasilkan redia dengan ukuran panjang 0,5 – 1 mm. Di dalam tubuh

redia ditemukan 15-30 cercaria. Serkaria akan keluar dari dalam tubuh siput

terutama pada saat kena sinar matahari. Serkaria yang bebas memiliki ekor

sederhana dan sepasang titik mata, berenang dalam air beberapa jam, kemudian

akhirnya akan mengkista disebut metaserkaria di dalam tumbuhan air yang dapat

tahan pengaruh luar sampai 3 bulan. Infeksi terjadi karena tertelannya rumput yang

mengandung metaserkaria, setelah sampai di dalam usus kista akan pecah dan

terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan menembus masuk kedalam mukosa

usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu cacing muda akan bermigrasi keatas

menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang menjadi cacing dewasa

(Javed et al, 2006).

Demi kelangsungan hidupnya, cacing ini memerlukan inang antara untuk

berkembangnya stadium larva (stadium redia sampai serkaria). Ada dua famili siput

yang penting yang bertindak sebagai inang antara dari parasit cacing ini, ialah :

Planorbidae dan Lymneaeidae. Di Afrika, Australia dan India, inang enters hanya

terdapat pads famili Planorbidae. Di Amerika Utara dan Eropa inang antaranya

adalah siput Planorbidae dan juga siput Lymneaeidae. Pada sekitar tahun 1932 dan

1933 Krull menemukan inang antara dan cacing P. Microbotrium, yaitu siput

Lymnea humilisatau L. bulimoides dan siput tersebut mirip dengan L . trunctetula

yang merupakan inang antara dari cacing P. daubneyi di Kenya. Di Indonesia telah

ditemukan siput sebagai inang antara dari cacing Paramphistomum (Gygantocotyl)

explanatum yaitu Gyraulus convexiusculus dari famili Planorbidae (Darmono,

1983).

Gambar 3. Siklus hidup Paramphistomum sp (Lioyd, 2007)

Page 19: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

7

2.2.3 Distribusi Penyakit

Kejadian paramphistomiasis banyak terjadi di bagian dunia dengan curah

hujan yang tinggi dan di padang rumput yang basah, hal ini berkaitan dengan siklus

hidup cacing tersebut. Infeksi Paramphistomum sp. pada ternak biasa terjadi pada

akhir musim hujan dan awal musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan

optimal telur menjadi mirasidium terjadi pada awal musim hujan dan perkembangan

di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan.

Pelepasan serkaria pada hospes antara dimulai awal musim kemarau dengan curah

hujan yang masih cukup tinggi dan menurun seiring makin rendahnya curah hujan

(Subronto, 2007). Selain itu, Melaku and Addis (2012) mengatakan bahwa

paramphistomiasis tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi tertinggi terjadi pada

daerah beriklim tropis dan subtropis, seperti Asia, Afrika, Australia, Eropa timur

dan Rusia

Suharmita Darmin (2014) melaporkan prevalensi paramhistomiasis pada

sapi Bali di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone 57 %. Beriajaya et al. (1981)

melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di beberapa bagian Indonesia,

yaitu di Aceh 94.80%, di Sumatera Barat 99.50%, di Lampung 69.84%, di Jawa

41.60% dan di Nusa Tenggara Barat 80.00%. Penelitian Darmono et al. (1983)

melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di Bali adalah sebesar 88.89%.

Paramphistomiasis pada sapi juga dilaporkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara,

Kalimantan Selatan adalah sebesar 66.7% (Siswansyah et al., 2006). Selain itu,

Tantri et al. (2013) melaporkan kejadian paramphistomiasis sebanyak 18.75% pada

sapi (Bos sp.) di RPH Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

2.2.4 Patogenesis

Cacing muda Paramphistomum sp. yang menembus masuk ke dalam

submukosa akan menyebabkan peradangan usus, nekrosis sel dan erosi vili-vili

mukosa. Cacing muda dalam jumlah banyak yang berada di dalam usus halus dapat

menyebabkan kematian pada sapi. Cacing dewasa yang berada di dalam rumen dan

retikulum akan menghisap bagian permukaan mukosa sehingga menyebabkan

kepucatan pada mukosa. Papilla rumen pada sapi yang terinfeksi Paramphistomum

sp. akan mengalami degenerasi sehingga perubahan tersebut mengakibatkan

gangguan kerja rumen dan makanan tidak dapat dicerna dengan sempurna

(Subronto, 2007).

Infeksi pada induk semang terjadi akibat memakan tanaman atau rumput

yang tercemar metacercaria. Setelah tertelan didalam usus halus menjadi cacing

muda. Cacing muda ini akan menembus masuk ke dalam mukosa usus halus,

kemudia keluar kepermukaan dan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum kira-

kira satu bulan setelah infeksi. Cacing muda yang menembus masuk kedalam sub

mukosa akan menyebabkan keradangan usus, nekrose dari sel, dan erosi vili-vili

dari mukosa. Sedangkan cacing dewasa dalam rumen dan retikulum menghisap

bagian permukan mukosa menyebabkan kepucatan pada mukosa, serta papilla

rumen banyak mengalami degenerasi. Adanya cacing muda dalam jumlah banyak

Page 20: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

8

dalam usus halus dapat menyebabkan kematian pada sapi. Mukosa rumen yang

terinfeksi parasit ini terlihat anemi dan nekrose, sehingga perubahan tersebut akan

mengakibatkan gangguan kerja rumen, sehingga makanan tidak dapat dicerna

dengan sempurna (Javed et al, 2006).

2.2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing muda dalam jumlah

besar pada usus halus adalah diarhe profus, kekurusan dan anemi. Gejala klini baru

timbul bila jumlah cacing muda diatas 30 000 ekor. Gejala lain berupa kekurusan,

kondisi tubuh menurun , hypoproteinaemia dan odema. Adanya cacing dewasa

dalam rumen dan retikulum akan menyebabkan terganggunya sistem pencernaan.

Gejala klinis akibat paramphistomiasis pada fase intestinal, yaitu adanya

peradangan usus yang ditandai dengan diare yang berbau busuk. Sapi yang

terinfeksi akan menjadi lemah, depresi, dehidrasi dan anoreksia. Selain itu, sapi

mengalami hipoproteinemia yang ditandai dengan oedema submandibular dan

mukosa mulut kelihatan pucat. Kemungkinan sapi akan mengalami kematian dalam

waktu 15-20 hari setelah gejala klinis teramati. Paramphistomiasis fase ruminal

dapat menyebabkan penyakit kronik yang berupa kekurusan, anemia, bulu kusam

serta produktivitas menurun (Subronto, 2007).

2.2.6 Diagnosa

Diagnosa yang paling awal ialah dengan jalan melihat gejala klinis yang

timbul . Ternak ruminansia yang terserang oleh parasit cacing ini terlihat kurang

nafsu makan (anorexia), mencret, kadangkadang pada infestasi yang berat, cacing

dewasa bisa keluar bersama-sama dengan tinja. Diagnosa juga bisa dilakukan

dengan pemeriksaan tinja dari hewan penderita den akan ditemukan telur cacing

yang berwarna kuning muda (Darmono, 1983).

2.2.7 Pencegahan

Cacing Paramphistomum sp. merupakan parasit cacing yang sering

ditemukan di daerah tropik dan sub tropik yang biasa menyerang ternak sapi,

kerbau, kambing dan domba . Cacing ini cukup berbahaya untuk hewan ternak

muda, yaitu bila terjadi migrasi cacing muda dari usus menuju rumen . Pada fase

ini, banyak terjadi kematian, sehingga infestasi parasit cacing ini perlu mendapat

perhatian untuk diteliti. Untuk mencegah terjadinya infestasi cacing ini, perlu

dilakukan (Darmono, 1983) :

1. Pengobatan terhadap ternak-ternak yang sudah terinfestasi, untuk mencegah

keluarnya telur cacing, karena cacing dewasa telah terbunuh, sehingga penyakit

tidak dapat tersebar secara luas.

2. Hewan ternak muda sebaiknya dijauhkan penggembalaannya dari daerah padang

rumput yang telah terinfeksi.

3. Pemberantasan siput sebagai inang antara dengan jalan pemberian moluskisida,

untuk memotong siklus hidup cacing tersebut .

Page 21: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

9

Pencegahan terhadap cacing dewasa Paramphistomum sp. dengan

pemberian anthelmintika. Anthelmintika juga berperan dalam mengurangi sumber

infeksi untuk hospes perantara sehingga mengurangi perkembangan larva di padang

rumput. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan menghindarkan ternak

dari penggembalaan di padang rumput ketika musim hujan (Llyod et al., 2007).

2.2.8 Pengobatan

Pengobatan terhadap infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua bagian,

yakni pengobatan yang ditujukan untuk membunuh cacing dewasa di dalam rumen

dan pengobatan yang ditujukan untuk membunuh cacing muda bila terjadi suatu

ledakan penyakit (outbreak) (Gandahusada et al., 2000). Obat-obat yang dapat

digunakan untuk membunuh Paramphistomum sp. adalah meniclopholen

(niclofolan®, bilevon®), mensonil (niclosaminde®, yomeson®) dan resorentel

(terenol®) (Subronto, 2007).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi paramhistomiasis pada Sapi Bali

Paramphistomiasis umumnya menyerang ternak ruminansia terutama sapi dan

kerbau. Tingkat infeksi cacing tergantung dari derajat infeksi dan daya tahan tubuh

ternak terhadap penyakit (Tuasikal and Suhardono, 2006). Menurut Raza et al. (2009),

paramphistomiasis pada ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur

ternak, jenis kelamin, jenis ternak, penggunaan anthelmintika, pendidikan dan status

ekonomi peternak, serta manajemen ternak. Manajemen pemeliharaan ternak

merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap infeksi cacing pada ternak

(Purwanta et al., 2009).

Daerah yang memiliki suhu 25-30 0C membantu pertumbuhan telur-telur cacing

menjadi larva yang infektif bagi hospes definitif dan merupakan kondisi optimum

berlangsungnya penularan lewat padang rumput. Banyaknya vegetasi pada lahan

penggembalaan, menjadikan daerah tersebut lembab dan lama dalam menyimpan air

sehingga memungkinkan berbagai jenis cacing untuk melanjutkan siklus hidupnya.

Hasil penelitian dari 9 jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi paling banyak

adalah Paramphistomum sp. dan Fasciola sp. yang keduanya termasuk kelas trematoda

(cacing daun). Kejadian kedua jenis parasit cacing ini disebabkan oleh pengambilan

sampling dilakukan pada daerah yang basah atau pakan yang diberikan berasal dari

lahan persawahan sehingga memungkinkan perkembangan cacing ini yang memerlukan

hospes perantara (siput air) (Sugama and Suyasa 2011).

Melaku and Addis (2012) menyatakan bahwa prevalensi paramphistomiasis yang

lebih tinggi pada ternak betina diduga disebabkan ternak betina umumnya dipelihara

lebih lama sebagai induk untuk breeding sehingga resiko paparan oleh

Paramphistomum sp. akan lebih besar. Selain itu, ketidakstabilan imunitas ternak betina

pada masa bunting, melahirkan dan laktasi diduga dapat berpengaruh terhadap infeksi

cacing dan kondisi tubuh yang buruk pada ternak akan memperparah

paramphistomiasis.

Page 22: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

10

Ternak ruminansia yang sudah dewasa atau yang sudah pernah mengalami infestasi

cacing dewasa di dalam rumennya, biasanya kebal terhadap infestasi baru (reinfestasi) .

Horek melaporkan hasil penelitiannya mengenai adanya kekebalan terhadap infestasi

P, microbothrium pada domba, kambing den sapi . Infestasi beberapa spesies cacing

Paramphistomum (multiple infestation), dapat menimbulkan kekebalan yang kuat

terhadap reinfestasi cacing tersebut (Darmono, 1983).

Tingginya kejadian paramphistomiasis pada hewan dewasa diduga berkaitan dengan

frekuensi penggembalaan yang lebih sering sehingga meningkatkan peluang terinfestasi

metaserkaria Paramphistomum sp., sedangkan tingginya prevalensi pada ternak yang

digembalakan diduga berkaitan dengan tingginya tingkat kontaminasi lapangan

penggembalaan, potensi biologi yang tinggi dari siput sebagai hospes perantara dan

pemberian anthelmintik yang tidak tepat, serta kurangnya tindakan pengendalian (Yasa,

2013).

Konsumsi pakan hijauan yang tercemar metaserkaria dapat menyebabkan tingkat

infeksi cacing yang cukup tinggi. Sapi yang diberi pakan dengan ¾ bagian jerami

menderita paramphistomiasis cukup tinggi. Infeksi ini terjadi dikarenakan metaserkaria

pada batang padi umumnya tersebar di sepertiga bagian bawah batang padi atau pada

bagian bawah sekitar 10-15 cm dari tanah (Abidin, 2002).

Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan ternak sebagai

tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit pada ternak. Selain itu,

sanitasi kandang yang buruk dapat menyebabkan imunitas tubuh hewan menurun.

mengatakan bahwa infeksi Paramphistomum sp. pada ternak akan lebih tinggi

kejadiannya pada hewan ternak dengan imunitas yang rendah. Sebagian besar kandang

sapi yang sudah dilakukan pembersihan secara teratur, tetapi masih ditemukan ternak

sapi yang terinfeksi Paramphistomum sp. Infeksi ini terjadi pada saat ternak

digembalakan di tempat penggembalaan atau melalui pakan yang mengandung

metaserkaria( Melaku and Addis 2012).

Page 23: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

11

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Pemeriksaan feses dilaksanakan di

Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros.

3.2 Materi Penelitian

Unit kajian dalam penelitian ini adalah peternakan sapi bali yang tersebar di Desa

Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Materi penelitian berupa feses Sapi

Bali yang berasal dari hasil sampling tingkat peternakan Sapi Bali di Desa Pucak. Unit

terkecil dalam penelitian ini adalah peternak Sapi Bali Desa Pucak yang dipilih dengan

cara sampling rambang sistematik.

Materi kajian penentuan prevalensi penyakit Paramphistomoiasis ini berupa

spesimen feses dalam bahan pengawet buffer neutral formalin 10%. Untuk pengujian

identifikasi parasitik menggunakan teknik uji sedimentasi.

3.3 Metode Penentuan Besaran Sampel Penelitian

Rancangan dalam pengambilan sampel yang baik dan representatif merupakan

komponen yang penting dalam penyidikan dan kajian epidemiologi analitik. Penelitian

ini merupakan kajian epidemiologi secara prospektif analitik dalam menentukan

tingkat prevalensi penyakit Paramphistomoiasis di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros. Unit terkecil dalam penelitian ini adalah peternak sapi

Bali yang tersebar di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sapi Bali yang terdapat di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebanyak 1.436 ekor (BPS, 2013). Asumsi

prevalensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 30%, dengan tingkat

kepercayaan sebesar 90% dan tingkat galat sebesar 10%.

Penentuan besaran sampel dilakukan dengan menggunakan rumus (Selvin, 2004) :

Keterangan : n = Besaran sampel feses sapi yang diambil

P = Asumsi dugaan tingkat kejadian paramphistomiasis (30%)

Q = (1-Asumsi Prevalensi)

L = Galat/Tingkat kesalahan 10%

Sehingga didapatkan jumlah sampel sebagai berikut :

𝒏 = 𝟒 𝑷.𝑸

𝑳𝟐

Page 24: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

12

n = 4 (0.30)(1 − 0.30)

0.12

n = (1.2)(0.70)

0.01

n = 0.84

0.01

n = 84 𝑒𝑘𝑜𝑟

Pemilihan peternak Sapi Bali menggunakan metode sampling rambang sistematik

dengan penentuan besaran sampel pada ternak Sapi Bali dipilih secara klaster.

3.4 Prosedur Pengujian Sedimentasi

3.4.1 Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah feses, air, methylene

blue dan formalin 10% (Darmin, 2014).

3.4.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong plastik,

coolbox, timbangan, object glass, cover glass, mikroskop, sentrifus, tabung plastik

sentrifus bertutup yang mempunyai skala ukuran volume 30 ml, saringan teh,

mortar, gelas ukur, pipet pastuer, sendok pengaduk dan botol pot plastik (Darmin,

2014).

3.4.3 Pengambilan Feses

Feses yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses segar, sebanyak

kurang lebih 20 gram setiap ekor sapi. Feses segar dimasukkan ke dalam kantong

plastik bersama formalin untuk mencegah menetasnya telur selama pengangkutan

dan penyimpanan. Setiap spesimen diberi label yang memuat keterangan kode sapi.

Setelah itu, spesimen dibawa dengan menggunakan coolbox dari tempat

pengambilan sampel, kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator sampai

dilakukan pemeriksaan di laboratorium (Darmin, 2014).

3.4.4 Pengujian Laboratorium

Pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi digunakan untuk

mengidentifikasi telur trematoda (Paramphistomum sp.) di dalam feses karena telur

trematoda yang relatif besar dan berat dibandingkan dengan telur nematoda. Feses

ditimbang sebanyak 2 gram dan dicampur dengan sedikit air kemudian diaduk

sampai merata dengan menggunakan mortar. Setelah campuran homogen, lalu

disaring menggunakan saringan teh dan hasil saringan tersebut dimasukkan ke

dalam tabung sentrifus. Setelah itu, tabung sentrifus diseimbangkan kemudian

disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Jika sentrifus tidak bisa

Page 25: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

13

digunakan, campuran tersebut didiamkan selama 20-30 menit. Proses selanjutnya,

supernatan dibuang sementara sedimennya dibiarkan mengendap. Sedimen yang

berada pada permukaan dan dasar tabung masing-masing diambil dengan pipet

pastuer dan diletakkan di atas object glass yang berbeda (jika terlalu keruh

ditambahkan 1 tetes air dan diaduk), kemudian ditambahkan 1 tetes larutan

methylene blue lalu dicampur secara merata dan ditutup dengan cover glass.

Selanjutnya, kedua object glass tersebut diperiksa menggunakan mikroskop dengan

perbesaran 100 x (Urquhart et al., 2000).

3.5 Analisa Data

Analisa data dilakukan secara deskriptif setelah pengujian sampel di laboratorium

yang mendapatkan hasil positif atau negatif. Penentuan tingkat prevalensi

paramphistomiasis dilakukan dengan menggunakan rumus prevalensi (Budiharta, 2002)

:

Prevalensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓

𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

Page 26: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian untuk mengetahui prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa

Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros telah dilakukan pada bulan Juli-Agustus

2015. Sebanyak 84 sampel feses dikumpulkan dalam penelitian ini dengan cara sampling

rambang sistematik pada tingkat peternak di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros. Dari cara tersebut, diperoleh 17 peternak terpilih yang mewakili seluruh

peternak di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten maros. Penentuan jumlah

sampel pada masing-masing peternak terpilih dilakukan secara klaster atau mengambil

semua feses Sapi Bali yang dimilikinya. Jumlah sampel dalam penelitian ini disajikan

dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Jumlah Sampel pada Peternak Terpilih di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros

No Nama Peternak Jumlah Ternak (Ekor) Jumlah Sampel

1 Dg. Buang 14 14

2 Pak Arman 1 1

3 Dg. Kanang 2 2

4 Lengko 5 5

5 Pak Baso Raga 4 4

6 Dg. Eppe 5 5

7 Nenek Hasnah 9 9

8 Yauri Haryanto 8 8

9 Bahtiar 6 6

10 Muhammad Saleh 5 5

11 Sabri 3 3

12 Nahlan 3 3

13 Megawati 5 5

14 Sumiati 4 4

15 Nirwana 3 3

16 Kamaruddin 4 4

17 Pak Teki 3 3

Jumlah 84 84

Pengambilan sampel dalam sehari dilakukan minimal 2 kali di setiap peternak

terpilih yaitu pada subuh hari dan petang hari. Kedua waktu tersebut adalah waktu defekasi

sapi sehingga didapatkan feses segar karena sulit dilakukan perektal. Dalam sehari dapat

dikumpulkan sekitar 12 sampel. Sebanyak 20 gram sampel feses segar diambil

menggunakan kantong plastik putih dan diberikan formalin 5 ml untuk mencegah

menetasnya telur cacing sebelum pemeriksaan di laboratorium. Setelah itu, sampel

diberikan label kode atau penomoran berdasarkan data spesimen. Data spesimen meliputi

Page 27: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

15

umur, jenis kelamin, riwayat pemberian obat cacing, kondisi ternak, manajemen ternak atau

kandang dan waktu pengambilan sampel.

Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar

Veteriner (BBVet) Maros dengan menggunakan metode sedimentasi untuk menemukan

telur Paramphistomum sp yang termasuk dalam kelompok trematoda. Feses ditimbang

sebanyak 2 gram dan dicampur dengan 30 ml NaCl kemudian diaduk sampai merata

dengan menggunakan mortar. Setelah campuran homogen, lalu disaring menggunakan

saringan teh dan hasil saringan tersebut dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Setelah itu,

tabung sentrifus diseimbangkan kemudian disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5

menit. Proses selanjutnya, supernatan dibuang sementara sedimennya dibiarkan

mengendap. Sedimen yang berada pada permukaan dan dasar tabung masing-masing

diambil dengan pipet pastuer dan diletakkan di atas object glass yang berbeda kemudian

ditambahkan 1 tetes larutan methylene blue lalu dicampur dan diaduk secara merata dan

ditutup dengan cover glass. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop.

Berdasarkan hasil pengujian, didapatkan telur Paramphistomum sp yang nampak di

bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, 200x, dan 400x, seperti pada gambar di bawah

ini.

Gambar 4. Perbesaran 100x Gambar 5. Perbesaran 200x

Gambar 6. Perbesaran 400x

Page 28: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

16

Keterangan gambar. Panah merah menunjukkan telur cacing Paramphistomum sp. masing-

masing pada perbesaran 100x, 200x, dan 400x di bawah mikroskop.

Berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop, terlihat morfologi telur

Paramphistomum sp. yang memiliki dinding tipis berwarna biru karena menyerap warna

methylen blue dan operkulum yang menebal di bagian ujungnya, blastomer jelas dan

ukurannya yang relatif besar. Secara umum, morfologi tersebut hampir sama dengan

morfologi Paramphistomum sp. menurut literatur, seperti pada gambar 7 (Lukesova, 2009).

a

a

b b

A B

Gambar 7. A) Telur Paramphistomum sp. (hasil penelitian) dan B) Telur Paramphistomum

sp. sesuai literatur (Lukesova, 2009)

Keterangan gambar. a) Operkulum

b) Blastomer

Secara morfologi, telur Paramphistomum sp. hampir sama dengan telur Fasciola

sp. yang berada dalam satu genus sehingga perlu diketahui cara membedakannya sehingga

tidak salah dalam pemeriksaan atau diagnosis. Untuk membedakan keduanya, dapat diamati

dari karakteristik telur, yakni te1ur Fasciola sp. berwarna kuning emas karena tidak

menyerap warna methylene blue, memiliki operkulum di salah satu kutubnya, dan sel-sel

embrional yang kurang jelas dan kecil. Sedangkan telur Paramphistomum sp. memiliki

kerabang telur yang transparan, berwarna keabu-abuan atau biru karena menyerap warna

methylene blue, dan memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan telur Fasciola sp.

Page 29: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

17

Telur cacing yang mempunyai persamaan dengan Paramphistomum sp. adalah

Fasciola sp. sehingga adanya telur cacing ini akan mempersulit dalam pemeriksaan. Telur

Paramphistomum sp. mempunyai kulit telur transparan dan menyerap warna bila diwarnai

dengan methylen blue sehingga akan nampak berwarna biru sedang sel-selnya agak lebih

besar bila dibandingkan dengan telur Fasciola sp. sedangkan telur Fasciola sp. kulit telur

berwarna kuning dengan operkulum pada salah satu ujung telur dan sel-sel embrional yang

kurang jelas dan memenuhi ronggat telur. Telur Fasciola sp. tidak menyerap warna

methylen blue sehingga tetap berwarna kuning (Darmin, 2014).

Perbedaan telur Paramphistomum sp. dengan Fasciloa sp bisa dilihat pada gambar

7 di bawah ini.

A B

Gambar 8. A) Telur Fasciola sp. (Anggriana,2014) dan B) Telur Paramphistomum sp.

(hasil penelitian)

Hasil pengujian sedimentasi terhadap sampel feses sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros yaitu dari 84 sampel feses Sapi Bali terdapat 5

sampel feses Sapi Bali yang positif paramphistomiasis. Data hasil pemeriksaan sampel

feses Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros disajikan dalam

tabel 2.

Page 30: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

18

Tabel 2. Kejadian Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros

No Nama Peternak Jumlah Sampel Paramphistomum sp.

Positif Negatif

1 Dg. Buang 14 0 0

2 Pak Arman 1 0 1

3 Dg. Kanang 2 0 2

4 Lengko 5 0 5

5 Pak Baso Raga 4 0 0

6 Dg. Eppe 5 0 5

7 Nenek Hasnah 9 0 9

8 Yauri Haryanto 8 1 7

9 Bahtiar 6 0 6

10 Muhammad Saleh 5 2 3

11 Sabri 3 0 0

12 Nahlan 3 0 3

13 Megawati 5 1 4

14 Sumiati 4 1 3

15 Nirwana 3 0 3

16 Kamaruddin 4 0 4

17 Pak Teki 3 0 3

Jumlah 84 5 79

Dari 17 peternak terpilih, terdapat 4 peternak yang didapatkan sampel feses sapinya

positif paramphistomiasis yaitu Yauri haryanto, Megawati, Sumiati, dan Muh.Saleh. 13

Page 31: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

19

Peternak lainnya tidak ditemukan adanya telur Paramphistomum sp. Berdasarkan data di

atas, sebanyak 5 ekor dari 84 ekor Sapi Bali yang positif paramphistomiasis sehingga

prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros dengan menggunakan rumus prevalensi (Budiharta, 2002) adalah sebagai

berikut :

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi paramphistomiasis pada Sapi

Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 5,95%. Angka

tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Suharmita Darmin pada

tahun 2004 di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone yaitu mencapai 57%. Di daerah lain,

seperti dilaporkan oleh Wirawan, dkk. (2011) bahwa tingkat kejadian paramphistomiasis di

Kabupaten Bone dan Kabupaten Barru masing-masing 29,23% dan 31,16%. Selain itu,

Purwanta,dkk. (2009) pernah melaporkan kejadian paramphistomiasis di Kabupaten Gowa

yang jauh lebih rendah yaitu 1,31%. Beriajaya et al. (1981) melaporkan prevalensi

paramphistomiasis pada sapi di beberapa bagian Indonesia, yaitu di Aceh 94.80%, di

Sumatera Barat 99.50%, di Lampung 69.84%, di Jawa 41.60% dan di Nusa Tenggara Barat

80.00%. Penelitian Darmono et al. (1983) melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada

sapi di Bali adalah sebesar 88.89%. Paramphistomiasis pada sapi juga dilaporkan di

Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan adalah sebesar 66.7% (Siswansyah et

al., 2006). Selain itu, Tantri et al. (2013) melaporkan kejadian paramphistomiasis sebanyak

18.75% pada sapi (Bos sp.) di RPH Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali berbeda-beda dan bervariasi di setiap

daerah. Prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa wilayah di

Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah keberadaan hospes antara dari cacing

Paramphistomum sp. tidak didukung oleh suhu di daerah tersebut yang mengalami

kemarau dan saat pengambilan sampel tidak ditemukan hospes antara yaitu siput.

Demi kelangsungan hidupnya, Paramphistomum sp. memerlukan inang antara

untuk berkembangnya stadium larva (stadium redia sampai serkaria). Ada dua famili siput

yang panting yang bertindak sebagai inang antara dari parasit cacing ini ialah Planorbidae

dan Lymneaeidae. Di Afrika, Australia dan India, hanya terdapat famili Planorbidae. Di

P = 5

84 𝑥 100%

P = 0,0595 𝑥 100%

P = 5,95 %

Prevalensi (P) = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑃𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

Page 32: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

20

Amerika Utara dan Eropa inang antaranya adalah siput Planorbidae dan juga siput

Lymneaeidae. Pada sekitar tahun 1932 dan 1933 Krull menemukan inang antara dan cacing

P. Microbotrium, yaitu siput Lymnea humilisatau L. bulimoides dan siput tersebut mirip

dengan L . trunctetula yang merupakan inang antara dari cacing P. daubneyi di Kenya. Di

Indonesia telah ditemukan siput sebagai inang antara dari cacing Paramphistomum

(Gygantocotyl) explanatum yaitu Gyraulus convexiusculus dari famili Planorbidae

(Darmono, 1983).

Daerah yang memiliki suhu 25-30 0C membantu pertumbuhan telur-telur cacing

menjadi larva yang infektif bagi hospes definitif dan merupakan kondisi optimum

berlangsungnya penularan lewat padang rumput. Banyaknya vegetasi pada lahan

penggembalaan, menjadikan daerah tersebut lembab dan lama dalam menyimpan air

sehingga memungkinkan berbagai jenis cacing untuk melanjutkan siklus hidupnya. Hasil

penelitian dari 9 jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi paling banyak adalah

Paramphistomum sp. dan Fasciola sp. yang keduanya termasuk kelas trematoda (cacing

daun). Kejadian kedua jenis parasit cacing ini disebabkan oleh pengambilan sampling

dilakukan pada daerah yang basah atau pakan yang diberikan berasal dari lahan persawahan

sehingga memungkinkan perkembangan cacing ini yang memerlukan hospes perantara

(siput air) (Sugama and Suyasa 2011).

Infeksi Paramphistomum sp. umumnya terjadi saat sapi sebagai hospes definitif

memakan rumput atau jerami yang mengandung metaserkaria (Abidin, 2002). Metaserkaria

adalah larva infektif yang akan menembus dan memakan jaringan dari dinding usus kecil

kemudian bermigrasi kedalam rumen (Njoku and Nwoko, 2009). Kelangsungan hidup serta

penyebaran Paramphistomum sp. bergantung pada kehadiran siput (Lymnea rubiginosa)

sebagai hospes antara. Metaserkaria berasal dari serkaria yang keluar dari siput. Mirasidium

akan mati apabila tidak menemukan siput, walaupun metaserkaria tahan terhadap kondisi

kering. Siput Lymnea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan kekeringan dan

akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang berair (Kusumamiharja, 1992).

Jika dihubungkan dengan prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa

Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros yang sebesar 5,95% cukup sesuai karena

di desa tersebut mengalami musim kemarau dan kekeringan sehingga sulit untuk siput

sebagai hospes antara untuk bertahan hidup. Beberapa peternak yang menggembalakan

sapinya di sawah yang kering tidak didapatai adanya infestasi Paramphistomum sp. Berikut

ini gambar 8. Sapi Bali milik peternak yang digembalakan di sawah yang kering karena

kemarau.

Page 33: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

21

Gambar 9. Sapi Bali digembalakan di Sawah yang Kering

Meskipun di desa tersebut mengalami musim kemarau, masih ada beberapa titik

penggembalaan yang didapati lembab dan memungkinkan pertumbuhan hospes antara yaitu

siput tempat perkembangan serkaria menjadi metaserkaria sebagai larva infektif. Menurut

Kusumamiharja (1992), metaserkaria berasal dari serkaria yang hidup di dalam tubuh siput.

Telur cacing yang keluar bersama feses membutuhkan waktu sekitar 4 minggu untuk

berkembang menjadi mirasidium dan selanjutnya mencari hospes antara. Apabila tidak

menemukan siput mirasidium akan mati walaupun metaserkaria tahan terhadap kondisi

kering. Siput sebagai hospes antara berhabitat pada lingkungan yang berair dengan vegetasi

yang baik seperti di sekitar aliran sungai, danau, sawah, kolam dan daerah berawa. Dapat

dilihat pada gambar 10 di bawah ini.

Gambar 10. Areal Penggembalaan Sapi Bali yang Lembab

Selain karena faktor geografis, prevalensi paramphistomiasis pada ternak juga dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain manajemen pemeliharaan ternak, umur ternak,

jenis kelamin ternak, penggunaan anthelmintik, pendidikan dan status ekonomi peternak

(Raza et al., 2009).

Manajemen pemeliharaan ternak adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan

kejadian penyakit parasitik pada hewan ternak utamanya Sapi Bali. Menurut Harminda

Page 34: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

22

(2011), peternak sapi di Indonesia kurang memperhatikan masalah penyakit parasitik.

Mereka masih menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan sapi mencari makan

sendiri (sistem gembala) bahkan ada yang sama sekali tidak dikandangkan (sistem

tradisional). Pemeliharaan sapi dengan kedua sistem inilah yang dapat meningkatkan

peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak. Muzani et al. (2010) mengemukakan

bahwa sebagian besar sapi yang dipelihara secara tradisional terserang penyakit parisitik.

Akibat yang ditimbulkan tergantung dari jenis parasit, jumlah parasit, umur sapi dan

kondisi pakan. Berdasarkan morfologinya, cacing pada sapi dibagi menjadi tiga kelas, yaitu

trematoda, cestoda dan nematoda.

Secara umum, sistem pemeliharaan Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros adalah secara tradisional (Gambar 10) yaitu digembalakan

pada pagi hari sampai sore hari dan diikat di belakang rumah atau di bawah rumah

panggung saat malam hari sehingga membuka peluang untuk terinfestasi Paramphistomum

sp. Sebagian besar peternak tidak memiliki kandang dan kesulitan dalam mendapatkan

pakan untuk ternaknya karena musim kemarau. Hal inilah yang membuat peternak

mengembalakan ternak mereka ke lapangan, ke sawah, bahkan ke bukit atau gunung yang

memiliki banyak hijauan atau rerumputan dalam waktu yang lama. Menurut Yasa (2013),

kejadian paramphistomiasis diduga berkaitan dengan frekuensi penggembalaan yang lebih

sering sehingga meningkatkan peluang terinfestasi metaserkaria Paramphistomum sp. dan

tingginya tingkat kontaminasi lapangan penggembalaan, potensi biologi yang tinggi dari

siput sebagai hospes perantara.

Berdasarkan hasil penelitian, dari 84 peternak ada 4 peternak yang sapinya positif

Paramphistomiasis. Pengamatan dan wawancara di lapangan, keempat peternak tersebut

menggembalakan sapinya mulai pagi sampai sore hari. Ada yang di lapangan dan di bukit

atau gunung.

Gambar 11. Sistem Pemeliharaan Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Maros

Prevalensi Paramphistomiasis juga dipegaruhi oleh jenis kelamin ternak. Ternak

betina memiliki peuang lebih tinggi dibandingkan jantan untuk terinfestasi

Paramphistomum sp. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 5 sampel positif

paramphistomiasis semuanya berjenis kelamin betina, satu diantaranya bunting. Melaku

and Addis (2012) menyatakan bahwa prevalensi paramphistomiasis yang lebih tinggi pada

Page 35: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

23

ternak betina diduga disebabkan ternak betina umumnya dipelihara lebih lama sebagai

induk untuk breeding sehingga resiko paparan oleh Paramphistomum sp. akan lebih besar.

Selain itu, ketidakstabilan imunitas ternak betina pada masa bunting, melahirkan dan laktasi

diduga dapat berpengaruh terhadap infeksi cacing dan kondisi tubuh yang buruk pada

ternak akan memperparah paramphistomiasis.

Selain itu, faktor umur juga berpengaruh. Hasil penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan 5 sampel positif paramphistomiasis berumur 1-6 tahun. Menurut Yasa

(2013), sapi dewasa (usia >12 bulan) memiliki prevalensi paramphistomiasis lebih tinggi

dibandingkan dengan sapi yang lebih muda (usia<12 bulan). Tingginya kejadian

paramphistomiasis pada hewan dewasa diduga berkaitan dengan frekuensi penggembalaan

yang lebih sering sehingga meningkatkan peluang terinfestasi metaserkaria

Paramphistomum sp.

Pemberian anthelmintika pada ternak mutlak diperlukan dalam pengendalian infeksi

cacing. Pencegahan terhadap cacing dewasa Paramphistomum sp. dapat dilakukan dengan

pemberian anthelmintika. Anthelmintika juga berperan dalam mengurangi sumber infeksi

untuk hospes perantara sehingga mengurangi perkembangan larva di padang rumput. Dari 5

sampel yang positif paramphistomiasis, satu diantaranya yang tidak pernah diberikan obat

cacing. Menurut Pfukenyi et al. (2006), pada umumnya sebagian besar ternak sudah diberi

anthelmentik. Akan tetapi, masih banyak yang terinfeksi Paramphistomum sp. Efektivitas

pemberian anthelmintika dipengaruhi oleh ketepatan dosis, sprektrum anthelmintika dan

cara pemberian. Tingginya prevalensi paramphistomiasis pada ternak yang diberi

anthelmintika diduga berkaitan dengan kurangnya pengetahuan peternak terhadap

penggunaan anthelmintik (Yasa, 2013). Selain itu, Purwanta et al. (2009) berpendapat

bahwa peternak hanya akan memberi anthelmintika jika ternaknya menunjukkan gejala

klinis terinfeksi cacing. Pemberian obat cacing secara berkala minimal dua kali dalam satu

tahun bertujuan untuk mengeliminasi cacing dewasa. Pengobatan pertama dilakukan pada

akhir musim hujan sehingga selama musim kemarau, ternak dalam kondisi yang baik dan

juga menjaga lingkungan terutama kolam air. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir

musim kemarau dengan tujuan untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke

dalam parenkim hati. Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat

membunuh cacing muda (Ditjennak, 2012).

Kondisi sanitasi kandang peternak yang sapinya terinfestasi Paramphistomum sp.

berdasarkan penelitian sangat buruk dan kurang diperhatikan (Gambar 12). Kotoran sapi

jarang dibersihkan dan dibiarkan mengering. Selain itu, kandang Sapi Bali berdekatan

dengan kandang hewan ternak lainnya. Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga

kesehatan ternak sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit pada

ternak. Selain itu, sanitasi kandang yang buruk dapat menyebabkan imunitas tubuh hewan

menurun. Melaku and Addis (2012) mengatakan bahwa infeksi Paramphistomum sp. pada

ternak akan lebih tinggi kejadiannya pada hewan ternak dengan imunitas yang rendah.

Sebagian besar kandang sapi yang sudah dilakukan pembersihan secara teratur, tetapi masih

ditemukan ternak sapi yang terinfeksi Paramphistomum sp. Infeksi ini terjadi pada saat

ternak digembalakan di tempat penggembalaan atau melalui pakan yang mengandung

metaserkaria.

Page 36: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

24

Gambar 12. Sanitasi Kandang yang Buruk

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan prevalensi paramphistomiasis pada

Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobul sebesar 5,95%. Namun, hasil pengujian

sampel di laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros ditemukan telur cacing lain

yang angkanya cukup tinggi (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena sebagain besar peternak

belum pernah memberikan obat cacing kepada ternaknya. Selain itu sistem pemeliharaan

ternak yang masih tradisional dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.

Page 37: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

25

Tabel 3. Hasil Uji dan Identifikasi Telur Cacing Lain Balai Besar Veteriner Maros

No

Telur Cacing

Jumlah Sampel

Positif

1 Cooperia sp. 9

2 Mecistocirrus sp. 4

3 Toxocara vitolorum 2

4 Monieza benedeni 2

5 Strongyloides sp. 5

6 Oesophagostomum sp 18

Total 40

Page 38: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

26

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa prevalensi paramphistomiasis

pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 5,95 %.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan terhadap

kejadian paramphistomiasis pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros untuk mengetahui faktor-faktor resiko yang mempengaruhinya sebagai

bahan untuk merancang program pengendalian paramphistomiasis di daerah tersebut.

Disarankan kepada peternak untuk memberikan anthelmintik secara teratur kepada

ternaknya dan memperhatikan sanitasi lingkungan ternak utamanya daerah kandang.

Page 39: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

27

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z. 2002. Penggemukan sapi potong. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Beriajaya, Soetedjo R. 1979. Laporan inventarisasi parasit cacing pada ternak di RPH

Ujung Pandang dan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan [Laporan Penelitian].

Bogor: Lembaga Penelitian Penyakit Hewan.

Beriajaya, Soetedjo R, Adiwinata G. 1981. Beberapa aspek epidemiologi dan biologi

Paramphistomum di Indonesia. Seminar Parasitologi Nasional II. 1981 Jun 24-27,

Jakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Statistika Peternakan Sulawesi Selatan Tahun 2013.

Sulawesi Selatan (ID): BPS.

Budiharta S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian Kesehatan Masyarakat

Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta.

Darmin, Suharmita. 2014. Prevalensi Paramhistomiasis pada Sapi Bali di Kecamatan

Libureng, Kabupaten Bone. Makassar : Universitas Hasanuddin.

Darmono. 1983. Parasit cacing Paramphistomum sp. pada ternak ruminansia dan akibat

infestasinya. Bogor: Balai Penelitian Penyakit Hewan. Wartazoa. 1: (2).

Darmono, Adiwinata G, Djayasasmita M. 1983. Paramphistomiasis pada sapi Bali I

[Laporan Penelitian]. Bogor: Balai Penelitian Penyakit Hewan.

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2002. Mengenal sapi Bali. Jakarta (ID):

Ditjennak.

Gandahusada, Pribadi SW, Herry DI. 2000. Parasitologi kedokteran. Jakarta (ID):

Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius.

Hamdan A. 2014. Paramphistomiasis pada ternak ruminansia. Pusat Dokumentasi dan

Informasi Ilmiah: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (akan diterbitkan).

Harminda D. 2011. Infestasi parasit cacing Neoascaris vitulorum pada ternak sapi pesisir di

Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang [Skripsi]. Sumatera Barat: Fakultas

Peternakan, Universitas Andalas.

Javed KU, Akhtar T, Maqbool A, Aness A. 2006. Epidemiology of paramphistomiasis in

buffaloes under different managemental conditions at four districts of Punjab

Propince Pakistan. Irianian J Vet Res. 7(3): 68-73.

Javed KU, Akhtar T, Maqbool A, Masood S. 2008. Epidemiological studies of

paramphistomosis in cattle. Veterinarski Arhiv. 78(3): 243-251.

Kamaruddin M, Fahrimal Y, Hambal M, Hanafiah M. 2005. Buku Ajar Parasitologi

Veteriner. Banda Aceh (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syah Kuala.

Kusumamiharja S.1992. Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan piaraan di

Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Lloyd J, Joe B, Stephen L. 2007. Stomach fluke (paramphistomes) in ruminants. Primefact.

452: 1-4.

Lukesova D. 2009. Atlas of Livestock Parasites Digitized Collection of Microscopical

Preparations. Institute of Tropics and Subtropics: Czech University of Life

Sciences Prague, Czech Republic.

Page 40: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

28

Melaku S, Addis M. 2012. Prevalence and intensity of Paramphistomum in ruminants

slaughtered at Debre Zeit Industrial Abattoir, Ethiopia. Glob Vet. (8)3: 315-319.

Michel K, Upton SJ. 2013. Animal and human parasite images. [terhubung berkala].

http://www.kstate.edu /parasitology /625 tutorials/index.html. [23 Februari 2014].

Muzani A, Tanda SP, Luh Gde SA. 2010. Petunjuk praktis manajemen pencegahan dan

pengendalian penyakit pada ternak sapi. NTB (ID): Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian.

Nofyan E, Mustaka K, Rosdiana I. 2008. Identitas jenis telur cacing parasit usus pada

ternak sapi (Bos sp.) dan kerbau (Bubalus sp.) di rumah potong hewan Palembang.

Jurnal Penelitian Sains. 10: 06-11.

Pfukenyi DM, Mukaratirwa S, Willingham AL, Monrad J. 2006. Epidemiological studies

of Fasciola gigantica infections in cattle in the highveld and lowveld communal

grazing areas of Zimbabwe. Onderstepoort J Vet Res. 73: 37–51.

Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran pencernaan

(gastrointestinal) pada sapi Bali melalui pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa.

Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-21.

Raza MA, Murtaza S, Bachaya HA, Hussain A. 2009. Prevalence of Paramphistomum

cervi in ruminants slaughtered in district Muzaffar Garh. Pakistan Vet J. 29(4): 214-

215.

Selvin S. 2004. Statistical analysis of epidemiology data. London (UK): Oxford University

Pres.

Siswansyah D, Tarmudji D, Ahmad SN, Wasito. 1989. Survey penyakit parasit menular

pada ternak sapi dan kerbau di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan

[Laporan Penelitian]. Banjarbaru: Balai Penelitian Veteriner.

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, Cetakan ke-3.

Sugama IN, Suyasa IN. 2011. Keragaan infeksi parasit gastrointestinal pada sapi Bali

model kandang simantri [Laporan Penelitian]. Bali: Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian.

Sugeng YB. 2008. Sapi Potong. Semarang: Penebar Swadaya.

Tantri N, Setyawati TR, Khotimah S. 2013. Prevalensi dan intensitas telur cacing parasit

pada feses sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan

Barat. Jurnal Protobiont. 2(2): 102-106.

Tuasikal BJ, Suhardono. 2006. Pengaruh infeksi Fasciola gigantica (cacing hati) iradiasi

terhadap gambaran darah kambing (Capra hircuslinn). JITV. 11(4): 317-323

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2000. Veterinary

Parasitology. 3rd. Edn, Longman Scientific Technology UK. PP: 64-71.

Wirawan PH. 2011. Laporan kegiatan survey internal dan eksternal parasit (Kabupaten

Barru, Poso, Bone dan Sigi) [Laporan Penelitian]. Maros: Balai Besar Veteriner

Maros.

Yasa NF. 2013. Prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko paramphistomosis pada

peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Sumedang [Skripsi].

Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Page 41: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

29

Yulianto P. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif. Jakarta: Penebar Swadaya.

Page 42: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

30

LAMPIRAN

1. Data Populasi Ternak Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros (BPS, 2013)

Page 43: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

31

2. Hasil Pemeriksaan Telur Paramphistomum sp. pada Sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros dengan Pengujian Sedimentasi di

Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros

No

Nama Pemilik

Ternak

Kode

Waktu Penelitian

Hasil

Pengambilan

Sampel

Pemeriksaan

Sampel

1 Dg Buang 01 03/08/2015 25/08/2015 negatif

2 Dg Buang 02 03/08/2015 25/08/2015 negatif

3 Dg Buang 03 03/08/2015 25/08/2015 negatif

4 Dg Buang 04 03/08/2015 25/08/2015 negatif

5 Dg Buang 05 03/08/2015 25/08/2015 negatif

6 Dg Buang 06 03/08/2015 25/08/2015 negatif

7 Dg Buang 07 03/08/2015 25/08/2015 negatif

8 Dg Buang 08 03/08/2015 25/08/2015 negatif

9 Dg Buang 09 03/08/2015 25/08/2015 negatif

10 Dg Buang 10 03/08/2015 25/08/2015 negatif

11 Dg Buang 11 03/08/2015 25/08/2015 negatif

12 Dg Buang 12 03/08/2015 25/08/2015 negatif

13 Dg Buang 13 03/08/2015 25/08/2015 negatif

14 Dg Buang 14 03/08/2015 25/08/2015 negatif

15 Pak Arman 15 03/08/2015 26/08/2015 negatif

16 Dg Kanang 16 03/08/2015 26/08/2015 negatif

17 Dg Lengko 17 04/08/2015 26/08/2015 negatif

18 Dg Lengko 18 04/08/2015 26/08/2015 negatif

19 Dg Lengko 19 04/08/2015 26/08/2015 negatif

20 Dg Lengko 20 04/08/2015 26/08/2015 negatif

21 Baso Raga 21 04/08/2015 26/08/2015 negatif

22 Baso Raga 22 04/08/2015 26/08/2015 negatif

23 Baso Raga 23 04/08/2015 26/08/2015 negatif

24 Baso Raga 24 04/08/2015 26/08/2015 negatif

25 Dg Kanang 25 04/08/2015 26/08/2015 negatif

Page 44: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

32

26 Dg Ngeppe 26 05/08/2015 26/08/2015 negatif

27 Dg Ngeppe 27 05/08/2015 26/08/2015 negatif

28 Dg Ngeppe 28 05/08/2015 26/08/2015 negatif

29 Dg Ngeppe 29 05/08/2015 26/08/2015 negatif

30 Dg Ngeppe 30 05/08/2015 26/08/2015 negatif

31 Nenek Hasna 31 05/08/2015 26/08/2015 negatif

32 Nenek Hasna 32 05/08/2015 26/08/2015 negatif

33 Dg Lengko 33 05/08/2015 26/08/2015 negatif

34 Yauri Haryanto 34 05/08/2015 26/08/2015 positif

35 Yauri Haryanto 35 05/08/2015 26/08/2015 negatif

36 Yauri Haryanto 36 05/08/2015 26/08/2015 negatif

37 Yauri Haryanto 37 05/08/2015 26/08/2015 negatif

38 Bahtiar 38 06/08/2015 26/08/2015 negatif

39 Bahtiar 39 06/08/2015 26/08/2015 negatif

40 Bahtiar 40 06/08/2015 26/08/2015 negatif

41 Bahtiar 41 06/08/2015 26/08/2015 negatif

42 Bahtiar 42 06/08/2015 26/08/2015 negatif

43 Bahtiar 43 06/08/2015 26/08/2015 negatif

44 Yauri Haryanto 44 07/08/2015 26/08/2015 negatif

45 Yauri Haryanto 45 07/08/2015 26/08/2015 negatif

46 Yauri Haryanto 46 07/08/2015 26/08/2015 negatif

47 Yauri Haryanto 47 07/08/2015 26/08/2015 negatif

48 Muh. Saleh 48 07/08/2015 26/08/2015 positif

49 Muh. Saleh 49 07/08/2015 26/08/2015 negatif

50 Muh. Saleh 50 07/08/2015 26/08/2015 negatif

51 Muh. Saleh 51 07/08/2015 27/08/2015 positif

52 Muh. Saleh 52 07/08/2015 27/08/2015 negatif

53 Sabri 53 07/08/2015 27/08/2015 negatif

54 Sabri 54 07/08/2015 27/08/2015 negatif

55 Sabri 55 07/08/2015 27/08/2015 negatif

56 Nahlan 56 07/08/2015 27/08/2015 negatif

57 Nahlan 57 07/08/2015 27/08/2015 negatif

58 Nahlan 58 07/08/2015 27/08/2015 negatif

59 Megawati 59 07/08/2015 27/08/2015 negatif

60 Sumiati 60 08/08/2015 27/08/2015 positif

61 Sumiati 61 08/08/2015 27/08/2015 negatif

62 Sumiati 62 08/08/2015 27/08/2015 negatif

Page 45: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

33

63 Sumiati 63 08/08/2015 27/08/2015 negatif

64 Nirwana 64 08/08/2015 27/08/2015 negatif

65 Nirwana 65 08/08/2015 27/08/2015 negatif

66 Nirwana 66 08/08/2015 27/08/2015 negatif

67 Megawati 67 09/08/2015 27/08/2015 negatif

68 Megawati 68 09/08/2015 27/08/2015 positif

69 Megawati 69 09/08/2015 27/08/2015 negatif

70 Megawati 70 09/08/2015 27/08/2015 negatif

71 Nenek Hasnah 71 09/08/2015 27/08/2015 negatif

72 Nenek Hasnah 72 09/08/2015 27/08/2015 negatif

73 Nenek Hasnah 73 09/08/2015 27/08/2015 negatif

74 Nenek Hasnah 74 09/08/2015 27/08/2015 negatif

75 Nenek Hasnah 75 09/08/2015 27/08/2015 negatif

76 Nenek Hasnah 76 09/08/2015 27/08/2015 negatif

77 Nenek Hasnah 77 09/08/2015 27/08/2015 negatif

78 Kamaruddin 78 09/08/2015 27/08/2015 negatif

79 Kamaruddin 79 09/08/2015 27/08/2015 negatif

80 Kamaruddin 80 09/08/2015 27/08/2015 negatif

81 Pak Teki 81 09/08/2015 27/08/2015 negatif

82 Pak Teki 82 09/08/2015 27/08/2015 negatif

83 Pak Teki 83 09/08/2015 27/08/2015 negatif

84 Pak Teki 84 09/08/2015 27/08/2015 negatif

3. Dokumentasi Penelitian

1. Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros

Page 46: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

34

2. Pengambilan Sampel Feses

3. Pemeriksaan Sampel Uji Sedimentasi

Page 47: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

35

4. Telur Paramphistomum sp. Perbesaran 100x

Page 48: OLEH - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada Allah penulis meminta agar

36

RIWAYAT PENULIS

Musdalifah. Lahir di Kassa, 19 Agustus 1993 sebagai putri

ketiga dari empat bersaudara dari Abd.Halim dan Misjanna.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 2005 di SD

Negeri 219 Kassa , Sekolah Menengah Pertama tahun 2008

di SMP 2 Batulappa dan Sekolah Menengah Atas pada tahun

2011 di SMA 2 Parepare dan pada tahun yang sama diterima

di UNHAS melalui jalur tertulis SMPTN. Penulis memilih

Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran

UNHAS. Selama mengikuti perkuliahan, penulis tercatat

sebagai anggota aktif Himpunan Mahasiswa Kedokteran

Hewan (HIMAKAHA) periode 2013-2014. Pengurus UKM LDK MPM UH

periode 2013-2014. Pengurus Forum Studi Ulul Albaab Universitas Hasanuddin

Tahun 2014-sekarang. Pembina Study Club An-Naml Kedokteran Hewan

Universitas Hasanuddin yang terbentuk Tahun 2015. Penulis menyelesaikan

skripsi berjudul “Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Kabupaten

Maros”, untuk menyelesaikan Program Sarjana Kedokteran Hewan dibawah

bimbingan Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc dan Drh. Faizal Zakariyah, M.Sc.